Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur
penguasaan, pemilikian, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui
Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses
untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Pengaruh perubahan iklim global pada perencanaan pembangunan wilayah fixAndy Herlambang
Â
konsentrasi GHG di atmosfer adalah akibat aktivitas anusia di seluruh dunia. Emisi dari permukiman, transportasi, industri telah mengakibatkan pemanasan global.
Ketidakadilan sosial dan timbulnya pertikaian sosialAbdus Salam
Â
Konflik sering kali muncul dalam kehidupan realitas sosial, kata konflik sering dikonotasikan negatif. Hal ini terlepas dari asumsi tentang hipotesis dalam menganalisis fenomena sosisal, namun eksistensi konflik masih juga dijadikan sebagai entitas yang memilukan bagi pribadi-pribadi yang menganalisisnya berdasarkan sudut pandang yang linier. Menurut Zuldin (Zuldin, 2019)
8_Dampak Negatif Reklamasi Teluk Jakartasakuramochi
Â
Reklamasi Teluk Jakarta dilakukan sebagai upaya untuk memperluas wilayah daratan untuk kepentingan ekonomi dari suatu daerah perkotaan yang memiliki permasalahan keterbatasan lahan. Akan tetapi, reklamasi Teluk Jakarta berdampak negatif yang menyebabkan masyarakat di sekitarnya kehilangan tempat tinggal dan akses terhadap sumber mata pencaharian. Dampak sosial ini seharusnya dapat dihindarkan melalui upaya pemerintah dengan mengedepankan dinamika sosial yang ada di lapangan. DPR harus mempertegas pengawasan selama penghentian proyek reklamasi dan mendorong pemerintah untuk menemukan solusi mengurangi dampak negatif reklamasi bagi masyarakat.
Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur
penguasaan, pemilikian, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui
Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses
untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Pengaruh perubahan iklim global pada perencanaan pembangunan wilayah fixAndy Herlambang
Â
konsentrasi GHG di atmosfer adalah akibat aktivitas anusia di seluruh dunia. Emisi dari permukiman, transportasi, industri telah mengakibatkan pemanasan global.
Ketidakadilan sosial dan timbulnya pertikaian sosialAbdus Salam
Â
Konflik sering kali muncul dalam kehidupan realitas sosial, kata konflik sering dikonotasikan negatif. Hal ini terlepas dari asumsi tentang hipotesis dalam menganalisis fenomena sosisal, namun eksistensi konflik masih juga dijadikan sebagai entitas yang memilukan bagi pribadi-pribadi yang menganalisisnya berdasarkan sudut pandang yang linier. Menurut Zuldin (Zuldin, 2019)
8_Dampak Negatif Reklamasi Teluk Jakartasakuramochi
Â
Reklamasi Teluk Jakarta dilakukan sebagai upaya untuk memperluas wilayah daratan untuk kepentingan ekonomi dari suatu daerah perkotaan yang memiliki permasalahan keterbatasan lahan. Akan tetapi, reklamasi Teluk Jakarta berdampak negatif yang menyebabkan masyarakat di sekitarnya kehilangan tempat tinggal dan akses terhadap sumber mata pencaharian. Dampak sosial ini seharusnya dapat dihindarkan melalui upaya pemerintah dengan mengedepankan dinamika sosial yang ada di lapangan. DPR harus mempertegas pengawasan selama penghentian proyek reklamasi dan mendorong pemerintah untuk menemukan solusi mengurangi dampak negatif reklamasi bagi masyarakat.
Selasar adalah buletin yang dikelola resmi oleh SekNas Jaringan GUSDURian. Buletin ini berisi artikel dan informasi tentang kegiatan Komunitas dan atau personal GUSDURian di berbagai daerah yang terus melanjutkan pemikiran & perjuangan Gus Dur. Bila sahabat ingin mendapat kiriman selasar setiap bulan, sila SMS nama*alamat email*kota domisili ke HOTLINE 082141232345.
