ISLAM DI ANTARA KONSERVATISME DAN LIBERALISME : PENGALAMAN KAJIAN DAN PERTEMUAN DENGAN TOKOH LIBERAL DI MESIR DAN PENILAIAN PEMIKIR ISLAM
OLEH:
PROF MADYA MOHAMAD KAMIL BIN HJ AB MAJID
AKADEMI PENGAJIAN ISLAM, UNIVERSITI MALAYA
ISLAM DI ANTARA KONSERVATISME DAN LIBERALISME : PENGALAMAN KAJIAN DAN PERTEMUAN DENGAN TOKOH LIBERAL DI MESIR DAN PENILAIAN PEMIKIR ISLAM
OLEH:
PROF MADYA MOHAMAD KAMIL BIN HJ AB MAJID
AKADEMI PENGAJIAN ISLAM, UNIVERSITI MALAYA
Studi ini membahas pemikiran Fazlur Rahman tentang etika Alquran, sebab para ahli sering menyebutkan bahwa etika bukan saja the basic elan of the Quran (esensi dalam ajaran Alquran), tetapi juga merupakan aspek universal yang ada dalam setiap diri manusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan mendasarkan bacaannya pada kepustakaan karya-karya Fazlur Rahman yang ada. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa etika terpadu dalam hubungan Tuhan, manusia, dan alam yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maka etika yang pertama disebutkan dalam hal hubungan antara Tuhan, manusia dan alam itu terkonsepsi dalam nilai-nilai keiamanan. Karena itu yang pertama manusia harus mengimani Tuhan di dalam segala sikapnya dengan mewujudkan berbagai kebaikan-kebaikan. Maka manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini (khafilah fi al-ard).
islamic worldview 15 feb upload slideshareSri Suwanti
Islamic Worldview adalah visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak tampak (non observable) bagi semua perilaku manu-sia, termasuk aktivitas ilmiah dan tek-nologi.
Studi ini membahas pemikiran Fazlur Rahman tentang etika Alquran, sebab para ahli sering menyebutkan bahwa etika bukan saja the basic elan of the Quran (esensi dalam ajaran Alquran), tetapi juga merupakan aspek universal yang ada dalam setiap diri manusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan mendasarkan bacaannya pada kepustakaan karya-karya Fazlur Rahman yang ada. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa etika terpadu dalam hubungan Tuhan, manusia, dan alam yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maka etika yang pertama disebutkan dalam hal hubungan antara Tuhan, manusia dan alam itu terkonsepsi dalam nilai-nilai keiamanan. Karena itu yang pertama manusia harus mengimani Tuhan di dalam segala sikapnya dengan mewujudkan berbagai kebaikan-kebaikan. Maka manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini (khafilah fi al-ard).
islamic worldview 15 feb upload slideshareSri Suwanti
Islamic Worldview adalah visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak tampak (non observable) bagi semua perilaku manu-sia, termasuk aktivitas ilmiah dan tek-nologi.
Sejarah dalam bahasa Yunani, historia, yang berarti “penyelidikan, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian” adalah studi tentang masa lalu, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdfIrfan Pathurahman
Pendidikan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan tuntutan akan pentingnya pendidikan semakin besar mengingat arus perkembangan dunia yang semakin cepat. Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif. Pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk membangun manusia seutuhnya. Sedangkan filsafat pendidikan islam adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan pada ajaran islam tentang kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh agama islam. Terdapat 2 jenis pendidikan islam yaitu yang klasik dan modern. Hal ini bisa terjadi karena adanya perkembangan dari pendidikan islam itu sendiri. Baik dari pendidikan islam klasik maupun modern memiliki banyak filsuf dengan pemikirannya masing-masing. Perbedaan yang mendasar adalah jika kaum klasik cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan kepribadian atau mengaktualisasikan potensi dan fakultas manusia, maka kaum kontemporer cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan umat Islam yang bisa eksis dalam masalah ummat maupun masalah kemanusiaan.
1. Page |
IDEOLOGI AL YASAR AL ISLAMI (KIRI ISLAM) HASSAN HANAFI
YUANDA KUSUMA
I.PENDAHULUAN
Engels setelah menelusuri sejarah masyarakat mengatakan bahwa agama dalam
sejarah pernah menjadi kekuatan sosial transformatif. Kontras dengan itu, Marx
mengatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. Agama melahirkan
kesadaran historis manusia ke kesadaran khayali, mengilusikannya dan akhirnya
mendomistifikasi kekuatan perubahan yang dimilkinya. Hingga kemudian agama
melegitimasi proses penghisapan ekonomi dalam sistem kapitalisme. Lenin dengan
mantap mengatakan adalah salah satu bentuk penindasan spiritual terhadap
manusia. Agama semacam minuman keras spiritual.
