Esai hukum; Indonesia : "Sistem Hukum yang belum "Dewasa"Syifa Nadia
Esai amatir selanjutnya, dibuat untuk memenuhi syarat menjadi keanggotaan "pusat study konsultasi hukum". Esai ini hanya sekedar menggambarkan, betapa berwarnanya sistem hukum yang ada di Indonesia. Mulai dari sistem turunan dari para kolonial dahulu kala hingga sistem hukum adat dan agama (Islam). Semoga bermanfaat, Merdeka.
PKM adalah singkatan dari Program Kreativitas Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Dikti guna memberi ruang untuk para Mahasiswa menunjukkan kreativitasnya. Proposal ini alhamdulilah lolos dan masih dalam proses penelitian
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA 2010 dalam Kemkes 2015), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan prosentase pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Data Riset Kesehan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa, proses pertumbuhan masih berlangsung sampai dengan usia 18 tahun, umur menarche termuda terutama umur 6-12 tahun perlu mendapatkan perhatian khusus untuk tidak menikah.
Esai hukum; Indonesia : "Sistem Hukum yang belum "Dewasa"Syifa Nadia
Esai amatir selanjutnya, dibuat untuk memenuhi syarat menjadi keanggotaan "pusat study konsultasi hukum". Esai ini hanya sekedar menggambarkan, betapa berwarnanya sistem hukum yang ada di Indonesia. Mulai dari sistem turunan dari para kolonial dahulu kala hingga sistem hukum adat dan agama (Islam). Semoga bermanfaat, Merdeka.
PKM adalah singkatan dari Program Kreativitas Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Dikti guna memberi ruang untuk para Mahasiswa menunjukkan kreativitasnya. Proposal ini alhamdulilah lolos dan masih dalam proses penelitian
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA 2010 dalam Kemkes 2015), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan prosentase pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Data Riset Kesehan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa, proses pertumbuhan masih berlangsung sampai dengan usia 18 tahun, umur menarche termuda terutama umur 6-12 tahun perlu mendapatkan perhatian khusus untuk tidak menikah.
MATERI PENCEGAHAN PERKAWINAN USIA ANAK.pptxMardiaHanis
Materi disampaiakn pada acara sosialisasi Pencegahan Pernikahan Usia anak di Desa Adolang Dhua Kec. Pamboang Kab. Majene Tahun 2022 Bersama dengan STAIN Majene
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Proposal penelitian pendidikan
1. Dampak Perilaku Pernikahan Dini Remaja Terhadap Minat
Bersekolahdi Desa Kebon Ratu KecamatanLebak Wangi Kab. Serang
Disusun Oleh:
Wulan Rahmawati (2221131832)
V A
PRODI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015
2. i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
penelitian mata kuliah “Penelitian Pendidikan”. Kemudian shalawat beserta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup
yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Laporan ini merupakan salah satu tugas mata kuliah penelitian pendidikan. Proposal
penelitian ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah dampak perilaku
pernikahan dini remaja terhadap minat bersekolah di Desa Kebon Ratu Kecamatan Lebak
Wangi Kabupaten Serang. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Bapak Dr. H Suherman M,Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah
penelitian pendidikan dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta
arahan selama penulisan proposal penelitian ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penulisan proposal penelitian ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan laporan ini.
Serang, 26 Desember 2015
Penulis
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................1
B. Identifikasi Masalah..................................................................................................6
C. Batasan Masalah .......................................................................................................6
D. Focus Penelitian........................................................................................................6
E. Tujuan Penelitian ......................................................................................................7
F. Manfaat Penelitian ....................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................8
A. Pernikahan.................................................................................................................8
1. Pengertian Pernikahan.........................................................................................8
2. Tujuan Pernikahan ..............................................................................................9
3. Syarat – syarat Pernikahan.................................................................................10
4. Perspektif dalam Pernikahan Dini......................................................................20
5. Tinjauan tentang Pernikahan Dini......................................................................23
B. Sekolah.....................................................................................................................25
1. Pengertian Sekolah.............................................................................................25
2. Pendidikan dan Pernikahan................................................................................26
3. Usia Pernikahan Pertama dan Pendidikan .........................................................27
C. Dampak Pernikahan Dini terhadap Pendidikan Remaja ..........................................28
D. Peran Orang Tua dalam Pendidikan.........................................................................29
E. Faktor – faktor Terjadinya Pernikahan Dini ............................................................29
F. Teori Pendidikan Luar Sekolah................................................................................30
1. Relevansi Pendidikan Luar Sekolah tentang Masalah Penelitian ......................30
4. iii
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................................32
A. Pendekatan dan Metode Penelitian ..........................................................................32
B. Teknik Penelitian dan Langkah Pengumpulan Data ................................................33
C. Sumber Data Penelitian............................................................................................34
D. Teknik Analisis Data................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................37
5. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan prosesi sakral dalam kehidupan manusia. Undang - Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada Pasal 2
menyatakan bahwa pernikahan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya, serta tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Studi pernikahan, khususnya pernikahan dini, merupakan salah satu studi penting
dalam analisa ekonomi dan demografi. Usia pasangan pada saat pernikahan telah menjadi
bahan pertimbangan untuk kebijakan publik karena dari kesuburan atau fertilitas akan
berakibat pada peningkatan populasi penduduk.
Studi yang dilakukan oleh UNICEF menunjukan bahwa Pernikahan dini, adalah
sebuah kenyataan di banyak negara. Pernikahan dini diyakini oleh orang tua di beberapa
negara dapat memberi keuntungan finansial dan sosial, juga dapat menghilangkan kewajiban
mereka sebagai orang tua untuk menyekolahkan dan menafkahi anak mereka.
Di antara banyaknya bentuk pernikahan yang terjadi, terdapat fenomena pernikahan
dini pada kalangan remaja. Pada hakekatnya pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan
atau pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang
menempuh pendidikan sekolah dan masih termasuk dalam kategori usia remaja. Jadi sebuah
pernikahan disebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masih berusia di
bawah 18 tahun yakni masih berusia remaja.
Banyak kalangan juga memandang pernikahan dini sebagai suatu hal yang
dipandang melanggar hak asasi seorang anak, karena pernikahan dini kemudian dapat
menyebabkan kehamilan awal, dan isolasi sosial. Selain itu, pernikahan dini seringkali
terjadi pada perempuan yang memiliki pendidikan rendah, dan rentan tehadap tindakan
kekerasan dalam rumah tangga, serta poligami
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas
minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga
6. 2
ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawahusia 21 hanya bisa
dilangsungkan dengan persyaratan tambahan. Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan
kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.
Sementara itu, United Nation’s Children’s Fund (UNICEF) dan United Nation’s
Population Fund (UNFPA) mendefinisikan pernikahan dini sebagai:
”Any marriage carried out below the age of 18 years, before the girl is
physically, physiologically, and psychologically ready to shoulder the
responsibilities of marriage and childbearing.”
Menurut ilmu psikologi, usia pernikahan yang baik adalah ketika pasangan telah
mencapai usia dewasa, atau berusia di atas 21 tahun, karena jika pasangan masih berusia
remaja, maka hal tersebut akan berdampak pada psikologis pasangan dan anak mereka
nantinya. Terdapat dua kategori remaja dalam psikologi, yaitu remaja pertama, yaitu 13-
16 tahun, dan masa remaja akhir, yaitu 17-21. Remaja, cenderung mengutamakan emosi
dalam pengambilan keputusan, sehingga hal ini dapat mempengaruhi pernikahan dan
perkembangan anak mereka nantinya. Oleh karena itu, ilmu psikologi menyarankan agar
pasangan yang ingin menikah hendaknya telah mencapai usia dewasa, atau berusia di atas 21
tahun.
Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sugiri Syarif
menyatakan bahwa, usia yang tepat dalam pernikahan pertama bagi pasangan adalah
Perempuan berusia 20 tahun, dan pria berusia 25 tahun. Hal tersebut ditinjau dari
banyaknya temuan di lapangan yang menyebutkan banyak kendala pada keluarga yang
memulai bahtera rumah tangganya tanpa perencanaan matang dan masih terlalu muda. Oleh
karena itu, pernikahan bagi pasangan yang menikah di bawah usia 20 tahun, adalah pasangan
yang menikah dini.
Meskipun undang-undang sudah menetapkan batasan usia untuk orang yang akan
melakukan pernikahan di Indonesia, namun masih terdapat di beberapa daerah yang
masyarakatnya belum mengindahkan peraturan yang berlaku. Hal ini dikarenakan beberapa
faktor yang mendorong terjadinya pernikahan bawah usia (pernikahan dini) terjadi. Masalah
pernikahan dini, merupakan masalah yang sangat populer di masyarakat.
Pernikahan anak dibawah umur seringkali terjadi di daerah rural area, seperti daerah
Bangka Belitung dengan prosentase 49,9%, Banten 52,2%, Jawa Timur 50,6%,
Bengkulu 52,2%, Jambi 50,9% dan daerah yang sering terjadi pernikahan dini untuk pulau
7. 3
Jawa adalah daerah Jawa Barat dengan prosentase 57,7%, dan tertinggi adalah Kalimantan
Tengah dengan prosentase 59,1% anak yang berumur 10-19 tahun telah menikah
Faktor-faktor yang umumnya menjadi penyebab pernikahan dini di daerah
pedesaan adalah faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. 52,7% Perempuan yang menikah
usia 10-19 tidak bersekolah; 61,6% tidak tamat SD; dan 61,4% tamat SD. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan yang rendah masih banyak terdapat di Indonesia, dan hal
tersebut merupakan salah satu pendorong terjadinya pernikahan dini pada anak, khususnya
perempuan.