Buletin ini bersifat open source. Kami mempersilakan sahabat yang ingin menyumbang tulisan, bisa kirim artikelnya ke redaksi SELASAR: selasar.redaksi@gmail.com
Perlawanan Petani, Konflik agraria, dan Gerakan SosialSadikin Gani
Â
Peasants hold an important role in the social alternation and the history development in a society. Researches on the peasants' struggle as well as the agrarian conflicts are supposed to be placed in the frame of the study of social movement. Conflicts are parts of the strategy and tactics of the peasants' struggle in order to make the agrarian reform come true. Thus, conflicts do not always have to be ended, but managed in order to become the power to boost the agrarian reform (agrarian reform by leverage).
Transformasi masyarakat petani mranggen menuju masyarakat industriTrisna Nurdiaman
Â
Perkembangan kota Semarang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut juga kebutuhan lahan yang semakin besar. Keterbatasan luas lahan yang ada di Semarang menyebabkan kota ini mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota, seperti Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Mranggen merupakan daerah yang mengalami dinamika dan perkembangan yang sangat pesat (rapid growth area), sehingga daerah perbatasan ini cukup sulit dibedakan dengan pusat kota (Semarang) (Suprapta, 2006: 2). Akibatnya, kehidupan daerah perbatasan kota ini terpengaruh oleh tata kehidupan kota dan bisa disebut rural-urban areas.
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Â
Konflik Agraria dan Pembangunan Desa
1. 1 | P a g e
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
TEORI PERUBAHAN SOSIAL
KONFLIK AGRAGIA DAN IRONI PEMBANGUNAN DI DESA
Oleh : Muhammad Mardhan
(Mahasiswa S2 PSDK | NIM 17/422835/PSP/06324)
A. Latar Belakang
Persoalan pembangunan, dewasa ini tidak hanya mengundang perdebatan mengenai
bagaimana capaian-capaian pembangunan itu berarti bagi kehidupan masyarakat, namun juga
menghadirkan pertanyaan bernada kritis tentang apa saja dampak yang timbul akibat
pembangunan itu sendiri. Hal ini mulai ramai menjadi sorotan setidaknya sejak proses
pembangunan di Indonesia merembet masuk ke wilayah pedesaan dan menimbulkan berbagai
persoalan baru di desa.
Salah satu persoalan penting yang ditimbul akibat proses pembangunan di desa adalah
menyangkut masalah agraria (pertanahan). Dalam konteks ini, masalah yang timbul tidak
hanya menyangkut krisis lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara
berlebihan oleh kegiatan industri, akan tetapi juga melahirkan konflik agraria akibat
perebutan tanah oleh berbagai pihak.
Dalam catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) telah menunjukkan bahwa di
tahun 2017, terdapat sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayah
dan provinsi di tanah air dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik tersebut
melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Dibanding tahun 2016, angka
kejadian konflik pada tahun ini menunjukkan kenaikan yang sangat siginifikan di mana
terjadi peningkatan hingga 50%. Jika dirata-rata, maka hampir dua konflik agraria terjadi
dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun ini.
Namun yang lebih ironis dari berbagai kasus konflik agraria yang terjadi, karena pada
kenyataannya pihak yang memperebutkan sumber daya (tanah) yang terdapat di desa bukan
saja warga desa sendiri, melainkan juga para investor yang berasal dari luar desa yang
biasanya berkolaborasi dengan elit lokal untuk memuluskan proses kapitalisasi tanah yang di
desa. Adanya pola Investasi melalui penggunaan tanah berskala luas semacam ini telah
menghasilkan ketimpangan atas penguasaan lahan dan juga menuai konflik agraria dan
2. 2 | P a g e
kemiskinan. Fenomena ekspansi modal yang menyerbu desa tersebut pada akhirnya
mengakibatkan masyarakat desa, khususnya para petani tidak berdaya atas aset-aset yang
mereka miliki dan pada akhirnya membuat mereka kehilangan sumber penghidupannya.
