Dokumen tersebut membahas tentang metodologi penelitian biodiversitas serangga hama tanaman sawit jenis rayap. Penelitian ini menggunakan desain faktorial dengan dua faktor yaitu jumlah nematoda Steinernema carpocapsae dan kepadatan rayap. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah nematoda dan waktu infeksi menyebabkan kenaikan mortalitas rayap. Nematoda tersebut berpotensi sebagai agen hayati untuk mengendalikan
Laporan praktikum ini membahas interaksi antara hama dan tanaman pada tanaman padi dan jagung. Pada tanaman padi, hama belalang menyerang dengan cara menggigit daun dari pinggir ke tengah, menyebabkan kerusakan sebesar 45%. Sedangkan pada tanaman jagung, hama ulat penggulung daun menyerang dengan cara menggulung dan memakan daun di dalam gulungan, menimbulkan kerusakan 18,75%.
Makalah ini membahas tentang OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) pada tiga tanaman yaitu jarak, karet, dan kelapa sawit. Pada jarak, OPT utamanya adalah Ferrisia virgata (kutu putih) yang menyerang bagian pucuk, buah, dan daun. Pada karet, OPT yang diulas adalah Oidium heveae yang menyebabkan penyakit embun tepung, serta Corynespora cassiicola yang menyebabkan penyakit gugur daun.
Hubungan kerapatan dan panjang trikoma daun kacang tanah terhadap preferensi peletakan telur kutu kebul. Penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara kerapatan trikoma dengan jumlah telur yang diletakkan, dan hubungan positif antara panjang trikoma dengan jumlah telur. Kutu kebul cenderung meletakkan telur pada daun yang memiliki trikoma lebih rapat dan panjang.
Dokumen tersebut membahas tentang Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu pada tanaman kedelai. Ia menjelaskan tentang botani tanaman kedelai, syarat tumbuhnya, hama utama yaitu ulat grayak (Spodoptera litura), siklus hidupnya, dan gejala serangannya. Sekolah lapangan ini bertujuan meningkatkan pengetahuan petani tentang pengendalian hama secara terpadu dan berwawasan lingkungan.
Laporan praktikum ini membahas interaksi antara hama dan tanaman pada tanaman padi dan jagung. Pada tanaman padi, hama belalang menyerang dengan cara menggigit daun dari pinggir ke tengah, menyebabkan kerusakan sebesar 45%. Sedangkan pada tanaman jagung, hama ulat penggulung daun menyerang dengan cara menggulung dan memakan daun di dalam gulungan, menimbulkan kerusakan 18,75%.
Makalah ini membahas tentang OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) pada tiga tanaman yaitu jarak, karet, dan kelapa sawit. Pada jarak, OPT utamanya adalah Ferrisia virgata (kutu putih) yang menyerang bagian pucuk, buah, dan daun. Pada karet, OPT yang diulas adalah Oidium heveae yang menyebabkan penyakit embun tepung, serta Corynespora cassiicola yang menyebabkan penyakit gugur daun.
Hubungan kerapatan dan panjang trikoma daun kacang tanah terhadap preferensi peletakan telur kutu kebul. Penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara kerapatan trikoma dengan jumlah telur yang diletakkan, dan hubungan positif antara panjang trikoma dengan jumlah telur. Kutu kebul cenderung meletakkan telur pada daun yang memiliki trikoma lebih rapat dan panjang.
Dokumen tersebut membahas tentang Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu pada tanaman kedelai. Ia menjelaskan tentang botani tanaman kedelai, syarat tumbuhnya, hama utama yaitu ulat grayak (Spodoptera litura), siklus hidupnya, dan gejala serangannya. Sekolah lapangan ini bertujuan meningkatkan pengetahuan petani tentang pengendalian hama secara terpadu dan berwawasan lingkungan.
1. Laporan fieldtrip meninjau hama penyakit tanaman wortel di Garut
2. Salah satu penyakit yang diamati adalah Cercospora sp yang menyebabkan bercak daun
3. Pengendalian menggunakan varietas tahan, sanitasi, rotasi tanaman dan fungisida
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya tanaman wortel, mulai dari deskripsi tanaman wortel, jenis-jenisnya, manfaat, syarat tumbuh, pedoman budidaya, hama dan penyakit, serta panen dan pasca panen. Dokumen ini memberikan informasi mendetail tentang proses budidaya wortel dari awal hingga akhir.
