Berikut adalah ringkasan dari dokumen tersebut dalam 3 kalimat:
Penelitian ini mengkaji hubungan karakteristik peternak seperti pendidikan, pengalaman beternak, umur, dan pelatihan dengan kejadian mastitis subklinis pada sapi perah. Hasilnya menunjukkan ada hubungan antara pengalaman beternak dan pelatihan dengan mastitis, tetapi tidak dengan pendidikan, umur, atau pengetahuan. Penelitian ini bertujuan unt
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
Hubungan karakteristik peternak terhadap kejadian penyakit mastitis pada sapi perah di Kabupaten Tulungagung
1. [1]
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETERNAK TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT
MASTITIS PADA SAPI PERAH DI KABUPATEN TULUNGAGUNG
Reni Indarwati
Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu Jawa Timur, Jl. Songgoriti No.24 Kotak Pos 17 Batu 65301
ABSTRAK
Pemeliharaan sapi di tingkat peternak masih sangat sederhana sehingga hal ini
mempengaruhi tata laksana peternakan. Manajemen pemeliharaan yang tidak baik akan
berdampak pada kejadian penyakit mastitis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dan karakteristik peternak (pendidikan,lama beternak, umur dan
pengelaman penyuluhan yang didapat terhadap kejadian penyakit mastitis pada sapi perah.
Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung dengan
melakukan wawancara face to face terhadap 10 orang peternak sapi perah, yang meliputi
karakter responden dan pengetahuan peternak mengenai mastitis subklinis dan
pengendaliannya. Uji mastitis subklinis dilakukan terhadap seluruh sapi laktasi milik
peternak tersebut dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT). Data yang
terkumpul ditabulasi dan dianalisis menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS
13.0 for windows. Hubungan antara variabel karakteristik peternak dan pengetahuan tentang
mastitis di uji dengan uji korelasi Pearson untuk varaibel skala rasio dan uji korelasi
Spearman untuk varaibel skala ordinal.Hasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang nyata (p<0.05) antara karakteristik peternak tentang pengalaman beternak dan
pengalaman mendapatkan penyuluhan/pelatihan dengan kejadian mastitis subklinis pada sapi
perah, sementara itu tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara karakteristik
peternak tentang umur, pendidikan dan pengetahuan peternak dengan kejadian mastitis
subklinis pada sapi perah di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung.
Kata kunci : karakteristik peternak, mastitis subklinis,sapi perah
PENDAHULUAN
Selama ini pemeliharann sapi perah
pada peternakan rakyat masih bersifat
sederhana, artinya peternak masih
menggunakan teknologi yang sederhana
yang didapat secara turun- temurun dalam
pemeliharaan sapinya. Kondisi ini
berpengaruh terhadap tata laksana
peternakan. Manajemen kesehatan yang
tidak baik akan menyebabkan timbulnya
penyakit. Salah satu ancaman penyakit
yang dapat mempengaruhi produktivitas
dankualitas susu sapi perah adalah
mastitis.
Penyakit mastitis, terutama mastitis
subklinis berhubungan erat dengan praktik
dari manajemen pemeliharaan, oleh karena
itu faktor-faktor yang mempengaruhi
praktik manajemen pemeliharaan sapi
perah di tingkat peternak menjadi suatu
topik yang menarik untuk dikaji lebih
dalam.
MATERI DAN METODE
Pengumpulan data pada kajiwidya ini
dilakukan dengan cara interview pada 10
orang peternak sapi perah di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung.
Wawancara dengan menggunakan
kuisioner yang terdiri atas 28 pertanyaan,
meliputi : karakter responden (pendidikan,
lama beternak, umur dan pengalaman
mendapat pelatihan) dan pengetahuan
responden mengenai mastitis subklinis dan
pengendaliannya.
