Tugasan kursus PPPJ2463 Sejarah Pemikiran Politik Islam (SPPI), JPATI, FPI, UKM pada sem. 2, sesi 2012/2013 yang dihasilkan oleh Kumpulan B: Ubaidah (Bab 2). Ulasan ilmiah bagi bab-bab dalam buku SPPI yang dihasilkan oleh Prof. Madya Dr. Ismail Bakar.
Tugasan kursus PPPJ2463 Sejarah Pemikiran Politik Islam (SPPI), JPATI, FPI, UKM pada sem. 2, sesi 2012/2013 yang dihasilkan oleh Kumpulan A: Sapinah (Bab 2). Ulasan ilmiah bagi bab-bab dalam buku SPPI yang dihasilkan oleh Prof. Madya Dr. Ismail Bakar.
Tugasan kursus PPPJ2463 Sejarah Pemikiran Politik Islam (SPPI), JPATI, FPI, UKM pada sem. 2, sesi 2012/2013 yang dihasilkan oleh Kumpulan B: Ubaidah (Bab 2). Ulasan ilmiah bagi bab-bab dalam buku SPPI yang dihasilkan oleh Prof. Madya Dr. Ismail Bakar.
Tugasan kursus PPPJ2463 Sejarah Pemikiran Politik Islam (SPPI), JPATI, FPI, UKM pada sem. 2, sesi 2012/2013 yang dihasilkan oleh Kumpulan A: Sapinah (Bab 2). Ulasan ilmiah bagi bab-bab dalam buku SPPI yang dihasilkan oleh Prof. Madya Dr. Ismail Bakar.
Studi Hukum Islam tak henti hentinya di kaji dan menarik untuk dijadikan wacana dan penelitian dalam segala aspek yang melingkupi perjalanan dinamika keislaman. kiranya gairah umat islam yang besar untuk melakukan kajian bisa atersalur lewat forum ilmiyah, forum online dan yang lainnya.
Apakah program Sekolah Alkitab Liburan ada di gereja Anda? Perlukah diprogramkan? Jika sudah ada, apa-apa saja yang perlu dipertimbangkan lagi? Pak Igrea Siswanto dari organisasi Life Kids Indonesia membagikannya untuk kita semua.
Informasi lebih lanjut: 0821-3313-3315 (MLC)
#SABDAYLSA #SABDAEvent #ylsa #yayasanlembagasabda #SABDAAlkitab #Alkitab #SABDAMLC #ministrylearningcenter #digital #sekolahAlkitabliburan #gereja #SAL
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. POLITIK ISLAM (FIQIH SIYASAH)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah , segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah dan
karunianya yang tiada ternilai kepada penyusun, shalawat serta salam semoga tercurah pada
Rasululloh Muhammad SAW, keluarga dan segenap sahabat – sahabatnya, hingga akhir jaman,
Amin.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telahmemberikan bantuan,
dorongan dan do’a, semoga Allah membalas amal baik yang telah dilakukan umat-Nya atas
sesama.Amin
Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca makalah ini sangat penyusun harapkan
demi penyempurnaan makalah ini, karena penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna.
Akhirnya hanya kepada-Nyalah kita memohon semoga Allah SWT menjadikan berbagai amalan
kita ikhlas karena-Nya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………. 1
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………
3
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang………………………………………………………………………….. 4
2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN
1. Tujuan………………………………………………………………………………………
.5
2. 2. Pengertian………………………………………………………………………………….
5
3. Istilah-istilah penting dalam fiqih siya…………………………………………….. 6
4. Paradigma hubungan agama dan negara dalam islam…………………………. 10
5. Sistem pemilihan
khalifah……………………………………………………………………… 11
6. Prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam islam………………………………………………
12
7. Politik hubungan
internasional………………………………………………………………. 15
8. Persoalan politik islam
kontemporer……………………………………………………….. 17
BAB III PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………………………………………………
. 21
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………
22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama
yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi,
sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi
meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain
terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan
meniru sistem ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus
diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dan oleh
empat Khulafa al-Rasyidin.
B. Rumusan Permasalahan
1. Apa pengertian dari fiqih siyasah?
2. Apa saja istilah penting dalam fiqih siyasah?
3. Bagaimana paradigma hubungan agama dan negara dalam islam?
4. Bagaimana sistem pemilihan khalifah?
5. Apa saja prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam islam?
6. Bagaimana politik hubungan internasional?
7. Apa saja persoalan politik islam kontemporer?
3. C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian fiqh siyasah ( siyasah syar’iyyah )
2. Dapat memahami istilah-istilah yang berhubungan dengan pemerintahan islam.
3. Dapat memahami paradigma hubungan agama dan negara dalam islam.
4. Dapat mengetahui sistem pemilihan khalifah.
5. Dapat mengetahui Prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam islam.
6. Dapat mengetahui politik hubungan internasional.
7. Dapat memahami tentang persoalan politik islam kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
Istilah politik berasal dari kata politics ( bahasa inggris) yang bermakna mengatur, strategi, cara,
dan jalan untuk meraih kekuasaan. Dalam islam istilah politik dikenal dengan siyasah syar’iyyah
yang kemudian populer diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan politik islam. Secara
bahasa siyasat berasal dari kata sa-sa yang berarti mengatur, mengurus, memerintah, memimpin,
mengarahkan dan mengendalikan sesuatu. Definisi ini selaras dengan hadis nabi SAW, sebagai
berikut
“ Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi.
