Hasan Hanafi adalah seorang pemikir Islam kontemporer dari Mesir yang berupaya mereformasi pemikiran Islam dengan menggunakan metode dialektika, fenomenologi, dan hermeneutika. Ia menekankan pentingnya konsep Tauhid sebagai dasar pembangunan peradaban Islam dan menolak pemahaman teologi Islam yang terlalu melangit.
Wahhabi adalah aliran yang dinisbatkan terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi (1143-1206 H/.
Ayahnya, Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman, seorang ulama bermadzhab Hanbali yang kharismatik dan menjadi hakim di distrik Uyainah, Najd.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mulai menyebarkan dakwahnya (ajaran barunya) setelah ayahnya wafat tahun 1153 H.
Wahhabi adalah aliran yang dinisbatkan terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi (1143-1206 H/.
Ayahnya, Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman, seorang ulama bermadzhab Hanbali yang kharismatik dan menjadi hakim di distrik Uyainah, Najd.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mulai menyebarkan dakwahnya (ajaran barunya) setelah ayahnya wafat tahun 1153 H.
Metodologi Studi Islam Adalah Salah Satu Mata Kuliah Di UIN-SU.
TOopik Pembicaraannya adlah mengenai Islam Sebagai Sasaran Studi Dabn Penelitian
Pengampuh Mata Kuliahnya: Dr. Ali Imran Sinaga, M. Ag
Metodologi Studi Islam Adalah Salah Satu Mata Kuliah Di UIN-SU.
TOopik Pembicaraannya adlah mengenai Islam Sebagai Sasaran Studi Dabn Penelitian
Pengampuh Mata Kuliahnya: Dr. Ali Imran Sinaga, M. Ag
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdfIrfan Pathurahman
Pendidikan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan tuntutan akan pentingnya pendidikan semakin besar mengingat arus perkembangan dunia yang semakin cepat. Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif. Pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk membangun manusia seutuhnya. Sedangkan filsafat pendidikan islam adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan pada ajaran islam tentang kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh agama islam. Terdapat 2 jenis pendidikan islam yaitu yang klasik dan modern. Hal ini bisa terjadi karena adanya perkembangan dari pendidikan islam itu sendiri. Baik dari pendidikan islam klasik maupun modern memiliki banyak filsuf dengan pemikirannya masing-masing. Perbedaan yang mendasar adalah jika kaum klasik cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan kepribadian atau mengaktualisasikan potensi dan fakultas manusia, maka kaum kontemporer cenderung melihat pendidikan sebagai proses mengembangkan umat Islam yang bisa eksis dalam masalah ummat maupun masalah kemanusiaan.
Secara harfiah kaum Mu’tazilah berasal dari i’tazilah,berarti berpisah atau memisahkan diri yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat tentang pemberiaan status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Beberapa versi tentang pemberian nama mu’tazilah kepada golongan ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Atta’ serta temannya Amr bin Ash, dan Hasan Al-Basri ketika dibasar yaitu ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan Hasan Al-Basri di Masjid Basrah, datanglah seorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
1. Mata Kuliah Pembaharu Dalam Islam
M. Bahrul Ulum (921.014.18.015)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KEDIRI
2019
Pemikiran Hasan Hanafi Dalam Pembaharuan Islam
2. Latar Belakang
Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki
komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu
agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk
membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas
Islam tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi,
yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan
tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan
kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan
tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang
membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi
kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah
basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia.
3. Riwayat Hidup
Hasan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas
Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun lingkungan
sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan
berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir
memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa
Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai
dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama
kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi
keilmuan Hasan Hanafi. Selain itu ia juga mempelajari pemikiran
sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
4. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian
di Madrasah Tsanawiyah „Khalil Agha‟, Kairo, selesai 1952. Selama di
Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok
Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang
dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia
juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan
keislaman.