Meskipun dampak yang timbul akibat konflik agraria telah menyeret banyak korban
dan kerugikan, di Indonesia, konflik agraria dapat di katakan belum mendapat perhatian yang
serius dan bahkan diabaikan. Padahal konflik agraria itu telah menyebabkan dampak
ekonomi, politis dan sosial terhadap masyarakat pedesaan. Di beberapa tempat di Indonesia
seperti di Rembang, Jateng (kasus PT.Semen Indonesia), Kulonprogo, DIY (pembangunan
bandara udara), Sukamulya, Jawa Barat (pembangunan infrastruktur), Lumajang, Jawa Timur
(kasus pertambang pasir besi), Sumatera Barat (Kasus Komunitas Nagari Kinali vs
perusahaan perkebunan sawit), dan masih banyak lainnya bahkan perebutan sumber daya
agraria itu diiringi pula oleh kekerasan fisik dan bentuk kriminalitas lainnya.
Atas dasar itulah maka penulis merasa penting untuk mengangkat tema mengenai
konflik agraria yanag terjadi di beberapa daerah di Indonesia untuk melihat kembali
bagaimana dinamika yang dalam konflik agraria yang berlangsung, hubungan antara aktor
yang terlibat dalam konflik, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi timbulnya konflik
tersebut.
Pembangunan, Penyingkiran dan Resistensi Masyarakat
Memperbincangkan konflik agraria yang saat ini berlangsung nampaknya mustahil
jika kita melewatkan diskursus tentang keterlibatan negara dan korporasi di dalamnya. Sebab
bagaimanapun, hari ini kita telah menyaksikan bagaimana kawanan korporasi yang direstui
oleh negara secara beramai-ramai mengoperasikan pembangunan dengan berbagai modelnya:
mulai dari pembangunan jalanan, bandara, perhotelan, reklamasi untuk apertemen ataupun
pusat wiasata, pertambangan sumber daya alam dan perkebunan dengan alih fungsi lahan,
baik itu berupa perkebunan kelapa sawit hingga pembukaan pertanian massal yang luasnya
mencapai ratusan ribu hingga jutaan hektar.
Hal ini tentu saja merupakan sebuah paradoks. Saya katakan demikian karena proses
pembangunan tersebut diiringi pula dengan proses penggusuran dan perampasan tanah-tanah
milik masyarakat. Sebab pembangunan hanya dapat dimungkinkan dengan adanya
lahan/tanah. Dalam konteks ini, untuk memuluskan jalannya pembangunan maka proses
penyingkiran dianggap sebagai kewajaran. Maka tak heran atas nama pembangunan, dan atas
3. 3 | P a g e
nama pertumbuhan ekonomi penguasaan Tanah dan juga sumber daya strategis yang ada di
desa saat ini justru lebih banyak dikuasai oleh atau jatuh ke tangan para pemilik modal,
termaksud investor asing. Implikasi dari model penguasaan tanah yang kapitalistik semacam
ini tentu saja melahirkan ketimpangan penguasaan tanah dan juga penyingkiran masyarakat
di pedesaan. Oleh karena itu, menjadi wajar pula jika proses pembangunan yang jalankan,
baik oleh negara maupun oleh korporasi seringkali dihujani aksi protes dan resistensi oleh
kelompok masyarakat dengan beragam bentuknya.
Fenomena konflik semacam ini tentunya tidak begitu mengejutkan, sebab tanah
merupakan basis bagi keberlangsungan hidup manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia,
orang/manusia membutuhkan tanah baik sebagai tempat tinggal, berproduksi serta kebutuhan
lainnya. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama
dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya memiliki nilai
ekonomis yang tinggi, tetapi juga nilai filosofis, sosial , kultural,dan eklogis. Oleh karena
itulah tak mengherankan apabila setiap orang atau kelompok senantias berusaha untuk
memiliki/mempertahankan, bahkan memperebutkan tanah untuk berbagai kepentingannya.