Mengapa agama menampakkan dispersepsi sedemikian beragam? Bahkan saling
kontras!. Agamawan boleh berapologi bahwa agama memiliki dimensi empiris dan
normatif. Apa yang terjadi dalam wilayah empiris dikerangkakan sebagai
penyelewengan agama dalam praktek. Dan secara normatif, agama selalu dikatakan
membawa kebenaran absolut. Ketika keabsolutan ini menyejarah, ditangkap dan
ditafsirkan secara historis maka wajahnya pun sesuai dengan kekuatan sosial dan
ekonomi atau seting sosial yang melingkupinya. Sehingga dimensi normatif agama
tidak selalu pararel dengan dimensi historis agama.
Perspektif gerakan Kiri ternyata dapat menjelaskan fenomena ini secara lebih
memuaskan. Agama menurut perpektif itu, dalam straktak (strategi dan taktik)
gerakan, disejajarkan dengan nasionalisme yang gagap dalam proses pencarian
ideologi. Konstruksi ideologis nasionalisme dideterminasi aktor yang memegangnya.
Nasionalisme yang dimainkan seorang Hitler atau Mussolini, misalnya,
menghasilkan fasisme. Nasionalisme di tangan seorang Soekarno, misalnya,
menjadi bagian dari kekuatan sosisal yangmelancarkan perlawanan terhadap
imperialisme dan kolonialisme.
Demikian juga dengan agama. Agama tergantung pada siapa yang
mengendalikannya. Bila agama dimaknai dan diberi tanda transformatif dan
progresif maka agama akan menampakkan secara historis sebagai kekuatan sosial
transformatif dan progresif. Sebaliknya bila ditandai dan dimaknai dengan karakter
2. reaksioner maka agama akan menjadi sangat reaksioner. Sama-sama berteologi
Ahl
al Sunnah, misalnya, namun karakter sosiologis yang ditampilkan oleh komunitas
NU berbeda dengan yang ditampakkan oleh komunitas FPI. Sama-sama berteologi
Ahl al Sunnah, namun karakter pergerakan yang dimiliki Wahabi berbeda dengan al
Ikhwan al Muslimun.
Persoalan di atas mengingatkan kita pada suatu polemik mengenai kemungkinan
agama sebagai ideologi alternatif. Bagi beberapa kalangan, seperti Gus Dur
mengatakan bahwa Islam belum memiliki rumusan ideologis mengenai tatanan
sosial ekonomi seratikulatif sosialisme atau kapitalisme. Sebagai contoh, teori
kenegaraan Islam yang lengkap, terperinci dan tuntas belum ada. Apa yang segar
dapat dirumuskan adalah bagaimana mengatur negara dalam garis besarnya,
dengan kata lain hanya sebatas wawasan kebangsaaan dan kenegaraannya saja.
Perumusan sistematisasi agama secara ideologis ini merupakan upaya menjadikan
agama sebagai kekuatan transformatif. Konstruksi ideologi tersebut mula-mula
dirumuskan terlebih dahulu dengan melakukan pembacaan terhadap kondisi objektif
perkembangan global dan lokal serta situasi sosial yang melingkupinya. Setelah
memberikan perspektif terhadap cara baca realitas sosial maka pada tahap
selanjutnya agama sebagai hal ideologis selalu mendorong untuk melakukan
perubahan sosial sesuai dengan cita-cita ideologisnya.1
Dalam perspektif seperti itulah, kita harus membaca Hassan Hanafi sang pencipta
manifesto al Yasar al Islami (Kiri Islam). Sebuah konstruksi ideologis yang radikal
dan memiliki kejelasan baik secara konseptual, metode maupun tahapan-tahapan
praksisnya. Tulisan ini akan mengeksplorasi konsep dan struktur Kiri Islam,
metodologi, kekuatan-kekuatan sosial yang melahirkannya.
II.APA ITU IDEOLOGI ?
Ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, cita-cita, konsep, keyakinan
dan kata logos yang artinya ilmu, pengetahuan dan logika. Jadi secara sederhana
1 Dr. Ibrahim al Dasui Syata, al Thaurah al Iraniyah : al Juzur al Idiyolojiyah. Al Zahra' li al I'lam al 'Araby
Madinat Nashr Kairo, 1988. Hal : 141.
