Presentasi bab 3 ekonomi pembangunan teori klasik pertumbuhan ekonomi dan pem...Basuki Rahmat
Salah satu buku yang populer terkait materi Ekonomi Pembangunan adalah Buku Economic Development tulisan Michael Todaro dan Stephen C Smith. Pada bab 3 buku ini diterangkan 4 teori klasik pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Slide sangat compact karena ada batasan maksimal hanya 10 slide.
Presentasi bab 3 ekonomi pembangunan teori klasik pertumbuhan ekonomi dan pem...Basuki Rahmat
Salah satu buku yang populer terkait materi Ekonomi Pembangunan adalah Buku Economic Development tulisan Michael Todaro dan Stephen C Smith. Pada bab 3 buku ini diterangkan 4 teori klasik pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Slide sangat compact karena ada batasan maksimal hanya 10 slide.
Pengaruh Kehadiran Kepemilikan Bank Asing Terhadap Profitabilitas, Aktivitas ...Ekaputra Sananto
Sejak krisis keuangan Asia tahun 1997 dan 1998, banyak negara di dunia mengalami liberalisasi dan globalisasi perbankan, termasuk negara berkembang seperti Indonesia. Dengan menggunakan data 100 bank komersial di Indonesia dengan periode 2009-2014, penelitian ini berusaha mengidentifikasi pengaruh kepemilikan asing terhadap NIM, profit akuntansi, aktivitas non-pinjaman, dan risiko bank. Peningkatan kepemilikan asing terbukti berpengaruh negatif terhadap NIM bank-bank di Indonesia. Tidak sesuai dengan hipotesis, kepemilikan asing tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap profit akuntansi, aktivitas non-pinjaman dan risiko bank di Indonesia.
Bright Store Expansion in Effort to Diversify Pertamina's BusinessEkaputra Sananto
Sejak berdirinya pada tahun 1968, Pertamina telah dikenal sebagai perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan gas. Baik sebagai pengelola tambang minyak dan gas yang mayoritas operasinya ada di wilayah Indonesia, dan juga
sebagai distributor bahan energi ke seluruh penjuru Indonesia. Pertamina telah menjadi tulang punggung Indonesia dalam bidang energi hingga Indonesia sempat bergabung ke dalam organisasi negara penghasil minyak (OPEC) dan menjadi salah satu acuan harga minyak mentah dunia dalam suatu acuan bernama Indonesian Crude Oil.
Tetapi sejak tahun 2015, tumbuh kesadaran penuh bahwa Pertamina harus memulai diversifikasi dari sumber pendapatan terbesar mereka, yaitu bahan bakar.
Pertamina ingin memajukan sektor usaha mereka yang sudah ada yaitu convinience store yang ada di stasiun bahan bakar milik mereka. Sesungguhnya sudah ada indikator kuat bahwa lini bisnis ini berpotensi besar menjadi sumber pendapatan yang besar bagi mereka. Kinerja laba bersih yang dihasilkan Bright sejak 2012-2014 ratarata 3,9%. Nilai tersebut jauh di atas margin laba bersih (0,8%) dan juga lini bisnis
BBM (0,5%). Tetapi, ambisi Bright untuk tumbuh pesat mendapatkan tantangan baik dari operasi Bright secara internal ataupun ancaman external seperti minimarket lokal
(Alfamart, Alfamidi, Indomaret) dan minimarket asing (Circle K, 7-Eleven)
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk adalah perusahaan yang berbasis di Indonesia, yang operasi utamanya terletak di jasa konstruksi. Bisnis mereka diklasifikasikan pada lima segmen: konstruksi, mekanik dan elektrikal, industri, real estate, dan pertambangan. Segmen konstruksi mereka mencakup konstruksi sipil, termasuk jalan, jembatan, bandara, pelabuhan
laut dan pergudangan, dan konstruksi bangunan (residential dan komersial). Segmen mekanikal dan elektrikal mencakup dua unit bisnis: energi, yang mencakup engineering,
procurement dan jasa konstruksi (EPC) berfokus pada power plants dan pabrik baja. Segmen real estate mereka mencakup pengembangan bangunan residential dan komersial, manajemen properti dan jasa provisi konstruksi. Segmen pertambangan mereka beroperasi melalui PT Sarana Karya, yang menjalankan pertambangan aspal di Kepulauan Buton, Indonesia.
