1. Pro dan Kontra UU Poligami
1. Pro
Secara umum dapat dikatakan bahwa ulama-ulama salaf tidak ada yang berpedapat
kecuali bolehnya poligami dalam Islam. seperti pendapat para imam mazhab besar yang
empat yakni Imam Malik, Abu Hanifah, syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Yusuf Qardhawi
sendiri menjelaskan, ketika ditanya tentang adanya ulama yang mengharamkan poligami,
bahwa katanya, ia tidak mengerti kalau sampai ada ulama yang berpendapat demikian.
Menurutnya kalau sampai ada ulama yang berpendapat demikian, maka orang itu tidak
mengerti kaidah istbat dan nafi, dan sepertinya ia menuduh ayat al-Quran itu kontradiksi
antara satu dengan lainnya. Karena di satu ayat membolehkan menikah wanita lebih dari
satu orang dengan syarat adil, akan tetapi di ayat yang lain melarangnya karena orang
yang menikah lebih dari satu tidak akan dapat berlaku adil. Dan menurut Yusuf Qardhawi
pandangan yang mengharamkan poligami sepertinya menuduh nabi dan para sahabat
tidak mengerti al-quran dan bilangan. Dan kalaupun kalangan yang mengharamkan
berdalil berdasarkan ayat ” dan kamu tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrimu”
menurut yusuf Qardhawi adalah bahwa keadilan yang sempurna adalah hal yang tidak
mungkin hingga rasulullah sendiri hanya dapat berbagi dengan istri-istrinya dalam urusan-
urusan yang luar saja sampai Rasul sendiri bersabda: “Ya Allah ini adalah bagian yang aku
punya saja, maka janganlah cela aku terhadap apa yang engkau miliki dan tidak aku
miliki”
Hikmah Dibolehkannya Poligami
Dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam, Syeikh Yusuf Qardhawi menjelaskan
Bahwa Islam datang sebagai agama yang menyuluruh untuk semua umat manusia baik
yang tinggal di kota, desa, tempat dingin, panas, dan bukan untuk satu masa tapi
sepanjang masa. Berkenaan dengan masalah pernikahan dan poligami, Syeikh Qardhawi
menjelaskan lebih lanjut bahwa di antara istri ada yang mandul sedang suami ingin sekali
memiliki keturunan, atau istri yang sakit sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan
biologis suaminya, masa haid yang panjang sedangkan suami memiliki nafsu yang besar,
atau istri yang dingin atau frigid, jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki karena
perang yang umumnya dilakukan oleh laki-laki. Maka dalam kondisi-kondisi seperti ini
menurutnya “Bukankah suatu kehormatan bagi si isteri dan keutamaan bagi si suami
kalau dia kawin lagi dengan seorang wanita tanpa mencerai isteri pertama dengan
memenuhi hak-haknya?” Maka di sini poligami kata Yusuf Qardhawi merupakan suatu
kemaslahatan bagi masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian
mereka akan merupakan manusia yang bergharizah, dan tidak hidup sepanjang umur
berdiam diri di rumah, tidak kawin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga
yang di dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya
sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.
Ada tiga kemungkinan bagi perempuan dalam masalah seperti di atas, atau ketika
wanita tidak mempunyai suami. Pertama, perempuan hidup sendiri dalam kepahitan
hidup tanpa suami, atau anak, atau keluarga. Kedua, menggunakan alat-alat kontrasepsi
untuk bermain-main dengan lelaki yang haram, dan ketiga, mungkin mereka mau
2. dikawini oleh suami yang sudah beristri yang mampu memberi nafkah dan mau berlaku
adil. Tidak diragukan lagi, kata Yusuf Qardhawi, bahwa kemungkinan ketiga adalah satu-
satunya jalan yang paling bijaksana dan obat mujarrab. Dan inilah hukum yang dipakai
oleh Islam, sedang “Siapakah hukumnya yang lebih baik selain hukum Allah untuk orang-
orang yang mau beriman?” Inilah sistem poligami yang banyak ditentang oleh orang-
orang Kristen Barat yang dijadikan alat untuk menyerang kaum Muslimin, di mana
mereka sendiri membenarkan laki-lakinya untuk bermain dengan perempuan-perempuan
cabul, tanpa suatu ikatan dan perhitungan, betapapun tidak dibenarkan oleh undang-
undang dan moral. Poligami liar dan tidak bermoral ini akan menimbulkan perempuan
dan keluarga yang liar dan tidak bermoral juga. Kalau begitu manakah dua golongan
tersebut yang lebih kukuh dan lebih baik?
Praktek poligami tidak mungkin untuk dilarang. Berdasarkan hikmah Ilahi, pasti akan
terdapat efek samping yang bahaya dari pelarangan tersebut. Dengan ditiadakan praktek
poligami niscaya akan banyak praktek mesum illegal di antara para suami pemilik istri.