Ketika nabi yang satu meningggal, digantikan dengan nabi yang lain. Dan sesungguhnya tiada
nabi setelahku (Nabi Muhammad), (tetapi) akan ada banyak khalifah (pemimpin). Mereka (para
sahabat) bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan untuk kami? Nabi bersabda: “
Berikanlah bai’at kepada pemimpin pertama, kemudian hanya yang pertama. Dan berikanlah
hak-hak mereka (pemimpin), karena sesungguhnya ALLAH akan meminta pertanggungjawaban
mereka (pemimpin) terhadap apa yang mereka pimpin.”
Secara istilah, kajian tentang politik islam di dalam khasanah fiqih sangat beragam dan variatif.
Antara satu ulama dengan ulama lain berbeda-beda di dalam penggunaan terminologi. Secara
etimologis ( bahasa ) fiqh adalah keterangan-keterangan tentang pengertian atau paham dari
maksud ucapan Si pembicara, atau pemahaman yang mendalam terhadap maksud – maksud
perkataan dan perbuatan. Secara terminologis ( istilah ), menurut ulama – ulama syara,
fiqh adalah pengetahuan tentang hukum – hukum yang sesuai dengan syara mengenai amal
perbuatan yang diperoleh dari dalil yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum
khusus yang diambil dari dasar – dasarnya dan sunah). Jadi fiqh adalah pengetahuan mengenai
hukum agama islam yang bersumber dari al quran dan sunah yang disusun oleh mujtahid dengan
jalan penalaran dan ijtihad.
Dari uraian tentang pengertian istilah fiqh dan siyasat dari segi etimologis dan terminologis dapat
disimpulkan bahwa pengertian Fiqh Siyasah atau Fiqh Syar’iyah ialah “ilmu yang mempelajari
hal – ihwal seluk – beluk pengatur urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum,
4. pengaturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar–
dasar ajaran syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
ISTILAH PENTING DALAM FIQIH SIYASAH
1. Khilafah dan khalifah
Pembahasan Khilafah secara bahasa berkaitan erat dengan bentukan kata tersebut. Kata
“khilafah” seakar dengan kata “khalifah” (mufrad), khaldif (Jama), Adan Khuldfa (Jama)”.
Semua padanan kata tersebut berasal dari kata dasar (fi’il madi), kholafa.
Kata ”khalifah”, dengan segala padanannya, telah mengalami perkembangan arti, baik arti
khusus maupun umum. Dalam First Encyclopedia of Islam, khalifah berarti Vakil” (deputy),
“pengganti” (successor), “penguasa” {vicegerent), “gelar bagi pemimpin tertinggi dalam
komunitas muslim” (title of the supreme head of the muslim community)} dan bermakna.
“pengganti Rasulullah”. Makna terakhir senada dengan Al-Maududi bahwa khalifah adalah
pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
Makna khalifah digunakan oleh Al~Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola
wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud [947-1000 SM] mengelola wilayah
Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi
keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan. Mufassir lain, misalnya Al-Maraghi,
mengartikan khalifah sebagai “sesuatu jenis lain dari makhluk sebelumnya, namun dapat pula
diartikan, sebagai pengganti (waktu) Allah SWT. dengan misi untuk melaksanakan perintah-
perintah-Nya terhadap manusia”. Terhadap arti pertama, Al-Maraghi hampir senada dengan
kebanyakan mufassir, dan terhadap arti yang kedua, ia menyandarkan kepada firman Allah
kepada Nabi Daud agar menjadi pemimpin atas kaumnya, yaitu: Artinya: “Hat Daud,
sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. (Q.S. Shad: 26).
Abdur Raziq berpandangan bahwa “agama Islam tidak mengenal lembaga kekhalifahan.
Lembaga ini tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan, melainkan tugas-tugas
peradilan dan lain-lain dari pelaksanaan kekuasaan dan negara. Agama tidak mengakui dan tidak
mengingkati, tidak memerintah dan tidak melarang. Agama menyerahkan semua itu kepada
pilihan yang bebas dan rasional. Pandangan senada diungkapkan Qamaruddin Khan, bahwa kata-
kata khalifah di bumi ini bermakna memerintah di bumi ini adalah sesuatu yang dipaksakan
terhadap Al-Quran
Politik dan tidak menunjukkan adanya teori ketatanegaraan apa pun. Demikian pula, ayat-ayat
lain, tidak bisa dimanfaatkan untuk memolakan teori politik tata pemerintahan. Lebih lanjut,
Qamarudiin Khan me-ngatakan bahwa, tidak ada satu ayat pun yang mengisyaratkan teori politik
pemerintahan.Berbeda dengan yang lain, Ibnu Khaldun, berpandangan bahwa khalifah adalah
“tuntutan syariah dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia (sosial politik), guna
mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena kemaslahatan akhirat lebih utama, menurut
Ibnu Khaldun, semua kepentingan dunia harus disesuaikan dengan hukum syariat agama. Di
samping itu, khilafah pada hakikatnya menobatkan diri sebagai pengganti pembuat undang-
undang (Nabi-Rasul) memelihara kewibawaan syariat dan mengatur urusan keduniawian”.