3. Page |
IDEOLOGI AL YASAR AL ISLAMI (KIRI ISLAM) HASSAN HANAFI
YUANDA KUSUMA
ideologi merupakan ilmu atau kajian yang membahas suatu keyakinan atau gagasan
tertentu. Akan tetapi, ideologi berbeda dengan filsafat. Yang terakhir ini hanya bisa
membantu manusia memahami secara lebih baik tentang dunia tetapi tidak pernah
mampu mengubahnya. Oleh karenanya, dalam sejarah, ilmuwan dan filsuf tidak
pernnah menggerakkan revolusi. Penggerak revolusi dan penggerak sejarah adalah
selalu seorang ideolog atau ilmuwan ideologis atau filosof ideologis. Dan tentu saja
di mata agamawan. Para Nabi. Yang dituntut ilmu adalah kemampuan menjaga
jarak dengan objek kajian untuk mendapatkan objektivitas dan melukiskan sesuatu
sebagaimana adanya. Sedangkan ideologi menuntut kepatuhan, memihak dan
dituntut berjuang mewujudkan cita-cita ideologinya. Syari’ati mengatakan bahwa
ideologi mengacu pada suatu keyakinan yang dipeluk oleh kelmpok atau kelas sosial
tertentu dengan setting sosial dan kultural tertentu. Syari’ati menyebut bahwa
ideologi memiliki tiga tahap. Pertama, tahap cara melihat dan menangkap alam
semesta, eksistensi dan manusia. Kedua, cara khusus kita memahami dan menilai
semua benda, gagasan-gagasan, ide-ide yang mengkonstruksi setting sosial dan
klutural kita dan dengan demikian konstruksi kesadaran kita. Ketiga, tahapan
praksis yang mencakup strategi, taktik, tahapan-tahapan, metode-metode gerakan
untuk mengubah realita sosial sesuai dengan cita-cita ideologisnya. Pada tahapan
ketiga ini, ideologi memberikan energi, inspirasi, keyakinan, dorongan para
penganutnya sebagai dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang
diharapkannya.2
Untuk memahami Kiri Islam secara holistik diperlukan rekonstruksi terhadap setting
sosial yang melahirkannya. Setiap ideologi, seperti diujarkan syari’ati selalu lahir dari
massa kemanusiaan. Dalam analisis sosial dikenal adanya tiga konteks : konteks
situasi, konteks sosial dan konteks budaya. Konteks situasi adalah kristalisasi
konstruksi nalar hanafi yang direguk dari khazanah intelektual islam dan ilmu-ilmu
sosial barat serta respon subjektifnya terhadap kondisi dan realita sosial saat itu.
Konteks sosialnya, adalah setting sosial politik negaranya, yakni Mesir tahun1946-an
(masa perang dunia ke II). atau lebih makro Timur Tengah dan dunia Islam secara
2 Ali Syari'ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Mizan Bandung, 1998, hal 79.
4. uum. Hanafi tidak hanya berbicara Mesir, Saudi dan Yaman. Namun juga berbicara
tentang penyatuan dunia Islam. Pan-Islamisme yang dicitakan al Afghani. Konteks
budayanya adalah peradaban global yang melingkupi kedua konteks pertama.3
III.SEPINTAS BIOGRAFI HASSAN HANAFI
Hassan Hanafi dilahirkan di kota Kairo, Februari 1935 M.4 Keluarganya berasal dari
Bani Suwayf, sebuah propinsi yang berada di Mesir Dalam dan kemudian berurban
ke Kairo, ibu kota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko. Kakeknya
berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah Bani Mur yang di antaranya,
menurunkan Bani Gamal Abd Al Nasseer. Presiden Mesir ke dua. Kakeknya
memutuskan untuk menetap di Mesir setelah menikahi neneknya. Menjelang umur
lima tahun, Hanafi kecil mulai menghafal al Quran dari Syaikh Sayyid di jalan al
Benhawi, kompleks Bab Al Sya’riyah, sebuah kawasan di Kairo bagian Selatan.
Pendidikan dasarnya di mulai dari Madrasah Sulayman Gaisy, komplek Bab Al
Futuh berdekatan dengan benteng Shalah Al Din Al Ayyubi selama lima tahun.
