Terdapat 3 metode pemotongan PPh Pasal 21 yang umum digunakan yaitu metode gross, gross-up, dan net. Metode gross menanggung pajaknya oleh pegawai, gross-up memberikan tunjangan pajak, sedangkan metode net menanggung pajaknya oleh pemberi kerja."
2. Kelompok 4
ALVIONITA FARRA A 195030407111020
ALVYNA DAMAYANTI 195030407111042
JESSICA IDA HUTAGAOL 185030407111017
MUHAMMAD ADITYA WIDI PUTRA 195030400111057
4. Taxability Deductibility Objek PPh Pasal 21
Prinsip dari Taxability Deductibility yaitu atas suatu imbalan atau
penggantian yang dikeluarkan untuk pegawai dapat menjadi biaya
pengurang penghasilan bruto bagi pemberi kerja. Bagi pegawai, imbalan
atau penggantian tersebut merupakan objek pajak yang dipotong melalui
mekanisme PPh Pasal 21.
Sebaliknya, apabila atas pemberian imbalan atau penggantian tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya bagi pemberi kerja, imbalan atau penggantian
tersebut bukan merupakan objek pajak bagi pegawai yang menerimanya.
6. Terapan Tax Planning PPh Pasal 21
Perencanaan pajak untuk menghitung PPh Pasal 21 dapat digunakan 4
(empat) alternatif. Menurut Zain (2007:89) dalam Sahilatua (2013 : 239)
4 alternatif yang bisa digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 yaitu :
1) PPh pasal 21 ditanggung pegawai (gross method)
2) PPh pasal 21 ditanggung pemberi kerja (net basis)
3) PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan pajak (gross up)
4) PPh pasal 21 mengkombinasikan metode (mixed).
7. PPh pasal 21 ditanggung pegawai (gross method)
Dengan metode gross, jumlah PPh Pasal 21 tersebut akan dipotong dari
penghasilan karyawan, kewajiban perusahan adalah menyetor PPh
Pasal 21 yang telah dipotong dan melaporkan PPh tersebut.
Sehingga dari sisi karyawan, penghasilannya menjadi lebih kecil. Istilah
yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh
perusahaan. Sedangkan dari sisi perusahaan, tidak akan mengurangi
laba perusahaan karena tidak mengeluarkan beban pajak.
8. PPh pasal 21 ditanggung pemberi kerja (net basis)
Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh
perusahaan yang bersangkutan, baik sebagian maupun seluruhnya
dalam bentuk benefit in kind. Metode ini dikenal dengan PPh ditanggung
perusahaan. Gaji yang diterima oleh karyawan tidak dikurangi dengan
PPh Pasal 21 karena perusahaan yang menanggung biaya atau beban
PPh Pasal 21.
PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan tidak dapat dibebankan
secara fiskal dalam menghitung PPh Badan. Hal tersebut dikarenakan
PPh Pasal 21 dengan meode net tidak dimasukkan sebagai faktor
penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21 karyawan.
9. PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan
pajak (gross up)
PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka jumlah tunjangan
tersebut akan menambah penghasilan karyawan dan dikenakan PPh
Pasal 21. Dengan metode gross up besarnya tunjangan pajak akan
sama dengan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang untuk masing –
masing karyawan.
Gross up pada dasarnya hanya berkaitan dengan logika perhitungan
yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan
ketentuan perpajakan. Pemilihan metode gross up membutuhkan analisa
komprehensif meskipun pengeluaran untuk menanggung PPh Pasal 21
karyawan secara fiskal dapat dibebankan sebagai biaya dalam
menghitung PPh Badan.
10. PPh pasal 21 mengkombinasikan metode (mixed)
Metode ini bertujuan untuk membagi beban pajak PPh Pasal 21 antara
yang harus ditanggung perusahaan maupun yang harus ditanggung oleh
karyawan. Metode Mixed merupakan kebijakan perusahaan terkait
remunerasi karyawan yang tentunya harus mempertimbangkan berbagai
aspek dan idealnya tertuang di dalam kontrak kerja.
Dalam metode mixed, Perusahaan memberikan tunjangan yang
besarnya tidak sama dengan pajak terutang. Bagi karyawan tunjangan
tersebut akan menambah penghasilan karyawan yang akan
diperhitungkan dalam pemotongan PPh Pasal 21. Sedangkan bagi
perusahaan, PPh Pasal 21 yang diberikan dalam bentuk tunjangan dapat
dibiayakan oleh perusahaan, sedangkan jika selisihnya ditanggung
perusahaan merupakan biaya non deductible.