Dokumen tersebut memberikan informasi tentang tanaman sansevieria trifasciata, mulai dari klasifikasi sistematis, morfologi, kebutuhan lingkungan, media tanam, pemupukan, perawatan, dan teknik perbanyakan. Beberapa teknik perbanyakan yang disebutkan antara lain pemisahan anakan, stek daun, potong pucuk, dan kultur jaringan. [/ringkasan]
Serangga hama gudang yang ditemukan dalam dokumen tersebut adalah Tenebrio molitor, Tenebrio obscures, Sitophilus oryzae, Cylas formicarius, dan Callosobruchus chinensis. Serangga-serangga tersebut merupakan hama utama pada berbagai komoditas pangan penyimpanan seperti dedak, kedelai, beras, ubi jalar, dan kacang hijau.
Jurnal ini membahas tentang pengenalan ordo Lepidoptera khususnya ulat api (Setora nitens). Ulat api termasuk famili Limacodidae dari ordo Lepidoptera. Ulat ini tidak berkaki meskipun memiliki struktur mirip mangkuk pengisap di bagian ventral. Ulat api merupakan hama penting tanaman kelapa sawit.
Blas (pyricularia oryzae) merupakan penyakit yang sering menyerang tanaman padi sehingga menyebabkan kerusakan dan menimbulkan kerugian yang parah. penyakit blas dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida nabati.
Praktikum ini bertujuan untuk menguji efektivitas ekstrak kencur sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama kecoa. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak kencur tidak efektif membunuh kecoa, meskipun kecoa menjadi lemas setelah terkena ekstrak."
Ringkasan singkat dari dokumen tersebut adalah:
1) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik jaringan daun khususnya ketebalan epidermis dengan tingkat serangan penyakit blas pada beberapa genotipe padi.
2) Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe padi yang memiliki epidermis daun lebih tebal cenderung lebih tahan terhadap serangan penyakit blas dibandingkan gen
Sansevieria merupakan tanaman yang populer dikenal masyarakat sebagai tanaman penghias ruangan dan taman obat. Tanaman ini dijuluki tanaman sukulen, karena memiliki daun yang banyak mengandung air untuk bertahan hidup dan dapat tumbuh pada media yang tingkat kesuburannya rendah, serta tahan dengan media kering, dan hidup di banyak kondisi suhu udara. Sansevieria dapat diperbanyak secara vegetatif dengan pemisahan anakan, stek daun, menumbuhkan tunas rimpang, serta dengan kultur jaringan.
Makalah ini membahas tentang tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain) dengan menjelaskan taksonominya, morfologi, syarat tumbuh, teknik budidaya, hama dan penyakit, serta keunggulannya. Lidah mertua merupakan tanaman hias yang tahan suhu ekstrem, kekeringan, dan mampu hidup di berbagai kondisi.
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya cacing tanah, termasuk jenis-jenis cacing tanah yang dibudidayakan, persyaratan lokasi dan teknis budidayanya. Cacing tanah dibudidayakan karena memiliki berbagai manfaat untuk pertanian, pakan ternak, obat-obatan, dan kosmetik. Sentra peternakan cacing terbesar berada di Jawa Barat khususnya Bandung-Sumedang.
Ringkasan dokumen:
Jurnal ini membahas pengenalan dua jenis serangga dari ordo Hemiptera yaitu Leptocorixa acuta (walang sangit) dan Nezara viridula (kepik hijau). Dibahas morfologi, siklus hidup, gejala serangan, dan pengendaliannya terhadap tanaman padi dan kedelai. Praktikum dilaksanakan di laboratorium dengan mengamati morfologi masing-masing serangga.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai budidaya tanaman talas, mulai dari sejarah, jenis, manfaat, sentra penanaman, syarat pertumbuhan, pedoman budidaya meliputi pembibitan, pengolahan lahan, teknik penanaman, dan lain sebagainya."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang hama dan penyakit utama pada beberapa tanaman perkebunan seperti kakao, kopi, teh, dan lada beserta penjelasan mengenai klasifikasi, morfologi, siklus hidup, gejala, dan cara pengendaliannya.
1. Laporan fieldtrip meninjau hama penyakit tanaman wortel di Garut
2. Salah satu penyakit yang diamati adalah Cercospora sp yang menyebabkan bercak daun
3. Pengendalian menggunakan varietas tahan, sanitasi, rotasi tanaman dan fungisida
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya tanaman wortel, mulai dari deskripsi tanaman wortel, jenis-jenisnya, manfaat, syarat tumbuh, pedoman budidaya, hama dan penyakit, serta panen dan pasca panen. Dokumen ini memberikan informasi mendetail tentang proses budidaya wortel dari awal hingga akhir.