Penentuan status sapi yang terserang
mastitis subklinis dilakukan dengan
2. [2]
menggunakan uji California Mastitis Test
(CMT) pada semua sapi laktasi milik
peternak. Sapi perah dikatakan terserang
mastitis subklinis jika hasil uji CMT
menunjukkan positif 1 (+1), yaitu
terbentuk masa agak mengental pada susu
yang telah dicampur dengan reagen CMT.
Data yang telah terkumpul ditabulasi
dan dianalisis dengan menggunakan
program Microsoft Excel 2007 dan SPSS
13.0 for windows. Hubungan antar variabel
berupa karakteristik peternak (pendidikan,
lama beternak, umur, dan pengalaman
penyuluhan yang didapat), dan
pengetahuan tentang penyakit mastitis
diuji menggunakan uji korelasi Pearson
untuk variabel skala rasio dan interval,
serta uji korelasi Spearman untuk variabel
skala ordinal
HASIL DAN DISKUSI
A. Karakteristik Peternak
Hampir sebagian responden (40%)
berpendidikan sekolah dasar (SD). Para
peternak yang memiliki tingkat pendidikan
rendah kemungkinan besar usaha
peternakan yang dimiliki bersifat turun
temurun, dan peternakan sapi perah
merupakan usaha utama yang dimiliki.
Pendidikan merupakan hal yang penting
dalam pengelolaan peternakan, karena
berperan dalam pola berpikir, kemampuan
belajar, dan taraf intelektual [8]. Pada
umumnya, semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka proporsi
tindakan baik dari responden akan
semakin tinggi, namun pendidikan bukan
menjadi faktor utama dalam meningkatkan
produktivitas sapi perah, karena peternak
yang berpendidikan tinggi belum tentu
menggunakan ilmunya dalam hal
pemeliharaan ternak.
Pada pengambilan kuesioner
tentang pengalaman beternak, hanya 20%
responden beternak selama 5-10 tahun.
Pengalaman beternak dapat mempengaruhi
kemampuan kerja seorang peternak.
Peternak yang sudah berpengalaman dapat
mengatasi dengan baik masalah- masalah
dalam peternakan [8].
Pelatihan dan penyuluhan dalam
peningkatan produktivitas sapi perah
sangat bermanfaat dalam manajemen
pemeliharaan sapi perah. Sebagian besar
(50%) peternak tidak pernah mendapatkan
penyuluhan dan pelatihan mengenai
manajemen peternakan yang baik dan
benar. Peternak yang tidak mempunyai
pengetahuan serta wawasan yang
memadai dalam pemecahan permasalahan
beternak sapi perah, dapat teratasi dengan
mengikuti penyuluhan dan pelatihan.
Kegiatan penyuluhan melalui tatap muka
langsung dengan peternak di lapangan
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
komunikasi yang timbul sehubungan
dengan pemeliharaan ternak, kasus
penyakit,sistem informasi dan lain
sebagainya [1]. Rentang umur informan
dalam kaji widya ini dikategorikan
menjadi tiga kelompok, yaitu <30 tahun,
30-50 tahun dan >50 tahun. Dari hasil
pengamatan dapat dinyatakan bahwa pada
umumnya peternak sapi perah yang
diamati memiliki usia produktif (dibawah
50 tahun) sebanyak 90% (Tabel 1).
B. Tingkat Pengetahuan Responden
Pengetahuan mengenai mastitis subklinis
dapat digunakan untuk mengetahui
manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan
peralatan, sanitasi kandang, kesehatan dan
pemeliharaan hewan, serta pemerahan
susu) yang dilakukan oleh peternak, hal ini
disebabkan oleh mastitis subklinis
biasanya sangat dipengaruhi oleh
manajemen pemeliharaan. Hasil
pengamatan memperlihatkan bahwa
informan yang memiliki indeks
pengetahuan mastitis subklinis tergolong
“baik” (skor 79- 100%), yakni 40%.
