Materi Viktimologi Fakultas Hukum Unsoed semester 5.
materi ini di upload dengan itikad baik, bukan plagiarism tetapi untuk bahan ajar, untuk dikonsumsi oleh mahasiswa fakultas Hukum
. Teori Klasik.
Teori ini mulai muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan tersebar di Eropa dan Amerika.Teori ini berdasarkan psikologi hedonistik.Menurut psikologi hedonistik, setiap perbuatan manusia berdasarkan pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit).Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan yang mana yang tidak. Menurut Beccaria (Made Darma Weda, 1996:15) bahwa "Setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dan perbuatan tersebut.(That the act which I do is the act which I think will give me most pleasure)." Lebih lanjut Beccaria (Made Darma Weda, 1996:21) menyatakan bahwa: "Semua orang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lainnya." Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya, sehingga melebihi suka yang diperoleh dari pelanggaran undang-undang tersebut. Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut, setiap hukuman yang dijatuhkan sekalipun pidana yang berat, sudah diperhitungkan sebagai kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat Beccaria adalah untuk mengurangi kesewenangan dan kekuasaan hukuman. Konsep keadilan menurut teori ini adalah suatu hukuman yang pasti untuk perbuatan-perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari sifat si pembuat dan tanpa memperhatikan pula kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut
Materi Viktimologi Fakultas Hukum Unsoed semester 5.
materi ini di upload dengan itikad baik, bukan plagiarism tetapi untuk bahan ajar, untuk dikonsumsi oleh mahasiswa fakultas Hukum
. Teori Klasik.
Teori ini mulai muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan tersebar di Eropa dan Amerika.Teori ini berdasarkan psikologi hedonistik.Menurut psikologi hedonistik, setiap perbuatan manusia berdasarkan pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit).Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan yang mana yang tidak. Menurut Beccaria (Made Darma Weda, 1996:15) bahwa "Setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dan perbuatan tersebut.(That the act which I do is the act which I think will give me most pleasure)." Lebih lanjut Beccaria (Made Darma Weda, 1996:21) menyatakan bahwa: "Semua orang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lainnya." Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya, sehingga melebihi suka yang diperoleh dari pelanggaran undang-undang tersebut. Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut, setiap hukuman yang dijatuhkan sekalipun pidana yang berat, sudah diperhitungkan sebagai kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat Beccaria adalah untuk mengurangi kesewenangan dan kekuasaan hukuman. Konsep keadilan menurut teori ini adalah suatu hukuman yang pasti untuk perbuatan-perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari sifat si pembuat dan tanpa memperhatikan pula kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut
Materi yang dibuat oleh Apong Herlina, S.H.,M.H., sebagai pembicara saat kegiatan Criminal Defense Law Forum, Jumat, 15 Agustus 2014, diLembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Aliran-aliran hukum pidana ini berusaha memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat,bukan untuk mencari dasar hukum atau pembenaran hukum.secara garis besar aliran-aliran hukum pidana ini dapat dibagi menjadi tiga aliran yaitu aliran Klasik,aliran Modern dan aliran Neo-klasik atau gabungan
Materi yang dibuat oleh Apong Herlina, S.H.,M.H., sebagai pembicara saat kegiatan Criminal Defense Law Forum, Jumat, 15 Agustus 2014, diLembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Aliran-aliran hukum pidana ini berusaha memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat,bukan untuk mencari dasar hukum atau pembenaran hukum.secara garis besar aliran-aliran hukum pidana ini dapat dibagi menjadi tiga aliran yaitu aliran Klasik,aliran Modern dan aliran Neo-klasik atau gabungan
Perlindungan Saksi & Korban Sebagai WhistleblowerAbdillah Mt
Materi Perlindungan Saksi & Korban Sebagai Whistleblower ini disampaikan oleh Ketua LPSK dalam acara Lokakarya Pengawasan (Lokwas) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Tahun 2013 di Hotel Horison, Bogor, Jawa Barat
Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016 - 2020ECPAT Indonesia
Kekerasan terhadap anak telah menjadi agenda pembangunan global dan
nasional sejak ditandatanganinya Konvensi Hak Anak (KHA) 25 tahun lalu,
dimana Indonesia mempakan salah satu negara yang ikut terlibat dan telah
meratifikasinya menjadi Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun
2002. Dalam berbagai kebijakan terkait perlindungan anak, Pemerintah
Indonesia berkomitmen dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap
anak, termasuk di dalamnya upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan fisik,
seksual, emosional hingga penelantaran terhadap anak. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pembangunan kualitas
sumber daya manusia telah memuat target khusus penumnan angka kekerasan
terhadap anak.
Rpp ppkn sma xi bab 1 sd 9 daripertemuan awal sd akhir diberikan gratis untuk siapa saja untuk bahan pertimbangan jika ada kesalahan mohon kirim email ke dasepggl@gmail.com ataus sms ke 0856 5990 0626
2. Viktimologi
Victim (korban)
Logi (pengetahuan) Ilmu Pengetahuan
* “victima” (Korban) Bahasa Latin
* “Logos” (ilmu pengetahuan)
Bahasa Yunani
=
Viktimologi
berarti
ilmu
pengetahuan tentang korban
3.
ZVONIMIR PAUL-SEPAROVIC:
VICTIMOLOGY REFERS TO SCIENCE DEALING WITH
THE STUDY OF THE VICTIM
J.E.SAHETAPY:
VIKTIMOLOGI SECARA SINGKAT ADALAH ILMU
ATAU DISIPLIN YANG MEMBAHAS PERMASALAHAN
KORBAN DALAM SEGALA ASPEK
ARIF GOSITA:
VIKTIMOLOGI ADALAH SUATU STUDI ATAU
PENGETAHUAN
ILMIAH
YANG
MEMPELAJARI
MASALAH PENGORBANAN KRIMINAL SEBAGAI
SUATU MASALAH MANUSIA YANG MERUPAKAN
SUATU KENYATAAN SOSIAL
5. Separovic
Dasar pembedaan terletak pada ruang lingkup kajian.
Apabila obyek kajian Viktimologi hanya korban akibat
kejahatan saja, maka viktimologi hanya sebagian dari
kajian masalah kejahatan dan sebagai akibatnya menjadi
bagian dari Kriminologi. (didukung oleh Schneider)
Apabila obyek Viktimologi meliputi semua korban,
termasuk
korban
bencana
alam,
maka
viktimologi
merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri (Didukung oleh
Mandelshon)
6. Nagel seorang kriminolog yang berpendirian viktimologi
sebagai bagian kriminologi mencoba memberikan penjelasan
kedudukan viktimologi. Apabila kriminologi tetap berpegang
sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang kejahatan, berarti
konsep kriminologi yang demikian itu sangat sempit hanya
mengkaji tentang etiologi kriminal. Kriminologi dalam arti
etilogi kriminal, dengan tegas tidak dapat disetujui, sebab
hanya mempelajari penjahatnya berarti merupakan ilmu
pengetahuan yang sempit dan berat sebelah. Dengan
demikian obyek kriminologi tidak sesuai dengan kenyataan,
bahwa kejahatan di samping penjahat terdapat korban.
7. Iswanto (1995, dalam Disertasinya)
Viktimologi
pengetahuan
sebagai
yang
suatu
mandiri.
disiplin
Pandangan
ilmu
ini
berdasarkan pendapat pakar hukum pidana
(kriminolog) dan simposium
8.
