Pancasila merupakan ideologi terbuka yang fleksibel dan memungkinkan pengembangan pemikiran baru sepanjang tidak menghilangkan nilai-nilai dasarnya. Nilai-nilai dasar Pancasila seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial bersifat tetap, sedangkan nilai instrumental dan praktis dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila memiliki bat
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Pancasila Ideologi Terbuka
1. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila Ideologi Terbuka
Menurut Abdulkadir Besar dalam tulisannya tentang “Pancasila Ideologi Terbuka”,
antara lain disebutkan bahwa pada umumnya khalayak memahami arti “terbuka” dari pernyataan
“ideologi terbuka” adalah ideologinya yang bersifat terbuka. Oleh sebab itu, pernyataan
“Pancasila adalah ideologi terbuka”, banyak difahami secara harfiah, yaitu ; berbagai konsep dari
ideologi lain, terutama dari ideologi liberalisme, seperti ;”hak asasi manusia”, “pasar bebas”,
“mayoritas tunggal”, “dualisme pemerintahan” beserta konsekuensi logiknya : “sistem oposisi
liberal”, dan sebagainya serta merta (tanpa nalaran sedikitpun), dianggap dapat berlaku dengan
sendirinya sebagai konsep yang inheren dari ideologi Pancasila.
Adanya anggapan umum yang demikian, dapat difahami karena adanya sebab-sebab sebagai
berikut :
Orang yang bersangkutan tidak atau belum faham betul mengenai ideologi Pancasila, dan
Nilai instrinsik ideologi Liberalisme, yaitu “kebebasan individu” merupakan konsep yang
teralir darinya tidak mereka sadari sebagai konsep ideologik, melainkan mereka persepsikan
sebagai konsep yang bebas nilai yang mereka identikkan dengan konsep yang bersifat obyektif
universal.
Bahwa semua konsep dari suatu ideologi, niscaya teralir secara deduktif-logik dari nilai
instrinsik suatu ideologi yang bersangkuatan. Sebagai contoh, nilai instrinsik ideologi
Liberaralisme (kebebasan individu), ideologi Komunis (hubungan produksi), dan ideologi
Pancasila adalah kebersamaan. Berkenaan dengan hal tersebut, konsep dari suatu ideologi tidak
dapat diberlakukan kepada ideologi yang lain. Bila hal ini dipaksakan, maka yang akan terwujud
adalah cita-cita dari ideologi lain.
a. Dimensi Ideologi Terbuka
Dalam pandangan Dr. Alfian, bahwa kekuatan suatu ideologi tergantung pada 3 (tiga)
dimensi yang terkandung di dalam dirinya, yaitu sebagai berikut:
1) Dimensi Realita
Bahwa nilai-nilai dasar di dalam suatu ideologi bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup
dalam masyarakat sehingga tertanam dan berakar di dalam masyarakat, terutama pada waktu
ideologi itu lahir. Dengan demikian, mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilainilai dasar itu adalah milik mereka bersama.
2. 2) Dimensi Idealisme
Bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme, bukan lambungan
angan-angan (utopia), yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui
perwujudan atau pengalamannya dalam praktek kehidupan bersama mereka sehari-hari dengan
berbagai dimensinya. Ideologi yang tangguh biasanya terjalin berkaitan, yang saling mengisi dan
saling memperkuat antara dimensi realitas dan dimensi idealisme yang terkandung di dalamnya.
3) Dimensi Fleksibelitas (Pengembangan)
Bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan
merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa
menghilangkan atau mengingkari hakekat (jati diri) yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan, sangat diperlukan oleh suatu ideologi guna
memelihara dan memperkuat relevansinya dari masa ke masa.
Perwujudan Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi terbuka, sangat mungkin mampu menyelesaikan berbagai
persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun demikian faktor manusia baik penguasa
maupun rakyatnya, sangat menentukan dalam mengukur kemampuan sebuah ideologi dalam
menyekesaikan berbagai masalah. Sebaik apapun sebuah ideologi tanpa didukung oleh sumber
daya manusia yang baik, hanyalah utopia atau angan-angan belaka.
Implementasi ideologi Pancasila bersifat fleksibel dan interaktif (bukan doktriner). Hal
ini karena ditunjang oleh eksistensi ideologi Pancasila yang memang semenjak digulirkan oleh
para founding fathers (pendiri negara) telah melalui pemikiran-pemikiran yang mendalam
sebagai kristalisasi yang digali dari nilai-nilai sosial-budaya bangsa Indonesia sendiri.
