Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
Dokumen tersebut membahas sejarah penyakit tuberkulosis, penemuan basil tuberkulosis oleh Robert Koch pada tahun 1882, dan masalah tuberkulosis di Indonesia yang masih menjadi salah satu penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 pada tahun 2004 dan kematian sebanyak 101.000 orang.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Bidan Kelurahan Sukolilo merangkum kegiatan yang dilakukan untuk program KIA-KB dan Gizi pada tahun 2013, yang meliputi kunjungan ke rumah ibu hamil, kelas ibu hamil, pelaksanaan posyandu, dan pelatihan pembuatan menu balita.
2. Program-program tersebut bertujuan meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dan menurunkan angka balita gizi buruk di
Surveilans gizi bertujuan untuk memantau masalah dan program gizi secara terus menerus agar dapat mengambil tindakan segera. Dilakukan dengan mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data gizi secara sistematis, lalu menyebarkan hasilnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai target RPJMN 2014 yaitu menurunkan angka gizi kurang dan stunting pada balita. Pelaksanaan surveilans gizi di
Slogan kampanye "Sehat 5 Sempurna" menganjurkan porsi makan yang seimbang di piring, dengan karbohidrat dan protein masing-masing 50% dan buah serta sayuran 50% berikutnya, serta membatasi gula, garam, dan lemak. Kampanye ini juga menganjurkan minum air putih yang cukup dan mengkonsumsi protein nabati untuk mendukung gaya hidup sehat.
Posyandu adalah pusat pelayanan kesehatan ibu dan anak di tingkat komunitas yang memberikan layanan kesehatan seperti imunisasi, gizi, dan KB. Posyandu dilaksanakan dengan sistem lima kegiatan (meja posyandu) yaitu pendaftaran, penimbangan, pencatatan, penyuluhan, dan penkes. Posyandu dikembangkan pada tahun 1984 atas prakarsa Presiden Soeharto untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Bidan Kelurahan Sukolilo merangkum kegiatan yang dilakukan untuk program KIA-KB dan Gizi pada tahun 2013, yang meliputi kunjungan ke rumah ibu hamil, kelas ibu hamil, pelaksanaan posyandu, dan pelatihan pembuatan menu balita.
2. Program-program tersebut bertujuan meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dan menurunkan angka balita gizi buruk di
Surveilans gizi bertujuan untuk memantau masalah dan program gizi secara terus menerus agar dapat mengambil tindakan segera. Dilakukan dengan mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data gizi secara sistematis, lalu menyebarkan hasilnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai target RPJMN 2014 yaitu menurunkan angka gizi kurang dan stunting pada balita. Pelaksanaan surveilans gizi di
Slogan kampanye "Sehat 5 Sempurna" menganjurkan porsi makan yang seimbang di piring, dengan karbohidrat dan protein masing-masing 50% dan buah serta sayuran 50% berikutnya, serta membatasi gula, garam, dan lemak. Kampanye ini juga menganjurkan minum air putih yang cukup dan mengkonsumsi protein nabati untuk mendukung gaya hidup sehat.
Posyandu adalah pusat pelayanan kesehatan ibu dan anak di tingkat komunitas yang memberikan layanan kesehatan seperti imunisasi, gizi, dan KB. Posyandu dilaksanakan dengan sistem lima kegiatan (meja posyandu) yaitu pendaftaran, penimbangan, pencatatan, penyuluhan, dan penkes. Posyandu dikembangkan pada tahun 1984 atas prakarsa Presiden Soeharto untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
Dokumen ini membahas kerangka acuan kegiatan pemberian dan pendampingan makanan tambahan untuk ibu hamil KEK di wilayah kerja Puskesmas Kalimanggis tahun 2016. Kegiatan ini bertujuan untuk menurunkan angka ibu hamil KEK, kematian bayi dan ibu, serta bayi berat lahir rendah dengan memberikan makanan tambahan lokal selama 90 hari dan memantau perkembangan berat badan serta lingkar lengan atas ibu hamil. Kegiatan akan dilaks
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya gizi dan nutrisi bagi ibu hamil untuk menjaga kesehatan janin dan ibu. Nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil antara lain asam folat, protein, kalsium, vitamin A, zat besi, vitamin C, dan vitamin D karena memiliki peran penting dalam pertumbuhan janin. Makanan yang disarankan untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil adalah nasi, sayuran, buah-buahan, daging,
Posyandu didefinisikan sebagai aktif jika memenuhi 5 kriteria: (1) melakukan kegiatan rutin minimal 8 kali per tahun, (2) memiliki minimal 5 orang kader, (3) 3 dari 4 layanan mencapai cakupan 50% selama 8 bulan, (4) memiliki alat pemantauan pertumbuhan, dan (5) mengembangkan kegiatan tambahan. Kabupaten/kota dinyatakan memiliki cukup Posyandu aktif jika persentasenya
Posyandu adalah upaya kesehatan masyarakat yang bertujuan mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi melalui pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan dasar seperti KIA, KB, imunisasi, gizi dan penanggulangan diare. Posyandu dikelola secara partisipatif oleh dan untuk masyarakat dengan bimbingan puskesmas.
FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA DESA SIAGA TIDAK AKTIF DI KABUPATEN SITUBONDOfirii JB
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor penyebab tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo.
2. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fasilitator, faktor masyarakat, dan pelaksanaan delapan indikator desa siaga.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat perkemb
Dokumen tersebut membahas mengenai permasalahan stunting di Indonesia dan upaya pencegahannya. Stunting merupakan masalah gizi yang serius di Indonesia yang dipengaruhi oleh faktor gizi dan sanitasi buruk serta stimulasi yang kurang pada 1.000 hari pertama kehidupan. Upaya yang ditekankan adalah intervensi gizi sensitif melalui peningkatan akses air bersih, sanitasi, pendidikan, dan jaminan sosial serta intervensi g
Dokumen ini membahas tentang kebutuhan gizi yang tepat bagi ibu hamil. Ibu hamil membutuhkan asupan energi tambahan sebesar 150-350 Kkal per hari tergantung trimester. Penilaian status gizi ibu hamil dapat dilakukan secara klinis, biokimia, biofisik, dan antropometri. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan janin seperti keguguran, bayi lahir mati
Dokumen tersebut membahas penanganan gizi pada situasi bencana di Indonesia. Secara singkat, dokumen menjelaskan tentang kelompok rentan yang berisiko tinggi terhadap masalah gizi pada bencana, pendekatan klaster dan peran ahli gizi dalam merespons bencana, serta langkah-langkah penanganan gizi pra-bencana, selama tanggap darurat, dan pasca-bencana.
Dokumen tersebut membahas tentang gizi yang seimbang untuk anak sekolah, meliputi karakteristik fisik dan psikologis anak pada usia tersebut, kebutuhan gizi harian, jenis menu yang dianjurkan, dan masalah-masalah gizi yang sering dihadapi anak sekolah seperti obesitas, anemia, dan karies gigi."
