3. Istilah ‘budaya’ dalam Kajian Budaya
(Cultural Studies) lebih bermakna politis
daripada estetis.
lebih dipahami sebagai teks dan praktik
hidup sehari-hari yang merupakan ranah
konflik dan pergumulan (John Storey, 2007, 2-
3)
contoh: kontestasi wacana di Youtube
4. Lalu, apa itu ‘Kajian Budaya’ yang dimaksud
di sini?
enggan mendefinisikan sebab tidak mudah
untuk menetapkan batas-batas kajian budaya
sebagai satu disiplin ilmu yang utuh
Kajian budaya selalu merupakan bidang
penelitian multidisipliner
5. Bennet (1998) :
“Kajian budaya (Cultural Studies) adalah
suatu arena interdisipliner dimana perspektif
dari disiplin yang berlainan secara selektif
dapat digunakan untuk menguji hubungan
kebudayaan dan kekuasaan.”
6. Bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi
oleh kajian budaya misalanya gender, ras,
kelas, kolonialisme, dll.
Kajian Budaya berupaya memahami
hubungan yang berkelidan antara kebudayaan
dan kekuasaan, untuk kemudian
dimanfaatkan guna melakukan perubahan.
(Chris Barker, 2004, 5)
eksplanatif tetapi juga emansipatoris.
7.
8.
9. Ada Perbedaan antara study of culture (Studi
Kebudayaan) dan Cultural Studies
Study of Culture bersifat deskriptif dan netral
Sedang, Cultural Studies merupakan suatu
pembentukan wacana, gagasan, citra, praktik,
aktivitas sosial, terlibat dalam perubahan.
10. Tahun 1960’an, di mana para pemikir kajian budaya
menghadapi masyarakat setelah Perang (post-war
British Society)
Masyarakat mengalami pergeseran dari pergolakan
perang total (Perang Dunia II) memasuki periode
perubahan dan perkembangan atau disebut dengan
istilah post-war ‘settlement’
Istilah ‘Settlement’ ini didefinisikan oleh
kemenangan kembali produksi kapitalis
relasi jenis baru, sebuah ‘keseimbangan baru’.
LATAR BELAKANG HISTORIS
11.
12. Retakan kualitatif semacam apa yang tercipta pada
masyarakat Inggris pada masa itu? Apakah Inggris
tetap peradaban kapitalis atau post-kapitalis?
Apakah kesejahteraan kapitalisme
merepresentasikan pengaturan kembali masyarakat
secara fundamental atau permukaan saja?
13. Pembentukan Centre for Contemporary Cultural Studies di
Universitas Birmingham (Inggris) tahun 1960-an menjadi
gerakan yang menentukan Kajian Budaya.
Mendapat basis intelektual.
Beranggotakan praktisi Kajian Budaya di Amerika, Australia,
Afrika, Asia, Amerika Latin dan Eropa.
Memunculkan Tokoh kunci dalam Kajian Budaya, seperti
Stuart Hall (Direktur Birmingham Centre for Contemporary
Cultural Studies dari 1968 to 1979)
Tokoh kunci: Richard Hoggart, Raymond Williams, Stuart Hall
CENTRE FOR CONTEMPORARY CULTURAL
STUDIES
14. Kajian budaya setidaknya memiliki beberapa
objek material yang menjadi kunci yaitu
‘kebudayaan sebagai praktik bermakna’,
representasi, ekonomi-politik, kekuasaan,
budaya pop, teks dan pembacanya, serta
subjektivitas dan identitas.
OBJEK MATERIAL DALAM KAJIAN BUDAYA
15. Pertama, kebudayaan sebagai praktik bermakna,
maksudnya ialah kebudayaan merupakan lingkungan
aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa
dan adat istiadat tertentu.
Kebudayaan terkait dengan makna sosial yaitu
bagaimana dunia dipahami secara bersama.
Makna dibangun melalui tanda dan bahasa.
Dalam Kajian budaya tidak menganut pendirian
bahwa bahasa itu media yang netral melainkan
selalu memberi makna pada objek material dan
praktik sosial kita (Chris Barker, 2004, 8-9).
16. Kedua, representasi. Pertanyaan terbesar
dalam Kajian Budaya ialah ‘bagaimana dunia
ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara
sosial kepada kita?’.
Representasi melekat pada bunyi, prasasti,
objek, citra, buku, majalah, program televisi,
dll (Chris Barker, 2004,9).
contoh: apakah iklan itu realitas atau
simulasi?
17.
18. Ketiga, ekonomi-politik menjadi perhatian utama
pula dalam Kajian Budaya.
Kajian Budaya memberi perhatian pada ekonomi
modern yang terindustrialisasi dan budaya media
yang dikendalikan sistem kapitalis.
kajian budaya turut mempertanyakan: siapa yang
memiliki dan mengontrol produksi kultural?
Bagaimana distribusi dan mekanismenya? Apa
akibat dari pola-pola kepemilikan dan kontrol
tersebut bagi lanskap budaya? (Chris Barker, 2004,
9-10)
Contoh: musik pop, genre, isi lirik, arah?
19.
20. Keempat, kekuasaan. Kekuasaan dalam Kajian
Budaya tidak hanya dipahami dalam arti sebagai
kekuatan koersif yang menempatkan sekelompok
orang di bawah orang lain tetapi juga sebagai proses
yang membangun segala bentuk tindakan, hubungan
atau tatanan sosial. (Chris Barker, 2004, 10-11).
Kekuasaan bukan hanya dalam arti makro-politik
tetapi mikro-politik, bukan hanya terpusat tetapi
menyebar
Contoh: feminitas/maskulinitas dalam film, iklan,
reels ig.