Dokumen tersebut memberikan informasi tentang tanaman sansevieria trifasciata, mulai dari klasifikasi sistematis, morfologi, kebutuhan lingkungan, media tanam, pemupukan, perawatan, dan teknik perbanyakan. Beberapa teknik perbanyakan yang disebutkan antara lain pemisahan anakan, stek daun, potong pucuk, dan kultur jaringan. [/ringkasan]
Serangga hama gudang yang ditemukan dalam dokumen tersebut adalah Tenebrio molitor, Tenebrio obscures, Sitophilus oryzae, Cylas formicarius, dan Callosobruchus chinensis. Serangga-serangga tersebut merupakan hama utama pada berbagai komoditas pangan penyimpanan seperti dedak, kedelai, beras, ubi jalar, dan kacang hijau.
Jurnal ini membahas tentang pengenalan ordo Lepidoptera khususnya ulat api (Setora nitens). Ulat api termasuk famili Limacodidae dari ordo Lepidoptera. Ulat ini tidak berkaki meskipun memiliki struktur mirip mangkuk pengisap di bagian ventral. Ulat api merupakan hama penting tanaman kelapa sawit.
Blas (pyricularia oryzae) merupakan penyakit yang sering menyerang tanaman padi sehingga menyebabkan kerusakan dan menimbulkan kerugian yang parah. penyakit blas dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida nabati.
Praktikum ini bertujuan untuk menguji efektivitas ekstrak kencur sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama kecoa. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak kencur tidak efektif membunuh kecoa, meskipun kecoa menjadi lemas setelah terkena ekstrak."
Ringkasan singkat dari dokumen tersebut adalah:
1) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik jaringan daun khususnya ketebalan epidermis dengan tingkat serangan penyakit blas pada beberapa genotipe padi.
2) Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe padi yang memiliki epidermis daun lebih tebal cenderung lebih tahan terhadap serangan penyakit blas dibandingkan gen
Sansevieria merupakan tanaman yang populer dikenal masyarakat sebagai tanaman penghias ruangan dan taman obat. Tanaman ini dijuluki tanaman sukulen, karena memiliki daun yang banyak mengandung air untuk bertahan hidup dan dapat tumbuh pada media yang tingkat kesuburannya rendah, serta tahan dengan media kering, dan hidup di banyak kondisi suhu udara. Sansevieria dapat diperbanyak secara vegetatif dengan pemisahan anakan, stek daun, menumbuhkan tunas rimpang, serta dengan kultur jaringan.
Makalah ini membahas tentang tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain) dengan menjelaskan taksonominya, morfologi, syarat tumbuh, teknik budidaya, hama dan penyakit, serta keunggulannya. Lidah mertua merupakan tanaman hias yang tahan suhu ekstrem, kekeringan, dan mampu hidup di berbagai kondisi.
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya cacing tanah, termasuk jenis-jenis cacing tanah yang dibudidayakan, persyaratan lokasi dan teknis budidayanya. Cacing tanah dibudidayakan karena memiliki berbagai manfaat untuk pertanian, pakan ternak, obat-obatan, dan kosmetik. Sentra peternakan cacing terbesar berada di Jawa Barat khususnya Bandung-Sumedang.
Ringkasan dokumen:
Jurnal ini membahas pengenalan dua jenis serangga dari ordo Hemiptera yaitu Leptocorixa acuta (walang sangit) dan Nezara viridula (kepik hijau). Dibahas morfologi, siklus hidup, gejala serangan, dan pengendaliannya terhadap tanaman padi dan kedelai. Praktikum dilaksanakan di laboratorium dengan mengamati morfologi masing-masing serangga.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai budidaya tanaman talas, mulai dari sejarah, jenis, manfaat, sentra penanaman, syarat pertumbuhan, pedoman budidaya meliputi pembibitan, pengolahan lahan, teknik penanaman, dan lain sebagainya."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang hama dan penyakit utama pada beberapa tanaman perkebunan seperti kakao, kopi, teh, dan lada beserta penjelasan mengenai klasifikasi, morfologi, siklus hidup, gejala, dan cara pengendaliannya.
Dokumen tersebut membahas mengenai rumpai yang merupakan masalah utama dalam industri kelapa sawit. Terdapat empat metode pengelolaan rumpai yaitu manual, mekanikal, biologi, dan kimia. Dokumen ini juga menjelaskan delapan jenis rumpai umum yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit beserta ciri-cirinya.