14. Metode pemotongan PPh 21/26
Walaupun perhitungan PPh 21 telah diatur oleh DJP, namun pada
praktiknya, setiap perusahaan memiliki metode perhitungan PPh 21
sendiri yang disesuaikan dengan tunjangan pajak atau gaji bersih yang
diterima karyawannya. Ada 3 metode perhitungan pph 21 yang paling
umum, yaitu :
1) Metode Gross (Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak)
Misalnya, berapa sih pajak yang ditanggung perusahaan dengan gaji
yang ditawarkan Rp 11.000.000 per bulan untuk seorang karyawan yang
berstatus tidak kawin dan tanpa tanggungan (PTKP TK/0)?
15. Metode Gross (Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak)
Hitung Penghasilan Neto: Pendapatan Bruto – Biaya Jabatan =
Gaji Rp 11.000.000
Biaya Jabatan
5% x Gaji: Rp 550.000
________________________________________________________ –
Penghasilan Neto Sebulan Rp 10.450.000
Penghasilan Neto Setahun Rp 125.400.000
Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena
Pajak (PTKP) TK/0
Rp 125.400.000 – Rp 54.000.000 = Rp 71.400.000
Hitung PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif (karena Rp 71.400.000 lebih dari Rp
50.000.000)
(5% x 50.000.000 = Rp 2.500.000) + (15% x 21.400.000 = Rp 3.210.000) = Rp 5.710.000.
Hitung PPh 21 Terutang Sebulan: Rp 5.710.000 : 12 = Rp 475.833
16. Metode Gross-Up (Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak)
Adapun tunjangan pajak dihitung berdasarkan besarnya penghasilan kena pajak
(PKP) dengan mengikuti formula Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) :
Lapisan 1 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 0 – Rp 47.500.000 (PKP
setahun – 0) x 5/95 + 0,
Lapisan 2 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 47.500.000 – Rp
217.500.000 (PKP setahun – Rp 47.500.000) x 15/85 + Rp 2.500.000,
Lapisan 3 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 217.500.000 – Rp
405.000.000 (PKP setahun – Rp 217.500.000) x 25/75 + Rp 32.500.000,
Lapisan 4 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Lebih dari Rp 405.000.000
(PKP setahun – Rp 405.000.000) x 30/70 + Rp 95.000.000.
17. Metode Gross-Up (Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak)
Berikut ini cara menghitungnya dengan gaji Rp 11.000.000 per bulan untuk seorang karyawan
yang berstatus tidak kawin dan tanpa tanggungan (PTKP TK/0) :
Hitung Gaji Pokok Setahun : 12 x Rp 11.000.000 = Rp 132.000.000
Hitung Penghasilan Bersih Setahun: (Gaji Pokok Setahun – Biaya Jabatan Setahun) = Biaya
jabatan setahun: 12 x 5% x Rp 11.000.000 = Rp 6.600.000
Penghasilan bersih setahun: Rp 132.000.000 – Rp 6.600.000 = Rp 125.400.000
Hitung Penghasilan Kena Pajak: (Penghasilan Bersih Setahun – PTKP) = Rp 125.400.000 – Rp
54.000.000 = Rp 71.400.000
Karena PKP setahun Rp 71.400.000, maka berlaku rumus lapisan kedua untuk mendapatkan
Tunjangan Pajak karyawan, yaitu: (PKP setahun – Rp 47.500.000) x 15/85 + Rp 2.500.000)
= Rp 71.400.000 – Rp 47.500.000 x 15/85 + Rp 2.500.000 = Rp 6.717.647
Hitung Tunjangan Pajak Sebulan Rp 6.717.647 : 12 = Rp 559.803
18. Metode Gross-Up (Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak)
Setelah itu, masukkan Tunjangan Pajak ke penghasilan bruto untuk menghitung PPh 21
karyawan.
Jika benar maka besarnya tunjangan pajak sama dengan potongan PPh 21.