Di masa remaja sebagai periode yang penting dalam perkembangan fisik dan psikis
yang sama cepat juga memerlukan remaja untuk menyesuaikan diri didalam sikap dan mental
remaja. Hal ini bahwa bekas–bekas pada masa kanak-kanak akan sangat mempengaruhi
remaja nantinya, yang menyebabkan remaja sulit mengatasi masalahnya, dikarenakan adanya
perubahan masa tumbuh kembang anak yaitu dari masa kanak-kanak ke masa remaja melalui
pembentukan proses belajar remaja
Perspektif remaja terhadap pernikahan dini terjadi karena terdapat penyimpangan
perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku,
ini dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan perkembangan pola pikir
masa depan remaja. Jadi masa remaja sebagai masa yang mempunyai pandangan bahwa
dunia sebagai sesuatu yang seakan harus sesuai dengan keinginannya meskipun tidak sebagai
mana kenyataannya, oleh karena hal tersebut remaja secara tidak langsung emosinya akan
meninggi apabila gagal dan merasa disakiti. Maka secara tidak langsung remaja akan lambat
mengerti secara rasional dan realistik sesuai bertambahnya pengalaman remaja tersebut.
Terjadinya pernikahan dini tidak terlepas dari tradisi dan pandangan masyarakat
terhadap pernikahan dan keluarga. Tradisi pernikahan termasuk juga usia yang diharapkan
untuk menikah dan bagaimana pemilihan istri tergantung pada pandangan masyarakat
terhadap sebuah keluarga yaitu mengenai peran, struktur, pola hidup dan tanggung jawab
individu terhdap keluarganya. Alasan penyebab terjadinya pernikahan dini juga tergantung
pda kondisi dan kehidupan sosial masyarakatnya. Terdapat dua alasan utama terjadinya
pernikahan dini, pertama, pernikahan dini sebagai strategi untuk bertahan secara
ekonomi. Kemiskinan adalah salah satu factor utama yang menjadi tiang pondasi
munculnya pernikahan dini. Pernikahan dini meningkat ketika tingkat kemiskinan juga
meningkat. Penyebab kedua adalah untuk melindungi anak gadisnya. Pernikahan adalah
salah satu cara untuk memastikan anak perempuan mereka terlindungi sebagai sitri,
8. 4
melahirkan anak yang sah dimata hokum dan akan lebih aman jika memiliki suami yang
dapat menjaga mereka secara teratur (UNICEF, 2001).
Mathur, Greene, dan Malhotra (2003) juga mengemukakan beberapa penyebab-
penyebab lain yang menimbulkan pernikahan dini. Penyebab tersebut antara lain yaitu
peran gender dan kurangnya alternatif (gender roles and lack of alternatives). Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peran yang diharapkan pada anak laki-laki dan
terhadap anak perempuan, serta kurang kesempatan-kesempatan yang diberikan pada
pihak wanita seperti kesempatan pendidikan, olahraga, dan pekerjaan. Penyebab kedua
adalah nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity
and fears about premarital sexual activity. Penyebab ketiga adalah pernikahan sebagai
usaha menyatukan keluarga dan transaksi (marriage alliances and transactions) yang
terakhir berkaitan kemiskinan (the role of poverty).
Pernikahan dini (early marriage) memiliki dampak yang sama pada remaja
putrid maupun remaja pria. Dampak-dampak tersebut meliputi dampak fisik, intelektual,
dan emosional (Unicef, 2001). Remaja putra yang menikah akan mengalami hambatan
dalam pendidikan mereka, kebebasan pribadi mereka, dan akan mengalami gangguan
emosional jika mereka tidak siap meghadapi dunia pernikahan dengan bertambahnya
tanggung jawab (dalam Gemari, 2002). Remaja putra yang menikah diusia muda dituntut
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan pernikahan, bertambahnya tanggung jawab untuk
menghidupi keluarga, terancam putus sekolah dan terancam menjadi pengangguran.
Laki-laki yang menikah diusia muda biasanya mengalami stress berhubungan dengan peran
baru mereka sebagai suami maupun ayah (Papalian dan Olds, 1999).
Wanita yang menikah diusia muda atau remaja putri yang menikah mengalami
dampak yang lebih besar dibandingkan laki-laki yang menikah diusia muda, hal ini berkaitan
dengan berbagai bentuk kesiapan yang harus dipersiapkan remaja putri yang menikah muda
(Papalia dan Old, 1995). Kesiapan secara fisik merupakan salah satu hal yang sangat
diperhatikan pada pasangan yang menikah diusia muda terutama pihak wanitanya. Hal ini
berkaitan dengan kehamilan dan proses melahirkan. Secara fisik, tubuh mereka belum siap
untuk untuk melahirkan anak dan melahirkan karena tulang panggul mereka yang masih
kecil sehingga membahayakan persalinan.
Remaja putri yang menikah diusia muda membuat mereka tidak dapat
mengecap pengalaman-pengalaman yang biasanya didapat oleh para remaja pada umumnya.
Pengalaman itu seperti melanjutkan pendidikan, mendapatkan jaminan kesehatan yang baik,
kesempatan pekerjaan dan ekonomi dan persahabatan dengan teman sebaya (UNICEF,
9. 5
2001). Pernikahan dini juga dapat membuat remaja putri menjadi terisolasi dari
keluarga dan teman-teman mereka ketika mereka harus tinggal bersama suami (dalam
WHO, 2006).
Persoalan yang muncul kemudian adalah masih terdapat daerah yang masyaraktnya
masih melakukan pernikahan di bawah usia, yaitu dibawah 16 tahun untuk perempuan dan 19
tahun untuk laki-laki. Pernikahan model ini lebih dikenal dengan nama (pernikahan dini), di
Desa Kebon Ratu Kecamatan Lebak Wangi Serang merupakan salah satu daerah yang
masyarakatnya masih banyak melakukan pernikahan dibawah umur. Terutama adalah para
remaja yang masih usia sekolah. Kebanyakan dari mereka setelah lulus SMP atau SMA
memilih untuk bekerja dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Karena faktor ekonomi
yang menghambat para remaja tidak melanjutkan untuk bersekolah sehingga para remaja
tidak bisa mewujudkan keinginan mereka untuk sekolah. Mereka lebih memilih bekerja
dibanding sekolah. Selain itu para remaja menikah karena faktor dorongan keluarga dan
kesadaran orang tua masih kurang untuk menyekolahkan anaknya. Terutama anak perempuan
tidak perlu sekolah yang tingi – tinggi.
Banyak para remaja yang tidak memiliki minat untuk bersekolah karena kurangnya
kesadaran dan dukungan dari orang tua. Orang tua seharusnya sebisa mungkin mendorong
anaknya agar mengenyam pendidikan hingga ke jenjang tinggi. Akan tetapi karena alasan
ekonomi dari pada harus sekolah lebih baik bekerja mencari uang karena pada akhirnya
setelah lulus sekolah akan mencari pekerjaan. Banyak orang tua yang masih berpandangan
seperti ini.
Remaja yang tidak memiliki kesibukan atau tidak mengecap pendidikan akan memilih
berkerja atau menikah pada usia dini, selain itu rendahnya rendahnya pendidikan maupun
pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat menyebabkan adanya kecenderungan menikah
muda.
Sesuai dengan uraian tersebut serta persoalan sebagaimana yang diuraikan di atas
maka penulis beri judul : “DAMPAK PERILAKU PERNIKAHAN DINI REMAJA
TERHADAP MINAT BERSEKOLAH DI DESA KEBON RATU, KECAMATAN LEBAK
WANGI, SERANG”
10. 6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Tidak ada dukungan orang tua
2. Remaja putus sekolah
3. Kondisi ekonomi tidak mendukung
4. Hamil di luar nikah
5. Menikah di usia muda
C. Batasan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji, dianalisa kemudian dituangkan dalam tulisan ini dibatasi
pada konteks remaja yang menikah di usia muda pada usia sekolah di Desa Kebon Ratu,
Kecamatan Lebak Wangi, Serang. Penelitian dilakukan selama dua bulan, responden yaitu 3
orang perempuan (yang menikah di usia dini), 3 orang tua yang menikahkan anak mereka
pada usia dini, kepaladesa, aparat desa.
D. Focus Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas dapat merumuskan masalah penelitian Yaitu :
1. Bagaimana dampak perilaku pernikahan dini pada remaja usia sekolahdi Desa Kebon
Ratu, Kecamatan Lebak Wangi, Serang.?
2. Bagaimana peran orang tua dalam menumbuhkan minat bersekolah remaja di Desa
Kebon Ratu, Kecamatan Lebak Wangi, Serang.
3. Apa faktor penyebab dini di Desa Kebon Ratu, Kecamatan Lebak Wangi, Serang.
11. 7
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dampak perilaku pernikahan dini pada remaja usia sekolah di Desa
Kebon Ratu, Kecamatan Lebak Wangi, Serang.?