Dan itu terbukti pasca diberlakukannya undang-undang no:10 tahun: 1983 pada masa
Orde Baru dimana banyak pegawai negeri yang melakukan “hubungan gelap” dengan
wanita lain akibat pelarangan berpoligami. Saat diberlakukan undang-undang itu, mereka
lebih memilih untuk berhubungan gelap ketimbang menikah secara resmi (poligami)
yang memiliki syarat-syarat yang teramat memberatkan, tidak sesuai dengan “konsep
keadilan”.
2. Kontra
Pada haramnya poligami kebanyakan bertentangan dengan ajaran Islam yang selama
ini dipegang teguh oleh umat Islam. dalam Masalah poligami suatu kelompok misalnya
berpendapat bahwa Rasulullah melakukan poligami setelah istri pertamanya khadijah
wafat, artinya adalah bahwa nabi Muhammad bermonogami selama 28 tahun, 25 ketika
Khadijah hidup dan 3 tahun sesudah meninggalnya Khadijah. Selain itu mereka juga
berargumen bahwa ayat al-Quran menyatakan bahwa seorang suami tidak akan dapat
berlaku adil jika memiliki istri lebih dari satu (QS Al-Nisa/4:129), dan ini menurut mereka
menunjukan kepada lebih baik monogami dan haramnya poligami. Argumentasi lainnya
adalah perintah berbuat baik kepada istri (QS Al-Nisa/4:19), hal ini juga menunjukan
ketidak bolehan poligami khususnya jika poligami akan menyakiti istrinya, dan ayat ini
juga didukung oleh hadits nabi yang menyatakan bahwa “sebaik-baik suami adalah yang
paling baik prilakunya kepada istrinya”, karena poligami adalah perbuatan menyakitkan
hati istri maka jelas Islam secara substantif melarang poligami. Demikian di antara
argumen kelompok yang menolak poligami.
Selain penjelasan dari ayat-ayat al-Quran yang jelas dan menunjukan kepada ketidak
bolehan poligami, kelompok ini juga meninjau dari aspek kaidah hukum Islam seperti
kemudharatan atau hal-hal negatif atau yang berbahaya. Pihak ini berpendapat bahwa
banyaknya mudhorat yang ditimbulkan bagi orang yang melakukan poligami, seperti
tidak dapat berlaku adil kepada istri-istrinya meski dalam masalah nafkah atau pun
bermalamnya saja. Mudharat yang lain adalah timbulnya pertikaian isrti pertama yang
tidak rela suaminya menikah dengan istri keduanya, hal negatif lainnya adalah munculnya
perselisihan yang tidak hanya terbatas kepada pelakunya saja tapi seringkali bahkan
3. melibatkan anggota keluarga yang lain seperti orang tua kedua belah pihak atau saudara
kandung masing-masing. Selain itu seperti yang disebutkan oleh Musdah Mulia dalam
penelitiannya aspek negatif dari poligami adalah timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga hingga pada pengabaian kepada anak-anak. Dari semua mudharat yang besar ini
maka kelompok ini kemudia berkesimpulan akhir bahwa poligami adalah haram
hukumnya.
Dapat kita lihat banyaknya berbagai gugatan terhadap hukum poligami dari berbagai
kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai ‘pembela hak asasi wanita’ yang berbasis
feminisme. Mereka menyerukan untuk memerangi hukum poligami yang sebagai salah
satu bentuk dari penindasan atas hak asasi wanita. Sayangnya, di Tanah Air pelopor dari
gerakan ini adalah justru para kaum muslimah yang mengaku peng-Esa Tuhan dan
pengaku al-Quran sebagai kitab sucinya, bahkan terdapat istri seorang pemuka agama.
Selama ini, tiada argument kokoh –baik tekstual maupun rasional- yang mereka
lontarkan. Yang mereka kemukakan tidak lebih dari “argument emosional” dalam
melihat beberapa “kasus penyimpangan praktek poligami” yang lantas dijeneralisasikan
pada satu kaidah umum yang menghasilkan satu bentuk hukum universal, penghapusan
hukum dan pelarangan praktek poligami secara total.
Walau tanpa melakukan sensus secara ilmiyah, namun secara umum dari realitas yang
ada, pasangan yang lebih dahulu meninggal adalah suami (lelaki), bukan istri. Hal itu salah
satunya disebabkan karena pekerjaan mereka (suami) lebih keras dan sulit dibanding
perempuan. Belum lagi dengan adanya peperangan yang lebih banyak melibatkan kaum
lelaki. Selain itu, menurut medis, daya tahan tubuh perempuan lebih kuat dibanding laki-
laki dalam menghadapi banyak penyakit[17]. Lantas bagaimana nasib para janda yang
ditinggal oleh suaminya, serta serta anak-anak yatim yang diasuhnya? Mungkin dan boleh
jadi anda akan mengatakan; “Asuh saja anak yatimnya, urusan akan selesai!”. Sekali lagi,
apakah kebutuhan seorang janda akan suami hanya terbatas pada memenuhi kebutuhan
materi (baca: harta) saja sehingga akan selesai dengan mengasuh anaknya yang yatim?
