SlideShare a Scribd company logo
1
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Anastasia Tirtadjaja, Rachmat Gunadi Wachjudi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/
RS Dr. HasanSadikin Bandung
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan sistem multiorgan. Penyakit ini mengenai wanita usia reproduksi
dengan etiopatogenesis kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti.
Selanjutnya pada referat ini lupus eritematosus akan disebut sebagai SLE. 1-5
Prevalensi SLE adalah sebesar 20 – 50 kasus per 100000 populasi.
Peningkatan insidensi berhubungan dengan adanya perkembangan dalam
penegakkan diagnosis SLE pada manifestasi klinis ringan. Insidensi diperkirakan
sebanyak 1 – 25 per 100000 penduduk amerika utara, amerika selatan, eropa
dan asia.3
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam, sementara di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin (RSHS)
jumlah pasien SLE adalah sebanyak 291 pasien atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Penemuan kasus
baru di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam RSHS sepanjang tahun 2003
sampai 2005 meningkat yaitu sebanyak 6,4% dari 3025 pasien baru dan pada
tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 9,07% dari 4037 pasien.6,7
Angka kematian pasien SLE di RSHS selama periode 2006-2011 adalah
8,12% (38 dari 468 pasien) dengan penyebab kematian yang terkait langsung
seperti lupus nefritis dan keterlibatan susunan saraf pusat, maupun karena
penyakit penyerta seperti infeksi dengan sepsis 6,7
SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi klinis dan pola
aktivitas penyakit beraneka ragam, serta eksaserbasi dan remisi yang tidak
terprediksi. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan, dengan prognosis
jangka panjang yang seringkali buruk. Pengobatan yang diberikan dalam jangka
waktu panjang atau bahkan seumur hidup membuat efek samping obat menjadi
masalah yang membutuhkan pertimbangan dalam tatalaksana SLE.4,8,9
Walaupun terapi imunosupresif menggunakan kortikosteroid,
hidroksiklorokuinn, azathioprine, siklofosfamid, dan mycophenolate mofetil telah
digunakan dalam pengobatan SLE, sejumlah proporsi pasien tetap mengalami
kesulitan dalam mencapai remisi atau bahkan mengalami kekambuhan selama
terapi pemeliharaan.9
Berkembangya pengertian tentang imunopatologi penyakit autoimun
telah membawa kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis sebagai
terapi SLE dengan hasil yang menjanjikan. Hal –hal tersebut menjadi alasan
pentingnya pengetahuan tentang perkembangan terapi SLE untuk menentukan
pengelolaan dan pilihan terapi yang sesuai.4,9
Etiologi, Patogenesis dan Imunopatologi SLE
SLE didasari dengan adanya autoantibodi patogen (timbul beberapa
tahun sebelum timbulnya manifestasi penyakit) serta kompleks imun yang terikat
pada jaringan dan membentuk komplemen, aktivasi respon imun yang
menyebabkan kerusakan jaringan.10
2
Etiologi SLE meliputi faktor genetik dan lingkungan. SLE merupakan
penyakit dengan faktor genetik kompleks, dimana aktivitas banyak gen sebagai
predisposisi SLE, bersama dengan faktor lingkungan dan faktor nongenetik
lainya turut berperan dalam patogenesis. Faktor – faktor ini berkembang menjadi
kerusakan ireversibel gangguan toleransi imun dan bermanifestasi sebagai
respon imun terhadap antigen nuklear endogen.3
Faktor genetik sepertinya merupakan faktor yang paling menentukan
dalam patogenesis SLE. Tingginya kejadian SLE pada saudara kandung menjadi
dasar adanya faktor genetik, dengan jenis kelamin perempuan sebagai faktor
penting dalam patogenesis. Faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet, logam
berat, bahan kimia, obat – obatan, organisme patogen dan pola hidup dapat
menjadi pencetus proses autoimun pada individu dengan predisposisi
genetik.1,3,10
Terjadinya SLE juga dipengaruhi oleh efek epigenetik berupa gangguan
metilasi DNA yang menimbulkan ekspresi gen abnormal dan berujung pada
hilangnya hambatan MHC terhadap self antigen oleh sel T, dan peningkatkan
produksi antibodi oleh sel B. Hal ini dapat diturunkan atau termodifikasi oleh
lingkungan.1,3
Peran hormonal dalam patogenesis SLE terlihat pada hormon androgen
sebagai faktor imunoprotektif dalam terjadinya SLE. Mekanisme pasti mengenai
peran estrogen pada penyakit SLE masih belum jelas. Estrogen berperan melalui
ER-α dan β yang diekspresikan melalui sel B dan T.1
Patogenesis SLE melibatkan abnormalitas sistem imun yang kompleks,
dimana kelainan fungsi sel B dan sel T yang merangsang produksi autoantibodi
oleh sel B dan reaktivitas sel T menimbulkan inflamasi serta kegagalan
multiorgan. Autoantigen yang dilepaskan oleh sel apoptotik dipaparkan oleh sel
dendritik kepada sel T yang kemudian mengaktifkan sel T. Sel T teraktivasi
kemudian memproduksi sitokin yang memicu sel B untuk memproduksi antibodi.
Disamping itu, terdapat pula produksi autoantibodi oleh sel B yang tidak
bergantung pada sel T. Mekanisme ini berlangsung karena adanya stimulasi sel
B melalui kombinasi β-cell antigen receptor (BCR) dan TLR signalling. 1,3
.
Gambar I. Patogenesis SLE
Dikutip dari Bertias. 3
3
Beberapa aspek regulasi abnormal terhadap sel T berkontribusi dalam
timbulnya SLE. Signal abnormal pada reseptor sel T menimbulkan peningkatan
regulasi FcRγ dan aktivasi Syk kinase yang kemudian mengakibatkan gangguan
toleransi imun, abnormalitas respon terhadap autoantigen, gangguan presentasi
antigen, serta gangguan transduksi signal pada reseptor sel T. 1
Sel B memegang peranan penting dalam patogenesis SLE berupa
prekursor sel plasma yang mensekresi antibodi. Aktivasi dan diferensiasi
abnormal sel B mengubah sel B naif menjadi sel plasma yang teraktivasi. Sel –
sel ini merupakan autoantigen terhadap sel T dan bertanggung jawab terhadap
produksi autoantibodi serta memodulasi sel T dalam sekresi sitokin. Pada SLE
terdapat peningkatan jumlah sel plasma, plasmablas dan sel B transisional tahap
akhir. 1,9,10
Meningkatnya aktivasi sel B diakibatkan oleh kadar growth factor yang
meningkat, termasuk di dalamnya B-lymphocyte stimulator (BlyS) yang
dibutuhkan dalam pertahanan hidup, maturasi dan aktivasi sel B, serta
berembangnya sel B menjadi sel plasma. Autoantibodi yang dihasilkan oleh sel B
yang hiperaktif mengakibatkan kerusakan jaringan melalui pembentukkan
kompleks imun, aktivasi komplemen, dan efek langsung pada sel. 50% pasien
SLE memiliki peningkatan kadar BlyS plasma dan terdapat korelasi bermakna
antara tingginya kadar BlyS plasma dengan aktivitas penyakit. 9,10
Abnormalitas sel B pada SLE berpusat pada transduksi signal aberan
sepanjang reseptor sel B (BCR). Peningkatan respon sel B juga diakibatkan oleh
menurunnya ekspresi Lyn kinase dan molekul - molekul yang terlibat dalam
menurunkan regulasi signaling pada sel B.1
Reseptor permukaan lainnya yang banyak dipelajari adalah B-cell
activating factor of the TNF family receptor (BAFF-R), dimana kemampuan
bertahan hidup sel B bergantung pada persaingannya dengan protein homolog A
proliferation inducing ligand (APRIL) untuk mencapai interaksi dengan BAFF.
BAFF dapat berikatan dengan tiga buah reseptor – TACI, BCMA dan BAFF-R,
sedangkan APRIL berikatan hanya denga TACI dan BCMA.1
Pada SLE terjadi peningkatan produksi BAFF oleh sel dendritik akibat
respon terhadap CpG DNA inducible cytokine (IFNa). Aktivasi sel B ini dapat
merangsang produksi imunoglobulin tanpa melibatkan sel T. Antagonis terhadap
BAFF dan APRIL telah digunakan dalam pengobatan SLE. 1
Selain β-cell activating factor (BAFF) atau β-lymphocyte stimulator (BlyS)
terdapat sitokin yang berperan dalam patologi SLE antara lain tumor necrosis
factor (TNF) alpha, IFNγ, interleukin (IL)-2, IL-4, IL-6, IL-10, TNF-α, dan TGF-β
dan MCP-1.1,9
4
Gambar II. Gambaran panoramik patogenesis SLE.
Dikutip dari Sifuente.11
Keterangan gambar :
1. Sel apoptotik dipaparkan pada antigen nuklear pada vesikel apoptosis permukaan.
2. Terjadinya akumulasi material apoptosis akibatdefisiensi mekanisme bersihan oleh sistem
makrofag.
3. Akumulasi ini memudahkan akses pada limfosit B autoreaktif yang mensintesis
autoantibodi.
4. Terbentuknya kompleks imun.
5. Kompleks imun memiliki kapasitas untuk mengaktifkan komplemen dan merusak jaringan.
6. Kompleks imun juga dapat mengaktivasi sel dendritik plasma.
7. Aktivasi sel dendritik plasma pada jalur TLR7 dan TLR9 akan meningkatkan produksi
interferon; IFN-α memiliki pengaruh multipel pada sistem imun yang mengakibatkan
terjadinya autoimunitas,seperti diferensiasi sel B menjadi antibodi yang memproduksi sel
plasma, aktivasi sel T dan maturasi sel dendritik. Seluruh siklus ini mengintensifikasi
proses autoimun.
8-11. Sel limfosit B, sel limfosit T, sitokin, molekul ko-stimulasi dan jalur sinyal intraselular
seagai target terapi.
Prinsip dan tujuan terapi SLE
Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan
kualitas hidup. Tujuan khusus pengelolaan SLE adalah: tercapainya remisi
terhadap gejala sistemik dan manifestasi organ atau seandainya remisi tidak
dapat tercapai, pengobatan harus bertujuan untuk mencapai aktivitas penyakit
serendah mungkin. Pengelolaan juga harus berusaha untuk meningkatkan
kesintasan jangka panjang, menghambat kerusakan organ, optimalisasi kualitas
hidup dengan mengontrol aktivitas penyakit, mengurangi rasa nyeri, serta
komorbiditas dan toksisitas obat yang minimal.2,5
Pengelolan SLE merupakan aspek yang sulit dan sering salah dimengerti
dan memerlukan pendekatan multidisipliner serta pengertian tentang banyaknya
aspek dan manifestasi penyakit. Pengelolaan tidak terbatas pada pemakaian
obat – obatan saja, namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan
pendekatan bio – psiko – sosial, meliputi tatalaksana non farmakologis dan
farmakologis. 5,12
5
Strategi pengobatan pada SLE dengan manifestasi berat dan lupus
nefritis meliputi fase induksi dengan tujuan menekan inflamasi glomerular dan
tercapainya remisi, diikuti dengan fase pemeliharaan untuk mempertahankan
efek terapi. 13
Strategi terapi yang sesuai harus dapat dilaksanakan untuk mencapai
tujuan pengobatan SLE. Hal ini terdiri atas diagnosis awal, terapi efektif,
penyesuaian dosis kotikosteroid, dan targeted therapy yang memiliki toksisitas
lebih rendah dan steroid-sparing agent yang potensial. Pada referat ini,
pembahasan akan difokuskan kepada agen biologis yang telah membawa
harapan dalam perkembangan dan kemajuan penatalaksanaan SLE. 5
Penilaian respon terapi SLE
Respon terapi dinilai berdasarkan beberapa indikator atau alat ukur.
Indikator ini terus dikembangkan dan divalidasi untuk menilai inflamasi reversibel
pada SLE dengan menggunakan gabungan antara variabel klinis dan
penunjang.14
Penilaian respon terapi dengan melihat aktivitas penyakit dapat
menggunakan alat penilaian yang telah divalidasi diantaranya British Islet Lupus
Assesment Group (BILAG), the Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), the
SLE Disease Activity Index (SLEDAI), dan the Modified Safety of Estrogen in
Lupus Erythematosus National Assesssment (SELENA). Setiap alat penilaian ini
dirancang untuk digunakan pada uji observasional dan digunakan pula pada uji
klinis. Definisi remisi belum dinyatakan secara jelas pada alat penilaian tersebut,
kecuali definisi remisi berdasarkan SLE Disease Activity Index (SLEDAI).9,14
Petri, dkk menyatakan definisi respon terapi bedasarkan index SLEDAI
yaitu : perbaikan (penurunan nilai SLEDAI >3); aktivitas penyakit persisten
(penurunan nilai SLEDAI ≤ 3); dan remisi (SLEDAI 0). Definisi ini pada akhirnya
menimbulkan banyak pertanyaan mengenai makna dari abnormalitas serologis
seperti kadar komplemen, titer antibodi anti-dsDNA, sehingga kriteria remisi yang
sesuai terus dikembangkan dan disesuaikan. 14
Remisi pada penyakit SLE juga dapat dipertimbangkan pada penurunan
aktivitas penyakit yang spesifik terhadap suatu sistem organ. Index BILAD