2. Untuk Mengetahuiperan orang tua dalam menumbuhkan minat bersekolah remaja di
Desa Kebon Ratu, Kecamatan Lebak Wangi, Serang.
3. Untuk Mengetahui faktor penyebab dini di Desa Kebon Ratu, Kecamatan Lebak
Wangi, Serang.
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, manfaat yang diharapkan bagi penulis adalah:
1. Manfaat secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
pada instansi terkait sehingga dapat dilakukan program yang sesuai dalam
mencegah dan mengatasi dampak-dampak pernikahan usia dini, serta merupakan
sumbangan dalam pengembangan ilmu PLS untuk mengetahui permasalahan
mengenai remaja yang putus sekolah dan patologi sosial.
2. Manfaat secara Praktis
a) Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam melakukan
penelitian, serta menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam
melaksanakan penelitian di lapangan.
b) Bagi Institusi
Sebagai bahan kajian dan kontribusi bagi jurusan PLS yang diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
c) Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya orangtua tentang
pernikahan dini dan dampak dari pernikahan dini. Dan penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa masukan kepada para
remaja tentang dampak negatif dari pernikahan dini di Desa Kebon Ratu,
Kecamatan Lebak Wangi, Serang.
12. 8
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan suatu proses awal terbentuknya kehidupankeluarga dan
merupakan awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Kehidupan sehari-
hari manusia yang berlainan jenis kelaminnya yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa laki-laki dan perempuan secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara yang
satu dengan yang lain untuk berbagi kasih saying dalam mewujudkan suatu kehidupan
bersama atau dapat dikatakan ingin membentuk ikatan lahir dan batin untuk
mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia, rukun dan kekal.
Pernikahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan bilogis saja, walaupun
kebutuhan biologis merupakan faktor yang sangat penting sebagai penunjang atau
pendorong dalam rangka merealisir kehidupan bersama baik untuk mendapatkan
kebutuhan biologis. Pernikahan haruslah sebagai suatu ikatan lahir batin. Hal ini
disebabkan karena dapat pula terjadi bahwa hidup bersama antara laki-laki dan
perempuan itu tanpa dilakukan persetubuhan.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 tujuan
pernikahan adalah “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena tujuan pernikahan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu adanya saling membantu
dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk
mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Dapat mencapai kebahagiaan tersebut
diharapkan kekekalan dalam sebuah pernikahan, yaitu bahwa orang melakukan
pernikahan tidak akan bercerai kecuali cerai karena kematian atau dengan kata lain
menikah sekali seumur hidup. Dengan demikian perkawinan menurut perundangan
adalah untuk kebahagiaan suami isteri untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan
keagamaan dalam kesatuan keluarga.
Menurut Subekti (1984 : 231), pernikahan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Pernikahan adalah
salah satu perintah peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita,
sebab pernikahan itu tidakhanya menyangkut pria dan wanita calon mempelai saja, tetapi
13. 9
juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-
masing.)
Berdasarkan pendapat tersebut diatas dapat disimpulakn bahwa pernikahan
merupakan suatu pertalian yang agung antara seorang laki - laki dan seorang perempuan
sebagai suami isteri dengan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi menurut
perundang-undangan yang berlaku untuk daptmelanjutkan keturunan serta berguna bagi
kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai. Pengertian pernikahan menurut Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang kalau dirinci adalah sebagai berikut.
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagai suami isteri, ikatan lahir batin itu ditunjukkan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa.
2. Tujuan Pernikahan
Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 23), tujuan pernikahan menurut hukum
adat bagi masyarakat yang bersifat kekerabatan adalah “untuk mempertahankan dan
meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan, untuk kebahagiaan rumah
tangga, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk
mempertahankan kewarisan”. Karena sistem keturunan dan kekerabatan di Indonesia
antara suku bangsa satu dengan bangsa yang lain berbeda termasuk lingkungan hidupnya
serta agama yang dianut berbeda-beda maka tujuan pernikahan adat antara suku bangsa
satu dengan bangsa yang lain berbeda-beda.
Menurut Hilman Hadikusuma, (1990 : 24), tujuan pernikahan menurut hukum
agama khususnya Islam adalah “Untuk mandapatkan keturunan, untuk mencegah
maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur”. Dalam
agama Islam perkawinan bertujuan pula untuk mencegah maksiat dan terjadinya
perzinaan dibawah naungan cinta kasih sayang yang menjadi asas Islam terwujud dua
tujuan utama menurut Islam yaitu ketentraman material dan spiritual serta kesanggupan
untuk mengalahkan arus penyelewengan dan dorongan yang menyimpang di dalam
mewujudkan kemanusiaan. Namun perkawinan menurut agama juga berbeda-beda antara
agama satu dengan agama yang lain karena masyarakat Indonesia menganut agama yang
berbeda-beda.
Menurut komplikasi hukum Islam tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tanggga yang sakinah, mawwadah danrahmah. Menurut Peunoh Daly
(1988 : 107) tujuan pernikahan adalah “Untuk menghalalkan pergaulan bebas dan
14. 10
menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
sebelumnya tidak halal”.
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pernikahan
adalah untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,
sakinah, mawwadah dan rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang wanita.
3. Syarat-Syarat Pernikahan
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 pernikahan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya masing-masing. Bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu asal tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Dari rumusan pasal 2 ayat 1 dapat disimpulkan bahwa sah tidaknya suatu
pernikahan adalah semata-mata ditantukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan
mereka yang hendak melaksanakan pernikahan. Ini berarti bahwa suatu pernikahan yang
dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut
Undang-Undang Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum
sebagai ikatan pernikahan. Karena itulah, pernikahan yang sarat akan nilai dan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawwadah dan rahmah,
perlu diatur dengan syarat-syarat tertentu agar tujuan dari pernikahan dapat tercapai.
a. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
1) Persetujuan Calon Mempelai
Di dalam perundangan pernikahan yang akan dilangsungkan harus
didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Hal ini sesuai dengan pasal 6 ayat
1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, sebagaimana dijelaskan dalam
penjelasannya maksud dari ketentuan tersebut, agar suami isteri yang akan
menikah itu kelak dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan
sesuai dengan hak asasi manusia, maka pernikahan tersebut tanpa ada paksaan
dari pihak manapun atau dengan istilah lain kawin paksa.
Ketentuan ini tidak berarti mengurangi syarat-ayarat pernikahan yang
lain yang sudah ditentukan. Namun dalam masyarakat yang telah maju tidak
berlaku lagi adanya “nikah paksa”, oleh karena itu adanya persetujuan diri
15. 11
kedua calon mempelai merupakan syarat utama dalam pernikahan di Indonesia
yang berlaku sekarang.
Menurut Hilman Hadikusuma, (1990 : 45). “Kebebasan kata sepakat
antara kedua calon suami-isteri ini berarti mereka yang akan melakukan
pernikahan itu bebas menyatakan persetujuan untuk melakukan pernikahan.
Dalam hal ini mereka terlepas dari pengaruh kekuasaan orang tua atau kerabat
yang lain”. Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan isteri
memasuki jenjang pernikahan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan
senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional, dengan
demikian tujuan pernikahan dapat tercapai.
2) Izin Orang Tua / wali
Menurut pasal 6 ayat 2 menentukan bahwa untuk melangsungkan
pernikahan, seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin dari kedua orang tua. Namun jika salah seorang dari kedua orang tua itu
meninggal dunia, izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau
dari orang tua yang masih mampu untuk menyatakan kehendaknya. Jika kedua
orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali atau orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan mampu menyatakan
kehendaknya.
Namun jika terjadi perbedaan pendapat antara orangorang tersebut atau
mereka tidak dapat menyatakan kehendaknya maka pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pernikahan yang
memberikan izin asalkan atas permintaan dari orang yang akan melangsungkan
pernikahan.
3) Batas Umur Pernikahan
Penentuan batas umur untuk melangsungkan pernikahan sangatlah
penting sebab “pernikahan sebagai suatu perjanjian perikatan antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, haruslah dilakukan oleh
mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi biologis maupun
psikologis” (Soemiyati, 1982:70). Hal ini adalah sangat penting sekali untuk
16. 12
mewujudkan tujuan pernikahan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, juga mencegah terjadinya pernikahan pada usia muda atau pernikahan
anak-anak, sebab pernikahan yang dilaksanakan pada umur muda banyak
mengakibatkan perceraian dan keturunan yang diperolehnya bukan keturunan
yang sehat.
Melangsungkan pernikahan seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua, hal ini sesuai dengan pasal 6
ayat 2 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Jadi bagi pria atau wanita yang telah
mencapai umur 21 tahun tidak perlu adanya izin dari orang tua untuk
melangsunkan pernikahan sedangkan yang perlu adanya izin dari orang tua
untuk melangsungkan pernikahan ialah pria yang telah mencapai umur 19 tahun
dan bagi wanita yang telah mencapai umur 16 tahun sesuai dengan pasal 7 ayat
1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di bawah umur tersebut berarti belum
boleh melakukan pernikahan sekalipun diizinkan orang tua.