Dokumen tersebut membahas tentang pengendalian hama terpadu pada tanaman kedelai. Secara ringkas:
1. Kedelai menghadapi ancaman serius dari berbagai jenis hama yang dapat menurunkan hasil hingga 80%
2. Pengendalian hama idealnya dilakukan secara terpadu dengan memanfaatkan mekanisme alami ekosistem untuk menekan populasi hama
3. Beberapa hama penting yang sering menyerang kedelai meliputi l
Dokumen tersebut membahas tentang hama dan penyakit pada tanaman kelapa sawit beserta cara pengendaliannya. Jenis-jenis hama yang dijelaskan antara lain tungau merah, ulat api, nematoda, kumbang oryctes rhinoceros, dan penggerek tandan buah. Sedangkan jenis penyakitnya meliputi akar blast disease, garis kuning pada daun, batang dry basal rot, dan busuk tandan. Diberikan pula penjelasan tentang alat pen
Dokumen tersebut membahas tentang hama dan penyakit tanaman padi, khususnya empat jenis penggerek batang padi (Scirpophaga incertulas, Scirpophaga innotata, Chilo suppressalis, Sesamia inferens) dan wereng coklat. Dibahas siklus hidup, ciri-ciri, gejala kerusakan, dan pengendaliannya secara fisik, hayati, dan kimiawi. [/ringkasan]
Dokumen tersebut membahas penyakit-penyakit kelapa sawit eksotik yang belum ditemukan di Indonesia namun berpotensi masuk melalui impor kecambah. Penyakit-penyakit tersebut adalah penyakit layu fusarium, penyakit cincin merah, penyakit bintik daun, dan penyakit cadang-cadang. Penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan kerugian besar bagi sektor kelapa sawit Indonesia jika sampai
Dokumen tersebut membahas tentang pengenalan berbagai jenis jamur dan cendawan serta cara-cara pengendalian penyakit yang disebabkan oleh jamur tersebut. Disebutkan jenis-jenis jamur seperti Pythium spp., Fusarium lycopersicum, Gliocladium spp., Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, dan Sclerotium rolfsii beserta karakteristik masing-masing. Metode pengendalian penyakit yang disebutkan antara l
Dokumen tersebut membahas tentang parasit Loa-loa yang menyebabkan loaiasis. Hospes perantara parasit ini adalah lalat Chrysops, sedangkan hospes definitifnya adalah manusia. Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan gejala, namun kehadiran cacing dewasa dapat menyebabkan gangguan pada mata dan hidung bahkan ensefalitis jika masuk ke otak. Diagnosa didasarkan pada temuan mikrofilaria atau cacing dewasa d
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...nasrudienaulia
Dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Talcott Parsons, konsep struktur sosial sangat erat hubungannya dengan kulturalisasi. Struktur sosial merujuk pada pola-pola hubungan sosial yang terorganisir dalam masyarakat, termasuk hierarki, peran, dan institusi yang mengatur interaksi antara individu. Hubungan antara konsep struktur sosial dan kulturalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pola Interaksi Sosial: Struktur sosial menentukan pola interaksi sosial antara individu dalam masyarakat. Pola-pola ini dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang diinternalisasi oleh anggota masyarakat melalui proses sosialisasi. Dengan demikian, struktur sosial dan kulturalisasi saling memengaruhi dalam membentuk cara individu berinteraksi dan berperilaku.
2. Distribusi Kekuasaan dan Otoritas: Struktur sosial menentukan distribusi kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat juga memengaruhi bagaimana kekuasaan dan otoritas didistribusikan dalam struktur sosial. Kulturalisasi memainkan peran dalam melegitimasi sistem kekuasaan yang ada melalui nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
3. Fungsi Sosial: Struktur sosial dan kulturalisasi saling terkait dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya dan norma-norma yang terinternalisasi membentuk dasar bagi pelaksanaan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat.
Dengan demikian, konsep struktur sosial dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Parsons tidak dapat dipisahkan dari kulturalisasi karena keduanya saling berinteraksi dan saling memengaruhi dalam membentuk pola-pola hubungan sosial, distribusi kekuasaan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat.
Materi ini membahas tentang defenisi dan Usia Anak di Indonesia serta hubungannya dengan risiko terpapar kekerasan. Dalam modul ini, akan diuraikan berbagai bentuk kekerasan yang dapat dialami anak-anak, seperti kekerasan fisik, emosional, seksual, dan penelantaran.
Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))
1. TUGAS METODOLOGI PENELITIAN
BIODIVERSITAS SERANGGA HAMA TANAMAN SAWIT (RAYAP)
Oleh
Kelompok 1 :
1. Inne Tiara Anggita (12222049)
2. Istiroha (12222052)
3. Karta Dikarya (12222053)
4. Liskawina (12222061)
5. Lola Hardede (12222062)
6. M. Mubin Ardiansyah (12222064)
7. Mega Destriani (12222067)
Dosen Pembimbing
Drs. Irham Falahudin, M.Si
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2015
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1990, di ketahui adanya tanaman kelapa sawit terserang rayap, rayap
ini di kenal dengan nama Captotermes curvignathus. Rayap ini memang banyak di
temukan di Indonesia dan merupakan serangga perusak kayu bangunan (Kalshoven,
1981). Serangan rayap ini terjadi karena pembukaan areal dengan sistem bakar ringan
(light burning), yang meninggalkan banyak kayu yang tidak habis terbakar
(Prawirosoekarto, 1991). Sisa pembakaran dan tunggul kayu tersebut merupakan bahan
pakan dan sarang yang cocok untuk rayap.
Berbagai upaya oleh pihak perkebunan telah di lakukan untuk mengendalikan
rayap seperti cara kimiawi dan mekanis. Aplikasi insektisida dengan penyemprotan dan
fumigasi ke dalam sarang sudah sejak lama dikenal untuk mengendalikan rayap tanah.
Kedua teknik ini merupakan cara termudah dan efektif untuk mengendalikan rayap yang
bersarang di dalam tanah. Berbeda dengan rayap yang menyerang tanaman dan bersarang
di dalamnya, maka teknik penggunaan insektisida perlu pertimbangan khusus.
Pengendalian dengan cara mekanis, seperti merusak dan menggali timbunan sarang dan
mengambil ratu dari sarang merupakan salah satu upaya yang baik, namun sulit di
lakukan karena untuk menemukan ratu Captotermes curvignathus dalam tanaman kelapa
sawit atau tunggul kayu merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Rayap dari jenis Coptotermes curvignathus merupakan masalah hama yang serius
terutama pada perkebunan kelapa sawit di tanah gambut. Pengolahan lahan sebelum
penanaman yang tidak sempurna dan kandungan bahan organik yang tersedia cukup
banyak akan menyebabkan rayap berkembang secara cepat.
Pada tanaman muda, rayap akan mulai menyerang mulai dari pangkal pelepah dan
naik sampai daun tombak. Serangan rayap dapat terdeteksi dengan adanya alur-alur
tanah berwarna hitam basah pada bagian pangkal pelepah sampai daun tombak.
Apabila alu-alur itu dirusak makan akan dijumpai rayap yang masih aktif.
Selanjutnya rayap akan menyerang jaringan tanaman yang masih muda yaitu bagian
pangkal daun tombak, akibatnya daun muda akan mati. Serangan rayap pada jaringan
3. muda dapat menyebabkan infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri sehingga titik
tumbuh busuk dan mati.
4. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan dari bulan Nopember 1998 Pebruari 1999. Penelitian menggunak
an Rancangan Acak Lengkap Faktorial (4x4) dengan 5 ulangan. Faktor yang diteliti
adalah jumlah nematode muda fase infektif atau disebut juga dengan dauer yang terdiri
atas 1) faktor pertama adalah jumlah dauer S. carpocapsae : N0 = pembanding, N1= >
100 - < 150, N2 = >151 – < 200, N3 = > 201 - < 250, dan N4 = > 251 - < 300; 2) faktor
kedua adalah kepadatan rayap : R1 = 20, R2 = 40, R3 = 60, dan R4 = 80 ekor yang terdiri
dari kasta prajurit dan pekerja dengan perbandingan yang sama. Nematoda S.
carpocapsae ini pada awalnya diperoleh dari Research Center of Antibes, National
Institute of Agronomic Research, France (INRA) dan diperbanyak di laboratorium Hama
Fakultas Pertanian USU dengan menggunakan ulat Thirataba rufivena.
Bahan yang digunakan adalah nematoda S. carpocapsae, rayap C.curvignathus
yang terdiri dari kasta pekerja dan prajurit, ulat Thirataba rufivena (ulat buah sawit),
aquadest, dan kain kassa. Alat yang digunakan adalah petridish ukuran diameter 9 cm
dengan tinggi 1,5 cm, hand counter, pipet, kotak plastik ukuran 15 cm x 10 cm x 8 cm.
