SlideShare a Scribd company logo
1 of 49
Download to read offline
1
PERKEMBANGAN
PERTAMBANGAN DI
INDONESIA
Pertemuan 1
TA 4221 – Kebijakan Pertambangan
Perkembangan Sampai 1942 (1)
 Kegiatan pertambangan di Indonesia telah berlangsung
sejak ratusan tahun yang lalu.
 Bahan galian yang ditambang umumnya emas dan
timah. Namun kegiatan pertambangan tersebut
umumnya bersifat terbatas.
 Indikasi adanya kegiatan pertambangan, pada tahun
1710 VOC membeli timah dari Sultan Palembang. Selain
itu tercatat bahwa VOC terlibat dalam perdagangan
timah yang berasal dari Kepulauan Riau, Bangka, dan
Belitung.
2
Perkembangan Sampai 1942 (2)
 Sejalan dengan perkembangan industri di Eropa pada
abad 18 – 19, kebutuhan akan bahan tambang juga
mengalami peningkatan.
 Pemerintah Hindia Belanda melakukan kegiatan
eksplorasi pada akhir abad 19.
 Tahun 1816 dimulai penambangan timah di P. Bangka.
 Tahun 1852 sebuah konsesi pertambangan timah
diberikan di P. Belitung.
 Tahun 1887 dimulai pertambangan timah di P. Singkep.
Perkembangan Sampai 1942 (3)
 Tahun 1849 dibuka tambang batubara di Pengaron
(Kalimantan Selatan).
 Tahun 1868 ditemukan cadangan batubara Ombilin dan
mulai ditambang tahun 1892 karena dibutuhkan waktu
untuk pembangunan rel kereta api melintasi pegunungan
Bukit Barisan ke pelabuhan di dekat kota Padang.
 Perkembangan pesat berlangsung mulai awal abad ke-
20 dengan dikembangkannya tambang-tambang baru
seperti; Bukit Asam di Tanjung Enim (Sumatra Selatan)
tahun 1919 dan tambang emas di Cikotok (Jawa Barat)
ditemukan tahun 1926 dan beroperasi tahun 1936.
3
Perkembangan Sampai 1942 (4)
 Dari segi peraturan pertambangan, Indische Mijnwet
ditetapkan tahun 1899 memisahkan hak penambangan
dengan hak atas tanah.
 Dinyatakan bahwa kekayaan bahan galian adalah milik
negara. Hak untuk melakukan penyelidikan umum
diberikan kepada Bangsa belanda atau bangsa lainnya
dan perusahaan yang didirikan di Belanda atau wilayah
Hindia Belanda.
 Luas wilayah penyelidikan umum maksimum 10.000 Ha
untuk waktu 3 tahun dan dapat diperpanjang dua kali
satu tahun.
Perkembangan Sampai 1942 (5)
 Indische Mijnwet 1899 mengalami penambahan dan
penyempurnaan pada tahun 1910 dan 1918.
 Tahun 1906 dikeluarkan Mijnordonantie. Peraturan
tersebut menyatakan bahwa pemerintah pusat
berwenang mengatur perijinan untuk pertambangan
bahan galian logam, batubara, batu permata, dan
beberapa bahan galian penting lainnya. Sementara
untuk bahan galian yang dianggap kurang penting diatur
oleh penguasa daerah.
4
Perkembangan Sampai 1942 (6)
 Pengusahaan pertambangan dilakuan oleh:
 Pemerintah Hindia Belanda untuk bahan galian yang dinilai
sangat vital; tambang batubara Ombilin dan Bukit Asam,
tambang timah di Bangka,
 Patungan antara pemerintah dengan swasta; tambang timah di
Belitung dan Singkep,
 Pemilikan oleh pemerintah namun sepenuhnya dikontrakkan
kepada swasta; tambang belerang di Kawah Putih Jawa Barat.
 Diusahakan oleh swasta.
Perkembangan Sampai 1942 (7)
 Menurut Ter Brake (1944) sampai dengan akhir tahun
1938 jumlah konsesi yang berlaku terdiri dari:
 268 konsesi yang tercakup dalam Indische Mijnwet,
 148 konsesi untuk bahan galian yang tidak tercantum dalam
Indische Mijnwet (bukan logam yang dianggap kurang penting),
 14 ijin eksplorasi dalam rangka 5a contract,
 34 ijin eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka 5a contract,
 2 ijin penambangan patungan pemerintah dengan swasta,
 2 ijin penambanganuntuk swasta yang bekerja sebagai
kontraktor dari pemerintah,
 3 ijin penambangan untuk badan usaha milik pemerintah.
5
Perkembangan Sampai 1942 (8)
No. Bahan Galian unit 1938 1939 1940 1941
1 Timah ton 27,737 28,340 43,890 54,170
2 Bauksit ton 243,350 230,670 275,220 180,190
3 Bijih Nikel ton 20,000 23,540 55,540 55,570
4 Emas kg 2,378 2,525 2,801 2,562
5 Perak kg 18,018 19,233 46,641 56,933
6 Bijih Mangan ton 9,469 12,074 11,570 13,880
7 Batubara ton 1,456,650 1,780,632 2,000,000 2,028,875
8 Aspal Alam ton 6,224 5,383 740 8,000
Perkembangan Perioda 1942 – 1949
(1)
 Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) beberapa
tambang dilanjutkan oleh pemerintah pendudukan
Jepang walaupun produksinya merosot.
 Pemerintah pendudukan Jepang berusaha mencari
cebakan baru dan membuka tambang baru.
 Upaya pemerintah pendudukan Jepang:
 Penambangan batubara di Bayah, Cisaat, dan Ngandang (Jabar)
 Penambangan nikel dan pabrik nikel di Pomalaa (Sultra)
 Pembuatan kokas di Pulau Laut
 Penemuan bijih nikel di Pulau Gebe (Maluku)
 Penemuan bijih besi di Gunung Tanalang (Kalsel), dll
6
Perkembangan Perioda 1942 – 1949
(2)
 Setelah perang dunia II selesai, Belanda ingin kembali ke
Indonesia dengan membentuk pemerintah sipil Hindia
Belanda.
 Di beberapa tambang, Belanda kembali dan melakukan
rehabilitasi, seperti tambang timah di Bangka dan
Belitung serta tambang bauksit di Kijang Pulau Bintan.
 Beberapa tambang di Jawa terus diupayakan secara
kecil-kecilan, seperti tambang batubara di Bayah, Cisaat,
dan Ngandang serta tambang emas di Cikotok.
Perkembangan Perioda 1942 – 1949
(3)
No. Bahan Galian unit 1942 1943 1944
1 Timah ton 10,000 15,133 6,069
2 Bauksit ton 250,000 300,000 200,000
3 Bijih Nikel ton 27,812 77,532 58,462
4 Batubara ton 1,038,000 753,000
7
Perkembangan Perioda 1950 – 1966
(1)
 Setelah penyerahan kekuasaan kepada pemerintah
Indonesia, urusan pertambangan yang sudah sangat
terbengkalai mulai dibenahi.
 Perusahaan tambang yang tadinya dimiliki oleh
pemerintah Hindia Belanda dikuasai oleh pemerintah
Republik Indonesia; tambang batubara di Ombilin dan
Bukit Asam dan tambang timah di Bangka.
 Hubungan yang memburuk antara Indonesia dan Belanda
mendorong nasionalisasi semua perusahaan tambang
milik Belanda di Indonesia tahun 1957 termasuk tambang
swasta Belanda.
Perkembangan Perioda 1950 – 1966
(2)
 Tambang yang dinasionalisasi adalah tambang bauksit di
Kijang, tambang timah di Singkep dan Belitung, serta
tambang batubara di Loa Kulu (Kaltim).
 Semua tambang tersebut berada di bawah koordinasi Biro
Urusan Perusahaan Tambang Negara (BUPTAN).
 Tahun 1961 BUPTAN dibubarkan dan dibentuk Badan
Pimpinan Umum (BPU) terdiri dari BPU Pertambangan
Timah Negara, BPU Pertambangan Batubara Negara dan
BPU Pertambangan Umum Negara.
8
Perkembangan Perioda 1950 – 1966
(3)
 Tahun 1960 keluar Peraturan Pemerintah No. 37 tahun
1960 yang kemudian berubah menjadi Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).
Pertama kalinya Indonesia memiliki sebuah undang-
undang tentang pertambangan nasional.
 Undang-undang tersebut tidak dapat mendorong
berkembangnya industri pertambangan Indonesia yang
terus menurun sejak Perang Dunia ke II.
Perkembangan Perioda 1950 – 1966
(4)
No. Bahan Galian unit 1955 1960 1965 1966
1 Timah ton 33,822 22,350 14,934 12,769
2 Bauksit ton 263,675 395,678 688,259 701,223
3 Bijih Nikel ton 13,000 102,003 117,402
4 Emas kg 168 209 128
5 Perak kg 9,163 9,293 6,867
6 Bijih Mangan ton 1,150 990
7 Batubara ton 700,446 650,511 390,548 319,829
9
Perkembangan Sejak 1966 (1)
 Orde Baru memungkinkan masuknya modal asing ke
Indonesia. Industri pertambangan berkembang dengan
pesat, dengan diawali dan disyahkannya:
 UU No.11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan dan peraturan pelaksanaannya,
 PP no.32/1969,
 UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing.
 Organisasi BPU yang dibentuk tahun 1961 dibubarkan.
Tahun 1968 dibentuk perusahaan negara di bidang
pertambangan, yaitu PN Tambang Timah, PN Tambang
Batubara, dan PN Aneka Tambang.
Perkembangan Sejak 1966 (2)
 Bentuk perusahaan negara dianggap kurang dapat
mendukung perkembangan usaha pertambangan, oleh
karenanya perusahaan tersebut diganti menjadi
perseroan atau perusahaan umum.
 Tahun 1974 terbentuk PT Aneka Tambang (Persero),
tahun 1976 terbentuk PT Tambang Timah (Persero,
tahun 1980 terbentuk PT Tambang Batubara Bukit Asam
(Persero).
 PN Tambang Batubara diganti menjadi Perum Tambang
Batubara pada tahun 1984, dan pada tahun 1990 dilebur
ke PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero)
10
Perkembangan Sejak 1966 (3)
 Kebijakan ekonomi dan keuangan yang ditempuh sejak akhir
tahun 1960-an mendorong pertumbuhan aktivitas perusahaan
pertambangan milik negara.
 PT Tambang Timah menambah armada kapal keruk,
mengembangkan cadangan timah darat dan lepas pantai.
 PT Aneka Tambang membangun pabrik feronikel di Pomalaa,
membuka tambang nikel di P. Gebe, tambang pasir besi di
Cilacap.
 PT Tambang Batubara Bukit Asam mengembangkan
tambang batubara modern di Tanjung Enim (Sumsel) dan
mengembangkan kembali tambang Ombilin.
Perkembangan Sejak 1966 (4)
 PMA di bidang pertambangan diawali dengan penerbitan
undangan internasional oleh Departemen Pertambangan
kepada perusahaan pertambangan internasional.
 Tahun 1966 disebarkan undangan untuk pengembangan
timah disusul tahun 1967 untuk pengembangan nikel.
 Undangan eksplorasi mineral umum disebarkan tahun
1968, sedang untuk batubara tahun 1978.
 Kontrak Karya pertama di bidang pertambangan ditanda
tangani April 1967 dengan Freeport Sulphur Company USA
untuk pengembangan tambang tembaga di Ertsberg, Irja.
11
Perkembangan Sejak 1966 (5)
 Juli 1968 ditandatangani Kontrak Karya untuk
penambangan nikel di daerah Sorowako, Sulawesi
dengan INCO, Kanada.
 PMA di bidang pertambangan berkembang dalam
bentuk Kontrak Karya yang hingga tahun 1998 telah
mencapai generasi ke-7.
 Skema yang sedikit berbeda terjadi pada PMA di bidang
batubara. Diawali dengan kontrak antara PN Tambang
Batubara dengan Shell Mijnbouw NV untuk
pengembangan batubara di Sumsel dengan pola kontrak
bagi hasil.
Perkembangan Sejak 1966 (6)
 Selanjutnya disepakati pola yang diterapkan adalah
perpaduan antara kontrak bagi hasil dengan kontrak
karya penambangan.
 Tahun 1978 Shell Mijnbouw NV mengundurkan diri
walaupun sudah mengeluarkan dana untuk kegiatan
eksplorasi sekitar USD 60 juta dan menemukan
cadangan batubara yang besar di daerah Bangko.
 Tahun 1978 PN Tambang Batubara mengundang
investor mancanegara untuk melakukan penambangan
di beberapa blok cadangan di Kaltim dan Kalsel.
12
Perkembangan Sejak 1966 (7)
 Tahun 1981 ditandatangani perjanjian kerjasama dengan
tiga kontraktor dan menandai kontrak kerjasama
batubara generasi pertama.
 3 Januari 1995 peranan PT Tambang Batubara Bukit
Asam (Persero) sebagai principal dialihkan kepada
pemerintah (Departemen Pertambangan dan Energi) dan
selanjutnya disebut sebagai Kontrak Karya Batubara.
 Selain skema di atas, skema Kuasa Pertambangan dan
pertambangan bahan galian golongan C yang diatur oleh
Gubernur juga mengalami peningkatan.
SELESAI
13
1
PERKEMBANGAN
PERATURAN DI BIDANG
PERTAMBANGAN
Pertemuan 2
TA 4221 – Kebijakan Pertambangan
2
Perundang-undangan Pertambangan
Indonesia
 Perkembangan Kebijakan Pertambangan Indonesia
berlangsung sejalan dengan perkembangan politik di
NKRI.
 Dari 1950 hingga sekarang Undang-undang
Pertambangan yang diberlakukan telah empat kali
berganti:
1. 1950 – 1959: Indische Mijnwet 1899
2. 1960 – 1967: UU No.37 Prp Tahun 1960
3. 1967 – 2009: UU No.11 Tahun 1967
4. 2009 – Skrg: UU No.4 Tahun 2009
14
3
Perioda 1950 – 1959 (1)
 Indonesia mewarisi Indische Mijnwet 1899 dari ex
Hindia-Belanda (dengan amandemen tahun 1910 dan
1918).
 Muncul Tuntutan Politik: “DPRS-RI menerima Mosi
Teuku Moh Hasan dkk (1951) yang a.l. mendesak
pemerintag untuk segera menerbitkan Undang-Undang
Pertambangan Nasional”.
 Pemerintah yang silih berganti tidak berhasil
menyiapkan RUU Pertambangan Nasional.
4
Perioda 1950 – 1959 (2)
 Perioda instabilitas sosial-politik sejak 1950 berakhir
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959: kembali
pada UUD 1945.
 Manifesto politik RI (Pidato Presiden RI 17 Agustus
1959) dijadikan Garis Besar Haluan Negara.
 Dewan Perancang Nasional berhasil menyusun Pola
Pembangunan Semesta Berencana. Pembangunan
akan dibiayai sendiri dari hasil eksploitasi sumberdaya
alam Indonesia sendiri.
 Pemerintah menerbitkan PERPU yang melahirkan UU
No.37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan.
15
5
Catatan Mengenai UU No. 37 Prp
Tahun 1960 (1)
 UU No. 37 Prp Tahun 1960 merupakan Undang-Undang
Pertambangan Nasional yang pertama.
 Penerbitannya dengan tegas mengacu pada:
 Pasal 33 UUD 1945
 Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959
 Manifesto Politik RI 17 Agustus 1959
 Sesuai iklim ekonomi terpimpin pada saat
pembuatannya, undang-undang ini sangat sentralistik
dan etatis, sangat membatasi kesempatan berusaha
modal swasta, dan tidak memungkinkan penanaman
modal asing.
6
Catatan Mengenai UU No. 37 Prp
Tahun 1960 (2)
 UU No. 37 Prp Tahun 1960 memuat hal-hal dan konsep
baru yang tidak terdapat dalam Indische Mijnwet, a.l.
tentang:
 Penggolongan bahan galian
 Kuasa Pertambangan (KP) dan Surat Ijin Pertambangan Daerah
(SIPD) sebagai dasar hukum/ijin usaha pertambangan
 Pembentukan Dewan Pertambangan
 Konsep Pertambangan Rakyat
 Perusahaan Negara (PN) dan Perusahaan Daerah (PD) dalam
pertambangan.
 UU No. 37 Prp Tahun 1960 terbukti gagal total untuk
menghidupkan pertambangan di Indonesia.
16
7
Perkembangan 1965 – 1966
 Pergolakan politik 1965/1966 melahirkan
Pemerintah “Orde Baru” dan reformasi besar-
besaran dalam kebijaksanaan ekonomi nasional.