merupakan indeks yang spesifik terhadap sistem organ, dengan penilaian
terhadap 8 sistem : umum, mukokutan, neurologis, muskuloskeletal,
kardiopulmonal, vaskulitis, renal dan hematologis.14
Definisi remisi paling jelas dinyatakan pada definisi remisi lupus nefritis
(respon renal komplit) yaitu membaiknya funsi ginjal dengan proteinuria derajat
ringan (<0,5-1g/24 jam) dengan atau tanpa sedimen urin yang negatif setelah
pemberian terapi agen imunosupresan. 5
Tabel I. Skor MEX SLEDAI untuk menilai aktifitas penyakit dalam 10 hari.
Bobot Deskripsi Definisi
8 Gangguan
neurologis
Psikosa. Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi
normal dikarenakan gangguan persepsi realitas.
6 Gangguan ginjal Casts, heme granular atau sel darah merah.
Hematuria > 5 lpb.
Proteinuria. Onset baru, 0,5g/L pada random spesimen
Peningkatan kreatinin (>5mg/dl)
4 Vaskulitis Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual,
splinter haemorrhages. Data biopsi atau angiogram dari
vaskulitis.
3 Hemolisis
Trombositopenia
Hb<12g/dL dan koreksi retikulosit >3%
Trombositopenia <100.000. bukan diseabkan obat
3 Miositis Nyeri dan lemahnya otot – otot proksimal, yag dihubungkan
dengan peningkatan CPK
6
2 Arthritis Pembengkakkan atau efusi lebih dari 2 sendi
2 Gangguan
mukokutaneus
Ruam malar. Onset baru atau malar eritema yang menonjol
Mucous ulcer. Oral atau nasofaring ulserasi dengan onset baru
atau berulang
Alopesia abnormal.
2 Serositis Pleuritis
Perikarditis
Peritonitis
1 Demam
Fatigue
Demam > 38°C setelah eksklusi infeksi
Fatigue yang tidak dapat dijelaskan
1 Lekopenia
Limfopenia
Sel darah putih <4000/mm3
Limfosit <1200/mm3
, bukan akibat obat
Dikutip dari.2
Terapi non farmakologis dalam tatalaksana SLE
Karena prognosis dan manifestasi klinis SLE yang bervariasi, maka
sangatlah penting untuk mengumpulkan data pasien secara lengkap sebelum
inisiasi terapi. Kepatuhan merupakan komponen yang sangat penting dalam
tatalaksana SLE sehingga strategi untuk mencapainya perlu dikembangkan dan
diimplementasikan. Edukasi serta pengetahuan tentang penyakit dan
perencanaan terapi yang melibatkan penderita, serta keluarga, teman dan
kerabat dapat meningkatkan kepatuhan dalam menjalani rancangan tatalaksana
SLE. 12
Kelelahan (fatigue) yang timbul pada 50-90% pasien SLE membuat
tatalaksana umum seperti pola istirahat, pola tidur, olahraga harus diterapkan.
Pengetahuan akan penyebab yang mendasarinya perlu diketahui. Pasien harus
menghindari rokok dan alkohol, dan mengetahui akibat kerusakan jaringan yang
dapat disebabkannya.12
Pasien SLE harus menghindari paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet B
pada waktu tengah hari (pukul 10.00 - 16.00) merupakan faktor fototoksik yang
lebih signifikan. Selain pembatasan dan penjadwalan aktivitas di luar ruangan,
penggunaan tabir surga dengan sun protection factor 30 atau lebih dapat
mengurangi penetrasi sinar UV dan mengurangi paparan terhadap bahaya
fototoksisitas.12
Terapi farmakologis dalam tatalaksana SLE
1. Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID)
NSAID seperti aspirin dan agen anti inflamasi lainnya telah digunakan
pada lebih dari 80% pasien SLE untuk mengobati gejala muskuloskeletal, nyeri
kepala, inflamasi membrana mukosa dan serositis. 12,15
NSAID menghambat produksi prostaglandin dengan berikatan kepada
siklooksigenase. Limfosit T mengekspresikan isoenzim siklooksigenase – 2
dimana hal ini dapat berperan pada aktivasi sel T, produksi IL-2, TNF-α, dan INF-
γ. Pengobatan menggunakan COX-2 inhibitor dapat menurunkan produksi
antibodi serta menghambat respon sel T terhadap nukleosom dan presentasi
antigen oleh antigen presenting cell. Menurut Lander, terlepas dari kandungan
sulfa yang dapat mencetuskan aktivitas lupus, terapi mengunakan celecoxib
merupakan pilihan yang aman dan menguntungkan. Celecoxib tidak berinteraksi
dengan warfarin seperti NSAID lainnya. 12
Walaupun terdapat insidensi penyakit jantung koroner yang tinggi pada
pasien SLE, data yang cukup untuk menunjang peningkatan risiko kardiovaskular
pada pasien SLE belum ada. Penggunaan obat – obatan ini perlu dihindari pada
pasien SLE yang memiliki risiko terjadinya penyakit vaskuler dini. Efek samping
lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian NSAID antara lain toksisitas
terhadap ginjal, hipertensi, reaksi alergi, serta toksisitas terhadap hepar.15
7
2. Antimalaria
Penggunaan kuinin digunakan pertama kali oleh Paine untuk mengobati
lupus eritematosus diskoid, dan setelah Page menggunakan kuinakrin pada
tahun 1951 penggunaan antimalaria sebagai terapi diskoid lupus eritematosus
meluas. Dengan banyaknya agen terapi baru yang menjanjikan, tidak membuat
penggunaan obat antimalaria yang aman, murah, dan efektif tergeser dari peran
kuncinya dalam pengobatan SLE.16
Pada tahun 1993, Fox menyatakan bahwa obat antimalaria meningkatkan
pH yang menurunkan pembentukan kompleks major histocompatibility complex
(MHC), menghambat pembentukan kompleks peptida - MHC kelas II sehingga
stimulasi terhadap CD+sell T yang bersifat reaktif kepada autoantigen menurun,
pelepasan sitokin dan terjadinya autoimunitas juga menurun. 16
Pengobatan dengan obat antimalaria menunjukan penurunan kadar IL-
1β, IL-6, IL-18, dan TNF-α secara nyata pada 3 bulan setelah inisiasi.
Mekanisme aksi obat ini juga terdapat pada blokade TLR9, suatu kompartemen
selular yang berperan dalam aktivasi sel dendritik/sel plasma. 16
Telah banyak penelitian yang membuktikan efektifitas terapi SLE dengan
menggunakan obat antimalaria. Selain manfaat terhadap aksi imunologis, obat
antimalaria juga memiliki sifat antitrombosis dengan menghambat agregasi dan
adhesi trombosis, menghambat pembentukan antibodi antifosfolipid β-2
glikoprotein I, menghambat terbentuknya komplek antibodi antifosfolipid – anexin
5; proteksi kardiovaskuler; efek antimikrobial terhadap bakteri, jamur dan virus;
menghambat pertumbuhan sel dan mutasi pada sel dengan pembelahan yang
cepat. Obat antimalaria dinyatakan aman pada kehamilan dan laktasi. 5,16
Obat antimalaria yang digunakan dalam pengobatan SLE antara lain
hidroksiklorokuin, klorokuin dan kuinakrin. Dosis maksimal untuk obat antimalaria
klorokuin adalah 3mg/kg/hari, dan 6,5/kg/hari untuk hidroksiklorokuin. Respon
terapi akan terlihat setelah penggunaan selama 4-6 minggu pada klorokuin dan
8-12 minggu pada hidroksiklorokuin.16
Efek samping obat-obatan ini antara lain berupa mual, anoreksia, muntah,
diare dan distensi abdomen, pigmentasi kulit, keratopati, nyeri kepala, mimpi
buruk, insomnia, tinitus. Efek samping ini akan berkurang dengan penyesuaian
dosis, dan dapat menghilang bila obat dihentikan. Efek samping yang jarang
antara lain miopati, kardiomiopati, depresi sumsum tulang. Toksisitas terhadap
retina merupakan efek samping yang harus diperhatikan. Berat ringannya
bervariasi berupa perubahan asimtomatik hingga terjadinya retinopati, makulopati
yang ireversibel.5
3. Glukokortikoid
Glukokortikoid masih menjadi lini terdepan dalam pengobatan penyakit
rhematologi sejak Phillip Hench memperkenalkan penggunaannya pada tahun
1949. Glukokortikoid harus digunakan secara berhati – hati dengan dosis yang
memberikan efek samping seminimal mungkin. Kombinasi glukokortikoid dengan
agen imunosupresan atau anti-inflamasi lainnya dapat membantu tercapainya
kontrol penyakit, sehingga dosis glukokortikoid yang lebih rendah dapat
diberikan.13,17
Peran glukokortikoid dosis tinggi pada SLE dengan manifestasi berat
tidak perlu dipertanyakan lagi. Di sisi lain, sejumlah komplikasi dan efek samping
glukokortikoid terkait dosis dan durasi terapi menjadi pertimbangan tersendiri
dalam penggunaannya. Pemberian dosis kecil lebih dapat ditoleransi, walaupun
risiko komplikasi seperti infeksi, gangguan tumbuh kembang, osteoporosis, dan
8
katarak tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, terapi pemeliharaan harus
mencapai kontrol aktivitas penyakit dengan dosis glukokortikoid serendah
mungkin dan penghentian glukokortikoid bila memungkinkan. 5,17
Pada tingkat molekular, glukokortikoid bekerja pada berbagai sel (netrofil,
monosit-makrofag, fibroblas, endotel) dengan efek genomik dan nongenomik
dalam menghambat sintesis dan sekresi mediator protein inflamasi. Pada tingkat
selular, glukokortikoid tidak hanya bekerja pada inisiasi inflamasi akut dengan
blokade vasodilatasi pembuluh darah kecil, migrasi leukosit PMN dan eosinofil
dalam respon kerusakan jaringan, tetapi juga memfasilitasi pembersihan sel
inflamasi dan resolusi inflamasi.17
Respon terapi terhadap glukokortikoid pada hampir seluruh manifestasi
SLE dicapai dalam kurang dari 1 sampai 2 minggu, serta 2 sampai 6 minggu
pada lupus nefritis., Bila terdapat respon terapi yang baik dalam 1 sampai 2
minggu setelah inisiasi atau telah ditambahkan agen sitotoksik dalam regimen
pada penyakit refrakter, maka penurunan dosis glukokortikoid (tappering off)
harus dilakukan. Tahap pertama adalah dengan pemberian regimen satu kali per
hari pada pagi hari, dengan dosis harian dapat diturunkan sebesar 5mg (5-10%)
setiap minggu hingga dosis mencapai 0,25-0,5mg/kg/hari. Penghentian
glukokortikoid atau penurunan hingga dosis minimal dapat dilakukan secara lebih
perlahan.17
Pulse dose glukokortikoid pertama kali diberikan pada pasien SLE
dengan glomerulonefritis proliferatif difus, yaitu methylprednisolon sebesar 0,5 -
1g /hari selama 3 hari. Terapi ini efektif pada pneumonitis, serositis, vaskulitis,
dan trombositopenia, namun pada penelitian yang membandingkan antara pulse
therapy glukokortikoid dengan siklofosfamid menunjukan keunggulan
siklofosfamid. Kombinasi terapi dengan agen imunosupresan dapat memberikan
perbaikan fungsi ginjal bila dibandingkan dengan penggunaan obat secara
tunggal.17
4. Agen imunosupresan (agen sitotoksik)
Agen imunosupresan digunakan pada SLE dengan manifestasi berat
untuk meminimalisir kerusakan jaringan ireversibel serta mengurangi toksisitas
akibat penggunaan kortikosteroid. Pada beberapa dekade belakangan ini
tatalaksana SLE difokuskan pada minimalisasi penggunaan siklofosfamid,
bahkan pada SLE dengan manifestasi berat sekalipun. Penggunaan
siklofosfamid dibatasi hanya sebagai induksi remisi, diikuti dengan terapi
pemeliharaan dengan MMF atau azathioprine pada pengobatan lupus nefriitis.
Selain itu, dilakukan pemendekan periode induksi menggunakan siklofosfamid,
atau substitusi siklofosfamid dengan MMF untuk induksi remisi pada lupus
nefritis.13,18
Awal terapi SLE dengan mengunakan alkylating agent dilaporkan oleh
Osborne, dkk pada tahun 1947 sebagai agen topikal pada penderita kutaneus
lupus, dan diikuti pada tahun 1949 yang memberikan hasil yang cepat dan
dramatis pada penderita lupus nefritis.18
a. Siklofosfamid
Walaupun toksisitasnya yang jelas, siklofosfamid masih merupakan obat
yang penting dalam tatalaksana SLE. Efek klinis dan toksik siklofosfamid
bergantung pada dosis, rute pemberian, durasi dan dosis kumulatifnya. 18
Efek langsung siklofosfamid sebagai imunomodulator membuat obat ini
memiliki onset yang cepat dalam efektifitas terapi (dalam 2 sampai 4 hari).
Mekanisme kerja siklofosfamid terdiri atas perannya dalam mempengaruhi fungsi
makrofag, meningkatkan produksi prostaglandin E2, mengganggu transkripsi
9
gen, dan efek langsung terhadap limfosit. Siklofosfamid yang diberikan secara
intravena menekan aktivasi sel T. 18
Siklofosfamid intravena bulanan dapat dimulai dengan dosis 500 –
750mg/m2
dalam normal salin selama 1 jam. Dosis dapat ditingkatkan 10 -25%
dengan target hitung leukosit antara 2000 – 3000/mm3
. Penurunan dosis harus
dilakukan pada saat hitung leukosit dibawah 2000/mm3
atau hitung granulosit
dibawah 1000/mm3
. Terapi induksi dapat diberikan sebanyak 6 kali. Penggunaan
siklofosfamid intravena setiap 2 minggu diikuti dengan pemberian azathioprin
telah terbukti efektif.18
