Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralSurya Amal
Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.
Penyakit autoimun terjadi ketika respon autoimun atau respon sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang jaringan tubuh itu sendiri sehingga memunculkan kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis, padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh.
Obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rokhaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. (Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 193/kab/B.VII/71)
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralSurya Amal
Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.
Penyakit autoimun terjadi ketika respon autoimun atau respon sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang jaringan tubuh itu sendiri sehingga memunculkan kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis, padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh.
Obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rokhaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. (Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 193/kab/B.VII/71)
Pearls about NSAIDs and their usage in the managaement of chronic pain, considering safety profile of both selective cox-2 or non selective cox-2 inhibitors
A comprehensive talk about rheumatic autoimmune diseases for patients and family or people interested in understanding SLE, Systremic sclerosis, dermatomyositis, rheumatoid arthritis. Some slides in Bahasa Indonesia.
A systematic approach as to how general physician assessing a patient with musculoskeletal pain with confident; with rheumatoid arthritis as a model. prepared with help of Dr. Perdana Aditya SpPD.KR from UNIBRAW Malang
A brief review about the role of vitamin D in health and disease. Most of the content in these slides were taken from another author with some editing to custom it for the purpose of general physician workshop scientific material. Some figures were our own data in our hospital
This is a brief introduction regarding selected rheumatic autoimmune disease for laymen. Some of these figures in the slides were cited from textbook and another authors elesewhere, and some of them were photos of patient taken with their permission
Penyakit Autoimun penting dikenali masyarakat awam karena gejalanya yang tersamar antar sesama autoimun, bahkan dengan penyakit lain yang bukan autoimun.
Sebuah edukasi pasien tentang lupus, meliputi berbagai aspek yang patut diketahui, agar pasien dan keluarganya tidak larut dalam fase denial dan bargaining yang berkepanjangan
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)Rachmat Gunadi Wachjudi
Bagaimana komorbiditas pasien Gout di Indonesia ? Ini merupakan penelitian di satu rumah sakit di Bandung mengenai komorbiditas para penderita pirai alias gout
Beberapa kondisi klini yang harus membuat para praktisi klinis mulai mencurigai adanya penyakit autoimmune. Dijelaskan dengan beberapa contoh autoimmune dseases
Pengenalan artritis reumatoid berdasarkan gejala dan tanda klinis
Bisa dipakai sebagai rujukan bagi dokter umum yangh ingin mempelajari manifestasi klinis AR yang tidak klasik seperti di buku teks
an overview of Lupus for journalist
Lupus has a wide spectrum of manifestation. Some mild but in most cases it has a high impact of life and quality of life
0838-4800-7379Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Garutjualobat34
Jual Obat Aborsi Cytotec | 083848007379 | Obat Aborsi Cytotec | Obat Telat Bulan | Obat Pelancar Haid | Obat Penggugur Kandungan | Cara Aborsi Aman | Cara Menggugurkan Kandungan | Apotek Cytotec | Klinik obataborsi7 | Jual Jamu Aborsi | Tempat Aborsi | Jual Obat Cytotec | Agen Cytotec | Alamat Penjual Cytotec | Tempat Penjual Cytotec | Harga Obat Aborsi | Harga Obat Cytotec | Obat Aborsi Wilayah.
Hp / WA :083848007379
APOTEK : Kami Jual Obat Aborsi Cytotec Hub :083848007379 | Jual Obat Aborsi Cytotec| Obat Penggugur Kandungan Cytotec |
Obat Pelancar Haid Tuntas. Dengan harga yang bisa Anda pilih sesuai usia kandungan Anda.
Tips menghindari penjual obat palsu:
(1) Hindari penawaran dengan harga yang murah / murahan hasil pasti (GAGAL).
(2) Layanan Setiap Waktu, bisa di TLP, dengan Respon yang baik & cepat.
(3) Mendapatkan No Resi Pengiriman supaya anda bisa cek melalui JNE/TIKI/POS terdekat untuk mengetahui / memastikan pesanan anda.
(4) Ada berbagai BUKTI nyata tanpa rekayasa & TERPERCAYA.
(5) Mintalah foto obat dengan mencantumkan alamat Anda di sekitarnya sebelum Anda mentransfer pembayaranya.
DAFTAR LENGKAP HARGA PAKET OBAT CYTOTEC AMAN DAN TERPERCAYA
Berikut daftar lengkap dari berbagai paket Obat Aborsi Cytotec — Obat Aborsi Tuntas — Obat Penggugur Kandungan ( Obat Telat Bulan — Dan Obat Aborsi Ampuh )
PAKET OBAT ABORSI HARGA STANDAR DAN HARGA TUNTAS
Paket Standar . 1 – 4 Minggu Rp. 800.000,
– Paket Tuntas 1 Bulan – Rp. 1.000.000,-
Paket Standar . 4 – 8 Minggu Rp. 1.200.000,
– Paket Tuntas – Rp. 1.500.000,-
Paket Standar . 8 – 12 Minggu Rp. 1.800.000,
– Paket Tuntas – Rp. 2.100.000,-
Paket Standar . 12 – 16 Minggu Rp. 2.400.000,
– Paket Tuntas – Rp. 2.800.000,
-16 – 24 Minggu Rp. 3.500.000,-
28 – 32 Minggu Rp. 4.500.000,-
Paket Obat Telat Bulan — Obat Aborsi Standar 90% Tingkat keberhasilan* Paket Obat Telat Bulan — Obat Aborsi Tuntas 99% Tingkat keberhasilan
INGAT … JANGAN TERGIUR HARGA MURAH … ANDA BISA MENYESAL, KARNA OBAT YANG ASLI MASIH BERKEMASAN TABLET UTUH, BENTUKNYA TABLET PUTIH SEGI ENAM BUKAN BULAT POLOS….!
TERIMAKASIH ATAS KEPERCAYAAN ANDA MENJADI PELANGGAN
KAMI
Pengiriman obat aborsi ampuh dilakukan melalui Tiki, Jne, pos indonesia untuk luar negri pos EMS EXPRESS 1–2 HARI SAMPAI. UNTUK LUAR NEGERI PAKET EMS 3–4 HARI DIJAMIN 100% SAMPAI DITEMPAT TUJUAN ALAMAT RUMAH ANDA,
INGAT … JANGAN TERGIUR HARGA MURAH … ANDA BISA MENYESAL
BUKTI PENGIRIMAN YANG DI KEMAS
Wa :083848007379
FORMAT PEMESANAN Pengiriman Via Paket JNE / TIKI / POS EMS INTERNASIONAL Untuk Luar Kota dan Luar Negeri.