Nematoda diperbanyak terlebih dahulu dengan menggunakan ulat bambu T. rufivena.
Ulat ini mudah diperoleh dan banyak diperjualbelikan di pasar sebagai pakan burung.
Ulat diletakkan sebanyak 3–5 ekor ke dalam petridish kemudian ditetesi 1 ml cairan yang
berisi nematoda muda fase infektif, dibiarkan 10 sampai 20 menit. Petridish tersebut
ditutup dengan penutup petridish yang telah dilapisi dengan kertas filter yang dibasahi
dengan aquadest untuk menjaga kestabilan kelembaban dalam petridish tersebut.
Petridish ini ditempatkan pada tempat penyimpanan selama 2–3 hari. Ulat-ulat tersebut
diletakkan di atas tutup botol plastik yang telah dialasi dengan kain kassa yang diletakkan
dalam petridish tempat biakan nematoda. Ujung kain kassa tersebut menyentuh
permukaan air aquadest yang terdapat dalam petridish. S. carpocapsae fase 3 akan keluar
dari host nya untuk mencari host yang baru, sedangkan fase sebelumnya berada di dalam
tubuh host yang lama. Untuk mendorong agar nematoda lebih cepat keluar dari hostnya,
maka ditambahkan air aquadest sehingga air dalam petridish benar-benar menyentuh
5. ujung kain kassa. Cara ini digunakan untuk memudahkan nematoda keluar dari ulat
dan masuk ke dalam air. Massa dauer dalam air diambil dengan pipet dengan menghitung
jumlah nematoda yang diinginkan sesuai dengan perlakuan. Rayap diambil dari
pertanaman kelapa sawit Kebun Manduamas, Tapanuli Tengah. Untuk infestasi nematoda
digunakan toples ukuran diameter 15 cm, tinggi 20 cm yang telah dilapisi dengan kertas
filter. Kertas filter ini terlebih dahulu dibasahi dengan aquadest sampai lembab. Ke dalam
toples ini dimasukkan nematoda muda fase infektif sesuai dengan perlakuan. Setelah 10
menit kemudian, dimasukkan pula rayap sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
Pengamatan mortalitas dilakukan setelah 1, 2, 3, 4 hari setelah infestasi (HSI)
sesuai dengan metode Hatsukade (1994). Mortalitas dihitung dengan menggunakan
rumus Mortalitas = (jumlah rayap sesuai dengan perlakuan – jumlah rayap yang masih
hidup) x 100%. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan perlakuan yang
berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%.
2.2 Potensi Kerusakan
Serangan rayap pada kelapa sawit dapat terjadi sejak penanaman sampai umur 11
tahun dengan tingkat serangan dapat mencapai 5% atau 7-8 pohon/Ha. Serangan yang
tidak dilakukan pengendalian secara dini dapat menyebabkan kematian kelapa sawit.
Tanaman muda pada umumnya lebih peka dari pada tanaman tua. Selain dapat
menyebabkan kematian pohon, serangan yang tidak dikendalikan dapat menyebar ke
pohon-pohon disekelilingnya.
2.3 Habitat
Pada umumnya rayap hidup di hutan terutama di daerah rendahan dan daerah
yang mempunyai curah hujan dengan distribusi merata. Sarang-sarang dapat dijumpai
pada kayu-kayu mati yang berada diatas atau dibawah permukaan tanah. Sarang-sarang
rayap tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain hingga mencapai panjang 90 m
pada kedalaman 30-60 cm dibawah tanah.
6. Rayap merupakan serangga sosial dan dalam kelompoknya dibagi kedalam 3 kasta yaitu :
a. Pekerja : Berwarna putih kekuningan dengan ukuran panjang 5 mm
b. Prajurit : Berukuran lebih besar yaitu panjang 6-8 mm dan mempunyai mandibula
yang kuat. Apabila menggigit akan mengeluarkan cairan putih dari
bagian kepala.
c. Ratu : Panjang dapat mencapai 50 mm. Ratu mempunyai tugas utama untuk
reproduksi anggota koloni.
Rayap dapat menyebar dengan perantaraan laron dan terutama terjadi pada awal
musim penghujan, laron tersebut akan berpasangan dan akan membentuk koloni baru
ditempat lain.