Setamatnya dari sana, dia masuk sekolah pendidikan guru, Al Mu’allimin. Setelah
empat tahun dia lalui, dan ketika hendak naik ke tingkat lima, tingkat akhir, dia
memutuskan pindah ke Madrasah Al Silahdar, yang berada di kompleks masjid Al
Hakim Ibn Amrillah dan langsung diterima di kelas dua, mengikuti jejak kakaknya
hingga tamat. Di sekolahnya yang baru inilah dia banyak mendapat kesempatan
belajar bahasa asing. Pendidikan menengah atasnya dilalui di Madarasah
Tsanawiyah Khalil Agha di jalan Faruq Al Gaisy, Selama lima tahun. Empat tahun
untuk memperoleh bidang kebudayaan dan setahun untuk bidang pendidikan.5
Pada 1946, Hanafi masih berumur sekitar 11 tahun sudah mulai menampakkan
keberaniannya dengan ikut-ikutan terjun dalam demonstrasi mendukung aksi pelajar
dan buruh di Kairo. Saat itu dia berpikir, revolusi adalah paduan antara jalanan dan
sekolahan, antara tanah air (al Wathan) dan ilmu. Pada 1948, Hanafi mengajukan
permohonan untuk ikut bergabung bersama organisasi pemuda Islam (Jam’iyah Al
3 Dr. 'Ishmat Saif al Daulah, Nazariyat al Thaurah al 'Arabiyah : al Usus, al Muntaliqat, al Ghayat, al Thariq, Dar
al MasirahBeirut. 1979. Hal 82.
4 Majalah al wasath, NO 276, 12-18 Mei 1997 h.15
5 Digest al hilal, edisi april 1997, hal 176-185
5. Page |
IDEOLOGI AL YASAR AL ISLAMI (KIRI ISLAM) HASSAN HANAFI
YUANDA KUSUMA
Syubban Al Muslimin) untuk menjadi prajurit sukarelawan di Palestina. Namun,
permohonan itu ditolak karena belum cukup umur. Baru pada 1951 M, dia
mendapatkan kesempatan ikut berjuang dalam perang pembebasan Qanat Suez
(Terusan Suez). Dia ikut belajar memegang senjata di Fakultas Teknik (Handasah)
di Abbasiyah, kawasan Kairo Selatan. Ikut mengatar dan mensalatkan para jenazah
yang syahid di medan laga di masjid al Kukhya di lapangan Opera. Dia melihat dan
merasakan orang-orang berbaris, hormat penuh hikmad menyambut kedatangan
para pahlawan yang pulang dari paletsina. Mati syahid adalah kebahagiaan yang
sudah menyatu dengan jiwa saat itu.6
Pada januari 1952 M, terjadi kebakaran besar-besaran di Kairo, sebagai rekayasa
untuk mematikan semangat pejuang kemerdekaan dan menggulingkan pemerintah
Partai Wafd sekaligus dijalinnya kongkalikong terselubung antara kalangan istana
dan kolonialis Inggris untuk menghentikan gerakan nasionalisme Mesir. Hassan
Hanafi sebagai pembela kaum lemah berada di kubu gerakan pembebasan tanah air
dan nasionalis. Bagi Hassan Hanafi, tahun 1952 M adalah masa transisi bagi
kehidupan akademisnya. Masa perpindahan dari jenjang menengah atas ke jenjang
kuliah. Saat inilah dia harus memilih spesialisasinya; antara sains dan sastra; antara
filsafat dan eksak. Akhirnya dia meilih keduanya.Pada musim panas, juli 1952 M,
terjadi peristiwa penting dalam sejarah pergerakan Mesir. Peristiwa itu dikenal
dengan Revolusi Juli. Revolusi yang melahirkan perubahan tatanan sosial, politik
dan kultural cukup mendasar, di mana agama masuk pula di dalamnya. Yaitu
perubahan dari sistem monarki ke sistem republik. Dari sinilah Hassan Hanafi
membongkar pergolakan pemikiran besar di Mesir hingga tahun 1981 yang dia
rangkum dalam karyanya “Agama Dan Revolusi” (Al Din Wa Al Thaurah) sebanyak
delapan volume.7
Gelar kesarjanaan dia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab) Universitas Kairo
jurusan Filsafat. Pada 11 oktober 1956 M, Hassan Hanafi berangkat meninggalkan
6 M. Aunul Abied Shah dkk, Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran islam Timur Tengah, Mizan Bandung. 2001,
hal 218.
7 Hassan Hanafi, al Din wa al Thaurah, vol 1 hal 7
6. Mesir menuju Universitas Sorbonne Perancis. Selama kurang lebih sepuluh tahun
dia hidup di “kandang” barat. Tradisi, pemikiran dan keilmuan barat berhasil dia
kuasai dengan cukup baik. Dalam satu artikelnya dia mengatakan “Itulah barat yang
aku pelajari, aku kritik, aku cintai dan akhirnya aku benci”.8
Pada 1961M. Disertasinya tentang Ushul Al Fiqh dinyatakan sebagai karya ilmiah
terbaik di Mesir. Disertasi setebal 900 halaman itu dia beri judul “Essai Sur La
Methode d’Exegese” (Esai Tentang Metode Penafsiran).9 Sementara karya ilmiah
yang berhasil dia tulis selama jenjang akademisnya sebanyak tiga macam, yaitu:
1.Essai Sur La Methode d’Exegese (Esai Tentang Metode Penafsiran)
2.L’Exegese De La Phenomenologie (Tafsir Fenomenologi)
10
3.La Phenomenologie De l’Exegese (Fenomenologi Tafsir).