Anda Bisa SMS kan Format Pemesanan Seperti Di Bawah Ini :
Nama Lengkap : __
Alamat Lengkap : __
No. Hp Aktif : __
Pesanan Barang : __
Bank Transfer : __
? Contoh Format Pemesanan
Nama Lengkap : Amelia Lestary
Alamat Lengkap : Jl. Pahlawan No.105
No. Hp Aktif : 08123456xxx
Pesanan Barang : Paket Obat Aborsi No.4, Rp xxxxxx
Transfer Bank : Via Bank BRI / BNI / MANDIRI / BCA
Lalu Anda Kirimkan SMS Ke Nomer Kami
.
audit stunting Desa Bengkak Kecamatan wongsorejoReniAnjarwati
AUDIT STUNTING BADUTA DESA BENGKAK YANG MENGALAMI MALNUTRISI
DARI HASIL RECALL 24 JAM DIPEROLEH HASIL :1. ENERGI 53,8 % (DEFISIT TINGKAT BERAT)2. KARBOHIDRAT 60,74% (DEFISIT TINGKAT BERAT)3. PROTEIN 113,5% (NORMAL)4.LEMAK 86,8% (DEFISIT TINGKAT RINGAN)
UNTUK MENDAPATKAN OBAT ASLI : 087776558899
__Cara Menggugurkan Janin Dalam Kandungan 3 Jam Bersih Tuntas Tanpa Kuret Secara Aman Dari Usia Kehamilan 1 – 7 Bulan.
Obat Penggugur Kandungan BPOM yang dijual di Apotik Cytotec dan Gastrul yaitu obat penggugur kandungan ampuh yang direkomendasi oleh Alodokter dan Halodoc sebagai obat aborsi manjur. Obat cytotec misoprostol 200mcg sangat ampuh untuk menggugurkan janin kuat (Bandel) bergaransi dijamin tuntas 100%.__
#UNTUK MENDAPATKAN OBAT ABORSI ASLI 087776558899
__Cara gugurkan kandungan awal kehamilan di luar nikah, cara menggugurkan kandungan usia 5 bulan dengan alkohol, anak luar nikah, secara alami dan cepat dalam 1 hari, cara menggugurkan janin di luar kandungan secara alami, Cara menggugurkan kandungan dengan paramex, feminax, cara menggugurkan kandungan dengan cepat selesai dalam 24 jam secara alami buah buahan yang masih gumpalah darah, hitungan hari.__
Selain itu, ini juga dapat dikerjakan jika memang benar-benar ada abnormalitas janin yang menyebabkan janin lepas dari kandungan. Dan di posting ini kali kami akan menjelaskan 4 cara menggugurkan kandungan dan percepat haid, Dengan Paramex, Dengan Paracetamol, Dengan Alkohol dan berikut penuturannya.
Obat MENGGUGURKAN kehamilan Kuat dengan cepat selesai dalam waktu 24 jam secara alami – Cara Menggugurkan Kandungan Usia Janin 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 Bulan Dengan Cepat Dalam Hitungan jam Secara Alami.
Obat Penggugur Kandungan untuk Ibu Menyusui di Apotik dan Harganya Cara Menggugurkan Kandungan atau Aborsi Medis Dengan Pil Cytotec 200mg Misoprostol adalah salah satu Obat Penggugur Kandungan Di Apotik Paling Ampuh yang tidak dijual secara Umum, ( Tips dan Cara Gugurkan Kehamilan Kuat 1-8 Bulan dengan Cepat Dalam Hitungan Jam secara Alami ) dari Janin usia 1 Bulan, 2 Bulan, 3 Bulan, 4 Bulan, 5 Bulan, 6 Bulan, 7 Bulan, 8 Bulan sangat mudah diatasi dengan Obat Aborsi Cytotec Misoprostol Asli 100% Berhasil TUNTAS.
Cara Menggugurkan Kandungan dan Percepat Haid, Cara Menggugurkan Kandungan Dan Percepat Haid yang Aman Secara Klinis. Menggugurkan kandungan ialah satu tindakan yang nista karena dipandang hilangkan nyawa calon bayi. Tetapi demikian, menggugurkan kandungan dapat menjadi legal atau dibolehkan bila terjadi beberapa kasus tertentu yang mewajibkannyauntuk digugurkan karena argumen klinis.Mirip contoh: si ibu yang mempunyai penyakitkronis yang bila dipaksa melanjutkan kehamilan maka mencelakakan nyawa si ibu.Cara menggugurkan kandungan adalah suatu hal tindakan yang sudah dilakukan untuk akhiri kehamilan yang tidak di harap (aborsi).
Cara Menggugurkan Kandungan Dengan Obat Penggugur Kehamilan Atau Obat Aborsi Cara Menggugurkan Kandungan Dengan Obat Penggugur Kandungan Adalah mungkin salah satu cara yang di anggap seseorang tepat, karena beberapa faktor alasan tertentu. Padahal Gugurkan kehamilan memiliki tingkat resiko yang lumayan tinggi apabila penggunaan Obat Aborsi atau yang sering di kenal dengan obat Cytotec
1. 1
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Anastasia Tirtadjaja, Rachmat Gunadi Wachjudi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/
RS Dr. HasanSadikin Bandung
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan sistem multiorgan. Penyakit ini mengenai wanita usia reproduksi
dengan etiopatogenesis kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti.
Selanjutnya pada referat ini lupus eritematosus akan disebut sebagai SLE. 1-5
Prevalensi SLE adalah sebesar 20 – 50 kasus per 100000 populasi.