5. As-Suyuti mengutip pendapat Al-Farusi dan Muawiyyah, bahwa khilafah adalah “kepala
pemerintahan umat Islam. Pendapat ini di-kemukakan pula oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Al-Wahidi dan Asy-Syaukani. Keduanya membatasi
masalah tersebut pada pergantian kepemimpinan Nabi secara bergantian menegakkan hukum
Tuhan. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya oleh Al-Fairuzzabadi dari Ibnu Abbas, A2-
Zamakhsyari, dan An-Nawawi. Mereka melihat kedudukan khalifah mencakup kedudukan raja-
raja dan nabi-nabi sebagai pemerintah”. Batasan ini sarat dengan muatan politis.
Begitu pula, yang diungkapkan Al-Maududi, bahwa “khilafah pada hakikatnya merupakan
manifestasi dari anugerah Allah, Sang Penguasa Tertinggi, Sang Hakim Agung yang sebenarnya
kepada manusia yang men-jadi wakilnya dalam menegakkan kekuasaanrxlan hukum Allah di
antara manusia. Konsekuensi logisnya, jika tidak, dan berlaku menegakkan hukum, selain Allah,
adalah merupakan pemberontakan atau kudeta melawan Sang Penguasa, Sang Hakim Agung
yang hakiki. Dengan kata lain, perilaku tersebut sama dengan mengubah anugerah menjadi
musibah”.
2. Imamah
Kata “Imamah” dakm Al~Quran diulang tujuh kali dengan kandungan arti yang beragam,yakni:
Kepemimpinan
Dalam pandangan Thabathaba’i, imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan seseorang
yang memegang kepemimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi
politik atau pula suatu aliran pemikiran, keilmuan, juga keagamaan. Otoritas imamah juga
memiliki dua sisi yang menyatu: pertama bersifat syar’i dan kedua bersifat siyasi.
Kata “Imamah” merupakan turunan dari kata amama-amm. Menurut Louis Ma’luf, kata
“amama” bermakna di depan, yang senantiasa diteladani. Orangnya disebut Imam^ sedangkan
imamahnya menurutnya bermakna kepemimpinan umat. Pengertian ini sejalan dengan
pengertian khilafah. Lebih jelas tentang definisi imamah yang hampir sulk dibedakan dengan
khalifah, sebagaimana dikutip Suyuti Pulungan (1994:45), bahwa, kebanyakan imamah
didefinisikan sebagai “kepemimpinan menyeluruh yang meliputi urusan keagamaan dan
keduniaan, sebagai pengganti fungsi Rasul SAW. Begitu pun At-Taftzani seperti yang
dikemukakan Rasyid Ridha, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan
dunia, yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi SAW. Senada pula dengan ini, pendapat Al-
Mawardi yang menyatakan bahwa, “Imamah dibentuk untuk mengganti fungsi ke-Nabian
memelihara agama dan mengatur dunia. (Munawir SadzaH, 1991:63).
Deretan definisi imamah sebagaimana disebut di atas, sulit untuk membedakannya dengan kata
“khilafah”. Hal ini diakui oleh Qamaruddin Khan, bahwasanya penggunaan terma imamah dan
khilaj“yang senantiasa dicampuradukkan sehingga membuat kebingungan tersendki. la sendiri
mengusulkan agar hanya diartikan sebagai negara atau pemerintahan, lain tidak.
Adapun dari kalangan tokoh Syi’i yang banyak menggunakan terma imam ketimbang terma
lainnya, antara lain Ali Syariati, menyatakan, “Imamah merupakan doktrin keagamaan yang
6. mesti diterima dan diimani oleh seluruh umat. Imamah bukan saja pengelola dan pemelihara
masyarakat dalam bentuk yang mandeg, tanggung jawab imamah yang paling utama dalam arti
politik (siyasah)”.
3. Imarah dan Amir
Kata “imarah” merupakan bentuk turunan dari kata “Amira” yang berarti keamiran atau
pemerintahan. Menurut Lois Maluf (1973:192), “Imarah merupakan sebutan jabatan untuk Amir
dalam suatu negara kecil yang berdaulat, yang bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan’5.
Sementara menurut Ensiklopedi Islam (t.t:l:128), “Amir memiliki makna beragam, yakni
penguasa, pemimpin, komandan, dan raja”.
Kata “Amir” yang bermakna konotatif kepemimpinan politis tidak digunakan dalam Al-Quran,
yang ada adalah Ulil Amri (Q.S. 4:59), yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam
mengemban suatu urusan baik yang bersifat politik pemerintahan maupun yang bersifat profesi,
ataupun urusan yang bersifat ilmiah, juga termasuk syariah.
Dalam sejarah periode Islam, yakni zaman Rasul SAW. khulafa ar rasyidin, istilah Amir
(pemerintahan atau gubernur yang sinonim dengan arti yang sering dipakai untuk menyebut
penguasa di daerah, atau sebagai Gubernur atau juga sebagai komandan milker Amir al-Jaisy
atau Amir al-Jund. Adapun makna Amir yang berkonotasi sosio-politik, yakni sebagai pemimpin
kaum muslimin, muncul di dalam pertemuan di bala Saqifa sebagaimana diulas dalam
Ensiklopedi Islam (t.t: 138-139). Pertemuan itu dilakukan antara kaum Muhajirin dan Anshar
untuk memusyawarahkan pemimpin pengganti Rasul SAW. yang telah wafat. Ketika keduanya
herkumpul, kaum Anshar berkata: “Kami adalah Umara dan kamu .cbagai Wuzara”. Akhirnya,
Abu Bakr disepakati untuk menjabat jabatan khalifah dengan gelar Khalifa al-Rasul, sedangkan
gelar Amir Al-Mukmin iliscmatkan pertama kali oleh khalifah Umar bin Khaththak Akan tetapi
kata Amir kebanyakan digunakan untuk jabatan di bawah umum (khalifah dan Imam) atau
jabatan milker.