Setelah menyandang gelar Doktor pada 1966 M, dia kembali pulang ke Mesir dan
mengajar di fakultas sastra jurusan filsafat Universitas Kairo hingga tahun 1971.
Kemudian berangkat ke Amerika Serikat sebagai dosen tamu di Universitas Temple,
Philadelphia hingga 1975. Dia kembali ke Universitas Kairo pada 1982. Kemudian
dipinjam sebagai dosen kehormatan di Universitas Fes, Maroko selama dua tahun.
Dosen di Universitas Tokyo dan Universitas Los Angeles, Amerika Serikat. Terakhir
di Universitas Cape Town, Afrika Selatan. Pada 1989. Kemudian ditunjuk sebagai
ketua jurusan Filsafat di fakultas sastra universitas Kairo hingga tahun 1995. Hanafi
adalah pelopor pendiri organisasi himpunan Filosof Mesir yang berdiri pada 1986 M,
diketuai oleh Dr. Abu al Wafa’ al Taftazani, yang kemudian digantikan oleh Dr.
Mahmud Hamdi Zaqzuq menteri agama Mesir sebelum Housni Mubarak
dilengserkan. Sementara Hanafi bertindak sebagai sekretaris jendralnya.
IV.STRUKTUR KIRI ISLAM
Pembacaan terhadap realitas objektif dan pemeriksaan berbagai akar kegagalan
berbagai ideologi merupakan pijakan pertama proyeknya. Proyek inilah yang disebut
8 Al hilal 184
9 Abdurrahman wahid, pengantar Kiri Islam: Hassan Hanafi dan eksperimentasinya, Lkis 1993, hal XI
10 Hassan Hanafi, Muqaddimah fi 'Ilm al Istighrab , al Muassasah al Jami’iyah li al Dirasah wa al Nasyr wa al
Tawzi’, Beirut, 1992. hal 11.
7. Page |
IDEOLOGI AL YASAR AL ISLAMI (KIRI ISLAM) HASSAN HANAFI
YUANDA KUSUMA
sebagai Kiri Islam. Kiri Islam merupakan sintesis dari eksplorasi dan tafsir ulang
yang cerdas terhadap khasanah keilmuan Islam, analisis marxian atas kondisi
objektif serta tradisi yang mengakar di masyarakat.11
Kiri Islam bertumpu pada tiga dataran metodologis. Pertama, tradisi atau Turath.
Kedua, fenomenologi. Ketiga, analisis sosial Marxian. Hanafi optimis, Kiri Islam
dapat berhasil setelah realitas masyarakat, politik, ekonomi, khasanah Islam dan
tantangan Barat dianalisis. Untuk menganalisis hal tersebut Hanafi menggunakan
metode fenomenologi. Analisnya mengungkapkan dua fakta pokok: Islam telah
dimanfaatkan kepentingan politik dan Islam telah menghujam dalam kehidupan
bangsa Arab. Analisis sosial perspektif Marxiannya menampilkan kontras dua
realitas secara diametral: kaya-miskin, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, tuan
tanah-buruh, majikan-karyawan.12
V.REVITALISASI TURATH
Hassan Hanafi meletakkan landasan teoritis revitalisasi Turath pada kerangka
segitiga piramida peradaban; bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar
pijakan berpikir: Yang telah Lalu (al Madli) personifikasi dari Turath Qadim
(Khazanah Klasik). Esok ( al Mustaqbal) personifikasi dari Turath Gharbi (Khazanah
Barat). Sekarang (al Hali) personifikasi dari al Waqi’ (Realitas Kekinian).13
Tiga akar pijakan pemikiran ini oleh Hassan Hanafi disebut sebagai Trifrontasi (al
Jabhah al Thalathah). Bagi Hanafi, umat Islam kita berada dalam segitiga piramida
pemikiran itu. Dalam Turath Qadim kita meletakkan khazanah klasik sebagai acuan
berpikir yang mempunyai bentangan sejarah perdaban sangat luas dan dalam serta
memiliki akar yang kokoh. Dalam Turath Gharbi kita meletakkan khazanah barat
sebagai tamu peradaban yang mempunyai bentangan sejarah selama sekitar dua
abad (masa saat umat Islam mulai mengakui adanya signifikansi budaya barat
sehingga dia harus datang dengan posisi sebagai murid). Sedangkan dalam al
11 Mahmoud Amin al 'Alim, Mawaqif Naqdiyah min al Turaht, Dar Qadaya Fikriyah al Qahirah.2000. hal 49
12 Muhidin M Dahlan, Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Kreasi Wacana Yogyakarta,2001. Hal 175.
13 Dr. Hassan Hanafi, Islam In The Modern World : Religion, Ideology and Development. Vol 1. Dar Kebaa
Bookshop, Heliopolis Kairo. 2000, hal : 58.