Efek samping siklofosfamid antara lain sistitis hemoragika, karsinoma buli
dan keganasan, supresi sumsumg tulang, pneumonitis interstitial akut, infeksi,
infertilitas dan teratotoksisitas. Kejadian sistitis hemoragik dan karsinoma buli
terjadi pada pemberian dosis diatas 30 gram. Hidrasi adekuat selama pemberian
siklofosfamid dapat dilakukan untuk mencegah sistitis hemoragika.18
b. Clorambucil
Chlorambucil telah dihentikan penggunaannya dalam terapi SLE karena
toksisitasny yang berat pada penggunaan jangka panjang. Karena penggunaan
jangka pendek sebagai induksi remisi memberikan efek toksik yang lebih kecil,
maka terapi menggunakan obat ini mungkin dapat digunakan sebagai terapi
induksi pada beberapa keadaan seperti individu dengan nerogenic bladder.18
c. Azathioprine
Azathioprine telah digunakan selama lebih dari 50 tahun pada
transplantasi organ dan penyakit rhematik. Walaupun potensi dan onset kerjanya
tidak sebaik siklofosfamid pada pasien SLE akut dan berat, azathioprine tetap
berguna sebagai steroid sparing agent serta sebagai terapi pemeliharaan setelah
pengobatan dengan siklofosfamid pada pasien lupus nefritis.18
Azathioprie menurunkan jumlah sel T, sel B dan sel NK sehingga
menghambat imunitas selular dan humoral, menekan pembentukan autoantibodi
dan menghambat sintesis prostaglandin. Berbeda dengan siklofosfamid,
azathioprine tidak digunakan sebagai obat tunggal pada terapi lupus nefritis,
namun memberikan hasil yang baik bila digunakan sebagai sparing agent
terhadap steroid maupun siklofosfamid.18
Obat ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan agen biologis
belimumab atau rituximab, sehingga patut dipertimbangkan dalam tatalaksana
SLE yang resisten terhadap steroid. 18
d. Calcineurin Inhibitors : Siklosporin dan Tacrolimus
Bukti yang ada tentang siklosprorin dan tacrolimus adalah efektifitasnya
dalam terapi nefritis membranosa. Kedua obat ini juga sangat menarik karena
toksisitas sumsum tulang dan keamanannya pada kehamilan. Walaupun dinilai
efektif dalam mengurangi tingkat proteinuria, penelitian mengenai obat ini masih
terbatas bila dibandingkan dengan azathioprine, MMF dan siklofosfamid. 18
e.Methotrexate
Metotrexat adalah antagonis folat yang menghambat dihidrofolat
reduktase. Disintesis pada tahun 1940 dan digunakan sebagai zat sitotoksik
terhadap tumor. Bila digunakan dalam dosis pada penyakit rematik, efek
sitotoksiknya lebih sedikit dan berguna dalam imunomodulator. 18
Methotrexat diberikan secara oral atau subkutan dengan dosis 10 –
30mg, dengan penambahan asam folat 1mg/hari. Methotrexat relatif aman dan
ditoleransi dengan baik dalam pengobatan SLE, terutama pada pasien SLE
dengan manifestasi kutaneus dan muskuloskeletal. Monitoring fungsi ginjal
sangat penting, kontrasepsi yang baik harus diberikan pada wanita produktif
untuk mencegah efek teratotoksisitas. 18
10
f. Mycophenolate
Uji klinis terkontrol berkualitas baik telah menunjukan efektifitas terapi
SLE dengan MMF, sehingga MMF dapat dijadikan terapi alternatif terapi induksi
pada lupus nefritis. Faktor genetik mempengaruhi respon terapi dengan obat ini.
Suku afrika-amerika dan hispanik memberikan respon terapi yang baik bila
dibandingkan dengan kaukasia.18
Terapi dengan MMF juga dapat menjadi terapi pemeliharan setelah
induksi menggunakan siklofosfamid dan MMF mungkin lebih baik jika
dibandingkan dengan azathioprin sebagai terapi pemeliharaan. Efek toksik yang
kecil terhadap gonad membuat MMF lebih digemari dan menjadi lini pertama
dalam pengobatan bagi penderita SLE yang berada dalam masa pubertas atau
anak – anak. 18
g. Targeted therapy dalam pengobatan SLE
Dalam dua dekade terakhir, strategi pengobatan baru SLE telah
berkembang. Pengetahuan tentang patogenesis SLE telah membawa kita
kepada pendekatan terapi yang tertuju pada molekul spesifik. Kata ‘target’ dalam
targeted therapy dapat digunakan untuk suatu tipe sel atau molekul yang dapat
menjadi sasaran suatu pengobatan dengan agen biologis.5,9,19
Terapi menggunakan agen biologis telah terbukti efektif pada penyakit
inflamasi seperti artritis rheumatoid, multipel sklerosis, dan inflamatory bowel
disease, namun efektifitasnya masih menjadi hal yang kontroversial pada
pengobatan SLE.9
Gambar III. Mekanisme patogenesis SLE yang dapat dijadikan target terapi.
Dikutip dari Thanou. 20
11
Gambar IV. Obat – obatan yang relevan terhadap target potensial yang
berhubungan dengan sel B dan sel T dalam penatalaksanaan
SLE.
Dikutip dari Rajhadyakshya. 9
Tabel II. Terapi dengan agen biologis dalam terapi SLE.
Agen biologis Hasil utama
Target sel B
Antibodi anti CD-20
 Rituximab
 Ocrelizumab
Efektif pada SLE refrakter
Perkembangan dalam aktivitas penyakit
Tidak ada keuntungan pada lupus nefritis proliferatif
Tidak ada keuntungan pada lupus nefritis
Antibodi anti CD-22
 Epratuzumab Perkembangan dalam skor BILAG
Penurunan dosis kortikosteroid dengan profil
keamanan yang baik
Tolerogen limfosit B
 Abetimus Tidak ada keuntungan pada pasien lupus nefritis
Edratide Belum ada hasil yang dirilis
Blokade BlyS
 Belimumab
 Atacicept
Penurunan aktivitas dan penurunan flare up
Penurunan signifikan kadar IgM dan IgG
Blokade sel T dan ko-stimulator
Abatacept Perkembangan pada manifestasi SLE yang tidak
mengancam jiwa
IDEC-131 Tidak efektif dalam pengobatan SLE manusia
Efalizumab Penurunan pada manifestasi kutaneus SLE
AMG557 Belum ada hasil yang dirilis
Sirolimus Efektif dan aman pada SLE refrakter
Anti sitokin
12
Anti TNF-α
 Infliximab Efektivitas jangka panjang pada SLE refrakter
Anti IFN-α/-γ
 Sifalimumab
 Rontalimumab
 AMG811
Anti IL-1
 Anakinra
Anti IL-6
 Tocilizumab
Anti IL-10
Belum ada hasil yang dirilis
Belum ada hasil yang dirilis
Belum ada hasil yang dirilis
Perbaikan dalam artritis SLE
Perbaikan pada respon klinis dan serologis
Perbaikan pada aktivitas penyakit
Dikutip dari Stohl. 21
Ringkasan
SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi klinis dan pola
aktivitas penyakit yang beraneka ragam. Prognosis jangka panjang seringkali
buruk. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan serta pemilihan terapi.
Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan
kualitas hidup melalui tercapainya remisi atau bila remisi tidak dapat dicapai,
pengobatan harus ditujukan pada pencapaian aktivitas penyakit serendah
mungkin. Pengelolaan tidak hanya terbatas pada pemakaian obat – obatan saja,
namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan pendekatan bio – psiko –
sosial, meliputi tatalaksana non farmakologis dan farmakologis.
Berkembangnya pengertian tentang imunopatologi SLE membawa
kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis yang ditujukan kepada
suatu molekul spesifik sebagai sasaran terapi SLE. Dalam dua dekade terakhir,
strategi pengobatan baru SLE telah berkembang. Pengesahan belimumab
(Benlysta) dapat dikatakan menjadi landasan murni terapi SLE dalam sejarah
perkembangan agen terapi SLE, dan meningkatkan harapan akan timbulnya
agen – agen pengobatan baru dalam tahun – tahun mendatang.
Toksisitas steroid semakin meyakinkan adanya kebutuhan terhadap
intervensi dengan targeted therapy, namun asumsi bahwa netralisir salah satu
sasaran akan memberikan keberhasilan pada seluruh aktivitas penyakit adalah
pemikiran yang salah.
Seperti yang telah dibahas pada referat ini, terdapat banyak agen terapi
yang menjanjikan bagi terapi SLE dan memerlukan banyak investigasi. Perlu
diingat bahwa tidak ada satu obat pun yang 100% efektif terhadap seluruh
pasien SLE, sehingga tatalaksana SLE harus disesuaikan berdasarkan
manifestasi klinis dan berbeda pada setiap individu.
Daftar Pustaka
1. Krishan S CB, Juang YT et al. Overview of the pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. Tsokos GC GC, Smolen JS et al, editor Philadelphia:
Elsevier;2007. hlm. 55-63.
2. indonesia Pr. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. In: Kasjmir
YI HK, Wijaya LK et al, editor.; Jakarta: Perhimpunan reumatologi indonesia;
2011. p. 10-34.
3. Bertias G CR, Boumpas DT. Systemic lupus erythematosus : pathognesis and
clinical features. EULAR textbook of rheumatic disease.2014. hlm. 476-505.
4. Jordan N, Lutalo PM, D'Cruz DP. Novel therapeutic agents in clinical
development for systemic lupus erythematosus. BMC medicine. 2013;11:120.
13
5. van Vollenhoven RF, Mosca M, Bertsias G, Isenberg D, Kuhn A, Lerstrom K, et
al. Treat-to-target in systemic lupus erythematosus: recommendations from an
international task force. Annals of the rheumatic diseases. 2014 Jun;73(6):958-
67.
6. Christi L HL, Dewi S, et al, editor. Manifestasi klinis awal, dan perjalanan penyakit
pasien lupus eritematosus sistemik RS Dr Hasan Sadikin Bandung. Reumatologi
klinik bandung; 2012; Bandung.
7. Dewi S. Lupus eritematosus sistemik: diagnosis, stratifikasi pasien dan
monitoring aktivitas penyakit. Dalam: Wachjudi RG DS, Pramudiyo R, editor.
Pedoman praktis reumatologi klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2008. hlm. 63-77.
8. Doria A, Gatto M, Zen M, Iaccarino L, Punzi L. Optimizing outcome in SLE:
treating-to-target and definition of treatment goals. Autoimmunity reviews. 2014
Jul;13(7):770-7.
9. Rajadhyaksha AG, Mehra S, Nadkar MY. Biologics in SLE: the current status.
The Journal of the Association of Physicians of India. 2013 Apr;61(4):262-7.
10. Hahn BH. Belimumab for Systemic Lupus Erythematosus. New England Journal
of Medicine. 2013;368(16):1528-35.
11. Sifuentes Giraldo WA, García Villanueva MJ, Boteanu AL, Lois Iglesias A, Zea
Mendoza AC. New Therapeutic Targets in Systemic Lupus. Reumatología
Clínica. 10.1016/j.reumae.2012.06.011. 2012;08(04):201-7.
12. Ishimori M WM, Setoodeh K, Wallace DJ. Principles of therapy, local measures,
and nonsteroidal medications. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus
erythematosus and related syndromes. Philadephia: Saunders; 2013. hlm. 522-
88.
13. Navarra S, Naidas OD. Management of systemic lupus erythematosus renal
disease. Dalam: Weishman MH WM, Louie J, et all, editor. Targeted treatment of
the rheumatic diseases. Philadelphia: Saunders elsevier; 2010. hlm. 108-21.
14. Mosca M, Bombardieri S. Assessing remission in systemic lupus erythematosus.
Clinical and experimental rheumatology. 2006 Nov-Dec;24(6 Suppl 43):S-99-104.
15. Lahita R. Nonsteroid tretment of systemic lupus erythematosus. Dalam: Tsokos
GC GC, Smolen JS et al, editor. Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia:
Elsevier; 2007. hlm. 483-85.
16. Zubieta JA EJ. Antimalarial medication. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS
lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. hlm.
601-07.
17. Kirou KA BD. Systemic glucocorticoid therapy in SLE. Dalam: Wallace DJ HB,
editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia:
Elsevier; 2013. hlm. 591-99.
18. McCune JW RT. Immunosuppresive drug therapy. Dalam: Wallace DJ HB, editor.
DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Saunders;
2013. hlm. 609-23.
19. Postal M C, Appenzeller S. Biological Therapy in Systemic Lupus Erythematosus.
International Journal of Rheumatology. 2012;2012.
20. Thanou A, Merrill JT. Treatment of systemic lupus erythematosus: new
therapeutic avenues and blind alleys. Nat Rev Rheumatol. 2014 Jan;10(1):23-34.
21. Stohl W. Future prospects in biologic therapy for systemic lupus erythematosus.
Nat Rev Rheumatol. Review. 2013 12//print;9(12):705-20.
22. RF Vv. Novel therapies for SLE : Biological agents available in practice today.
Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related
syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. hlm. 640-46.
23. Treatment of SLE: bridging the gap from clinical trials to the clinic. Abstracts of a
symposium held during the American College of Rheumatology Congress in
2012. November 11, 2012. Washington, D.C., USA. Arthritis research & therapy.
2013;15 Suppl 2:A1-5.