Dokumen tersebut membahas tentang transisi epidemiologi penyakit di Indonesia dari tahun 1990 hingga 2015, di mana terjadi pergeseran dominasi penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular akibat perubahan gaya hidup masyarakat. Dokumen tersebut juga menjelaskan upaya yang dilakukan untuk mencegah penyakit tidak menular melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dengan fokus
Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan TB Paruarbianisa
Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan tuberkulosis paru (TB paru) meliputi umur, pendidikan, pengetahuan, lama kontak dengan penderita TB paru, pendapatan per kapita, dan kepadatan hunian. Dokumen ini juga menjelaskan hasil survei di sebuah puskesmas di Semarang yang menunjukkan adanya hubungan antara kepadatan hunian, lama kontak, dan pendidikan rendah dengan kejadian kasus
Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan TB Paruarbianisa
Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan tuberkulosis paru (TB paru) seperti umur, pendidikan, pengetahuan, lama kontak, pendapatan per kapita, kepadatan hunian, dan kebiasaan merokok. Dokumen ini juga menjelaskan metode penelitian yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor risiko tersebut dengan kejadian kasus baru TB paru. Hasil analisis menunjukkan
Dokumen ini membahas kerangka acuan kegiatan pemberian dan pendampingan makanan tambahan untuk ibu hamil KEK di wilayah kerja Puskesmas Kalimanggis tahun 2016. Kegiatan ini bertujuan untuk menurunkan angka ibu hamil KEK, kematian bayi dan ibu, serta bayi berat lahir rendah dengan memberikan makanan tambahan lokal selama 90 hari dan memantau perkembangan berat badan serta lingkar lengan atas ibu hamil. Kegiatan akan dilaks
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya gizi dan nutrisi bagi ibu hamil untuk menjaga kesehatan janin dan ibu. Nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil antara lain asam folat, protein, kalsium, vitamin A, zat besi, vitamin C, dan vitamin D karena memiliki peran penting dalam pertumbuhan janin. Makanan yang disarankan untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil adalah nasi, sayuran, buah-buahan, daging,
Posyandu didefinisikan sebagai aktif jika memenuhi 5 kriteria: (1) melakukan kegiatan rutin minimal 8 kali per tahun, (2) memiliki minimal 5 orang kader, (3) 3 dari 4 layanan mencapai cakupan 50% selama 8 bulan, (4) memiliki alat pemantauan pertumbuhan, dan (5) mengembangkan kegiatan tambahan. Kabupaten/kota dinyatakan memiliki cukup Posyandu aktif jika persentasenya
Posyandu adalah upaya kesehatan masyarakat yang bertujuan mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi melalui pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan dasar seperti KIA, KB, imunisasi, gizi dan penanggulangan diare. Posyandu dikelola secara partisipatif oleh dan untuk masyarakat dengan bimbingan puskesmas.
FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA DESA SIAGA TIDAK AKTIF DI KABUPATEN SITUBONDOfirii JB
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor penyebab tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo.
2. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fasilitator, faktor masyarakat, dan pelaksanaan delapan indikator desa siaga.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat perkemb
Dokumen tersebut membahas mengenai permasalahan stunting di Indonesia dan upaya pencegahannya. Stunting merupakan masalah gizi yang serius di Indonesia yang dipengaruhi oleh faktor gizi dan sanitasi buruk serta stimulasi yang kurang pada 1.000 hari pertama kehidupan. Upaya yang ditekankan adalah intervensi gizi sensitif melalui peningkatan akses air bersih, sanitasi, pendidikan, dan jaminan sosial serta intervensi g
Dokumen ini membahas tentang kebutuhan gizi yang tepat bagi ibu hamil. Ibu hamil membutuhkan asupan energi tambahan sebesar 150-350 Kkal per hari tergantung trimester. Penilaian status gizi ibu hamil dapat dilakukan secara klinis, biokimia, biofisik, dan antropometri. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan janin seperti keguguran, bayi lahir mati
Dokumen tersebut membahas penanganan gizi pada situasi bencana di Indonesia. Secara singkat, dokumen menjelaskan tentang kelompok rentan yang berisiko tinggi terhadap masalah gizi pada bencana, pendekatan klaster dan peran ahli gizi dalam merespons bencana, serta langkah-langkah penanganan gizi pra-bencana, selama tanggap darurat, dan pasca-bencana.
Dokumen tersebut membahas tentang gizi yang seimbang untuk anak sekolah, meliputi karakteristik fisik dan psikologis anak pada usia tersebut, kebutuhan gizi harian, jenis menu yang dianjurkan, dan masalah-masalah gizi yang sering dihadapi anak sekolah seperti obesitas, anemia, dan karies gigi."
Dokumen tersebut membahas tentang transisi epidemiologi penyakit di Indonesia dari tahun 1990 hingga 2015, di mana terjadi pergeseran dominasi penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular akibat perubahan gaya hidup masyarakat. Dokumen tersebut juga menjelaskan upaya yang dilakukan untuk mencegah penyakit tidak menular melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dengan fokus
Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan TB Paruarbianisa
Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan tuberkulosis paru (TB paru) meliputi umur, pendidikan, pengetahuan, lama kontak dengan penderita TB paru, pendapatan per kapita, dan kepadatan hunian. Dokumen ini juga menjelaskan hasil survei di sebuah puskesmas di Semarang yang menunjukkan adanya hubungan antara kepadatan hunian, lama kontak, dan pendidikan rendah dengan kejadian kasus
Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan TB Paruarbianisa
Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan tuberkulosis paru (TB paru) seperti umur, pendidikan, pengetahuan, lama kontak, pendapatan per kapita, kepadatan hunian, dan kebiasaan merokok. Dokumen ini juga menjelaskan metode penelitian yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor risiko tersebut dengan kejadian kasus baru TB paru. Hasil analisis menunjukkan
Dokumen tersebut membahas tentang penyakit tuberkulosis paru (TB paru) yang mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil analisis, dan kesimpulan serta saran. Dokumen ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis hubungan antara beberapa variabel seperti umur, pendidikan, pengetahuan, lama kontak, pendapatan, dan kepadatan hunian dengan kej
Peran perawat anak terhadap kasus TBC anak meliputi (1) sebagai pembela dan pendidik keluarga, (2) memberikan konseling dan menjadi koordinator perawatan, serta (3) membuat keputusan etik dan merencanakan pendidikan kesehatan tentang TBC bagi masyarakat.
Makalah ini membahas tentang tuberculosis (TBC) dengan fokus pada definisi, etiologi, manifestasi klinis, klasifikasi penyakit dan tipe penderita, serta pengobatan TBC. TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer meskipun dapat menyerang organ lain. Diagnosis TBC ditegakkan melalui hasil pemeriksaan dahak, rontgen dada, dan respons terhadap pengobatan
LAPORAN PBL I DESA REMPOAH KECAMATAN BATURRADEN KABUPATEN BANYUMAS 2015yesintabella
[Ringkasan]
Laporan PBL I ini membahas identifikasi faktor penyebab dan alternatif pemecahan masalah sanitasi total berbasis masyarakat di Desa Rempoah tahun 2015. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan kuisioner dan observasi. Hasilnya menunjukkan bahwa masalah utama sanitasi di desa tersebut adalah pengelolaan sampah rumah tangga. Faktor penyebabnya adalah sikap dan persepsi petugas kesehatan. Alternatif
Dokumen tersebut membahas tentang kualitas udara dalam ruangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Beberapa kontaminan udara dalam ruangan seperti karbon dioksida dan formaldehid dapat menurunkan kualitas udara. Sumber pencemaran udara dalam ruangan meliputi alat-alat di dalam gedung, luar gedung, bahan bangunan, mikroba, dan gangguan ventilasi. Kualitas mikrobiologi udara dipengaruhi oleh bioaerosol se
Skripsi ini membahas hubungan antara tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana tahun 2010. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki status gizi kurus dan tingkat keparahan karies gigi yang tinggi. Tingkat konsumsi karbohidrat berhubungan dengan status gizi siswa.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI CAMPAK Abdul H-u
Studi ini menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian imunisasi campak pada balita di Kabupaten Bogor. Variabel yang diteliti meliputi umur ibu, pendidikan, pekerjaan, paritas, dan pengetahuan. Hasilnya menunjukkan bahwa umur ibu, pendidikan, paritas, dan pengetahuan berhubungan dengan pemberian imunisasi, sedangkan pekerjaan tidak berhubungan.