2.4 Identifikasi
Pengumpulan sampel rayap dilakukan dengan teknik pengambilan secara
langsung rayap
yang ditemukan dari masing-masing sarang besar, sedang dan kecil sebanyak 25 ekor
pada kasta prajurit mayor dan prajurit minor, kemudian dilakukan pengukuran morfologi
terhadap rayap menurut Tho (1992) meliputi panjang mandibel, panjang kepala, lebar
kepala, jumlah antena.
Rayap dan jenis Coptotermes curvignathus sangat mudah dibedakan dengan rayap
dari jenis lainnya. Pada tanah gambut ataupun mineral banyak dijumpai berbagai jenis
rayap yang berasosiasi dengan kelapa sawit tetapi tidak menyebabkan kerusakan atau
kematian, sehingga tidak perlu pengendalian. Untuk membedakan rayap C. curvignathus
dengan jenis lainnya serta gejala serangannya disajikan pada tabel berikut :
Kriteria C. curvignathus Rayap Jenis Lain
1. Status Hama Merusak jaringan hidup dan
menyebabkankematian kelapa
sawit.
Tidak berbahaya, hanya merusak
melapukkan jaringan yang sudah
mati.
7. 2. Morfologi Rayap
3. Habitat
4. Pengendalian
Pekerja: berwarna kekuningan
panjang 5 mm.
Prajurit: ukuran 68 mm dengan
mandibula yang kuat dan akan
mengeluarkan cairan warna
putih dari bagian kepala saat
menggigit.
Hidup dengan membuat alur-
alur dari tanah pada pangkal
pelepah sampai daun tombak,
alur-alur ini terlihat basah
apabila rayap masih aktif.
Harus dikendalikan apabila
pohon terserang jenis rayap
ini.
Pekerja : ukuran lebih kecil dan
berwarna coklat kekuningan
Prajurit : ukuran kurang dari 6
mm dan tidak mengeluarkan
cairan putih saat menggigit.
Membuat satu jalur atau lebih
dan jalur tersebut terdiri dari
bahan-bahan organik yang sudah
lapuk.
Alur-alur tersebut hanya
terdapat pada pangkal pelepah
yang sudah tua dan tidak sampai
ke daun tombak. Walaupun
rayap masih aktif, alur-alur
tersebut tetap kering.
Tidak perlu dikendalikan pohon
yang terdapat gejala serangan
seperti point 3.
8. BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa S.carpocapsae memiliki efektifitas cukup baik
untuk mengendalikan rayap. Umumnya nematoda termasuk S. carpocapsae banyak ditemukan di
dalam tanah, sehingga diharapkan rayap C. curvignathus yang selalu berhubungan dengan tanah
akan dapat dimanfaatkan sebagai agen hayati. Pemberian nematoda dengan jumlah terkecil meni-
mbulkan mortalitas 38,16% dan dengan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas 60,80%. Seda-
ngkan percobaan tanpa perlakuan tidak ditemukan adaMortalitas rayap (%) Jumlah dauer S.
carpocapsae
2 HSI 4 HSI 6 HSI
NO = 0 0,00 c 0,00 d 0,00 c
N1= >100 - < 150 38,16 b 71,00 c 93,84 b
N2 = > 150 - < 200 43,50 b 82,66 b 98,00 a
N3 = > 200 - < 250 52,66 a 91,16 a 99,34 a
N4 = > 250 - < 300 60,80 a 92,50 a 99,66 a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidakberbeda nyata
pada tingkat kepercayaan 95%. Tabel 1. Pengaruh jumlah dauer S. carpocapsae terhadap
mortalitas C. curvignathus. Pengendalian rayap dengan Steinernema carpocapsae Weiser
83 rayap yang mati. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan tingkat mortalitas dari 2 sampai 4 HIS ternyata cukup tinggi,
tetapi setelah 6 HSI peningkatan semakin kecil dan menurun dari sebelumnya. Mortalitas yang
terjadi hampir mencapai 100% setelah 6 HSI. Kepadatan populasi rayap pada
awalnya berpengaruh terhadap jumlah rayap yang terinfeksi nematoda. Namun, kecenderungan
itu berubah setelah 4 dan 6 HSI (Tabel 2). Hal ini disebabkan S. carpocapsae lebih banyak
menunggu dan hanya sedikit bergerak sehingga mobilitas rayap sangat menentukan terparasitnya
rayap. Jumlah rayap yang memungkinkan bagi individu yang terinfeksi nematoda dapat tertular
pada individu yang sehat sehingga kepadatan populasi rayap tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah nematoda S. carpocapsae yang diinfestasikan. Penggunaan S. carpocapsae sebagai agen
hayati rayap memiliki prospek yang cerah di masa depan, karena nematoda ini juga banyak
terdapat di daerah tropik dan juga dapat hidup di dalam tanah (Poinar & Thomas 1982).