Jadi ungkapan seseorang yang mengatakan: “Toch menolong bukan berarti harus
menikahinya. Berikan saja bantuan dana untuk mencukupi kehidupannya!!!”, merupakan
ungkapan yang egois. Coba kita tanyakan kembali kepada hati nurani kita; Apakah kasih
sayang seorang ayah dapat diganti atau hanya berupa uang (harta) saja? Apakah kita
perlu terhadap keberadaan seorang suami hanya karena masalah memenuhi kebutuhan
biologis dan materi saja? Jawabannya mari kita kembalikan kepada diri kita masing-
masing. Tentu anda akan setuju dengan saya bahwa fungsi suami lebih dari itu. Suami
berfungsi sebagai teman hidup, tempat curhat, pelindung dan sebagainya. Coba sekali
lagi kita lihat diri kita, apakah kita membutuhkan keberadaan suami hanya untuk
memenuhi kebutuhan biologis kita saja, ataukah hanya untuk memenuhi kebutuhan
materi saja, ataukah lebih umum dari itu?
Kita juga harus melihat, bagaimana nasib seorang gadis yang karena alasan tertentu
tidak dapat lekas mendapat pasangan hidup, sementara ia tidak bisa mendapatkan yang
sama-sama single (bujang). Padahal ia juga punya hak untuk memiliki pasangan dan
teman hidup? Bukankah memiliki pasangan hidup merupakan hak setiap wanita? Namun
karena berbagai alasan seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian wanita tidak
sampai kepada haknya tersebut, melainkan dengan status bukan istri pertama. Silahkan
4. dibayangkan jika perempuan itu adalah kita!? Jika kita tetap gelap mata dan bersikeras
untuk tetap ‘menolak’ hukum dan pelaksanaan hukum Allah tersebut oleh pribadi-pribadi
(lelaki) yang telah merasa mampu untuk berlaku adil terhadap seorang wanita-wanita
muslimah sebagai istrinya, lantas masihkah kita marah jika disebut egois? Tidakkah kita
layak disebut egois ketika kita ingin memiliki teman hidup, teman curhat, dan sekaligus
pelindung, sementara wanita lain dilarang untuk mendapatkan hak-haknya tersebut,
walau melalui cara poligami yang diperbolehkan Allah swt, “Tuhan” kita semua?
Salah satu gugatan lagi yang sering dilontarkan kepada poligami , bahwa poligami
menyebabkan keluarga berantakan, anak-anak Broken-Home dan permusuhan. Bisa
kembali balik ditanyakan kepada pelontar gugatan tersebut, apakah hanya poligami saja
yang menjadi penyebab hal tersebut? Dan sebaliknya, apakah semua yang berpoligami
memiliki efek negative semacam itu, walaupun orang tersebut telah menjalankan semua
yang telah dianjurkan agama? Kalau jawabannya positif, maka silahkan buktikan secara
konkrit!? Dan kalaulah jawabannya adalah negatif berarti hal itu kembali kepada pribadi
dan oknumnya itu sendiri. Kita semua mengetahui, sebagaimana seorang suami sebagai
kepala rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap keluarganya baik dalam urusan
material (jasmani) maupun spiritual (rohani) seperti yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an
:”…jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Quu anfusakum wa ahlikum
naaro)[18], maka pada kondisi semacam ini tentu orang yang berpoligami akan memiliki
tanggungjawab lebih besar dibanding para pelaku monogamy. Karena disamping secara
materi ia harus menghidupi istri lebih dari satu, iapun harus mendidik mereka beserta
para anaknya. Tentu ini bukan tugas yang ringan dan tentulah tidak mudah, diperlukan
kerjasama dengan segenap anggota keluarga, terkhusus dari para istrinya . Tanpa ada
kerjasama yang baik, niscaya dampak negative akan selalu mengancam keutuhan
keluarga tersebut. Walaupun hal ini mungkin juga terjadi pada pernikahan monogamy,
namun pada poligami akan memberikan kemungkinan yang lebih besar. Karena
permusuhan yang terjadi di antara para anak dari para istrinya –terkhusus pasca
meninggalnya sang suami- biasanya karena sulutan dari para ibunya. Inilah tugas berat
suami untuk dapat mengontrol dan mendidik mereka tetap menjadi keluarga sakinah
(tentram) yang berasaskan pada mawaddah wa rahmah (kasih dan sayang). Sudah
seharusnya bagi seorang suami ketika hendak ber-poligami untuk memiliki kesiapan
matang dengan memberikan jalan keluar yang bijak terhadap segala kemungkinan
terpahit yang mungkin bakal dihadapinya sewaktu berpoligami. Sehingga dari situ ketika
ia melakukan poligami bukan hanya sekedar untuk koleksi istri, pelampiasan nafsu
syahwat ataupun untuk sekedar kebanggaan, akan tetapi untuk tujuan yang lebih
rasional dalam menggapai kesempurnaan spiritual berupa “ridho Ilahi”. Bukankah dunia
adalah ladang untuk kehidupan akherat (mazra’atul-akhirah)?