 Sidang Umum MPRS 1966 menghasilkan TAP
MPRS No. XXIII/MPRS/1966 yang menggariskan
Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi
dan Pembangunan Nasional.
8
Perkembangan 1966 – 1967
 TAP MPRS No. XXIII/MPRS/1966 antara lain
menetapkan bahwa:
 Kekayaan potensi alam Indonesia perlu digali dan diolah agar
dapat dijadikan kekayaan ekonomi riil,
 Modal, teknologi, dan keahlian dari luar negeri dapat
dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi
serta pembangunan semesta,
 Perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai penanaman
modal asing dan modal domestik.
 UU No. 37 Prp Tahun 1960 perlu diganti untuk
memungkinkan masuknya Penanaman Modal Asing
(PMA) ke dalam Pertambangan Indonesia.
17
9
Catatan Mengenai UU No.11/1967
 Undang-undang pertambangan baru berhasil diterbitkan
bulan Desember 1967 sebagai UU No.11/1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
 Sesuai suasana dan keadaan saat penyusunan naskah
RUU-nya, semangat UU No.11/1967 masih
mencerminkan kebijaksanaan yang sentralistik.
 Perusahaan Negara masih diposisikan harus tetap
memegang peran utama dalam pertambangan Indonesia
dan PMA sebagai “pelengkap bila diperlukan”.
10
Perkembangan 1997 – 2000
 Krisis ekonomi dan politik 1997/1998 berakibat buruk
pada pertambangan Indonesia.
 Euforia reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang
tidak tertib menyebabkan rusaknya iklim investasi.
Pertambangan tanpa ijin meluas dan puluhan investor
meninggalkan Indonesia.
 Kegiatan “Grassroot Exploration” praktis terhenti sejak
1999/2000.
 PMA tidak ada lagi yang masuk dalam pertambangan
Indonesia.
18
11
Perioda Transisi Dalam Perundangan
Pertambangan Indonesia (1)
 Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 dan
berlakunya otonomi pemerintahan daerah (sejak 2001),
maka UU No. 11 Tahun 1967 tidak dapat diberlakukan
lagi.
 Untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1967,
pemerintah menyiapkan RUU Pertambangan Mineral
dan Batubara (RUU PMB).
12
Perioda Transisi Dalam Perundangan
Pertambangan Indonesia (2)
 Menunggu terbitnya UU Pertambangan baru, maka
untuk mengisi “kekosongan” perundangan, telah
diterbitkan:
1. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Kepmen
ESDM No.1453.K/29/MEM/2000 tentang “Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Tugas pemerintah di Bidang Pertambangan
Umum”.
2. Peraturan Pemerintah No.75/2001 tentang “Perubahan Kedua
atas PP No.32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11
Tahun 1967”.
19
13
Catatan Dalam Penyusunan UU PMB
(1)
 Penyusunan naskah undang-undang pertambangan
baru tidak mudah karena tidak adanya kejelasan dan
arahan kebijaksanaan yang hendak ditempuh
pemerintah.
 Naskah RUU PMB hanya merujuk pada Pasal 33 UUD
1945 dalam mukadimah “Menimbang dan Mengingat”-
nya. Tidak ada rujukan pada sesuatu ketetapan MPR
ataupun undang-undang lain.
 Dalam banyak hal rumusan kebijaksanaan dalam
ketentuan RUU-PMB sangat berbeda dengan apa yang
tercantum dalam UU No.11/1967.
14
Catatan Dalam Penyusunan UU PMB
(2)
 Hal-hal baru dalam RUU PMB yang sangat berbeda
dengan UU No.11/1967:
 Dasar hukum dan bentuk perijinan usaha pertambangan,
 Desentralisasi wewenang pengurusan/pengelolaan
pertambangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
 Penggolongan (pengelompokan) usaha pertambangan
 Pemberian perlakuan yang sama pada PMA dan PMDN
 RUU PMB cukup mengatur hal-hal yang berkenaan
dengan lingkungan hidup, pengembangan masyarakat,
pemberdayaan masyarakat, dll., yang belum cukup
ataupun “tidak sempat” diatur dalam UU No.11/1967.
20
15
SELESAI
1
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
MINERAL:
UU NO.11 TAHUN 1967
Pertemuan 3 dan 4
TA 4221 – Kebijakan Pertambangan
21
2
Pengelolaan Sumberdaya Mineral
 Undang-undang pertambangan yang dipergunakan oleh
pemerintah Republik Indonesia:
 UU No. 37 Prp Tahun 1960
 UU No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan
 UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
 Bahasan mengenai pengelolaan sumberdaya mineral
akan difokuskan pada UU No.11 Tahun 1967.
3
Penguasaan Bahan Galian
 Segala bahan galian yang terdapat dalam
wilayah hukum pertambangan Indonesia yang
merupakan endapan-endapan alam sebagai
karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah
kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh
karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh
Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
22
1
Penggolongan Bahan Galian
 Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan :
 a. golongan bahan galian strategis;
 b. golongan bahan galian vital.
 c. golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam
golongan a atau b.
5
Penggolongan Bahan Galian
 Penguasaan bahan galian berdasarkan golongannya:
 Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha
pertambangan bahan galian huruf a dan b dilakukan oleh
Menteri;
 Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha
pertambangan bahan galian huruf c dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu;
 Dengan memperhatikan kepentingan pembangunan Daerah
khususnya dan Negara umumnya Menteri dapat menyerahkan
pengaturan usaha pertambangan bahan galian tertentu dari
antara bahan-bahan galian huruf b kepada Pemerintah Daerah
Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.
23
6
Pelaksana Usaha Pertambangan
 Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
 Perusahaan Negara;
 Perusahaan Daerah;
 Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan
Daerah;
 Koperasi;
 Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-
syarat;
 Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau
Daerah dengan Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan
Swasta yang memenuhi syarat-syarat;
 Pertambangan Rakyat;
7
Pelaksana Usaha Pertambangan
 Menteri dapat menunjukan pihak lain sebagai kontraktor
apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh
Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang
bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.
 Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor,
Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus
berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk, dan
syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.
 Perjanjian karya mulai berlaku sesudah disahkan oleh
Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a dan/atau
yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.
24
8
Pelaksana Usaha Pertambangan
 Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan
kesempatan kepada rakyat setempat dalam
mengusahakan bahan galian untuk turut serta
membangun Negara dibidang pertambangan dengan
bimbingan Pemerintah.
 Pertambangan Rakyat hanya dapat dilakukan oleh
Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan
(Izin) Pertambangan Rakyat.
9
Lingkup Usaha Pertambangan
 penyelidikan umum;
 eksplorasi;
 eksploitasi;
 pengolahan dan pemurnian;
 pengangkutan;
 penjualan;
25
10
Kuasa Pertambangan
 Kuasa Pertambangan vs Konsesi:
 Konsesi berkonotasi pelimpahan penguasaan akan
bahan galian dari negara ke pemegang hak
 Kuasa Pertambangan – wewenang yang diberikan
oleh pemilik bahan galian (bangsa Indonesia) kepada
pemegang KP untuk melakukan usaha pertambangan
 KP pertama kali pada Perpu 37/1960
11
Kuasa Pertambangan
 Usaha pertambangan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
atau perseorangan apabila kepadanya telah diberikan kuasa
pertambangan.
 Ketentuan-ketentuan tentang isi, wewenang, luas wilayah dan
syarat-syarat kuasa pertambangan serta kemungkinan
pemberian jasa penemuan bahan galian baik langsung oleh
Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Kuasa Pertambangan diberikan dengan Keputusan Menteri.
 Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan
atau perseorangan lain bilamana memenuhi dengan
persetujuan Menteri.
 Dalam melakukan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan
suatu kuasa pertambangan, maka Pertambangan Rakyat yang
telah ada tidak boleh diganggu.
26
12
Kuasa Pertambangan
 Permintaan untuk memperoleh kuasa pertambangan
diajukan kepada Menteri.
 Luas wilayah Kuasa Pertambangan:
 KP Penyelidikan Umum maksimum 25000 ha
 KP Eksplorasi maksimum 10000 ha
 KP Eksploitasi maksimum 5000 ha
13
Kuasa Pertambangan
 Jenis-jenis Kuasa Pertambangan:
 KP Penyelidikan Umum : 1 tahun dan dapat diperpanjang 1
tahun lagi
 KP Eksplorasi : 3 tahun dan dapat diperpanjang 2 x 1 tahun; jika
akan dilanjutkan ke tahap eksploitasi maka diperpanjang 3 tahun
untuk konstruksi
 KP Eksploitasi : 30 tahun dan dapat diperpanjang dua kali 10
tahun
 KP Pengolahan & Pemurnian : 30 tahun dan dapat diperpanjang
setiap 10 tahun
 KP Pengangkutan dan Penjualan : 10 tahun dan dapat
diperpanjang setiap 5 tahun
27
14
Kuasa Pertambangan
 Berakhirnya Kuasa Pertambangan:
 karena dikembalikan;
 karena dibatalkan;
 karena habis waktunya.
 Pemegang kuasa pertambangan dapat menyerahkan
kembali kuasa perta mbangannya dengan pernyataan
tertulis kepada Menteri.
 Apabila waktu yang ditentukan dalam suatu kuasa
pertambangan telah berakhir, sedangkan untuk kuasa
pertambangan tersebut tidak diberikan perpanjangan
maka kuasa pertambangan tersebut berakhir menurut
hukum.
15
Kuasa Pertambangan dan Hak Atas
Tanah
 Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti
kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu
yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas
tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan
maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah
perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan
sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui
terlebih dahulu.
 Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari dua
pemegang kuasa pertambangan atau lebih, dibebankan
kepada mereka bersama.
28
16
Kuasa Pertambangan dan Hak Atas
Tanah
 Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas
sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang
berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah
diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang
kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan
atas dasar mufakat kepadanya:
 sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat
kuasa pertambangan atau salinannya yang sah diberitahukan
tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu
akandilakukan ;
 diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih
dahulu.
17
Kuasa Pertambangan dan Hak Atas
Tanah
 Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang
bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan,
maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang
jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa
pertambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut
atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian
sekali atau selama hak itu tidak dapat diperguanakan.
 Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada
sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah,
maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-
bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan
persetujuan Menteri.
29
18
Pungutan-Pungutan Negara
 Pemegang kuasa pertambangan membayar kepada
Negara iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi
dan/atau pembayaran-pembayaran lain yang
berhubungan dengan kuasa pertambangan yang
bersangkutan.
 Pungutan-pungutan Negara diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
 Kepada Daerah Tingkat I dan II diberikan bagian dari
pungutan-pungutan Negara tersebut, yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19
Hal-hal Lain Menyangkut
Pengelolaan Pertambangan
 Pemegang KP membayar iuran tetap dan iuran
ekplorasi/eksploitasi
 Setelah selesai harus mengembalikan agar tidak
menimbulkan penyakit dan bahaya
30
20
SELESAI
1
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
MINERAL :
UU NO. 4 TAHUN 2009
Pertemuan 5 dan 6
TA 4221 – Kebijakan Pertambangan
31
2
Pengelolaan Sumberdaya Mineral
Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi
hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai
tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam
usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
secara berkeadilan
3
Pengelolaan Sumberdaya Mineral
Bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi
serta air tanah mempunyai peranan penting dalam
memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan
daerah secara berkelanjutan;
32
4
Pengelolaan Sumberdaya Mineral
 Undang-undang pertambangan yang dipergunakan oleh
pemerintah Republik Indonesia:
 UU No. 37 Prp Tahun 1960
 UU No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan
 UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
 Bahasan mengenai pengelolaan sumberdaya mineral
akan difokuskan pada UU No.4 Tahun 2009.
Asas Pengelolaan Sumberdaya
Mineral
 Manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
 Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
 Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
 Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
33
6
Tujuan Pengelolaan Sumberdaya
Mineral
 Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya
saing;
 Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
 Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku
dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
 Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar
lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan
internasional;
 Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara,
serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat; dan
 Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara
7
Usaha Pertambangan
 Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
 pertambangan mineral; dan
 pertambangan batubara.
 Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a digolongkan atas:
 pertambangan mineral radioaktif;
 pertambangan mineral logam;
 pertambangan mineral bukan logam; dan
 pertambangan batuan.
34
8
Ijin Usaha Pertambangan
 IUP terdiri atas dua tahap:
a IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan;
b IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan.
 Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi
Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
9
Ijin Usaha Pertambangan
 IUP diberikan oleh:
a bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah
kabupaten/kota;
b gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi
setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan
bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
35
10
Ijin Usaha Pertambangan
 IUP diberikan kepada:
 badan usaha;
 koperasi; dan
 perseorangan.
11
Ijin Usaha Pertambangan
 Diberikan untuk 1 jenis mineral atau batubara
 Prioritas untuk jenis mineral lain – jika akan diusahakan
harus minta IUP baru
 Jangka waktu IUP Eksplorasi:
 Mineral logam - 8 tahun
 Mineral bukan logam - 3 tahun
 Mineral non logam jenis tertentu - 7 tahun
 Batuan - 3 tahun
 Batubara - 7 tahun
 Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk
memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan
kegiatan usaha pertambangannya.
36
12
Ijin Usaha Pertambangan
 IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan
usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil
pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang
telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
 IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral
logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua)
kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
 IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral
bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua)
kali masing-masing 5 (lima) tahun.
13
Ijin Usaha Pertambangan
 IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral
bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh)
tahun.
 IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
masing 5 (lima) tahun.
 IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 10 (sepuluh) tahun
37
14
 Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan
luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak
100.000 (seratus ribu) hektare.
 Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
 Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pemegang IUP pertama.
 Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu)
hektare.
Ijin Usaha Pertambangan
15
 Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP
dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling
banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
 Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
 Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pemegang IUP pertama.
 Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi
WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.
Ijin Usaha Pertambangan
38
16
 Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima
ribu) hektare.
 Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan
dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan
mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
 Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pemegang IUP pertama.
 Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan
luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.
Ijin Usaha Pertambangan
17
 Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak
50.000 (lima puluh ribu) hektare.
 Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara
dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan
mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
 Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pemegang IUP pertama.
 Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP
dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
Ijin Usaha Pertambangan
39
18
Ijin Pertambangan Rakyat
 Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada
penduduk setempat, baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
 Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan
pelaksanaan pemberian IPRkepada camat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Untuk memperoleh IPR pemohon wajib menyampaikan
surat permohonan kepada bupati/walikota.
19
Ijin Pertambangan Rakyat
 Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan
kepada:
 perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;
 kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare; dan/atau
 koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.
 IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang.
40
20
Ijin Usaha Pertambangan Khusus
 IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan
kepentingan daerah.
 IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam
1 (satu) WIUPK.
 Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang
dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
 Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan
mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri.
21
Ijin Usaha Pertambangan Khusus
 Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan
mineral lain yang ditemukan tersebut.
 Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk
mengusahakan mineral lain yang ditemukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga
mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.
 IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain
oleh Menteri.
41
22
 Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat
(1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28.
 IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik
berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
maupun badan usaha swasta.
 Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas
dalam mendapatkan IUPK.
 Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang
WIUPK.
Ijin Usaha Pertambangan Khusus
23
 IUPK terdiri atas dua tahap:
 IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan;
 IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan.
 Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK
Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau
seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ijin Usaha Pertambangan Khusus
42
24
 luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling
banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
 luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi
pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling
banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
 luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak
50.000 (lima puluh ribu) hektare.
 luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi
pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak
15.000 (lima belas ribu) hektare.
Ijin Usaha Pertambangan Khusus
25
 jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral
logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.
 jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara
dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.
 jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau
batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
masing 10 (sepuluh) tahun.
Ijin Usaha Pertambangan Khusus
43
1. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
2. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi
Indonesia;
3. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara;
4. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat setempat; dan
mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.
Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
 Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang
baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:
1. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
2. keselamatan operasi pertambangan;
3. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan,
termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang;
4. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
5. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha
pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai
memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke
media lingkungan.
Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
44
1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan
rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat
mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK
Operasi Produksi.
2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang
dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang.
3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan
tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak
atas tanah.
Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan
reklamasi dan dana jaminan pascatambang.
2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk
melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana
jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak
melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan
rencana yang telah disetujui
Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
45
 Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara.
 Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam
negeri.
 Pemegang IUP dan IUPKdapat mengolah dan memurnikan
hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.
Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama
dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang
telah mendapatkan IUP atau IUPK.
2) IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus untuk
pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh Menteri,
gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil
penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK.
Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
46
 Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang
IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib
melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah
daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
atau badan usaha swasta nasional.
 Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
33
Jasa Pertambangan
 Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan
jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.
 Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau
IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan
lain yang berbadan hukum Indonesia.
 Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak
perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa
pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang
diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.
 Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila:
 tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah
tersebut; atau
 tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu.
47
34
 Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:
 konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di
bidang:
 penyelidikan umum;
 eksplorasi;
 studi kelayakan;
 konstruksi pertambangan;
 pengangkutan;
 lingkungan pertambangan;
 pascatambang dan reklamasi; dan/atau
 keselamatan dan kesehatan kerja.
 konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang:
 penambangan; atau
 pengolahan dan pemurnian
Jasa Pertambangan
35
 Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan
negara dan pendapatan daerah.
 Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan
negara bukan pajak.
 Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas:
 pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan; dan
 bea masuk dan cukai.
Jasa Pertambangan
48
36
 Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
 iuran tetap;
 iuran eksplorasi;
 iuran produksi; dan
 kompensasi data informasi.
 Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
 pajak daerah;
 retribusi daerah; dan
 pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Jasa Pertambangan
37
 Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan
mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar
4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam
persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan
bersih sejak berproduksi.
 Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
 pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen);
 pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar
2,5% (dua koma lima persen); dan
 pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama
mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
Jasa Pertambangan
49
38
SELESAI

More Related Content

What's hot

Alat Berat Tambang dan fungsinya
Alat Berat Tambang dan fungsinyaAlat Berat Tambang dan fungsinya
Alat Berat Tambang dan fungsinyaMario Yuven
 
Proposal kegiatan perencanaan pemboran
Proposal kegiatan perencanaan pemboranProposal kegiatan perencanaan pemboran
Proposal kegiatan perencanaan pemboranLeonardoSitorus
 
Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...
Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...
Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...Sylvester Saragih
 
Room and pillar_dan_longwall_batubara
Room and pillar_dan_longwall_batubaraRoom and pillar_dan_longwall_batubara
Room and pillar_dan_longwall_batubaraSyahwil Ackbar
 
Pola pengeboran tamka dan tamda
Pola pengeboran tamka dan tamdaPola pengeboran tamka dan tamda
Pola pengeboran tamka dan tamdaUDIN MUHRUDIN
 
Perencanaan peledakan
Perencanaan peledakanPerencanaan peledakan
Perencanaan peledakanUDIN MUHRUDIN
 
Perencanaan tambang
Perencanaan tambangPerencanaan tambang
Perencanaan tambangramaldini
 
Gophering and Glory Hole Underground Mining
Gophering and Glory Hole Underground MiningGophering and Glory Hole Underground Mining
Gophering and Glory Hole Underground MiningIhsan Arif
 
Metode Penambangan Cut and Fill
Metode Penambangan Cut and FillMetode Penambangan Cut and Fill
Metode Penambangan Cut and FillSastra Diharlan
 
Primer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPA
Primer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPAPrimer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPA
Primer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPAUNIVERSITY OF PAPUA
 
Kuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalen
Kuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalenKuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalen
Kuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalenSylvester Saragih
 
Peralatan tambang bawah tanah 1
Peralatan tambang bawah tanah 1Peralatan tambang bawah tanah 1
Peralatan tambang bawah tanah 1Sylvester Saragih
 
pola peledakan tamka dan tamda
pola peledakan tamka dan tamdapola peledakan tamka dan tamda
pola peledakan tamka dan tamdaUDIN MUHRUDIN
 
Pengantar teknologi mineral 2
Pengantar teknologi mineral 2Pengantar teknologi mineral 2
Pengantar teknologi mineral 2Sylvester Saragih
 
75455276 diktat ventilasitambang
75455276 diktat ventilasitambang75455276 diktat ventilasitambang
75455276 diktat ventilasitambangNando Ltoruan
 

What's hot (20)

Contoh Presentasi Tentang Pertambangan
Contoh Presentasi Tentang PertambanganContoh Presentasi Tentang Pertambangan
Contoh Presentasi Tentang Pertambangan
 
Alat Berat Tambang dan fungsinya
Alat Berat Tambang dan fungsinyaAlat Berat Tambang dan fungsinya
Alat Berat Tambang dan fungsinya
 
Proposal kegiatan perencanaan pemboran
Proposal kegiatan perencanaan pemboranProposal kegiatan perencanaan pemboran
Proposal kegiatan perencanaan pemboran
 
Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...
Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...
Tugas makalah teknik eksplorasi tambang peralatan yang digunakan alam eksplor...
 
Room and pillar_dan_longwall_batubara
Room and pillar_dan_longwall_batubaraRoom and pillar_dan_longwall_batubara
Room and pillar_dan_longwall_batubara
 
Pola pengeboran tamka dan tamda
Pola pengeboran tamka dan tamdaPola pengeboran tamka dan tamda
Pola pengeboran tamka dan tamda
 
Pemboran tambang
Pemboran tambangPemboran tambang
Pemboran tambang
 
ANALISA EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS
ANALISA EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS ANALISA EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS
ANALISA EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS
 
Perencanaan peledakan
Perencanaan peledakanPerencanaan peledakan
Perencanaan peledakan
 
Perencanaan tambang
Perencanaan tambangPerencanaan tambang
Perencanaan tambang
 
Gophering and Glory Hole Underground Mining
Gophering and Glory Hole Underground MiningGophering and Glory Hole Underground Mining
Gophering and Glory Hole Underground Mining
 
1.geoteknik tambang
1.geoteknik tambang1.geoteknik tambang
1.geoteknik tambang
 
Metode Penambangan Cut and Fill
Metode Penambangan Cut and FillMetode Penambangan Cut and Fill
Metode Penambangan Cut and Fill
 
Primer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPA
Primer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPAPrimer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPA
Primer, booster dan alat pemicu peledakan. OBEL MINE'13 UNIPA
 
Kuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalen
Kuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalenKuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalen
Kuliah 10-bab-ix-kadar-batas-n-ekivalen
 
Peralatan tambang bawah tanah 1
Peralatan tambang bawah tanah 1Peralatan tambang bawah tanah 1
Peralatan tambang bawah tanah 1
 
pola peledakan tamka dan tamda
pola peledakan tamka dan tamdapola peledakan tamka dan tamda
pola peledakan tamka dan tamda
 
Materi 2
Materi 2Materi 2
Materi 2
 
Pengantar teknologi mineral 2
Pengantar teknologi mineral 2Pengantar teknologi mineral 2
Pengantar teknologi mineral 2
 
75455276 diktat ventilasitambang
75455276 diktat ventilasitambang75455276 diktat ventilasitambang
75455276 diktat ventilasitambang
 

Similar to PERKEMBANGAN PERTAMBANGAN INDONESIA

1-sejarah kebijakan.pptx
1-sejarah kebijakan.pptx1-sejarah kebijakan.pptx
1-sejarah kebijakan.pptxEfrad14
 
Ptm kelompok 7
Ptm kelompok 7Ptm kelompok 7
Ptm kelompok 7jhon312
 
Pengantar bisnis
Pengantar bisnisPengantar bisnis
Pengantar bisniszurti
 
Pengantar bisnis
Pengantar bisnisPengantar bisnis
Pengantar bisnisallzurti
 
Persentase sistem penambangan underground mining in indonesia
Persentase sistem penambangan underground mining in indonesiaPersentase sistem penambangan underground mining in indonesia
Persentase sistem penambangan underground mining in indonesiaDaud Manatap Sitorus
 
Genesa bahan galian bijih nikel laterit
Genesa bahan galian bijih nikel lateritGenesa bahan galian bijih nikel laterit
Genesa bahan galian bijih nikel lateritSylvester Saragih
 
Uu no. 3 thn 2020 tentang Minerba
Uu no. 3 thn 2020 tentang MinerbaUu no. 3 thn 2020 tentang Minerba
Uu no. 3 thn 2020 tentang MinerbaCIkumparan
 
Pendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi ok
Pendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi okPendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi ok
Pendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi okElis Diana Ulfa
 
Umi Zaenab.pptx
Umi Zaenab.pptxUmi Zaenab.pptx
Umi Zaenab.pptxUMIZAENAB1
 

Similar to PERKEMBANGAN PERTAMBANGAN INDONESIA (11)

1-sejarah kebijakan.pptx
1-sejarah kebijakan.pptx1-sejarah kebijakan.pptx
1-sejarah kebijakan.pptx
 
Ptm kelompok 7
Ptm kelompok 7Ptm kelompok 7
Ptm kelompok 7
 
Pengantar bisnis
Pengantar bisnisPengantar bisnis
Pengantar bisnis
 
Pengantar bisnis
Pengantar bisnisPengantar bisnis
Pengantar bisnis
 
Persentase sistem penambangan underground mining in indonesia
Persentase sistem penambangan underground mining in indonesiaPersentase sistem penambangan underground mining in indonesia
Persentase sistem penambangan underground mining in indonesia
 
Genesa bahan galian bijih nikel laterit
Genesa bahan galian bijih nikel lateritGenesa bahan galian bijih nikel laterit
Genesa bahan galian bijih nikel laterit
 
Uu no. 3 thn 2020 tentang Minerba
Uu no. 3 thn 2020 tentang MinerbaUu no. 3 thn 2020 tentang Minerba
Uu no. 3 thn 2020 tentang Minerba
 
Bab i kp
Bab i kpBab i kp
Bab i kp
 
ISI 2.pdf
ISI 2.pdfISI 2.pdf
ISI 2.pdf
 
Pendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi ok
Pendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi okPendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi ok
Pendahuluan, sejarah dan pembentukan minyak bumi ok
 
Umi Zaenab.pptx
Umi Zaenab.pptxUmi Zaenab.pptx
Umi Zaenab.pptx
 

Recently uploaded

Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaRenaYunita2
 
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxPembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxmuhammadrizky331164
 
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++FujiAdam
 
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptxMuhararAhmad
 
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open StudioSlide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studiossuser52d6bf
 
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.pptSonyGobang1
 

Recently uploaded (6)

Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
 
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxPembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
 
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
 
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
 
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open StudioSlide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
 
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
 

PERKEMBANGAN PERTAMBANGAN INDONESIA

  • 1. 1 PERKEMBANGAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA Pertemuan 1 TA 4221 – Kebijakan Pertambangan Perkembangan Sampai 1942 (1)  Kegiatan pertambangan di Indonesia telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu.  Bahan galian yang ditambang umumnya emas dan timah. Namun kegiatan pertambangan tersebut umumnya bersifat terbatas.  Indikasi adanya kegiatan pertambangan, pada tahun 1710 VOC membeli timah dari Sultan Palembang. Selain itu tercatat bahwa VOC terlibat dalam perdagangan timah yang berasal dari Kepulauan Riau, Bangka, dan Belitung.
  • 2. 2 Perkembangan Sampai 1942 (2)  Sejalan dengan perkembangan industri di Eropa pada abad 18 – 19, kebutuhan akan bahan tambang juga mengalami peningkatan.  Pemerintah Hindia Belanda melakukan kegiatan eksplorasi pada akhir abad 19.  Tahun 1816 dimulai penambangan timah di P. Bangka.  Tahun 1852 sebuah konsesi pertambangan timah diberikan di P. Belitung.  Tahun 1887 dimulai pertambangan timah di P. Singkep. Perkembangan Sampai 1942 (3)  Tahun 1849 dibuka tambang batubara di Pengaron (Kalimantan Selatan).  Tahun 1868 ditemukan cadangan batubara Ombilin dan mulai ditambang tahun 1892 karena dibutuhkan waktu untuk pembangunan rel kereta api melintasi pegunungan Bukit Barisan ke pelabuhan di dekat kota Padang.  Perkembangan pesat berlangsung mulai awal abad ke- 20 dengan dikembangkannya tambang-tambang baru seperti; Bukit Asam di Tanjung Enim (Sumatra Selatan) tahun 1919 dan tambang emas di Cikotok (Jawa Barat) ditemukan tahun 1926 dan beroperasi tahun 1936.
  • 3. 3 Perkembangan Sampai 1942 (4)  Dari segi peraturan pertambangan, Indische Mijnwet ditetapkan tahun 1899 memisahkan hak penambangan dengan hak atas tanah.  Dinyatakan bahwa kekayaan bahan galian adalah milik negara. Hak untuk melakukan penyelidikan umum diberikan kepada Bangsa belanda atau bangsa lainnya dan perusahaan yang didirikan di Belanda atau wilayah Hindia Belanda.  Luas wilayah penyelidikan umum maksimum 10.000 Ha untuk waktu 3 tahun dan dapat diperpanjang dua kali satu tahun. Perkembangan Sampai 1942 (5)  Indische Mijnwet 1899 mengalami penambahan dan penyempurnaan pada tahun 1910 dan 1918.  Tahun 1906 dikeluarkan Mijnordonantie. Peraturan tersebut menyatakan bahwa pemerintah pusat berwenang mengatur perijinan untuk pertambangan bahan galian logam, batubara, batu permata, dan beberapa bahan galian penting lainnya. Sementara untuk bahan galian yang dianggap kurang penting diatur oleh penguasa daerah.
  • 4. 4 Perkembangan Sampai 1942 (6)  Pengusahaan pertambangan dilakuan oleh:  Pemerintah Hindia Belanda untuk bahan galian yang dinilai sangat vital; tambang batubara Ombilin dan Bukit Asam, tambang timah di Bangka,  Patungan antara pemerintah dengan swasta; tambang timah di Belitung dan Singkep,  Pemilikan oleh pemerintah namun sepenuhnya dikontrakkan kepada swasta; tambang belerang di Kawah Putih Jawa Barat.  Diusahakan oleh swasta. Perkembangan Sampai 1942 (7)  Menurut Ter Brake (1944) sampai dengan akhir tahun 1938 jumlah konsesi yang berlaku terdiri dari:  268 konsesi yang tercakup dalam Indische Mijnwet,  148 konsesi untuk bahan galian yang tidak tercantum dalam Indische Mijnwet (bukan logam yang dianggap kurang penting),  14 ijin eksplorasi dalam rangka 5a contract,  34 ijin eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka 5a contract,  2 ijin penambangan patungan pemerintah dengan swasta,  2 ijin penambanganuntuk swasta yang bekerja sebagai kontraktor dari pemerintah,  3 ijin penambangan untuk badan usaha milik pemerintah.
  • 5. 5 Perkembangan Sampai 1942 (8) No. Bahan Galian unit 1938 1939 1940 1941 1 Timah ton 27,737 28,340 43,890 54,170 2 Bauksit ton 243,350 230,670 275,220 180,190 3 Bijih Nikel ton 20,000 23,540 55,540 55,570 4 Emas kg 2,378 2,525 2,801 2,562 5 Perak kg 18,018 19,233 46,641 56,933 6 Bijih Mangan ton 9,469 12,074 11,570 13,880 7 Batubara ton 1,456,650 1,780,632 2,000,000 2,028,875 8 Aspal Alam ton 6,224 5,383 740 8,000 Perkembangan Perioda 1942 – 1949 (1)  Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) beberapa tambang dilanjutkan oleh pemerintah pendudukan Jepang walaupun produksinya merosot.  Pemerintah pendudukan Jepang berusaha mencari cebakan baru dan membuka tambang baru.  Upaya pemerintah pendudukan Jepang:  Penambangan batubara di Bayah, Cisaat, dan Ngandang (Jabar)  Penambangan nikel dan pabrik nikel di Pomalaa (Sultra)  Pembuatan kokas di Pulau Laut  Penemuan bijih nikel di Pulau Gebe (Maluku)  Penemuan bijih besi di Gunung Tanalang (Kalsel), dll
  • 6. 6 Perkembangan Perioda 1942 – 1949 (2)  Setelah perang dunia II selesai, Belanda ingin kembali ke Indonesia dengan membentuk pemerintah sipil Hindia Belanda.  Di beberapa tambang, Belanda kembali dan melakukan rehabilitasi, seperti tambang timah di Bangka dan Belitung serta tambang bauksit di Kijang Pulau Bintan.  Beberapa tambang di Jawa terus diupayakan secara kecil-kecilan, seperti tambang batubara di Bayah, Cisaat, dan Ngandang serta tambang emas di Cikotok. Perkembangan Perioda 1942 – 1949 (3) No. Bahan Galian unit 1942 1943 1944 1 Timah ton 10,000 15,133 6,069 2 Bauksit ton 250,000 300,000 200,000 3 Bijih Nikel ton 27,812 77,532 58,462 4 Batubara ton 1,038,000 753,000
  • 7. 7 Perkembangan Perioda 1950 – 1966 (1)  Setelah penyerahan kekuasaan kepada pemerintah Indonesia, urusan pertambangan yang sudah sangat terbengkalai mulai dibenahi.  Perusahaan tambang yang tadinya dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia; tambang batubara di Ombilin dan Bukit Asam dan tambang timah di Bangka.  Hubungan yang memburuk antara Indonesia dan Belanda mendorong nasionalisasi semua perusahaan tambang milik Belanda di Indonesia tahun 1957 termasuk tambang swasta Belanda. Perkembangan Perioda 1950 – 1966 (2)  Tambang yang dinasionalisasi adalah tambang bauksit di Kijang, tambang timah di Singkep dan Belitung, serta tambang batubara di Loa Kulu (Kaltim).  Semua tambang tersebut berada di bawah koordinasi Biro Urusan Perusahaan Tambang Negara (BUPTAN).  Tahun 1961 BUPTAN dibubarkan dan dibentuk Badan Pimpinan Umum (BPU) terdiri dari BPU Pertambangan Timah Negara, BPU Pertambangan Batubara Negara dan BPU Pertambangan Umum Negara.
  • 8. 8 Perkembangan Perioda 1950 – 1966 (3)  Tahun 1960 keluar Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1960 yang kemudian berubah menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU). Pertama kalinya Indonesia memiliki sebuah undang- undang tentang pertambangan nasional.  Undang-undang tersebut tidak dapat mendorong berkembangnya industri pertambangan Indonesia yang terus menurun sejak Perang Dunia ke II. Perkembangan Perioda 1950 – 1966 (4) No. Bahan Galian unit 1955 1960 1965 1966 1 Timah ton 33,822 22,350 14,934 12,769 2 Bauksit ton 263,675 395,678 688,259 701,223 3 Bijih Nikel ton 13,000 102,003 117,402 4 Emas kg 168 209 128 5 Perak kg 9,163 9,293 6,867 6 Bijih Mangan ton 1,150 990 7 Batubara ton 700,446 650,511 390,548 319,829
  • 9. 9 Perkembangan Sejak 1966 (1)  Orde Baru memungkinkan masuknya modal asing ke Indonesia. Industri pertambangan berkembang dengan pesat, dengan diawali dan disyahkannya:  UU No.11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan peraturan pelaksanaannya,  PP no.32/1969,  UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing.  Organisasi BPU yang dibentuk tahun 1961 dibubarkan. Tahun 1968 dibentuk perusahaan negara di bidang pertambangan, yaitu PN Tambang Timah, PN Tambang Batubara, dan PN Aneka Tambang. Perkembangan Sejak 1966 (2)  Bentuk perusahaan negara dianggap kurang dapat mendukung perkembangan usaha pertambangan, oleh karenanya perusahaan tersebut diganti menjadi perseroan atau perusahaan umum.  Tahun 1974 terbentuk PT Aneka Tambang (Persero), tahun 1976 terbentuk PT Tambang Timah (Persero, tahun 1980 terbentuk PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero).  PN Tambang Batubara diganti menjadi Perum Tambang Batubara pada tahun 1984, dan pada tahun 1990 dilebur ke PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero)
  • 10. 10 Perkembangan Sejak 1966 (3)  Kebijakan ekonomi dan keuangan yang ditempuh sejak akhir tahun 1960-an mendorong pertumbuhan aktivitas perusahaan pertambangan milik negara.  PT Tambang Timah menambah armada kapal keruk, mengembangkan cadangan timah darat dan lepas pantai.  PT Aneka Tambang membangun pabrik feronikel di Pomalaa, membuka tambang nikel di P. Gebe, tambang pasir besi di Cilacap.  PT Tambang Batubara Bukit Asam mengembangkan tambang batubara modern di Tanjung Enim (Sumsel) dan mengembangkan kembali tambang Ombilin. Perkembangan Sejak 1966 (4)  PMA di bidang pertambangan diawali dengan penerbitan undangan internasional oleh Departemen Pertambangan kepada perusahaan pertambangan internasional.  Tahun 1966 disebarkan undangan untuk pengembangan timah disusul tahun 1967 untuk pengembangan nikel.  Undangan eksplorasi mineral umum disebarkan tahun 1968, sedang untuk batubara tahun 1978.  Kontrak Karya pertama di bidang pertambangan ditanda tangani April 1967 dengan Freeport Sulphur Company USA untuk pengembangan tambang tembaga di Ertsberg, Irja.
  • 11. 11 Perkembangan Sejak 1966 (5)  Juli 1968 ditandatangani Kontrak Karya untuk penambangan nikel di daerah Sorowako, Sulawesi dengan INCO, Kanada.  PMA di bidang pertambangan berkembang dalam bentuk Kontrak Karya yang hingga tahun 1998 telah mencapai generasi ke-7.  Skema yang sedikit berbeda terjadi pada PMA di bidang batubara. Diawali dengan kontrak antara PN Tambang Batubara dengan Shell Mijnbouw NV untuk pengembangan batubara di Sumsel dengan pola kontrak bagi hasil. Perkembangan Sejak 1966 (6)  Selanjutnya disepakati pola yang diterapkan adalah perpaduan antara kontrak bagi hasil dengan kontrak karya penambangan.  Tahun 1978 Shell Mijnbouw NV mengundurkan diri walaupun sudah mengeluarkan dana untuk kegiatan eksplorasi sekitar USD 60 juta dan menemukan cadangan batubara yang besar di daerah Bangko.  Tahun 1978 PN Tambang Batubara mengundang investor mancanegara untuk melakukan penambangan di beberapa blok cadangan di Kaltim dan Kalsel.
  • 12. 12 Perkembangan Sejak 1966 (7)  Tahun 1981 ditandatangani perjanjian kerjasama dengan tiga kontraktor dan menandai kontrak kerjasama batubara generasi pertama.  3 Januari 1995 peranan PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) sebagai principal dialihkan kepada pemerintah (Departemen Pertambangan dan Energi) dan selanjutnya disebut sebagai Kontrak Karya Batubara.  Selain skema di atas, skema Kuasa Pertambangan dan pertambangan bahan galian golongan C yang diatur oleh Gubernur juga mengalami peningkatan. SELESAI
  • 13. 13 1 PERKEMBANGAN PERATURAN DI BIDANG PERTAMBANGAN Pertemuan 2 TA 4221 – Kebijakan Pertambangan 2 Perundang-undangan Pertambangan Indonesia  Perkembangan Kebijakan Pertambangan Indonesia berlangsung sejalan dengan perkembangan politik di NKRI.  Dari 1950 hingga sekarang Undang-undang Pertambangan yang diberlakukan telah empat kali berganti: 1. 1950 – 1959: Indische Mijnwet 1899 2. 1960 – 1967: UU No.37 Prp Tahun 1960 3. 1967 – 2009: UU No.11 Tahun 1967 4. 2009 – Skrg: UU No.4 Tahun 2009
  • 14. 14 3 Perioda 1950 – 1959 (1)  Indonesia mewarisi Indische Mijnwet 1899 dari ex Hindia-Belanda (dengan amandemen tahun 1910 dan 1918).  Muncul Tuntutan Politik: “DPRS-RI menerima Mosi Teuku Moh Hasan dkk (1951) yang a.l. mendesak pemerintag untuk segera menerbitkan Undang-Undang Pertambangan Nasional”.  Pemerintah yang silih berganti tidak berhasil menyiapkan RUU Pertambangan Nasional. 4 Perioda 1950 – 1959 (2)  Perioda instabilitas sosial-politik sejak 1950 berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959: kembali pada UUD 1945.  Manifesto politik RI (Pidato Presiden RI 17 Agustus 1959) dijadikan Garis Besar Haluan Negara.  Dewan Perancang Nasional berhasil menyusun Pola Pembangunan Semesta Berencana. Pembangunan akan dibiayai sendiri dari hasil eksploitasi sumberdaya alam Indonesia sendiri.  Pemerintah menerbitkan PERPU yang melahirkan UU No.37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan.
  • 15. 15 5 Catatan Mengenai UU No. 37 Prp Tahun 1960 (1)  UU No. 37 Prp Tahun 1960 merupakan Undang-Undang Pertambangan Nasional yang pertama.  Penerbitannya dengan tegas mengacu pada:  Pasal 33 UUD 1945  Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959  Manifesto Politik RI 17 Agustus 1959  Sesuai iklim ekonomi terpimpin pada saat pembuatannya, undang-undang ini sangat sentralistik dan etatis, sangat membatasi kesempatan berusaha modal swasta, dan tidak memungkinkan penanaman modal asing. 6 Catatan Mengenai UU No. 37 Prp Tahun 1960 (2)  UU No. 37 Prp Tahun 1960 memuat hal-hal dan konsep baru yang tidak terdapat dalam Indische Mijnwet, a.l. tentang:  Penggolongan bahan galian  Kuasa Pertambangan (KP) dan Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) sebagai dasar hukum/ijin usaha pertambangan  Pembentukan Dewan Pertambangan  Konsep Pertambangan Rakyat  Perusahaan Negara (PN) dan Perusahaan Daerah (PD) dalam pertambangan.  UU No. 37 Prp Tahun 1960 terbukti gagal total untuk menghidupkan pertambangan di Indonesia.
  • 16. 16 7 Perkembangan 1965 – 1966  Pergolakan politik 1965/1966 melahirkan Pemerintah “Orde Baru” dan reformasi besar- besaran dalam kebijaksanaan ekonomi nasional.  Sidang Umum MPRS 1966 menghasilkan TAP MPRS No. XXIII/MPRS/1966 yang menggariskan Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi dan Pembangunan Nasional. 8 Perkembangan 1966 – 1967  TAP MPRS No. XXIII/MPRS/1966 antara lain menetapkan bahwa:  Kekayaan potensi alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekayaan ekonomi riil,  Modal, teknologi, dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan semesta,  Perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai penanaman modal asing dan modal domestik.  UU No. 37 Prp Tahun 1960 perlu diganti untuk memungkinkan masuknya Penanaman Modal Asing (PMA) ke dalam Pertambangan Indonesia.
  • 17. 17 9 Catatan Mengenai UU No.11/1967  Undang-undang pertambangan baru berhasil diterbitkan bulan Desember 1967 sebagai UU No.11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.  Sesuai suasana dan keadaan saat penyusunan naskah RUU-nya, semangat UU No.11/1967 masih mencerminkan kebijaksanaan yang sentralistik.  Perusahaan Negara masih diposisikan harus tetap memegang peran utama dalam pertambangan Indonesia dan PMA sebagai “pelengkap bila diperlukan”. 10 Perkembangan 1997 – 2000  Krisis ekonomi dan politik 1997/1998 berakibat buruk pada pertambangan Indonesia.  Euforia reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang tidak tertib menyebabkan rusaknya iklim investasi. Pertambangan tanpa ijin meluas dan puluhan investor meninggalkan Indonesia.  Kegiatan “Grassroot Exploration” praktis terhenti sejak 1999/2000.  PMA tidak ada lagi yang masuk dalam pertambangan Indonesia.
  • 18. 18 11 Perioda Transisi Dalam Perundangan Pertambangan Indonesia (1)  Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 dan berlakunya otonomi pemerintahan daerah (sejak 2001), maka UU No. 11 Tahun 1967 tidak dapat diberlakukan lagi.  Untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1967, pemerintah menyiapkan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU PMB). 12 Perioda Transisi Dalam Perundangan Pertambangan Indonesia (2)  Menunggu terbitnya UU Pertambangan baru, maka untuk mengisi “kekosongan” perundangan, telah diterbitkan: 1. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Kepmen ESDM No.1453.K/29/MEM/2000 tentang “Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas pemerintah di Bidang Pertambangan Umum”. 2. Peraturan Pemerintah No.75/2001 tentang “Perubahan Kedua atas PP No.32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967”.
  • 19. 19 13 Catatan Dalam Penyusunan UU PMB (1)  Penyusunan naskah undang-undang pertambangan baru tidak mudah karena tidak adanya kejelasan dan arahan kebijaksanaan yang hendak ditempuh pemerintah.  Naskah RUU PMB hanya merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 dalam mukadimah “Menimbang dan Mengingat”- nya. Tidak ada rujukan pada sesuatu ketetapan MPR ataupun undang-undang lain.  Dalam banyak hal rumusan kebijaksanaan dalam ketentuan RUU-PMB sangat berbeda dengan apa yang tercantum dalam UU No.11/1967. 14 Catatan Dalam Penyusunan UU PMB (2)  Hal-hal baru dalam RUU PMB yang sangat berbeda dengan UU No.11/1967:  Dasar hukum dan bentuk perijinan usaha pertambangan,  Desentralisasi wewenang pengurusan/pengelolaan pertambangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah  Penggolongan (pengelompokan) usaha pertambangan  Pemberian perlakuan yang sama pada PMA dan PMDN  RUU PMB cukup mengatur hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan hidup, pengembangan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dll., yang belum cukup ataupun “tidak sempat” diatur dalam UU No.11/1967.
  • 20. 20 15 SELESAI 1 PENGELOLAAN SUMBERDAYA MINERAL: UU NO.11 TAHUN 1967 Pertemuan 3 dan 4 TA 4221 – Kebijakan Pertambangan
  • 21. 21 2 Pengelolaan Sumberdaya Mineral  Undang-undang pertambangan yang dipergunakan oleh pemerintah Republik Indonesia:  UU No. 37 Prp Tahun 1960  UU No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan  UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara  Bahasan mengenai pengelolaan sumberdaya mineral akan difokuskan pada UU No.11 Tahun 1967. 3 Penguasaan Bahan Galian  Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  • 22. 22 1 Penggolongan Bahan Galian  Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan :  a. golongan bahan galian strategis;  b. golongan bahan galian vital.  c. golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b. 5 Penggolongan Bahan Galian  Penguasaan bahan galian berdasarkan golongannya:  Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian huruf a dan b dilakukan oleh Menteri;  Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian huruf c dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu;  Dengan memperhatikan kepentingan pembangunan Daerah khususnya dan Negara umumnya Menteri dapat menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tertentu dari antara bahan-bahan galian huruf b kepada Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.
  • 23. 23 6 Pelaksana Usaha Pertambangan  Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;  Perusahaan Negara;  Perusahaan Daerah;  Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah;  Koperasi;  Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat- syarat;  Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat;  Pertambangan Rakyat; 7 Pelaksana Usaha Pertambangan  Menteri dapat menunjukan pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.  Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor, Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk, dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.  Perjanjian karya mulai berlaku sesudah disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.
  • 24. 24 8 Pelaksana Usaha Pertambangan  Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara dibidang pertambangan dengan bimbingan Pemerintah.  Pertambangan Rakyat hanya dapat dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat. 9 Lingkup Usaha Pertambangan  penyelidikan umum;  eksplorasi;  eksploitasi;  pengolahan dan pemurnian;  pengangkutan;  penjualan;
  • 25. 25 10 Kuasa Pertambangan  Kuasa Pertambangan vs Konsesi:  Konsesi berkonotasi pelimpahan penguasaan akan bahan galian dari negara ke pemegang hak  Kuasa Pertambangan – wewenang yang diberikan oleh pemilik bahan galian (bangsa Indonesia) kepada pemegang KP untuk melakukan usaha pertambangan  KP pertama kali pada Perpu 37/1960 11 Kuasa Pertambangan  Usaha pertambangan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan apabila kepadanya telah diberikan kuasa pertambangan.  Ketentuan-ketentuan tentang isi, wewenang, luas wilayah dan syarat-syarat kuasa pertambangan serta kemungkinan pemberian jasa penemuan bahan galian baik langsung oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.  Kuasa Pertambangan diberikan dengan Keputusan Menteri.  Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan atau perseorangan lain bilamana memenuhi dengan persetujuan Menteri.  Dalam melakukan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan, maka Pertambangan Rakyat yang telah ada tidak boleh diganggu.
  • 26. 26 12 Kuasa Pertambangan  Permintaan untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada Menteri.  Luas wilayah Kuasa Pertambangan:  KP Penyelidikan Umum maksimum 25000 ha  KP Eksplorasi maksimum 10000 ha  KP Eksploitasi maksimum 5000 ha 13 Kuasa Pertambangan  Jenis-jenis Kuasa Pertambangan:  KP Penyelidikan Umum : 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun lagi  KP Eksplorasi : 3 tahun dan dapat diperpanjang 2 x 1 tahun; jika akan dilanjutkan ke tahap eksploitasi maka diperpanjang 3 tahun untuk konstruksi  KP Eksploitasi : 30 tahun dan dapat diperpanjang dua kali 10 tahun  KP Pengolahan & Pemurnian : 30 tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun  KP Pengangkutan dan Penjualan : 10 tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 tahun