Dokumen tersebut membahas tentang metode demonstrasi dan eksperimen dalam pembelajaran. Metode demonstrasi adalah cara menyajikan pelajaran dengan memperagakan suatu proses atau benda, sedangkan metode eksperimen memberi kesempatan siswa melakukan percobaan untuk membuktikan hipotesis. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan serta langkah pelaksanaannya.
Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...Muhammad Rasyad
,
screening
,
engineering
,
teknik
,
lingkungan
,
muhammad rasyad
,
suci handayani
,
riryn
,
yuni safaria
,
dr. qomariyatus sholihah
,
amd.hyp
,
s.t.
,
m.kes
,
nova annisa
,
ssi.
,
ms
,
penyakit diare
,
diare
,
sanitasi lingkungan
,
skrining
,
epidemiologi
,
2016
,
2015
,
unlam
,
universitas lambung mangkurat
,
prof. dr. h. sutarto hadi
,
m. si
,
m. sc
,
dr. ing. yulian firmana arifin
,
chairul irawan
,
st.
,
mt.
,
ph.d
,
maya amalia
,
m.eng
,
nurhakim
,
rony ridwan
,
st. mt
,
detectable pre-clinical phase
,
sarana air bersih
,
saluran pembuangan air limbah
,
survey kesehatan rumah tangga
,
3.1 rencana penelitian
,
definisi epidemiologi
,
skrining adalah
,
3. prevalens penyakit preklinik
,
sensitivitas
,
spesifisitas
,
predictive value (+)
,
predictive value (-)
,
prevalensi penyakit
,
provinsi kalimantan selatan
,
teknik analisa data
,
di desa guntung paikat
,
sungai
,
escherichia coli
,
salmonella thyposa
,
vibrio cholerae
Skripsi ini membahas analisis kondisi higiene dan sanitasi instalasi penampung dan pengolahan limbah cair Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banjarbaru tahun 2014 untuk mengetahui kualitas air limbah sebelum dan sesudah pengolahan serta perilaku petugas dalam mengelola limbah cair rumah sakit.
TINGKAT PENGETAHUAN PENYAKIT SEKS MENULAR HIV/AIDS DAN PERILAKU SEKS SEHATLuthfinurrahman
Dokumen tersebut berisi tentang penjelasan terima kasih kepada berbagai pihak yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, serta ringkasan singkat mengenai latar belakang, tujuan, dan manfaat dari penelitian tentang tingkat pengetahuan dan perilaku seksual karyawan tambang terhadap HIV/AIDS.
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...sofian.alfarisi
Epidemiologi deskriptif bertujuan untuk menggambarkan masalah kesehatan dalam masyarakat dengan menentukan frekuensi, distribusi, dan faktor-faktor yang berhubungan. Epidemiologi analitik berfokus pada hubungan sebab akibat penyakit."
EPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAUVia Putri
Epidemiologi Prinsip pencegahan Penyakit, Tingkatan Pencegahan Penyakit dan Dasar-dasar Pencegahan Penyakit ISPA di Daerah Guntung Payung Akibat Musim Kemarau
Tugas besar ini membahas analisis kandungan air limbah di PT X di Kalimantan Selatan pada tahun 2013 dan 2014. Parameter yang dianalisis meliputi pH, BOD, COD, dan amoniak pada air limbah dari oil trap 1 dan 2. Upaya pengelolaan limbah cair di PT X dilakukan melalui sistem oil trap dan TPS sementara.
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANmariaseptiamemorini
Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan suatu penyakit dalam populasi. Penyakit demam typoid merupakan salah satu penyakit yang sering diderita di RSUD Banjarbaru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan faktor lingkungan yang kurang bersih.
Laporan observasi lapangan kepatuhan penggunaan apd terhadap penyebaran penya...rina0107
Laporan observasi ini membahas tentang kepatuhan penggunaan APD di laboratorium RSUD Kota Banjarbaru terhadap penyebaran penyakit hepatitis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunaan APD petugas laboratorium dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penularan hepatitis. Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap pencegahan penularan penyakit di lingkungan kerja.
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan penyakit serta kejadian kesehatan lainnya pada suatu populasi. Epidemiologi membahas tentang frekuensi, distribusi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit demam tifoid berdasarkan atribut orang, tempat, dan waktu. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan sering diderita di RSUD Banjarbaru.
EKOTOKSIKOLOGI PENGUJIAN PARAMETER AIR DAN UDARA DI DPPU PT PERTAMINA (PERSER...Aulia Rahma
Analisis parameter udara dan air di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Syamsuddin Noor PT. Pertamina (Persero) untuk mengetahui tingkat pencemaran dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar.
TUGAS EKOTOKSIKOLOGI RUMAH SAKIT TEKNIK LINGKUNGANDiah Octarinie
Makalah ini membahas tentang ekotoksikologi pada rumah sakit, meliputi pengertian ekotoksikologi dan karakteristik limbah cair rumah sakit. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung zat berbahaya seperti racun, infeksius, dan radioaktif yang dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan jika tidak dikelola dengan baik."
Pengaruh kebisingan terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja di bandar uda...Lidya68
Koklea merupakan organ pendengaran utama dalam telinga dalam yang berbentuk seperti cangkang siput dan bergulung sebanyak 2,5 putaran dengan panjang sekitar 35 mm. Koklea terdiri dari skala vestibuli, skala media, dan skala timpani yang dipisahkan oleh membran basilaris dan membran rektikularis.
Gejala ispa pada pekerja pengecatan teralis di wilayah banjarbaru selatan
HUBUNGAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP PENULARAN TUBERKULOSIS (TB)
1. i
FAKULTAS TEKNIK
PRODI TEKNIK LINGKUNGAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Achmad Yani Km. 36 FakultasTeknik UNLAM Banjarbaru 70714, Telp : (0511)
4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan, Indonesia
2. ii
HUBUNGAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP PENULARAN
TUBERKULOSIS (TB)
DI DESA PASAYANGAN MARTAPURA
KABUPATEN BANJAR
Disusun Guna Memenuhi Tugas Besar
Mata Kuliah Epidemiologi
Dosen Pembimbing Prof. Dr. Qomariyatus S, ST., M.Kes dan Nova Annisa, M.Si.
