sistem dan stuktur demokrasi terpimpin dan demokrasi liberalDian Dwiyanti
Dalam demokrasi liberal kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.Demokrasi Liberal sering disebut sebagai demokrasi parlementer.
Dalam Sistem pemerintahan presidensial kedaulatan negara dipisahkan menjadi tiga golongan kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan satu lagi yaitu yudikatif
1. Sistem pemerintahan pada awal kemerdekaan (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
Sistem pemerintahan yang dianut sistem presidensial
Tugas MPR, DPR dan DPA dilaksanakan oleh presiden dibantu kommite nasional
Tugas MPR, DPR dan DPA dilaksanakan oleh presiden dibantu komite nasional
Tanggal 14 November 1945 dikeluarkanlah maklumat pemerintah tentang perubahan sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer
2. Sistem pemerintahan masa berlakunya konstitusi RIS (27 Desember 1949- 17 Agustus 1950)
Sistem pemerintahannya sistem pemerintahan parlementer
Dasar hukumnya:
Pasal 69 ayat 1 KRIS,”Presiden ialah kepala Negara”
Pasal 118 ayat 1 KRIS,” Presiden tidak dapat diganggu gugat”
Pasal 118 ayat 2 KRIS,” menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijakan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”
3. Sistem pemerintahan masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Sistem pemerintahannya sistem pemerintahan parlementer
Dasar hukumnya:
Pasal 45 ayat 1 UUDS 1950,”Presiden ialah kepala Negara”
Pasal 83 ayat 1 UUDS 1950,”Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat”
Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950,”Menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijakan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”
Pasal 45 ayat 1 UUDS 1950,”Presiden berhak membubarkan DPR, keputusan presiden yang menyatakan pembubaran iyu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR dalam 30 hari”
4. Sistem pemerintahan masa Demokrasi terpimpin (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Sistem pemerintahannya sistem pemerintahan presidensial
Mengalami penyimpangan antara lain:
Pimpinan MPR,DPR,BPK dan MA dibawah presiden
Presiden membubarkan DPR setelah menolak menyetujui RAPBNN yang diusulkan pemerintah
Presiden memperluaskan kekuasaanya melalui UU No.19/1964 antara lain demi kepentingan revolusi presiden berhak mencampuri proses peradilan
Demokrasi liberal (parlementer)
Kurun waktu 1945 – 1949
Pada periode ini sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena negara dalam keadaan darurat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Misalnya, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula berfungsi sebagai pembantu Presiden menjadi berubah fungsi sebagai MPR. Sistem kabinet yang seharusnya Presidensil dalam pelaksanaannya menjadi Parlementer seperti ya
Dokumen tersebut membahas tentang lembaga kepresidenan di Indonesia. Secara garis besar menjelaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial di mana Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Dokumen juga menjelaskan perubahan kekuasaan Presiden akibat amandemen UUD 1945.
Sistem pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan sejak masa kolonial hingga reformasi. Pada masa kolonial, Indonesia diperintah oleh Belanda dan Jepang secara otoriter. Setelah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem presidensial berdasarkan UUD 1945 di bawah Orde Lama dan Orde Baru, namun dengan kekuasaan yang berbeda. Era reformasi mengadopsi sistem demokrasi yang lebih terbuka.
Pada periode 1950-1959, sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem parlementer dan presidensial. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi NKRI dengan konstitusi UUDS 1950 yang masih menganut sistem parlementer. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret dan mengembalikan berlakunya UUD 1945.
Dokumen tersebut merangkum sejarah sistem pemerintahan Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini. Terdapat beberapa periode dengan sistem pemerintahan yang berbeda, mulai dari sistem parlementer hingga presidensial berdasarkan berbagai konstitusi. Periode terakhir mengalami perubahan UUD 1945 pasca reformasi 1998 untuk menyempurnakan tatanan negara dan hak asasi manusia sesuai aspirasi rakyat.