21. Kelima, budaya pop/budaya populer, merupakan
ranah di mana terjadi persetujuan atau pemenangan
suatu wacana.
Kajian budaya merupakan upaya untuk membongkar
ideologi dan hegemoni dalam budaya populer. (Chris
Barker, 2004,11).
contoh: budaya apa yang menonjol dalam budaya
pop hari ini?
22.
23.
24. Keenam, teks dan pembacanya. Teks di sini tidak
hanya berarti tulisan, tetapi semua praktik yang
mengacu pada makna. Termasuk di dalamnya adalah
makna melalui citra, bunyi, objek (pakaian,
aksesoris, dll), dan aktivitas (seni, olahraga, dll).
Semuanya itu ialah sistem tanda atau disebut juga
teks kultural. Makna yang ditangkap oleh pembaca
tidak sama dengan pembaca lain. Teks memiliki
beragam kemungkinan baru yang harus disadari oleh
pembaca.
Perlu interaksi antara teks dan pembacanya untuk
memaknai suatu tanda (Chris Barker, 2004, 11-12)
25. Ketujuh, subjektivitas dan identitas. Selama era
1990-an, Kajian Budaya memberi perhatian pada
tema subjektivitas dan identitas. ‘
apa artinya menjadi satu pribadi?’, ‘bagaimana
pribadi kita dibentuk misalnya oleh momen-momen
konsumsi?’, ‘bagaimana kita mendeskripsikan diri
kita kepada orang lain?’.
Kajian Budaya menganut pendirian yang anti-
essensialisme mengenai identitas ini. identitas
bukanlah sesuatu yang eksis, tetap, universal (Chris
Barker, 2004, 12-13).
26.
27.
28. objek material kajian
budaya
‘ k e b u d a y a a n
s e b a g a i p r a k t i k
b e r m a k n a ’
r e p r e s e n t a s i ,
ek o n o m i - p o l i t i k
ke k u a s a a n
bu d a y a p o p ,
te k s da n
pe m b a c a n y a , s
su b j e k t i v i t a s
da n id e n t i t a s .
29. Pertama, Marxisme. Kajian Budaya menggunakan
analisis Marxisme khususnya mengenai kritik terhadap
kapitalisme.
Sistem kapitalisme mengkomodifikasi praktik-praktik
kultural.
Namun demikian, Kajian Budaya mengkritik teleologi
Marxisme yang deterministik sebab merendahkan
martabat manusia hanya sebagai agen yang tertentukan
(Chris Barker, 2004, 15).
kritik Kajian Budaya: menolak perspektif ‘Marxisme’
yang beredar saat itu, melihat superstruktur hanya
sebagai cerminan dari basis
pemikiran (thought) dan aktivitas (activity) bukanlah
area-area yang terpisah
OBJEK FORMAL DALAM KAJIAN BUDAYA DAN
MEDIA
30. Kedua, tegangan kulturalisme-strukturalisme. Kulturalisme
menekankan kebudayaan sebagai hasil dari aspek kreatif dari
manusia untuk mengkonstruksi praktik-praktik bermakna.
Kulturalisme berfokus pada pengalaman sehari-hari bahkan
yang remeh-temeh sekalipun.
Strukturalisme sebaliknya, berbicara tentang makna sebagai
hasil struktur yang berada di luar individu.
Kajian budaya lebih menekankan produksi makna sebagai
efek dari struktur-dalam (interior) manusia. Produksi makna
ini termanifestasi dalam diri manusia, walaupun bukan hasil
dari kehendak sang aktor per se (Chris Barker, 2004, 16-18).
misal: penggunaan bahasa, ada struktur, tetapi juga ekspresi
unik masing-masing individu
31. Ketiga, Post-strukturalisme yang meliputi konsep
instabilitas bahasa dari Derrida dan pembentukan
wacana melalui diskursus dari Foucault (Chris Barker,
2004, 20-22)
sistem penandaan bukan bersifat tertutup,
melainkan selalu bisa dimaknai dan maknanya
selalu berkembang
misal: lambang swastika kuno digunakan oleh hitler,
Bagaimana simbol kuno Swastika dibajak menjadi lambang kejahatan dan
bisakah citranya dipulihkan?
https://www.bbc.com/indonesia/vert-cul-58296917
32. Keempat, Posmodernisme yang anti-metanarasi
semakin menguatkan konsep instabilitas bahasa dan
makna dari Derrida dan Foucault. Pendekatan post-
strukturalis dan postmodern memiliki kesamaan
dalam hal menyatakan bahwa subjektivitas
merupakan produk dari bahasa atau diskursus (Chris
Barker, 2004, 23).
33. Kelima, psikoanalisis, khususnya mengenai
penolakan atas hakikat subjek dan seksualitas yang
bersifat tetap. Psikoanalisis bukan bicara tentang
hakikat subjek tetapi ‘bagaimana subjek sampai
pada keadaan yang sekarang?’ (Chris Barker, 2004,
24).
subjek bukan dibentuk oleh yang rasional tetapi
terutama yang irrasional (desire/hasrat, id,
seksualitas)
contoh: pengaruh film/iklan pada subjek
(perempuan/laki-laki)
34. Keenam, politik perbedaan yang meliputi feminisme,
teori ras dan pascakolonial. Tiga pemikiran ini,
mengkritisi subjek yang dibentuk melalui perbedaan
baik dalam bidang sosial misalnya pembedaan
melalui gender, ras dan etnisitas pascakolonial
(Chris Barker, 2004, 26).
36. Barker, Chris, Cultural Studies, Theory and Practice, Sage
Publications, London, 2000.
John, Storey, What is Cultural Studies, A Reader, Arnold, a
member of the Hodder Headline Group, London, 1996.
SUMBER PUSTAKA