8. Waqi’ kita meletakkan realitas kontemporer sebagai ladang untuk bertanam,
bercangkok dan berinteraksi antar khazanah klasik dan khazanah barat. Korelasi di
antara ketiganya (khazanah klasik, khazanah barat dan realitas kekinian) sangat
kuat sehingga antara satu sama lainnya tidak mungkin dipisahkan. Di sinilah proses
terjadinya akulturasi (Al Tathaqquf/Al Tahaddlur) tidak mungkin terelakkan. Secara
skematis bisa dilihat format proyek Al Turath Wa Al Tajdid Hassan Hanafi sebagai
berikut :
Sementara Turath menurut Hassan Hanafi bukanlah sekedar barang mati yang telah
ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu di perpustakaan atau museum baik dalam
bidang agama, sastra, seni, ataupun ilmu pengetahuan. Tetapi, lebih dari itu, Turath
adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berpikir serta potensi yang hidup dan
masih terpendam dalam tanggungjawab generasi berikutnya. Dia adalah sebagai
dasar argumentatif dan sebagai pembentuk “Pandangan Dunia” (World View) serta
pembimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang. Karena itu, setiap masa
mempunyai Turath dan Turath harus diinterpretasikan seperti itu.14
Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa Turath kita telah banyak dicemari oleh
hegemoni feodalisme akibat ulah tangan-tangan penguasa = kanan yang menindas.
Sementara umat yang tertindas = kiri yang ditindas selalu menjadi kaum lemah dan
terjajah. Hanafi menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh
kelompok elit penguasa dan praktek keagamaan semata diubah menjadi ritus dan
14 Lukman Hakim, Revolusi Sistemik : Solusi Stagnasi REformasi Dalam Bingkai Sosialisme Religius. Kreasi
Wacana Yogyakarta, 2003. 21.
9. Page |
IDEOLOGI AL YASAR AL ISLAMI (KIRI ISLAM) HASSAN HANAFI
YUANDA KUSUMA
rutinitas. kecenderungan seperti itu hanya “kedok” yang menyembunyikan sikap
feodalisme dan kapitalisme rakus kelompok elite penguasa. Berangkat dari realitas
di atas, Hassan Hanafi memandang perlunya langkah-langkah eksploratif terhadap
Turath yang berorientasi pada kepentingan umat Islam yang tertindas. Turath harus
di revitalisasi dan bukan hanya sekedar di pajang, dikutip dan disyarah. Turath
hendaknya mampu menjadi basis dan titik tolak bagi kekuatan revolusioner umat
Islam.15
VI.KONSEPTUALISASI KIRI ISLAM
Kiri Islam lahir dari respon subjektif Hassan Hanafi terhadap kondisi bangsa Arab
yang merupakan formulasi ideologisasi Islam. Pemahaman Islam yang hanya berarti
tunduk, penyerahan diri, pengabdian atau bahkan penghambaan, menurutnya,
merupakan distorsi besar-besaran terhadap Islam. Islam memang bermakna
penyerahan diri. Namun penyerahan diri ini merupakan penyerahan diri terhadap
Allah. Bukan kepada siapapun atau apapun selain-Nya. Ini berarti Islam bermakna
ganda. Yaitu, penolakan terhadap segala kekuasaan yang tidak transendental dan
penerimaan terhadap kekuasaan yang transendental. Dalam kerangka ini, tunduk
kepada penguasa ditransformasikan menjadi tunduk kepada Allah. Makna ganda
(mafhum mukhalafah) inilah yang secara sadar telah diselewengkan untuk
kepentingan kekuasaan. Islam semata-mata ditafsirkan sebagai tunduk. Hanafi
menegaskan bahwa makna Islam adalah juga protes, penolakan, oposisi bahkan
“teriakan orang tertindas”. Selama ini pemaknaan revolusioner progresif itu selalu
disembunyikan. Penggalian unsur-unsur revolusioner inilah yang merupakan tugas
pokok dari kiri Islam.16
15Dr. Hamdi Zaqzuq, Humum al Ummah al Islamiyah. Al Hai'ah al 'Ammah al Mashriyah li al Kitab Kairo, 2011.