Bank Mandiri merupakan bank yang didirikan oleh
pemerintah Indonesia dalam rangka restrukturisasi
perbankan Indonesia dan berdiri pada 2 Oktober 1988. Bank
Mandiri merupakan gabungan dari empat bank pemerintah,
yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor
Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia.
Apa itu SP2DK Pajak?
SP2DK adalah singkatan dari Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak (WP). SP2DK juga sering disebut sebagai surat cinta pajak.
Apa yang harus dilakukan jika mendapatkan SP2DK?
Biasanya, setelah mengirimkan SPT PPh Badan, DJP akan mengirimkan SP2DK. Namun, jangan khawatir, dalam webinar ini, enforce A akan membahasnya. Kami akan memberikan tips tentang bagaimana cara menanggapi SP2DK dengan tepat agar kewajiban pajak dapat diselesaikan dengan baik dan perusahaan tetap efisien dalam biaya pajak. Kami juga akan memberikan tips tentang bagaimana mencegah diterbitkannya SP2DK.
Daftar isi enforce A webinar:
https://enforcea.com/
Dapat SP2DK,Harus Apa? enforce A
Apa Itu SP2DK? How It Works?
How to Response SP2DK?
SP2DK Risk Management & Planning
SP2DK? Surat Cinta DJP? Apa itu SP2DK?
How It Works?
Garis Waktu Kewajiban Pajak
Indikator Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak
SP2DK adalah bagian dari kegiatan Pengawasan Kepatuhan Pajak
Penelitian Kepatuhan Formal
Penelitian Kepatuhan Material
Jenis Penelitian Kepatuhan Material
Penelitian Komprehensif WP Strategis
Data dan/atau Keterangan dalam Penelitian Kepatuhan Material
Simpulan Hasil Penelitian Kepatuhan Material Umum di KPP
Pelaksanaan SP2DK
Penelitian atas Penjelasan Wajib Pajak
Penerbitan dan Penyampaian SP2DK
Kunjungan Dalam Rangka SP2DK
Pembahasan dan Penyelesaian SP2DK
How DJP Get Data?
Peta Kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3)
Sumber Data SP2DK Ekualisasi
Sumber Data SP2DK Ekualisasi Penghasilan PPh Badan vs DPP PPN
Sumber Data SP2DK Ekualisasi Biaya Gaji , Bonus dll vs PPh Pasal 21
Sumber Data SP2DK Ekualisasi Biaya Jasa, Sewa & Bunga vs PPh Pasal 23/2 & 4 Ayat (2)/15
Sumber Data SP2DK Mirroring
Sumber Data SP2DK Benchmark
Laporan Hasil P2DK (LHP2DK)
Simpulan dan Rekomendasi Tindak Lanjut LHP2DK
Tindak lanjut SP2DK
Kaidah utama SP2DK
How to Response SP2DK?
Bagaimana Menyusun Tanggapan SP2DK yang Baik
SP2DK Risk Management & Planning
Bagaimana menghindari adanya SP2DK?
Kaidah Manajemen Perpajakan yang Baik
Tax Risk Management enforce A APPTIMA
Tax Efficiency : How to Achieve It?