Menurut M. Yahya Harahap seperti yang dikutip oleh Hilman
Hadikusuma (1983 : 68), mengenai perlunya izin orang tua ini adalah erat sekali
hubungannya dengan pertanggungjawaban orang tua dalam pemeliharaan yang
dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam membesarkan anak-
anaknya. Kebebasan yang ada pada si anak untuk menentukan pilihan calon
suami-isteri jangan sampai menghilangkan fungsi tanggung jawab orang tua.
Jadi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun jika akan
melangsungkan pernikahan harus ada izin orang tua. Izin orang tua itu terbatas
sampai batas umur telah mencapai umur 19 tahun bagi pria dan telah mencapai
umur 16 tahun bagi wanita. Jika kedua calon mempelai tidakmempunyai orang
tua lagi atau orang tua yang bersangkutan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, misalnya karena penyakit, kurang akal, sakit ingatan dan lain -
lain, maka izin cukup dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
Andai terjadi hal-hal yang tidak terduga, misalnya mereka yang belum
mencapai umur 19 tahun bagi pria dan belum mencapai umur 16 tahun bagi
wanita, karena pergaulan bebas sehingga wanita sudah hamil sebelum
pernikahan, dalam keadaan darurat seperti ini boleh menyimpang dengan
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
orang tua dari pihak pria maupun dari pihak wanita.
17. 13
Dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan menetapkan tentang
adanya kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan batas umur yang telah
ditetapkan dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria
maupun dari pihak wanita. Namun jika salah seorang dari kedua orang tua itu
meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua yang masih hidup atau wali atau orang
yang memelihara dari pihak-pihak yang akan melakukan pernikahan.
4) Tidak Terdapat Larangan Pernikahan
Terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang larangan untuk
melangsungkan pernikahan dimana orang - orang tersebut mempunyai
hubungan persaudaraan yaitu pasal 8 Undang-Undang Pernikahan yang
menyebutkan bahwa suatu pernikahan dilarang antar dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan
saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak atau ibu
tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,
dan bibi-paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih
dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku
dilarang menikah.
5) Seorang yang masih terikat tali pernikahan dengan orang lain, dispensasi oleh
pengadilan.
6) Seseorang yang masih terikat tali pernikahan dengan orang lain tidak dapat
menikah lagi, kecuali dalam hal yang telah disebutkan dalam pasal 3 ayat 2 dan
pasal 4. Jadi apabila seseorang ingin menikah lagi tanpa harus menceraikan
isteri sebelumnya maka orang tersebut harus mendapatkan izin atau dispensasi
dari pengadilan untuk melaksanakan pernikahan kepada suami yang ingin
18. 14
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan
dalam hal ini adalah isteri sebelumnya, dengan cara mengajukan permohonan
kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Berdasarkan pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
pengadilan dalam hal ini hanya dapat memberikan izin kepada seorang suami
yang beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Jadi apabila seseorang ingin menikah lagi anpa harus menceraikan isteri
sebelumnya maka orang tersebut harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan
untuk melaksanakan pernikahan.
7) Seseorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak
boleh dilangsungkan pernikahan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Karena sebuah pernikahan mempunyai tujuan agar suami isteri dapat
mambentuk keluarga yang bahagia dan kekal maka suatu tindakan-tindakan
yang dapat mengakibatkan putusnya hubungan suatu perkawinan harus benar-
benar dipertimbangkan serta dipikirkan masak-masak. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya kawin cerai berulangkali sehingga antara suami isteri dapat
saling menghargai satu sama lain.
8) Seorang wanita yang pernikahannya terputus untuk menikah lagi telah lampau
tenggang waktunya.
Dalam hal ini seorang wanita yang telah melewati masa iddahnya atau
menunggu, jadi apabila sudah melewati batas waktu tersebut seorang wanita
dapat menikah lagi.
b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
1) Bagi laki-laki akan menikah disyaratkan harus berumur sekurang- kurangnya 18
tahun, sedangkan bagi perempuan 15 tahun.
19. 15
2) Seorang perempuan yang umurnya urang dari 15 tahun tidak diperkenankan
mengikat diri dalam pernikahan kecuali karena alasan-alasan penting larangan
itu dapat dimintakan dispensasi kepada presiden.
3) Untuk dapat mengikat diri dalam pernikahan bagi anak yang belum mencapai
umur dewasa harus memperoleh izin terlebih dahulu dari kedua orang tua
masing-masing pihak.
4) Bila salah satu diantara keduanya yang memberikan izin sedang orang tua
lainnya sedang dipecat dari kekuasaan orang tua, maka Pengadilan Negeri dalam
daerah hukumnya berhak atas permintaan si anak tersebut untuk memberikan
izin menikah, tentunya setelah mendengar aau memanggil terlebih dahulu
dengan cara sah orang tua atau orang yang diperlukan izinnya dan para keluarga
sedarah, semenda.
5) Dalam hal diantara kedua orang tua itu telah meninggal dunia lebih dahulu atau
berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup, namun jika jedua orang tuanya telah
meninggal semua atau dalam keadaan yang tidak mampu maka izin diberikan
oleh datuk dan nenek apabila masih hidup atau wali pengampunya.
6) Bilamana semuanya sudah tidak ada atau semuanya dalam keadaan yang tidak
mampu lagi menyatakan kehendaknya maka izin dapat diberikan oleh wali dan
wali pengawas, jika wali dan wali pengawas salah satu keduany menolak untuk
meberikan izin, maka Hakim pemgadilanm Negeri dalan daerah hukumnya
dimana anak itu bertempat tinggal atas permintaan si anak berkuasa untuk
memberikan izin menikah setelah mendengar atau memenggil denga sah wali
pengawas dan juga keluarga sedarah dan semenda.
7) Anak-anak yang telah dewasa tetapi belum mencapai umur 30 tahun masih harus
meminta izin menikah kepada orang tua mereka.
8) Bilamana izin kedua orang tua tersebut tidak diperoleh maka mereka dapat minta
izin dari Pengadilan Negeri dalam daerah hukum mereka bertempat tinggal,
dengan ketentuan bahwa Hakim Pengadilan Negeri tersebut dalam tenggang
waktu satu minggu harus memanggil kedua orang tua beserta anak dalam sidang
terutup dimana hakim memberikan nasihat-nasihat seperlunya. Bilamana kedua
orang tua tidak hadir, maka pernikahan dapat dilangsungkan atas penunjukan
akta hadir tersebut.
20. 16
9) Apabila si anak tidak hadir, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan dalam
hal ini apabila kedua orang tua berada di luar negeri, maka izin tersebut
dimintakan dispensasi dari presiden.
c. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Untuk melangsungkan sebuah pernikahan harus ada:
1) Calon Suami dan Calon Isteri
Menurut pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 Kompilasi hukum Islam calon
mempelai yang ingin melangsungkan pernikahan harus mencapai umur yang
telah ditetapkan dalam pasal 7 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dimana
seorang pria harus sudah mencapai umur 19 tahun dan seorang wanita harus
sudah mencapai umur 16 tahun.
Namun bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus
mendapat izin dari kedua orang tua, jika salah satu dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak mampu menyatakan
kehendaknya maka izin tersebut dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau yang dapat menyatakan kehendaknya. Namun apabila kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak mampu menyampaikan
kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali atau keluarga yang mempunyai
garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
yang mampu menyampaikan kehendaknya.
Apabila terdapat perbedaan antara orang-orang yang memberi izin untuk
menikah atau salah satu seoran atau lebih tidak mampu menyatakan
kehendaknya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang
akan melangsungkan pernikahan atas permintaan orang tersebut dapat memberi
izin. “untuk dapat melangsungkan suatu pernikahan baik pria maupun wanita
harus sudah dewasa dalam arti biologis dan sudah matang jiwanya” (Soemiyati,
1982:71). Jadi walaupun Hukum Islam tidak menyebutkan secara pasti batas
umur tertentu, ini tidak berarti hukum Islam membolehkan pernikahan pada
umur muda. Disamping itu dilihat dari salah satu tujuan pernikahan menurut
hukum islam adalah membentuk rumah tangga yang damai, tenteram dan kekal,
maka hal ini tidak mungkin tercapai apabila pihak-pihak yang melaksanakan
pernikahan belum dewasa / cukup umur dan matang jiwanya. Menurut hukum
21. 17
Islam suatu pernikahanyang dilaksanakan dengan maksud menyimpang dari
tujuan pernikahan yang sebenarnya merupakan pernikahan yang dilarang.
Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
Ternyata batas umur yang rendah bagi wanita untuk menikah, dapat
mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi. Allah mangisyaratkan dalam surat
An-Nissa’“Dan hendaklah takut kapada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka, oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar”.
Ayat tersebut bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa
pernikahan yang dilakuakan oleh pasangan yang usianya masih muda di bawah
ketentuan yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan
menghasilkan keturunan yang kesejahteraannya di khawatirkan. Namun
berdasarkan realita yang ada rendahnya usia saat menikah lebih banyak
menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan tujuan pernikahan itu sendiri
yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan cinta dan kasih
sayang. Tujuan tersebut tentunya akan sulit terwujud, jika masing-masing
mempelai belum masak jiwa dan raganya. “Kematangan jiwa dan raga akan
sangat berpengaruh didalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul dalam
menghadapi liku-liku dan badai rumah tangga”. (Ahmad Rofiq, 2000 : 78).