Hal : 33.
16 Dr. Hassan Hanafi, al Din wa al Thaurah fi Mashr (1956 – 1981) : al Yamin wa al Yasar fi al Fikr al Diny. Vol :
7. Maktabah al Madbuli Kairo. 1979. Hal : 179.
10. VII.CONTOH CONTOH PEMAKNAAN ISLAM ALA KIRI ISLAM
Tuhan menurut Hassan Hanafi, bukanlah objek untuk dibuktikan secara teoritis,
melainkan suatu tujuan untuk diwujudkan secara praksis. Tujuan rekonstruksi sistem
kepercayaan tradisional ini bukan untuk menghasilkan kehidupan abadi dengan
mengetahui kebenaran. Namun untuk mendaatkan keberhasilan di dunia dengan
memenuhi harapan dunia muslim terhadap kemerdekaan, kebebasan, kesamaan
sosial, kemajuan dan seterusnya. Karana itu ia menolak pengertian teologi sebagai
“ilmu tentang Tuhan”. Ia mendefinisikannya sebagai ilmu tentang perkataan (ilmu
kalam). Hal itu karena menurutnya, Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Manusia hanya
dapat berbicara tentang Tuhan melalui analogi dan secara metaforis (Qiyas al Ghaib
ala Syahid). Teologi karenanya adalah antropologi. Teologi merupakan ilmu
kemanusiaan bukan ilmu ketuhanan.17
Tauhid, misalnya, yang semula diartikan sebagai pengesaan Tuhan dalam tataran
metafisik diseret dalam wilayah kemanusiaan. Dalam wilayah ini tauhid berarti
kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrisi dan
perilaku oportunistik. Pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan identik dengan
perbuatan. Tauhid berarti pula kesatuan sosial : masyarakat tanpa kelas dan
masyarakat tanpa diskriminasi rasial.18
Hal yang sama juga dilakukan pada doktrin-doktrin Tasawuf. Ibu kandung yang
melahirkan Tasawuf – menurut Hanafi – adalah kekalahan kesalehan sosial. Yang
dimulai pada krisis politik pada era Ali yang dikalahkan kelompok Mu’awiyah.
Kekalahan Ali dan kemenangan Mu’awiyah ini menjadikan kesalehan kembali ke
asalnya semula, ke dalam ruh manusia. Kondisi ini terus berlanjut pada abad ke 5
Hijriah saat al Ghazali meluncurkan magnum opusnya “ihya’ Ulum al Din”. Setting
kesejarahan ini membawa hanafi pada tesis bahwa alasan-alasan historis
kemunculan tasawuf adalah tidak adanya kebenaran dalam gerakan-gerakan sejrah,
sosial dan politik serta ekonomi. Menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan
17 Dr. Hassan Hanafi, al Din wa al Thaurah fi Mashr (1956 – 1981) : al Yasar al Islamy wa al Wihdah al
Wathaniyah. Vol :8. Maktabah al Madbuli Kairo. 1979. Hal : 179.
18 Ibid.
11. Page |
IDEOLOGI AL YASAR AL ISLAMI (KIRI ISLAM) HASSAN HANAFI
YUANDA KUSUMA
orang lain adalah egoisme. Kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan
destruktif serta menggerus dimensi sosial dari spiritualitas.19
Atas dasar itu, Hanafi melakukan rekonstruksi pada Tasawuf di tiga tataran
sekaligus. Pertama, tataran moral ditransformasikan orientasi jiwa ke tubuh, ruhani
ke jasmani etika individual ke politik-sosial. Kedua, tataran etikopsikologi
ditransformasikan nilai pasif ke nilai aktif, kondisi-kondisi psikologi ke kondisi sosial.
Ketiga, tataran metafisik ditransformasikan orientasi vertikal ke horisontal, dari dunia
lain ke dunia ini dan dari dunia khayal ke penyatuan nyata.20
VIII.PENUTUP
Itulah Kiri Islam. Tugas utamanya adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam
agama dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi. Agama
adalah revolusi itu sendiri dan para Nabi merupakan revolusioner dan pembaharu
sejati. Ibarahim adalah cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta. Musa
merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme dan diktatorisme. Isa
adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme. Dan Muhammad merupakan
cerminan dari revolusi kelas antara kaum papa, hamba sahaya dan komunitas
tertindas berdapan dengan para konglomerat, elit Quraisy dalam perjuangan
menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih sayang, persaudaraan dan
egaliter.