Tax Diagnostic enforce A Discon 20 % Free 1 month retainer advisory (worth IDR 15 million)
Corporate Tax Obligations Review (Tax Diagnostic) 2023 enforce A
Last but Important…
Bertanya atau konsultasi Tax Help via chat consulting Apps enforce A
Materi ini telah dibahas di channel youtube EnforceA Konsultan Pajak https://youtu.be/pbV7Y8y2wFE?si=SBEiNYL24pMPccLe
Komparasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Korea Selatan
1. PAPER MAKROEKONOMI 1
KOMPARASI KEBIJAKAN DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI: INDONESIA DAN KOREA SELATAN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
UNIVERSITAS INDONESI
PAPER MAKROEKONOMI 1
KOMPARASI KEBIJAKAN DAN PERTUMBUHAN
: INDONESIA DAN KOREA SELATAN
Disusun oleh:
Yohannes Ekaputra Sananto
1306408220
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2016
KOMPARASI KEBIJAKAN DAN PERTUMBUHAN
: INDONESIA DAN KOREA SELATAN
2. Komparasi Kebijakan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Korea Selatan
Yohannes Ekaputra Sananto / 1306408220
I. Pendahuluan
Indonesia dan Korea Selatan adalah dua negara yang memiliki kesamaan pada beberapa
aspek. Kedua negara ini merdeka pada tahun 1945 setelah mengalami penjajahan. Kedua negara ini
juga mengalami pergolakan politik pada awal tahun 1960an, masing-masing adalah perang saudara di
Korea yang menewaskan lebih dari 2,5juta jiwa, dan pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde
Baru di Indonesia yang juga membawa dampak ekonomi dan demografi. Kesamaan lain antara kedua
negara adalah kondisi sumber daya manusia. Keduanya menghadapi masalah akses terhadap
pendidikan , tingkat literasi dan kesetaraan gender yang rendah, yang masih merupakan warisan dari
kolonialisme panjang yang mereka alami. Indonesia dan Korea Selatan juga memiliki perbedaan
dalam hal sumber daya alam. Indonesia tergolong sebagai negara dengan sumber daya alam yang
kaya. Indonesia adalah pemasok 20% timah di dunia, dan mempunyai cadangan tembaga, nikel dan
emas yang sangat diperhitungkan. Minyak dan pertambangan secara bersama-sama mencakup 42%
dari ekspor di 2011. Sementara Korea Selatan relatif miskin dalam hal sumber daya alam. Meskipun
Korea Selatan memiliki sejumlah kecil batubara, tungsten, molybdenum dan grafit. Sumber daya alam
lain adalah perhutanan, yang sekarang sudah berkurang karena deforestasi.
Pada 1960an, perekonomian Indonesia sangat terganggu dengan adanya instabilitas politik.
Setelah turunnya Presiden Sukarno, perekonomian dalam kondisi buruk dengan inflasi tahunan
1000%, jauh menurunnya pendapatan ekspor, melambatnya pembangunan infrastruktur, tidak
maksimalnya kapasitas produksi pabrik, dan juga rendahnya tingkat investasi. Produksi minyak masih
menjadi andalan pertumbuhan Indonesia pada saat itu, mengingat Indonesia masih merupakan
anggota OPEC. Setelah administasi Presiden Suharto melakukan stabilisasi ekonomi dengan
renegosiasi hutang luar negeri, stabilisasi mata uang, menarik bantuan dan investasi luar negeri,
pendapatan dari ekspor minyak menjadi motor penggerak pertumbuhan GDP per capita yang
mencapai 545% dari 1970 sampai 1980. Tingginya pertumbuhan ekonomi ini menutupi kelemahan
struktural pada perekonomian Indonesia. Sayangnya, pertumbuhan diraih dengan mengabaikan
institusi pemerintahan yang lemah dan korup, tingginya hutang luar negeri karena mismanagement
keuangan, dan cepat berkurangnya sumber daya alam Indonesia. Setelah mengalami krisis finansial
tahun 1998, GDP per capita Indonesia tumbuh hingga mencapai USD 3.475,25.
Sementara setelah Perang Korea di awal 1960, Korea Selatan masih merupakan salah satu
negara termiskin di dunia selama lebih dari satu dekade. Pada 1960an, GDP per capita Korea Selatan
pernah mencapai titik terendah $79, lebih rendah dari negara-negara sub-Sahara (4). Kemudian Korea
Selatan melakukan reformasi dalam pendidikan, manufaktur, investasi dan kesehatan. Sebagai
3. hasilnya, GDP per capita Korea Selatan tumbuh dengan rata-rata 8% per tahun dari USD 103,88 pada
1962, menjadi USD 5.438,24 pada 1989, dan menlebihi USD 20.000,00 pada 2006. Motor utama
pertumbuhan ekonomi Korea Selatan adalah sektor manufaktur dan perdagangan. Terlihat bahwa
persentase sektor manufaktur tumbuh dari 14,3% GDP menjadi 30,3% pada 1987. Sementara volume
perdagangan komoditas berkembang dari USD 480 juta pada 1962, menjadi USD 127,9 miliar pada
1990.
