4. Introduction
• Prevalensi 2% to 5% dari populasi secara umum salah satu penyebab
tersering nyeri dan disabilitas pada ekstremitas atas
• Patofisiologi dimulai dari resksi inflamasi pada kapsul sendi yang berhubungan
dengan synovitis berkembang menjadi kontraktur fibrosis pada kapsul.
• Tujuan terapi untukmeredakan nyeri dan mengembalikan fungsi gerak sendi
dengan sempurna
• Umumnya, pilihan terapi utama adalah tindakan non-bedah (pharmacotherapy
dan atau fisioterapi)
5. • Saat ini mulai dikenal tindakan bedah yaitu arthroscopic capsular
release namun wakt yang optimal untuk dilakukan tindakan masih
kontroversi selain itu resiko komplikasi tindakan operasi juga menjadi
pertimbangan.
• Studi terbaru menyebutkan bahwa arthroscopic capsular release yang
dilakukan kurang dari 6 bulan setelah onset menunjukkanhasil yang
lebih baik daripada tindakan yang dilakukan lebih dari 6 bulan setelah
onset.
• Namun yang yang digarisbawahi, masih sedikit studi yang
membandingkan hasil tindakan operasi dini dibandingkan tindakan
non bedah
6. • Sehingga studi ini bertujuan untuk membandingkan hasil klinis
dna fungsional jangka pendek dan menengah pada pasien yang
didiagnosis idiopati frozen shoulder dengan onset
keluhanmaksimal 6 bulan yang diterapi dengan arthroscopic
capsular release, injeksi kortikosteroid dan fisioterapi post
operatif dibandingkan pasien yang menerima injeksi
kortikosteroid dan fisioterapi.
7. Metode
• Sampel awal 148 pasien terdiagnosa frozen shoulder th 2010–2016 dirawat di
St Luke’s Hospital, Poland
• Kriteria eksklusi :bilateral incidence of frozen shoulder (n = 33), secondary
frozen shoulder (n = 50), diabetes (n = 4), thyroid disorder (n = 2), diagnosed
adrenal disorder, diagnosed cardiovascular disease, and diagnosed
hyperlipidemia.
• Sampel 59 pasien : Grup I (n = 30) early arthroscopic capsular release, injeksi
kortisteroid fisioterapi. Group II (n = 29) hanya injeksi kortikosteroid dan
fisioterapi
8. Karakteristik sampel
• Usia : Grup I, x = 49.80 ± 2.55 years; Grup II, x = 49.69 ± 4.74 years
• Wanita: Grup I, 57% (n = 17) ; Grup II, 69% (n = 20)
• Onset: Grup I, x = 4.27 ± 1.20 months; Group II, x = 4.07 ± 1.19 months
• The right upper limb yang dominan, Grup I, 43% (n = 13); Grup II, 48%
(n = 14).
9. Outcome Assessment
• Baseline: sebelum terapi dimulai (T0)
• 3 bulan setelah mulai terapi (T1)
• 6 bulan setelah mulai terapi (T2)
• 12 bulan setelah mulai terapi /follow up (T3)
• Goniometer: untuk mengukur ROM
• Quick Disabilities of the Arm, Shoulder and Hand (Quick DASH): mengukur
fungsional (0/ no disability - 100)
• Visual Analogue Scale (VAS): evaluasi nyeri
14. Between-Group
Comparison
• Pada T0 tidak ada perbedaan yang signifikan ROM pada kedua grup (flexion,
abduction, and external and internal rotation).
• Pada T1 and T2 terdapat perbedaan yang signifikan dan berarti pada ROM antara
Grup 1 dan Grup II dimana juga terdapat perbaikan yang signifikan pula antara T1
dan T2 dari masing-masing grup (p ≤ 0.001)
• Tidak ada perbedaan nyeri yang signifikan diatara kedua grup pada T0 ke T1, T2,
and T3
• Untuk perbaikan secara fungsional walaupun perbedaan kedua grup secara statistic
signifikan (p = 0.004) pada T3, namun tidak relevan secara kllinis.
15. Conclusions
• Pasien dengan idiopati frozen shoulder dengan onset gejala maksimum 6
bulan setelah menerima tindakan arthroscopic capsular release dan
injeksi kortikosteroid diikuti dengan fisioterapi post operasi menunjukan
perbaikan yang lebih cepat dalam hal ROM dan fungsi gerak
dibandingkan pasien yang hanya menerima injeksi kortikosteroid dan
fisioterapi saja.
• Namun tindakan arthroscopic capsular release tidak menunjukkan efek
yang menguntungkan pada T3 (12 bulan paska terapi) dimana dalam
jangka waktu yang sama modalitas terapi lain juga menunjukkan hasil yang
sama.
16. • Selain itu modalitas terapi lain menunjukkan hasil yang sama
dalam mengurangi nyeri pada pasien dengan idiopati
frozenshoulder sehingga tampaknya tidak direkomendasikan
pemberian tindakan dini arthroscopic release.