3. PENGERTIAN
Percobaan: poging: sutau kejahatan yang sudah dimulai
tetapi belum selesai atau belum sempurna.
Tidak semua tindak pidana bisa dikenakan percobaan.
Yang bukan adalah pelanggaran dan kejahatan tertentu,
yakni: Ps 184 perkelaihan tanding, 302 penganiayaan
hewan, 351-352 tentang penganiayaan.
Menilai suatu perbuatan sebagai percobaan dengan dua
teori:
Teori subjektif: orangnya berbahaya
Teori objektif: perbuatannya berbahaya
4. UNSUR PERCOBAAN
Pasal 53
1. Adanya niat
2. Adanya permulaan pelaksanaan
3. Tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata
karena kehendak sendiri
5. NIAT
Voornemen yang menurut doktrin adalah tidak lain
adalah kehendak untuk melakukan kejahatan, atau
lebih tepatnya disebut “opzet” atau kesengajaan dan
ini meliputi semua ataupun dengan sadar
kemungkinan.
Pasal 53 ayat 1 KUHP menunjukkan opzet dalam arti
luas yang terdiri dari:
Opzet sebagai tujuan
Opzet sebagai kesadaran akan tujuan
Opzet dengan kesadaran akan kemungkinan
6. PERMULAAN PELAKSANAAN (1)
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum
karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah
unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering).
Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, bahwa
batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang
telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen
(tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-handelingen (tindakan-
tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian
tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan) yaitu
berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung
dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai
pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen
(tindakan-tindakan persiapan) tidak diberi-kan. Menurut MvT batas yang
tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan tidak
dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan tersebut diserahkan
kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang
ditetapkan dalam undang-undang.
7. PERMULAAN PELAKSANAAN (2)
Di sinilah terjadi perdebatan oleh penganut teori subjektif dan
objektif.
Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si
pelaksanaan sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang
melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka
itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut
paham objektif menggunakan tindakan dari si pelaku sebagai dasar
peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut sebagai
paham objektif.
Menurut para penganut paham objektif seseorang yang melakukan
percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum
karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum,
sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang
melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas
dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang
tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya
8. TIDAK SELESAI BUKAN SEMATA-MATA
KARENA KEHENDAK SENDIRI (1)
Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang
dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. Adanya penghalang fisik.
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan
orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk
dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan
misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
a. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu
disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah
diketahui oleh orang lain.
a. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan
khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati
atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan
dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya
sekuat tenaga.
9. TIDAK SELESAI BUKAN SEMATA-MATA
KARENA KEHENDAK SENDIRI (2)
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri
secara teori dapat dibedakan antara :
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak
menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan
untuk delik yang bersangkutan; dan
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan
pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela
menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik
tersebut. Misal: orang memberi racun pada minuman si
korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan
obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi
meninggal
Apabila secara sukarela tidak dipidana
10. POGING YANG TIDAK MUNGKIN (1)
Ondeug-delijke Poging (percobaan tidakmungkin) ini timbul sehubungan
dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju
tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak
timbul. Sebabnya:
1. Alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna.
2. Objek (sasaran) tidak sempurna. Loebby Logman memberikan contoh
secara terperinci sebagai berikut:
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)
a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak
Contoh : A ingin membunuh B dengan menggunakan racun tikus. Pada saat
B lengah, A mencampurkannya ke dalam makanan B. Namun B tetap
hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam makanan B bukan
racun tetapi garam.
a. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi
Contoh : Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun
arsenicum ke dalam makanan B dalam dosis yang tidak mencukupi
sehingga A tetap hidup.
11. POGING TIDAK MUNGKIN (2)
2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)
a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak
Contoh : A ingin membunuh B. Pada suatu malam A
masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa
B telah meninggal dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini
A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam keadaan
gelap. Jadi A menikam mayat.
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi
Contoh : A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa
dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah
dengan menggunakan rompi anti peluru di dalam bajunya.
Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai
dada B, karena menggunakan rompi anti peluru B tidak
mati.