Penulis ingin menganalisis melalui karya tulis ini, apa saja kebijakan-kebijakan yang
membedakan tingkat pertumbuhan GDP per capita Korea Selatan dan Indonesia (1), mengingat
kesamaan yang dimiliki kedua negara pada tahun 1960, kesamaan kondisi sumber daya alam pada
saat itu, dan kemiripan latar belakang penjajahan yang menjadi batasan bagi kedua negara. Penulis
juga ingin membandingkan realita pertumbuhan ekonomi kedua negara dengan landasan teori. Serta
menghasilkan analisis akan kebijakan yang dilakukan pemerintah Korea Selatan yang tidak atau
belum dilakukan pemerintah Indonesia secara maksimal, sehingga Korea Selatan meraih pertumbuhan
yang jauh lebih pesat daripada Indonesia. Fokus pada tulisan ini adalah kebijakan yang berhubungan
dengan investasi, demografi (administrasi lokal, pendidikan dan kesehatan) (2), dan manufaktur di
tahun 1960-sekarang, yang menjadi fokus adalah di tahun 1960an dan 1970an, karena masa itu
menjadi dasar kebijakan sampai sekarang yang membuat perbedaan pertumbuhan ekonomi kedua
negara. Selain itu, masa-masa ini menjadi titik dimana pertumbuhan ekonomi kedua negara mulai
melebar jauh setelah sebelumnya setara.
II. Landasan Teori
1. Level of Capital
Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa pada jangka panjang, tingkat saving pada
suatu ekonomi menentukan ukutan dari capital stock mereka dan tingkat output yang lebih tinggi.
Pada model Solow, kenaikan pada tingkat saving mempunyai dampak pada pendapatan per orang.
Pada awalnya akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat, tapi pada akhirnya pertumbuhan tersebut
akan melambat sampai steady-state yang baru tercapai. Maka, meskipun tingkat saving tinggi
menghasilkan output steady-state, saving sendiri tidak dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang persisten secara terus menerus.
Tingkat kapital yang memaksimalkan konsumsi steady-state disebut dengan tingkat Golden
Rule. Jika suatu ekonomi memiliki kapital lebih banyak dari tingkat Golden Rule, maka mengurangi
saving akan menaikkan konsumsi pada saat tersebut. Sebaliknya, jika perekonomian mempunyai
kapital lebih rendah dari saat tingkat Golden Rule, maka untuk mencapai Golden Rule diperlukan
investasi lebih banyak dan mengurangi konsumsi pada generasi sekarang.
4. 2. Level of Population Growth
Model Solow menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan populasi dari suatu ekonomi adalah
penentu lainnya dari standard kehidupan pada jangka panjang. Berdasarkan Solow model, jika
pertumbuhan populasi lebih tinggi, lebih rendah tingkat steady-state dari capital per worker dan
output per worker. Interpretasi lain pada teori dampak dari pertumbuhan populasi seperti yang
dilakukan Malthus, yang menyatakan bahwa pertumbuhan populasi akan menekan sumber daya alam
yang dibutuhkan untuk memproduksi makanan. Kremer menyarankan bahwa tingginya populasi dapat
mempercepat progress teknologi.
3. Level of Technological Progress
Pada tingkat steady state di model pertumbuhan Solow, tingkat pertumbuhan pendapatan per
orang ditentukan hanya oleh faktor eksogenous yaitu technological progress. Tingkat steady-state
Golden Rule (maksimal konsumsi) mempunyai ciri-ciri kesamaan antara net marginal product of
capital (MPK − d) dan tingkat pertumbuhan steady-state dari total pendapatan (n + g). Di awal
1970an, tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita turun secara drastis pada banyak negara industri.
Alasan perlambatan ini belum diketahui. Pada pertengahan 1990an, tingkat pertumbuhan naik,
dikarenakan kemajuan pada teknologi informasi.
III. Analisis
1. Investasi
Kebijakan industri manufaktur Korea Selatan mempunyai karakteristik yang khas pada awal
1960an, yaitu hubungan hierarkikal antara pemerintah dan beberapa perusahaan terpilih, yang
kemudian dikenal sebagai chaebols.Pemerintah mengarahkan dan mendanai investasi melalui bank
milik pemerintah, mengkoordinasikan akrivitas di antara perusahaan yang berhubungan dan
menentukan kriteria yang harus dipenuhi agar suatu perusahaan mendapat dukungan pemerintah.
Kebijakan ini sangat mendorong iklim kompetisi di antara perusahaan lokal, dan juga sekaligus
memberikan proteksi dari industri manufaktur luar negeri.