Hitung Gaji Pokok: Gaji Pokok + Tunjangan PPh 21
Rp 11.000.000 + Rp 559.803 = Rp 11.559.803
Hitung Penghasilan Bersih: Gaji Pokok – Biaya Jabatan =
Biaya jabatan: 5% x Rp 11.000.000 Rp 550.000 —>
Rp 11.559.803 – Rp 550.000 = Rp 11.009.803
Hitung Penghasilan Bersih Setahun:
12 x Rp 11.009.803 = Rp 132.117.636
Hitung Penghasilan Kena Pajak: Penghasilan Bersih Setahun – PTKP =
Rp 132.117.636 – Rp 54.000.000 = Rp 78.117.636
Hitung Tarif PPh 21 Setahun dengan tarif progresif:
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 28.117.636 = Rp 4.217.645
(Rp 2.500.000 + Rp 4.217.645 = Rp 6.717.645)
Hitung Tarif PPh 21 Sebulan:
Rp 6.717.645 : 12 = Rp 559.803
19. Metode Net (Gaji Bersih dengan Pajak Ditanggung Perusahaan)
Berikut contoh perhitungan PPh 21 untuk seorang karyawan yang berstatus tidak kawin dan
tanpa tanggungan (PTKP TK/0) yang dijanjikan gaji bersih Rp 8.000.000 sebulan.
Gaji Rp. 8.000.000
Dikurangi
Biaya Jabatan : 5% x Rp. 8.000.000
Rp. 400.000
Penghasilan Neto Rp. 7.600.000
Penghasilan Neto Setahun Rp. 91.200.000
Dikurangi :
(PTKP) TK/0
Rp. 54.000.000
PKP Rp. 37.200.000
PPh 21 terutang setahun :
5% x Rp. 37.200.000
Rp. 1.860.000
PPh 21 terutang sebulan Rp. 155.000
Gaji Rp. 8.000.000
Subsidi Pajak Rp.155.000 Pajak PPh 21 Rp.155.000
Total Penghasilan Rp. 8.000.000 Gaji Bersih Rp. 8.000.000
20. Metode Net (Gaji Bersih dengan Pajak Ditanggung Perusahaan)
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong
atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT)
di Indonesia.
1) Perhitungan PPh 26 atas Hadiah
2) Perhitungan PPh 26 atas Premi Asuransi
3) Perhitungan PPh 26 atas Gaji Orang Pribadi
4) PPh 26 atas Pendapatan Perusahaan Asing (BUT)
5) Perhitungan PPh 26 di bawah ‘Tax Treaty’
21. Perhitungan PPh 26 atas Hadiah
Pak Kelik seorang atlet dari Malaysia. Ia mengikuti lomba lari maraton di Indonesia dan berhasil
meraih juara dengan hadiah uang tunai sebesar Rp200.000.000. Karena hadiah yang diterima itu
merupakan objek PPh 26 dengan tarif 20%, berikut perhitungannya:
Rumus: PPh Pasal 26 = Penghasilan Bruto x Tarif PPh 26 (Tarif PPh Pasal 26 adalah 20%)
PPh 26 atas Hadiah adalah:
= Rp200.000.000 x 20%
= Rp40.000.000
Dengan demikian, dari lomba maraton yang ia ikuti itu Pak Kelik akan menerima hadiah berupa
uang tunai sebesar Rp200.000.000 – Rp40.000.000 = Rp160.000.000
22. Perhitungan PPh 26 atas Premi Asuransi
PT AAA memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan bertingkat ke PT
BBB. PT BBB adalah perusahaan asuransi di luar negeri.
PT AAA membayar jumlah premi asuransi pada 2020 sebesar Rp3.000.000.000. Maka PPh 26
PT AAA dari premi asuransi tersebut sebesar:
Rumus: PPh Pasal 26 = (Penghasilan Bruto x Perkiraan Penghasilan Neto) x 20%
Besar perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan pada
perusahaan asuransi luar negeri adalah 50% dari jumlah premi yang dibayarkan.
PPh 26 atas Premi Asuransi adalah:
Perkiraan Penghasilan Neto = 50% x Rp3.000.000 = Rp1.500.000.000
PPh Pasal 26 = 20% x Rp1.500.000.000 = Rp300.000.000
23. Perhitungan PPh 26 atas Premi Asuransi
Jika PT AAA mengikuti asuransi melalui perusahaan yang ada di Indonesia, misal PT Asuransi
CCC, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp3.000.000.000.
Kemudian PT Asuransi CCC mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan
asuransi di luar negeri tersebut, yakni ke PT BBB, dengan membayar premi sebesar
Rp1.500.000.000, maka ketentuan PPh 26 atas premi reasuransi ini adalah:
Tarif PPh 26 atas Premi Reasuransi adalah 20%
Premi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang adalah 10%
dari jumlah premi yang dibayarkan.