Peningkatan insidensi berhubungan dengan adanya perkembangan dalam
penegakkan diagnosis SLE pada manifestasi klinis ringan. Insidensi diperkirakan
sebanyak 1 – 25 per 100000 penduduk amerika utara, amerika selatan, eropa
dan asia.3
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam, sementara di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin (RSHS)
jumlah pasien SLE adalah sebanyak 291 pasien atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Penemuan kasus
baru di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam RSHS sepanjang tahun 2003
sampai 2005 meningkat yaitu sebanyak 6,4% dari 3025 pasien baru dan pada
tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 9,07% dari 4037 pasien.6,7
Angka kematian pasien SLE di RSHS selama periode 2006-2011 adalah
8,12% (38 dari 468 pasien) dengan penyebab kematian yang terkait langsung
seperti lupus nefritis dan keterlibatan susunan saraf pusat, maupun karena
penyakit penyerta seperti infeksi dengan sepsis 6,7
SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi klinis dan pola
aktivitas penyakit beraneka ragam, serta eksaserbasi dan remisi yang tidak
terprediksi. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan, dengan prognosis
jangka panjang yang seringkali buruk. Pengobatan yang diberikan dalam jangka
waktu panjang atau bahkan seumur hidup membuat efek samping obat menjadi
masalah yang membutuhkan pertimbangan dalam tatalaksana SLE.4,8,9
Walaupun terapi imunosupresif menggunakan kortikosteroid,
hidroksiklorokuinn, azathioprine, siklofosfamid, dan mycophenolate mofetil telah
digunakan dalam pengobatan SLE, sejumlah proporsi pasien tetap mengalami
kesulitan dalam mencapai remisi atau bahkan mengalami kekambuhan selama
terapi pemeliharaan.9
Berkembangya pengertian tentang imunopatologi penyakit autoimun
telah membawa kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis sebagai
terapi SLE dengan hasil yang menjanjikan. Hal –hal tersebut menjadi alasan
pentingnya pengetahuan tentang perkembangan terapi SLE untuk menentukan
pengelolaan dan pilihan terapi yang sesuai.4,9
Etiologi, Patogenesis dan Imunopatologi SLE
SLE didasari dengan adanya autoantibodi patogen (timbul beberapa
tahun sebelum timbulnya manifestasi penyakit) serta kompleks imun yang terikat
pada jaringan dan membentuk komplemen, aktivasi respon imun yang
menyebabkan kerusakan jaringan.10
2. 2
Etiologi SLE meliputi faktor genetik dan lingkungan. SLE merupakan
penyakit dengan faktor genetik kompleks, dimana aktivitas banyak gen sebagai
predisposisi SLE, bersama dengan faktor lingkungan dan faktor nongenetik
lainya turut berperan dalam patogenesis. Faktor – faktor ini berkembang menjadi
kerusakan ireversibel gangguan toleransi imun dan bermanifestasi sebagai
respon imun terhadap antigen nuklear endogen.3
Faktor genetik sepertinya merupakan faktor yang paling menentukan
dalam patogenesis SLE. Tingginya kejadian SLE pada saudara kandung menjadi
dasar adanya faktor genetik, dengan jenis kelamin perempuan sebagai faktor
penting dalam patogenesis. Faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet, logam
berat, bahan kimia, obat – obatan, organisme patogen dan pola hidup dapat
menjadi pencetus proses autoimun pada individu dengan predisposisi
genetik.1,3,10
Terjadinya SLE juga dipengaruhi oleh efek epigenetik berupa gangguan
metilasi DNA yang menimbulkan ekspresi gen abnormal dan berujung pada
hilangnya hambatan MHC terhadap self antigen oleh sel T, dan peningkatkan
produksi antibodi oleh sel B. Hal ini dapat diturunkan atau termodifikasi oleh
lingkungan.1,3
Peran hormonal dalam patogenesis SLE terlihat pada hormon androgen
sebagai faktor imunoprotektif dalam terjadinya SLE. Mekanisme pasti mengenai
peran estrogen pada penyakit SLE masih belum jelas. Estrogen berperan melalui
ER-α dan β yang diekspresikan melalui sel B dan T.1
Patogenesis SLE melibatkan abnormalitas sistem imun yang kompleks,
dimana kelainan fungsi sel B dan sel T yang merangsang produksi autoantibodi
oleh sel B dan reaktivitas sel T menimbulkan inflamasi serta kegagalan
multiorgan. Autoantigen yang dilepaskan oleh sel apoptotik dipaparkan oleh sel
dendritik kepada sel T yang kemudian mengaktifkan sel T. Sel T teraktivasi
kemudian memproduksi sitokin yang memicu sel B untuk memproduksi antibodi.
Disamping itu, terdapat pula produksi autoantibodi oleh sel B yang tidak
bergantung pada sel T. Mekanisme ini berlangsung karena adanya stimulasi sel
B melalui kombinasi β-cell antigen receptor (BCR) dan TLR signalling. 1,3
.
Gambar I. Patogenesis SLE
Dikutip dari Bertias. 3
3. 3
Beberapa aspek regulasi abnormal terhadap sel T berkontribusi dalam
timbulnya SLE. Signal abnormal pada reseptor sel T menimbulkan peningkatan
regulasi FcRγ dan aktivasi Syk kinase yang kemudian mengakibatkan gangguan
toleransi imun, abnormalitas respon terhadap autoantigen, gangguan presentasi
antigen, serta gangguan transduksi signal pada reseptor sel T. 1
Sel B memegang peranan penting dalam patogenesis SLE berupa
prekursor sel plasma yang mensekresi antibodi. Aktivasi dan diferensiasi
abnormal sel B mengubah sel B naif menjadi sel plasma yang teraktivasi. Sel –
sel ini merupakan autoantigen terhadap sel T dan bertanggung jawab terhadap
produksi autoantibodi serta memodulasi sel T dalam sekresi sitokin. Pada SLE
terdapat peningkatan jumlah sel plasma, plasmablas dan sel B transisional tahap
akhir. 1,9,10
Meningkatnya aktivasi sel B diakibatkan oleh kadar growth factor yang
meningkat, termasuk di dalamnya B-lymphocyte stimulator (BlyS) yang
dibutuhkan dalam pertahanan hidup, maturasi dan aktivasi sel B, serta
berembangnya sel B menjadi sel plasma. Autoantibodi yang dihasilkan oleh sel B
yang hiperaktif mengakibatkan kerusakan jaringan melalui pembentukkan
kompleks imun, aktivasi komplemen, dan efek langsung pada sel. 50% pasien
SLE memiliki peningkatan kadar BlyS plasma dan terdapat korelasi bermakna
antara tingginya kadar BlyS plasma dengan aktivitas penyakit. 9,10
Abnormalitas sel B pada SLE berpusat pada transduksi signal aberan
sepanjang reseptor sel B (BCR). Peningkatan respon sel B juga diakibatkan oleh
menurunnya ekspresi Lyn kinase dan molekul - molekul yang terlibat dalam
menurunkan regulasi signaling pada sel B.1
Reseptor permukaan lainnya yang banyak dipelajari adalah B-cell
activating factor of the TNF family receptor (BAFF-R), dimana kemampuan
bertahan hidup sel B bergantung pada persaingannya dengan protein homolog A
proliferation inducing ligand (APRIL) untuk mencapai interaksi dengan BAFF.