Tetapi, seiring chaebols tumbuh dan mempunyai kekuatan ekonomi dan mulai melawan
kekuatan pemerintah, hubungan keduanya mulai tidak harmonis. Dengan tumbuhnya kekuatan
chaebols, kekuatan pemerintah dalam mengarahkan menjadi berkurang, sementara alokasi kemudahan
bagi chaebols masih harus dijalankan. Hal ini menghasilkan iklim korupsi dan rent-seeking di antara
oknum keduanya. Tindakan-tindakan seperti ini diklaim sebagai salah satu faktor terjadinya dinancial
crisis 1997-1998 di Korea Selatan. Tetapi sistem ini yang memunculkan keberadaan perusahaan
5. raksasa Korea Selatan sampai saat ini seperti LG, Hyundai, dan Samsung, yang juga didukung
kampanye pemerintah pada masa lalu sampai sekarang yang mendorong warganya untuk memakai
produk lokal.
Sementara di Indonesia pada awal 1960an-1970an, usaha yang dilakukan pemerintah lebih
bertujuan untuk mendorong pertumbuhan pengusaha pribumi, yang pada masa itu jauh tertinggal
dibanding pengusaha etnis China dan investor luar negeri. Cara yang dilakukan adalah dengan
memberikan subsidi dan kemudahan kredit oleh bank milik negara yang diprioritaskan kepada
pebisnis pribumi. Hal ini sayangnya menimbulkan praktek tidak sehat. Terjadi pergeseran dari
pegawai pemerintahan dan politisi menjadi pebisnis dengan adanya kemudahan ini, terutama
kerjasama oleh oknum Partai Nasional Indonesia yang berkuasa di awal 1960an dengan kroninya di
pihak pebisnis. Hal ini menimbulkan persaingan tidak sehat berupa spekulasi dan perusahaan ber
profit terlalu tinggi. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan menaikkan harga barang
impor secara drastis yang memungkinkan pebisnis mengumpulkan modal dalam mata uang asing,
yang kemudian dipakai untuk membiayai investasi domestik. Di luar praktek tidak sehat ini, usaha
memajukan bisnis pribumi juga secara umum dinilai gagal. Hal ini dikarenakan lemahnya
kemampuan entrepreneurial dari pribumi.
Kesalahan lain yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada masa itu adalah tidak adanya
dukungan terhadap investasi modal asing. Pemerintah justru lebih percaya terhadap BUMN sebagai
tulang punggung perekonomian. Hal ini terbukti gagal karena BUMN banyak mengalami manajemen
yang buruk, karena penunjukkan manajer sering dilatarbelakangi kepentingan pribadi dan politik.
2. Demografi
a. Administrasi Lokal
Di Korea Selatan, sistem administrasi, terutama di pedesaan masih sangat bernuansa warisan
kolonial Jepang yang sudah mengakar selama setengah abad. Sistem pemerintahan desa di desain
dengan memprioritaskan stabilitas dan ekstraksi kelebihan hasil tanah. Keamanan merupakan prioritas
utama pada zaman kolonial Jepang, karena posisi Korea Selatan yang rawan akan serangan musuh,
tetapi produksi makanan juga menjadi prioritas utama untuk menjamin kelangsungan masyarakat.
Sistem ini membuat peran landlord masih sangat kental dalam pemerintahan desa-desa Korea Selatan.
Reformasi sistem ini baru dimulai pada tahun 1971, ketika program Saemaul Undong (Pergerakan
Komunitas Baru) diluncurkan. Program ini memprioritaskan semangat self-help pada diri desa dan
pemimpinnya. Hal ini didukung sistem reward yang diberikan kepada desa dengan performa terbaik.
Sayangnya pada prakteknya, program ini mendapat gangguan dari elite lokal desa yang tak ingin
kehilangan kekuatannya.
6. Sementara di Indonesia, pada tahun 1950an dan 1960an, Partai Komunis Indonesia memulai
pergerakan radikal agraria untuk menghimpun sejumlah besar petani yang miskin dan tidak
mempunyai tanah. Hal ini ditentang keras oleh kaum pembela partai Muslim dan angkatan bersenjata.
Pertentangan ini mulai memanas hingga berujung pada pembunuhan massal yang dilakukan pada
1965, dan turunnya Presiden Sukarno. Naiknya Presiden Suharto, seorang teknokrat yang mempunyai
hubungan erat dengan banyak perwira militer dan pensiunan, sangat mempengaruhi administrasi desa
pada masa pemerintahannya. Kontrol yang termiliterisasi diterapkan pada pemerintahan setiap level,
kotamadya, kabupaten, dan provinsi. Sistem yang ketat ini dimanfaatkan pemerintah untuk
meningkatkan performa aktivitas dan produktivitas agrikultur yang kemudian hasilnya akan dipakai
untuk pengembangan pendidikan dan pekerjaan publik.
b. Pendidikan
Pendidikan menjadi salah satu prioritas utama pemerintah Indonesia dan Korea Selatan.