Sedangkan informan yang memiliki indeks
pengetahuan “cukup” (skor 56-78%), dan
“kurang” (skor <56%) masing-masing
sebesar 20%, dan 40% (Tabel 2).
Pengetahuan peternak tentang
manajemen pemeliharaan sapi perah
merupakan bagian yang penting untuk
menghasilkan produksi susu yang tinggi.
Peternak rakyat umumnya memelihara sapi
3. [3]
perah berdasarkan pengetahuan dari orang
tuanya, penyuluhan dari dinas terkait dan
informasi dari koperasi atau dengan cara
memperhatikan pemeliharaan yang
dilakukan oleh sesama peternak.
Pengetahuan, sikap dan praktik seharusnya
berjalan sinergis karena terbentuknya
perilaku baru akan dimulai dari
pengetahuan yang selanjutnya akan
menimbulkan respon batin dalam bentuk
sikap dan akan dibuktikan dengan adanya
tindakan atau praktik agar hasil dan tujuan
menjadi optimal sesuai yang diharapkan.
Akan tetapi, pengetahuan dan sikap tidak
selalu akan diikuti oleh adanya tindakan
atau praktik [11].
Tabel 1. Karakeristik peternak di peternakan sapi perah Kec.Rejotangan
Variabel Jumlah (%)
Pendidikan terakhir
SD
SMP
SMA
PT
4
3
0
3
40
30
0
30
Lama beternak
1-5 tahun
5- 10 tahun
>10 tahun
4
2
4
40
20
40
Mendapatkan pelatihan
Ya
Tidak
5
5
50
50
Umur
<30 tahun
30-50 tahun
>50 tahun
1
8
1
10
80
10
Tabel 2. Pengetahuan peternak terhadap mastitis
Indeks pengetahuan Jarak skor Jumlah (%)
Baik 79-100% 4 40
Cukup 56-78% 2 20
Kurang <56% 4 40
Hasil Kajiwidya ini menunjukkan
bahwa seluruh responden mengetahui
tentang mastitis, namun tidak semua
responden mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan mastitis. Oleh karena itu
sangat diperlukan penyuluhan disertai
peragaan tentang faktor-faktor yang
menyebabkan mastitis, misalnya cara
membersihkan peralatan pemerahan,
penanganan susu setelah diperah dan
pengetahuan mengenai kesehatan
masyarakat veteriner. Berdasarkan uji
mastitis subklinis yang dilakukan pada
sapi perah milik peternak menunjukkan
hasil 100% terserang mastitis subklinis.
Dari uji korelasi dengan menggunakan uji
Spearman antara karakteristik dan tingkat
pengetahuan peternak dengan kejadian
mastitis pada sapi perah sebagaimana
terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian mastitis pada sapi perah
4. [4]
Peubah Koefisien korelasi
Karakteristik peternak
Umur
Pendidikan
Lama beternak
Pengalaman mendapatkan penyuluhan/ pelatihan
0.731
0.199
0.891*
0.884*
Pengetahuan 0.252
Keterangan : *) nyata pada taraf α<0.05
Dari hasil tersebut terlihat bahwa
umur tidak berhubungan dengan kejadian
mastitis pada sapi perah. Hasil ini
bertentangan dengan pendapat Havighurst
(1974) yang diacu dalam Nurliana (1999)
menyatakan bahwa terdapat periode
sensitif dari umur seseorang untuk belajar
pada umur tertentu. Hal ini menunjukkan
adanya kaitan antara umur seseorang
dengan kemampuan intelektualnya karena
umur seseorang berkaitan erat dengan
wawasan yang dimiliki. Pada Kajiwidya
ini tidak terdapat hubungan antara umur
dengan praktik kejadian mastitis pada sapi
perah, hal ini disebabkan peternak dengan
usia muda yang seharusnya lebih dapat
menerima informasi lebih banyak, namun
peternak tidak pernah mendapatkan
penyuluhan dan pelatihan sehingga
informasi tidak didapatkan, dan lebih
berpedoman terhadap pengetahuan yang
diberikan secara turun-temurun. Hal ini
menyebabkan kemampuan praktik
manajemen pemeliharaan yang dimiliki
masih kurang.