PPh 26 atas Premi Reasuransi adalah:
Perkiraan Penghasilan Neto = 10% x Rp1.500.000.000 = Rp150.000.000
PPh Pasal 26 PT AAA = 20% x 150.000.000 = Rp30.000.000
24. Perhitungan PPh 26 atas Gaji Orang Pribadi
Charles adalah warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Ia merupakan karyawan asing
pada perusahaan PT AAA. Charles sudah tinggal di Indonesia selama 183 hari. Charles sudah
beristri dan punya 1 orang anak. Pada Juli 2020, Charles memperoleh gaji sebesar US$20000
sebulan. Kurs yang berlaku pada bulan tersebut adalah Rp14.500 per dolar AS. Maka,
perhitungan PPh 26 atas gaji Charles adalah :
Rumus: PPh Pasal 26 = Penghasilan Bruto x Tarif PPh 26 (Tarif PPh Pasal 26 adalah 20%)
Penghasilan Bruto dari gaji sebulan adalah US$20000 x Rp14.500 = Rp290.000.000 PPh 26 atas
Gaji adalah:
= Rp290.000.000 x 20%
= Rp58.000.000
Dengan demikian, Charles akan menerima gaji sebesar Rp290.000.000 – Rp58.000.000 =
Rp232.000.000
25. Perhitungan PPh 26 atas Pendapatan Perusahaan Asing
(BUT)
PT AAA memiliki penghasilan kena pajak BUT di Indonesia pada 2020 sebesar Rp20.000.000.000.
Pajak penghasilan yang harus dibayarkan PT AAA ini sebesar 25% x Rp20.000.000 =
Rp5.000.000.000. Sehingga penghasilan BUT PT AAA setelah kena pajak menjadi sebesar
Rp20.000.000.000 – Rp5.000.000.000 = Rp15.000.000.000. Maka, PPh 26 yang dikenakan pada
PT AAA adalah :
Rumus: PPh Pasal 26 = Penghasilan Neto x Tarif PPh 26 (Tarif PPh Pasal 26 adalah 20%)
PPh 26 atas Perusahaan Asing BUT adalah:
PPh 26 yang terutang = Rp15.000.000.000 x 20% = Rp3.000.000.000
Jika penghasilan setelah pajak sebesar Rp15.000.000 ini ditanamkan kembali di Indonesia, maka
penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
26. Perhitungan PPh 26 di bawah ‘Tax Treaty’
Robert adalah seorang warga negara asing asal Kanada. Ia memiliki saham PT AAA di Indonesia
sebesar 30%. Tahun 2020 Robert menjual seluruh sahamnya senilai Rp20.000.000.000 kepada
Charles yang merupakan warga negara Inggris. Diasumsikan ketiga negara (Indonesia, Kanada,
dan Inggris) tidak termasuk dalam hubungan P3B atau Perjanjian Pajak (tax treaty). Dengan
demikian, perhitungan PPh 26 atas transaksi tersebut adalah :
Rumus: PPh Pasal 26 = (Penghasilan Bruto x Perkiraan penghasilan neto) x Tarif PPh 26
(Tarif PPh Pasal 26 adalah 20%) Perkiraan penghasilan neto PPh 26 adalah 25% :
= Rp20.000.000.000 x 25%
= Rp5.000.000.000
PPh 26 atas transaksi penjualan saham adalah :
= Rp5.000.000.000 x 20%
= Rp1.000.000.000
27. Perhitungan PPh 26 di bawah ‘Tax Treaty’
Sementara itu, apabila negara asal wajib pajak dan pemotong PPh Pasal 26
tersebut merupakan negara yang mempunyai tax treaty atau P3B dengan
Indonesia, maka tidak akan dikenakan pajak penghasilan pasal 26. Atau
dalam perjanjian P2B tersebut disebutkan ada ketentuan besar tarif tertentu,
yakni mulai dari 0% hingga 20%.
29. Klausul Pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja
Dalam UU Perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik proyek atau
pemberi kerja melaksanakan pemungutan/pemotongan PPh Pasal 21 dari
pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia
dipotong pajaknya dengan alasan pada kesepakatan perjanjian kontrak kerja,
masalah pajak tidak dibahas sehingga membuat mereka bersikukuh bahwa
harga kontrak yang disepakati tidak dipotong pajak lagi.
30. Klausul Pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja
Adapun masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa atau
kegiatan, antara lain :
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif
sebesar 50% dari jumlah penghasila bruto. Sehingga PPh Pasal 21 yang
dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x Tarif PPh Pasal 17 ayat 1 huruf a.
2. Pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli yang dalam pemberian
jasanya mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan atau
melakukan penyerahan material atau bahan, dikenai tarif sebesar Tarif
PPh Pasal 17 ayat 1 huruf a dari Nilai Proyek.