Scafer (1968)
Viktimologi
merupakan
suatu
disiplin
ilmu
pengetahuan yang mandiri atas dasar hubungan antara
penjahat-korban (criminal-victim relationship). Hal itu
berarti bahwa terjadinya kejahatan atas interaksi antara
penjahat dan korban sekaligus adanya pengakuan
peranan dan tanggungjawab. Di samping itu, viktimologi
menuntut agar supaya pembuat kejahatan bertanggung
jawab terhadap kerugian pisik, morel maupun nyawa
korban.
10. Seminar Kriminologi ke VI di Universitas Diponegoro
Semarang (tanggal 16-18 September 1991), secara tidak langsung
telah mengakui eksistensi
viktimologi atau “Criminal-Victim
Relationship” dengan penjelasan: ...bahwa database statistik
kriminal yang merupakan seperangkat hasil analisis data
mengenai kejahatan yang merupakan hal-hal yang berkaitan
langsung dengan peristiwa kejahatan yaitu:
1. bentuk tindak pidana yang meliputi (a) aturan pidana yang
dilanggar dan ancaman pidananya, (b) waktu dan tempat
tindak pidana;
2. pelaku tindak pidana termasuk (a) biodata, (b) hubungan
keluarga dengan korban;
3. penyelesaian perkara; dan
4. . korban tindak pidana
11. PEMBAGIAN VIKTIMOLOGI
A. Viktimologi Dalam Arti Sempit/Viktimologi Khusus
Ilmu pengetahuan empiris
yang berkaitan dengan korban
dari
kejahatan/perbuatan yang dapat dihukum viktimimologi penal/kriminal
B. Viktimologi Dalam Arti Luas/ General Victimology
Mencangkup seluruh ilmu pengetahuan tentang korban pada umumnya
Termasuk dalam lingkup ini meliputi korban dari perbuatan yang dapat
dihukum/kecelakaan
(lalu-lintas/kerja/bencana
alam),
korban
dari
masyarakat, korban dari negara.
C. Viktimologi Baru/ NewVictimology
Ilmu
pengetahuan
tentang
korban
yang
mencangkup
korban
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM, dan korban yang
dimaksud kriminologi radikal (korban kejahatan konvensional dan yang
dilakukan oleh khas yang berkuasa)
12. Kritik yang memunculkan Viktimologi Baru
(Tokoh R.Elias)
Penguasa hukum yang bertindak melalui aparataparat telah mendefinisikan hukum lebih merupakan
kepentingan klas atau kelompoknya daripada
kepentingan masyarakat banyak.
Dengan
demikian
korban
pelanggaran
HAM/Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh para penguasa tidak kelihatan. Baru terlihat
setelah hal tersebut dirumuskan dalam undangundang/discourse.
13. TUJUAN VIKTIMOLOGI
A. To Analize the manifold aspect of the victim’s problem
Menganalisis berbagai aspek masalah korban
Kerugian/Penderitaan
Korban
(fisik,
kerugian
materiil,
sosial/psikologis, lamanya penderitaan)
a second victimization in criminal justice system
B. To explain the causes for victimization
Menjelaskan sebab-sebab terjadinya pengorbanan (timbulnya
korban)
C. Develop a system of measures for reducing human suffering
Menciptakan suatu sistem kebijakan dalam upaya untuk
mengurangi penderitaan manusia
14. PENGERTIAN KORBAN
Pengertian korban secara umum pada hakikatnnya dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1. Dalam
sejarah dikenal beberapa istilah;
Korban dalam arti “sacrifice” artinya bentuk korban
(pengorbanan) yang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat
metafisik, supranatural, misalnya korban dalam upacara
keagamaan dan atau sejenisnya, untuk persembahan dewa,
pengampunan,
penghormatan,
ungkapan
terimakasih,
penebusan dosa, dll; “Propitiatory” untuk meminta belas
kasihan dewa; “Holocaust” Pengorbanan Pembakaran;
“Komuni” Pengorbanan sebagian yang sisanya dimakan
bersama.
15. 2. Korban dalam Konsep Keilmuan (Victimological)
Objek Korban dalam viktimologi dikenal dengan
korban dalam konsep kelilmuan, antara lain: Korban
akibat kejahatan atau perbuatan yang dapat dihukum
(victim of crime), korban kecelakaan (victim of accident),
korban bencana alam (victim of natural disaster), korban
kesewenang-wenangan
penguasa
atau
korban
atas
pelanggaran hak asasi manusia (victim of illegal abuses
of public power) maupun korban dari penyalahgunaan
kekuasaan di bidang ekonomi (victim of illegal abuses of
economic power)
16.
Pengkajian secara keilmuan tidak hanya terbatas
pada individu, akan tetapi bisa juga berupa kelompok
orang,
masyarakat,
korporasi,
swasta
maupun
pemerintah/negara, bahkan lebih luas lagi termasuk
di
dalamnya
langsung
mengalami
dari
keluarga
dekat
korban
kerugian
dan
ketika
atau
tanggungan
orang-orang
membantu
yang
korban
mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah
viktimisasi.
17. Pengertian Korban dalam
beberapa Ahli dan Regulasi
Webster,
Kamus,
Webster
a) suatu makhluk hidup yang dikorbankan kepada dewa
atau dalam melaksanakan upacara agama;
b) seseorang yang dibunuh, dianiaya, atau didendan
oleh orang lain; seseorang yang mengalami
penindasan, kerugian, atau penderitaan;
c) seseorang yang mengalami kematian, luka-luka
dalam berusaha menyelamatkan diri;
d) seseorang yang diperdaya, ditipu, atau mengalami
penderitaan; seseorang yang dipekerjakan atau
dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan tidak
layak.
18.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta,
1983)
Mengartikan korban:
1. Pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaan
hati dsb);
2. Orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan
(hawa nafsu, dsb);
3. Orang yang mati;
4. Orang yang mati karena menderita kecelakaan,
karena tertimpa bencana alam seperti banjir, gempa
bumi, dsb
19. Sahetapy
Orang
perorangan
atau
badan
hukum
yang
menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-bentuk
kerugian lainnya yang dirasakan, baik secara fisik
maupun secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya
dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dilihat dari segi
ekonomi, politik maupun social budaya. Mereka yang
menjadi korban
dalam
hal ini dapat
dikarenakan
kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara
langsung atau tidak langsung, dan tanpa adanya
peranan dari si korban
20. Arif
Gosita
Mereka yang menderita baik jasmaniah
dan
orang
rohaniah
lain
sebagai
yang
akibat
mencari
tindakan
pemenuhan
kepentingan bagi diri sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan hak
asasi pihak yang dirugikan
21.
Muladi
Orang-orang
baik secara
individual
maupun
kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian
fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan
substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,
melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum
pidana
di
masing-masing
penyalahgunaan kekuasaan
negara,
termasuk
22.
Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles
of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985
“victims means persons who, individually or collectively,
have suffered harm, including physical or mental injury,
emotional suffering, economic loss or substantial impairment
of their fundamental rights, through acts or omission of
criminal laws operative within Member States, including those
laws proscribing criminal abuse of power”……
Through
acts or omissions that do not yet constitute violations of
national criminal laws but of internationally recognized norms
relating to human rights”
23.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan pengertian
mengenai korban.
Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana”
PP No 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang
Berat
Orang perseorangan/kelompok orang yang mengalami
penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian
ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran
HAM yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
24. Macam-macam Korban berdasarkan
Konggres PBB ketujuh:
1. Korban kejahatan Konvensional
2. Korban non-konvensional
3. Korban kejahatan akibat penyalahgunaan
kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap
HAM
25. Kriterium obyek yang menderita
(Separovic)
1. Korban Individual;
2. Korban Kolektif;
3. Korban Abstrak;
4. Korban pada diri sendiri.
27. BERBAGAI ASPEK
MASALAH KORBAN
Tujuan Viktimologi yang Pertama
Pembicaraan orientasi pada
kerugian &/ penderitaan korban
akibat tindak pidana yang
menimpanya (viktimisasi)
28. KERUGIAN &/PENDERITAAN
KORBAN
Kerugian/
penderitaan:
Dapat dialami
satu jenis
1. Luka Fisik
2. Kerugian Materi
3. Kerugian Sosial dan Psikologis
Lamanya Penderitaan
Perhatian
terhadap
Korban
Pidana/Kedudukan Korban dalam
Peradilan Pidana
Tindak
Sistem
Dapat
pula
dirasakan
sekaligus
29. 1. Luka Fisik
Termasuk yang mudah terlihat (bandingkan dg
kerugian/penderitaan lain)
Penganiayaan ringan, cenderung
dihiraukan sebagai luka fisik
tidak
begitu
Korban cenderung akan merasakan penderitaan
yang serius apabila menderita Luka fisik yang
serius & sangat menggangu aktifitas kerja/ hingga
tidak berfungsinya salah satu/beberapa organ tubuh
(cacat seumur hidup)
30. 2. Kerugian Materi
Kerugian di bidang Materi uang/hilangnya
pendapatan yg seharusnya diperoleh, maupun
properti lainnya
Properti
lainnya
perhiasan/kendaraan,
kaca
hilanganya
jendela/pintu
yang
dirusak, dll kerusakan yg ditimbulkan akibat
tindak pidana yg terjadi
31. Kerugian Materi
Pasca (setelah terjadinya) Tindak Pidana
Pengeluaran (biaya) transportasi/ akomodasi
selama proses penyelesaian perkara tindak
pidana
Biaya pengobatan &/ terapi psikologis
Korban yg mengalami luka fisik/ goncangan
jiwa
32. 3. Kerugian Sosial dan Psikologis
Berkaitan atas kerugian dengan suatu rangkaian
akibat/efek tindak pidana
Dampak sosial & Psikologis yang paling terasa
terjadi pada korban tindak pidana pemerkosaan
Sosial
sorotan,
pergunjingan,
pengucilan oleh masyarakat sekitarnya
maupun
33.
Psikologis
Trauma yg pernah dialami seseorang akibat tindakan yg
menyakitkan & menakutkan akan terus membekas pada diri
seseorang. Terus menerus dlm keadaan tegang, bimbang, takut,
lambat laun mengalami kelainan jiwa (Psychoneurose)
(Jersild 1973, dalam Lefrancois 1984)
Mereka tidak mau bergaul, enggan makan & membersihkan diri,
sehingga fisiknya lemah dan sakit maka timbulah Psycosomatris
(Djam’an, 1970)
Selain derita fisik, ia akan merubah kebiasan makan & tidur,
mempunyai rasa takut akan serangan balas dendam, takut
diperkosa lagi, takut reaksi negatif keluarga, dan menujukan tanda
derita emosional lain (Peters, 1973)
Menurunnya harga diri, konsekuensi ketidakmampuan untuk
menyenangkan dalam hubungan heteroseksual secara normal, dan
perilaku ancaman bunuh diri (Weis dan Borges, 1973)
34. Lamanya Penderitaan
Korban dapat mengalami penderitaan berkelanjutan
Dalam Iswanto & Angkasa:
Prosentase lama pengaruh yg diderita:
Kerugian keuangan (financial loss), pengaruh fisik
(physical effect), dan pengaruh psikologis (psychology
effect)
Tiga kategori tambahan:
Any effect” mencangkup semua kategori.
“Possible emotional need” mencangkup pengaruh sosial
dan psikologis pada diri korban.
“Possible financial need” mencangkup semua pengaruh
yang mungkin mempengaruhi keuangan korban
35. Jangka
waktu pengaruh dari berbagai tindak pidana
terhadap korban juga diteliti oleh Maguire (1982) untuk
korban perampokan. Brown dan Yantzi (1980)
meneliti untuk warga Kanada korban segala jenis
tindak pidana. Temuan pengaruh yang diderita korban
juga cenderung sama. Para korban berharap ada
kemajuan dalam kasus yang menimpa mereka dan
juga imbalan, serta dilakukan pendekatan konservatif
oleh para profesional dalam sistem hukum pidana.
36. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat diringkas:
a. Korban biasanya menderita secara fisik dan emosional
setelah tindak pidana, Ada yang perlu perawatan medis,
kebanyakan memerlukan dukungan emosional. Peran teman
atau keluarga sangat berarti di sini;
b.Jumlah korban yang mengemukakan kerugian keuangan
mereka (yang tidak memiliki kartu jaminan sosial) hanya
sedikit. Pengaruh ini baru muncul setelah beberapa bulan;
c.Di lain pihak, pengaruh mental, fisik dan pengaruh keluarga
dan lingkungan sosial akan memberatkan bagi korban.
Mereka merasakan hal ini sangat berat. Beberapa dari
mereka mengharap dukungan dari kelompok penyantun dan
pendukung korban;
d. Dalam kaitannya dengan sistem hukum pidana dan sumber
kompensi korban mengharapkan adanya informasi dan
kemajuan pada kasus mereka.
37. Perhatian terhadap Korban Tindak Pidana/
Kedudukan Korban dalam SPP
Kedudukan
korban
dalam
Sistem
Peradilan
Pidana saat ini tampaknya belum ditempatkan
secara adil. Hal tersebut cenderung berimplikasi
terhadap dua hal yang fundamental berupa:
Tiadanya perlindungan hukum bagi korban,
dan;
Tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa
keadilan
bagi
korban,
masyarakat luas (Angkasa)
pelaku
maupun
38.
Karmen serta Graborsky :
Korban tindak pidana sebagai "invisible"
atau "forgotten”
Elias:
Korban telah menjadi korban keduakalinya
(a second victimization) dalam Sistem
Peradilan Pidana atau warga negara klas dua
(a second class citizen).
Soedarto:
Kedudukan
korban
atau
orang
yang
dirugikan dalam perkara pidana selama ini
sangat memedihkan, korban dari kejahatan
seolah-olah dilupakan.
39.
Shapland mengatakan bahwa korban tindak pidana menjadi
“Forgotten man” (Shapland, et al. 1985) dalam SPP atau
“Kurangnya memperhatikan peran korban dalam proses pidana”
(Shapland, et al. 1985). Harding (1982) mengatakan bahwa
“Negara melalui pejabat dalam SPP sedikit kurang memberikan
perhatian pada kebutuhan-kebutuhan korban”.
Dalam situasi demikian, maka tepat bila Cristie (1977)
mengatakan bahwa korban merupakan pihak yang kalah total
dalam situasi ini (dalam SPP). Paling utama adalah hilangnya
keterlibatan diri dalam kasus yang menimpanya.
Minimal terdapat dua hal yang harus direnungkan bersama,
selain untuk perlindungan terhadap korban serta menuju
putusan yang memenuhi rasa keadilan. Pertama, atas “jasa”
korban tindak pidana yang memegang peranan penting dalam
tahap sub sistme kepolisian, dan Kedua atas kerugian dan/atau
penderitaan korban yang dialami.