OLEH :
NURSELA ISTIQOMAH H1E114051
DINA PUSPITA SARI H1E114208
LINDA SINAGA H1E114230
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2015
3. iii
Ucapan terimakasih kepada :
Rektor Universitas Lambung
Mangkurat
Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si,
M.Sc.
NIP. 19660331 199102 1 001
Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat
Dr-Ing Yulian Firmana Arifin,
S.T., M.T.
NIP. 19750719 200003 1 002
Kepala Prodi Teknik Lingkungan
Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Rony Riduan, ST., MT.
NIP. 19761017 199903 1 003
4. iv
Dosen Mata Kuliah Epidemiologi
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah,
Amd. Hyp., S.T., Mkes.
NIP. 19780420 200501 2 002
Dosen Mata Kuliah Epidemiolo
Nova Annisa, M.Si
NIP.
Mahasiswa
Nursela Istiqomah
NIM. H1E114051
Mahasiswa
Dina Puspita Sari
NIM. H1E114208
Mahasiswa
.
Linda Sinaga
5. v
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya jualah penulis dapat
menyelesaikan Laporan Penelitian Epidemiologi yang berjudul “Hubungan
Kualitas Lingkungan Terhadap Penularan TB Di Desa Pasayangan Martapura
Kabupaten Banjar” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan Laporan Penelitian ini, penulis banyak mendapat
tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nova Annisa, M.Si. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam pembuatan
Laporan Penelitian Epidemiologi ini. Serta dari teman sekelompok dengan
mencari berbagai materi-materi yang bisa dijadikan sebagai isi di dalam tugas ini
dan akhirnya tantangan itu bisa teratasi dengan baik dan lancar. Olehnya itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan Laporan Penelitian Epidemiologi ini,
semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha
Esa.
Penulis menyadari bahwa Laporan Penelitian Epidemiologi ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
Laporan Penelitian Epidemiologi selanjutnya.
Banjarbaru, Desember 2015
PENULIS
6. vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... vii
1. Pendahuluan............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 2
2 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 3
2.1 Sejarah Tuberkulosis............................................................................... 3
2.2 Pengertian TB......................................................................................... 5
2.3 Sumber Penularan TB............................................................................. 6
2.4 Klasifikasi TB ......................................................................................... 7
2.5 Cara Penularan TB ............................................................................... 10
7. vii
2.6 Gejala-gejala Penularan TB .................................................................. 12
2.7 Faktor-faktor Penularan TB................................................................... 14
3 Metodologi Penelitian............................................................................. 26
3.1 Metode Deskriptif ................................................................................... 26
3.2 Metode Analitik....................................................................................... 26
3.3 Metode Eksperimental............................................................................ 26
4 Hasil dan Pembahasan ......................................................................... 27
4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................... 27
4.2 Pembahasan......................................................................................... 28
4.2.1 Gambaran Lokasi Penelitian ................................................................. 28
4.2.2 Karakteristik Subjek Penelitian.............................................................. 29
4.2.3 Lingkungan Tempat Tinggal Penderita TB ............................................. 29
5 Penutup ................................................................................................. 31
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 31
5.2 Saran .................................................................................................... 31
Daftar Rujukan................................................................................................... 32
Indeks................................................................................................................ 36
Soal-soal Pertanyaan ........................................................................................ 38
Lampiran ........................................................................................................... 39
8. viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Dengan melewatkan Cahaya Matahari Pada Berbagai
Warna Kaca Terhadap Kuman Tuberkulosis Paru…….………………21
9. ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru…………………………….14
Gambar 4.1 Penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar
selama 6 Tahun Terakhir...............................................................27
Gambar 4.2 Hasil Penelitian Dahak Penderita TB…………………………………28
10. 1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di
dunia. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis. Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi
obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada
akhirnya mengarah pada kasus Multi-Drug Resistance (MDR). Tuberkulosis (TB)
pada kualitas lingkungan yang buruk sangat mempengaruhi kecepatan
penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis. Kualitas lingkungan sangat
mempengaruhi penyebaran kuman TB di tempat tinggal masyarakat setempat.
Penyakit TB paru ini mudah menular, dan cara penularan biasanya terjadi
melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei dari orang penderita TB
paru yang infeksius, yaitu pasien TB paru BTA positif. Mengingat Tuberculosis
adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka
harus diperiksa 3 spesimen dalam waktu 2 hari berturut – turut yaitu Sewaktu-
Pagi-Sewaktu ( SPS ). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan
dengan diketemukannya BTA (Basil Tahan Asam) pada pemeriksaan dahak.
Secara mikroskopis, hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua
dari tiga specimen SPS BTA hasilnya positif. Penderita yang kumannya tidak
ditemukan dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA negatif)
sangat tidak menular. TB Paru BTA (-) di bagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Batuk berat bila gambaran foto
rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya
proses “far advanced” atau “milier”) dan keadaan umum penderita batuk (Depkes
RI, 2007).
Faktor resiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit
tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi kelompok faktor risiko, yaitu faktor
risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi)
dan faktor risiko lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan,
kelembaban, dan ketinggian) (Ahmadi, 2005).
11. 2
1.2 Rumusan Masalah
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit
TBC merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah sistem sirkulasi dan sistem
pernafasan. Faktor lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit termasuk
tuberkulosis paru. Dari identifikasi masalah di atas dapat dibuat rumusan
masalah penelitian sebagai berikut : Apakah hubungan antara kualitas
lingkungan terhadap penularan TB di Desa Pasayangan Martapuran Kabupaten
Banjar ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan kualitas lingkungan tehadap penularan TB di
Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyebaran TB di Desa Pasayangan Martapura
Kabupaten Banjar
3. Pencegahan penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1. Bagi Masyarakat
Dapat meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya para penderita TB
dalam pelaksanaan pengobatan serta meningkatkan pengetahuan tentang
penyakit TB.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai penyakit TB.
3. Bagi Instansi atau Puskesmas
Sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran bagi program pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru terutama untuk menentukan kebijakan dalam
perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi program.
12. 3
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Sejarah Tuberkulosis
Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. Penemuan arkeologis di
Mesir menemukan sisa tulang belakang manusia dengan tanda spondylitis
tuberculosa dari tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri penyakit
yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB adalah penyakit keturunan.
Galenus dokter di zaman Romawi berpendirian TB adalah penyakit menular.
Selama 15 abad kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin
(1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB adalah penyakit
menular tetapi penyebabnya belum diketahui. Robert Koch pada tanggal 24
Maret 1882 menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah
penyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukan stetoskop menjadikan
pemeriksaan jasmani hal penting dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun
sebelum penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895 menemukan
sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis TB. Von Pirquet tahun 1907
menunjukkan sarana diagnosis lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von
Pirquet ini disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan kemudian
disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama Mantoux. Permulaan abad ke-20
semua sarana diagnosis TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga
sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih ditekankan untuk
diagnosis yang lebih cepat dan dapat dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu
tenaga ahli lain (Lyanda, 2012).
Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini sudah
ada sejak jaman kuno, diperkirakan organisme ini ada sekitar 15.000 – 20.000
tahun yang lalu yang dapat kita temukan dalam berbagai peninggalan Mesir
kuno, beberapa bentuk kelainan tulang belakang sesuai TB spinal pada mummi.