4. Ahlul halil wal ‘Aqdi
Secara bahasa, Ahlul halil wal ‘Aqdi berarti orang-orang yang mempunyai wewenang untuk
melonggarkan dan mengikat. Sementara, secara istilah Ahlul halil wal ‘Aqdi adalh orang yang
bertindak sebagai wakil umat menyuarakan hati nurani mereka, yang tugasnya antara lain
memilih khalifah, imam,dan kepala negara secara langsung. Ahlul halil wal ‘Aqdi sering disebut
pula sebagai Ahlul ihktiar ( golongan yang berhak memilih), Ulul amri (Orang yang memiliki
dan ahli dalam suatu urusan), dan Ahlu As Syuro (orang-orang yang ahli dalam bermusyawarah).
5. Baiat (Teori Kontrak Sosial)
Baiat berasal dari kata Ba’a yang berarti menjual, perjanjian, janji setia atau saling berjanji.
Secara istilah Baiat adalah ungkapan perjanjian antara dua buah pihak yang seakan-akan salah
satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya dan kesetiaanya kepada pihak
kedua secara ikhlas dalma hal urusannya. Artinya dalam baiat terjadi penyerahan hak dan
7. pernyataan ketaatan dan kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak
keduapun mempunyai hak dan kewajiban atas pihak pertama yang diterimanya.
PARADIGMA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM
Secara sederhana, paradigma dimaknai sebagai cara pandang. Sehingga paradigma mirip jenis
kaca mata yang digunakan manusia, hanya saja paradigma bukan kacamata fisik, tetapi kacamata
batin, persepsi, dan akal. Paradigma sangat menentukan apa yang terjadi keyakinan manusia
yang pada akhirnya menentukan perilaku mereka. Sementara secara istilah, paradigma berarti
sebagai asumsi-asumsi dasar (basic asumption) yang dimiliki oleh seorang intelektual sebagai
dasar pemahaman realitas.
Dalam pemikiran politik islam, menurut kajian prof. Din Syamsudin, paling tidak terdapat tiga
paradigma tentang hubungan islam dan negara yang berkembang di kalangan kaum itelektual
muslim atau ulama.
1. Paradigma integralistik
Paradigma ini berpandangan tentang kebersatuan antara islam dan negara (integral). Dengan kata
lain, Agama dan Negara, dalam pandangan ini tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga
meliputi politik atau negara. Untuk itu pemerintahan negara harus diselenggarakan atas dasar
“kedaulatan ilahi” (divine soveragnity), karena hal ini merupakan amanah agama. Islam tanpa
negara tidak akan tegak, dan hukum-hukumnya tidak akan dapat direalisasikan, karena negara
merupakan instrumen penting untuk tegaknya tatanan islam. Demikian juga, suatau negara
dimana masyarakat muslim bernaung dibawahnya, kalu negara tidak manggunakan hukum
agama (islam) sebagai rujukan di dalam menata dan mengurus kaum muslimin, maka negara
akan rusak dan salah arah dalam mengurus kaum muslimin
Dalam konteks modern, paradigma integralistik dianut oleh beberapa negar islam modern.
Negara tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa konstitusi negara tersebut adalah islam, atau
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Contoh nyata aplikasi paradigma integralistik ini dalam
konteks kenegaraan adalah Iran dan Kerajaan Saudi Arabia. Sementara Muhammad bin Abdul
Wahab, Syaikh Muhammad rasyid Ridha, dan Imam Khomeini, adalah bebrapa tokoh intelektual
Muslim yang sangat populer sebagai pendukung gagasan integralistik tersebut.
2. Paradigma Simbiotik
Paradigma ini memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu
berhubungan timbal balik saling memerlukan. Walaupun paradigma ini memandang bahwa
negara adalah bukan agama dan agama bukan negara, tetapi paradigma ini berpandangan bahwa
untuk bisa tegaknya negara yang baik diperlukan prinsip-prinsip moral yang baik, dimana
prinsip-prinsip tersebut hanya ada dalam ajaran agama. Pengelola negara untuk dapat mengelola
negara dengan baik sangat bergantung dengan moralitas yang menjadi pijakan dan keyakina
mereka. Untuk itulah agama memainkan peran penting bagi terciptanya tatanan negara yang
baik, walaupun agama (islam) tersebut tidak menjadi rujukan dan tidak dilembagakan secara
resmi bagi konstitusi negara.
8. Implementasi paradigma simbiotik ini, dapat dilihat dari beberapa negara muslim yang tidak
mendasarkan secara resmi konstitusinya pada (agama) Islam atau Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Negara berdiri harus terlepas
dari pengaruh agama sama sekali, demikian juga sebaliknya agama juga harus terlepas dengan
negara sama sekali. Agama dalam paradigma ini hanya sebatas urusan publik (negara), islam
tidak menyinggung tentang pendirian suatau negara, baik itu dalam Al-Qur’an maupun hadits.