Menurut pasal 16 Kompilasi Hukum Islam pernikahan didasarkan atas
persetujuan mepelai untuk menimbulkan kesepakatan kedua belah pihak, maka
“dalam Islam sebelum pernikahan perlu dilaksanakan adanya peminangan dan
masa khitbah terlebih dahulu, supaya keduanya dapat mengadakan pendekatan
untuk saling mengenal watak masing-masing” (Soemiyati, 1982 : 68). Dalam
masa khitbah persesuaian tidak dapat tercapai maka pelaksanaan pernikahan
dapat dibatalkan. Hal ini lebih baik daripada pernikahan sudah dilaksanakan
tetapi putus ditengah jalan, karena kedua belah pihak tidak ada kesepakatan
dalam mengemudikan rumah tangga, dan bentuk persetujuan calon mempelai
wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau
isyarat tapi juga dapat berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang
tegas.
22. 18
2) Wali Nikah
Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim dan akil baliqh. Menurut pasal 21 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam
wali nikah ada dua yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab terdiri dari
empat kelompok urutan kedudukan, yaitu kelompok kerabat laki-laki garis lurus
keatas yaitu ayah, kakek, kakek dari pihak ayah atau seterusnya, kelompok
kerabat saudara laki-laki kandung dan keturunan laki-laki dari mereka, kelompok
kerabat paman yaitu saudara laki-laki kandung ayah atau saudara seayah dan
kelompok saudara lai-laki kandung kakek atau saudara lakilaki seayah dengan
kakek.
Namun apabila wali nikah yang paling berhak memenuhi syarat sebagai
wali nikah karena sebab tertentu maka hak menjadi wali bergeser kepada wali
nikah lain menurut derajat berikutnya.
Wali hakim baru dapat bertindak apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin untuk menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya setelah
putusan pengadilan agama mengenai wali tersebut.
3) Dua Orang Saksi
Menurut pasal 25 Kompilasi Hukum Islam yang dapat ditunjuk menjadi
saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baliqh, tidak
terganggu ingatan, dan tidak tunarungu atau tuli. Saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada
waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.
4) Ijab Dan Qabul
Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas dan
beruntun dan tidak berselang waktu. Yang berhak mengucapkan qabul ialah
calon mempelai pria secara pribadi. Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah
dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria
memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad
nikah itu adalah untuk mempelai pria. Dalam hal mempelai wanita atau wali
keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh
dilangsungkan.
23. 19
d. Menurut Hukum Adat
1) Persetujuan Calon Mempelai
Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas
menyatakan kehendaknya untuk melakukan pernikahan tanpa persetujuan orang
tua atau kerabatnya. Dalam lingkungan, masyarakat adat perkawinan yan akan
dilangsungkan dapat terjadi berdasarkan peminangan dan persetujuan orang tua,
wali atau kerabat kedua belah pihak selain persetujuan calon mempelai itu
sendiri.
Namun jika terjadi penolakan pernikahan dari orang tua atau adanya
lamaran dari salah satu pihak ditolak atau dikarenakan sebab lain misalnya
karena si wanita sudah hamil, maka dapat berakibat terjadinya kawin lari.
“terjadinya kawin lari menunjukkan persetujuan pria dan wanita untuk
melakukan pernikahan dan sekaligus sebagai pemberontakan terhadap kekuasaan
orang tua” (Hilman Hadikusuma, 1990 : 46). Namun terjadinya kawin lari itu
tidak berarti akan melaksanakan pernikahan itu sendiri tanpa pengetahuan dan
campur tangan orang tua, terutama orang tua pihak laki-laki harus berusaha
menyelesaikan peristiwa ini secara damai dengan orang tua pihak perempuan
melalui jalur hukum adat yang berlaku. Namun dimasa sekarang pada keluarga -
keluarga yang sudah maju, karena perkembangan pendidikan dan bertambah
luasnya pengalaman dan pergaulan, sikap tindak orang tua lebih banyak
mengalah pada kehendak dan pilihan anak-anaknya untuk berumah tangga.
2) Batas Umur Pernikahan
Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 46) “hukum adat pada umumnya
tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan pernikahan”. Hal mana
berarti hukum adat membolehkan pernikahan semua umur. Kedewasaan
seseorang di dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda fisik, apabila anak
wanita sudah haidh (datang bulan), buah dada menonjol, berarti ia sudah dewasa.
Bagi anak pria ukurannya hanya dilihat dari perubahan suara, fisik, sudah
mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks.
3) Perjanjian Pernikahan
Perjanjian pernikahan dilakukan sebelum atau pada saat pernikahan
berlaku dalam hukum adat, bukan saja antara kedua calon mempelai tetapi
24. 20
termasuk keluarga atau kerabat kedua calon mempelai tersebut. “Sebagian besar
perjanjian tersebut tidak dibuat secara tertulis melainkan diumumkan dihadapan
para anggota kerabat tetangga yang hadir dalam upacara pernikahan” (Hilman
Hadikusuma, 1990 : 59). Dalam perjanjian pernikahan adat kebanyakan tidak
memerlukan pengesahan dari pegawai pencatat pernikahan tetapi hanya perlu
diketahui oleh kepala adat atau kepala kerabat kedua belah pihak.
Menurut Retnowulan Sutanto (1979 : 21) “jika syaratsyarat untuk
melangsungkan pernikahan tidak dipenuhi, maka pernikahan tersebut dapat
dicegah oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, dengan cara mengajukan
kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana pernikahan tersebut
dilangsungkan dengan cara memberitahukan juga kepada pegawai pencaat
pernikahan.
Selain itu juga pegawai pencatat pernikahan dapat menolak untuk
melangsungkan pernikahan apabila terdapat larangan menurut Undang-Undang
atau jika syarat-syarat serta keterangan-keterangan yang diperlukan tidak
dipenuhi atau dipandang kurang cukup. Sedang para pihak yang pernikahannya
ditolak berhak untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan dalam wilayah
yang bersangkutan dengan cara menyerahkan surat penolakan tersebut,
kemudian pengadilan akan menguatkan penolakan tersebut atau akan
memerintahkan agar pernikahannya dapat dilangsungkan.
a. Adanya persetujuan dari kedua belah pihak yaitu antara calon mempelai pria
dan calon mempelai wanita tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Adanya izin dari orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun.
b. Bagi laki-laki harus sudah mencapai umur 19 tahun dan 16 tahun bagi
wanita, dibawah umur tersebut jika ingin melangsungkan pernikahan.
Selain surat izin dari kedua orang tua maka harus mendapat izin
dispensasi dari pengadilan negeri karena alasan yang sangat penting
4. Perspektif Dalam Pernikahan Dini
a. Perspektif Hukum
Dipandang dari segi hukum, pernikahan itu merupakan suatu perjanjian
antara seorang pria dan seorang wanita, alasan untuk mengatakan pernikahan itu
merupakan suatu perjanjian karena adanya:
25. 21
1) Cara mengadakan ikatan pernikahan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan
akad nikah dan rukun atau syarat tertentu.
2) Cara menguraikan atau memutuskan ikatan pernikahan juga telah diatur
sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fassakh dan
sebagainya. (Idris Ramulyo, 2004:17).
Perjanjian dalam pernikahan mempunyai atau mengandung tiga karakter
yang khusus yaitu:
1) Pernikahan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
2) Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan
pernikahan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut
berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
3) Persetujuan pernikahan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak (Soemyati, 1982 : 10).
Menurut Wiryono Prodjodikoro (1974 : 8) perbedaan antara persetujuan
pernikahan dan persetujuan –persetujuan yang lainnya adalah dalam persetujuan
biasa para pihak pada pokoknya, penuh merdeka untuk menentukan sendiri isi
dari persetujuan itu sesuka hatinya asal saja persetujuan itu tidak bertentangan
dengan Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum. Pernikahan sudah sejak
semula ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan antara suami isteri.
Perempuan dan laki-laki berkata sepakat untuk melakukan pernikahan
satu sama lain berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan
hukum yang berlaku “mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak
selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung dan mengenai kedudukannya
dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya, juga dalam menghentikan
pernikahan” (R. Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 8). Suami isteri tidak leluasa penuh
untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat
juga pada peraturan hukum.
b. Perspektif Sosial
Menurut Mohd. Idris Ramulyo (2004 : 18) “dalam masyarakat setiap
bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang yang mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin”. Dulu sebelum
adanya peraturan tentang pernikahan, wanita bisa dimadu tanpa bisa berbuat apa-
apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam pernikahan mengenai nikah poligami itu
26. 22
hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat tertentu
pula. Penundaan usia menikah yang bersamaan dengan meningkatnya
kecenderungan aktivitas seks pra nikah ditambah dengan lemahnya pengawasan
sosial, telah mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah kehamilan yang tidak
diinginkan dikalangan remaja. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan remaja tentang
reproduksi dan kehati-hatian remaja dalam perilaku seks bebas.
“Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja menimbulkan beberapa
masalah antara lain aborsi, menjadi orang tua di usia belia dan menjadi ibu
lajang. Masalah seperti ini biasanya diikuti oleh konsekuensi lanjutan yang
berdimensi psikologis dan sosial ekonomi” (Pratiwi, 2004 : 131).