Hal ini nampaknya sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Moch. Tauchid
bahwa “Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah
adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan,
perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah, mengorbankan
segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.” (Moch. Tauchid, 1952)
Padahal dalam UUD 1945 pada pasal 33 ayat 3 telah jelas disebutkan bahwa “bumi,
air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negar dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Amanat tersebut sejatinya mengisyaratkan
bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya
dengan melakukan pengelolaan sumber daya yang dimiliki negara secara adil.
B. Penjelasan Teoritis
Kisah-kisah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia merupakan
pemandangan yang semakin lama semakin dianggap sebagai sebuah kelaziman. Ada kesan
bahwa konflik agraria yang berlangsung tiada henti itu tidak lepas dari peranan negara dan
ekspansi kapitalisme. Maka dalam pembahasan ini, untuk menganalisis konflik agraria yang
4. 4 | P a g e
ada berikut faktor-faktor yang mempengaruhinya maka penulis menggunakan dua teori,
yakni : Teori Marxis dan Teori Resistensi James C. Scott
1. Teori Marxis
Pandangan Marxis menekankan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan
ekonomi kapitalis (ekspansi kapital masuk ke desa) yang mengakibatkan perebutan sumber
daya (konflik) dan selanjutnya menyebabkan penduduk tersingkir dari tanahnya (tesis
proletarisasi). Proletarisasi atau proses terciptanya golongan sosial yang hidup dari menjual
tenaga kerjanya tidak terjadi begitu saja. Jadi, bukan pula karena Tuhan telah mentakdirkan
segolongan orang menjadi pekerja sementara segolongan orang lainnya bisa hidup hanya
sebagai pemilik sarana produksi.
Karl Marx sendiri sangat menekankan pentingnya aspek historis dalam melihat asal mula
pembentukan kelas proletariat. Dalam hal ini, Marx melalui upayanya telah melacak sejarah
perkembangan ekonomi dari transisi feodalisme ke kapitalisme. Dalam istilah Marx sendiri,
hal ini disebut sebagai Akumulasi Primitif. Akumulasi primitif merupakan titik landas
kapitalis sebelum melakukan aktifitas selanjutnya, yakni Akumulasi Kapital. Bagi Marx
bahwa tujuan dari akumulasi primitif tak lain adalah memisahkan para produsen independen,
utamanya para petani, dari alat produksi mereka (tanah) melalui perampasan dan mengingkari
hak-hak petani (termasuk hak-hak adat) atas tanah, sehingga kapitalis dapat memonopoli alat
produksi. Dengan merampas alat produksi para petani, nelayan atau produsen berskala kecil,
maka tenaga kerja mereka menjadi terbuka untuk dijual kepada kelas kapitalis dalam proses
akumulasi kapital. Mereka kemungkinan segera terintegrasi ke dalam proses akumulasi
kapital sebagai tenaga kerja murah, setelah kehilangan alat produksinya. Dengan kata lain,
para petani dalam hal ini akan berubah status menjadi buruh. Akumulasi primitif, dengan
demikian adalah sebuah proses historis pembentukan kelas proletariat1
Keterlibatan elit politik sebagai representasi dari negara dalam kasus ini jelas, sebagaimana
yang di ungkapkan Marx : “Tanah diberikan begitu saja atau dijual dengan harga yang
konyol atau dikuasai sebagai lahan swasta melalui penyerobotan langsung. Kerjasama para
penguasa politik dengan elite-elite borjuis telah memungkinkan kaum elite menganugrahi diri
mereka lahan- lahan garapan penduduk menjadi milik pribadi [mereka]” (Marx, 1990: 884).
Oleh karena itu, konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah
1
Marx,Kalr 2004. Kapital (Jilid 1) Jakarta : Hasta Mitra
5. 5 | P a g e
atau yang tanahnya dirampas kepada kapitalis dan negara ditempatkan sebagai instrumen
kelas kapitalis. Inti, alur pikiran Marxis dalam konteks ini adalah keberpihakan negara
kepada pebisnis (kapitalis), dengan kata lain hal ini tak lain merupakan persoalan strukturan
dan oleh sebab itu tidak terhindarkan dari sistem ekonomi kapitalis.