BAFF dapat berikatan dengan tiga buah reseptor – TACI, BCMA dan BAFF-R,
sedangkan APRIL berikatan hanya denga TACI dan BCMA.1
Pada SLE terjadi peningkatan produksi BAFF oleh sel dendritik akibat
respon terhadap CpG DNA inducible cytokine (IFNa). Aktivasi sel B ini dapat
merangsang produksi imunoglobulin tanpa melibatkan sel T. Antagonis terhadap
BAFF dan APRIL telah digunakan dalam pengobatan SLE. 1
Selain β-cell activating factor (BAFF) atau β-lymphocyte stimulator (BlyS)
terdapat sitokin yang berperan dalam patologi SLE antara lain tumor necrosis
factor (TNF) alpha, IFNγ, interleukin (IL)-2, IL-4, IL-6, IL-10, TNF-α, dan TGF-β
dan MCP-1.1,9
4. 4
Gambar II. Gambaran panoramik patogenesis SLE.
Dikutip dari Sifuente.11
Keterangan gambar :
1. Sel apoptotik dipaparkan pada antigen nuklear pada vesikel apoptosis permukaan.
2. Terjadinya akumulasi material apoptosis akibatdefisiensi mekanisme bersihan oleh sistem
makrofag.
3. Akumulasi ini memudahkan akses pada limfosit B autoreaktif yang mensintesis
autoantibodi.
4. Terbentuknya kompleks imun.
5. Kompleks imun memiliki kapasitas untuk mengaktifkan komplemen dan merusak jaringan.
6. Kompleks imun juga dapat mengaktivasi sel dendritik plasma.
7. Aktivasi sel dendritik plasma pada jalur TLR7 dan TLR9 akan meningkatkan produksi
interferon; IFN-α memiliki pengaruh multipel pada sistem imun yang mengakibatkan
terjadinya autoimunitas,seperti diferensiasi sel B menjadi antibodi yang memproduksi sel
plasma, aktivasi sel T dan maturasi sel dendritik. Seluruh siklus ini mengintensifikasi
proses autoimun.
8-11. Sel limfosit B, sel limfosit T, sitokin, molekul ko-stimulasi dan jalur sinyal intraselular
seagai target terapi.
Prinsip dan tujuan terapi SLE
Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan
kualitas hidup. Tujuan khusus pengelolaan SLE adalah: tercapainya remisi
terhadap gejala sistemik dan manifestasi organ atau seandainya remisi tidak
dapat tercapai, pengobatan harus bertujuan untuk mencapai aktivitas penyakit
serendah mungkin. Pengelolaan juga harus berusaha untuk meningkatkan
kesintasan jangka panjang, menghambat kerusakan organ, optimalisasi kualitas
hidup dengan mengontrol aktivitas penyakit, mengurangi rasa nyeri, serta
komorbiditas dan toksisitas obat yang minimal.2,5
Pengelolan SLE merupakan aspek yang sulit dan sering salah dimengerti
dan memerlukan pendekatan multidisipliner serta pengertian tentang banyaknya
aspek dan manifestasi penyakit. Pengelolaan tidak terbatas pada pemakaian
obat – obatan saja, namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan
pendekatan bio – psiko – sosial, meliputi tatalaksana non farmakologis dan
farmakologis. 5,12
5. 5
Strategi pengobatan pada SLE dengan manifestasi berat dan lupus
nefritis meliputi fase induksi dengan tujuan menekan inflamasi glomerular dan
tercapainya remisi, diikuti dengan fase pemeliharaan untuk mempertahankan
efek terapi. 13
Strategi terapi yang sesuai harus dapat dilaksanakan untuk mencapai
tujuan pengobatan SLE. Hal ini terdiri atas diagnosis awal, terapi efektif,
penyesuaian dosis kotikosteroid, dan targeted therapy yang memiliki toksisitas
lebih rendah dan steroid-sparing agent yang potensial. Pada referat ini,
pembahasan akan difokuskan kepada agen biologis yang telah membawa
harapan dalam perkembangan dan kemajuan penatalaksanaan SLE. 5
Penilaian respon terapi SLE
Respon terapi dinilai berdasarkan beberapa indikator atau alat ukur.
Indikator ini terus dikembangkan dan divalidasi untuk menilai inflamasi reversibel
pada SLE dengan menggunakan gabungan antara variabel klinis dan
penunjang.14
Penilaian respon terapi dengan melihat aktivitas penyakit dapat
menggunakan alat penilaian yang telah divalidasi diantaranya British Islet Lupus
Assesment Group (BILAG), the Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), the
SLE Disease Activity Index (SLEDAI), dan the Modified Safety of Estrogen in
Lupus Erythematosus National Assesssment (SELENA). Setiap alat penilaian ini
dirancang untuk digunakan pada uji observasional dan digunakan pula pada uji
klinis. Definisi remisi belum dinyatakan secara jelas pada alat penilaian tersebut,
kecuali definisi remisi berdasarkan SLE Disease Activity Index (SLEDAI).9,14
Petri, dkk menyatakan definisi respon terapi bedasarkan index SLEDAI
yaitu : perbaikan (penurunan nilai SLEDAI >3); aktivitas penyakit persisten
(penurunan nilai SLEDAI ≤ 3); dan remisi (SLEDAI 0). Definisi ini pada akhirnya
menimbulkan banyak pertanyaan mengenai makna dari abnormalitas serologis
seperti kadar komplemen, titer antibodi anti-dsDNA, sehingga kriteria remisi yang
sesuai terus dikembangkan dan disesuaikan. 14
Remisi pada penyakit SLE juga dapat dipertimbangkan pada penurunan
aktivitas penyakit yang spesifik terhadap suatu sistem organ. Index BILAD
merupakan indeks yang spesifik terhadap sistem organ, dengan penilaian
terhadap 8 sistem : umum, mukokutan, neurologis, muskuloskeletal,
kardiopulmonal, vaskulitis, renal dan hematologis.14
Definisi remisi paling jelas dinyatakan pada definisi remisi lupus nefritis
(respon renal komplit) yaitu membaiknya funsi ginjal dengan proteinuria derajat
ringan (<0,5-1g/24 jam) dengan atau tanpa sedimen urin yang negatif setelah
pemberian terapi agen imunosupresan. 5
Tabel I. Skor MEX SLEDAI untuk menilai aktifitas penyakit dalam 10 hari.
Bobot Deskripsi Definisi
8 Gangguan
neurologis
Psikosa. Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi
normal dikarenakan gangguan persepsi realitas.
6 Gangguan ginjal Casts, heme granular atau sel darah merah.
Hematuria > 5 lpb.
Proteinuria. Onset baru, 0,5g/L pada random spesimen
Peningkatan kreatinin (>5mg/dl)
4 Vaskulitis Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual,
splinter haemorrhages. Data biopsi atau angiogram dari
vaskulitis.
3 Hemolisis
Trombositopenia
Hb<12g/dL dan koreksi retikulosit >3%
Trombositopenia <100.000. bukan diseabkan obat
3 Miositis Nyeri dan lemahnya otot – otot proksimal, yag dihubungkan
dengan peningkatan CPK
6. 6
2 Arthritis Pembengkakkan atau efusi lebih dari 2 sendi
2 Gangguan
mukokutaneus
Ruam malar. Onset baru atau malar eritema yang menonjol
Mucous ulcer. Oral atau nasofaring ulserasi dengan onset baru
atau berulang
Alopesia abnormal.
2 Serositis Pleuritis
Perikarditis
Peritonitis
1 Demam
Fatigue
Demam > 38°C setelah eksklusi infeksi
Fatigue yang tidak dapat dijelaskan
1 Lekopenia
Limfopenia
Sel darah putih <4000/mm3
Limfosit <1200/mm3
, bukan akibat obat
Dikutip dari.2
Terapi non farmakologis dalam tatalaksana SLE
Karena prognosis dan manifestasi klinis SLE yang bervariasi, maka
sangatlah penting untuk mengumpulkan data pasien secara lengkap sebelum
inisiasi terapi. Kepatuhan merupakan komponen yang sangat penting dalam
tatalaksana SLE sehingga strategi untuk mencapainya perlu dikembangkan dan
diimplementasikan. Edukasi serta pengetahuan tentang penyakit dan
perencanaan terapi yang melibatkan penderita, serta keluarga, teman dan
kerabat dapat meningkatkan kepatuhan dalam menjalani rancangan tatalaksana
SLE. 12
Kelelahan (fatigue) yang timbul pada 50-90% pasien SLE membuat
tatalaksana umum seperti pola istirahat, pola tidur, olahraga harus diterapkan.
Pengetahuan akan penyebab yang mendasarinya perlu diketahui. Pasien harus
menghindari rokok dan alkohol, dan mengetahui akibat kerusakan jaringan yang
dapat disebabkannya.12
Pasien SLE harus menghindari paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet B
pada waktu tengah hari (pukul 10.00 - 16.00) merupakan faktor fototoksik yang
lebih signifikan. Selain pembatasan dan penjadwalan aktivitas di luar ruangan,
penggunaan tabir surga dengan sun protection factor 30 atau lebih dapat
mengurangi penetrasi sinar UV dan mengurangi paparan terhadap bahaya
fototoksisitas.12
Terapi farmakologis dalam tatalaksana SLE
1. Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID)
NSAID seperti aspirin dan agen anti inflamasi lainnya telah digunakan
pada lebih dari 80% pasien SLE untuk mengobati gejala muskuloskeletal, nyeri
kepala, inflamasi membrana mukosa dan serositis. 12,15
NSAID menghambat produksi prostaglandin dengan berikatan kepada
siklooksigenase. Limfosit T mengekspresikan isoenzim siklooksigenase – 2
dimana hal ini dapat berperan pada aktivasi sel T, produksi IL-2, TNF-α, dan INF-
γ. Pengobatan menggunakan COX-2 inhibitor dapat menurunkan produksi
antibodi serta menghambat respon sel T terhadap nukleosom dan presentasi
antigen oleh antigen presenting cell. Menurut Lander, terlepas dari kandungan
sulfa yang dapat mencetuskan aktivitas lupus, terapi mengunakan celecoxib
merupakan pilihan yang aman dan menguntungkan. Celecoxib tidak berinteraksi
dengan warfarin seperti NSAID lainnya. 12
Walaupun terdapat insidensi penyakit jantung koroner yang tinggi pada
pasien SLE, data yang cukup untuk menunjang peningkatan risiko kardiovaskular
pada pasien SLE belum ada. Penggunaan obat – obatan ini perlu dihindari pada
pasien SLE yang memiliki risiko terjadinya penyakit vaskuler dini. Efek samping
lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian NSAID antara lain toksisitas
terhadap ginjal, hipertensi, reaksi alergi, serta toksisitas terhadap hepar.15
7. 7
2. Antimalaria
Penggunaan kuinin digunakan pertama kali oleh Paine untuk mengobati
lupus eritematosus diskoid, dan setelah Page menggunakan kuinakrin pada
tahun 1951 penggunaan antimalaria sebagai terapi diskoid lupus eritematosus
meluas. Dengan banyaknya agen terapi baru yang menjanjikan, tidak membuat
penggunaan obat antimalaria yang aman, murah, dan efektif tergeser dari peran
kuncinya dalam pengobatan SLE.16
Pada tahun 1993, Fox menyatakan bahwa obat antimalaria meningkatkan
pH yang menurunkan pembentukan kompleks major histocompatibility complex
(MHC), menghambat pembentukan kompleks peptida - MHC kelas II sehingga
stimulasi terhadap CD+sell T yang bersifat reaktif kepada autoantigen menurun,
pelepasan sitokin dan terjadinya autoimunitas juga menurun. 16
Pengobatan dengan obat antimalaria menunjukan penurunan kadar IL-
1β, IL-6, IL-18, dan TNF-α secara nyata pada 3 bulan setelah inisiasi.