31. Klausul Pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja
Hal tersebut sering terjadi dalam pembuatan perjanjian/kontrak kerja yang
tidak mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum kontrak
kerja disetujui/ditandatangani harus memperhatikan :
1. Pemuatan klausul pajak dalam kontrak kerja yang mensyaratkan pajak
terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luar harga pokok
barang), yaitu dikenakan dari nilai bruto kontrak dan untuk PPh Pasal
21/26, pemberi kerja wajib memotong dari pembayarannya.
2. Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung
PPh Pasal 21/26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya
didasarkan pada klausul tersebut.
32. Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Natura atau Cash
Pemberian natura atau cash merupakan sebuah keharusan dalam pelaksanaan
perpajakan, keamanan dan keselamatan kerja ataupun yang berhubungan
dengan situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja.
Pengobatan Karyawan
Jika perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan
pajaknya bersifat taxable-deductible.
1. perusahaan.
2. Jika perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan, maka perlakuan
perpajakannya bersifat non taxable - non deductible.
3. Jika menggunakan metode reimbursement, maka perlakuan pajaknya bisa
bersifat non taxable – non deductible jika persyaratan reimbursement dapat
dipenuhi.
33. Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Makan Karyawan
Saat berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman untuk karyawan
sudah dibiayakan di PPh Badan (deductible).
Premi Asuransi
Sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 (a), UU PPh No. 36 tahun 2008, pembayaran premi
asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya, dibebankan sebagai
biaya perusahaan (deductible), tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi
tersebut merupakan bagian dari penghasilan (taxable).
Iuran Penisun, JHT, THT
Iuran yang dibayarkan (pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan) boleh
dibebankan sebagai biaya (deductible).
34. Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Perumahan Karyawan
Beberapa alternatif fasilitas perumahan yang diberikan oleh perusahaan:
1. Penempatan pada rumah dinas yang dibuat/dibeli oleh perusahaan
2. Penempatan rumah dinas yang disewa oleh perusahaan
3. Perusahaan memberikan penggantian sewa rumah dinas yang dibayar oleh
karyawan dimasukkan ke dalam tunjangan perumahan bagi pegawai
4. Perusahaan memberikan tunjangan perumahan kepada karyawan
Biaya sewa rumah yang dibayarkan kepada karyawan merupakan penghasilan
karyawan, sedangkan bagi perusahaan merupakan biaya yang dapat
diperhitungkan didalam perhitungan PKP. Sedangkan atas biaya pemeliharaan
atau perawatan, biaya yang dikeluarkan untuk rumah secara fiscal tidak dapat
diterima dalam menghitung PKP karena biaya tersebut adalah biaya atas
kenikmatan yang diperoleh karyawan.
35. Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Transportasi Karyawan
Keterangan Bagi Perusahaan Bagi Karyawan
Transportasi kendaraan antar jemput karyawan Deductible Non-taxable
Seluruh biaya eksploitasi dan depresiasi untuk
kendaraan perusahaan yang dipegang oleh
karyawan/dibawa pulang setelah kerja
Deductible Non-taxable
Tunjangan transport yang diberikan kepada karyawan
untuk keperluan pergi dan pulang kantor
Deductible Taxable
Dalam rangka menjalankan tugas perusahaan Deductible Non-taxable
36. Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Seragam Karyawan
Pemberian seragam karyawan termasuk imbalan dalam bentuk natura sehingga
bukan penghasilan bagi karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan.
Perjalanan Dinas Karyawan
Pemberian uang saku untuk perjalanan dinas dan dibayarkan secara tunai, maka
pemberian ini dikategorikan sebagai penghasilan bagi karyawan.
Bonus dan Jasa Produksi
Untuk keperluan perencanaan pajak, harsus dihindari pembayaran gaji, bonus
maupun jasa produksi yang melebihi kewajaran kepada pemegang saham yang
juga menjadi komisaris, direksi atau pegawai karena pembayaran tersebut
merupakan dividen dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan,
sehingga dipotong PPh Pasal 25/26.
37. Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Natura di Daerah Tertentu
Untuk natura di daerah tertentu harus dalam rangka menunjang kebijakan
pembangunan pemerintah di daerah tersebut. Hal ini berkaitan dengan fasilitas
dan sarana di lokasi kerja untuk karyawan sepanjang sarana dan fasilitas tersebut
tidak tersedia di daerah tersebut, sehingga perusahaan harus menyediakan
senidiri, meliputi :
- Tempat tinggal (termasuk perumahan)
- Pelayanan kesehatan
- Pendidikan
- Peribadatan
- Pengangkatan
- Olahraga (tidak termasuk golf, power beating, pacuan kuda)