Sistem pemerintahan awal Indonesia setelah kemerdekaan mengalami perubahan dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer melalui beberapa kebijakan seperti Maklumat Wakil Presiden Nomor X dan pembentukan berbagai partai politik. KNIP kemudian diberi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara.
sistem dan stuktur demokrasi terpimpin dan demokrasi liberalDian Dwiyanti
Dalam demokrasi liberal kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.Demokrasi Liberal sering disebut sebagai demokrasi parlementer.
Dalam Sistem pemerintahan presidensial kedaulatan negara dipisahkan menjadi tiga golongan kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan satu lagi yaitu yudikatif
1. Sistem pemerintahan pada awal kemerdekaan (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
Sistem pemerintahan yang dianut sistem presidensial
Tugas MPR, DPR dan DPA dilaksanakan oleh presiden dibantu kommite nasional
Tugas MPR, DPR dan DPA dilaksanakan oleh presiden dibantu komite nasional
Tanggal 14 November 1945 dikeluarkanlah maklumat pemerintah tentang perubahan sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer
2. Sistem pemerintahan masa berlakunya konstitusi RIS (27 Desember 1949- 17 Agustus 1950)
Sistem pemerintahannya sistem pemerintahan parlementer
Dasar hukumnya:
Pasal 69 ayat 1 KRIS,”Presiden ialah kepala Negara”
Pasal 118 ayat 1 KRIS,” Presiden tidak dapat diganggu gugat”
Pasal 118 ayat 2 KRIS,” menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijakan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”
3. Sistem pemerintahan masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Sistem pemerintahannya sistem pemerintahan parlementer
Dasar hukumnya:
Pasal 45 ayat 1 UUDS 1950,”Presiden ialah kepala Negara”
Pasal 83 ayat 1 UUDS 1950,”Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat”
Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950,”Menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijakan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”
Pasal 45 ayat 1 UUDS 1950,”Presiden berhak membubarkan DPR, keputusan presiden yang menyatakan pembubaran iyu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR dalam 30 hari”
4. Sistem pemerintahan masa Demokrasi terpimpin (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Sistem pemerintahannya sistem pemerintahan presidensial
Mengalami penyimpangan antara lain:
Pimpinan MPR,DPR,BPK dan MA dibawah presiden
Presiden membubarkan DPR setelah menolak menyetujui RAPBNN yang diusulkan pemerintah
Presiden memperluaskan kekuasaanya melalui UU No.19/1964 antara lain demi kepentingan revolusi presiden berhak mencampuri proses peradilan
Demokrasi liberal (parlementer)
Kurun waktu 1945 – 1949
Pada periode ini sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena negara dalam keadaan darurat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Misalnya, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula berfungsi sebagai pembantu Presiden menjadi berubah fungsi sebagai MPR. Sistem kabinet yang seharusnya Presidensil dalam pelaksanaannya menjadi Parlementer seperti ya
Dokumen tersebut membahas tentang lembaga kepresidenan di Indonesia. Secara garis besar menjelaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial di mana Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Dokumen juga menjelaskan perubahan kekuasaan Presiden akibat amandemen UUD 1945.
Sistem pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan sejak masa kolonial hingga reformasi. Pada masa kolonial, Indonesia diperintah oleh Belanda dan Jepang secara otoriter. Setelah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem presidensial berdasarkan UUD 1945 di bawah Orde Lama dan Orde Baru, namun dengan kekuasaan yang berbeda. Era reformasi mengadopsi sistem demokrasi yang lebih terbuka.
Pada periode 1950-1959, sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem parlementer dan presidensial. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi NKRI dengan konstitusi UUDS 1950 yang masih menganut sistem parlementer. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret dan mengembalikan berlakunya UUD 1945.
Dokumen tersebut merangkum sejarah sistem pemerintahan Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini. Terdapat beberapa periode dengan sistem pemerintahan yang berbeda, mulai dari sistem parlementer hingga presidensial berdasarkan berbagai konstitusi. Periode terakhir mengalami perubahan UUD 1945 pasca reformasi 1998 untuk menyempurnakan tatanan negara dan hak asasi manusia sesuai aspirasi rakyat.