19 Ibid.
20 Shadiq Jalal Azim, Naqd al Fikr al Diny. Dar al Thali'ah li al Thiba'ah wa al Nasyr, Beirut. 2000. Hal : 59.
12. IX.PROYEK REVITALISASI TURATH HASSAN HANAFI
من العقيدة الى الثورة : محاولة لعادة بناء علم أصول الدين
Dari Teologi ke Revolusi : upaya rekonstruksi ilmu-ilmu ushuluddin
من النقل الى البداع : محاولة لعادة بناء علوم الحكمة
Dari transferensi ke inovasi: Upaya rekonstruksi ilmu-ilmu Hikmah
من الفناء الى البقاء : محاولة لعادة بناء علوم التصوف
Dari kesementaraan menuju keabadian: Upaya rekonstruksi ilmu-ilmu Tasawuf
من النص الى الواقع : محاولة لعادة بناء علوم أصول الفقه
Dari teks ke realita; Upaya rekonstruksi ilmu-ilmu Ushul al Fiqh
من النقل الى العقل : محاولة لعادة بناء علوم نقلية
Dari teks ke rasio; Upaya rekonstruksi ilmu-ilmu Tekstual
(Tafsir, Ulum al Hadith, Sejarah, Fiqh, Kalam).
العقل و الطبيعة : محاولة لعادة بناء علوم عقلية
Akal dan alam; Upaya rekonstruksi ilmu-ilmu Logika
(Matematika, Fisika, Kimia)
النسان و التاريخ : محاولة لعادة بناء علوم انسانية
13. Page |
IDEOLOGI AL YASAR AL ISLAMI (KIRI ISLAM) HASSAN HANAFI
YUANDA KUSUMA
Manusia dan sejarah; upaya rekonstruksi ilmu-ilmu Humaniora (Bahasa,
Sastra, Geografi, Sejarah)
X.DAFTAR PUSTAKA
1.Dr. Ibrahim al Dasui Syata, al Thaurah al Iraniyah : al
Juzur al Idiyolojiyah. Al Zahra' li al I'lam al 'Araby Madinat
Nashr Kairo, 1988.
2.Ali Syari'ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Mizan
Bandung, 1998.
3.Dr. 'Ishmat Saif al Daulah, Nazariyat al Thaurah al
'Arabiyah : al Usus, al Muntaliqat, al Ghayat, al Thariq,
Dar al MasirahBeirut. 1979.
4.Majalah al wasath, NO 276, 12-18 Mei 1997.
5.Digest al hilal, edisi april 1997, hal 176-185.
6.M. Aunul Abied Shah dkk, Islam Garda Depan Mosaik
Pemikiran islam Timur Tengah, Mizan Bandung. 2001.
7.Hassan Hanafi, al Din wa al Thaurah, vol 1. Maktabah al
Madbuli Kairo. 1979.
8.Abdurrahman Wahid, pengantar Kiri Islam: Hassan
Hanafi dan eksperimentasinya, Lkis 1993.
9.Hassan Hanafi, Muqaddimah fi 'Ilm al Istighrab , al
Muassasah al Jami’iyah li al Dirasah wa al Nasyr wa al
Tawzi’, Beirut, 1992.
10.Mahmoud Amin al 'Alim, Mawaqif Naqdiyah min al
Turaht, Dar Qadaya Fikriyah al Qahirah.2000.
11.Muhidin M Dahlan, Sosialisme Religius Suatu Jalan
Keempat?, Kreasi Wacana Yogyakarta,2001.
12.Dr. Hassan Hanafi, al Din wa al Thaurah fi Mashr (1956 –
1981) : al Yamin wa al Yasar fi al Fikr al Diny. Vol : 7.
Maktabah al Madbuli Kairo. 1979.
13.Dr. Hassan Hanafi, al Din wa al Thaurah fi Mashr (1956 –
1981) : al Yasar al Islamy wa al Wihdah al Wathaniyah.
14. Vol :8. Maktabah al Madbuli Kairo. 1979.
14.Shadiq Jalal Azim, Naqd al Fikr al Diny. Dar al Thali'ah li
al Thiba'ah wa al Nasyr, Beirut. 2000. Hal.
15.Dr. Hassan Hanafi, Islam In The Modern World : Religion,
Ideology and Development. Vol 1. Dar Kebaa Bookshop,
Heliopolis Kairo. 2000,
16.Lukman Hakim, Revolusi Sistemik : Solusi Stagnasi
REformasi Dalam Bingkai Sosialisme Religius. Kreasi
Wacana Yogyakarta, 2003.
17.Dr. Hamdi Zaqzuq, Humum al Ummah al Islamiyah. Al
Hai'ah al 'Ammah al Mashriyah li al Kitab Kairo, 2011.