David Harvey, selah seorang teoritisi Marxis terkemuka di abad ini dalam bukunya, A Brief
History of Neoliberalism (2007:54) mengemukakan konsepnya tentang Akumulasi lewat
penjarahan (accumulation by dispossesion). Bagi Harvey, setidaknya ada 10 ciri akumulasi
primitif seperti yang diangkat oleh Marx dalam Das Kapital, yaitu : Komodifikasi dan
swastanisasi tanah, pengusiran paksa petani dari lahan garapannya, pengalihan bentuk-bentuk
kepemilikan prakapitalis menjadi kepemilikan pribadi borjuis, penindasan terhadap peri-
kehidupan komunal, komodifikasi tenaga kerja, penghancuran bentuk-bentuk produksi dan
konsumsi non kapitalis, konolisasi aset-aset, monetasi pertukaran dan perpajakan: politik
suap, sistem kredit, utang nasional, dan lainnya ke dalam jaringan sirkulasi kapital2
.
2. Teori Resistensi
Menurut Scott, tujuan resistensi dimaksudkan untuk memperkecil atau menolak sama
sekali klaim-klaim yang diajukan kelas-kelas dominan atau mengajukan klaim-klaim mereka
sendiri dalam menghadapi kelas dominan. Dalam hal ini, kesadaran kolektif yang dimiliki
masyarakat yang terancam/telah kehilangan tanah berupaya membentuk suatu gerakan
perlawanan yang memunculkan suatu tuntutan-tuntutan untuk mempertahankan atau
mengembalikan tanah mereka yang telah dirampas oleh kelompok dominan, baik oleh negara
maupun oleh korporasi.
Di dalam bukunya Weapons of the Wealc, James C. Scott menguraikan betapa akibat
meluasnya peranan negara dalam proses transformasi pedesaan melalui Revolusi Hijau, telah
mengubah hubungan antara petani kaya dengan petani miskin, di mana yang kaya menjadi
semakin kaya sedangkan yang miskin tetap tinggal miskin, bahkan menjadi lebih miskin.
Perubahan ini melahirkan berbagai bentuk perlawanan kaum lemah dalam menghadapi
hegemoni kaum kaya maupun neganra. Scott menunjukkan betapa petani miskin mampu
membangun perlawanan terhadap hegemoni negara lewat penetrasi negara di dalam proses
transformasi hubungan-hubungan produksi dengan mekanisasi dan modernisasi pertanian,
2
Mulyanto,Dede, Kapitalisme Perspektif Sosio-Historis, Bandung : Penerbit Ultimus. Hlm 90
6. 6 | P a g e
dengan menyebutkan realitas itu sebagai everyday forms of repression yang dihadapi dengan
everyday forms of resistance (James C. Scott: 1985, 241).
Adapun upaya untuk menjelaskan timbulnya protes petani dapat dilihat dalam tiga faktor :
Pertama, akibat meluasnya komersialisasi pertanian yang mengakibatkan merosotnya
keamanan ekonomi petani, terbongkarnya hubungan-hubungan sosial pedesaan, dan
melemahnya nilai-nilai tradisional. Kedua, faktor pembentukan organisasi politik yang
berasal dari luar masyarakat petani yang mengembangkan tuntutan bantuan sumber daya
ekonomi, perlindungan, keahlian organisasi, dan sistem nilai baru. Ketiga, respon negara,
khususnya perpaduan dari pilihan antara reformasi dan penindasan yang menimbulkan
dampak penting pada lingkup dan intensitas mobilisasi gerakan petani.
C. Fakta Empiris
1. Lonjakan Konflik Agraria
Dalam kurun waktu 2017, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik
agraria di berbagai wilayah dan provinsi di tanah air dengan luasan 520.491,87 hektar.
Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Dari semua
sektor yang dimonitor, perkebunan masih menempati posisi pertama. Sebanyak 208 konflik
agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah
kejadian konflik. Sektor properti menempati posisi kedua dengan 199 (30%) jumlah kejadian
konflik. Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik (14%), disusul sektor
pertanian dengan 78 (12%) kejadian konflik. Seterusnya sektor kehutanan dengan jumlah 30
(5%) konflik, sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 (4%) konflik, dan terakhir sektor
pertambangan dengan jumlah 22 (3%) kejadian konflik yang terjadi sepanjang tahun 2017.
Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK (2015-2017), telah terjadi
sebanyak 1.361 letusan konflik agraria.
7. 7 | P a g e
Tabel.1 Konflik Agraria Persektor
Sumber : Konsorsium Pembaharuan Agraria Tahun 2016
Persoalan pelik lain dari masalah perkebunan juga lagi-lagi dengan ketimpangan
kepemilikan lahan. Dari total lahan perkebunan sawit yang ada di Indonesia, seluas 31 persen
dari luas area yang ditanami sawit dimiliki oleh hanya beberapa group perusahaan besar
seperti Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group dan Surya
Dumai Group3
.
2. Persebaran Konflik Agraria
Menurut laporan KPA (2016), berdasarkan persebarannya konflik agraria tersebar di
34 Provinsi, dengan enam besar provinsi sebagai penyumbang konflik tertinggi, antara lain:
1) Riau dengan 44 konflik (9,78 %), 2) Jawa Timur dengan 43 konflik (9.56 %), 3) Jawa
Barat sebanyak 38 konflik (8,44 %), 4) Sumatra Utara 36 konflik (8,00 %), 5) Aceh 24
konflik (5,33 %), dan Sumatra Selatan 22 konflik (4,89 %).
Seperti di tahun sebelumnya, Provinsi Riau kembali menjadi penyumbang konflik
agraria tertinggi. Ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri
(HTI) menjadi penyebab utama konflik agraria di provinsi ini, sebagai akibat dari putusan
pejabat publik yang memberikan ijin-ijin konsesi kepada perusahaan di atas tanah-tanah yang
sesungguhnnya telah dikuasai dan digarap warga setempat. Tercatat, Riau merupakan
provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, mencapai 2,4 juta hektar
3
http://www.mongabay.co.id/2016/04/18/industri-kelapa-sawit-dan-perjalanan-politik-komoditas-ini-di-
indonesia/
8. 8 | P a g e
dengan produksi mencapai 7,4 juta ton di tahun 2015 berdasarkan data dari Direktorat
Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI.
Oleh sebab itu, kini di Riau terjadi krisis lingkungan yang sungguh luar biasa, yaitu
kejadian pembakaran hutan setiap tahun, bahkan akhir-akhir ini lebih dari sekali di tahun
yang sama. Saat menghirup asap yang membahayakan jiwa dan generasi yang hilang
dianggap biasa-biasa saja, saat itulah sesungguhnya krisis telah mencapai puncaknya. Dengan
laju deforestasi 160 ribu hektare pertahunnya, hutan di Provinsi Riau saat ini hanya tersisa
20% saja dari seluruh luas daratan yang ada. Sebagian besar kehilangan hutan di Riau
disebabkan oleh berbagai bentuk eksploitasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan, yaitu
untuk hutan tanaman maupun alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit4
.
Sementara itu, Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat menempati posisi kedua dan
ketiga. Pada umumnya konflik agraria yang terjadi di Jawa berkaitan dengan penguasaan
tanah oleh PTPN, monopoli hutan Jawa oleh pihak Perhutani dan perluasan proyek-proyek
pembangunan infrastruktur (jalan tol, bandara internasional, perumahan, waduk, dan lain-
lain) yang tumpang-tindih dengan garapan dan pemukiman masyarakat. Kemudian, Sumatera
Utara menempati urutan keempat yang didominasi oleh konfilk karena ekspansi perkebunan,
terutama kelapa sawit.