Sistem pemerintahan awal Indonesia setelah kemerdekaan mengalami perubahan dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer melalui beberapa kebijakan seperti Maklumat Wakil Presiden Nomor X dan pembentukan berbagai partai politik. KNIP kemudian diberi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara.
Sistem pemerintahan Indonesia mengacu pada UUD 1945 yang telah mengalami empat kali amandemen. UUD mengatur pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal antar lembaga negara serta mekanisme check and balances. Sistem yang diadopsi bersifat presidensial dengan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat.
DINAMIKA PELAKSANAAN UUD '45 SEJAK AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANGRifin Sugiarto
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas dinamika pelaksanaan UUD 1945 sejak masa awal kemerdekaan hingga era reformasi, meliputi berbagai masa seperti masa revolusi, Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi beserta perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan konstitusi.
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945Rido Frans
Dokumen tersebut merupakan daftar nama anggota kelompok 5 beserta nomor induk mahasiswanya. Dokumen selanjutnya membahas tentang sistem konstitusi dan dinamika pelaksanaan UUD 1945 di Indonesia.
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3AbdulLatif324
1.) Latar belakang peristiwa yg terjadi
2.) Demokrasi yg berlaku
3.) Bentuk negara & pemerintahan,sifat pemerintahan,konstitusi yg berlaku
4.) Ciri-ciri demokrasi
5.) Penyimpangan-penyimpangan yg terjadi
SEMOGA BERMANFAAT
Paham Demokrasi Terpimpin berdasarkan pada sila ke-4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Paham ini menekankan pada musyawarah untuk mufakat antara berbagai kekuatan nasional termasuk PKI dan militer di bawah pimpinan Presiden Soekarno.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno seperti pembentukan lembaga-lembaga negara dan penyimpangan dari UUD 1945.
2. Juga dibahas tentang peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) selama masa demokrasi terpimpin.
3
Demokrasi terpimpin di Indonesia antara 1959-1966 mengandalkan kepemimpinan Presiden Sukarno. Sistem ini ditandai oleh kebijakan ekonomi yang gagal menstabilkan situasi ekonomi dan kebijakan politik yang semakin otoriter di bawah kepemimpinan tunggal Sukarno.
Sejarah sistem pemerintahan indonesia print yg iniDona Dika
Sistem pemerintahan Indonesia mengalami perubahan berulang dari 1945 hingga 1966. Pada awal kemerdekaan, sistem pemerintahan bersifat presidensial namun berubah menjadi parlementer akibat tekanan politik. Periode 1950-1959 menggunakan sistem parlementer di bawah UUDS sebelum kembali ke sistem presidensial di bawah demokrasi terpimpin Soekarno. Sistem presidensial kuat dipertahankan hingga 1966.
Sistem Pemerintahan di Indonesia dan Perubahan UUD 1945Susfi WiraTama
Dokumen tersebut merangkum sistem pemerintahan Indonesia pada periode 1949-1950 berdasarkan Konstitusi RIS, yang menerapkan sistem parlementer kabinet semu. Dokumen ini juga membahas perubahan UUD 1945 melalui 4 kali amandemen yang secara signifikan mengubah struktur dan mekanisme pemerintahan Indonesia dengan menekankan pada demokrasi, pemisahan kekuasaan, dan otonomi daerah. Amandemen UUD 1945 telah meningkatkan peran ra
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang berlakunya kembali UUD 1945 setelah gagalnya Konstituante dan dibentuknya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno. Ia juga membahas tentang penyimpangan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dari ketentuan UUD 1945 yang mengakibatkan pemusatan kekuasaan di tangan Presiden. Dokumen ini juga menyinggung perubahan arah politik luar negeri Indonesia menjadi cond
Sistem pemerintahan Indonesia mengacu pada UUD 1945 yang telah mengalami empat kali amandemen. UUD mengatur pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal antar lembaga negara serta mekanisme check and balances. Sistem yang diadopsi bersifat presidensial dengan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat.