9. Bila keadaan lingkungan cukup baik, terutama bila suhu tidak terlalu panas dan didukung
pula oleh sifat fisik tanah yang sesuai, maka S. carpocapsae dapat hidup dan berkembang dengan
baik dan bisa diandalkan sebagai agen pengendali hayati rayap. Mortalitas Rayap
(%) Kepadatan Rayap 2 HSI 4 HSI 6 HSI
R 1 = 20 ekor 13,75 d 95,83 d 100,00 a
R 2 = 40 ekor 21,08 c 36,50 c 100,00 a
R 3 = 60 ekor 27,33 b 49,25 b 95,56 b
R 4 = 80 ekor 35,42 a 63,00 a 97,60 ab
Tabel 2. Pengaruh kepadatan rayap terhadap serangan nematoda
S. carpocapsae. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada tingkat kepercayaan 95%.tinggi menyebabkan habitatnya semakin padatsehingga
nematoda mudah mendapatkan inangnya. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa semakin lama waktu
infestasi nematoda, maka akan semakin banyak rayap yang mati. Kepadatan populasi rayap 20
dan 40 ekor menghasilkan mortalitas hampir mencapai 100%, sedangkan kepadatan yang lebih
tinggi masing-masing 60 dan 80 ekor mencapai mortalitas masing–masing 95,56% dan 97,60%.
Penyebab kematian rayap bukan saja disebabkan sifat nematoda yang patogenik tetapi juga
karena sifat parasitik. Dalam tubuh nematoda terdapat bakteri yang hidup bersimbiosis
dengan S. carpocapsae (Kaya 1996).
Di samping sifat parasitic S. carpocapsae dengan menumpangkan hidupnya
dan mengambil makanan dari tubuh rayap juga sifat patogenik dari bakteri Xenorhabdus
nematophilus yang hidup bersimbiosis dan berada di dalam usus nematoda. Bakteri ini
melepaskan toksin yang sangat beracun. Bila toksin ini dilepas ke dalam tubuh rayap, maka
terjadil kematian pada rayap tersebut. Hidup rayap yang berkelompok dan membentuk koloni
10. BAB V
KESIMPULAN
Jumlah dauer S. carpocapsae selama 2 HIS menimbulkan pengaruh nyata terhadap mortalitas
rayap di laboratorium, sedangkan setelah 6 HSI tidak berbeda nyata secara statistik pada tingkat
kepercayaan 95%. Kepadatan invidivu rayap tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap
akibat serangan S. carpocapsae dalam ruang terbatas dilaboratorium.
11. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1992 tentang Budidaya
Tanaman.
Epsky, N.D. & Capinera, J.L. 1988. Efficacy of the nematode steinernema feltiae against a
subterranean termites, Reticulitermes tibialis (Isoptera: Rhinotermtidae). J. Economic
Entomology.
Hatsukade, M. 1994. Control of insect pests with entomophatogenic nematodes. FFTC.
Technical Bulletin 139.
Kaya, H.K. 1996. Contempory issues in biological control with entomophatogenic nematodes.
Di dalam Biological Pest Control in Systems of Integrated Pests Management. FTC Book
Series No 47.
Kondo, E. 1996. Infection mechanism and growth regulation inentomopathogenic nematodes. Di
dalam Biological Pest Control in Systems of Integrated Pest Management. FFTC Book
Series No 47: 28-39.
Mauldin, J.K. & Beal, J.H. 1989. Entomogenous nematodes for control of suterranean termites,
Reticulitermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Economic Entomology 82: 1638-
1642.
Mariau, D., Renoux, J. & Desmier de chenon, R. 1992. Coptotermes curvignathus olmgren,
Rhinotermitidae, mainpest of coconut planted on peat in Sumatera. Oleagineux 47: 562-
568.
Nandika, D.1992. Rayap di Jakarta, Bandung, dan Batam. Pest control. Bulletin IPPHAMMI:
675-676.
Poinar, G.O. & Thomas, G,M. 1982. Diagnostic Manual for the Identification of Insect
Pathogens. University of California at Berkeley: Plenum Press.
Prawirosoekarto, S., Sipayung, A. & Desmier de Chenon, R. 1991. Serangga Rayap pada
Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat.