Hutang luar negari
Positif : Mendukung program pembangunan nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat
Negatif : Menimbulkan berbagai masalah dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara-negara yang sedang berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Similar to MASALAH MAKRO EKONOMI INDONESIA TAHUN 1998 DAN PENYELESAIANNYA (20)
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
MASALAH MAKRO EKONOMI INDONESIA TAHUN 1998 DAN PENYELESAIANNYA
1. MASALAH MAKRO EKONOMI INDONESIA TAHUN 1998
DAN PENYELESAIANNYA
Disusun Oleh:
Immanuel Putra Ganda Sitohang
214320031
AGRIBISNIS-B
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
MEDAN
2015/2016
2. A.Masalah Ekonomi Indonesia.
Pada Tahun 1998 indonesia mengalami krisis Ekonomi, dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang
sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan
ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan
pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai
dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962
menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga
disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan
diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan
devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga
kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini
memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu
Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan
karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi
memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar
50% pada November 1978.
Bulan September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari
deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana
mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku
bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut
terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.
Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami
gangguan dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang
besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju
pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah
Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian
Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif
karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah
3. Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka
pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa
percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang
ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan
hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau
hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani
(manageable).
Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama
sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari
bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992
sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal
dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara
lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah
menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu
bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang
memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam
jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem
perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau
arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity
purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi
lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal
yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti
pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan
khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate).
Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi
oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan
ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain,
karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi
lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan
ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat
pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya
mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari
sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan
aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku
yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di
tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan
meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs
1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang
swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu
pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang
harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World
Bank 1998).
4. 2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam
sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah
hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an,
mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu
mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada
penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus
peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan
pelanggaran kriteria layak kredit.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang
pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-
intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak
pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi,
investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya
transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering
dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan
kegiatan bisnis di sini.
Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu
menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala
kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan
krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk
bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis
kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi
yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar
tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis
ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan
stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum
pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis
ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya
pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai,
tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa
stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).
5. B.Cara Penyelesainya sebagai berikut:
Dalam Hal masalah ekonomi yang terjadi pada Tahun 1997-1998, yaitu krisis moneter
Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dalam mengatasi krisis dan dalammUpaya-upaya
yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam rangka memulihkan perekonomian negara dari
dampak krisis moneter 1997-1998 diatas diuraikan sebagai berikut :
Kebijakan Ekonomi Makro
Kebijakan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan
laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijakan
moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi anggaran sampai pada
tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari pinjaman luar negeri, seperti
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) walaupun pada akhirnya sebagian dana BLBI
tesebut ditemukan banyak penyimpangan dalam penggunaannya. Kebijakan moneter yang
ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksukan untuk menekan laju inflasi dan
memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, juga dimaksudkan untuk menahan
permintaan aggregate dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan tabungan di lembaga
perbankan, sehingga dalam hal ini dibutuhkan deregulasi aturan perbankan yang ketat agar
masyrakat si pemilik dana mempunyai kepercayaan terhadap bank.
Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga yang
tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi dan bersifat
kontradiktif terhadap PDB. Oleh karena itu, tingkat suku bunga yang tinggi tidak akan
selamanya dipertahankan, tetapi akan diturunkan secara sewajarnya sampai ke level lajimnya
seiring dengna menurunya laju inflasi. Mekanisme pemberian suku bunga yang tinggi untuk
penyimpanan dana oleh nasabah merupakan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah
sejak krisis moneter, hal ini dimaksudkan untuk menarik minat masyarakat menyimpan
dananya di bank, sehingga bank mempunyai modal yang cukup untuk disalurkan kembali
kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit).
Kebijakan ekonomi Mikro
Kebijakan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah adalah dengan mengangkat kembali
sektor-sektor usaha kecil - menegah masyarakat (pelaku usaha) dengan mekanisme
pemberian pinjaman dana dengan prioritas bunga yang rendah. Tujuan pemerintah
mengambil langkah ini dimaksudkan untuk :
1. Untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk
berpenghasilan rendah dengan dikembangkannya jaringan pengaman sosial yang meliputi
penyediaan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan
dan kesehatan pada saat krisis, serta penanganan pengangguran dalam upaya
mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Salah satu upaya
yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi pengangguran saat krisis moneter adalah dengan
mencanangkan dan atau membuat program padat karya untuk menampung tenaga kerja
produktif.
6. 2. Menyehatkan sistem lembaga perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga perbankan Indonesia. Upaya ini diwujudkan oleh pemerintah dengan
mencari dana talangan yang dipinjamkan ke bank-bank yang mengalami krisis saldo-debet,
sehingga dapat bertahan dari arus krisis. Pemerintah pun melalui Bank Setral (Bank
Indonesia) memberikan kucuran dana ke bank-bank swasta yang diperoleh melalui pinjaman
luar negeri.
3. Merestrukturisasi hutang luar negeri. Tindakan ini dimaksudkan pemerintah untuk
memprioritaskan pendanaan-pendanaan yang sangat urgen terhadap perkembangan ekonomi
untuk mengatasi krisis yang ada, sehingga dengan adanya restrukturisasi utang maka
pemerintah dapat melakukan penundaan pembayaran utang luar negeri Indonesia.
4. Mereformasi struktural di sektor rill, dan
5. Mendorong ekspor.
Jaringan Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini sejak krisis moneter 1998 pemerintah telah mengambil langkah-
langkah dengan menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan baker
minyak, listrik, dan berbagai jenis kebutuhan makanan pokok), dilakukannya usaha untuk
mempertajam sasaran alokasi anggaran dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap kegiatan dan proyek pembangunan,
antara lain dengan :
a) Menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak
b) Melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan dna
kesehatan.
c) Memperluas, penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan
pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan
pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan, irigasi,
d) Memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus
meningkatkan peranan pengusaha kecil, menengah dan koeperasi.
Penyehatan Sistem Perbankan
Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional, sekaligus untuk menghindari penarikan dana secara
besar-besaran oleh nasabah, maka langkah-langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan
resrukturisasi perbankan yang ditempuh oleh pemerintah reformasi terdiri dari dua prinsip
pokok, yaitu :
a) Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung
pemulihan ekonomi nasional, melalui :
1) Program peningkatan permodalan bank.
2) Penyempurnaan peraturan perundang-undangan antara lain, mencakup:
- Perijinan bank yang semula dibawah kewenangan Departemen Keuangan dialihkan ke Bank
Indonesia selaku bank sentral ;
- Investor asing diberikan kesempatan lebih besar untuk menjadi pemilik saham di bank-bank
- Rahasia bank yang semula menyangkut sisi activa dan pasiva diubah menjadi hanya
mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya.
7. 3) Penyempurnaan dan penegakan ketentuan kehati-hatian, antara lain :
a. Bank-bank diwajibkan menyediakan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4
% pada akhir tahun 1998, 8 % pada akhir tahun 1999 dan 10 % pada tahun 2000,
sebagaimana diumumkan oleh pemerintah.
b. Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terahdap pemilik dan pengurus bank yangt
telah terbukti melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
b) Kebijakan untuk menyelesaikan masalah perbankan yang telah terjadi dengan melakukan
pemulihan dan penyehatan perbankan..
Restrukturisasi Utang Luar Negeri
Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank merupakan penyebab utama
dari ksrisis moneter di Indonesia, yang berakibat pada melemahnya nilai tukar mata uang
rupiah terhadap mata uang asing. Oleh karena itu, untuk mengurangi permintaan mata uang
asing dan sekaligus untuk memberikan kesempatan kepada debitor untuk menyelesaikan
utang-utangnya maka pemerintah melalui mekanisme kesepakatan Frakrut tanggal 4 Juni
1998 telah menyusun kerangka restrukturisasi utang dunia usaha, dan pengaturan pemberian
fasilitas perbankan untuk mengatasi defisit modal pembiayaan.
Reformasi Struktural di Sektor Perbankan
Aspek reformasi structural yang diambil pemerintah dalam rangka pemulihan pasca
krisis monter dimulai dari efisiensi pengembangan sektor rill. Reformasi structural ini
mencakup :
a). penghapusan berbagai praktek monopoli (terllihat dengan dibentuknya UU Persaingan
usaha, larangan monopoli saham dalam perseroan, pembentukan komisi pengawas persaingan
usaha) ;
b). Deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang yang berkenaan dengan pembangunan
ekonomi, termasuk perdagangan luar negeri dan bidang investasi (mekanisme ini antara lain :
kemudahan dalam mengurus pendirian perseroan, kerjasama bilateral dengan Negara-negara
maju dalam penanaman modal, dsb) ;
c). Privatisasi BUMN (dalam hal ini privatisasi bertujuan untuk memperluas permodalan
perusahaan-perusahaan dalam hal pemerataan ekonomi.
Dalam kaitannya dengan aspek deregulasi dan debirokratisasi diatas, maka pemerintah
telah mencabut berbagai peraturan, antar lain :
a). peraturan yang menghalangi investasi asing sampai 49 % dari perusahaan-perusahaan
yang telah terdaftar di pasar modal ;
b). merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang tertutup
bagi investor asing ;
c). mencabut pembatasasn investasi asing terhadap perkebunan, perdagangan eceran dna
perdagangan besar, dan
d). mencabut ketentuan tata niaga yang reskriktif terhadap produksi industri ;
e). menerapkan perdagangan bebas, walaupun masih bersifat parsial, meliputi daerah-daerah
tingkat I dan II provinsi, serta memberikan kebebasan terbatas kepada pemerintah daerah
untuk melakukan kerjasama investasi langsung dengan pihak pemodal asing.
8. Pembaharuan Hukum Sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi
Sebagaimana diketahui bahwa secara fatual maupun teoritis bahwa peranan hukum
dalam mewujudkan pembangunan ekonomi Negara merupakan salah satu syarat mutlak.
Dengan kata lain, hukum (baca sistem hukum) merupakan fondasi yang berfungsi menopang
pembangunan ekonomi, khususnya ekonomi yang berkelanjutan dan mempunyai daya saing
secara global dengan Negara-negara lainnya.
Belajar dari pengalaman krisis moneter ini, pemerintah pun semakin cermat dalam
menerapkan kebijakan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan (reforamsi
hukum) yang bertujuan untuk menjaga kestabilan ekonomi makro dan mikro. Upaya
mempertahankan kestabilan ekonomi makro, mencakup : kebijakan moneter, fisikal, dan nilai
tukar. Sementara itu dibidang mikro, kebijakan yang harus ditetapkan meliputi :
pengembangan infrastruktur ekonomi, seperti : pasar modal, perbankan sebagaiman telah
disinggung sebelumnya. Yang mana dua diantara kebijakan tersebut telah beralih menjadi
tugas pemerintah melalui bank Indonesia sejak krisis moneter berlangsung.
Pemerintah sejak masa krisis moneter telah melakukan pembaharuan peraturan hukum
yang berkenaan baik secara langsung maupun tidka langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi, walaupun disadari bahwa usaha yang demikian itu belum sepenuhnya dapat
terrealisasi dan membwa hasil yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan kebijakan
dasar dari UU Hak Cipta adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atau ciptaannya.
Kebijakan dibidang kepailitan, UU bertujuan untuk membebaskan debitor yang tidak mampu
akibat dampak dari krisis moneter yang terjadi, disamping adanya usaha lain berupa bantuan
dari pemerintah untuk mengambil kembali apa yang menjadi hak kreditor terhadap debitor
yang mampu.
Usaha pembaharuan hukum oleh pemerintah dalam rangka pemulihan negara dari
deraan krisis moneter, sedikit banyaknya telah membawa dampak yang lebih positif,
meskipun kenyataan ini tidak sebanding dengan pengalaman empiris bila dibandingkan
dengan Negara-negara berkembang lainnya. Namun paling tidak, pemerintah melalui
kelembagaannya telah menciptakan iklim perubahan kearah yang lebih baik terutama dalam
rangka membina pelaku usaha untuk membangun perekonomian Negara.
Perbankan sebagai salah satu pintu masuk untuk memperbaiki perekonomian negara
pasca krisis moneter harus benar-benar dilindungi dan sekaligus diatur secara ketat, baik
pengelolaannya maupun pendiriannya mengingat perbankan sebagai lembaga yang
menggerakkan roda perekonomian. Untuk kepentingan itu, UU Perbank harus selalu
disesuaikan dengan perubahan tuntutan kebutuhan dalam suatu sistem ekonomi, terutama
ekonomi kerakyatan yang tercermin dalam pasal 33 UUD 1945. Sarana hukum (UU) yang
menjadi katalisator kebijakan di bidang ekonomi disamping sebagai tolok ukur kepatutan,
juga berfungsi sebagai pencita daya saing ekonomi terhadap Negara asing, khususnya iklim
investasi.