Di Indonesia catatan paling tua ditemukan pada salah satu relief candi yang
menggambarkan kasus TB. Setelah ditemukannya Postulat Koch keberadaan
suatu penyebab penyakit membuat manusia menyadari tentang keberadaannya
merupakan masa dimana penyakit infeksi mulai mewabah dan memakan banyak
korban (Global Tuberculosis Institute).
13. 4
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk
dunia dan pada sebagian besar negara di dunia tidak dapat mengendalikan
penyakit TBC ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan (DepKes RI, 2001). Tuberkulosis paru adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis tipe Humanus. Kuman
tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Jenis
kuman tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium Africanum
dan MycobacteriumBovis. Basil tuberkulosis termasuk dalam genus
Mycobacterium, suatu anggota dari family dan termasuk ke dalam ordo
Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit
berat pada manusia dan juga penyebab terjadinya infeksi tersering (Stanford dkk,
1994).
Di Indonesia Tuberkulosis masih merupakan salah satu penyakit yang
menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB di Indonesia
merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah
pasien, sekitar 10 % dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun
2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB
BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. (DepKes, 2007).
Indonesia menduduki rangking 4 dari 22 negara Negara yang mempunyai
beban tinggi untuk TB dan memberikan kontribusi jumlah kasus TB di dunia
sebesar prevalensi TB - 730.000/tahun. Kematian akibat TB – 67,000
orang/tahun. diobati oleh program - 44.4% dan 5 propinsi terbanyak dengan TB
diobati diantaranya; DKI Jakarta 68.9%,Yogyakarta 67,3%, Jawa Barat 56,2%,
Sulawesi Barat 54,2%, Jawa Tengah 50,4 %. Beban TB Global dan TB
Indonesia, dari angka kesakitan TB global 25,205 sakit/hari,11.050 sakit/jam 17
sakit/menit dan TB Indonesia 1,464 sakit TB/hari, 61 sakit TB/jam, 1 sakit
TB/menit. Sedangkan angka kematian TB Global 4,657 mati/hari,194 mati/jam, 3
mati/ menit dan angka kematian TB Indonesia 241 mati/hari, 10 mati/jam, 1
mati/6 menit. Fakta-fakta TB diantaranya:
1. TB membunuh satu juta pertahun dan lebih dari 250.000 mereka meninggal
di usia produktif,
2. TB membunuh lebih dari100.000 anak setiap tahun,
3. 10 % wanita pada usia produktif meninggal karena TB,
14. 5
4. Pembunuh wanita terbanyak dibandingkan semua kombinasi penyebab
kematian pada wanita,
5. TB membunuh lebih dari 100.000 anak setiap tahunnya.
Di Indonesia, penyakit ini merupakan pembunuh ke dua setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit
infeksi. Setiap tahun diperkirakan sekitar 450.000 kasus TB Paru terjadi di
Indonesia dengan jumlah kematian sekitar 175.000 per tahun. Padahal upaya
untuk mengendalikannya telah dilakukan sejak lama dan tidak pernah berhenti
hingga kini.
2.2 Pengertian TB
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,
kuman ini dapat dormant (tidur lama) beberapa tahun (DepKes RI, 2005).
Penyakit TBC ini diakibatkan infeksi kuman mikrobakterium tuberkulosis
yang dapat menyerang paru, ataupun organ-organ tubuh lainnya seperti kelenjar
getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, sampai otak. TBC dapat
mengakibatkan kematian dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian tertinggi di negeri ini. (Gklinis, 2004).
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular
yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat.
Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara yaitu lewat percikan ludah,
bersin dan batuk. Penyakit TB paru biasanya menyerang paru dan dapat pula
menyerang organ tubuh yang lain. TB paru masih menjadi masalah kesehatan di
dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia produktif dan
kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan
yang rendah (Aditama, 2002).
Basil–basil tuberkel di dalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme
berbentuk batang, dengan panjang berfariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter
15. 6
0,3 – 0,6 mikron. Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti
manik-manik atau bersegmen. Basil tuberkulosis dapat bertahan hidup selama
beberapa minggu dalam sputum kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi
tinggi terhadap antiseptik, tetapi dengan cepat menjadi inaktif oleh cahaya
matahari, sinar ultraviolet atau suhu lebih tinggi dari 600
C (Miller, 1982).
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran
napas (droplet infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer. Selanjutnya
menyebar ke getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks. Infeksi
primer dan primer kompleks dinamakan TB primer, yang dalam perjalanan lebih
lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan (Soemirat, 1982).
2.3 Sumber PenularanTB
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, yang dapat
menularkan kepada orang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Daya
penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang
terdapat dalam paru penderita, penyebaran kuman dalam udara yang
dikeluarkan bersama dahak berupa droplet di udara sekitar penderita TB.
Penderita TB yang mengandung banyak sekali kuman dapat dilihat langsung
dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA positif) adalah sangat
menular. Penderita yang kumannya tidak ditemukan dengan mikroskop pada
sediaan dahaknya (penderita BTA negatif) sangat tidak menular (DepKes RI,
2005).
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak negatip (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita
16. 7
Tuberkulosis paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya gizi buruk
atau HIV/AIDS (Fatimah, 2008).
Penderita TB BTA positif menularkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat
kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi debu yang mengandung kuman
tuberculosis dan dapat bertahan di udara beberapa jam. Droplet yang
mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain. Jika kuman tersebut telah
menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, kemudian membelah diri
(berkembang biak), maka dapat terjadi infeksi (DepKes RI, 2005).
Orang yang serumah dengan penderita TB BTA positif adalah besar
kemungkinannya terpapar terpapar dengan kuman tuberculosis. Orang yang
telah terinfeksi belum tentu langsung mejadi sakit, sementara waktu kuman
berada dalam tubuh dalam keadaan dormant (tidur) dan dapat ditentukan dengan
tes tuberculin. Orang menjadi sakit biasanyadalam waktu paling cepat sekitar 3–
6 bulan setelah terjadi infeksi. Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai
risiko untuk menderita TB sepanjang sisa hidupnya. Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan terjadinya penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, gizi
buruk atau HIV/AIDS (Murti, 2014).
Dengan diketahui penyebab penyakit tuberkulosis disebabkan oleh suatu
bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis maka dapat diupayakan berbagai
tindakan baik pencegahan maupun pengobatan yang terkait dengan penyakit ini.
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang dapat menyebar dari seseorang
penderita ke orang laian melalui udara. Pada umumnya menginfeksi paru paru,
namun dapat juga menginfeksi bagian lain seperti otak, tulang, ginjal dan bagian
tubuh lainnya. Penyakit ini dapat diobati, namun dapat menyebabkan kematian
jika tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (WHO, 2009).
2.4 Klasifikasi TB
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan
suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
17. 8
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik
sangat diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah
timbulnya resistensi
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3. Mengurangi efek samping
Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis Paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
18. 9
e. Pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti TB).
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
Berikut adalah klasifikasi TB Paru berdasarkan tingkat keparahanan
penyakit :
1. TB Paru BTA Negatif Foto Toraks Positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan
umum pasien buruk.
