Ketika Pers Bicara Korupsi: Analisis Tajuk Rencana Harian Pedoman pada Awal O...Jojo Lendir
Artikel ini membahas peranan pers mengungkapkan kasus korupsi yang dimuat di harian Pedoman
pada masa awal Orde Baru pada tahun 1969 sampai dengan tahun 1974. Pedoman telah beredar pada
masa Order Lama, dan pada saat itulah dilarang terbit karena menentang pemerintahan Soekarno
yang otoriter. Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto, surat kabar ini diijinkan terbit, namun pada
Januari 1974 kembali dilarang beredar karena memuat demonstrasi mahasiswa pada peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari) menentang pemerintah membuka ijin perusahaan Jepang di Indonesia.
Pada kedua pemerintahan Soekarno dan Soeharto, Rosihan Anwar menjabat sebagai editor surat
kabar Pedoman. Analisis isi dalam tulisan ini akan merujuk pada harian Indonesia Raya yang seperti
Pedoman, ditekan oleh pemerintah untuk tidak mengeritik. Surat kabar tidak bebas mengeluarkan
pendapatnya, setelah kasus korupsi di tiga kantor utama pemerintah, Bulog, Pertamina, Bea Cukai,
dan Kepolisian dibeberkan. Pers akhirnya harus mengikuti aturan pemerintah dalam pemberitaan.
2. PERS PADA MASA ORDE BARU
Pers dalam masa orde baru seakan-akan
kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas
berpendapat dan menyampaikan informasi.
Meskipun orde baru telah menjanjikan
keterbukaan dan kebebasan di awal
pemerintahannya, namun pada kenyataannya
dunia pers malah terbelenggu dan mendapat
tekanan dari segala aspek. Pers pun tidak mau
hanya diam dan terus mengikuti permainan politik
Orde baru. Sehingga banyak media massa yang
memberontak melalui tulisan-tulisan yang
mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang
membeberkan keburukan pemerintah. Itulah
sebabnya pada tahun 1994 banyak media yang
dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor.
3. Namun majalah Tempo adalah satu-satunya yang
berjuang dan terus melawan pemerintah orde
baru melalui tulisan-tulisannya hingga sampai
akhirnya bisa kembali terbit setelah jatuhnya
Orde baru. Pemerintah memang memegang
kendali dalam semua aspek pada saat, terutama
dalam dunia pers. Lalu apa fungsi dari dewan
pers pada saat itu? Ternyata dewan pers
hanyalah dibuat pemerintah untuk melindungi
kepentingan pemerintah saja, bukan melindungi
insan pers dan masyarakat. Dewan Pers seakan
kehilangan fungsinya dan hanya formalitas
belaka.
4. PERKEMBANGAN PERS PADA
MASA ORDE BARU
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia
dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan
dalam berpendapat. Masyarakat saat itu
bersuka-cita menyambut pemerintahan
Soeharto yang diharapkan akan mengubah
keterpurukan pemerintahan orde lama.
Pemerintah pada saat itu harus melakukan
pemulihan di segala aspek, antara lain aspek
ekonomi, politik, social, budaya, dan
psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit
sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan
ekonomi pun semakin pesat.
5. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di
Indonesia. Dunia pers yang seharusnya
bersuka cita menyambut kebebasan pada
masa orde baru, malah sebaliknya. Pers
mendapat berbagai tekanan dari pemerintah.
Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan
berita-berita miring seputar pemerintah.
Bila ada maka media massa tersebut akan
mendapatkan peringatan keras dari
pemerintah yang tentunya akan mengancam
penerbitannya.
6. Pada masa orde baru, segala penerbitan di media
massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu
melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap
hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang
pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan
alat pemerintah untuk mempertahankan
kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan
fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung
dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai
pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan
bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada
kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali,
bahkan yang ada malah pembredelan.
7. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti
Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin
penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah
mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang
berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-
pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung
oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat
itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi
secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata
banyak media massa yang menentang politik serta
kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu
ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha
bangkit setelah pembredelan bersama para
pendukungnya yang hantu rezim Soeharto.
8. FUNGSI DEWAN PERS PADA
MASA ORDE BARU
Dewan pers adalah lembaga yang menaungi
pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40
tahun 1999, dewan pers adalah lembaga
independen yang dibentuk sebagai bagian dari
upaya untuk mengembangkan kemerdekaan
pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional. Fungsi dan peranan pers
Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40
tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan
dan kontrol sosial.
9. Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa
pers nasional melaksanakan peranan sebagai
berikut: memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui menegakkkan nilai-nilai dasar
demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benar melakukan pengawasan, kritik, koreksi,
dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum, memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
10. Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian,
lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat
demokrasi( the fourth estate) setelah lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk
opini publik yang paling potensial dan efektif.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU,
diantaranya :
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan
pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan
kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik
jurnalistik.
11. 4. Memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus yang berhubungan
dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers,
masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam
menyusun peraturan di bidang pers dan
meningkatkan kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.
12. Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah
efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata.
Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan
jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari
pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika
pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers
yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga
Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga
termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun
ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk
mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan
pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan
dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah.
Berarti benar bahwa dewan pers hanya formalitas
saja
13. Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti
pada konteks “press freedom or law” dan “power of
the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya
seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai
kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat
secara massal. ( John C. Merrill, 1991, dalam Asep
Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain
mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa
mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara
missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu
pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde
Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan
kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya
terbelenggu oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa
memperjuangkan hak-haknya.