Hasil Kajiwidya ini menunjukkan
tidak ada hubungan antara pendidikan
dengan kejadian mastitis pada sapi perah..
Hubungan antara jumlah tahun sekolah
dan adopsi praktik peternakan ada secara
tidak langsung, kecuali pada kasus dimana
seseorang mempelajari khusus tentang
praktik baru tersebut di sekolah [12]. Para
peternak yang berpendidikan rendah
mungkin lebih banyak memiliki
pengalaman dan pengetahuan mengenai
praktik manajemen pemeliharaan yang
baik dan benar atau sebaliknya.
Lama beternak responden
dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu
rendah (1-5 tahun), sedang (5-10 tahun),
dan tinggi (>10 tahun). Hasil penelitian
memperlihatkan terdapat korelasi positif
yang signifikan antara lama beternak
responden dengan kejadian mastitis pada
sapi perah. Dengan demikian, terdapat
kecenderungan bahwa semakin lama
informan beternak, maka praktik
manajemen pemeliharaan yang dimiliki
oleh peternak akan semakin tinggi pula.
Hal ini seperti yang dikemukakan Mosher
[12],bahwa manusia dapat belajar dari
pengalamannya, demikian pula peternak
dapat belajar dari pengalaman beternak
pada masa yang lalu. Dalam konteks
kajiwidya ini, pengalaman dapat menjadi
media proses pembelajaran yang efektif
dalam menumbuhkan praktik manajemen
pemeliharaan yang baik pada sapi perah,
sehingga meminimalisir kejadian mastitis.
Pengetahuan dan kejadian mastitis
tidak berhubungan nyata, hal ini mungkin
disebabkan karena peternak umumnya
memiliki pengetahuan yang cukup
memadai mengenai syarat-syarat
pemerahan yang baik, meliputi
pemeriksaan terhadap penyakit, kesehatan
ternak, kebersihan sapi yang akan diperah,
namun dalam sehari-hari kebanyakan
kegiatan pemerahan tidak sesuai dengan
faktanya. Peternak mengetahui tentang
mastitis subklinis dan cara
pengendaliannya, namun dalam kehidupan
nyata faktor-faktor yang dapat
menyebabkan mastitis subklinis tidak
dihindari sehingga kasus mastitis subklinis
tetap tinggi.
KESIMPULAN
5. [5]
Terdapat hubungan yang nyata
(p<0.05) antara karakteristik peternak
tentang pengalaman beternak dan
pengalaman mendapatkan
penyuluhan/pelatihan dengan kejadian
mastitis subklinis pada sapi perah di
Kecamatan Rejotangan Kabupaten
Tulungagung. Sementara itu, tidak terdapat
hubungan yang nyata (p>0.05) antara
karakteristik peternak tentang umur,
pendidikan dan pengetahuan peternak
dengan kejadian mastitis subklinis pada
sapi perah di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu
yang telah membiayai kajiwidya ini dan
peternak sapi perah Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung atas sharing
informasi yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Achjadi RK. 1985. Aspek reproduksi
sapi perah dan pelayanan kesehatan
hewan.Di dalam: Prosiding
Pertemuan Konsultasi Peternakan
Sapi PerahKabupaten Sukabumi,
Jawa Barat; Salabintana, 19
November 1985. Bogor:Pemerintah
Daerah Tingkat II Kabupaten
Sukabumi dan Lembaga Pengabdian
pada Masyarakat Institut Pertanian
Bogor. hlm 47-59.
[2] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010.
Populasi ternak 2000-2008.
[terhubung berkala].
http://www.bps.go.id [15 Juni 2014].