Islam lebih banyak menyinggung tentang persoalan moral yang bersifat umum. Untuk itulah
posisi islam dan negara sangat jelas, yaitu bahwa islam diturunkan oleh Allah dala rangka untuk
memperbaiki moralitas masyarakat manusia yang bersifat umum apakah mereka itu memiliki
negara ataukah tidak.
Contoh kongkrit dari implementasi paradigma ini adalah negara Turki modern. Dan keberhasilan
Turki dalam melakukan pemisahan antara agama dan negara, memperkokoh keyakinan sebagian
intelektual muslim terhadap paradigma tersebut. Ahmed Abdullah An-na’im dalam bukunya
islam dan negara sekular merepresentasikan salah seorang contoh yang sangat yakin dengan
paradigma sekularisme bagi masyarakat muslim.
SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH
Permasalahan politik yang pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yang
akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya.
Masalah tersebut diserahkan kepada kaum muslimin. Rasul mengajarkan suatu prinsip, yaitu
musyawarah, sesuai dengan ajaran islam itu sendiri. Prinsip musyawarah ini, dapat dibuktikan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap pergantian pimpinan dari empat khalifah
periode Khulafa’ al-Rasyidun, meski dengan versi yang beragam.
1. Pemilihan
Abu bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis
di Muktamar Tsaqifah Bani Saidah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern
saat ini.
2. Penunjukan
Umar bin Khatab ditunjuk oleh Abu Bakar atas persetujuan para pemuka masyarakat dan jamaah
kaum muslimin.
3. Formatur
Usman bin Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang ditunjuk oleh Khalifah Umar
saat menjelang ajalnya karena pembunuhan, Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan
cara Abu Bakar.
9. 4. Bai’at
Ali bin Abi Thalib tampil memegang puncak pimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan
huru hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Khalifah Ali dipilih
dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di Madinah dalam suasana yang sangat kacau, dengan
pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan diangkat, maka keadaan akan semakin
bertambah kacau.
PRINSIP-PRINSIP KETATANEGARAAN DALAM ISLAM
1. Prinsip al-Musawah dan al-ikha (Persamaan dan Persaudaraan)
Dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah, prinsip persamaan dan
persaudaraan ini oleh nabi SAW dipraktekkan ketika ia menyusun piagam Madinah. Islam
menganut prinsip persamaan dihadapan hukum dan penciptanya, yang menjadi pembedanya
adalah kualitas ketaqwaan individu. Keberpihakan islam pada prinsip persaudaraan dan
persamaan didasarkan pada tujuan yang hendak diraih yakni adanya pengakuan terhadap
persaudaraan semesta dan saling menghargai diantara sesama umat manusia sehingga dapat
tercipta kehidupan yang toleran dan damai.
2. Prinsip al-amanah (akuntabilitas)
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , amanah merupakan amanah rakyat yang diberikan
kepada seorang pemimpin untuk menjalankan roda pemerintah yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai kontrak sosial. Bagi pengemban amanah harus mampu manjalankan titah rakyat
sekaligus harus mampu menjadi pelayan rakyat dan wajib hukumnya untuk bersikap adil.
3. Prinsip as-Salam (perdamaian)
Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mengedepankan prinsip perdamaian dalam segala aspek
kehidupan sesuai dengan tujuan risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW tersebut.
4. Prinsip at-Tasamuh (toleransi)
Sikap toleran merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap individu didalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena dalam suatu negara akan terdiri dari berbagai macam agama,
suku, dan bangsa. Prinsip Toleransi berlaku universal, sikap saling menghargai dan menghormati
antar sesama warga negara bukan saja terhadap sesama orang islam, tetapi juga harus berlaku
lintas agama dan suku.
5. Prinsip al-Huriyah (kebebasan)
Secara fitrah manusia sudah dibekali dengan daya intelektualitas dan kebebasan untuk memilih
suatu keyakinan serta kebebasan untuk berpikir. Dalam islam prinsip kekebasan dalam
menentukan suatu keyakinan atau memeluk suatu agama mendapatkan perhatian dalam al-
Qur’an seperti dalam surat Q>S al-Baqarah (2):256.
10. Kebebasan dapat diperinci sebagai berikut:
1. Kebebasan berfikir
2. Kebebasan beragama
3. Kebebasan menyampaikan pendapat
4. Kebebasan menuntut ilmu
5. Prinsip at-Tasyawur/ as-Syura (musyawarah)
Prinsip musyawarah merupakan prinsip yang diajarkan oleh al-Qur’an dan nabi Muhammad
yang dijadikan etika politik didalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang menjadi media
untuk mufakat apabila ada perselisihan pendapat.
6. Prinsip al-Adalah (keadilan, keseimbangan, dan moderasi)
Prinsip ini mengandung pengertian penegakan keadilan. Keadilan merupakan prinsip yang
sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di bidang hukum, ekonomi,
politik, dan budaya. Karena sikap adil tersebut merupakan bagian dari pentingnya keberadaan
suatu hukum dan menjadi etika politik.
7. Prinsip al-Tha’ah (ketaatan)
Ketaatan adalah suatu hal yang sangat penting bagi tegaknya sebuah pemerintahan yang baik dan
teratur. Tanpa adanya kepatuhan dan ketaatan dari seluruh elemen masyarakat dan juga
penyelenggara negara, maka tidak akan terwujud negara dengan pemerintahan yang baik.