Pendidikan dipandang sebagai alat pendukung perkembangan industri di kedua negara sebagai
investasi jangka panjang. Selain itu, pendidikan juga dipandang sebagai sarana mobilitas sosial dan
ekonomi bagi warga individual. Tingkat jumlah masyarakat yang masuk ke pendidikan formal di
Korea Selatan lebih tinggi dibandingkan di Indonesia, bahkan sampai tahun 1995. (3)
Di Korea Selatan, permintaan tinggi akan pendidikan sekunder ditunjukkan oleh munculnya
biaya pendidikan pada sekolah negeri dan mulai menjamurnya sekolah swasta. Hal ini sejalan dengan
prioritas Korea Selatan dalam manufaktur adalah mempromosikan industri ekspor impor mereka,
dimulai dari agrikultur (beras), labor-intensive, manufaktur ringan ( sepeda dan tekstil). Pada tahun
berikutnya pemerintah Korea Selatan berambisi beralih ke komoditas yang lebih sophisticated dengan
cara menambah balue-added pada produk mereka. Untuk itulah, pendidikan berkualitas menjadi
sangat penting untuk menghasilkan tenaga kerja yang mumpuni. Hal ini terlihat dari tingginya
pengeluaran untuk pendidikan oleh pemerintah. Pemgeluaran untuk pendidian berlipat 29 kali selama
1963-2005. Sementara budget pemerintah keseluruhan hanya berlipat 20 kali pada periode yang sama.
Pada tingkat keluarga, ada stigma yang tercipta di Korea Selatan yang menimbulkan tekanan
dan dorongan bagi anak muda pada zaman dulu sampai sekarang untuk masuk ke pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi dianggap memberikan status dan kehormatan bagi individual, hal ini yang belum
ada di Indonesia pada awal Orde Baru.
Di Indonesia, pada 1970an, tingkat pendidikan pada sekolah dasar sudah tinggi, sehingga
masyarakat beralih kepada persaingan untuk masuk ke sekolah atas, yang pada masa itu dipandang
sebagai rute menuju pekerjaan tetap di pemerintahan, yang dipandang menjamin kesejahteraan dan
masa depan.
7. Meski usaha pemerintah dan swasta untuk menyediakan cukup sekolah, kesadaran
masyarakat dan budaya tampak menjadi faktor utama jauh lebih rendahnya tingkat masuk pendidikan
di masyarakat Indonesia dibanding dengan di Korea Selatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah
pernikahan dini. Pernikahan dini jauh lebih rendah jumlahnya di Asia Timur dibanding dengan di
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Data menunjukkan bahwa proporsi wanita menikah pada usia 15-19
relatif tinggi pada 1960an di Malaysia dan Indonesia. Meskipun trendnya menurun hingga tahun
1980an, dari 37% ke 9% di Malaysia dan dari 40% ke 19% di Indonesia (Letee dan Alam 1993:24)
c. Kesehatan
Pada awal 1960an, baik Korea Selatan dan Indonesia sudah memiliki kesadaran penuh untuk
menjadikan kesehatan dasar sebagai prioritas pada seluruh warganya. Sarana kesehatan sudah tersebar
hingga ke desa-desa, meski kualitasnya tentu jauh lebih buruk dibanding sekarang. Tindakan preventif
kesehatan, seperti vaksinasi, kontrol pada penularan penyakit, kebersihan publik, sudah mulai digagas
pada awal 1960an. China menjadi pioneer kebijakan kesehatan publik dengan diluncurkannya Ntional
Patriotic Health Campaign Committees, yang kemudian menjadi acuan dan ditiru oleh negara-negara
Asia lain, termasuk di Indonesia dan Korea Selatan.
Sayangnya, sistem kesehatan publik di Indonesia pada saat itu dinilai sebagai salah satu yang
terburuk di antara negara-negara Asia. Operasi kesehatan publik, yang dijalankan Kementerian
Kesehatan dengan pengawasan Kementerain Dalam Negeri, dinilai kurang efektif. Biaya kesehatan
yang diterima pemerintah daerah cukup besar, tetapi sayangnya sebagian besar dipakai untuk aktivitas
lain seperti pekerjaan publik.