DINAMIKA PELAKSANAAN UUD '45 SEJAK AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANGRifin Sugiarto
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas dinamika pelaksanaan UUD 1945 sejak masa awal kemerdekaan hingga era reformasi, meliputi berbagai masa seperti masa revolusi, Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi beserta perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan konstitusi.
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945Rido Frans
Dokumen tersebut merupakan daftar nama anggota kelompok 5 beserta nomor induk mahasiswanya. Dokumen selanjutnya membahas tentang sistem konstitusi dan dinamika pelaksanaan UUD 1945 di Indonesia.
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3AbdulLatif324
1.) Latar belakang peristiwa yg terjadi
2.) Demokrasi yg berlaku
3.) Bentuk negara & pemerintahan,sifat pemerintahan,konstitusi yg berlaku
4.) Ciri-ciri demokrasi
5.) Penyimpangan-penyimpangan yg terjadi
SEMOGA BERMANFAAT
Paham Demokrasi Terpimpin berdasarkan pada sila ke-4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Paham ini menekankan pada musyawarah untuk mufakat antara berbagai kekuatan nasional termasuk PKI dan militer di bawah pimpinan Presiden Soekarno.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno seperti pembentukan lembaga-lembaga negara dan penyimpangan dari UUD 1945.
2. Juga dibahas tentang peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) selama masa demokrasi terpimpin.
3
Demokrasi terpimpin di Indonesia antara 1959-1966 mengandalkan kepemimpinan Presiden Sukarno. Sistem ini ditandai oleh kebijakan ekonomi yang gagal menstabilkan situasi ekonomi dan kebijakan politik yang semakin otoriter di bawah kepemimpinan tunggal Sukarno.
Sejarah sistem pemerintahan indonesia print yg iniDona Dika
Sistem pemerintahan Indonesia mengalami perubahan berulang dari 1945 hingga 1966. Pada awal kemerdekaan, sistem pemerintahan bersifat presidensial namun berubah menjadi parlementer akibat tekanan politik. Periode 1950-1959 menggunakan sistem parlementer di bawah UUDS sebelum kembali ke sistem presidensial di bawah demokrasi terpimpin Soekarno. Sistem presidensial kuat dipertahankan hingga 1966.
Sistem Pemerintahan di Indonesia dan Perubahan UUD 1945Susfi WiraTama
Dokumen tersebut merangkum sistem pemerintahan Indonesia pada periode 1949-1950 berdasarkan Konstitusi RIS, yang menerapkan sistem parlementer kabinet semu. Dokumen ini juga membahas perubahan UUD 1945 melalui 4 kali amandemen yang secara signifikan mengubah struktur dan mekanisme pemerintahan Indonesia dengan menekankan pada demokrasi, pemisahan kekuasaan, dan otonomi daerah. Amandemen UUD 1945 telah meningkatkan peran ra
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang berlakunya kembali UUD 1945 setelah gagalnya Konstituante dan dibentuknya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno. Ia juga membahas tentang penyimpangan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dari ketentuan UUD 1945 yang mengakibatkan pemusatan kekuasaan di tangan Presiden. Dokumen ini juga menyinggung perubahan arah politik luar negeri Indonesia menjadi cond
Teks tersebut membahas latar belakang diterbitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang mengembalikan berlakunya UUD 1945 dan sistem Demokrasi Terpimpin. Dekrit ini mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia pada saat itu. Kabinet Kerja kemudian dibentuk menggantikan Kabinet Djuanda.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin di Indonesia pada masa Orde Lama, termasuk penyimpangan-penyimpangannya dari UUD 1945.
2. Ia juga membahas tentang peran PKI dalam mempengaruhi ajaran Nasakom dan politik luar negeri Indonesia yang condong ke blok Timur pada masa itu.
3. Sistem demokrasi terpimpin
Dokumen tersebut membahas sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 dan perkembangannya melalui berbagai periode sejarah, mulai dari periode proklamasi kemerdekaan hingga reformasi. Sistem pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945 adalah presidensial dengan kekuasaan eksekutif dipegang Presiden dan legislatif di DPR.