More Related Content

What's hot

Farmakologi cara pemberian obat
Farmakologi cara pemberian obatFarmakologi cara pemberian obat
Farmakologi cara pemberian obat
Aprillia Indah Fajarwati
 
Kimia klinik jurnal 1
Kimia klinik jurnal 1Kimia klinik jurnal 1
Kimia klinik jurnal 1
pdspatologikliniksby
 
Artritis reumatoid
Artritis reumatoidArtritis reumatoid
Artritis reumatoid
fikri asyura
 
Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)
Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)
Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)
Bagus Utomo
 
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralTatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Surya Amal
 
Memahami Autoimun
Memahami AutoimunMemahami Autoimun
Memahami Autoimun
Lestari Moerdijat
 
Sistem komplemen
Sistem komplemenSistem komplemen
Sistem komplemen
Abulkhair Abdullah
 
Farmakologi interaksi obat dengan makanan
Farmakologi interaksi obat dengan makananFarmakologi interaksi obat dengan makanan
Farmakologi interaksi obat dengan makananEster Muki
 
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBATPENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
Surya Amal
 
Balans cairan & elektrolit
Balans cairan & elektrolitBalans cairan & elektrolit
Balans cairan & elektrolit
Azis Aimaduddin
 
Anemia
AnemiaAnemia
Anemia
fikri asyura
 
Demam tifoid anak
Demam tifoid anakDemam tifoid anak
Demam tifoid anak
Fadel Muhammad Garishah
 
Pem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskulerPem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskulerJafar Nyan
 
Resusitasi cairan
Resusitasi cairanResusitasi cairan
Resusitasi cairan
Wahyu Purnama
 
Cara menghitung pemberian cairan infus
Cara menghitung pemberian cairan infusCara menghitung pemberian cairan infus
Cara menghitung pemberian cairan infus
AULIA SHARA
 
Tuberculosis
Tuberculosis Tuberculosis
Tuberculosis
Muhammad Adi
 
Kejang demam ppt
Kejang demam pptKejang demam ppt
Kejang demam ppt
Estiza Havel
 
Cairan Kristaloid dan Koloid
Cairan Kristaloid dan KoloidCairan Kristaloid dan Koloid
Cairan Kristaloid dan Koloid
Fais PPT
 

What's hot (20)

Farmakologi cara pemberian obat
Farmakologi cara pemberian obatFarmakologi cara pemberian obat
Farmakologi cara pemberian obat
 
Kimia klinik jurnal 1
Kimia klinik jurnal 1Kimia klinik jurnal 1
Kimia klinik jurnal 1
 
Isk
IskIsk
Isk
 
Artritis reumatoid
Artritis reumatoidArtritis reumatoid
Artritis reumatoid
 
Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)
Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)
Obat-obatan Antipsikotik (terjemahan bahasa indonesia, 2.0)
 
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralTatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
 
Memahami Autoimun
Memahami AutoimunMemahami Autoimun
Memahami Autoimun
 
Sistem komplemen
Sistem komplemenSistem komplemen
Sistem komplemen
 
Farmakologi interaksi obat dengan makanan
Farmakologi interaksi obat dengan makananFarmakologi interaksi obat dengan makanan
Farmakologi interaksi obat dengan makanan
 
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBATPENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
 
Balans cairan & elektrolit
Balans cairan & elektrolitBalans cairan & elektrolit
Balans cairan & elektrolit
 
Anemia
AnemiaAnemia
Anemia
 
Demam tifoid anak
Demam tifoid anakDemam tifoid anak
Demam tifoid anak
 
Pem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskulerPem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskuler
 
Resusitasi cairan
Resusitasi cairanResusitasi cairan
Resusitasi cairan
 
Cara menghitung pemberian cairan infus
Cara menghitung pemberian cairan infusCara menghitung pemberian cairan infus
Cara menghitung pemberian cairan infus
 
Tuberculosis
Tuberculosis Tuberculosis
Tuberculosis
 
Kejang demam ppt
Kejang demam pptKejang demam ppt
Kejang demam ppt
 
Cairan Kristaloid dan Koloid
Cairan Kristaloid dan KoloidCairan Kristaloid dan Koloid
Cairan Kristaloid dan Koloid
 
Kelompok 12(1)
Kelompok 12(1)Kelompok 12(1)
Kelompok 12(1)
 

Similar to Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik

Aspek imunologi sle
Aspek imunologi sleAspek imunologi sle
Aspek imunologi sle
Milka Betaubun
 
218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf
218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf
218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf
novi26674
 
Sle dan stefen jhonson sindrome
Sle dan stefen jhonson sindromeSle dan stefen jhonson sindrome
Sle dan stefen jhonson sindromewhiely_joenior
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
Warnet Raha
 
Aspek Mikrobiologi dari Infeksi dan Sepsis
Aspek Mikrobiologi dari Infeksi dan SepsisAspek Mikrobiologi dari Infeksi dan Sepsis
Aspek Mikrobiologi dari Infeksi dan Sepsis
Soroy Lardo
 
PPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptx
PPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptxPPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptx
PPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptx
AhmadFahrozi7
 
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptxNEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
FadlyMuchtar2
 
Discussion Notes 6 - Autoimun
Discussion Notes 6 - AutoimunDiscussion Notes 6 - Autoimun
Discussion Notes 6 - Autoimun
Catatan Medis
 
Hiper.................................
Hiper.................................Hiper.................................
Hiper.................................
Operator Warnet Vast Raha
 
Ag dan ab
Ag dan abAg dan ab
Ag dan ab
Suryanata Kesuma
 
ASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.doc
ASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.docASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.doc
ASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.doc
widarma atmaja i komang
 
Lupus Eritematous Discoid
Lupus Eritematous DiscoidLupus Eritematous Discoid
Lupus Eritematous Discoid
Faradhillah Adi Suryadi
 
Dm tipe 1
Dm tipe 1Dm tipe 1
Dm tipe 1
swanny62
 
MAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdf
MAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdfMAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdf
MAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdf
anitasrilestari1
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
Septian Muna Barakati
 
Sindrom Guillain Bare
Sindrom Guillain BareSindrom Guillain Bare
Sindrom Guillain Bare
Phil Adit R
 

Similar to Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik (20)

Aspek imunologi sle
Aspek imunologi sleAspek imunologi sle
Aspek imunologi sle
 
218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf
218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf
218675-gangguan-imunodefisiensi-primer-pid.pdf
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
 
Sle dan stefen jhonson sindrome
Sle dan stefen jhonson sindromeSle dan stefen jhonson sindrome
Sle dan stefen jhonson sindrome
 
Makalah hipersensitivitas (2)
Makalah hipersensitivitas (2)Makalah hipersensitivitas (2)
Makalah hipersensitivitas (2)
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
 
Autoimunitas
AutoimunitasAutoimunitas
Autoimunitas
 
Aspek Mikrobiologi dari Infeksi dan Sepsis
Aspek Mikrobiologi dari Infeksi dan SepsisAspek Mikrobiologi dari Infeksi dan Sepsis
Aspek Mikrobiologi dari Infeksi dan Sepsis
 
PPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptx
PPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptxPPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptx
PPT SLE laporan kasus ahmad fahrozi.pptx
 
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptxNEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
 
Discussion Notes 6 - Autoimun
Discussion Notes 6 - AutoimunDiscussion Notes 6 - Autoimun
Discussion Notes 6 - Autoimun
 
Hiper.................................
Hiper.................................Hiper.................................
Hiper.................................
 