D. Kesimpulan
Setelah melihat gambaran atas konflik agraria di beberapa tempat sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas, maka berdaskan hal itu penulis menarik beberapa kesimpulan :
Pertama, tidak ada satu pun faktor tunggal yang bisa menjelaskan konflik agraria yang kini
tengah berlangsung, sebab di tempat berbeda masalahnya pun berneda. Namun dari berbagai
kasus yang muncul kita dapat menarik benang merah bahwa sejatinya protes-protes agraria
yang kian ramai dimotori oleh penduduk desa/komunitas lokal berhubungan erat dengan
pembangunan yang telah dijalankan pemerintah serta ekspansi modal dalam berbagai
bentuknya. Hal itu berarti, di satu sisi kita dapat mengatakan bahwa pembangunan dan
ekspansi modal merupakan penyebab konflik, walaupun di sisi lain kita dapat
menghubungkannya dengan berbagai persoalan dan faktor lainnya.
4
Uslaini,dkk. Robohjya Sumatera Kami ( Samdhana Institute : 2015 ) hlm. 91
9. 9 | P a g e
Kedua, dalam praktiknya, konflik agraria, secara langsung disebabkan oleh dan
terjadi ketika pemberian izin/hak oleh pengurus publik (menteri kehutanan, menteri ESDM,
kepala BPN, Gubernur, Bupati) tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan masyarakat adat/lokal
ke dalam ijin/hak/lisensi badan-badan usaha raksasa. Pengadaan tanah skala besar untuk
kepentingan proyek-proyek pembangunan tersebut seringkali menggunakan kekerasan (baik
itu menggunakan tangan preman maupun aparat kepolisian), manipulasi, dan penipuan.
Ketiga, konflik agraria yang meletus di sana-sini di seluruh Indonesia perlu dipahami
penanganan yang serius melalui sebuah kajian yang konpherensif, dan tidak cukup dengan
menggunakan pendekatan hukum. Sebab aksi protes oleh petani atau petani bersama
organisasi-organisasi masyarakat sipil tidak bisa dipisahkan dan dilokalisir sedemikian rupa
sebagai masalah perbuatan hukum yang terpisah dari masalah konflik agraria. Sesungguhnya,
tindakan kriminalisasi terhadap para pelaku protes adalah bagian dari hal-hal yang
melestarikan konflik itu sendiri.
Keempat, bahwa negara dalam hal ini pada dasarnya merupakan menjadi salah satu
penyebab timbulnya konflik. Dikatakan demikian, karena negara baik secara langsung
maupun tak langsung sejatinya telah melegitimasi berbagai kebijakan investasi tanah melalui
kerjasamanya dengan swasta, dan dalam perjalanannya justru mengabaikan hak-hak
masyarakat sipil atas penguasaan tanah. Hal ini akhirnya melahirkan perlawanan langsung
dari rakyat. Disinilah konflik itu terjadi, yaitu pertentangan klaim yang berkepanjangan
antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan negara (pemerintah) atau investor yang
bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya.
Lewat tulisan ini semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk memahami
keikutsertaan negara dan korporasi dalam masalah-masalah agraria di Indonesia. Ini
sekaligus merupakan salah satu bukti, betapa sulitnya untuk mendorong negara dalam
melakukan penanganan serius atas masalah agraria juga menghentikan pengerusakan hutan.
10. 10 | P a g e
Daftar Pustaka
Afrizal.2006, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-protes Agraria Dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer, Andalas University Press
Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), 2016. Liberalisasi Agraria
Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan
Hotman,M. 1999, Anarki Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi Di Pedesaan,
Jurnal JSP Volume 2 Nomor 3 Tahun 1999.
Fauzi,Noer. 2015, Panggilan Tanah Air, Yogyakarta : Insist Press
Marx,Karl. 2004, Kapital Jilid 1 : Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Jakarta : Hasta Mitra
Ritzer,Goerge.2012, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Wiradi, Gunawan. 2009, Seluk Beluk Masalah Agraria : Reforma Agraria dan Penelitian
Agraria, Yogyakarta : STPN Press
Media Online : https://tirto.id/musim-konflik-agraria-yang-tak-pernah-berakhir-cc6J
https://indoprogress.com/2016/09/akumulasi-primitif-dan-masalah-agraria-di-pesisir-sumenep/