Hasan Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas
Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, terus
ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil
menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis
‘Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des (Essei tentang
Metode Penafsiran). Disertasi yang tebalnya 900 halaman tersebut
kemudian memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah
terbaik di Mesir, dan ini merupakan karya monumental yang berupaya
menghadapkan ilmu ushul fiqh (Filsafat Hukum Islam) kepada suatu
mazhab filsafat kontemporer, yaitu fenomenologi yang dirintis oleh
Edmud Husserl.
5. Kondisi Sosial
Hanafi lahir dan dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh
pergolakan dan pertentangan. Dari sisi Sosial Politik, saat itu terdapat
dua kelompok ekstrim yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada
partai komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviyet di seluruh
dunia. Kemenanga Soviyet salama perang dan dikukuhkannya
perwakilan soviyet di Kaoiro (1942) ini semakin meningkatkan minat
mahasiswa untuk belajar Komunisme. Sementar di sayap kanan, ada
Ikhwanul Muslimin, didirikan Hasan al-Bana tahun 1929 di Ismailia
yang pro-Islam dan anti barat. Kelompok ini memiliki sejumlah besar
pengikut, termasuk hanafi sendiri pada awalnya.
6. Pemerintah mesir sendiri ambil alih dalam pergolakan tersebut, dengan
melakukan pebersihan terhadap kaum komunis (1946) setelah setahun
sebelumnya melarang aktifitas kelompok ini. Pergolakan ini terus
berlanjut, setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad
Husain, tokoh partai sosialis. Dari sisi Pemikiran, ada tiga kelompok
pemikiran yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang
cenderung pada Islam (the islam trend) yang diwakili oleh, al-Bana
dengan Ikhwanul Muslim-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada
pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal trend)
Luthfi al-Sayyid dan para emigrant Syiria yang lari ke Mesir. Dasar
pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi peradaban Barat dengan
presentasi-presentasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan
Islam dan Barat (the synthetic trend) yang diwakili oleh ‘Ali
‘Adul Raziq
7. Dalam menghadapi tantangan mordenitas dan liberalism politik,
kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap
bahwa politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah. Pengadopsian
sistem politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran
terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang
kebanyakan para sarjana didikan barat menganggap bahwa, jika mesir
ingin maju, maka harus menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap
bahwa para ulama adalah kendala Mordenisasi, bahkan penyebab
keterbelakangan Mesir dalam sosial politik dan ekonomi. Pemikiran dan
gerakan kelompok kedua ini, banyak mendapat dukungan dari
pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan
program-programnya.
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan kelompok
pemikiran diatas, meski awal karier intelektualnya pernah berpihak pada
kelompok pertama, tetapi pemikirannya mengalami proses dengan
banyak dipengaruhi oleh kelompok dua dan tiga, terutama setelah belajar
di prancis.
8. Sejarah Munculnya Pemkiran
Hassan Hanafi
Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada
tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi
penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al- Islami. Pemikiran yang terkenal
dengan al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir,
Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara.
9. Pada tahun 1952-1956 Hanafi duduk di bangku Universitas Kairo untuk
mendalami bidang filsafat. Tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara
gerakan ikhwan dan gerakan revolusi. Ia berada dipihak Muhammad
Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena yang pertama mempunyai
komitmen dan visi keislaman yang jelas. Hanafi mulai optimis setelah
Nasser berhasil menasionalisasikan suez dan berubah menjadi pahlawan
nasional. Peristiwa demi peristiwa yang dia alami selama dikampus telah
membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan
revormis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat islam
selalu mudah dikalahkan dan mengapa konflik internal dikalangan
mereka terus terjadi.
10. Dalam keprihatinan semacam itu, hanafi beruntung memperoleh
kesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne, Prancis pada tahun
1956-1966. Keberuntungannya disini bukan karena ia berhasil melarikan
diri dari situasi sulit di negerinya, akan tetapi ia memperoleh lingkungan
yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar
yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus ia mulai merumuskan
jawaban-jawaban itu. Sebagaimana ia akui, di Prancis ia dilatih berfikir
secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atas
karya orientalis.