2. TB Ekstra Paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
19. 10
4. Kasus Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (DepKes RI, 2007)
2.5 Cara Penularan TB
Cara penularan penyakit ini adalah melalui sumber penularan yaitu pasien
TB BTA positif. Ditularkan melaui media udara dari percikan dahak (droplet
nuclei), dimana sekali batuk atau bersin dapat menghasilkan 3000 percikan
dahak, percikan ini dapat bertahan lama, dalam keadaan lembab namun dengan
sinar matarahari langsung kuman dapat dimatikan. Faktor yang memungkinkan
seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat keposistifan dari hasil pemeriksaan dahaknya maka makin banyak pula
kuman yang dapat dikeluarkan (DepKes RI, 2006).
Penularan biasanya melalui udara, yaitu secara inhalasi “droplet nucleus”
yang mengandung basil TB. Droplet dengan ukuran 1 – 5 mikron yang dapat
melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas kemudian mencapai
dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Beberapa penelitian menyebutkan 25
% - 50 % angka terjadinya infeksi pada kontak tertutup (Simanjuntak, 1990).
Karena di dalam tubuh pejamu belum ada kekebalan awal, hal ini
memungkinkan basil TB tersebut berkembang biak dan menyebar melalui
saluran limfe dan aliran darah (Djasio,1989). Sebagian basil TB difagositosis oleh
makrofag di dalam alveolus tapi belum mampu membunuh basil tersebut,
sehingga basil dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang
biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe mencapai kelenjar limfe
regional, sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ
tubuh, dan di dalam organ tersebut akan terjadi proses dan transfer antigen ke
20. 11
limfosit. Kuman TB hampir selalu dapat bersarang di dalam sumsum tulang, hati,
kelenjar limfe, tetapi tidak selalu dapat berkembang biak secara luas, sedangkan
basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang dan otak lebih mudah berkembang
biak terutama sebelum imunitas terbentuk. Infeksi yang alami, setelah sekitar 4 –
8 minggu tubuh melakukan mekanisme pertahanan secara cepat. Pada sebagian
anak-anak atau orang dewasa mempunyai pertahanan alami terhadap infeksi
primer sehingga secara perlahan dapat sembuh. Tetapi kompleks primer ini
dapat lebih progresif dan membesar yang pada akhirnya akan muncul menjadi
penyakit tuberkulosis setelah 12 bulan. Kurang lebih 10 % individu yang terkena
infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa
tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit terutama pada balita, pubertas
dan akil balig dan keadaan-keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas
seperti infeksi HIV, penggunaan obat-obat imunosupresan yang lama, diabetes
melitus dan silikosis. Fokus primer yang terjadi dapat melebur dan menghilang
atau terjadi perkejuan sentra yang terdiri atas otolitis sel yang tidak sempurna.
Lesi-lesi ini akan pulih spontan, melunak, mencair atau jika multifikasi basil
tuberculosis dihambat oleh kekebalan tubuh dan pengobatan yang diberikan,
maka lesi akan dibungkus oleh fibroflas dan serat kolagen. Proses terakhir yang
terjadi adalah hialinasi dan perkapuran. Jika lesi berkembang, maka darah
pekejutan akan membesar secara lambat dan sering kali terjadi perforasi ke
dalam bronkus, mengakibatkan pengosongan bahan setengah cair tersebut
sehingga terbentuk rongga di dalam paru-paru. Sebagian besar orang yang telah
terinfeksi (80 – 90 %), belum tentu menjadi sakit tuberkulosis. Untuk sementara,
kuman yang ada dalam tubuh berada dalam keadaan dormant (tidur), dan
keberadaan kuman dormant tersebut diketahui hanya dengan tes tuberkulin.
Mereka menjadi sakit (menderita tuberkulosis) paling cepat setelah 3 bulan
setelah terinfeksi, dan mereka yang tidak sakit tetap mempunyai risiko untuk
menderita tuberkulosis sepanjang hidupnya (Soemirat, 2000).
Menurut Prasetyowati, I. dan Chatarina. U. W. (2009) sinar matahari dapat
membunuh bakteri penyakit, virus dan jamur, hal ini sangat berguna untuk
perawatan penyakit TBC, keracunan darah, asma saluran pernafasan, hingga
pembinasaan beberapa virus penyebar kuman mampu dibinasakan oleh sinar
ultra violet ini. Bakteri di udara mampu dibinasakan oleh sinar matahari dalam
waktu singkat. Sedangkan menurut Ardi. M. dan Linda. A. (2010) menyebutkan
21. 12
tingkat awal pencegahan penularan penyakit TB Paru dapat dilakukan dengan
melakukan sterilisasi dahak, sprei tempat tidur, sarung bantal dan sebagainya.
Sterilisasi ini dilakukan dengan penyinaran sinar matahari langsung untuk
membunuh kuman TB dalam waktu 5 menit. Penyinaran sinar matahari adalah
cara yang paling cocok untuk dilakukan di daerah tropis, sedangkan di tempat
yang gelap dan kuman TB dapat bertahan selama bertahun-tahun.
2.6 Gejala-gejala Penularan TB
Gejala-gejala Tuberkulosis adalah sebagai berikut :
1. Batuk berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih,
2. Dahak bercampur darah,
3. Sesak nafas dan rasa nyeri di dada,
4. Badan terasa lemah,
5. Kehilangan nafsu makan dan berat badan.
Gejala klinis penyakit Tuberkulosis, yaitu:
1. Gejala Klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
local dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat), dimana gejala
tersebut adalah batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak nafas dan nyeri
pada bagian dada. Gejala ini sangat bervariasi: tegantung dari berat atau
tidaknya luas lesi yang ditimbulkan oleh kuman tersebut. Gejala Sistemik, dapat
berupa demam, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun.
2. Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru
Misalnya, pada lifadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran pada organ
limfa, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sesuai dengan
organ yang terserang (Perhimpunan Dokter Paru, 2006). Riwayat alamiah
penyakit Tuberkulosis, apabila tidak mendapatkan pengobatan sama sekali,
dalam kurun waktu lima tahun adalah sebagai berikut:
- Pasien 50 % meninggal
- 25% akan sembuh dengan daya tahan tubuh yang tinggi
- 25 % menjadi kasus kronik yang tetap menular (DepKes RI, 2006).
Penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
22. 13
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa
dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita
secara pasif dengan promosi aktif).
Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala
sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan
menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah
penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka
penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut,
yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS) (Fatimah, 2008).
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga spesimen SPS BTA
hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksan dahak SPS diulang.
1. Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB Paru BTA positif.
2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru. Maka pemeriksaan dahak
SPS diulangi
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain,
misalnya biakan.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spectrum
luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 – 2 minggu. Bila tidak
ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB Paru, ulangi
pemeriksaan dahak SPS.
1. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif.
2. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis TB Paru.
a. Bila hasil rontgen mendukungTB Paru, didiagnosis sebagai penderita TB
Paru BTA negatif Rontgen positif.
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut bukan TB
Paru.
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto
rontgen dada (Fatimah, 2008).
23. 14
Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru (Fatimah, 2008).