Ag dan ab
Ag dan abAg dan ab
Ag dan ab
 
ASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.doc
ASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.docASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.doc
ASKEP_SLE_DAN_HIPERSENSITIFITAS.doc
 
Lupus Eritematous Discoid
Lupus Eritematous DiscoidLupus Eritematous Discoid
Lupus Eritematous Discoid
 
Dm tipe 1
Dm tipe 1Dm tipe 1
Dm tipe 1
 
MAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdf
MAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdfMAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdf
MAKALAH FARMAKOTERAPI I KELOMPOK 6-d.pdf
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
 
Sindrom Guillain Bare
Sindrom Guillain BareSindrom Guillain Bare
Sindrom Guillain Bare
 

More from Rachmat Gunadi Wachjudi

How do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mindHow do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mind
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Rheumatic autoimmne disease for laymen
Rheumatic autoimmne disease for laymenRheumatic autoimmne disease for laymen
Rheumatic autoimmne disease for laymen
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Diagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal painDiagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal pain
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Arthritis manifestation and management
Arthritis manifestation and managementArthritis manifestation and management
Arthritis manifestation and management
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Vitamin D in health and disease
Vitamin D in health and diseaseVitamin D in health and disease
Vitamin D in health and disease
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Mengenal ragam penyakit Autoimun
Mengenal ragam penyakit AutoimunMengenal ragam penyakit Autoimun
Mengenal ragam penyakit Autoimun
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Berkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit AutoimunBerkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
apa dan bagaimana lupus ?
apa dan bagaimana lupus ?apa dan bagaimana lupus ?
apa dan bagaimana lupus ?
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Ten Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis ManagementTen Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis Management
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganyaPenyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Quality of life of pateints with Lupus
Quality of life of pateints with LupusQuality of life of pateints with Lupus
Quality of life of pateints with Lupus
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Adverse reaction and drug allergy
Adverse reaction and drug allergyAdverse reaction and drug allergy
Adverse reaction and drug allergy
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Seribu wajah lupus
Seribu wajah lupus Seribu wajah lupus
Seribu wajah lupus
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Rheumatic pain management
Rheumatic pain managementRheumatic pain management
Rheumatic pain management
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Osteoarthritis Diagnosis and management
Osteoarthritis Diagnosis and managementOsteoarthritis Diagnosis and management
Osteoarthritis Diagnosis and management
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Spektrum klinis artritis reumatoid
Spektrum klinis artritis reumatoidSpektrum klinis artritis reumatoid
Spektrum klinis artritis reumatoid
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Lupus overview for journalist
Lupus overview for journalistLupus overview for journalist
Lupus overview for journalist
Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Travel medicine for health profession student
Travel medicine for health profession studentTravel medicine for health profession student
Travel medicine for health profession student
Rachmat Gunadi Wachjudi
 

More from Rachmat Gunadi Wachjudi (20)

How do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mindHow do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mind
 
Rheumatic autoimmne disease for laymen
Rheumatic autoimmne disease for laymenRheumatic autoimmne disease for laymen
Rheumatic autoimmne disease for laymen
 
Diagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal painDiagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal pain
 
Arthritis manifestation and management
Arthritis manifestation and managementArthritis manifestation and management
Arthritis manifestation and management
 
Vitamin D in health and disease
Vitamin D in health and diseaseVitamin D in health and disease
Vitamin D in health and disease
 
Mengenal ragam penyakit Autoimun
Mengenal ragam penyakit AutoimunMengenal ragam penyakit Autoimun
Mengenal ragam penyakit Autoimun
 
Berkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit AutoimunBerkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
 
apa dan bagaimana lupus ?
apa dan bagaimana lupus ?apa dan bagaimana lupus ?
apa dan bagaimana lupus ?
 
Ten Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis ManagementTen Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis Management
 
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganyaPenyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
 
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)
 
Quality of life of pateints with Lupus
Quality of life of pateints with LupusQuality of life of pateints with Lupus
Quality of life of pateints with Lupus
 
Adverse reaction and drug allergy
Adverse reaction and drug allergyAdverse reaction and drug allergy
Adverse reaction and drug allergy
 
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
 
Seribu wajah lupus
Seribu wajah lupus Seribu wajah lupus
Seribu wajah lupus
 
Rheumatic pain management
Rheumatic pain managementRheumatic pain management
Rheumatic pain management
 
Osteoarthritis Diagnosis and management
Osteoarthritis Diagnosis and managementOsteoarthritis Diagnosis and management
Osteoarthritis Diagnosis and management
 
Spektrum klinis artritis reumatoid
Spektrum klinis artritis reumatoidSpektrum klinis artritis reumatoid
Spektrum klinis artritis reumatoid
 
Lupus overview for journalist
Lupus overview for journalistLupus overview for journalist
Lupus overview for journalist
 
Travel medicine for health profession student
Travel medicine for health profession studentTravel medicine for health profession student
Travel medicine for health profession student
 

Recently uploaded

0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut
0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut
0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut
jualobat34
 
PEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdf
PEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdfPEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdf
PEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdf
celli4
 
CBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxx
CBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxxCBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxx
CBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxx
MuhammadAlFarizi88
 
KEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.ppt
KEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.pptKEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.ppt
KEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.ppt
gerald rundengan
 
audit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejo
audit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejoaudit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejo
audit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejo
ReniAnjarwati
 
Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)
Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)
Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)
Cara Menggugurkan Kandungan 087776558899
 
Presentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdf
Presentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdfPresentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdf
Presentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdf
AFMLS
 
PRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan tx
PRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan txPRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan tx
PRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan tx
rrherningputriganisw
 
PERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.ppt
PERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.pptPERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.ppt
PERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.ppt
Jumainmain1
 
80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx
80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx
80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx
YernimaDaeli1
 
tiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppt
tiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppttiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppt
tiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppt
HanifaYR
 
Kelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FK
Kelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FKKelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FK
Kelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FK
pinkhocun
 
Fracture of os nasalis literature review.ppt
Fracture of os nasalis literature review.pptFracture of os nasalis literature review.ppt
Fracture of os nasalis literature review.ppt
ResidenUrologiRSCM
 
RUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptx
RUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptxRUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptx
RUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptx
nadyahermawan
 
FIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdf
FIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdfFIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdf
FIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdf
helixyap92
 
PERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptx
PERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptxPERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptx
PERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptx
ssuser9f2868
 
Volumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasi
Volumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasiVolumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasi
Volumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasi
hannanbmq1
 
Malpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptx
Malpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptxMalpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptx
Malpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptx
LyanNurse1
 
Askep-Anak-dengan-gangguan malnutris.ppt
Askep-Anak-dengan-gangguan malnutris.pptAskep-Anak-dengan-gangguan malnutris.ppt
Askep-Anak-dengan-gangguan malnutris.ppt
fitrianakartikasari5
 
Manajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwa
Manajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwaManajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwa
Manajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwa
iskandar186656
 

Recently uploaded (20)

0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut
0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut
0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garut
 
PEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdf
PEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdfPEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdf
PEMERIKSAAN KESEHATAN USIA DASAR DAN SEKOLAH.pdf
 
CBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxx
CBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxxCBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxx
CBT BOARD INTERNAL Medicine chapter xxxx
 
KEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.ppt
KEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.pptKEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.ppt
KEBIJK_Jaminan_kesehatan_Indonesia _014.ppt
 
audit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejo
audit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejoaudit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejo
audit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejo
 
Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)
Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)
Jamu Penggugur obat penggugur herbal penggugur kandungan (087776558899)
 
Presentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdf
Presentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdfPresentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdf
Presentasi Pleno Kelompok 5 Modul 4 Kejang.pdf
 
PRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan tx
PRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan txPRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan tx
PRESKAS MALARIA dengan sdki slki siki asuhan keperawatan tx
 
PERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.ppt
PERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.pptPERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.ppt
PERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara pemberian , Melakukan perhitungan dosis.ppt
 
80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx
80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx
80533176-LAPORAN-KASUS-Asma-Bronkial.pptx
 
tiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppt
tiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppttiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppt
tiroid penyakit pada tubuh yang harus di.ppt
 
Kelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FK
Kelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FKKelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FK
Kelainan Genitalia Pria Bedah Urologi FK
 
Fracture of os nasalis literature review.ppt
Fracture of os nasalis literature review.pptFracture of os nasalis literature review.ppt
Fracture of os nasalis literature review.ppt
 
RUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptx
RUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptxRUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptx
RUU KESEHATAN (apt. Guntur Satrio Pratomo).pptx
 
FIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdf
FIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdfFIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdf
FIN_Kebijakan Skrining Bayi Baru Lahir.pdf
 
PERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptx
PERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptxPERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptx
PERHITUNGAN DOSIS MAKSIMUM OBAT BERDASARKAN UMUR-BERAT BADAN.pptx
 
Volumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasi
Volumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasiVolumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasi
Volumetri Redoks, Iodometri, Iodimetri, reduksi Oksidasi, titrasi
 
Malpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptx
Malpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptxMalpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptx
Malpraktek & Kelalaian dalam kesehatan.pptx
 
Askep-Anak-dengan-gangguan malnutris.ppt
Askep-Anak-dengan-gangguan malnutris.pptAskep-Anak-dengan-gangguan malnutris.ppt
Askep-Anak-dengan-gangguan malnutris.ppt
 
Manajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwa
Manajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwaManajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwa
Manajemen Keperawatan pada pasien gangguan jiwa
 

Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik

  • 1. 1 Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik Anastasia Tirtadjaja, Rachmat Gunadi Wachjudi Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Dr. HasanSadikin Bandung Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan sistem multiorgan. Penyakit ini mengenai wanita usia reproduksi dengan etiopatogenesis kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Selanjutnya pada referat ini lupus eritematosus akan disebut sebagai SLE. 1-5 Prevalensi SLE adalah sebesar 20 – 50 kasus per 100000 populasi. Peningkatan insidensi berhubungan dengan adanya perkembangan dalam penegakkan diagnosis SLE pada manifestasi klinis ringan. Insidensi diperkirakan sebanyak 1 – 25 per 100000 penduduk amerika utara, amerika selatan, eropa dan asia.3 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin (RSHS) jumlah pasien SLE adalah sebanyak 291 pasien atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Penemuan kasus baru di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam RSHS sepanjang tahun 2003 sampai 2005 meningkat yaitu sebanyak 6,4% dari 3025 pasien baru dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 9,07% dari 4037 pasien.6,7 Angka kematian pasien SLE di RSHS selama periode 2006-2011 adalah 8,12% (38 dari 468 pasien) dengan penyebab kematian yang terkait langsung seperti lupus nefritis dan keterlibatan susunan saraf pusat, maupun karena penyakit penyerta seperti infeksi dengan sepsis 6,7 SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi klinis dan pola aktivitas penyakit beraneka ragam, serta eksaserbasi dan remisi yang tidak terprediksi. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan, dengan prognosis jangka panjang yang seringkali buruk. Pengobatan yang diberikan dalam jangka waktu panjang atau bahkan seumur hidup membuat efek samping obat menjadi masalah yang membutuhkan pertimbangan dalam tatalaksana SLE.4,8,9 Walaupun terapi imunosupresif menggunakan kortikosteroid, hidroksiklorokuinn, azathioprine, siklofosfamid, dan mycophenolate mofetil telah digunakan dalam pengobatan SLE, sejumlah proporsi pasien tetap mengalami kesulitan dalam mencapai remisi atau bahkan mengalami kekambuhan selama terapi pemeliharaan.9 Berkembangya pengertian tentang imunopatologi penyakit autoimun telah membawa kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis sebagai terapi SLE dengan hasil yang menjanjikan. Hal –hal tersebut menjadi alasan pentingnya pengetahuan tentang perkembangan terapi SLE untuk menentukan pengelolaan dan pilihan terapi yang sesuai.4,9 Etiologi, Patogenesis dan Imunopatologi SLE SLE didasari dengan adanya autoantibodi patogen (timbul beberapa tahun sebelum timbulnya manifestasi penyakit) serta kompleks imun yang terikat pada jaringan dan membentuk komplemen, aktivasi respon imun yang menyebabkan kerusakan jaringan.10
  • 2. 2 Etiologi SLE meliputi faktor genetik dan lingkungan. SLE merupakan penyakit dengan faktor genetik kompleks, dimana aktivitas banyak gen sebagai predisposisi SLE, bersama dengan faktor lingkungan dan faktor nongenetik lainya turut berperan dalam patogenesis. Faktor – faktor ini berkembang menjadi kerusakan ireversibel gangguan toleransi imun dan bermanifestasi sebagai respon imun terhadap antigen nuklear endogen.3 Faktor genetik sepertinya merupakan faktor yang paling menentukan dalam patogenesis SLE. Tingginya kejadian SLE pada saudara kandung menjadi dasar adanya faktor genetik, dengan jenis kelamin perempuan sebagai faktor penting dalam patogenesis. Faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet, logam berat, bahan kimia, obat – obatan, organisme patogen dan pola hidup dapat menjadi pencetus proses autoimun pada individu dengan predisposisi genetik.1,3,10 Terjadinya SLE juga dipengaruhi oleh efek epigenetik berupa gangguan metilasi DNA yang menimbulkan ekspresi gen abnormal dan berujung pada hilangnya hambatan MHC terhadap self antigen oleh sel T, dan peningkatkan produksi antibodi oleh sel B. Hal ini dapat diturunkan atau termodifikasi oleh lingkungan.1,3 Peran hormonal dalam patogenesis SLE terlihat pada hormon androgen sebagai faktor imunoprotektif dalam terjadinya SLE. Mekanisme pasti mengenai peran estrogen pada penyakit SLE masih belum jelas. Estrogen berperan melalui ER-α dan β yang diekspresikan melalui sel B dan T.1 Patogenesis SLE melibatkan abnormalitas sistem imun yang kompleks, dimana kelainan fungsi sel B dan sel T yang merangsang produksi autoantibodi oleh sel B dan reaktivitas sel T menimbulkan inflamasi serta kegagalan multiorgan. Autoantigen yang dilepaskan oleh sel apoptotik dipaparkan oleh sel dendritik kepada sel T yang kemudian mengaktifkan sel T. Sel T teraktivasi kemudian memproduksi sitokin yang memicu sel B untuk memproduksi antibodi. Disamping itu, terdapat pula produksi autoantibodi oleh sel B yang tidak bergantung pada sel T. Mekanisme ini berlangsung karena adanya stimulasi sel B melalui kombinasi β-cell antigen receptor (BCR) dan TLR signalling. 1,3 . Gambar I. Patogenesis SLE Dikutip dari Bertias. 3
  • 3. 3 Beberapa aspek regulasi abnormal terhadap sel T berkontribusi dalam timbulnya SLE. Signal abnormal pada reseptor sel T menimbulkan peningkatan regulasi FcRγ dan aktivasi Syk kinase yang kemudian mengakibatkan gangguan toleransi imun, abnormalitas respon terhadap autoantigen, gangguan presentasi antigen, serta gangguan transduksi signal pada reseptor sel T. 1 Sel B memegang peranan penting dalam patogenesis SLE berupa prekursor sel plasma yang mensekresi antibodi. Aktivasi dan diferensiasi abnormal sel B mengubah sel B naif menjadi sel plasma yang teraktivasi. Sel – sel ini merupakan autoantigen terhadap sel T dan bertanggung jawab terhadap produksi autoantibodi serta memodulasi sel T dalam sekresi sitokin. Pada SLE terdapat peningkatan jumlah sel plasma, plasmablas dan sel B transisional tahap akhir. 1,9,10 Meningkatnya aktivasi sel B diakibatkan oleh kadar growth factor yang meningkat, termasuk di dalamnya B-lymphocyte stimulator (BlyS) yang dibutuhkan dalam pertahanan hidup, maturasi dan aktivasi sel B, serta berembangnya sel B menjadi sel plasma. Autoantibodi yang dihasilkan oleh sel B yang hiperaktif mengakibatkan kerusakan jaringan melalui pembentukkan kompleks imun, aktivasi komplemen, dan efek langsung pada sel. 50% pasien SLE memiliki peningkatan kadar BlyS plasma dan terdapat korelasi bermakna antara tingginya kadar BlyS plasma dengan aktivitas penyakit. 9,10 Abnormalitas sel B pada SLE berpusat pada transduksi signal aberan sepanjang reseptor sel B (BCR). Peningkatan respon sel B juga diakibatkan oleh menurunnya ekspresi Lyn kinase dan molekul - molekul yang terlibat dalam menurunkan regulasi signaling pada sel B.1 Reseptor permukaan lainnya yang banyak dipelajari adalah B-cell activating factor of the TNF family receptor (BAFF-R), dimana kemampuan bertahan hidup sel B bergantung pada persaingannya dengan protein homolog A proliferation inducing ligand (APRIL) untuk mencapai interaksi dengan BAFF. BAFF dapat berikatan dengan tiga buah reseptor – TACI, BCMA dan BAFF-R, sedangkan APRIL berikatan hanya denga TACI dan BCMA.1 Pada SLE terjadi peningkatan produksi BAFF oleh sel dendritik akibat respon terhadap CpG DNA inducible cytokine (IFNa). Aktivasi sel B ini dapat merangsang produksi imunoglobulin tanpa melibatkan sel T. Antagonis terhadap BAFF dan APRIL telah digunakan dalam pengobatan SLE. 1 Selain β-cell activating factor (BAFF) atau β-lymphocyte stimulator (BlyS) terdapat sitokin yang berperan dalam patologi SLE antara lain tumor necrosis factor (TNF) alpha, IFNγ, interleukin (IL)-2, IL-4, IL-6, IL-10, TNF-α, dan TGF-β dan MCP-1.1,9
  • 4. 4 Gambar II. Gambaran panoramik patogenesis SLE. Dikutip dari Sifuente.11 Keterangan gambar : 1. Sel apoptotik dipaparkan pada antigen nuklear pada vesikel apoptosis permukaan. 2. Terjadinya akumulasi material apoptosis akibatdefisiensi mekanisme bersihan oleh sistem makrofag. 3. Akumulasi ini memudahkan akses pada limfosit B autoreaktif yang mensintesis autoantibodi. 4. Terbentuknya kompleks imun. 5. Kompleks imun memiliki kapasitas untuk mengaktifkan komplemen dan merusak jaringan. 6. Kompleks imun juga dapat mengaktivasi sel dendritik plasma. 7. Aktivasi sel dendritik plasma pada jalur TLR7 dan TLR9 akan meningkatkan produksi interferon; IFN-α memiliki pengaruh multipel pada sistem imun yang mengakibatkan terjadinya autoimunitas,seperti diferensiasi sel B menjadi antibodi yang memproduksi sel plasma, aktivasi sel T dan maturasi sel dendritik. Seluruh siklus ini mengintensifikasi proses autoimun. 8-11. Sel limfosit B, sel limfosit T, sitokin, molekul ko-stimulasi dan jalur sinyal intraselular seagai target terapi. Prinsip dan tujuan terapi SLE Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup. Tujuan khusus pengelolaan SLE adalah: tercapainya remisi terhadap gejala sistemik dan manifestasi organ atau seandainya remisi tidak dapat tercapai, pengobatan harus bertujuan untuk mencapai aktivitas penyakit serendah mungkin. Pengelolaan juga harus berusaha untuk meningkatkan kesintasan jangka panjang, menghambat kerusakan organ, optimalisasi kualitas hidup dengan mengontrol aktivitas penyakit, mengurangi rasa nyeri, serta komorbiditas dan toksisitas obat yang minimal.2,5 Pengelolan SLE merupakan aspek yang sulit dan sering salah dimengerti dan memerlukan pendekatan multidisipliner serta pengertian tentang banyaknya aspek dan manifestasi penyakit. Pengelolaan tidak terbatas pada pemakaian obat – obatan saja, namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan pendekatan bio – psiko – sosial, meliputi tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. 5,12
  • 5. 5 Strategi pengobatan pada SLE dengan manifestasi berat dan lupus nefritis meliputi fase induksi dengan tujuan menekan inflamasi glomerular dan tercapainya remisi, diikuti dengan fase pemeliharaan untuk mempertahankan efek terapi. 13 Strategi terapi yang sesuai harus dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengobatan SLE. Hal ini terdiri atas diagnosis awal, terapi efektif, penyesuaian dosis kotikosteroid, dan targeted therapy yang memiliki toksisitas lebih rendah dan steroid-sparing agent yang potensial. Pada referat ini, pembahasan akan difokuskan kepada agen biologis yang telah membawa harapan dalam perkembangan dan kemajuan penatalaksanaan SLE. 5 Penilaian respon terapi SLE Respon terapi dinilai berdasarkan beberapa indikator atau alat ukur. Indikator ini terus dikembangkan dan divalidasi untuk menilai inflamasi reversibel pada SLE dengan menggunakan gabungan antara variabel klinis dan penunjang.14 Penilaian respon terapi dengan melihat aktivitas penyakit dapat menggunakan alat penilaian yang telah divalidasi diantaranya British Islet Lupus Assesment Group (BILAG), the Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), the SLE Disease Activity Index (SLEDAI), dan the Modified Safety of Estrogen in Lupus Erythematosus National Assesssment (SELENA). Setiap alat penilaian ini dirancang untuk digunakan pada uji observasional dan digunakan pula pada uji klinis. Definisi remisi belum dinyatakan secara jelas pada alat penilaian tersebut, kecuali definisi remisi berdasarkan SLE Disease Activity Index (SLEDAI).9,14 Petri, dkk menyatakan definisi respon terapi bedasarkan index SLEDAI yaitu : perbaikan (penurunan nilai SLEDAI >3); aktivitas penyakit persisten (penurunan nilai SLEDAI ≤ 3); dan remisi (SLEDAI 0). Definisi ini pada akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan mengenai makna dari abnormalitas serologis seperti kadar komplemen, titer antibodi anti-dsDNA, sehingga kriteria remisi yang sesuai terus dikembangkan dan disesuaikan. 14 Remisi pada penyakit SLE juga dapat dipertimbangkan pada penurunan aktivitas penyakit yang spesifik terhadap suatu sistem organ. Index BILAD merupakan indeks yang spesifik terhadap sistem organ, dengan penilaian terhadap 8 sistem : umum, mukokutan, neurologis, muskuloskeletal, kardiopulmonal, vaskulitis, renal dan hematologis.14 Definisi remisi paling jelas dinyatakan pada definisi remisi lupus nefritis (respon renal komplit) yaitu membaiknya funsi ginjal dengan proteinuria derajat ringan (<0,5-1g/24 jam) dengan atau tanpa sedimen urin yang negatif setelah pemberian terapi agen imunosupresan. 5 Tabel I. Skor MEX SLEDAI untuk menilai aktifitas penyakit dalam 10 hari. Bobot Deskripsi Definisi 8 Gangguan neurologis Psikosa. Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal dikarenakan gangguan persepsi realitas. 6 Gangguan ginjal Casts, heme granular atau sel darah merah. Hematuria > 5 lpb. Proteinuria. Onset baru, 0,5g/L pada random spesimen Peningkatan kreatinin (>5mg/dl) 4 Vaskulitis Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual, splinter haemorrhages. Data biopsi atau angiogram dari vaskulitis. 3 Hemolisis Trombositopenia Hb<12g/dL dan koreksi retikulosit >3% Trombositopenia <100.000. bukan diseabkan obat 3 Miositis Nyeri dan lemahnya otot – otot proksimal, yag dihubungkan dengan peningkatan CPK