Keluarga Berencana mulai digagas sebagai salah satu cara kontrol populasi dan
mempermudah pelayanan kesehatan publik. Di Korea Selatan, program ini sempat ditentang pada era
kediktatoran Syngman Rhee, tetapi pada era suksesornya, sistem ini sangat didukung. Bahkan
Keluarga Berencana dimasukkan ke dalam rencana lima tahun pemerintahan tahun 1962. Aborsi juga
disediakan, mekipun sebetulnya masih ilegal sampai tahun 1973. Program ini dijalankan sebagai
prioritas utama pembanguan ekonomi, dengan target yang mendetail dan monitoring seksama akan
pelaksanaannya.
Di Indonesia, program serupa juga mendapat dukungan penuh dari pemerintahan Presiden
Suharto. Program Keluarga Berencana menjadi salah satu alat utama pemerintah dalam melakukan
perencanaan pembangunan ekonomi dan kesehatan publik. Beberapa pihak yang menetang segera
disingkirkan oleh pemerintah. Pemerintah desa ditekan untuk mencapai target kelahiran yang
ditentukan pemerintah. Hal ini membuat pelaksanaannya di Indonesia cukup membuahkan hasil baik
di Korea Selatan ataupun Indonesia.
8. 3. Manufaktur dan Perdagangan
Sejak awal tahun 1960an, pemerintah Korea Selatan sudah mempunyai kesadaran untuk lebih
mengembangkan kapasitas dan efisiensi dari industri manufaktur Korea Selatan. Yang menjadi
prioritas pertumbuhan pada saat itu adalah industri labor-intensive dan export oriented, yang
kemudian akan beralih menjadi heavy industries. Langkah yang dilakukan adalah dengan memberikan
insentif pajak dan kontrol impor yang ketat. Hal ini didukung dengan skema kepemilikan yang
didukung pemerintah melalui konglomerasi yang dimiliki beberapa keluarga, atau sering disebut
dengan chaebols. Halangan untuk masuk dan keluar sangat mendukung chaebols lokal untuk
mengembangkan industri manufaktur dalam negeri. (Chang and Jung, 2002)
Pembentukan area perdagangan dan hukum persaingan usaha yang sehat juga memegang
peran penting dalam perkembangan pesar industri di Korea Selatan. Dalam usaha penegakan hukum
usaha yang sehat, pemerintah Korea Selatan mengadopsi Monopoly Regulation and Fair Trade Act
(MRFTA) pada 1980. Pada periode 1981-1986 atau fase pertama penerapannya, FTO (Fair Trade
Office) sudah mulai dibentuk untuk bertugas dalam penegakan hukum MRFTA. Tetapi kemudian
kewenangan FTO dialihkan ke Korea Fair Trade Comission (KFTC), sebuah organisasi independen di
bawah EPB (Korea Fair Trade Comission, 2011).
Sementara di Indonesia, penegakan hukum yang bertujuan memberantas persaingan tidak
sehat baru dimulai setelah krisis finansial 1997-1998. Hal ini setelah IMF meminta persaingan usaha
yang sehat sebagai salah satu syarat pinjaman bantuan mereka. Kemudian dibentuklah Komisi
Pengawasan Kompetisi Usaha (KPPU). Sayangnya implementasi hukum oleh KPPU kurang berjalan
baik. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa kasus yang ditangani oleh KPPU dibatalkan oleh
pengadilan di Indonesia. Hal ini berkontribusi dalam ketidakpastian dalam iklim berbisnis di
Indonesia.
IV. Kesimpulan
Dari berbagai olah data dan studi literatur, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik di
bidang kelancaran investasi, perbaikan kualitas demografi, dan peningkatan value-added dari
manufaktur menjadi pembeda di antara pendorong pertumbuhan di Indonesia dan Korea Selatan.
Pada bidang peningkatan angka investasi, kebijakan konglomerasi pemerintah dan swasta di
Korea Selatan, yang sering disebut dengan chaebols, terbukti secara lebih rapi dilakukan dan lebih
efektif menghasilkan perusahaan lokal yang kompetitif. Dibandingkan dengan kemudahan kredit dan
investasi yang diberikan bagi pengusaha pribumi di Indonesia, yang justru menimbulkan korupsi dan
kolusi di antara pemerintah dan pebisnis. Selain itu, pengusaha etnis China memang menjadi motor
penggerak ekonomi Indonesia dengan kemampuan entrepreneurialnya. Ketergantungan pada BUMN
9. di era Orde Baru tidak cukup menghasilkan kesejahteraan karena banyaknya miss-management oleh
BUMN pada masa itu. Selain itu korupsi, kolusi, dan nepotisme juga terjadi di badan pemerintahan
Indonesia.