2.7 Faktor-faktor Penularan TB
Subaeti (2005), yang melakukan penelitian tentang faktor risiko TB paru
pada petugas mikroskopis di kabupaten Kebumen menemukan bahwa jenis
kelamin berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,08
dan umur berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,06.
Selanjutnya, penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara
lingkungan fisik rumah seperti kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi,
kelembaban, dan jenis lantai telah dilakukan oleh Sugiharto (2004) yang
menemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian
24. 15
dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 2,716 dan dipengaruhi oleh
kondisi pencahayaan dimana OR sebesar 4,256, dan ventilasi dimana OR
sebesar 2,567. Wiasa (2009) juga telah melakukan penelitian yang sama dan
memperoleh hasil bahwa kepadatan hunian berhubungan secara signifikan
dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 11,76 dan pencahayaan
berhubungan signifikan dengan kejadian TB paru dengan OR sebesar
12,82. Faktor lingkungan perumahan memegang peranan penting dalam
menentukan terjadinya proses interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab
dalam proses terjadinya penyakit. Lingkungan fisik meliputi kepadatan hunian
(rasio jumlah kamar tidur dan orang), ventilasi, dan suhu ruangan (Apriani,
2001).
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit
sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host),
dan lingkungan (environment) :
1. Agent
Agent adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit
timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi/mencukupi
syarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu
agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit
tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya patogenitas, infektifitas dan virulensi.
Patogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit
pada host. Patogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah.
Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan
berkembangbiak di dalmnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman
tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan
suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman
tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.
2. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam (lawan
dari percobaan) host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan,
tetapi host yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor
host yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
25. 16
a. Jenis kelamin
Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita
tuberkulosis paru adalah wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan dan
penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem
pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk sementara, diduga jenis
kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada
masing-masing wilayah, sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen
(DepKes RI, 2001).
b. Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko
untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva
normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun
hingga dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik.
Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau
kelompok menjelang usia tua. Umur produktif sangat berbahaya terhadap tingkat
penularan karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yang
tinggi dan memungkinkan untuk menular ke orang lain serta lingkungan sekitar
tempat tinggal. (DepKes RI, 2001).
c. Kondisi sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin (DepKes RI,
2001).
d. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis
paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan
buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette
Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan
mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
e. Status gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi
kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori
26. 17
dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis
paru.
f. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita
tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru
di masyarakat akan meningkat pula (Departemen Pekerjaan Umum, 1986).
3. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk
akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor
lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan
rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu
faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya
(Notoatmodjo, 2003). Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat
secara fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara
lain (Azwar, 1995) :
a. Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian
tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru
Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis
paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat
pada luas ruangannya (Smith dan Moss , 1994).
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam
rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin
banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut,
begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2
di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan
berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan
semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran
pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia kepadatan
penghuni diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah
27. 18
penghuni, dengan ketentuan untuk daerah perkotaan 6 m² perorang daerah
pedesaan 10 m² per orang.
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit.
Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui
udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang
menderita TB paru dengan BTA (+). Kuman TB paru cukup resisten terhadap
antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar
ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme dan
kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita TB paru
anak paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan
erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah (Behrman, et
al 2003).
Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penduduknya dibandingkan di
pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru lebih
besar. Sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya. Dapat
disimpulkan bahwa orang yang rentan (susceptible) akan terpapar dengan
penderita TB paru menular lebih tinggi pada wilayah yang pada penduduknya
walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan penduduk tidak padat
(Karyadi et al, 2006).
Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit TB
paru di dalam rumah tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang
penderita TB paru aktif dan tidak diobati secara benar maka akan menginfeksi
anggota keluarga terutama kelompok yang rentan seperti bayi dan balita,
semakin padat hunian suatu rumah tangga maka semakin besar risiko
penularan (Karyadi et al, 2006).
b. Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan
yang ideal antara 180C – 300C (Soedjajadi, 2005). Bila kondisi suhu ruangan
tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat
bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu
dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat
menimbulkan alergi (DepKes RI, 1994). Hal ini perlu diperhatikan karena
kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya
mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme
28. 19
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara,selain itu kelembaban yang
tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga
kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang
meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri
tuberculosis (Azwar, 1995).
Kelembaban di dalam rumah menurut Depatemen Pekerjaan Umum (1986)
dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
- Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )
- Merembes melalui dinding ( percolating damp )
- Bocor melalui atap ( roof leaks )
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase
atausaluran air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambunganpondasi
dengan dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersediaventilasi yang
cukup.
c. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknyaudara
juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udaradi dalam rumah
tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10%luas lantai rumah dan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas
ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan)
akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya (DepKes,
1989).
Ventilasi rumah sangat berperan dalam penularan penyakit TB Paru
didalam keluarga. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar
diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah
dengan luas lubang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah pintu atau
jendela, lubang anyaman bambu dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas
lantai (Soesanto dkk, 2000).
Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dai kulit dan
penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam menjadi media yang baik
untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman
29. 20
tuberculosis (Azwar, 1995).Hal ini berhubungan dengan minimal luas jendela/
ventilasi adalah 15% dari luas lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi menurut
Azwar (1999):
- Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 02 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat,
- Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban
(humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 –
70% kelembaban yang lebih dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan
penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen (penyebab
penyakit),
- Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri
patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
- Lingkungan perokok dapat menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida
sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas
karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi.
Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin membahayakan
kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh
bakteri seperti oleh penderita tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau
anorganik (DepKes RI, 1994).
Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan dari bakteri-
bakteri,terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situselalu terjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa olehudara akan selalu
mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidakmemenuhi syarat kesehatan akan
mengakibatkan terhalangnya prosespertukaran udara dan sinar matahari yang
masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah
tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
d. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai
daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Koch (1843-
30. 21
1910). Dari hasil penelitian dengan melewatkan cahaya matahari pada berbagai
warna kaca terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis didapatkan data
sebagaimana pada tabel berikut (Azwar, 1995).
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Dengan melewatkan Cahaya Matahari Pada Berbagai
Warna Kaca Terhadap Kuman Tuberkulosis Paru.
Warna Kaca Waktu mematikan (menit)
Hijau 45
Merah 20 – 30
Biru 10 – 20
Tak Berwarna 5 – 10
Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit
tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke
dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau
genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet
yang dapat mematikan kuman (Depkes RI, 1994).
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan
mati bila terkena sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang
tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali
dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Sri Soewati, 2000).
e. Suhu Udara
Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal
pertumbuhan bakteri sangat bervariasi. Mycobacterium tuberculosis tumbuh
optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat
membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup pada tempat gelap, sehingga
perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap (Anonim, 1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa suhu udara
bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru
seperti penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa
ada hubungan antara kejadian TB paru dengan suhu (OR 2,674). Selanjutnya,
Atmosukarto dan Soewasti (2000) yang melakukan penelitian tentang pengaruh
lingkungan permukiman dengan kejadian TB paru menemukan bahwa suhu
ruangan memberikan pengaruh terhadap kejadiaan TB paru dengan OR sebesar
5,126. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki rumah dengan suhu <
31. 22
18o
atau > 30o
memiliki risiko terkena TB paru sebesar 2,7 an 5,1 kali
dibandingkan dengan suhu ruangan 18-30o
C.Suhu udara yang ideal dalam
rumah antara 18 - 30°C. Gould dan Brooker (2003) menyatakan bahwa
bakteri M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang bisa hidup pada suhu
udara 10-40o
C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, M.
tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5
menit dapat membunuh M. tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap,
sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap (Anonim,
1999).
f. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan
tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga
dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.
g. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun
angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga
kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah
dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batudan sebagainya. Tetapi dari
beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau
tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah
dibersihkan.