Mekanisme aksi obat ini juga terdapat pada blokade TLR9, suatu kompartemen
selular yang berperan dalam aktivasi sel dendritik/sel plasma. 16
Telah banyak penelitian yang membuktikan efektifitas terapi SLE dengan
menggunakan obat antimalaria. Selain manfaat terhadap aksi imunologis, obat
antimalaria juga memiliki sifat antitrombosis dengan menghambat agregasi dan
adhesi trombosis, menghambat pembentukan antibodi antifosfolipid β-2
glikoprotein I, menghambat terbentuknya komplek antibodi antifosfolipid – anexin
5; proteksi kardiovaskuler; efek antimikrobial terhadap bakteri, jamur dan virus;
menghambat pertumbuhan sel dan mutasi pada sel dengan pembelahan yang
cepat. Obat antimalaria dinyatakan aman pada kehamilan dan laktasi. 5,16
Obat antimalaria yang digunakan dalam pengobatan SLE antara lain
hidroksiklorokuin, klorokuin dan kuinakrin. Dosis maksimal untuk obat antimalaria
klorokuin adalah 3mg/kg/hari, dan 6,5/kg/hari untuk hidroksiklorokuin. Respon
terapi akan terlihat setelah penggunaan selama 4-6 minggu pada klorokuin dan
8-12 minggu pada hidroksiklorokuin.16
Efek samping obat-obatan ini antara lain berupa mual, anoreksia, muntah,
diare dan distensi abdomen, pigmentasi kulit, keratopati, nyeri kepala, mimpi
buruk, insomnia, tinitus. Efek samping ini akan berkurang dengan penyesuaian
dosis, dan dapat menghilang bila obat dihentikan. Efek samping yang jarang
antara lain miopati, kardiomiopati, depresi sumsum tulang. Toksisitas terhadap
retina merupakan efek samping yang harus diperhatikan. Berat ringannya
bervariasi berupa perubahan asimtomatik hingga terjadinya retinopati, makulopati
yang ireversibel.5
3. Glukokortikoid
Glukokortikoid masih menjadi lini terdepan dalam pengobatan penyakit
rhematologi sejak Phillip Hench memperkenalkan penggunaannya pada tahun
1949. Glukokortikoid harus digunakan secara berhati – hati dengan dosis yang
memberikan efek samping seminimal mungkin. Kombinasi glukokortikoid dengan
agen imunosupresan atau anti-inflamasi lainnya dapat membantu tercapainya
kontrol penyakit, sehingga dosis glukokortikoid yang lebih rendah dapat
diberikan.13,17
Peran glukokortikoid dosis tinggi pada SLE dengan manifestasi berat
tidak perlu dipertanyakan lagi. Di sisi lain, sejumlah komplikasi dan efek samping
glukokortikoid terkait dosis dan durasi terapi menjadi pertimbangan tersendiri
dalam penggunaannya. Pemberian dosis kecil lebih dapat ditoleransi, walaupun
risiko komplikasi seperti infeksi, gangguan tumbuh kembang, osteoporosis, dan
8. 8
katarak tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, terapi pemeliharaan harus
mencapai kontrol aktivitas penyakit dengan dosis glukokortikoid serendah
mungkin dan penghentian glukokortikoid bila memungkinkan. 5,17
Pada tingkat molekular, glukokortikoid bekerja pada berbagai sel (netrofil,
monosit-makrofag, fibroblas, endotel) dengan efek genomik dan nongenomik
dalam menghambat sintesis dan sekresi mediator protein inflamasi. Pada tingkat
selular, glukokortikoid tidak hanya bekerja pada inisiasi inflamasi akut dengan
blokade vasodilatasi pembuluh darah kecil, migrasi leukosit PMN dan eosinofil
dalam respon kerusakan jaringan, tetapi juga memfasilitasi pembersihan sel
inflamasi dan resolusi inflamasi.17
Respon terapi terhadap glukokortikoid pada hampir seluruh manifestasi
SLE dicapai dalam kurang dari 1 sampai 2 minggu, serta 2 sampai 6 minggu
pada lupus nefritis., Bila terdapat respon terapi yang baik dalam 1 sampai 2
minggu setelah inisiasi atau telah ditambahkan agen sitotoksik dalam regimen
pada penyakit refrakter, maka penurunan dosis glukokortikoid (tappering off)
harus dilakukan. Tahap pertama adalah dengan pemberian regimen satu kali per
hari pada pagi hari, dengan dosis harian dapat diturunkan sebesar 5mg (5-10%)
setiap minggu hingga dosis mencapai 0,25-0,5mg/kg/hari. Penghentian
glukokortikoid atau penurunan hingga dosis minimal dapat dilakukan secara lebih
perlahan.17
Pulse dose glukokortikoid pertama kali diberikan pada pasien SLE
dengan glomerulonefritis proliferatif difus, yaitu methylprednisolon sebesar 0,5 -
1g /hari selama 3 hari. Terapi ini efektif pada pneumonitis, serositis, vaskulitis,
dan trombositopenia, namun pada penelitian yang membandingkan antara pulse
therapy glukokortikoid dengan siklofosfamid menunjukan keunggulan
siklofosfamid. Kombinasi terapi dengan agen imunosupresan dapat memberikan
perbaikan fungsi ginjal bila dibandingkan dengan penggunaan obat secara
tunggal.17
4. Agen imunosupresan (agen sitotoksik)
Agen imunosupresan digunakan pada SLE dengan manifestasi berat
untuk meminimalisir kerusakan jaringan ireversibel serta mengurangi toksisitas
akibat penggunaan kortikosteroid. Pada beberapa dekade belakangan ini
tatalaksana SLE difokuskan pada minimalisasi penggunaan siklofosfamid,
bahkan pada SLE dengan manifestasi berat sekalipun. Penggunaan
siklofosfamid dibatasi hanya sebagai induksi remisi, diikuti dengan terapi
pemeliharaan dengan MMF atau azathioprine pada pengobatan lupus nefriitis.
Selain itu, dilakukan pemendekan periode induksi menggunakan siklofosfamid,
atau substitusi siklofosfamid dengan MMF untuk induksi remisi pada lupus
nefritis.13,18
Awal terapi SLE dengan mengunakan alkylating agent dilaporkan oleh
Osborne, dkk pada tahun 1947 sebagai agen topikal pada penderita kutaneus
lupus, dan diikuti pada tahun 1949 yang memberikan hasil yang cepat dan
dramatis pada penderita lupus nefritis.18
a. Siklofosfamid
Walaupun toksisitasnya yang jelas, siklofosfamid masih merupakan obat
yang penting dalam tatalaksana SLE. Efek klinis dan toksik siklofosfamid
bergantung pada dosis, rute pemberian, durasi dan dosis kumulatifnya. 18
Efek langsung siklofosfamid sebagai imunomodulator membuat obat ini
memiliki onset yang cepat dalam efektifitas terapi (dalam 2 sampai 4 hari).