PRINSIP DASAR DALAM POLITIK ISLAM
Untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, menurut Salim (1994 : 306), terdapat empat
prinsip dasar dalam politik islam. Keempat prinsip itu adalah:
1. Prinsip amanat
Prinsip pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimilikioleh pemerintahan
merupakan amanat Allah dan juga amanat rakyat yang telah mengangkatnya melalui
baiat.Sebagaimana amanat Allah SWT , kekuasaan politik itu dianugerahkan oleh Allah SWT
kepada manuasia. Penganugrahan itu dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Perjanjian itu
terjalin antara sang penguasa Allah di satu pihak, dan dengan masyarakat di pihak lain. Karena
itu, prinsip ini menghendaki agar pemerintahan melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi
hak–hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah, termasuk di dalamnya amanat yang
dibebankan oleh agama dan yang dibebankan oleh individu dan masyarakt sehinggatercapai
masyarakat yang sejahtera dan sentosa. Amanat yang dimaksud dengan banyak hal, salah satu di
antaranya adil.
2. Prinsip keadilan
11. Adil menjadi prinsip kedua dalam pengelolahan kekuasaan politik. Keadilan yang dituntut itu
bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh
manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat al-Qur’an yang mencakup hal ini amat banyak,
salah satunya berupa teguran kepada Nabi SAW yang hampir menvonis salah seorang Yahudi,
karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam kontek inilah turun firman
Allah dalam Q.S al-Nisa’:105 .
“Janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah, karena(membela)
orang-orang yang khianat”.
Keadilan juga mengandung arti bahwa pemerintahan berkewajiban mengatur masyarakatat
dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak
beraturan secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah. Dengan demikian, penyelenggaran
pemerintahan berjalan di atas hukum dan bukan atas dasar kehendak pemerintahan atau penjabat.
3. Prinsip ketaatan
Prinsip ketaatan mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’qn
dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan kewajiban pemerintahan
wajib ditaati. Kewajiban ini tidak haya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada
pemerintahan. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil
pemerintahan harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak
demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan dinyatakan telah gugur, karena
agama melarang ketaatan pada kemaksiaatan. Rakyat harus menaati pemerintah selama
pemerintahan itu menaati Allah SWT dan rasul-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S
al-Nisa’:59 berikut.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan para
pemimpinu!”.
Menutur Quraish Shihab (1999, 427), “Tidak disebutkan kata perintah taat pada ulil amri untuk
memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau
bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
4. Prinsip musyawarah
Prinsip musyawarah menghendaki agar hukum perundang-undangan dan kebijakan politik
diterapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan
para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara
yang terkandung alam al-Qur’an dan sunnah Rasul Allah SAW. Prinsip musyawarah ini
diperlukan agar para penyelenggara negara dapat melaksanakn tugasnya dengan baik dan
bertukar pikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk
semua’ (Shihab, 1999: 429)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-
orang yang di luar golongan (non Muslim), karena mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi
12. kamu. Mereka ingin menyusahkanmu. Telah tampak dari ucapanmu mereka kebencian, sedang
apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelsakan kepada
kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya”.
Ayat di atas, ditulis Rasyid Ridha (dalam Shihab, 1999), mengandung larangan dan
penyebabnya.
Adapun cita-cita politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah:
1. Terwujudnya sebuah sistem politik
2. Berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap
3. Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Cita-cita politik tersebut tersimpul dalam ungkapan“baldatun thayibbatun wa rabbun ghafur”,
yang mengandung konsep “negeri sejahtera dan sentosa. Dari sini tampak kedudukan kekuasaan
politik sebagai srana dan wahana,sedangkan pemerintahan merupakan pelakasana bagi tegaknya
ajaran agama (Salim.1994: 298).
POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pembagian wilayah dunia:
1. AL-‘Alam Al-Islami (dunia islam)
Al-‘alamul islami adalah negara-negara baik secara idiologis konstitusional ataupun berdasarkan
komunitas memiliki afiliasai kepada islam dan kaum muslimin yang sangat nyata. Al-‘Alam
islami ini terdiri dari dua kelompok, yaitu:
a) Dawlah Islamiyah (Negara Islam), yaitu negara-negara yang secara idiologis-konstitusional
menyatakan dirinya sebagai negara islam. Contoh: kerajaan Saudi Arabia, Republik Islam Iran,
dan Republik Islam Pakistan.
b) Baldah Islamiyah (negeri muslim/ negara-negar yang mayoritas penduduknya beragama
islam), yaitu negara yang berdasarkan jumlah penduduk muslimnya adalh mayoritas.
2. Al-‘Alam al-‘Ahdi
Al-‘Alam al-‘Ahdi adalah negara-negara diluar al-alam al-islami yang berdamai dengan negara
islam dan juga kaum muslimnya.
3. Al-‘Alam al-Harbi
Al-‘Alam al-Harbi adalh negara-negara yang mengambil sikap permusuhan dengan negara-
negara muslim. Dan permusuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk peperangan yang bersifat
ofensif kepada negara-negara muslim.
13. Pembagian dunia tersebut bukanlah pembagian yang permanen, artinya bisa terjadi perubahan
status dari negara-negara yang ada di dunia tergantung kepada perubahan-perubahan yang terjadi
didalam negeri masing-masing.