  • 6. 6 2 Arthritis Pembengkakkan atau efusi lebih dari 2 sendi 2 Gangguan mukokutaneus Ruam malar. Onset baru atau malar eritema yang menonjol Mucous ulcer. Oral atau nasofaring ulserasi dengan onset baru atau berulang Alopesia abnormal. 2 Serositis Pleuritis Perikarditis Peritonitis 1 Demam Fatigue Demam > 38°C setelah eksklusi infeksi Fatigue yang tidak dapat dijelaskan 1 Lekopenia Limfopenia Sel darah putih <4000/mm3 Limfosit <1200/mm3 , bukan akibat obat Dikutip dari.2 Terapi non farmakologis dalam tatalaksana SLE Karena prognosis dan manifestasi klinis SLE yang bervariasi, maka sangatlah penting untuk mengumpulkan data pasien secara lengkap sebelum inisiasi terapi. Kepatuhan merupakan komponen yang sangat penting dalam tatalaksana SLE sehingga strategi untuk mencapainya perlu dikembangkan dan diimplementasikan. Edukasi serta pengetahuan tentang penyakit dan perencanaan terapi yang melibatkan penderita, serta keluarga, teman dan kerabat dapat meningkatkan kepatuhan dalam menjalani rancangan tatalaksana SLE. 12 Kelelahan (fatigue) yang timbul pada 50-90% pasien SLE membuat tatalaksana umum seperti pola istirahat, pola tidur, olahraga harus diterapkan. Pengetahuan akan penyebab yang mendasarinya perlu diketahui. Pasien harus menghindari rokok dan alkohol, dan mengetahui akibat kerusakan jaringan yang dapat disebabkannya.12 Pasien SLE harus menghindari paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet B pada waktu tengah hari (pukul 10.00 - 16.00) merupakan faktor fototoksik yang lebih signifikan. Selain pembatasan dan penjadwalan aktivitas di luar ruangan, penggunaan tabir surga dengan sun protection factor 30 atau lebih dapat mengurangi penetrasi sinar UV dan mengurangi paparan terhadap bahaya fototoksisitas.12 Terapi farmakologis dalam tatalaksana SLE 1. Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) NSAID seperti aspirin dan agen anti inflamasi lainnya telah digunakan pada lebih dari 80% pasien SLE untuk mengobati gejala muskuloskeletal, nyeri kepala, inflamasi membrana mukosa dan serositis. 12,15 NSAID menghambat produksi prostaglandin dengan berikatan kepada siklooksigenase. Limfosit T mengekspresikan isoenzim siklooksigenase – 2 dimana hal ini dapat berperan pada aktivasi sel T, produksi IL-2, TNF-α, dan INF- γ. Pengobatan menggunakan COX-2 inhibitor dapat menurunkan produksi antibodi serta menghambat respon sel T terhadap nukleosom dan presentasi antigen oleh antigen presenting cell. Menurut Lander, terlepas dari kandungan sulfa yang dapat mencetuskan aktivitas lupus, terapi mengunakan celecoxib merupakan pilihan yang aman dan menguntungkan. Celecoxib tidak berinteraksi dengan warfarin seperti NSAID lainnya. 12 Walaupun terdapat insidensi penyakit jantung koroner yang tinggi pada pasien SLE, data yang cukup untuk menunjang peningkatan risiko kardiovaskular pada pasien SLE belum ada. Penggunaan obat – obatan ini perlu dihindari pada pasien SLE yang memiliki risiko terjadinya penyakit vaskuler dini. Efek samping lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian NSAID antara lain toksisitas terhadap ginjal, hipertensi, reaksi alergi, serta toksisitas terhadap hepar.15
  • 7. 7 2. Antimalaria Penggunaan kuinin digunakan pertama kali oleh Paine untuk mengobati lupus eritematosus diskoid, dan setelah Page menggunakan kuinakrin pada tahun 1951 penggunaan antimalaria sebagai terapi diskoid lupus eritematosus meluas. Dengan banyaknya agen terapi baru yang menjanjikan, tidak membuat penggunaan obat antimalaria yang aman, murah, dan efektif tergeser dari peran kuncinya dalam pengobatan SLE.16 Pada tahun 1993, Fox menyatakan bahwa obat antimalaria meningkatkan pH yang menurunkan pembentukan kompleks major histocompatibility complex (MHC), menghambat pembentukan kompleks peptida - MHC kelas II sehingga stimulasi terhadap CD+sell T yang bersifat reaktif kepada autoantigen menurun, pelepasan sitokin dan terjadinya autoimunitas juga menurun. 16 Pengobatan dengan obat antimalaria menunjukan penurunan kadar IL- 1β, IL-6, IL-18, dan TNF-α secara nyata pada 3 bulan setelah inisiasi. Mekanisme aksi obat ini juga terdapat pada blokade TLR9, suatu kompartemen selular yang berperan dalam aktivasi sel dendritik/sel plasma. 16 Telah banyak penelitian yang membuktikan efektifitas terapi SLE dengan menggunakan obat antimalaria. Selain manfaat terhadap aksi imunologis, obat antimalaria juga memiliki sifat antitrombosis dengan menghambat agregasi dan adhesi trombosis, menghambat pembentukan antibodi antifosfolipid β-2 glikoprotein I, menghambat terbentuknya komplek antibodi antifosfolipid – anexin 5; proteksi kardiovaskuler; efek antimikrobial terhadap bakteri, jamur dan virus; menghambat pertumbuhan sel dan mutasi pada sel dengan pembelahan yang cepat. Obat antimalaria dinyatakan aman pada kehamilan dan laktasi. 5,16 Obat antimalaria yang digunakan dalam pengobatan SLE antara lain hidroksiklorokuin, klorokuin dan kuinakrin. Dosis maksimal untuk obat antimalaria klorokuin adalah 3mg/kg/hari, dan 6,5/kg/hari untuk hidroksiklorokuin. Respon terapi akan terlihat setelah penggunaan selama 4-6 minggu pada klorokuin dan 8-12 minggu pada hidroksiklorokuin.16 Efek samping obat-obatan ini antara lain berupa mual, anoreksia, muntah, diare dan distensi abdomen, pigmentasi kulit, keratopati, nyeri kepala, mimpi buruk, insomnia, tinitus. Efek samping ini akan berkurang dengan penyesuaian dosis, dan dapat menghilang bila obat dihentikan. Efek samping yang jarang antara lain miopati, kardiomiopati, depresi sumsum tulang. Toksisitas terhadap retina merupakan efek samping yang harus diperhatikan. Berat ringannya bervariasi berupa perubahan asimtomatik hingga terjadinya retinopati, makulopati yang ireversibel.5 3. Glukokortikoid Glukokortikoid masih menjadi lini terdepan dalam pengobatan penyakit rhematologi sejak Phillip Hench memperkenalkan penggunaannya pada tahun 1949. Glukokortikoid harus digunakan secara berhati – hati dengan dosis yang memberikan efek samping seminimal mungkin. Kombinasi glukokortikoid dengan agen imunosupresan atau anti-inflamasi lainnya dapat membantu tercapainya kontrol penyakit, sehingga dosis glukokortikoid yang lebih rendah dapat diberikan.13,17 Peran glukokortikoid dosis tinggi pada SLE dengan manifestasi berat tidak perlu dipertanyakan lagi. Di sisi lain, sejumlah komplikasi dan efek samping glukokortikoid terkait dosis dan durasi terapi menjadi pertimbangan tersendiri dalam penggunaannya. Pemberian dosis kecil lebih dapat ditoleransi, walaupun risiko komplikasi seperti infeksi, gangguan tumbuh kembang, osteoporosis, dan
  • 8. 8 katarak tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, terapi pemeliharaan harus mencapai kontrol aktivitas penyakit dengan dosis glukokortikoid serendah mungkin dan penghentian glukokortikoid bila memungkinkan. 5,17 Pada tingkat molekular, glukokortikoid bekerja pada berbagai sel (netrofil, monosit-makrofag, fibroblas, endotel) dengan efek genomik dan nongenomik dalam menghambat sintesis dan sekresi mediator protein inflamasi. Pada tingkat selular, glukokortikoid tidak hanya bekerja pada inisiasi inflamasi akut dengan blokade vasodilatasi pembuluh darah kecil, migrasi leukosit PMN dan eosinofil dalam respon kerusakan jaringan, tetapi juga memfasilitasi pembersihan sel inflamasi dan resolusi inflamasi.17 Respon terapi terhadap glukokortikoid pada hampir seluruh manifestasi SLE dicapai dalam kurang dari 1 sampai 2 minggu, serta 2 sampai 6 minggu pada lupus nefritis., Bila terdapat respon terapi yang baik dalam 1 sampai 2 minggu setelah inisiasi atau telah ditambahkan agen sitotoksik dalam regimen pada penyakit refrakter, maka penurunan dosis glukokortikoid (tappering off) harus dilakukan. Tahap pertama adalah dengan pemberian regimen satu kali per hari pada pagi hari, dengan dosis harian dapat diturunkan sebesar 5mg (5-10%) setiap minggu hingga dosis mencapai 0,25-0,5mg/kg/hari. Penghentian glukokortikoid atau penurunan hingga dosis minimal dapat dilakukan secara lebih perlahan.17 Pulse dose glukokortikoid pertama kali diberikan pada pasien SLE dengan glomerulonefritis proliferatif difus, yaitu methylprednisolon sebesar 0,5 - 1g /hari selama 3 hari. Terapi ini efektif pada pneumonitis, serositis, vaskulitis, dan trombositopenia, namun pada penelitian yang membandingkan antara pulse therapy glukokortikoid dengan siklofosfamid menunjukan keunggulan siklofosfamid. Kombinasi terapi dengan agen imunosupresan dapat memberikan perbaikan fungsi ginjal bila dibandingkan dengan penggunaan obat secara tunggal.17 4. Agen imunosupresan (agen sitotoksik) Agen imunosupresan digunakan pada SLE dengan manifestasi berat untuk meminimalisir kerusakan jaringan ireversibel serta mengurangi toksisitas akibat penggunaan kortikosteroid. Pada beberapa dekade belakangan ini tatalaksana SLE difokuskan pada minimalisasi penggunaan siklofosfamid, bahkan pada SLE dengan manifestasi berat sekalipun. Penggunaan siklofosfamid dibatasi hanya sebagai induksi remisi, diikuti dengan terapi pemeliharaan dengan MMF atau azathioprine pada pengobatan lupus nefriitis. Selain itu, dilakukan pemendekan periode induksi menggunakan siklofosfamid, atau substitusi siklofosfamid dengan MMF untuk induksi remisi pada lupus nefritis.13,18 Awal terapi SLE dengan mengunakan alkylating agent dilaporkan oleh Osborne, dkk pada tahun 1947 sebagai agen topikal pada penderita kutaneus lupus, dan diikuti pada tahun 1949 yang memberikan hasil yang cepat dan dramatis pada penderita lupus nefritis.18 a. Siklofosfamid Walaupun toksisitasnya yang jelas, siklofosfamid masih merupakan obat yang penting dalam tatalaksana SLE. Efek klinis dan toksik siklofosfamid bergantung pada dosis, rute pemberian, durasi dan dosis kumulatifnya. 18 Efek langsung siklofosfamid sebagai imunomodulator membuat obat ini memiliki onset yang cepat dalam efektifitas terapi (dalam 2 sampai 4 hari). Mekanisme kerja siklofosfamid terdiri atas perannya dalam mempengaruhi fungsi makrofag, meningkatkan produksi prostaglandin E2, mengganggu transkripsi