42. PERANAN KORBAN
Hentig Menghipotesakan bahwa dalam Beberapa hal Korban
membentuk dan mencetak penjahat dan kejahatannya
Wolfgang Berdasasarkan Studi Data Statistik ditemukan bahwa
satu korban di antara empat kasus pembunuhan ikut
mempercepat pembunuhan
Amir Dalam kasus Pemerkosaan, Korban berpartisipasi dan
mempercepat satu diantara lima kasus perkosaan
Meir & Meite Dalam kasus Pemerkosaan, Victim Precipitation
mencapai sekitar 4-19% karena Kelalaian Korban
43. 6 Tipologi Korban (Mandelsohn)
1. THE “COMPLETELY INNOCENT VICTIM”
Korban yang sama sekali tidak bersalah
2. THE “VICTIM WITH MINOR GUILT” AND THE “VICTIM DUE TO HIS
IGNORANCE”
Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian
3. THE “VICTIM AS GUILTY AS THE OFFENDER AND VOLUNTARY
VICTIM”
Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela.
4. THE “VICTIM MORE GULTY THAN THE OFFENDER”
Korban kesalahannya lebih besar daripada pelaku
5. THE “MOST GUILTY VICTIM” AND THE “VICTIM AS IS GUILTY ALONE”
Korban yang sangat salah dan korban sebagai satu-satunya yang bersalah
6. THE “SIMULATING VICTIM” AND THE “IMAGINE AS VICTIM”
Korban pura-pura dan korban imajinasi
45. Klasifikasi Korban Atas Tingkat
Peranannya (Ezzat A. Fattah)
1.Nonparticipating Victims;
2. Latent or Predisposed Victim;
3. Provocative Victim;
4. Participating Victim;
5. False Victims
46. RISIKO KORBAN
Dalam kondisi dan situasi tertentu cenderung
mudah terjadi viktimisasi
Terjadinya kejahatan menunjukkan Terdapat
ciri-ciri tertentu, keteraturan, unsur-unsur tipikal
pada kepribadian korban & sikap korban terhadap
pelaku dalam terjadinya kejahatan
48. Risiko Korban Berdasarkan Psikologi, Sosial dan Biologi
13 Tipe Korban (Hans Von Hentig)
1. The young
2. The female
3. The old
4. The mentally defective and other mentally deranged
5. Immigrants
6. Minorities
7. Dull normals
8. The depresed
9. The acquisitive
10. The wanton
11. The lonesome and broken heart
12. Tormentors
13. The blocked, exempted, and fighting.
49. Tiga Fator Utama yang Mempunyai Risiko
Viktimisasi (STEINMETZ)
A. Attractiveness mengacu pada nilai bagi pelaku tindak
pidana potensial melakukan tindak pidana terhadap obyek
tertentu
B. Proximity pendekatan sosial dan geografik (antara korban
dan pelaku potensial)
C. Exposure sejauh mana pelaku tindak pidana diberikan
kesempatan untuk melakukan tindak pidana ketika mereka
berhubungan dengan target yang sangat menarik
Ingat kata “BANG NAPI”: Kejahatan bukan hanya dari
niat pelaku tapi karena adanya kesempatan.
50. TujuanViktimologi III
“Develop a system of measures for
reducing human suffering”
(Menciptakan
upaya
manusia)
suatu sistem kebijakan dalam
untuk
mengurangi
penderitaan
52. RESTITUSI
Perbaikan atau Restorasi perbaikan atas kerugian baik
fisik, morel, maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak
Korban atas serangan penjahat. Merupakan bentuk
pertanggungjawaban penjahat yang berkarakter pidana.
Dibayar oleh penjahat (Pelaku) berdasakan putusan
pengadilan atas tuntutan korban melalui proses peradilan
pidana
(Materi: Dr. Angkasa)
Ex: Penjelasan Pasal 35 ayat (2) UU No 26 Tahun 2004
ttg Pengadilan HAM
“Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu” (Rani)
53. KOMPENSASI
Berkaitan dengan keseimbangan korban akibat dari
perbuatan jahat merupakan indikasi pertanggungjawaban
masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang
berkarakter perdata. Kompensasi diminta oleh korban
dalam bentuk permohonan dan apabila dikabulkan dibayar
oleh masyarakat (negara).
(Materi: Dr. Angkasa)
Ex: Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU No 26 Tahun 2004
ttg Pengadilan HAM
“Ganti kerugian yang dibayar Negara karena pelaku tidak dapat
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya” - (Rani)
55. LATAR BELAKANG SEJARAH RESTITUSI
(SEJARAH KORBAN)
SCAHAFER Membagi Tiga Periode:
1. The Golden Age of The Victim (Jaman Keemasan
Korban);
2. The Decline of The Victim (Jaman Kemunduran
Korban);
3. The Revival of The Victim’s Importance (Jaman
Kebangkitan Korban)
(Materi: Dr. Angkasa)
56. 1. The Golden Age of The Victim
(Jaman Keemasan Korban)
Kontrol sosial dipegang oleh keluarga atau/klan;
Posisi individu korban/pelaku cenderung diambil alih oleh
seluruh keluarga suku
Ex: Bangsa Cheyene dan Comance (serangan terhadap
individu adalah serangan terhadap klas/bangsanya)
Bentuk: Revange dan ganti rugi uang (Akibat perkembangan
sosial ekonomi, tetapi bersifat separodis terutama di kota)
Apabila gantirugi dibayar Acara pidana selesai (Apabila
korban menyetujui)
Pelaku yang mengingkari kesepakatan dengan tidak
membayar ganti rugi akan menjadi Friedlos (orang yang
diluar perlindungan hukum)
57. Besarnya ganti rugi bervariasi tergantung dari
(Ex: Suku Ifigoa, di Luson Utara)
1. Sifat Kejahatan;
2. Kedudukan klas yang terlibat;
3. Solidaritas dan perilaku kedua kelompok yang terlibat;
4. Kepribadian dan reputasi dari dua kepala kelompok;
5. Kedudukan Geografis.
(Materi: Dr. Angkasa)
58. The Golden Age of
The Victim
Kebudayaan Primitif
Pembalasan
Kejahatan terhadap
keluarga/marga/salah satu
anggotanya kelompok
korban turut pembalasan
Rani
Perubahan
kontrol arah sosial :
Individu Keluarga/klan
korban
(konsep
asli
pertanggung
jawaban kolektif)
Sehingga terdapat “hak korban
atas ganti kerugian akibat
tindak pidana ditanggung
oleh pelaku”
- Besarnya ganti rugi bervariasi
tergantung faktor yg mnjdi
acuan.
- Ex; Ifugao, Jerman, Inggris,
dll (berbeda2)
- Pelaku yg tdk memberikan
ganti rugi Friedlos (org
diluar perlindungan hukum)
Kelompok primitif menetap
tingkat
perkembangan
ekonomi/nilai
luka
jasmani/balas dendam diganti
dg barang2 yg mempunyai nilai
ekonomis
59. 2. The Decline of The Victim
(Jaman Kemunduran Korban)
Negara – Penguasa & Gereja mengambil alih dan
memonopoli lembaga hukum;
Denda secara berangsur-angsur masuk ke kas negara
(dengan pembayaran berlipat) yang ditarik dari pelaku dan
pelakunya tetap di pidana;
Kewajiban untuk menganti kerugian menjadi terpisah dari
lapangan hukum pidana;
Kejahatan dipandang merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak individu sehingga hubungan korban dan pelaku
(penjahat) lebih memiliki aspek keperdataan daripada
aspek pidana.
(Materi: Dr .Angkasa)
60. Hak korban dalam ganti rugi diganti dengan
denda yang besarnya ditaksir oleh pengadilan
dan dibayar oleh pelaku kepada Raja. Hilangnya
konsepsi ganti rugi kepada korban karena
keinginan pihak Raja dan kaum Bangsawan
Feodal untuk memperoleh kekuasaan yg lebih
besar terhadap rakyatnya dan arogansi Raja
dan
kaum
Bangsawan
yang
berusaha
mengambil alih seluruh komposisi korban.