11. Sepulangnya dari Prancis pada tahun 1966, semangat Hanafi untuk
meneruskan tulisannya tentang pembaharuan peemikiran islam sangat
tinggi. Akan tetapi, kekalahan Mesir melawan Israel tahun 1967
membalik niatnya tersebut. Kemudian, ia ikut serta dengan rakyat
berjuang dan membangun kembali semangat Nasionalisme. Karena itu, ia
memanfaatkan media masa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis
artikel-artikel untuk menanggapi masalah-masalah actual untuk melacak
faktor kelemahan umat islam. Disini, terlihat Hanafi ingin
menggabungkan antara semangat akademik dengan semangat kerakyatan.
Artinya, sebagai seorang pemikir dan cendekiawan, ia sangat peka
terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
12. Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Islam merupakan agama yang universal, semua aspek kehidupan sudah
diatur dan ditentukan oleh islam. Namun, dari sekian banyak aspek-
aspek kehidupan yang diatur oleh islam terdapat aspek inti dari ajaran
islam yakni Tauhid. Tauhid adalah basis Islam. Hanafi beranggapan
untuk membangun kembali peradaban islam tidak bisa dengan tidak
membangun semangat Tauhid itu. Tauhid adalah pandangan dunia, asal
seluruh pengetahuan. Oleh karena itu, kita harus mengkaji konsep tauhid
dan kita akan melihat bagaiman pandangan dunia tauhid itu berfungsi
untuk membangun dunia islam.
13. Tauhid disini tidak hanya mengacu pada “keesaan Tuhan” saja, namun
lebih dari itu. Hasan Hanafi mengenalkan gagasannya mengenai teologi
islam yang lebih ilmiah dan membumi, serta mengkritik gagasan teologi
islam yang terlalu melangit dan tidak ilmiah. Hal ini bertujuan agar umat
islam tidak hanya memaknai islam hanya sebagai dogma keagamaan
yang kosong tanpa makna, akan tetapi juga dapat memaknai islam
sepenuhnya sebagai landasan dalam hidup, pedoman tingkah laku dan
tindakan manusia.
Oleh karena itu, gagasan hanafi lebih kepada arah konstektual dari pada
tekstual, lebih pada praktis dari pada teoritis. Pemikiran ini didasari oleh
dua hal, pertama kebutuhan adanya sebuah ideologi dan teologi yang
konkrit ditengah pertarungan ideologi global. Yang kedua perlunya
bangunan teologi yang bukan hanya bersifat teoritik namun juga praktis
yang bisa melahirkan gerakan dalam sejarah
14. Hasan Hanafi menggunakan tiga metode berfikir yaitu dialektika,
fenomenologi, dan hermeunetik. Dialektika adalah metode pemikiran
yang didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah terjadi
lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis dan selanjutnya
melahirkan sintesis. Fenomenologi merupakan metode berfikir untuk
mencari hakikat sebuah fenomena atau realitas. Hermeneutik adalah
sebuah cara menerjemahkan teks atau simbol yang mensyaratkan adanya
kemampuan untuk menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami
kemudian dibawa di masa sekarang.
Metode yang digunakan oleh Hasan Hanafi sangatlah kompleks, hal ini
menunjukkan kritik yang dilakukan oleh Hasan Hanafi memiliki landasan
dan metodolgi yang kuat.
15. Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai metode
untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dengan bantuan
metode dialektika historis dari Marx, Hanafi mencoba melihat kembali
sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dalam artikelnya
“Fundamentalisme dan Modernitas”, dia menunjukkan bahwa gerakan
Islam zaman sekarang merupakan tahap sejarah yang ketiga dari sejarah
kebudayaan Islam, di mana massa harus bangkit atas dasar imannya.