Mekanisme kerja siklofosfamid terdiri atas perannya dalam mempengaruhi fungsi
makrofag, meningkatkan produksi prostaglandin E2, mengganggu transkripsi
9. 9
gen, dan efek langsung terhadap limfosit. Siklofosfamid yang diberikan secara
intravena menekan aktivasi sel T. 18
Siklofosfamid intravena bulanan dapat dimulai dengan dosis 500 –
750mg/m2
dalam normal salin selama 1 jam. Dosis dapat ditingkatkan 10 -25%
dengan target hitung leukosit antara 2000 – 3000/mm3
. Penurunan dosis harus
dilakukan pada saat hitung leukosit dibawah 2000/mm3
atau hitung granulosit
dibawah 1000/mm3
. Terapi induksi dapat diberikan sebanyak 6 kali. Penggunaan
siklofosfamid intravena setiap 2 minggu diikuti dengan pemberian azathioprin
telah terbukti efektif.18
Efek samping siklofosfamid antara lain sistitis hemoragika, karsinoma buli
dan keganasan, supresi sumsumg tulang, pneumonitis interstitial akut, infeksi,
infertilitas dan teratotoksisitas. Kejadian sistitis hemoragik dan karsinoma buli
terjadi pada pemberian dosis diatas 30 gram. Hidrasi adekuat selama pemberian
siklofosfamid dapat dilakukan untuk mencegah sistitis hemoragika.18
b. Clorambucil
Chlorambucil telah dihentikan penggunaannya dalam terapi SLE karena
toksisitasny yang berat pada penggunaan jangka panjang. Karena penggunaan
jangka pendek sebagai induksi remisi memberikan efek toksik yang lebih kecil,
maka terapi menggunakan obat ini mungkin dapat digunakan sebagai terapi
induksi pada beberapa keadaan seperti individu dengan nerogenic bladder.18
c. Azathioprine
Azathioprine telah digunakan selama lebih dari 50 tahun pada
transplantasi organ dan penyakit rhematik. Walaupun potensi dan onset kerjanya
tidak sebaik siklofosfamid pada pasien SLE akut dan berat, azathioprine tetap
berguna sebagai steroid sparing agent serta sebagai terapi pemeliharaan setelah
pengobatan dengan siklofosfamid pada pasien lupus nefritis.18
Azathioprie menurunkan jumlah sel T, sel B dan sel NK sehingga
menghambat imunitas selular dan humoral, menekan pembentukan autoantibodi
dan menghambat sintesis prostaglandin. Berbeda dengan siklofosfamid,
azathioprine tidak digunakan sebagai obat tunggal pada terapi lupus nefritis,
namun memberikan hasil yang baik bila digunakan sebagai sparing agent
terhadap steroid maupun siklofosfamid.18
Obat ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan agen biologis
belimumab atau rituximab, sehingga patut dipertimbangkan dalam tatalaksana
SLE yang resisten terhadap steroid. 18
d. Calcineurin Inhibitors : Siklosporin dan Tacrolimus
Bukti yang ada tentang siklosprorin dan tacrolimus adalah efektifitasnya
dalam terapi nefritis membranosa. Kedua obat ini juga sangat menarik karena
toksisitas sumsum tulang dan keamanannya pada kehamilan. Walaupun dinilai
efektif dalam mengurangi tingkat proteinuria, penelitian mengenai obat ini masih
terbatas bila dibandingkan dengan azathioprine, MMF dan siklofosfamid. 18
e.Methotrexate
Metotrexat adalah antagonis folat yang menghambat dihidrofolat
reduktase. Disintesis pada tahun 1940 dan digunakan sebagai zat sitotoksik
terhadap tumor. Bila digunakan dalam dosis pada penyakit rematik, efek
sitotoksiknya lebih sedikit dan berguna dalam imunomodulator. 18
Methotrexat diberikan secara oral atau subkutan dengan dosis 10 –
30mg, dengan penambahan asam folat 1mg/hari. Methotrexat relatif aman dan
ditoleransi dengan baik dalam pengobatan SLE, terutama pada pasien SLE
dengan manifestasi kutaneus dan muskuloskeletal. Monitoring fungsi ginjal
sangat penting, kontrasepsi yang baik harus diberikan pada wanita produktif
untuk mencegah efek teratotoksisitas. 18
10. 10
f. Mycophenolate
Uji klinis terkontrol berkualitas baik telah menunjukan efektifitas terapi
SLE dengan MMF, sehingga MMF dapat dijadikan terapi alternatif terapi induksi
pada lupus nefritis. Faktor genetik mempengaruhi respon terapi dengan obat ini.
Suku afrika-amerika dan hispanik memberikan respon terapi yang baik bila
dibandingkan dengan kaukasia.18
Terapi dengan MMF juga dapat menjadi terapi pemeliharan setelah
induksi menggunakan siklofosfamid dan MMF mungkin lebih baik jika
dibandingkan dengan azathioprin sebagai terapi pemeliharaan. Efek toksik yang
kecil terhadap gonad membuat MMF lebih digemari dan menjadi lini pertama
dalam pengobatan bagi penderita SLE yang berada dalam masa pubertas atau
anak – anak. 18
g. Targeted therapy dalam pengobatan SLE
Dalam dua dekade terakhir, strategi pengobatan baru SLE telah
berkembang. Pengetahuan tentang patogenesis SLE telah membawa kita
kepada pendekatan terapi yang tertuju pada molekul spesifik. Kata ‘target’ dalam
targeted therapy dapat digunakan untuk suatu tipe sel atau molekul yang dapat
menjadi sasaran suatu pengobatan dengan agen biologis.5,9,19
Terapi menggunakan agen biologis telah terbukti efektif pada penyakit
inflamasi seperti artritis rheumatoid, multipel sklerosis, dan inflamatory bowel
disease, namun efektifitasnya masih menjadi hal yang kontroversial pada
pengobatan SLE.9
Gambar III. Mekanisme patogenesis SLE yang dapat dijadikan target terapi.
Dikutip dari Thanou. 20
11. 11
Gambar IV. Obat – obatan yang relevan terhadap target potensial yang
berhubungan dengan sel B dan sel T dalam penatalaksanaan
SLE.
Dikutip dari Rajhadyakshya. 9
Tabel II. Terapi dengan agen biologis dalam terapi SLE.
Agen biologis Hasil utama
Target sel B
Antibodi anti CD-20
Rituximab
Ocrelizumab
Efektif pada SLE refrakter
Perkembangan dalam aktivitas penyakit
Tidak ada keuntungan pada lupus nefritis proliferatif
Tidak ada keuntungan pada lupus nefritis
Antibodi anti CD-22
Epratuzumab Perkembangan dalam skor BILAG
Penurunan dosis kortikosteroid dengan profil
keamanan yang baik
Tolerogen limfosit B
Abetimus Tidak ada keuntungan pada pasien lupus nefritis
Edratide Belum ada hasil yang dirilis
Blokade BlyS
Belimumab
Atacicept
Penurunan aktivitas dan penurunan flare up
Penurunan signifikan kadar IgM dan IgG
Blokade sel T dan ko-stimulator
Abatacept Perkembangan pada manifestasi SLE yang tidak
mengancam jiwa
IDEC-131 Tidak efektif dalam pengobatan SLE manusia
Efalizumab Penurunan pada manifestasi kutaneus SLE
AMG557 Belum ada hasil yang dirilis
Sirolimus Efektif dan aman pada SLE refrakter
Anti sitokin
12. 12
Anti TNF-α
Infliximab Efektivitas jangka panjang pada SLE refrakter
Anti IFN-α/-γ
Sifalimumab
Rontalimumab
AMG811
Anti IL-1
Anakinra
Anti IL-6
Tocilizumab
Anti IL-10
Belum ada hasil yang dirilis
Belum ada hasil yang dirilis
Belum ada hasil yang dirilis
Perbaikan dalam artritis SLE
Perbaikan pada respon klinis dan serologis
Perbaikan pada aktivitas penyakit
Dikutip dari Stohl. 21
Ringkasan
SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi klinis dan pola
aktivitas penyakit yang beraneka ragam. Prognosis jangka panjang seringkali
buruk. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan serta pemilihan terapi.
Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan
kualitas hidup melalui tercapainya remisi atau bila remisi tidak dapat dicapai,
pengobatan harus ditujukan pada pencapaian aktivitas penyakit serendah
mungkin. Pengelolaan tidak hanya terbatas pada pemakaian obat – obatan saja,
namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan pendekatan bio – psiko –
sosial, meliputi tatalaksana non farmakologis dan farmakologis.
Berkembangnya pengertian tentang imunopatologi SLE membawa
kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis yang ditujukan kepada
suatu molekul spesifik sebagai sasaran terapi SLE. Dalam dua dekade terakhir,
strategi pengobatan baru SLE telah berkembang. Pengesahan belimumab
(Benlysta) dapat dikatakan menjadi landasan murni terapi SLE dalam sejarah
perkembangan agen terapi SLE, dan meningkatkan harapan akan timbulnya
agen – agen pengobatan baru dalam tahun – tahun mendatang.
Toksisitas steroid semakin meyakinkan adanya kebutuhan terhadap
intervensi dengan targeted therapy, namun asumsi bahwa netralisir salah satu
sasaran akan memberikan keberhasilan pada seluruh aktivitas penyakit adalah
pemikiran yang salah.
Seperti yang telah dibahas pada referat ini, terdapat banyak agen terapi
yang menjanjikan bagi terapi SLE dan memerlukan banyak investigasi. Perlu
diingat bahwa tidak ada satu obat pun yang 100% efektif terhadap seluruh
pasien SLE, sehingga tatalaksana SLE harus disesuaikan berdasarkan
manifestasi klinis dan berbeda pada setiap individu.
Daftar Pustaka
1. Krishan S CB, Juang YT et al. Overview of the pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. Tsokos GC GC, Smolen JS et al, editor Philadelphia:
Elsevier;2007. hlm. 55-63.
2. indonesia Pr. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. In: Kasjmir
YI HK, Wijaya LK et al, editor.; Jakarta: Perhimpunan reumatologi indonesia;
2011. p. 10-34.
3. Bertias G CR, Boumpas DT. Systemic lupus erythematosus : pathognesis and
clinical features. EULAR textbook of rheumatic disease.2014. hlm. 476-505.
4. Jordan N, Lutalo PM, D'Cruz DP. Novel therapeutic agents in clinical
development for systemic lupus erythematosus. BMC medicine. 2013;11:120.
13. 13
5. van Vollenhoven RF, Mosca M, Bertsias G, Isenberg D, Kuhn A, Lerstrom K, et
al. Treat-to-target in systemic lupus erythematosus: recommendations from an
international task force. Annals of the rheumatic diseases. 2014 Jun;73(6):958-
67.
6. Christi L HL, Dewi S, et al, editor. Manifestasi klinis awal, dan perjalanan penyakit
pasien lupus eritematosus sistemik RS Dr Hasan Sadikin Bandung. Reumatologi
klinik bandung; 2012; Bandung.
7. Dewi S. Lupus eritematosus sistemik: diagnosis, stratifikasi pasien dan
monitoring aktivitas penyakit. Dalam: Wachjudi RG DS, Pramudiyo R, editor.
Pedoman praktis reumatologi klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2008. hlm. 63-77.
8. Doria A, Gatto M, Zen M, Iaccarino L, Punzi L. Optimizing outcome in SLE:
treating-to-target and definition of treatment goals. Autoimmunity reviews. 2014
Jul;13(7):770-7.
9. Rajadhyaksha AG, Mehra S, Nadkar MY. Biologics in SLE: the current status.
The Journal of the Association of Physicians of India. 2013 Apr;61(4):262-7.
10. Hahn BH. Belimumab for Systemic Lupus Erythematosus. New England Journal
of Medicine. 2013;368(16):1528-35.
11. Sifuentes Giraldo WA, García Villanueva MJ, Boteanu AL, Lois Iglesias A, Zea
Mendoza AC. New Therapeutic Targets in Systemic Lupus. Reumatología
Clínica. 10.1016/j.reumae.2012.06.011. 2012;08(04):201-7.
12. Ishimori M WM, Setoodeh K, Wallace DJ. Principles of therapy, local measures,
and nonsteroidal medications. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus
erythematosus and related syndromes. Philadephia: Saunders; 2013. hlm. 522-
88.
13. Navarra S, Naidas OD. Management of systemic lupus erythematosus renal
disease. Dalam: Weishman MH WM, Louie J, et all, editor. Targeted treatment of
the rheumatic diseases. Philadelphia: Saunders elsevier; 2010. hlm. 108-21.
14. Mosca M, Bombardieri S. Assessing remission in systemic lupus erythematosus.
Clinical and experimental rheumatology. 2006 Nov-Dec;24(6 Suppl 43):S-99-104.
15. Lahita R. Nonsteroid tretment of systemic lupus erythematosus. Dalam: Tsokos
GC GC, Smolen JS et al, editor. Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia:
Elsevier; 2007. hlm. 483-85.
16. Zubieta JA EJ. Antimalarial medication. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS
lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. hlm.
601-07.
17. Kirou KA BD. Systemic glucocorticoid therapy in SLE. Dalam: Wallace DJ HB,
editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia:
Elsevier; 2013. hlm. 591-99.
18. McCune JW RT. Immunosuppresive drug therapy. Dalam: Wallace DJ HB, editor.
DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Saunders;
2013. hlm. 609-23.
19. Postal M C, Appenzeller S. Biological Therapy in Systemic Lupus Erythematosus.
International Journal of Rheumatology. 2012;2012.
20. Thanou A, Merrill JT. Treatment of systemic lupus erythematosus: new
therapeutic avenues and blind alleys. Nat Rev Rheumatol. 2014 Jan;10(1):23-34.
21. Stohl W. Future prospects in biologic therapy for systemic lupus erythematosus.
Nat Rev Rheumatol. Review. 2013 12//print;9(12):705-20.
22. RF Vv. Novel therapies for SLE : Biological agents available in practice today.
Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related
syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. hlm. 640-46.
23. Treatment of SLE: bridging the gap from clinical trials to the clinic. Abstracts of a
symposium held during the American College of Rheumatology Congress in
2012. November 11, 2012. Washington, D.C., USA. Arthritis research & therapy.
2013;15 Suppl 2:A1-5.