Rani
61. 3. The Revival of The Victim’s Importance
(Jaman Kebangkitan Korban)
Dikatakan
adanya
kebangkitan
kepentingan
korban ketika terdapat suatu pandangan tentang
peradilan yang menuntut agar korban diilihat lagi
dalam pengertian yang lebih baik sebagai orang
yang dilukai maupun sebagai pelaku.
(Materi: Dr. Angkasa)
63. MANFAAT RESTITUSI
Manfaat Restitusi bagi Korban
1.
Sebagai penggantian kerugian finansial, perbaikan
dan/atau pengobatan atas luka-luka fisik maupun
penderitaan psikologis sebagai korban tindak pidana
yang telah menimpanya;
2.Restitusi akan sangat berarti, mengingat setiap korban
tindak pidana saat ini cenderung menjadi korban ganda;
pertama, menjadi korban atas tindak pidana yang
menimpanya, dan kedua, menjadi korban ketika
memasuki sistem peradilan pidana yang paradigmanya
masih berorientasi terhadap pelaku.
(Materi: Dr. Angkasa)
64. Manfaat Restitusi bagi Pelaku
1.Merupakan cara yang efektif untuk rehabilitasi pelaku,
karena restitusi memberikan akses dan kesempatan bagi
pelaku untuk terlibat dalam kegiatan atau aktivitas
bermakna yang bermanfaat menumbuhkan harga diri;
dengan restitusi dirasakan akan meringankan beban
kesalahan pelaku dan pelaku cenderung lebih mudah
diterima kembali oleh korban dan/atau masyarakat dalam
kehidupan sosialnya;
2. Memberikan nilai pendidikan yang baik, dalam hal
pertanggungjawaban diri terhadap perbutannya yang
telah menimbulkan kerugian dan/atau penderitaan bagi
orang lain (korban);
65. 3. Mempunyai efek pencegahan (deterrence effect)
dengan asumsi bahwa seseorang yang pernah
melaksanakan restitusi tidak akan kembali
melakukan tindak pidana selesai menjalankan
sanksi pidananya;
4) Apabila diintegrasikan dengan lembaga pidana
bersyarat, restitusi dapat menghindari pengaruh
buruk dari kehidupan di dalam penjara berupa
prisonisasi.
(Materi: Dr. Angkasa)
66. Manfaat Restitusi bagi
Pemerintah dan/ masyarakat
1.Dengan
efek pencegahan yang dimilikinya maka
restitusi akan menurunkan angka residivisme;
2. Restitusi yang diintegrasikan dengan lembaga pidana
bersyarat, akan mengurangi populasi hunian penjara
(lembaga pemasyarakatan) sekaligus penghematan
dana pengeluaran pemerintah; dengan tidak masuknya
pelaku menjalani pidana penjara di lembaga
pemasyarakatan maka pemerintah dapat menghemat
dana yang seharusnya dikeluarkan untuk memberi
makan, perawatan serta pembinaan bagi narapidana.
(Materi: Dr. Angkasa)
67. Eglash,
menggambarkan
bahwa
restitusi
merupakan cara efektif untuk rehabilitasi bagi pelaku.
Pertama restitusi memberikan akses dan kesempatan
bagi pelaku untuk terlibat dalam kegiatan bermakna
yang bermanfaat menegakkan harga diri. Selanjutnya
Eglash yakin bahwa restitusi membuat perasaan lebih
baik. Restitusi merupakan latihan psikologi yang
dapat melatih ego bagi pelaku.
Dasar argumennya adalah dengan memberi
restitusi bagi korban yang membutuhkan dirasakan
akan meringankan beban kesalahan pelaku dan dapat
diterima di masyarakat di masa mendatang.
(Materi: Dr. Angkasa)
68. Galaway
Restitusi berdasar pendapat Galaway dapat dibedakan
dalam empat tipe yaitu: Monetary-victim restitution,
Monetary–community
restitution,
Service-victim
restitution dan Service-community restitution.
Galaway dalam menyusun tipe restitusi didasarkan atas
dua variabel yakni:
(1) Pelaku memberikan restitusi dalam bentuk uang atau
pelayanan; dan
(2) Penerima restitusi adalah korban sesungguhnya atau
pihak yang menggantikannya
69. 1) Monetary-victim restitution
Pelaku secara langsung membayar kepada korban
berupa uang yang jumlahnya didasarkan atas jumlah
kerugian atau penderitaan korban. Besarnya dan
pelaksanaannya
ditetapkan
serta
diawasi
oleh
pengadilan.
2) Monetary- community restitution
Pelaku membayar ganti kerugian bukan terhadap
individu-individu sebagaimana di atas, tetapi kepada
kelompok masyarakat.
3)
Service-victim restitution, dan 4) Servicecommunity restitution
Pada hakikatnya sama dengan pengertian kedua
macam restitusi tersebut di atas. Letak perbedaannya
adalah pada service-victim restitution dan servicecommunity restitution bentuk ganti ruginya (restitusinya)
bukan uang tetapi berupa pelayanan. (Materi: Dr. Angkasa)
70. Schneider
Prosedur pelaksanaan restitusi, terdapat
5 cara program restitusi dapat diakui
eksistensinya:
1. Pertama, model “basic restitution” dengan prosedur
pelaku membayar kepada pengadilan, dan pengadilan
kemudian memberikan uang tersebut kepada korban;
2. Kedua, model “expanded basic restitution” dengan
prosedur pelaku dicarikan pekerjaan (bagi pelaku yang
berpenghasilan rendah dan pelaku berusia muda);
71. 3. Ketiga, model “victim assistance” dengan prosedur pelaku
diberi kesempatan membantu korban sehingga korban
dapat menerima ganti rugi secara penuh;
4. Keempat,
model
“victim
assistance-offender
accountability” dengan prosedur dilakukan negosiasi dan
kadang-kadang mempertemukan kedua belah pihak demi
penyelesaian yang memuaskan;
5. Kelima, model “community accountability-deterrence”
dengan prosedur permintaan ganti rugi dimintakan oleh
sekelompok orang sebagai wakil dari masyarakat.
Permintaan ganti rugi meliputi jenis pekerjaan yang harus
dilakukan, maupun jadwal pembayaran ganti rugi.
(Materi: Dr. Angkasa)
73. KOMPENSASI
Berkaitan dengan keseimbangan korban akibat dari
perbuatan jahat merupakan indikasi pertanggungjawaban
masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang
berkarakter perdata. Kompensasi diminta oleh korban
dalam bentuk permohonan dan apabila dikabulkan dibayar
oleh masyarakat (negara).
(Materi: Dr. Angkasa)
Ex: Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU No 26 Tahun
2004 ttg Pengadilan HAM
“Ganti kerugian yang dibayar Negara karena pelaku tidak
dapat memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya” - (Rani)
74. New Zealand Negara pertama yg membentuk UU ttg
Kompensasi atas Korban Tindak Pidana,
“Criminal Injuris Compensation Act 1963”
* Falsafah Kewajiban Masyarakat terhadap orang2
menderita merupakan tanggung jawab
negara, karena negara telah gagal mencegah
terjadinya tindak pidana
* Pertimbangan:
Faktor Pelaku: Kemampuan bertanggung jawab
(umur, kesehatan, mental, pengaruh
alkohol)
Faktor Korban: Victim precipitated crimes
Rani
75. Ideologi Kompensasi
Van Dijk menyebut dengan istilah “victimagogic” yang
meliputi empat ideologi pokok sebagai berikut. Pertama,
ideologi
perhatian (the care ideology), kedua, ideologi
resosialisasi atau rehabilitasi (the resocialisation or
rehabilitation ideology), ketiga ideologi pembalasan atau
peradilan
pidana
(retribution
or
criminal
justice
ideology), dan keempat ideologi radikal atau antiperadilan
pidana (radical or anti-criminal justice ideology).