  • 27. 27 14 Kuasa Pertambangan  Berakhirnya Kuasa Pertambangan:  karena dikembalikan;  karena dibatalkan;  karena habis waktunya.  Pemegang kuasa pertambangan dapat menyerahkan kembali kuasa perta mbangannya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri.  Apabila waktu yang ditentukan dalam suatu kuasa pertambangan telah berakhir, sedangkan untuk kuasa pertambangan tersebut tidak diberikan perpanjangan maka kuasa pertambangan tersebut berakhir menurut hukum. 15 Kuasa Pertambangan dan Hak Atas Tanah  Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu.  Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari dua pemegang kuasa pertambangan atau lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
  • 28. 28 16 Kuasa Pertambangan dan Hak Atas Tanah  Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya:  sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau salinannya yang sah diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu akandilakukan ;  diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu. 17 Kuasa Pertambangan dan Hak Atas Tanah  Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat diperguanakan.  Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian- bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
  • 29. 29 18 Pungutan-Pungutan Negara  Pemegang kuasa pertambangan membayar kepada Negara iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan.  Pungutan-pungutan Negara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.  Kepada Daerah Tingkat I dan II diberikan bagian dari pungutan-pungutan Negara tersebut, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19 Hal-hal Lain Menyangkut Pengelolaan Pertambangan  Pemegang KP membayar iuran tetap dan iuran ekplorasi/eksploitasi  Setelah selesai harus mengembalikan agar tidak menimbulkan penyakit dan bahaya
  • 30. 30 20 SELESAI 1 PENGELOLAAN SUMBERDAYA MINERAL : UU NO. 4 TAHUN 2009 Pertemuan 5 dan 6 TA 4221 – Kebijakan Pertambangan
  • 31. 31 2 Pengelolaan Sumberdaya Mineral Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan 3 Pengelolaan Sumberdaya Mineral Bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
  • 32. 32 4 Pengelolaan Sumberdaya Mineral  Undang-undang pertambangan yang dipergunakan oleh pemerintah Republik Indonesia:  UU No. 37 Prp Tahun 1960  UU No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan  UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara  Bahasan mengenai pengelolaan sumberdaya mineral akan difokuskan pada UU No.4 Tahun 2009. Asas Pengelolaan Sumberdaya Mineral  Manfaat, keadilan, dan keseimbangan;  Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;  Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;  Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
  • 33. 33 6 Tujuan Pengelolaan Sumberdaya Mineral  Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;  Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;  Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;  Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;  Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan  Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara 7 Usaha Pertambangan  Usaha pertambangan dikelompokkan atas:  pertambangan mineral; dan  pertambangan batubara.  Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas:  pertambangan mineral radioaktif;  pertambangan mineral logam;  pertambangan mineral bukan logam; dan  pertambangan batuan.
  • 34. 34 8 Ijin Usaha Pertambangan  IUP terdiri atas dua tahap: a IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.  Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 9 Ijin Usaha Pertambangan  IUP diberikan oleh: a bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; b gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • 35. 35 10 Ijin Usaha Pertambangan  IUP diberikan kepada:  badan usaha;  koperasi; dan  perseorangan. 11 Ijin Usaha Pertambangan  Diberikan untuk 1 jenis mineral atau batubara  Prioritas untuk jenis mineral lain – jika akan diusahakan harus minta IUP baru  Jangka waktu IUP Eksplorasi:  Mineral logam - 8 tahun  Mineral bukan logam - 3 tahun  Mineral non logam jenis tertentu - 7 tahun  Batuan - 3 tahun  Batubara - 7 tahun  Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
  • 36. 36 12 Ijin Usaha Pertambangan  IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.  IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.  IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. 13 Ijin Usaha Pertambangan  IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.  IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing- masing 5 (lima) tahun.  IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun
  • 37. 37 14  Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.  Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.  Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.  Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. Ijin Usaha Pertambangan 15  Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.  Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.  Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.  Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. Ijin Usaha Pertambangan
  • 38. 38 16  Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.  Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.  Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.  Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare. Ijin Usaha Pertambangan 17  Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.  Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.  Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.  Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. Ijin Usaha Pertambangan
  • 39. 39 18 Ijin Pertambangan Rakyat  Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.  Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPRkepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Untuk memperoleh IPR pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota. 19 Ijin Pertambangan Rakyat  Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:  perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;  kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare; dan/atau  koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.  IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
  • 40. 40 20 Ijin Usaha Pertambangan Khusus  IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah.  IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK.  Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.  Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri. 21 Ijin Usaha Pertambangan Khusus  Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.  Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.  IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri.
  • 41. 41 22  Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.  IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta.  Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.  Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. Ijin Usaha Pertambangan Khusus 23  IUPK terdiri atas dua tahap:  IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;  IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.  Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ijin Usaha Pertambangan Khusus
  • 42. 42 24  luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.  luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.  luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.  luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. Ijin Usaha Pertambangan Khusus 25  jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.  jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.  jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing- masing 10 (sepuluh) tahun. Ijin Usaha Pertambangan Khusus
  • 43. 43 1. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; 2. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; 3. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara; 4. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan. Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK  Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan: 1. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; 2. keselamatan operasi pertambangan; 3. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; 4. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; 5. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
  • 44. 44 1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. 2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. 3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK 1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. 2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
  • 45. 45  Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.  Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.  Pemegang IUP dan IUPKdapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya. Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK 1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau IUPK. 2) IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK. Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
  • 46. 46  Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.  Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK 33 Jasa Pertambangan  Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.  Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia.  Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.  Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:  tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau  tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu.
  • 47. 47 34  Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:  konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang:  penyelidikan umum;  eksplorasi;  studi kelayakan;  konstruksi pertambangan;  pengangkutan;  lingkungan pertambangan;  pascatambang dan reklamasi; dan/atau  keselamatan dan kesehatan kerja.  konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang:  penambangan; atau  pengolahan dan pemurnian Jasa Pertambangan 35  Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.  Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.  Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:  pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan  bea masuk dan cukai. Jasa Pertambangan
  • 48. 48 36  Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:  iuran tetap;  iuran eksplorasi;  iuran produksi; dan  kompensasi data informasi.  Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:  pajak daerah;  retribusi daerah; dan  pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jasa Pertambangan 37  Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi.  Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:  pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen);  pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan  pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen). Jasa Pertambangan