Akibat paling dramatis dari orang tua diusia remaja adalah terpenggalnya
pendidikah remaja, terutama perempuan. Para remaja yang hamil dan drop out
dari sekolah sulit untuk melanjutkan kembali pendidikan karena kesibukan
mengurus anak dan kesulitan mencari sekolah yang mau menerima. Terputusnya
pendidikan ini secara signifikan mengurangi rentang kesempatan atau pilihan
hidup dimasa depan, terutama yang berkaitan dengan kesempatan meperoleh
pekerjaan dan mencapai posisi ekonomi yang baik.
c. Perspektif Psikologis
Orang yang menikah di usia muda / dini lebih mungkin mencapai taraf
aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang
selalu menunda pernikahan. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus
memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada
gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan
kepribadian yang mengesankan.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir,
bahwa pernikahan diusia muda karena rentan dengan konflik dan bisa berujung
perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum
dewasa, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk
menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah.
Pernikahan dini yang rentan dengan perceraian itu adalah pernikahan
yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab
pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan
kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Dimana pergaulan bebas atau free sex
27. 23
sama sekali bukan nama yang asing ditelinga kaum remaja saat ini, para gadis
(yang sudah tidak gadis lagi) hamil diluar nikah, untuk menanggulangi musibah
kaum remaja ini hanya satu jawabannya yaitu nikah.
d. Perspektif Agama
Dalam agama, Rasullah SAW Bersabda, “Wahai para pemuda, barang
siapa diantara kalian telah mencapai ba’ah. Maka nikahlah. Karena sesungguhnya
nikahlebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila
tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah
kendali (dari gairah seksual)”. (HR. Imam Yang Lima).
Pesan diatas selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak, juga
menyimpan sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahunpun seorang anak bisa
saja telah memiliki potensi menuju kematangan seksual. Kini, dengan kemajuan
teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak maupun elektronik)
yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran
apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak dibawah umur
yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar.
Pandangan suatu pernikahan dari segi agama suatu segi yang sangat
penting, pernikahan itu dianggap suatu lembaga yang suci, yang kedua pihak
dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta menjadi
pasangan hidupnya dengan mampergunakan nama Allah.
Dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan
yang rentan terhadap konflik yang bisa berujung pada perceraian adalah
pernikahan yang diakibatkan keterpaksaan karena kekurangsiapan mental dari
kedua pasangan yang masih belum cukup dewasa untuk memikul tanggung jawab
sebagai orang tua.
5. Tinjauan Tentang Pernikahan Dini
a. Pengertian Anak Dibawah Umur
Berdasarkan pasal 45 KUHP pengertian anak adalah orang yang belum
cukup umur, maksud dari belum cukup umur disini adalah mereka yang
melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, sedangkan pasal 91 ayat 4
menyebutkan “dengan anak dimaksud pula orang yang ada dibawah kekuasaan
bapak” (Moeljanto, 1999:37).
28. 24
Menurut pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak merumuskan bahwa “anak adalah seorang yang belum
mencapai usia 21 tahun dan belum pernah nikah”. Dalam penjelasan disebutkan
pula batas usia 21 tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan
kematangan kepentinga usaha sosial, kematangan pribadi dan kematangan anak
dicapai pada usia tersebut.
Sedangkan anak dalam ilmu hukum adalah “anak dimata hukum dianggap
belum bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya “ (Agung Wahyono dan Siti
Rahayu, 1993 : 19).
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak
dibawah umur adalah seorang anak yang belum mencapai umur 21 tahun yang
masih berada dibawah kekuasaan orang tua dan belum dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya secara hukum.
b. Tujuan Batas Usia Pernikahan
Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa
tujuan pernikahan adalah untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, maka demi
terwujudnya suatu tujuan pernikahan telah dilakukan bermacam upaya yang salah
satunya adalah mengenai batas usia minimal seseorang untuk melangsungkan
suatu pernikahan.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 batas usia untuk
melangsungkan pernikahan 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Hal ini
dilakukan demi terwujudnya suatu tujuan pernikahan, namun jika pada realitanya
suatu tujuan pernikahan itu tidak terwujud atau tidak sesuai dengan yang
diinginkan maka hal ini bisa saja terjadi karena kekurangsiapan mental, sosial,
ekonomi pasangan suami isteri.
Untuk itu calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan pernikahan, agar dapat mewujudkan tujuan pernikahan dengan
baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami isteri yang
masih dibawah umur. Selain itu juga berkaitan dengan untuk menjaga kesehatan
antara calon suami isteri dan keturunan mereka maka perlu ditetapkan batas-batas
umur pernikahan.
29. 25
c. Pernikahan Dini
Untuk melangsungkan suatu pernikahan seseorang harus sudah berusia 21
tahun, sedangkan yang belum berumur 21 tahun haruslah mendapat izin dari
orang tua hal ini sesuai dengan pasal 6 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 yang menyebutkan bahwa “untuk melangsungkan pernikahan seseorang
yang berumur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua”.
Bagi mereka yang belum berumur 19 tahun bagi pria dan belum berumur
16 tahun bagi wanita tidak boleh melangsungkan pernikahan sekalipun diizinkan
oleh kedua orang tua, kecuali ada izin dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh orang tua pihak pria maupun pihak wanita, hal ini sesuai
dengan pasal 7 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Jadi pengertian pernikahan dibawah umur adalah suatu pernikahan yang
dilaksanakan oleh seseorang laki-laki dan seorang perempuan dimana masing-
masing pihak sudah mencapai umur 21 tahun dan masih dibawah kekuasaan
orang tua sehingga segala perbuatan belum dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum.
B. Sekolah
1. Pengertian Sekolah
Sekolah adalah sistem interaksi sosial suatu organisasi keseluruhan terdiri
atas interaksi pribadi terkait bersama dalam suatu hubungan organic (Wayne dalam
buku Soebagio Atmodiwiro, 2000:37). Sedangkan berdasarkan Undang – undang No.
2 tahun 1989 sekolah adalah satuan pendidikan yang berjenjang dan
berkesinambungan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Menurut
Daryanto (1997:544), sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar serta
tempat menerima dan memberi pelajaran.
Jadi sekolah sebagai suatu sistem sosial dibatasi oleh sekumpulan elemen
kegiatan yang berinteraksi dan membentuk suatu kesatuan sosial sekolah yang
demikian bersifat aktif kreatif artinya sekolah dapat menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi masyarakat dalam hal ini adalah orang – orang yang terdidik.
Dari definisi tersebut bahwa sekolah adalah suatu lembaga atau organisasi
yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pemebelajaran. Sebagai
suatu organisasi sekolah memiliki persyaratan tertentu.
30. 26
Sekolah adalah suatu lembaga atau tempat untuk belajar seperti membaca,
menulis dan belajar untuk berperilaku yang baik. Sekolah juga merupakan bagian
integral dari suatu masyarakat yang berhadapan dengan kondisi nyata yang terdapat
dalam masyrakat pada masa sekarang. Sekolah juga merupakan lingkungan kedua
tempat anak – anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiannya. (Zarti Arbi dalam
buku Made Pidarta, 1997:171).
Berdasarkan dari beberapa teori di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
sekolah adalah bagian integral dari suatu masyarakat yang berhadapan dengan
kondisi nyata yang terdapat dalam masyarakat pada masa sekarang dan sekolah juga
merupakan alat untuk mencapai pendidikan yang bermutu dan memenuhi standar
nasional pendidikan.
2. Pendidikan dan Pernikahan
Pendidikan adalah hak asasi manusia yang wajib diperoleh. Kewajiban
mendapatkan pendidikan ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 (1) yang berbunyi
setiap warga negara, berhak mendapatkan pengajaran. Usia Nikah Perempuan 20
Tahun, Laki-laki 25 Kepala BKKBN mendesak revisi usia nikah.
Program wajib belajar 9 tahun mewajibkan setiap warganya untuk
memperoleh pendidikan dasar dan pendidikan menengah selama 9 tahun di sekolah.
Program tersebut mengharapkan agar setiap warga negara dapat terbebas dari buta
huruf, sehingga dapat mengurangi angka rendahnya pendidikan di Indonesia.
UNESCO menyatakan bahwa jika ingin membangun dan berusaha
memperbaiki keadaan seluruh bangsa, maka haruslah dari pendidikan, sebab
pendidikan adalah kunci menuju perbaikan terhadap peradaban. Definisi Unesco
mengenai pendidikan adalah learning how to think, learning how to do, learning how
to be, learning how to learn dan learning how to live together.
Selain itu, Pendidikan menjadi sebuah poin penting dalam Millennium
Development Goals, khususnya di Indonesia. Pendidikan bagi semua merupakan poin
kedua dalam MDGs Indonesia. Dalam laporan MDGs memperlihatkan bahwa
pendidikan belum merata, khususnya di daerah-daerah terpencil, yang kemudian
ditanggapi oleh pemerintah dengan mewajibkan wajib belajar 9 tahun dengan tujuan:
1. Mendorong anak-anak usia 13-15 agar masuk sekolah baik di SMP, MTs maupun
pendidikan lainnya yang sederajat.
31. 27
2. Meningkatkan angka partisipasi anak untuk masuk sekolah SMP/MTs terutama di
daerah yang jumlah anak tidak bersekolah SMP/MTs masih tinggi.