Teks tersebut membahas tentang lembaga legislatif di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa lembaga legislatif bertugas membuat undang-undang dan mengawasi pemerintah. Di Indonesia, lembaga legislatif antara lain DPR, DPD, dan MPR. DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung, sedangkan MPR dan DPD memiliki peran dalam mengawasi pemerintah dan menetapkan arah kebijakan negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah konstitusi Indonesia yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 telah mengalami 4 kali amandemen antara tahun 1999-2002 yang mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 memuat landasan negara berdasarkan Pancasila serta mengatur ketatanegaraan, hak asasi manusia, dan pembagian kekuasaan di Indonesia.
Majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia atau cukup disebut majelis permusyawaratan rakyat
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau MPR) adalah lembaga
legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Daftar isi
1 Sejarah
o 1.1 Masa Orde Lama (1945-1965)
o 1.2 Masa Reformasi (1999-sekarang)
2 Tugas dan wewenang
o 2.1 Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
o 2.2 Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
o 2.3 Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
o 2.4 Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
o 2.5 Memilih Wakil Presiden
o 2.6 Memilih Presiden dan Wakil Presiden
3 Keanggotaan
4 Hak dan kewajiban anggota
o 4.1 Hak anggota
o 4.2 Kewajiban anggota
5 Fraksi dan kelompok anggota
o 5.1 Fraksi
o 5.2 Kelompok anggota
6 Alat kelengkapan
o 6.1 Pimpinan
o 6.2 Panitia Ad Hoc
7 Sidang
8 Lihat pula
9 Referensi
10 Pranala luar
2. Sejarah
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi
negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta
perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan
keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi
Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila
keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem
perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip
kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah
dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan
Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh
wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).
Masa Orde Lama (1945-1965)
Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan
Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden
dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu
mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah
MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
3. Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam
konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang
diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung
pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota
Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
Pembubaran Konstituante,
Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh
Presiden.
MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR,
241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan
adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden
tersebut dipandang tidak memadai lagi.
4. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai
pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul
”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang
meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi
ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa
dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara”
beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara,
dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan
memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan
Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Masa Reformasi (1999-sekarang)
Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai
lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara
terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga
sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” , setelah perubahan
Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang
ditentukan oleh UUD 1945.
5. Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan
sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.
Tugas dan wewenang
Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota
MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan
MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan
selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan
Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul
beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang
paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi
negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri
6. oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09
November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa
jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR
tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak
dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan
Mahkamah Agung.
Memilih Wakil Presiden
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil
Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
7. Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Keanggotaan
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum
reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota MPR periode
2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada
saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang
paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
Hak dan kewajiban anggota
Hak anggota
Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
Memilih dan dipilih.
Membela diri.
Imunitas.
Protokoler.
Keuangan dan administratif.
Kewajiban anggota
8. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Fraksi dan kelompok anggota
Fraksi
Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi
dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi
urusan fraksi masing-masing.
Fraksi Jumlah Anggota Ketua
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) 109 Ahmad Basarah
Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) 91 Rambe Kamaruzzaman
Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) 73 Edhie Prabowo
Fraksi Partai Demokrat (F-PD) 61 Evert Ernest Mangindaan
Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 48 Alimin Abdullah
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) 47 Muhammad Lukman Edy
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 40 Ahmad Zainuddin
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) 39 Irgan Chairul Mahfiz
Fraksi Partai NasDem (F-NasDem) 36 Bachtiar Aly
Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura) 16 Sarifuddin Sudding
Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 132 Bambang Sadono
Kelompok anggota
9. Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi
dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan
Kelompok Anggota.
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.
Pimpinan
Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal
dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR. Namun pada periode 2014 - 2019
pemilihan pimpinan MPR dilaksanakan dengan mengajukan 2 paket yang di usung oleh dua koalisi besar (KMP dan KIH) dengan struktur terdiri 4 orang dari DPR
dan 1 orang dari DPD.[1]
Panitia Ad Hoc
Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah
anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.
Sidang
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
10. sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai hasil yang
mufakat.