[3] Damayanti L. 2007. Pengaruh teat
spray dengan menggunakan jus buah
mengkudu (Morinda citrifolia.L)
dalam berbagai konsentrasi terhadap
hasil uji CMT dan TPC ada sapi perah
[skripsi]. Malang: Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya.
[4] [DEPTAN] Departemen Pertanian.
2006. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor
55/Permentan/OT.140/10/2006
tentang Pedoman Pembibitan Sapi
Perah yang Baik. [terhubung berkala].
http://www.deptan.go.id [11 Juni
2014].
[5] [DITJENNAK] Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2012.Pedoman teknis pengembangan
budidaya sapi perah pola PMUK.
[terhubung berkala].
http://www.ditjennak.deptan.go.id [10
Mei 2014].
[6] Hariyono MB. 2006. Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap produksi
susu pada usaha ternak sapi perah
rakyat. J Anim Agric Soc Eco 2(2):78-
81.
[7] Hartono. 1992. Hubungan nilai sanitasi
peternakan terhadap meningkatnya
angka kuman air susu [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
[8] Juliani R. 2011. Evaluasi teknis
pemeliharaan sapi perah friesian
holstein peternakan rakyat di desa
Cibeureum Cisarua Kabupaten Bogor
[skripsi].Bogor: Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
[9] Kartasudjana R. 2001. Modul Program
Keahlian Budidaya Ternak; Teknik
Kesehatan Ternak. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
[10] Maria A. 2012. Pengetahuan, sikap,
dan praktek gizi seimbang serta
hubungannya dengan status gizi
mahasiswa Institut Pertanian Bogor
[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
[11] Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan
Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:
Rineka Cipta.
[12] Nurdin E. 2011. Manajemen Sapi
Perah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nurliana N. 1999. Hubungan antara
karakteristik peternak dengan
pengetahuan mereka tentang budidaya
ternak sapi perah (studi kasus di
Bogor) [skripsi].Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
6. [6]
[13] Sauri S. 2011. Pengetahuan dan sikap
mahasiswa Fakultas Kedokteran
HewanInstitut Pertanian Bogor
terhadap foodborne disease [skripsi].
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
[14] Safuan A. 2011. RI impor susu untuk
penuhi 70 persen kebutuhan susu
nasional. [terhubung berkala].
http://www.mediaindonesia.com/
webtorial/tanahair/?bar_id=MjMxMj
g3 [ 26 Juni 2012].
[15] Santosa U. 1995. Tata Laksana
Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta:
Penebar Swadaya.
[16] Sembada P. 2012. Kondisi
pemeliharaan sapi perah di peternakan
rakyat Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) Cibungbulang Kabupaten
Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Sharif A, Umer M, Ghulam M. 2009.
Mastitis control in dairy production. J
Agric Soc Sci 5(3):102-105.
[17] Sudono A. 1999. Ilmu Produksi
Ternak Perah. Bogor: Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
[18] Sunarko C et al. 2009. Petunjuk
Pemeliharaan Bibit Sapi Perah.
Baturraden: BBPTU Sapi Perah
Baturraden.
[19] Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B.
2003. Prevalensi dan faktor-faktor
penyebab mastitis pada sapi perah
rakyat di Kabupaten Semarang
Propinsi Jawa Tengah. J Sain Vet 21
: 43-49.
[20] Tyler DH, Ensminger ME. 1993.
Dairy Cattle Science. Ed ke-4. New
Jersey: Pearson Prentice Hall.
[WHO] World Health Organization.
2008. A Guide to Developing
Knowledge,Attitude and Practice
Surveys. Geneva:WHO.
[21] Winarso D. 2008. Hubungan kualitas
susu dengan keragaman genetik dan
prevalensi mastitis sub klinis serta
upaya peningkatan kualitas
lingkungan di daerah jalur susu
Malang sampai Pasuruan [tesis].
Yogyakarta: Program Studi Ilmu
peternakan, Sekolah PascaSarjana
UGM.