Dasar-Dasar Siyasah Dauliyah
1. Kesatuan Umat Manusia (wihdatul ummah)
Meskipun manusia berbeda suku bangsa, warna kulit, tanah air bahkan agama, akan tetapi
merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah. Dengan demikian,
perbedaan antar manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan
kelebihannya masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2. Al-‘Adalah (keadilan)
Hidup berdampingan dengan damai akan terlaksana apabila didasarkan pada keadilan baik antar
manusia maupun diantara manusia maupun diantara berbagai negara, bahkan perangpun terjadi
karena salah satu pihak merasa diperlakukan dengnan tidak adil.
3. Al-Musawah (persamaan)
Manusia memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak
mempersamakan manusia dihadapan hukum kerjasama internasional sulit dilaksanakan apabila
tidak didalam kesederajatan antar negara dan antar bangsa.
4. Karunia Insaniah (kehormatan Manusia)
Kerjasama internasional tidak mungkin dikembangkan tanpa landasan saling hormat
menghormati antar manusia.
5. Tasamuh (toleransi)
Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah kepada kejahatan atau memberi peluang kepada
kejahatan. Kehidupan tidak bisa dikembangkan atas dasar dendam, kebencian, dan paksaan.
Kehidupan bersama bisa dibina dan dikembangkan atas dasar pemaaf, kasih sayang, dan dialog.
6. Kerhasama Kemanusiaan
Kehidupan individu dan antar bangsa akan harmonis apabila didasarkan pada kerjasama, bukan
karena saling menghancurkan satu sama lain.
7. Kebebasan, Kemerdekaan (al-huriyah)
Kebebasan yang dimaksuddisini adalah hubungan antar negara tersebut didasarkan pada
kebebasan dan kemerdekaan masing-masing negara.
14. 8. Perilaku Moral yang Baik (a-akhlak al-karimah)
Perilaku moral yang baik merupakan dasar moral didalam hubungan antar manusia, antar umat
dan antar bangsa di dunia.
Hubungan Internasional Diwaktu Damai
Asas hubungan internasional adalah perdamaian dan saling membantu dalam kebaikan.
Konsekuensi dari asas damai tersebut, hubungan antar satu negara dengan negara lainnya adalh
saling membantu dalam kebaikan dan menghormati. Untuk itu, maka:
1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
2. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
3. Segera menghentikan peperangan apabila salah satu pihak cenderung kepada damai.
4. Memperlakukan tawanan perang dengan manusiawi.
Pada saat situasi damai, negara-negra Islam yang lainnya dapat melakukan kerjasama dan
perjanjian dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang menguntungkan kedua belah pihak.
Hubungan Internasional Di Waktu Perang
Peperangan antar negara dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya:
1. Perang untuk mempertahankan diri. Perang dilakukan karena negaraIslam diserang oleh
negara lain dan kepentingan kaum muslimin dan negara menjadi terancam.
2. Perang dalam rangka dakwah. Perang juga dapat terjadi dalam rangka menjamin jalannya
dakwah, artinya dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta kepada prinsip-prinsip
yang mulai tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun.
3. Etika dan Aturan Perang
Menurut Prof. Dr. Djazuli paling tidak ada 10 perilaku mulia yang wajib dipegang oleh seorang
muslim di dalam peperangan dengan musuh, yaitu:
1) Dilarang membunuh anak-anak.
2) Dilarang membunuh wanita
3) Dilarang membunuh orang yang sudah tua.
4) Dilarang memotong dan merusak pohon-pohon dan tanaman di ladang dan sawah.
5) Dilarang membunuh binatang ternak.
6) Dilarang menghancurkan gereja, biara, dan tempat beribadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh dan mayat binatang.
15. 8) Dilarang membunuh para pendeta dan para pekerja.
9) Bersikap sabar, berani, dan ikhlas.
10) Tidak melampaui batas.
Menyangkut tawanan perang, islam mengatur untuk tidak sewenang-wenang kepada tawanan,
tetapi sangat menekankan tentang nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Tawanan perang dapat
dibagi dalam dua kelomok, yaitu:
1) Tawana perang wanita dan anak-anak. Mereka tidak boleh dihukum, tetapi dilepaskan, atau
ditukar dengan tawanan musuh.
2) Tawanan laki-laki dewasa. Status hukum mereka diserahkan kepada kebijakan negara
(penguasa) menurut kemaslahatan yang ada.
1. Penghentian Peperangan dan Penyelesaian Persengketaan
Untuk menyelesaikan persengketaan, islam mengajarkan beberapa cara sebagai instrumen untuk
mengakhiri konflik yang ada, yaitu:
1. Perwasitan (hakam). Perwasitan dapat dilakukan manakala kedua belah piahk sepakat
untuk menunjuk wasit yang mana masing-masing pihak rela menyerahkan masalah
sengketanya kepada wasit yang mereka tunjuk dan mereka setujui.
2. Pengadilan internasional. Yaitu pengadilan yang mengadili persengketaan antar bangsa
dan mampu memaksakan keputusannya untuk ditaati oleh negara yang bersangkutan.
3. Perundingan.
Di dalam fiqih siyasah, penghentian peperangan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1. Peperangan dapat berhenti karena telah tercapainya tujuan perang, yaitu menangnya salah
satu pihak.
2. Perjanjian damai antara kedua belah pihak yang berperang. Perjanjian damai dapat
berbentuk sementara, abadi, maupun keamanan.
