2. PUASA
"Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak
terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari yang disertai
niat.”(Sabiq, Fiqh as-Sunnah I, hlm 364).
Al-Sharfani dalam Subul as-Salam menambahkan bahwa puasa atau menahan diri tersebut tidak
hanya sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa tetapi juga menahan diri dari
hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa seperti perbuatan dan perkataan sia-sia, dusta, jorok
dan bertengkar, semacamnya, dari sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari
yang disertai niat.
3. RUKUN PUASA
NIAT
(Mahzab Syafi’i dan Maliki)
Menahan diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa dari sejak
terbitnya fajar sampai dengan
terbenamnya matahari. (Al-Qur'an
surat Al-Baqarah: 187)
SYARAT PUASA
Muslim,
yaitu orang yang beragama Islam
Mumayyiz,yaitu orang yang sudah
dewasa(baligh) dan berakal(aqil)
Kuat berpuasa(qadir)
tidak sedang sakit, bepergian
jauh, bukan orang tua renta, ibu
hamil atau baru melahirkan
Suci
dari haid, nifas atau
pun wiladah
Dikerjakan pada hari yang dibolehkan
berpuasa, tidak pada hari yang diharamkan berpuasa,
seperti pada dua hari raya Ied dan hari Tasyrik.
4. Hal yang
Membatalkan
Puasa
Makan Minum
Hubungan seksual
Muntah dengan sengaja
Haid dan Nifas
Gila saat sedang puasa
Hal yang Dapat
Mengurangi Nilai Puasa
Mengerjakan hal-hal yang
memang dibenci oleh Allah
SWT
Bertengkar
Berkata jorok
Berperilaku curang
Berbuat sesuatu yang tidak ada
manfaatnya dan semacamnya.
5. RUKHSAH PUASA
KEMUDAHAN DALAM PUASA
Secara etimologi, rukhshah berarti
kemudahan, kelapangan, dan kemurahan.
Sedangkan kata rukhshah menurut terminologi adalah “sesuatu hukum yang
diatur syara’ karena ada satu udzur yang berat dan menyukarkan” atau
“hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf
pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan.”
6. Dalam ibadah puasa terdapat beberapa udzur atau penyebab berlakunya
hukum ruhkshah bagi mukallaf yang telah menerima kewajiban
melaksanakan ibadah puasa ramadhan, yaitu sebagai berikut:
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, dan Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman, yang artinya: “Dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 184].
1. MUSAFIR
7. 2. SAKIT
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan
kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah
sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi
semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya.
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surah Al-Baqarah : 184 di atas.
Ibnu Qudamah berkata, “Ahlul ilmi sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak
halal untuk berpuasa, bahkan keduanya harus berbuka di bulan Ramadhan dan
mengqadhanya. Bila keduanya tetap berpuasa maka puasa tersebut tidak
mencukupi keduanya (tidak sah)….” (Al-Mughni, kitab Ash-Shiyam, Mas’alah
wa Idza Hadhatil Mar’ah au Nafisat)
3. HAID DAN NIFAS
8. 4. WANITA HAMIL
DAN MENYUSUI
Adapun jika mereka wanita hamil
dan menyusui sanggup
melaksanakan shaum tetapi
khawatir berbahaya bagi
kandungannya dan bayinya, maka
ia mendapatkan rukhsoh untuk
berbuka dengan kewajiban qodho
dan membayar fidyah.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma
berkata : “Kakek dan nenek yang
lanjut usia, yang tidak mampu
puasa harus memberi makan
setiap harinya seorang miskin”
[Hadits Riwayat Bukhari 4505,
Lihat Syarhus Sunnah 6/316,
Fathul bari 8/180. Nailul Authar
4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25
5. Kakek dan Nenek
yang Sudah Lanjut
Usia
“Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan
fidyah makan bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184].
9. KESIMPULAN
Ibadah puasa terutama puasa ramadhan diwajibkan Allah SWT kepada setiap orang
Islam yang sudah memenuhi seluruh persyaratan yaitu seorang muslim yang berakal,
baligh, sehat, dan mabit/mukim (menetap di tempat tinggalnya). Meskipun demikian, Allah
SWT selalu memberikan peraturan sesuai dengan kondisi dan kemampuan hamba-Nya.
Karena itulah, Allah SWT juga memberikan rukhsah(keringanan) kepada orang-orang yang
wajib berpuasa akan tetapi tidak memungkinkan untuk melaksanakan sebagaimana
mestinya. Namun ada aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu yang memperbolehkan
mukallaf untuk memperoleh rukshah. Oleh karena itu sangat penting bagi pemeluk agama
Islam untuk memahami aturan-aturan dan syarat-syarat yang mengatur tentang rukhsah
dalam berpuasa.