3. Menurunkan angka putus sekolah SMP/MTs atau yang sederajat
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mensukseskan penuntasan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
5. Meningkatkan peran serta organisasi kemasyarakatan dalam mensukseskan
gerakan nasional penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
6. Meningkatkan peran, fungsi dan kapasitas pemerintah pusat, pemerintah propinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan dalam penuntasan wajib belajar di daerah masing-
masing.
Jika program wajib belajar 9 tahun tersebut sukses, maka jumlah pernikahan
dengan usia pernikahan pertama di bawah umur dapat berkurang. Jika banyak anak di
bawah umur yang masuk sekolah, maka mereka akan mendapatkan pengetahuan
mengenai keluarga dan biologis mereka, sehingga, semakin banyak anak yang
mengerti bahwa usia di bawah umur memiliki tingkat bahaya melahirkan yang tinggi,
mereka dapat menunda kehamilan hingga cukup umur, sehingga dapat mengurangi
tingginya angka kematian ibu di Indonesia.
3. Usia Pernikahan Pertama dan Pendidikan
Pada beberapa studi sosial terdapat sebuah teori yang menyatakan bahwa
semakin tinggi pendidikan Perempuan, maka semakin lama usia pernikahan
pertamanya.
Teori modernisasi Goode menyebutkan bahwa industrialisasi telah merubah
sistem keluarga di negara berkembang berubah ke arah negara-negara Eropa
(westernisasi). Proses modernisasi tersebut membuat masyarakat dengan status sosial
yang tinggi memilih untuk menikah di usia matang karena keinginan mereka untuk
mendapatkan kebebasan. Masyarakat yang lahir dan besar di kota besar lebih
memilih untuk menikah di usia tua dibandingkan dengan mereka yang tinggal di
pedesaan, atau kota kecil.
Dalam karyanya Goode menjelaskan bahwa:
“When such a [conjugal] system begins to emerge in a society, the age at
marriage is likely to change because the goals of marriage change, but
whether it will rise or fall cannot be predicted from the characteristics
mentioned so far. In a conjugal system, the youngsters must now be old
32. 28
enough to take care of themselves, i.e., they must be as old as the economic
system forces them to be in order to be independent at marriage”
Menurut Grossbard-Shechtman dalam riset Josef Bruederl dan Andreas
Diekmann menyebutkan bahwa perempuan yang memiliki pendidikan tinggi
memperlihatkan kurangnya minat untuk menikah.
Keeley menyatakan bahwa perempuan yang masih berada dalam sebuah
institusi pendidikan cenderung untuk menikah seusai sekolah, sehingga institusi
membuat Perempuan menikah di usia lanjut.
Menurut pendapat Klaauw, berdasarkan teori, ketertarikan untuk menikah dan
membuat keluarga baru pada perempuan yang mendapatkan kesempatan untuk
belajar dan bekerja lebih rendah. Karena perempuan yang memiliki pekerjaan yang
baik, lebih memilih pekerjaan dibandingkan pernikahan.
Dalam risetnya di Vietnam, Lung Vu menemukan bahwa Perempuan yang
hidup di pedesaan, tinggal di Vietnam Selatan, memiliki pendidikan yang rendah, dan
merupakan etnis minoritas menikah saat masih remaja.
Studi sosiologi terkait masalah usia pernikahan pertama dengan pendidikan
menjelaskan bahwa Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan dan mendapatkan
pendidikan tinggi serta keterampilan yang memadai, lebih cenderung untuk menikah
di usia lebih dari 23 tahun.
Jika seorang Perempuan mendapatkan pendidikan yang tinggi dan pekerjaan
yang bagus dan layak, maka Perempuan akan lebih cenderung terfokus akan
pekerjaan dibandingkan dengan menikah, dan berkeluarga. Maka dari itu, beberapa
tokoh dari teori modernisasi menyatakan bahwa pendidikanlah yang membuat
Perempuan di daerah perkotaan cenderung menikah lebih lambat dibandingkan
dengan Perempuan di pedesaan.
C. Dampak Pernikahan Dini Terhadap Pendidikan Remaja
Seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu
akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan yang rentan dengan
keberlangsungan ekonomi, seseorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus
SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh
pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai.
33. 29
D. Peran Orang tua dalam Pendidikan
Kata peran dapat diartikan sebagai hal berlaku atau bertindak. “Adapun
pengertian peran yaitu fungsi, kedudukan, bagian kedudukan”. Sedangkan “orag tua
adalah orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah tangga yang
dalam kehidupan sehari – hari lazim disebut dengan ibu bapak”. Menurut Ahmad bahwa
“orang tua adalah kelompok primer yang paling penting didalam masyarakat dan
merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, isteri dan anak”.
Dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan suatu kesatuan hidup. Sistem
sosial dan keluarga menyediakan situasi belajar sebagai satu kesatuan maka keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ikatan kekeluargaan akan membantu anak dalam
pendidikan. Dalam pendidikan, kasih sayang orang tua adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari konsep pendidikan. Karena itu ketika orang tua menyebut frase
pendidikan orang tua terhadap anak maka dengan sendirinya orang tua menyebut
limpahan kasih sayang dari mereka.
Bila kasih sayang diberikan secara tulus oleh orang tua dan dalam bentuk yang
paling tulus dalam pendidikan anak, maka dengan sendirinya anak akan tergerak untuk
belajar dan terus melanjutkan pendidikan. Bila tidak ada dukungan dan pemahaman dari
orang tua anak menjadi putus sekolah.
Peran orang tua sangat penting dalam pendidikan anak, orang tua merupakan hal
penentu bagi keberhasilan anak. Maka peran orang tua dapat diartikan sebagai kesadaran
orang tua untuk mempedulikan anaknya, baik dari segi emosional maupun material.
Pada hakikatnya tanggung jawab pendidikan itu adalah tanggung jawab yang
besar dan penting. Sebab pada tatanan oprasionalnya, pendidikan merupakan pemberian
pertolongan, dan bantuan dari orang dewasa atau orang yang bertanggung jawab atas
pendidikan kepada anak yang belum dewasa.
E. Faktor-Faktor Terjadinya Pernikahan Dini
Dalam Kehidupan Sehari-Hari (Studi Kasus Desa Kebon Ratu Kecamatan Lebak Wangi
Kabupaten Serang).
Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mendorong
terjadinya pernikahan dini di Desa Kebon Ratu Kecamatan Lebak Wangi adalah sebagai
berikut:
1) Faktor Ekonomi
a. Masalah ekonomi kaluarga
34. 30
b. Orang tua dari si gadis meminta persyaratan kepada keluarga laki-laki apabila
mengawinkan anaknya
c. Bahwa dengan adanya perkawinan usia muda tersebut maka dalam keluarga si
gadis akan berkurang satu anggota yang menjadi tanggung jawab dalam
keluarganya.
2) Faktor Pendidikan
Dimana seorang anak yang putus sekolah pada usia wajib sekolah, akan
cenderung membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif dan diluar
kendali, karena pada umumnya mereka secara lingkungan tidak terkontrol kembali akibat
hilangnya rutinitas belajar mereka sebagai individu yang belum matang.
3) Faktor telah melakukan hubungan biologis.
Yakni remaja yang telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri.
Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan
anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan
lagi, dan hal ini menjadi aib. (Ahmad,2009).
4) Orang tua
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah sehingga pola pikir orang tuapun
bersifat pasrah dan menerima, pola pikir orang tuapun bersifat pasrah dan menerima,
kepasrahan inilah maka orang tua kurang memahami adanya UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974.
5) Adat istiadat
Menurut adat-istiadat pernikahan sering terjadi karena sejak kecil anak telah
dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Bahwa pernikahan anak-anak untuk segera
merealisir ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan
kerabat mempelai perempuan yang memang telah lama mereka inginkan bersama,
semuanya supaya hubungan kekeluargaan mereka tidak putus. (Wigyodipuro, 1967 :
133)
F. Teori Pendidikan Luar Sekolah
1. Relevansi Pendidikan Luar Sekolah tentang Masalah Penelitian
Menurut Suzanna Kindervatter mengemukakan definisi pendidikan luar
sekolah sebagai suatu penerapan kebutuhan, minat orang dewasa dan pemuda putus
sekolah di negara berkembang, membantu dan memotivasi mereka untuk
35. 31
mendapatkan keterampilan guna menyesuaikan pola tingkah laku dan aktivitas yang
akan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan standar hidup.
Berdasarkan pengertian di atas pendidikan luar sekolah mempelajari suatu
ilmu patologi sosial dan masalah – masalah sosial. Istilah patologi sosial berasal dari
kata pathos. Penderitaan, penyakit. Dan Logos artinya ilmu, atau ilmu tentang
penyakit. Patologi sosial adalah ilmu tentang gejala – gejala sosial yang diaggap
“sakit”, disebabkan oleh faktor – faktor sosial. Patologi sosial adalah ilmu tentang
penyakit masyarakat yaitu tentang penyakit masyarakat yaitu tingkah laku umum dan
adat istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku tidak biasa. Perilaku
pernikahan dini termasuk patologi sosial karena berhubungan pula dengan salah satu
dari faktor pernikahan dini yaitu hamil di luar nikah yang disebabkan oleh pergaulan
bebas.