Metode Dialektika
16. Kemudian Hanafi menggunakan dialektika untuk menggagas teologi
sebagai antropologi yang merupakan cara “ilmiah” untuk mengatasi
keterasingan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan Karl Marx terhadap
filsafat Hegel. Menurutnya dialektika Hegel berjalan pada kepalanya,
artinya; agar dialektika itu bisa dipahami dengan benar, ia harus
diletakkan di atas kakinya. Dengan dialektika materialnya, Marx
mengajak untuk menjadi normal lagi, yaitu berjalan dengan kaki. Upaya
Hanafi dalam artikelnya “Ideologi dan Pembangunan,” lewat sub-sub
judul: dari Tuhan ke bumi, dari ke abadian ke waktu, dari takdir ke
kehendak bebas, dari otoritas ke akal, dari teori ke tindakan, dari karisma
ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dan dari eskatologi ke
futurologi.
17. Dari Tuhan ke Bumi
Yang dimaksudkan oleh Hanafi adalah kepercayaan akan adanya tuhan
yang Maha Pencipta yang harus dimplementasikan dalam bentuk
pengelolahan dan pengelolahan bumi sebagai sumber kehidupan
manusia.
Dari Keabadian ke Waktu
Hanafi berpendapat bahwa pembangunan tidak akan berlangsung jika
berorientasi keabadian.Menurut Hanafi,hal ini dikarenakan
pembangunan,berarti tahapan-tahapan dalam waktu yang harus diikuti
sesuai perencanaan.sedangkan yang dimaksudkan hanafi dengan
keabadian adalah kehidupan pasca dunia,yang merupakan tujuan akhir
Dari Takdir ke Kehendak bebas
Adalah pembangunan akan sangat menguntungkan apabila prioritas
diberikan kepada kehendak bebas manusia daripada takdir tuhan.
18. Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Fenomenologi dalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk
mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada
tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggagas metode
ini, peneliti harus melalui --minamal-- dua tahapan penyaringan
(reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama,
atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau
memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti
mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap tidak
merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis,
peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal
tetapi menyaring intisarinya.
Metode Fenomenologi
19. Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan
memetakan realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah
Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun
sebuah revolosi.
20. Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Hermeneutik merupakan salah satu tema penting dalam pemikiran
Hanafi. Bahkan ia menjadi bagian integral dari wacana pemikirannya
baik dalam filsafat maupun teologi untuk memahami suatu teks.
Metode Hermeneutik
21. Pemikiran kalam Hasan Hanafi
Dalam gagasan Hassan hanafi tentang rekonstruksi teologi tradisional,
Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual
kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik yang
terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah
ketika inti keislaman sistem kepercayaan,yakni transedensi Tuhan,
diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan
untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya.
Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam
mengalami berbagai kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang
periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-
masa permulaan, yang berasal dari kebudayan klasik, harus diubah
A. Kritik Terhadap Teologi Tradisional
22. Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional pada tempat yang
sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak
boleh di persoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for
granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan
verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis. Secara
praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideologi yang
sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim.
Kegagalan para teolog tradisional disebabakan oleh sikap para penysun
teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan
teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat.
23. Ayat-ayat tersebut terkumpul selama 23 tahun dan sekarang kita kenal
dengan mushaf al-Quran. Menurut Hasan Hanafi membaca teks sama
saja dengan memahaminya. Teks adalah perubahan kehendak dari lisan
menjadi tulis. Menurutnya teks bukanlah dokumen yang lebih dekat
kepada catatan kuno tetapi realitas yang hidup dalam keadaan diam, yang
akan terbangkit melalui pembacaan sehinnga hidup kembali dalam
berbagai bentuk. Teks bukan saja sebagai bentuk dokumentasian yang
bertujuan untuk melestarikan dan untuk mencatat melainkan cermin
keotoritasan pengorentasian, koodifikasi dan penetapan hukum.