76. 1.Ideologi perhatian
Disandarkan
pada prinsip negara kesejahteraan
(welfare state) yang memandang bahwa masyarakat
harus turut serta menanggung beban atas kemungkinan
penderitaan dari masyarakat lainnya yang tertimpa
musibah
berupa wabah penyakit, kecelakaan atau
pengangguran. Hakikat utama dari ideologi ini adalah
kesejahteraan. Salah satu bentuk pelaksanaan ideologi
ini berupa pemberian kompensasi berupa fasilitas
pengobatan bagi korban penganiayaan atau korban
perkosaan.
2.Ideologi resosialisasi atau rehabilitasi
Memusatkan perhatian bukan pada korban tetapi lebih
kepada usaha untuk memahami pelaku dengan harapan
terjadi resosialisasi konstruktif pada diri pelaku.
77. 3. Ideologi retributif
Menekankan
perlunya memberikan kompensasi
kepada korban sesuai dengan tingkat kejahatan yang
menimpa korban, serta memberi peluang akses
korban dalam Sistem Peradilan Pidana untuk
menyatakan tuntutannya berupa permintaan ganti
kerugian maupun hukuman atas diri pelaku.
4. Ideologi radikal
Menitik beratkan pada
usaha menerapkan sistem
baru yang berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum
perdata. Pelaksanaan atas ideologi radikal sudah
dilaksanakan di Amerika, Inggris dan Skotlandia.
(Materi: Dr. Angkasa)
78. Downer & Lab
“Landasan Filosofis
Kompensasi”
1. Alasan pertama
Berdasar kontrak sosial (social contract). Dalam hal ini
pemerintah memberikan kompensasi kepada warga
negaranya karena mereka telah melaksanakan
kewajiban membayar pajak dan pungutan lainnya.
Dengan demikian warga negara berhak mendapat
perlindungan keamanan dan jaminan hidup dari negara.
Apabila warga masyarakat menjadi korban maka
merupakan kewajiban dari negara untuk memberikan
kompensasi atas dasar kontrak sosial.
79. 2. Alasan kedua
Menyangkut kesejahteraan sosial (social welfare) yang
mempunyai pandangan bahwa pemerintah mempunyai
ketentuan tentang standar hidup minimum sebagai
penilaian bagi mereka yang tidak mampu, tidak
berpenghasilan tetap dan warga negara yang kurang
beruntung lainnya. Pada korban akibat tindak pidana
digolongkan ke dalam katagori yang harus mendapatkan
bantuan karena kondisi yang serba kekurangan.
(Materi: Dr. Angkasa)
80. Landasan Filosofis Penerapan
Pemberian Kompensasi
di Indonesia
1. Pertama
Menyangkut aspek kemanusian dan keadilan sosial
sebagaimana selaras dengan perumusan Sila ke 2
dan Sila ke 5 Pancasila yakni “Kemanusiaan yang
adil dan beradab” serta “Keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia”, sehingga pemerintah mempunyai
kewajiban untuk memberikan bantuan kepada
korban tindak pidana yang mengalami kerugian
dan/atau penderitaan. Bagi korban perkosaan
kompensasi sangatlah tepat mengingat kerugian
dan/atau penderitaannya cenderung sangat besar
dan berat.
81. 2. Kedua
Berdasar kontrak sosial (social contract). Dalam hal ini
pemerintah
memberikan
kompensasi
kepada
warga
negaranya karena mereka telah melaksanakan kewajiban
membayar pajak dan pungutan lainnya. Dengan
setiap
warga
negara
berhak
mendapat
demikian
perlindungan
keamanan dan jaminan hidup dari pemerintah. Apabila warga
masyarakat menjadi korban tindak pidana maka pemerintah
dianggap telah gagal dalam memenuhi kewajibannya yakni
mencegah atau melindungi warganya dari kejahatan sehingga
pemerintah memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan
kompensasi.
82. Pada hemat penulis tangggung jawab atas kegagalan
pemerintah dalam melaksanakan tugas melindungi
warganya menjadi korban kejahatan dapat disandarkan
pada Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 13
Undang-undang tersebut merumuskan tentang tugas
pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
meliputi: (a). memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; (b). menegakkan hukum; (c). memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat. Pada ketentuan huruf (c) tersebutlah
tampaknya landasan pemberian kompensasi dapat
disandarkan.
(Materi: Dr. Angkasa)
83. Macam Bentuk
Kompensasi
Kompensasi yang diterima korban dapat merupakan
pemenuhan atas harapan korban berupa:
1) Pemberian sejumlah uang;
2) Pemberian informasi tentang kemajuan penyelesaian
kasusnya;
3) Pengobatan atas luka-luka yang diderita, serta ;
4) Pemulihan emosional melalui perawatan medik bagi
korban yang megalami kegoncangan mental.
(Materi: Dr Angkasa)
84. Korban yang dapat
menerima Kompensasi
1) Korban tindak pidana yang kasusnya tidak terungkap;
2) Korban tindak pidana yang pelakunya tidak tertangkap
atau melarikan diri;
3) Korban tindak pidana yang pelakunya tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara pidana;
4) Korban
dunia;
tindak pidana yang pelakunya meninggal
85. 5) Korban tindak pidana yang pelakunya tidak dalam posisi
yang mampu untuk membayar yang disebabkan karena
masih muda dan belum berpenghasilan, pelakunya secara
ekonomi sangat tidak mampu;
6) Korban sangat
menginginkan
dan membutuhkan
mendapat kompensasi;
7) Korban tidak dalam posisi mendapat pertanggungan dari
program asuransi. Dasar pemikirannya adalah
program
kompensasi tidak dimaksudkan menjadikan seseorang
lebih diuntungkan.
(Materi: Dr. Angkasa)
86. Manfaat Kompensasi
1) Kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang dapat
dirasakan oleh korban sebagai hal yang sangat bermanfaat
dan dapat diibaratkan sebagai obat panacea;
2) Kompensasi juga dirasakan lebih memenuhi rasa keadilan
terutama bagi korban tindak pidana yang pelakunya tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatannya
sebagaimana diatur dalam hukum pidana; pelakunya belum
atau tidak tertangkap; pelakunya melarikan diri; pelakunya
meninggal dunia; tindak pidana yang kasusnya
tidak
terungkap; serta pelakunya dalam posisi yang tidak mampu
membayar restitusi;
3) Kompensasi dapat menumbuhkan rasa kepercayaan dan
penghormatan bagi korban terhadap pemerintah yang
dirasakan turut peduli dan bertanggungjawab terhadap
warganya yang mengalami kerugian dan/atau penderitaan
sebagai korban tindak pidana.
(M: Dr. Angkasa)
87. Stefen Scrafer
Kompensasi lebih bersifat keperdatataan
yang timbul dari permintaan korban dan dibayar
oleh
masyarakat/negara/sebagai
bentuk
pertanggungjawaban masyarakat/negara
Restitusi lebih bersifat pidana yang timbul
dari putusan pengadilan pidana dan dibayar
oleh
terpidana/
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban terpidana
-Rani-
88. 5 Sistem pemberian Restitusi dan Kompensasi
kepada korban kejahatan:
1. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui
proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban
dari proses pidana.
2) Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses
pidana.
3) Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana,
dan diberikan dalam proses pidana.
4) Kompensasi yang bersifat perdata diberikan melalui proses pidana,
dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara.
5) Kompensasi yang bersifat netral diberikan melalui prosedur khusus.
-Rani-
90. Korporasi mempunyai kekuatan yang besar,
sehingga aktivitas kejahatannya sering ditanggapi
secara diskriminatif.
Sering kegiatan aktivitas illegal korporasi (WCC)
tidak
ditanggapi
sebagai
kejahatan
(Hanya
merupakan musibah) dan mereka tidak menyadari
bahwa telah menjadi korban.
Terdapat keengganan korban untuk melapor
karena tidak tahu harus kemana melapor dan merasa
sulit untuk membuktikan.
(Materi: Dr. Angkasa)
91. Walau sulit untuk mengukur korban korporasi
tetapi bukanlah berarti tidak mungkin. Caranya
dengan Victim Survey dan pencatatan kerugian
aktivitas kejahatan korporasi.
Realitanya korban kejahatan korporasi sangatlah
besar. Misalnya ditemukan 330.0000 kecelakaan
kerja yang disebabkan oleh kondisi tempat bekerja.
Perbandingannya
7:1
dengankejahatan
konvensional.
(Materi: Dr. Angkasa)
92. Korporasi juga terlibat dalam pemasaran
produk yang tidak teruji secara memadai (12:1
dibandingkan dengan kejahatan konvensional)
Kesimpulannya
bahwa
masyarakat
lebih
berisiko menjadi korban kejahatan korporasi
dibandingkan dengan kejahatan konvensional.
(Materi: Dr. Angkasa)
93. Korban North Sea Oil menewaskan 160
orang dianjuangan piper Alpha. Penyebabnya
tidak
cermatnya
lolos
uji
keamanan
(Dipaksakannya para pekerja untuk berada
dalam situsi kerja yang membahayakan, yang
sebenarnya dapat dihindari dan dicegah).
Korban korporasi pada industri farmasi
pada kasus “THALIDOMIDE” Tahun 1960’an
mengakibatkan setidaknya 8.000 anak cacat.
(Materi: Dr. Angkasa)
94. Kejahatan korporasi di bidang Farmasi dilakukan
dengan penyuapan petugas kontrol, kecurangan dalam
pengujian obat, periklanan yang menyesatkan dan
penyuapan terhadap para medik.
Namun
demikian,
penegakan
hukum
terhadap kejahatan korporasi tetap sulit karena:
kadang tidak tampak sebagai kejahatan, korban
memandang hanya sebagai kesialan, korban
pasif, korban tidak tahu harus kemana melapor,
sulit pembuktiannya di samping kekuatan
kapitalisme, serta adanya kolusi antara
korporasi dengan petugas.
(Materi: Dr. Angkasa)
96. Viktimologi tidak hanya mencangkup korban dan
pelaku kejahatan saja. Namun, juga meliputi orang yang
ada disekitarnya tempat kejadian dan saksi.
Intervensi Bystander secara langsung maupun tidak
telah memberikan keuntungan tidak saja bagi korban
tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Viktimologi harus memperluas cakupannya dengan
memasukan tidak hanya korban dan pelaku kejahatan
saja tetapi juga Bystander.
(Materi: Dr. Angkasa)
97. MACAM BYSTANDER
Dapat dibedakan:
1. Terlibat secara tidak langsung (hanya
melaporkan kejahatan kepada Polisi)
2. Terlibat secara langsung (Turut menolong
korban saat terjadinya tindak pidana)
Kedua
macam
memberikan
Bystander
manfaat
bagi
ini
sama-sama
korban
dan
masyarakat.
(Materi: Dr. Angkasa)
98. MANFAAT BYSTANDER
1. Pertolongan
korban
pelacakan
(Polisi
dapat
menemukan pelaku kejahatan dengan cepat dengan
melcak berdasarkan informasi Bystander);
2. Meningkatkan akurasi statistik kriminal (meningkatnya
intervensi warga negara akan mendorong pada
informasi yg lebih akurat mengenai angka kejahatan);
3. Pencegahan
kejahatan
(intervensi
masyarakat
meciptakan atmosfer yg tidak kondusif bagi aktivitas
kriminal kohesivitas sosial – angka keterlibatan
Bystander akan meningkatkan indeks kebersamaan
sosial)
(Materi: Dr. Angkasa)
100. Von Hentig:
Dalam beberapa hal korban membentuk dan mencetak
kejahatan dan penjahatnya
Untuk
memahami
sifat
dan
cakupan
kejahatan
perampokan bersenjata di Nigeria, sangat prnting kiranya
dipelajari seluruh aspek korban yg dapat dianggap dapat
bertanggung jawab atas viktimisasi.
Ellenberger
mempunyai
padangan
bahwa
apabila
terdapat kriminogenesis (faktor mendorong munculnya
kejahatan), maka di sana pula terdapat viktimogenesis
(faktor yg menggerakan sesorang menjadi korban).
(Materi: Dr. Angkasa)
101. Kontribusi Korban pada
Kejahatan Perampokan Bersenjata di Nigeria
“Dalam beberapa kejadian perampokan,
tampak
bahwa
para
korban
karena
tingkah lakunya sendiri telah menarik
perhatian si perampok”
102. Bentuk Andil Korban
- Memamerkan kekayaan peran “Good Samaritan”
(Orang yang suka menolong)
- Bahaya profesi;
- Kecerobohan berbicara;
- Tidak hati-hati dengan harta milik;
- Mudah percaya pada orang asing;
-Kesalahan petugas bank
(Materi: Dr.Angkasa)
104. Pengertian
* Perlindungan
Segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada Saksi & Korban yg
wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya yg
sesuai dg ketentuan UU ini (Pasal 1 (6))
* Saksi
Orang yg dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/ia alami sendiri (Pasal 1
(1))
* Korban
Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana (Pasal 1 (2))
- Rani-
105. Urgensi Perlindungan Saksi
& Korban
Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering
mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi/dan
Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari
pihak tertentu;
Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana
selama ini kurang mendapatkan perhatian masyarakat dan penegak
hukum;
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi
Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam
proses peradilan pidana
-Rani-
106. ASAS dan Tujuan
ASAS:
a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
b. Rasa aman;
c. Keadilan;
d. Tidak diskriminatif;
e. Kepastian hukum
TUJUAN
Perlindungan S&K bertujuan memberikan rasa aman
kpd S&/K dalam memberikan keterangan pd setiap proses
peradilan pidana.