Sedangkan Masalah Sosial adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan
atau sebagai kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang seharusnya
(Jenssen, 1992). Remaja pada usia sekolah seharusnya bisa mengenyam pendidikan
akan tetapi karena pernikahan dini remaja menjadi putus sekolah dan tingkat
pendidikan yang rendah.
36. 32
BAB 3
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji, yaitu mengenai Dampak
Pernikahan Dini Terhadap Usia Sekolah di Desa Kebon Ratu Kecamatan Lebak Wangi
Kabupaten Serang, maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu
yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari
suatu gejala tertentu (Traves dalam Umar Husein, 2005 : 81). Sedangkan menurut
Moleong Lexy J (2002:6). Metode Kualitatif adalah penelitian yang dimaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik
dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Metode
penelitian ini dapat digunakan lebih banyak segi dan lebih luas dari metode yang lain,
dan dapat juga memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai
macam masalah.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan studi
kasus, karena permasalahan yang dibahas dalam dalam penelitian ini tidak berhubungan
dengan angka-angka, akan tetapi menyangkut pendeskripsian, penguraian dan gambaran
suatu masalah yang sedang terjadi. Jenis penelitian ini termasuk penelitian yang rinci
mengenai suatu obyek tertentu selama kurun waktu tertentu dengan cukup waktu
mendalam dan menyeluruh termasuk lingkungan dan kondisi masa lalunya (Umar
Husein, 225 : 82). Studi kasus kadang – kadang melibatkan peneliti dengan unit terkecil
seperti kelompok - kelompok masyarakat tertentu. Keuntungan penelitian memakai studi
kasus ini antara lain adalah peneliti mendapatkan informasi yang lebih mendalam
sehigga dapat menjawab mengapa keadaan itu terjadi dan juga dapat menemukan
hubungan-hubungan yang tadinya tidak diharapkan.
37. 33
B. Teknik Penelitian dan Langkah Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik sebagai
berikut:
1. Wawancara
Menurut Moleong (2002 : 135), wawancara adalah percakapan yang dilakukan
antara dua arah, dimana pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancara
menjawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Wawancara dilakukan secara langsung
kepada responden sehingga dapat diperoleh data yang lengkap, yaitu dampak pernikahan
dini pada usia sekolah dan peranan orang tua dalam menumbuhkan minat bersekolah.
Wawancara ditujukan pada remaja usia sekolah yang menikah dini, orang tua di
Desa Kebon Ratu, Kecamatan Lebak Wangi, Kabupaten Serang. Metode wawancara ini
digunakan untuk mendapatkan informasi yang ada dengan jawaban yang sebenar-
benarnya dan jujur yang berkaitan dengan sikap, perasaan serta pandangan mereka.
Metode wawancara yang dilakukan dengan cara tanya jawab secara lisan mengenai
masalah-masalah yang ditanyakan dengan pedoman pada daftar pertanyaan tentang
masalah-masalan pokok yaitu pernikahan dini.
Beberapa alasan dipilihnya teknik wawancara sebagai metode pengumpulan data
adalah sebagai berikut:
1. Dengan wawancara akan mengurangi kecurigaan subyek tentang kegunaan dan
manfaat data yang diungkap.
2. Suasana keakraban yang terjadi dalam wawancara dimungkinkan memperoleh data
yang obyektif.
3. Dengan wawancara peneliti dapat mengetahui kondisi nyata subyek seperti kondisi
social ekonomi dan kondisi lingkungan subyek.
2. Observasi
Menurut Moleong (1990 : 1770), bahwa penelitian kualitatif tidak dapat
dipisahkan dari pengamatan berperan serta. Pengamatan berperan serta ini biasa disebut
dengan observasi partisipan dimana pengamat berperan serta sekaligus menjadi anggota
resmi yang diamati.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini dimasudkan untuk mengamati
secara langsung untuk mengetahui bagaimanakah keadaan para remaja usia sekolah yang
melaksanakan pernikahan dini di Desa Kebon Ratu, Kecamatan Lebak Wagi Kabupaten
Serang.
38. 34
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan termasuk juga
buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian (Rachman, 1993 : 91).
Dokumentasi adalah mencari data dan mengenai hal atau variable yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat,agenda dan sebagainya
(Suharsimi Arikunto, 1996 : 188).
Dokumentasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Akta nikah pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan dini
2. Akta lahir dari anak yang melakukan pernikahan dini
3. Catan jumlah penduduk yang Melakukan pernikahan pada petugas Pembantu Pencatat
Nikah setempat.
Dengan digunakannya metode dokumentasi dalam penelitian ini nantinya dapat
membantu peneliti didalam melaksanakan penelitian mengenai masalah pernikahan dini,
dan memperoleh data yaitu gambar dari lokasi penelitian dan responden pada saat
meleksanakan wawancara. Dokumen yang digunakan adalah handphone untuk merekam
dan foto, dll.
Adapun alasan peneliti menggunakan Dokumentasi dalam pengumpulan data
antara lain:
1. Untuk melengkapi data yang sudah ada dari wawancara dan observasi
2. Karena dokumentasi merupakan sumber data yang stabil, kaya dan mendukung
3. Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian
4. Keadaannya berguna dan sesuai untuk penelitian kualitatif
C. Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis data kualitatif dari sumber primer dan
sumber sekunder.
1. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber data yang secara langsung memberikan data
kepada pengumpul data (Sugiyono, 2012:225). Sumber primer ini berupa catatan hasil
wawancara yang diperoleh melalui wawancara yang penulis lakukan. Selain itu,
penulis juga melakukan observasi lapangan dan mengumpulkan data dalam bentuk
39. 35
catatan tentang situasi dan kejadian di Desa Kebon Ratu Kec Lebak Wangi Kabupaten
Serang.
2. Sumber Sukender
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak memberikan
informasi secara langsung kepada pengumpul data. Sumber data sekunder ini dapat
berupa hasil pengolahan lebih lanjut dari data primer yang disajikan dalam bentuk lain
atau dari orang lain. (Sugiyono, 2012:225). Data ini digunakan untuk mendukung
informasi dari data primer yang diperoleh baik dari wawancara, maupun dari
observasi langsung ke lapangan. Penulis juga menggunakan data sekunder hasil dari
studi pustaka. Dalam studi pustaka penulis membaca literatur – literatur yang
berhubungan dengan penelitian ini.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam
pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong 1999 : 103).
Dalam penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif kualitatif yaitu bentuk yang
menuturkan dan menafsirkan data yang ada tentang situasi dan kondisi yang dialami.
Dalam penelitian analisis kualitatif ini dapat ditempuh dengan langkah-langkah:
1. Reduksi
Reduksi data merupakan salah satu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data
dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan
Diverivikasikan (Miles, 1992 : 15-16).
Dalam reduksi data yang terkumpul diringkas atau disederhanakan untuk
diseleksi dan diteliti, sehingga mempunyai tingkat relevansi yang tinggi sesuai dengan
masalah yang diteliti.
2. Penyajian data
Menurut Miles (1992 : 17-18), penyajian data merupakan kegiatan analisis
merancang deretan dan kolom-kolom sebuah matriks untuk data kualitatif dan
menentukan jenis dan bentuk data yang masuk ke dalam kotak-kotak matriks.
3. Menarik kesimpulan
Tahap terakhir yaitu melakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian sesuai
dengan tujuan penelitian.
40. 36
Menurut Miles (1992 : 19), menarik kesimpulan adalah sebagian dari suatu
kegiatan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan - kesimpulan juga diverivikasikan selama
penelitian berlangsung, singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus diuji
kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.
Dari uraian di atas dapat dilihat dalam bentuk skema dapat digambarkan sebagai
berikut:
Reduksi Data Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Pengumpulan Data
41. 37
DAFTAR PUSTAKA
Agung Wahyono dan Siti Rahayu. 1993.Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika
Ahmad Rofiq. 2002. Psikologi Islami. Bandung. PT. Rosdakarya
Anonim. Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Arikunto, Suharsimi. 2004. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta
Hilman Hadikusuma. 1983. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni
Lexy. J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
M, Fuzil Adhim, 2002, Indahnya Pernikahan Dini, Jakarta: Gema Insani Press.
Miles, Mettew. B dan Hubberman. A. Micheal. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI
Press
Moeljatno. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Mohd. Idris Ramulyo. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Peunoh Daly. 1988. Hukum perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Pratiwi. 2004. Pendidikan Seks Untuk Remaja.Yogyakarta: Tugu Publisher
Rachman, Maman. 1993. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian. Semarang: IKIP
Semarang
R. Wiryono Prodjodikoro. 1974. Hukum Perkawinan Di Indonesia.Bandung: Sumur Bandung
Retno Wulan Sutanto. 1979. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta. Rineka Cipta
Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan RI Tahun 2010,h. 188
Soemiyati. 1982 Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
Subekti, Prof. SH. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdat. Jakarta: PT. Intermasa.
Traves Umar Husein. 2005. Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern. Bandung. PT.
Rosdakarya.
Vu, Lung. Age at First Marriage in Vietnam: Trends and Determinants. (Tulane University
School of public health and Tropical Medicine, 2005) h.1
Wajar 9 tahun
http://dit-plp.go.id/index.php/artikel/65-wajar-9-tahun