24. Pemikiran kalam Hasan Hanafi
Melihat kelemahan dari teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan
saran rekonstruksi teologi dengan tujuan menjadikan teologi tidak
sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma
sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-
keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik
dan motivasi manusia
B. Rekonstruksi Teologi
25. Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya di latar
belakangi oleh tiga hal berikut :
1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah
pertarungan global antara berbagai ideologi.
2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata-mata pada sisi teoritisnya,
melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata
mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu
kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan
tanah di negara-negara muslim.
3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu
secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam
dunia islam. Hanafi menghendaki adanya ”teologi dunia” yaitu
teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam di bawah satu
orde
26. Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi salah satu cara yang mesti
di tempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan
yang konkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu
pertama-pertama untuk mentransformasikan teologi menuju antropolgi,
menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara
ekstensial, kognitif, maupun kesejarahan.
27. Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak
menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang
ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia,
karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan
segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-
Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah,
sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik,
manusia ideal, insan kamil. Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri
memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya
sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan
diri (self feeling).
28. Penyebutan Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran
akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang ada dalam
manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya,
menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan (aushâf)
adalah wujud (keberadaan). Adapun deskrip-Nya tentang sifat-sifat-Nya
(aushâf) berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia,
sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran
akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat
mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum.
Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar
mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.
29. Karya Hassan Hanafi
1. Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir, diterbitkan pada tahun
1976. Tulisan ini merupakan akumulasi tulisan Hanafi yang pernah
diterbitkan dibeberapa jurnal, khususnya Jurnal Al Katib, Al-Adab, Al-
Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam.
2. Dirasat Islamiyyah,
ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan
analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul
fikih, ilmu-ilmu ushuluddin dan filsafat.
3. Al-Turats wa al-Tajdid,
yang terbit pertama kali tahun 1980. Tulisannya ini memuat ini landasan
teoritis ide-ide pembaharuan dan langkah-langkahnya.
30. 4. Al-Yasar al-Islamiyah,
yang kemudian dikenal secara populer hingga hari ini dengan istilah Kiri
Islam. Sebuah tulisan yang memuat manifesto politikyang berbau
ideologis.
5. Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah,
(dari Akidah Menuju Revolusi) yang terdiridari 5 jilid, ditulis selama
hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat
uraian rinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan,
sebagaimana yang termuat dalam karyanya yang terdahulu.
6. Religion, Ideologi and Development,
yang terbit pada tahun 1993. Muatan tulisan ini banyak-banyak
dipresentasikan dalam berbagai seminar dibeberapa Negara, seperti
Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang dan termasuk
Indonesia.
7. Islam in the Modern World,
terdiri dari dua jilid. Tulisan ini juga merupakan susunan dari beberapa
tulisannya yang pernah dimuat dibeberapa artikel.
31. Kesimpulan
Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada
tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi
penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al- Islami. Pemikiran yang terkenal
dengan al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir,
Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara. Pemikiran-
pemikiran Hassan Hanafi meliputi berbagai aspek, yaitu :
Modernisme
Fundamentalisme
Sekularisme
Liberalisme, dan
Pemikiran kalam Hassan Hanafi
32. Pemikiran Hanafi walaupun kontroversial, bahkan sampai menyeretnya
ke dalam penjara, namun telah menginspirasi banyak umat muslim.
Peemikirannya tentang al-Yasar al-Islami tidak menghilang begitu saja,
walaupun jurnalnya hanya terbit satu kali. Pemikirannya Hanafi
membuka persepsi banya orang, bahwa kita umat Islam bisa menandingi
Barat. Peradaban Barat yang penuh dengan doktrin imperialisme,
zionisme, dan kapitalisme harus dilawan dengan pemikiran-pemikiran
yang progresif, salah
satunya adalah rekonstruksi Teologi antroposentris. Terlepas apakah
pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau tidak, jelas gagasan
Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya di
hadapan Barat.