PERSOALAN-PERSOALAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER
A. Kepemimpinan Wanita
1. Wanita tidak memiliki hak dalam kekuasaan politik
Pandangan ini pada umumnya dianut oleh kaum fundamentalis dan literalis. Mereka
mengguanakan nash-nash baik al-Qur’an maupun as-Sunah dengan pemahaman yang bersifat
literalis, bukan kontekstual, sehinggga mereka berkesimpulan kaum wanita tidak memiliki
otoritas kepemimpinan.
16. 2. Wanita memiliki hak terbatas dalam kekuasaan politik
Pandangan ini merupakan pandangan umum ulama islam klasik. Menurut mereka, perempuan
bisa menduduki semua jabatan politik, kecuali kepemimpinan agung. Sedangkan untuk
cakupannya lebih terbatas keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para
ulama. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai
kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
3. Wanita memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki dalam masalah kekuasaan politik
Pandangan ini banyak dikemukakan oleh para ahli kontemporer. Secara substantif, Allah
memberi beban yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, setiap lelaki
dan perempuan sama-sama memiliki kewajiban patuh kepada Allah. Konsekuensi dari sistem
ilahi ini adalah bahwa masing-masing lelaki dan permpuan bersam dan setar dalam keseluruhan
Hak Asasi Manusia, tanpa diskriminasi.
Oposisi dalam Islam
1.
1. Pengertian dan Fungsi Oposisi
Oposisi berasal dari bahasa inggris opposition dan bahasa latin, oppositus, opponere, yang
bermakna memperhadapkan, membantah, menyanggah, dan menentang. Di dalam islam opsisi
dikenal dengan istilah “mu’aradhoh” yang berarti behadap-hadapan, mencegah, berbeda,
menjauhi, dan persaingan. Dalam bahsa politik oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan
atau pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakn kelompok yang menjalankan
pemerintahan.
Umat islam dianjurkan untuk menjadi oposisi yang loyal, konstruktif, dan reformatif. Hal ini
berkaitan dengan amar ma’ruf nahi mungkar (nasihat menasihati dan mencegah kemungkaran).
1. Prinsip-prinsip oposisi dalam Islam
Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf nahi
mungkar, disamping etika perbedaan pendapat. Karena, tujuan oposisi adalh meluruskan,
memberikan hasil positif, dan memperbaiki bukan menjatuhkan. Landasan-landasan moral
oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya adalah:
1) Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa bukan karena nafsu.
2) Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai, maupun golongan.
3) Berprasangka baik dan berfikiran positif kepada orang lain.
4) Tidak menyakiti dan mencela.
17. 5) Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi jelas.
6) Dialog dengan cara sebaik-baiknya.
7) Bersikap adil dalam menilai dan bersikap.
8) Memperhatikan skala prioritas.
9) Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan.
Demokrasi Dalam Islam
Penentang Demokrasi Barat
1) Al-Maududi
Al-Maududi menganggap demokrasi modern (barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik.
Menurtnya islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
2) Mohammad Iqbal
Menurutnya, demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
telah mengabaikan keberadaan agama. Karenanya, islam tidak dapat menerima model demokrasi
tersebut yang telah kehilangan basis moral dan spiritual.
3) Muhammad Imarah
Menurutnya, wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai prinsip
yang digariskan Tuhan serta berijtihat untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi,
Allah berposisi sebagai al-Syari (legislator) sementara manusia sebagai faqih (yang memahami
dan menjabarkan) hukum-Nya.
1. Pendukung Demokrasi
1) Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal,
misalnya:
Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tirani juga sejalan dengan islam.
Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi.
Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan
prinsip islam.
18. 2) Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan
dengan islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa
mengarahkan pada sikap menghalalkan yang haram. Karena itu dia menawarkan adanya
islamisasi demokrasi, yaitu:yanhttps://evilprincekyu.wordpress.com/wp-admin/post-new.phpg
duduk di parlemen.
KESIMPULAN
Secara bahasa siyasat berasal dari kata sa-sa yang berarti mengatur, mengurus, memerintah,
memimpin, mengarahkan dan mengendalikan sesuatu.
Permasalahan politik yang pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yang
akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya.
Masalah tersebut diserahkan kepada kaum muslimin. Rasul mengajarkan suatu prinsip, yaitu
musyawarah, sesuai dengan ajaran islam itu sendiri.
Adapun cita-cita politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah:
1. Terwujudnya sebuah sistem politik
2. Berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap
3. Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Oposisi berasal dari bahasa inggris opposition dan bahasa latin, oppositus, opponere, yang
bermakna memperhadapkan, membantah, menyanggah, dan menentang. Adapun etika oposisi
yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf nahi mungkar, disamping etika
perbedaan pendapat. Karena, tujuan oposisi adalAh meluruskan, memberikan hasil positif, dan
memperbaiki bukan menjatuhkan.
Asas hubungan internasional adalah perdamaian dan saling membantu dalam kebaikan.
Konsekuensi dari asas damai tersebut, hubungan antar satu negara dengan negara lainnya adalh
saling membantu dalam kebaikan dan menghormati. Untuk itu, maka:
1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
2. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
3. Segera menghentikan peperangan apabila salah satu pihak cenderung kepada damai.
4. Memperlakukan tawanan perang dengan manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
1. P3SI UMMgl 2013, pranata sosial dalam islam, Magelang