Fleksibelitas ideologi Pancasila, karena mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1) Nilai Dasar
Merupakan nilai-nilai dasar yang relatif tetap (tidak berubah) yang terdapat di dalam
Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai dasar Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial), akan dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental dan
nilai praxis yang lebih bersifat fleksibel, dalam bentuk norma-norma yang berlaku di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Nilai Instrumental
Merupakan nilai-nilai lebih lanjut dari nilai-nilai dasar yang dijabarkan secara lebih
kreatif dan dinamis dalam bentuk UUD 1945, TAP MPR, dan Peraturan perundang-undangan
lainnya.
3. 3) Nilai Praxis
Merupakan nilai-nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kehidupan nyata seharihari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Nilai praxis yang
abstrak (misalnya : menghormati, kerja sama, kerukunan, dan sebagainya), diwujudkan dalam
bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari. Dengan de mikian nilai-nilai tersebut
nampak nyata dan dapat kita rasakan bersama.
Batas Keterbukaan Ideologi Pancasila
Suatu ideologi apapun namanya, memiliki nilai-nilai dasar atau instrinsik dan nilai
instrumental. Nilai instrinsik adalah nilai yang dirinya sendiri merupakan tujuan (an end-initself). Seperangkat nilai instrinsik (nilai dasar) yang terkandung di dalam setiap ideologi
berdaya aktif. Artinya ia memberi inspirasi sekaligus energi kepada para penganutnya untuk
mencipta dan berbuat. Dengan demikian, bahwa tiap nilai instrinsik niscaya bersifat khas dan
tidak ada duanya.
Dalam ideologi Pancasila, nilai dasar atau nilai instrinsik yang dimaksud adalah nilainilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial yang menjadi jatidiri
bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang oleh bangsa Indonesia dinyatakan hasil kesepakatan
untuk menjadi dasar negara, pandangan hidup, jatidiri bangsa dan ideologi negara yang tidak
akan dapat dirubah oleh siapapun, termasuk MPR hasil pemilu.
Sedangkan nilai instrumental atau diistilahkan “dambaan instrumental”, adalah didamba
berkat efek aktual atau sesuatu yang dapat diperkirakan akan terwujud. Nilai instrumental
menurut Richard B. Brandt, adalah nilai yang niscaya dibutuhkan untuk mewujudkan nilai
instrinsik, berkat efek aktual yang dapat diperhitungkan akan dihasilkannya. Nilai isnstrumental
adalah penentu bentuk amalan dari nilai instrinsik untuk masa tententu.
Bahwa dengan sifat terbukanya ideologi, hal ini berarti disatu sisi nilai instrumental itu
bersifat dinamik, yaitu dapat disesuaikan dengan tuntutan kemajuan jaman, bahkan dapat diganti
dengan nilai instrumental lain demi terpeliharanya relevansi ideologi dengan tingkat kemajuan
masyarakat. Namun di sisi lain, penyesuaian diri maupun penggantian tersebut tidak boleh
berakibat meniadakan nilai dasar atau instrinsiknya. Dengan kata lain, bahwa keterbukaan
ideologi itu ada batasnya.
Batas jenis pertama :
Bahwa yang boleh disesuaikan dan diganti hanya nilai instrumental, sedangkan nilai
dasar atau instrinsiknya mutlak dilarang. Nilai instrumental dalam ideologi Pancsila adalah nilainilai lebih lanjut dari nilai-nilai dasar atau instrinsik yang dijabarkan secara lebih kreatif dan
dinamis dalam bentuk UUD 1945, TAP MPR, dan Peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahkan dalam mewujudkan nilai-nilai instrumental yang lebih kreatif dan dinamis sehingga
dengan mudah dapat diimplementasikan oleh masyarakat, dapat dituangkan dalam bentuk nilai
praxis.
4. Nilai praxis, merupakan nilai-nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kehidupan
nyata sehari-hari (living reality) baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun
bernegara. Nilai praxis yang bersifat abstrak, seperti : menghormati, kerja sama, kerukunan,
gotong royong, toleransi dan sebagainya, diwujudkan dalam bentuk sikap, perbuatan, dan
tingkah laku sehari-hari.
Batas jenis kedua, yaitu terdiri dari 2 (dua) buah norma :
1)
Penyesuaian nilai instrumental pada tuntutan kemajuan jaman, harus dijaga agar daya kerja
dari nilai instrumental yang disesuaikan itu tetap memadai untuk mewujudkan nilai instrinsik
yang bersangkutan. Sebab jika nilai instrumental penyesuaian tersebut berdaya kerja lain, maka
nilai instrinsik yang bersangkutan tak akan pernah terwujud.
2)
Nilai instrumental pengganti, tidak boleh bertentangan antara linea recta dengan nilai
instumental yang diganti. Sebab bila bertentangan, berarti bertentangan pula dengan nilai
instrinsiknya yang berdaya meniadakan nilai instrinsik yang bersangkutan.