- Rani-
107. Syarat Pemberian
Perlindungan Saksi & Korban
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi &/Korban
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dlm Pasal 5 ayat (2)
diberikan dg pertimbangan syarat:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi &/Korban;
b. Tingkat
ancaman
yg
membahayakan
Saksi&/Korban;
c. Hasil
analisis
tim
medis/psikolog
terhadap
Saksi&/Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yg pernah dilakukan oleh
Saksi&/Korban. (Pasal 28)
- Rani-
108. Hak Saksi&Korban
* Seorang
saksi dan korban berhak:
a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c) memberikan keterangan tanpa tekanan;
d) mendapat penerjemah;
e) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
109. h) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i) mendapat identitas baru;
j) mendapatkan tempat kediaman baru;
k) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai
dengan kebutuhan;
l) mendapat nasihat hukum;
m) dan/atau
memperoleh
bantuan
biaya
hidup
sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir. (Pasal 5 ayat 1)
Diberikan kpd S&/K tindak pidana dlm kasus-kasus
tertentu sesuai dg keputusan LPSK. (Pasal 5 ayat 2)
110. * Korban dalam pelanggaran HAM yang berat selain
berhak atas hak sebagaimana dimaksud dlm Pasal 5,
juga berhak utk mendapatkan:
a. Bantuan medis;
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial. (Pasal 6)
* Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke
pengadilan berupa:
a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran
HAM yang berat;
b. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yg menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana. (Pasal 7)
111. * (1) Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada
dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan
hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir
langsung di pengadilan tempat perkara tersebut
sedang diperiksa;
(2) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara
tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang
berwenang dan membubuhkan tanda tangannya
pada berita acara yang memuat kesaksiaannya
tersebut;
(3) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara
langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 9)
112. (1) Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum baik pidana maupun perdata, atas laporan,
kesaksian yang akan datang, sedang, atau telah
diberikannya;
(2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang
sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang
akan dijatuhkan;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang tidak
memberikan tidak dengan itikad baik. (Pasal 10)
- Rani-
113. Tata cara Pemberian
Perlindungan
a. Saksi &/Korban, baik atas inisiatif sendiri maupun atas
permintaan
pejabat
yg
berwenang
mengajukan
permohonan scr tertulis kpd LPSK;
b.
LPSK
segera
melakukan
pemeriksaan
terhadap
permohonan;
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat
7 hari sejak permohonan perlindungan diajukan. (Pasal
29)
- Rani-
114. * (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan
S&/K, S&/K menandatangi pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan S&/K;
(2) Penyataan kesediaan, memuat:
a. Kesediaan S&/K utk memberikan kesaksian dlm
proses peradilan;
b. ---menaati
aturan
yg
berkenaan
dg
keselamatannya;
c. --- tidak berhubungan dg cara apapun dg orang
lain selain atas persetujuan LPSK selama ia
berada dlm perlindungan LPSK;
d. --- tidak memberitahukan kepada siapa pun
mengenai keberadaannya di bawah perlindungan
LPSK;
e. Hal-hal lain yg dianggap perlu olh LPSK
(Pasal 30)
115. * LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada
S&/K, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya
pernyataan kesedian sebagaimana dimaksud dlm Pasal 30.
(Pasal 31)
* Penghentian Perlindungan atas Keamanan S&/K:
1. S&/K
meminta agar perlindungan trhdpnya
dihentikan dlm hal permohonan diajukan atas
inisiatif sendiri;
2. Atas pemrintaan pejabat yg berwenang dlm hal
permintaan perlindungan trhdp S&/K berdasarkan
atas permintaan pejabat yg bersangkutan;
3. S&K melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dlm
perjanjian;
4. LPSK berpendapat bahwa S&/K tidak lagi
memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti
yg menyakinkan. (Pasal 32 ayat 1)
- Rani-
116. Tata cara Pemberian
Bantuan
* Bantuan sebagaimana dimaksud dlm Pasal 6 diberikan kepada
seorang S&/K atas permintaan tertulis dri yg bersangkutan atau
pun orang yang mewakilinya kpd LPSK. (Pasal 33)
* 1. LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kpd S&/K;
2. Dalam hal S&/K layak diberi bantuan, LPSK menentukan
jangka waktu dan besaran biaya yg diperlukan. (Pasal 34)
* Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kpd S&/K harus
diberitahukan secara tertulis kpd yg bersngkutan paling lama 7
hari sejak diterimanya permintaan tersebut. (Pasal 35).
- Rani-
117. Kerjasama
1. Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan
bantuan, LPSK dapat bekerjasama dg instansi terkait
yg berwenang;
2. Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan,
instansi terkait sesuai dg kewenangannya wajib
melaksanakan keputusan LPSK sesuai dg ketentuan
yang diatur dlm UU ini. (Pasal 36)
- Rani-
119.
Restorative Justice adalah suatu respon terhadap tindak
pidana yang menitik beratkan pada pemulihan korban yang
menderita kerugian, memberikan pengertian kepada pelaku
untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang mereka
lakukan, dan membangun masyarakat yang damai.
Restorative Justice dapat digambarkan sebagai suatu
tanggapan kepada perilaku kejahatan untuk memulihkan
kerugian yang diderita oleh para korban kejahatan dan untuk
memudahkan perdamaian antar pihak-pihak yang saling
bertentangan
(Kevin I. Minor and J. T. Morrison. 1996. "A Theoretical Study and Critique of
Restorative Justice." In Restorative Justice: International Perspectives, edited
by Burt Galaway and Joe Hudson. Monsey, NY; Amsterdam, The
Netherlands: Criminal Justice Press and Kugler Publications)
120. Tony Marshall:
Restorative justice sebagai suatu proses di
mana semua pihak yang berhubungan datang
berkumpul untuk memutuskan solusi secara
bersama akibat dan pengaruhnya pada masa
depan.
121. Hudson Joe:
Restorative justice mempunyai kaitan hubungan yang
lebih luas antara pelaku, korban dan masyarakat. Semua
pihak dilibatkan dalam penyelesaian masalah dan berdamai.
Kejahatan dilihat lebih dari sekedar suatu pelanggaran
hukum pidana. Sebagai gantinya, fokusnya diberikan pada
korban dan masyarakat dan masing-masing mempunyai
peran dalam menanggapi suatu kejahatan yang diperbuat.
Sebagai hasil pertemuan dengan korban, pelaku diharapkan
untuk mendapatkan satu pemahaman tentang konsekuensi
dari perilaku mereka sehingga dapat merasakan suatu
penyesalan”
122. Burt Galaway and Joe Hudson, bahwa definisi
restorative justice meliputi beberapa unsur pokok,
antara lain:
"Pertama, kejahatan dipandang sebagai suatu
konflik antara individu yang dapat mengakibatkan
kerugian pada korban, masyarakat, maupun pelaku
itu sendiri; Kedua, tujuan dari proses peradilan
pidana harus menciptakan perdamaian dalam
masyarakat, semua pihak dan mengganti kerugian
yang disebabkan oleh perselisihan tersebut;
Ketiga, proses peradilan pidana memudahkan
peranan korban, pelaku, dan masyarakat untuk
menemukan solusi dari konflik itu.
123. Manfaat
dengan mengunakan restoratif justice, di mana
restorative justice dalam memperbaiki sistem peradilan pidana
biasa mempunyai manfaat sebagai berikut:
Memandang tindakan kejahatan dengan penuh pemahaman:
tidak hanya mengetahui pengertian dari kejahatan, tetapi
juga mengenali bahwa pelaku, korban kejahatan, masyarakat
dan bahkan dirinya sendiri;
Melibatkan banyak pihak: dengan cara memberikan kepada
pemerintah, pelaku, korban maupun masyarakat untuk ikut
berperan aktif;
Mengukur
kesuksesan dengan cara yang berbeda:
dibandingkan dengan hanya memberikan hukuman yang
berat,
tetapi
berusaha
untuk
memperbaiki
atau
mencegahnya;
Memberikan pengertian tentang arti pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam menanggapi dan mengurangi kejahatan,
sehingga pemerintah tidak mengatasi kejahatan sendirian.
124. UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak
* “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan
pendekatan Keadilan Restoratif” Pasal 5 ayat (1)
(Ayat 3 wajib diversi)
* Keadilan restoratif adalah “Penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan”. Pasal 1 angka (6)
* Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana 1 (7)