Pada peningkatkan demografi, kebijakan pemerintah Korea Selatan juga terlihat lebih baik
dan cepat dibandingkan Indonesia, sehingga hasilnya sudah terlihat sekarang. Pada pemerintahan dan
administrasi lokal, kedua negara tampak setara, karena sudah desa sudah didorong untuk produktif
secara mandiri dengan sistem self-help di Korea Selatan, dan pemerintahan desa gaya militer di
Indonesia.
Sementara pada sektor pendidikan, yang menjadi pembeda antara keduanya adalah kesadaran
dan budaya masyarakatnya sendiri, dimana di Korea Selatan pendidikan menjadi kewajiban di dalam
keluarga, karena memberikan status dan kehormatan bagi keluarga. Sementara di Indonesia, pada
masa itu kesadaran untuk meraih pendidikan masih rendah. Yang menjadi pendukungnya adalah
tingginya angka pernikahan dini yang menghentikan banyak wanita Indonesia dalam mengejar
pendidikan. Kebijakan pendidikan Korea Selatan juga lebih terintegrasi dengan rencana industrinya,
karena mereka sudah membuat perencanaan lapangan pekerjaan bagi lulusan pendidikan tinggi
mereka.
Pada bidang kesehatan, kebijakan publik Indonesia pada saat itu dipandang sebagai salah satu
yang terburuk di Asia. Faktor penyebabnya adalah miss-management yang dilakukan Kementerian
Kesehatan selaku operator saat itu dan ketidakefektifan penggunaan dana.
Dan yang terakhir, dalam pengembangan industri manufaktur dan perdagangan, yang
menjadi pembeda Korea Selatan dan Indonesia adalah pembentukan badan pengawas persaingan
usaha. Dapat dilihat bahwa pembentukkan KPPU di Indonesia dilakukan jauh setelah dibentuknya
FTO di Korea Selatan, yang terbukti cukup terlambat. Selain itu, performa pengawasan persaingan
usaha yang sehat di Indonesia juga berada di bawah performa Korea Selatan.
V. Daftar Pustaka
Mendoza, Ronald U. Barcenas, Lai-Lynn Angelica. and Mahurkar, Padmini (2013). Balancing
Industrial Concentration and Competition for Economic Development in Asia: Insights from
South Korea, China, India, Indonesia and the Philippines. Paseo de Roxas, Makati City,
Philippines.
McNicoll, Geoffrey (2006). Policy Lessons of the East Asian Demographic Transition. Population
and Development Review, Vol. 32, No. 1. Population Council.
10. World Bank. (n.d.). World Development Indicators World Bank. Retrieved June 13, 2016, from
WorldBank:
http://data.worldbank.org/country/korea-republic
http://data.worldbank.org/country/indonesia
http://databank.worldbank.org/data/reports.aspx?source=2&country=IDN&series=&period=
Chang, S. and Y. Jung. 2002. “Republic of Korea.” In D. Brooks and S. Evenett, Eds. Competition
Policy and Development in Asia. New York:Palgrave Macmillan.
Singh, Nirvikar. and Trieu, Hung. (1999). Total Factor Productivity Growth in Japan, South Korea,
and Taiwan. Department of Economics, Delhi School of Economics, University of Delhi.
Chung, Tae Dong. (1977). South Korea and Southeast Asia: A Reassessment. Asian Perspective, Vol.
1, No. 1 (Spring 1977), pp. 1-13. Lynne Rienner Publishers.
Mankiw, Gregory N. (2010). Macroeconomics, 7th Edition. Worth Publishers.
Leete, Richard and Iqbal Alam (eds.). 1993. The Revolution in Asian Fertility: Dimensions, Causes,
and Implications. Oxford: Clarendon Press.
VI. Lampiran
Tabel 1
Perbandingan GDP per capita Korea Selatan dan Indonesia
11. Tabel 2
Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Demografi pada Negara-negara Asia
Tabel 3
Proporsi Anak Usia Sekolah yang Terdaftar di Sekolah
Tabel 4
Komparasi GDP per capita Korea Selatan dan Sub-Saharan Africa