  • 9. 9 gen, dan efek langsung terhadap limfosit. Siklofosfamid yang diberikan secara intravena menekan aktivasi sel T. 18 Siklofosfamid intravena bulanan dapat dimulai dengan dosis 500 – 750mg/m2 dalam normal salin selama 1 jam. Dosis dapat ditingkatkan 10 -25% dengan target hitung leukosit antara 2000 – 3000/mm3 . Penurunan dosis harus dilakukan pada saat hitung leukosit dibawah 2000/mm3 atau hitung granulosit dibawah 1000/mm3 . Terapi induksi dapat diberikan sebanyak 6 kali. Penggunaan siklofosfamid intravena setiap 2 minggu diikuti dengan pemberian azathioprin telah terbukti efektif.18 Efek samping siklofosfamid antara lain sistitis hemoragika, karsinoma buli dan keganasan, supresi sumsumg tulang, pneumonitis interstitial akut, infeksi, infertilitas dan teratotoksisitas. Kejadian sistitis hemoragik dan karsinoma buli terjadi pada pemberian dosis diatas 30 gram. Hidrasi adekuat selama pemberian siklofosfamid dapat dilakukan untuk mencegah sistitis hemoragika.18 b. Clorambucil Chlorambucil telah dihentikan penggunaannya dalam terapi SLE karena toksisitasny yang berat pada penggunaan jangka panjang. Karena penggunaan jangka pendek sebagai induksi remisi memberikan efek toksik yang lebih kecil, maka terapi menggunakan obat ini mungkin dapat digunakan sebagai terapi induksi pada beberapa keadaan seperti individu dengan nerogenic bladder.18 c. Azathioprine Azathioprine telah digunakan selama lebih dari 50 tahun pada transplantasi organ dan penyakit rhematik. Walaupun potensi dan onset kerjanya tidak sebaik siklofosfamid pada pasien SLE akut dan berat, azathioprine tetap berguna sebagai steroid sparing agent serta sebagai terapi pemeliharaan setelah pengobatan dengan siklofosfamid pada pasien lupus nefritis.18 Azathioprie menurunkan jumlah sel T, sel B dan sel NK sehingga menghambat imunitas selular dan humoral, menekan pembentukan autoantibodi dan menghambat sintesis prostaglandin. Berbeda dengan siklofosfamid, azathioprine tidak digunakan sebagai obat tunggal pada terapi lupus nefritis, namun memberikan hasil yang baik bila digunakan sebagai sparing agent terhadap steroid maupun siklofosfamid.18 Obat ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan agen biologis belimumab atau rituximab, sehingga patut dipertimbangkan dalam tatalaksana SLE yang resisten terhadap steroid. 18 d. Calcineurin Inhibitors : Siklosporin dan Tacrolimus Bukti yang ada tentang siklosprorin dan tacrolimus adalah efektifitasnya dalam terapi nefritis membranosa. Kedua obat ini juga sangat menarik karena toksisitas sumsum tulang dan keamanannya pada kehamilan. Walaupun dinilai efektif dalam mengurangi tingkat proteinuria, penelitian mengenai obat ini masih terbatas bila dibandingkan dengan azathioprine, MMF dan siklofosfamid. 18 e.Methotrexate Metotrexat adalah antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase. Disintesis pada tahun 1940 dan digunakan sebagai zat sitotoksik terhadap tumor. Bila digunakan dalam dosis pada penyakit rematik, efek sitotoksiknya lebih sedikit dan berguna dalam imunomodulator. 18 Methotrexat diberikan secara oral atau subkutan dengan dosis 10 – 30mg, dengan penambahan asam folat 1mg/hari. Methotrexat relatif aman dan ditoleransi dengan baik dalam pengobatan SLE, terutama pada pasien SLE dengan manifestasi kutaneus dan muskuloskeletal. Monitoring fungsi ginjal sangat penting, kontrasepsi yang baik harus diberikan pada wanita produktif untuk mencegah efek teratotoksisitas. 18
  • 10. 10 f. Mycophenolate Uji klinis terkontrol berkualitas baik telah menunjukan efektifitas terapi SLE dengan MMF, sehingga MMF dapat dijadikan terapi alternatif terapi induksi pada lupus nefritis. Faktor genetik mempengaruhi respon terapi dengan obat ini. Suku afrika-amerika dan hispanik memberikan respon terapi yang baik bila dibandingkan dengan kaukasia.18 Terapi dengan MMF juga dapat menjadi terapi pemeliharan setelah induksi menggunakan siklofosfamid dan MMF mungkin lebih baik jika dibandingkan dengan azathioprin sebagai terapi pemeliharaan. Efek toksik yang kecil terhadap gonad membuat MMF lebih digemari dan menjadi lini pertama dalam pengobatan bagi penderita SLE yang berada dalam masa pubertas atau anak – anak. 18 g. Targeted therapy dalam pengobatan SLE Dalam dua dekade terakhir, strategi pengobatan baru SLE telah berkembang. Pengetahuan tentang patogenesis SLE telah membawa kita kepada pendekatan terapi yang tertuju pada molekul spesifik. Kata ‘target’ dalam targeted therapy dapat digunakan untuk suatu tipe sel atau molekul yang dapat menjadi sasaran suatu pengobatan dengan agen biologis.5,9,19 Terapi menggunakan agen biologis telah terbukti efektif pada penyakit inflamasi seperti artritis rheumatoid, multipel sklerosis, dan inflamatory bowel disease, namun efektifitasnya masih menjadi hal yang kontroversial pada pengobatan SLE.9 Gambar III. Mekanisme patogenesis SLE yang dapat dijadikan target terapi. Dikutip dari Thanou. 20
  • 11. 11 Gambar IV. Obat – obatan yang relevan terhadap target potensial yang berhubungan dengan sel B dan sel T dalam penatalaksanaan SLE. Dikutip dari Rajhadyakshya. 9 Tabel II. Terapi dengan agen biologis dalam terapi SLE. Agen biologis Hasil utama Target sel B Antibodi anti CD-20  Rituximab  Ocrelizumab Efektif pada SLE refrakter Perkembangan dalam aktivitas penyakit Tidak ada keuntungan pada lupus nefritis proliferatif Tidak ada keuntungan pada lupus nefritis Antibodi anti CD-22  Epratuzumab Perkembangan dalam skor BILAG Penurunan dosis kortikosteroid dengan profil keamanan yang baik Tolerogen limfosit B  Abetimus Tidak ada keuntungan pada pasien lupus nefritis Edratide Belum ada hasil yang dirilis Blokade BlyS  Belimumab  Atacicept Penurunan aktivitas dan penurunan flare up Penurunan signifikan kadar IgM dan IgG Blokade sel T dan ko-stimulator Abatacept Perkembangan pada manifestasi SLE yang tidak mengancam jiwa IDEC-131 Tidak efektif dalam pengobatan SLE manusia Efalizumab Penurunan pada manifestasi kutaneus SLE AMG557 Belum ada hasil yang dirilis Sirolimus Efektif dan aman pada SLE refrakter Anti sitokin
  • 12. 12 Anti TNF-α  Infliximab Efektivitas jangka panjang pada SLE refrakter Anti IFN-α/-γ  Sifalimumab  Rontalimumab  AMG811 Anti IL-1  Anakinra Anti IL-6  Tocilizumab Anti IL-10 Belum ada hasil yang dirilis Belum ada hasil yang dirilis Belum ada hasil yang dirilis Perbaikan dalam artritis SLE Perbaikan pada respon klinis dan serologis Perbaikan pada aktivitas penyakit Dikutip dari Stohl. 21 Ringkasan SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi klinis dan pola aktivitas penyakit yang beraneka ragam. Prognosis jangka panjang seringkali buruk. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan serta pemilihan terapi. Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup melalui tercapainya remisi atau bila remisi tidak dapat dicapai, pengobatan harus ditujukan pada pencapaian aktivitas penyakit serendah mungkin. Pengelolaan tidak hanya terbatas pada pemakaian obat – obatan saja, namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan pendekatan bio – psiko – sosial, meliputi tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. Berkembangnya pengertian tentang imunopatologi SLE membawa kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis yang ditujukan kepada suatu molekul spesifik sebagai sasaran terapi SLE. Dalam dua dekade terakhir, strategi pengobatan baru SLE telah berkembang. Pengesahan belimumab (Benlysta) dapat dikatakan menjadi landasan murni terapi SLE dalam sejarah perkembangan agen terapi SLE, dan meningkatkan harapan akan timbulnya agen – agen pengobatan baru dalam tahun – tahun mendatang. Toksisitas steroid semakin meyakinkan adanya kebutuhan terhadap intervensi dengan targeted therapy, namun asumsi bahwa netralisir salah satu sasaran akan memberikan keberhasilan pada seluruh aktivitas penyakit adalah pemikiran yang salah. Seperti yang telah dibahas pada referat ini, terdapat banyak agen terapi yang menjanjikan bagi terapi SLE dan memerlukan banyak investigasi. Perlu diingat bahwa tidak ada satu obat pun yang 100% efektif terhadap seluruh pasien SLE, sehingga tatalaksana SLE harus disesuaikan berdasarkan manifestasi klinis dan berbeda pada setiap individu. Daftar Pustaka 1. Krishan S CB, Juang YT et al. Overview of the pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Tsokos GC GC, Smolen JS et al, editor Philadelphia: Elsevier;2007. hlm. 55-63. 2. indonesia Pr. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. In: Kasjmir YI HK, Wijaya LK et al, editor.; Jakarta: Perhimpunan reumatologi indonesia; 2011. p. 10-34. 3. Bertias G CR, Boumpas DT. Systemic lupus erythematosus : pathognesis and clinical features. EULAR textbook of rheumatic disease.2014. hlm. 476-505. 4. Jordan N, Lutalo PM, D'Cruz DP. Novel therapeutic agents in clinical development for systemic lupus erythematosus. BMC medicine. 2013;11:120.
  • 13. 13 5. van Vollenhoven RF, Mosca M, Bertsias G, Isenberg D, Kuhn A, Lerstrom K, et al. Treat-to-target in systemic lupus erythematosus: recommendations from an international task force. Annals of the rheumatic diseases. 2014 Jun;73(6):958- 67. 6. Christi L HL, Dewi S, et al, editor. Manifestasi klinis awal, dan perjalanan penyakit pasien lupus eritematosus sistemik RS Dr Hasan Sadikin Bandung. Reumatologi klinik bandung; 2012; Bandung. 7. Dewi S. Lupus eritematosus sistemik: diagnosis, stratifikasi pasien dan monitoring aktivitas penyakit. Dalam: Wachjudi RG DS, Pramudiyo R, editor. Pedoman praktis reumatologi klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2008. hlm. 63-77. 8. Doria A, Gatto M, Zen M, Iaccarino L, Punzi L. Optimizing outcome in SLE: treating-to-target and definition of treatment goals. Autoimmunity reviews. 2014 Jul;13(7):770-7. 9. Rajadhyaksha AG, Mehra S, Nadkar MY. Biologics in SLE: the current status. The Journal of the Association of Physicians of India. 2013 Apr;61(4):262-7. 10. Hahn BH. Belimumab for Systemic Lupus Erythematosus. New England Journal of Medicine. 2013;368(16):1528-35. 11. Sifuentes Giraldo WA, García Villanueva MJ, Boteanu AL, Lois Iglesias A, Zea Mendoza AC. New Therapeutic Targets in Systemic Lupus. Reumatología Clínica. 10.1016/j.reumae.2012.06.011. 2012;08(04):201-7. 12. Ishimori M WM, Setoodeh K, Wallace DJ. Principles of therapy, local measures, and nonsteroidal medications. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadephia: Saunders; 2013. hlm. 522- 88. 13. Navarra S, Naidas OD. Management of systemic lupus erythematosus renal disease. Dalam: Weishman MH WM, Louie J, et all, editor. Targeted treatment of the rheumatic diseases. Philadelphia: Saunders elsevier; 2010. hlm. 108-21. 14. Mosca M, Bombardieri S. Assessing remission in systemic lupus erythematosus. Clinical and experimental rheumatology. 2006 Nov-Dec;24(6 Suppl 43):S-99-104. 15. Lahita R. Nonsteroid tretment of systemic lupus erythematosus. Dalam: Tsokos GC GC, Smolen JS et al, editor. Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Elsevier; 2007. hlm. 483-85. 16. Zubieta JA EJ. Antimalarial medication. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. hlm. 601-07. 17. Kirou KA BD. Systemic glucocorticoid therapy in SLE. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. hlm. 591-99. 18. McCune JW RT. Immunosuppresive drug therapy. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Saunders; 2013. hlm. 609-23. 19. Postal M C, Appenzeller S. Biological Therapy in Systemic Lupus Erythematosus. International Journal of Rheumatology. 2012;2012. 20. Thanou A, Merrill JT. Treatment of systemic lupus erythematosus: new therapeutic avenues and blind alleys. Nat Rev Rheumatol. 2014 Jan;10(1):23-34. 21. Stohl W. Future prospects in biologic therapy for systemic lupus erythematosus. Nat Rev Rheumatol. Review. 2013 12//print;9(12):705-20. 22. RF Vv. Novel therapies for SLE : Biological agents available in practice today. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. hlm. 640-46. 23. Treatment of SLE: bridging the gap from clinical trials to the clinic. Abstracts of a symposium held during the American College of Rheumatology Congress in 2012. November 11, 2012. Washington, D.C., USA. Arthritis research & therapy. 2013;15 Suppl 2:A1-5.