Beberapa faktor telah di ketahui berhubungan dengan terjadinya TB Paru
antara lain kebiasaan merokok, minum alkohol, pemakai obat–obatan, malnutrisi,
udara dan ventilasi yang kurang baik, keeratan kontak, status vaksinasi BCG,
lama kontak dan sedikitnya cahaya matahari yang masuk kedalam rumah. Faktor
risiko lain untuk terjadinya MDR–TB adalah infeksi HIV, sosial ekonomi, jenis
kelamin, kelompok umur, merokok, konsumsi alkohol, diabetes, pasien TB paru
dari daerah lain (pasien rujukan), dosis obat yang tidak tepat sebelumya dan
pengobatan terdahulu dengan suntikan dan fluoroquinolon (Balaji et al., 2010).
Sumber lain menyebutkan bahwa faktor risiko MDR-TB adalah jenis kelamin
perempuan, usia muda, sering bepergian, lingkungan rumah yang kotor,
32. 23
konsumsi alkohol dan merokok serta kapasitas paru-paru (Caminero, 2010;
Firdiana, 2008).
Dalam upaya pemberantasan TB Paru, beberapa faktor telah di ketahui
berhubungan dengan terjadinya TB Paru antara lain kebiasaan merokok, minum
alkohol, pemakai obat–obatan, malnutrisi, udara dan ventilasi yang kurang baik,
keeratan kontak, status vaksinasi BCG, lama kontak dan sedikitnya cahaya
matahari yang masuk kedalam rumah,(WHO, 2003) dan berdasarkan menurut
Thoriqotul Hidayati (2007) ada beberapa faktor yang berhubungan dengan
terjadinya TB Paru antara lain: faktor kontak dengan sumber penular, faktor
lingkungan dan beberapa faktor individu seperti status vaksinasi BCG, kebiasaan
merokok, umur dan jenis kelamin.
Kondisi perumahan dengan padat penghuni tidak terlepas dari masalah
sosial ekonomi. Pada abad 19 di Eropa, kemiskinan selama revolusi industri
banyak mengakibatkan kematian karena tuberkulosis (Weiss KB, 1998). Hal ini
sampai sekarang masih dialami di negara miskin dan di negara berkembang
seperti di Indonesia. Hal kemiskinan ini pulalah yang menurut para dokter ahli
paru, mengakibatkan penderita TB putus berobat karena kendala biaya
transportasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup dalam 1-2 jam
sampai beberapa hari tergantung dari ada tidaknya sinar matahari, ventilasi yang
baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan hunian rumah. Kepadatan hunian
merupakan hasil bagi antara luas ruangan dengan jumlah penghuni dalam satu
rumah. Luas rumah yang tidak sebanding dengan penghuninya akan
mengakibatkan tingginya kepadatan hunian rumah. Berkaitan dengan perilaku
penderita TB, dari hasil penelitian menunjukkan berbagai macam alasan mereka
enggan untuk mengkonsumsi obat. Dari mereka yang berhenti minum obat,
proporsi terbesar memberikan alasan utama karena sudah dinyatakan sembuh
oleh tenaga kesehatan sebesar 52 persen. Berarti 48 persen dari mereka yang
berhenti minum obat walaupun belum dinyatakan sembuh oleh tenaga kesehatan
(nakes) yang memberikan gambaran angka drop out pengobatan. Dari mereka
yang sudah dinyatakan sembuhpun ternyata 14 persen baru mengikuti
pengobatan kurang dari 6 bulan. Sedangkan alasan-alasan utama responden
tidak minum obat atau berhenti minum obat karena sudah merasa enak atau
33. 24
tidak batuk darah (20 persen), tidak ada biaya berobat (14 persen) dan merasa
tidak ada perubahan (7 persen).Hal ini kemungkinan merupakan faktor-faktor
yang menyebabkan kegagalan berobat penderita TB (Bali T Bangkes, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya angka kejadian TB paru
tersebut antara lain yaitu: predisposisi (status gizi, imunisasi dan pendidikan),
faktor pendukung (lingkungan rumah, sosial ekonomi, fasilitas dan sarana
kesehatan), faktor pendorong (gaya hidup dan perilaku masyarakat) serta faktor
lain (usia dan jenis kelamin). Infeksi Mycobacterium tuberculosis dipengaruhi
oleh faktor eksogen dan endogen. Faktor eksogen adalah pengaruh dari luar
individu yang menyebabkan sakit. Faktor endogen merupakan faktor dari dalam
individu itu sendiri yang membuatnya rentan terhadap infeksi tuberkulosis paru.
Salah satu faktor endogen yang menyebabkan orang menjadi rentan terhadap
timbulnya TB paru adalah status gizi. Asupan makan yang tidak mencukupi
biasanya menyebabkan keadaan gizi kurang sehingga mempermudah masuknya
bibit penyakit ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit infeksi. Salah satu
faktor eksogen yang menyebabkan orang menjadi rentan terhadap timbulnya TB
paru adalah pendidikan. Tingkat pendidikan di Indonesia yang masih rendah
dapat mempengaruhi pemahaman seseorang tentang penyakit TB paru, cara
pengobatan dan bahaya akibat minum obat tidak teratur. Faktor eksogen dan
endogen inilah yang menjadi faktor risiko terjadinya TB paru. Berdasarkan uraian
diatas, peneliti merasa perlu melakukan penelitian guna mengetahui gambaran
faktor risiko TB paru berdasarkan status gizi dan pendidikan.
Penyebab utama meningkatnya masalah TB antara lain adalah :
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada Negara yang
sedang berkembang.
2. Kegagalan TB selama ini.
Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik dan
pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB ( kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin
penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang
standar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan
panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang
didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG, infrastruktur
34. 25
kesehatan yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau
pergolakan masyarakat.
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan.
4. Dampak pandemik HIV. (Depkes 2007)
35. 26
3. Metode Penelitian
3.1 Metode Deskriptif
Suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk
membuat gambaran atau deskripsi tentang sutau keadaan secara objektif.
Metode ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang
sedang dihadapi pada sekarang ini.
Penyakit TB merupakan penyakit menular yang paling bebahaya di
Indonesia. Berdasarkan hasil observasi lapangan di provinsi Kalimantan Selatan
daerah Martapura di Desa Pasayangan Kabupaten Banjar, penularan TB di
masyarakat masih belum bisa ditanggulangi dengan baik. Masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui tentang penularan kuman TB di sekitar
masyarakat.
3.2 Metode Analitik
Metode penilitian analitik adalah penelitian yang mencoba menggali
bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan
analisis dinamika korelasi antara fenomena baik antara faktor risiko atau faktor
penyebab atau determinan dan faktor efek antar faktor risiko maupun antar faktor
efek. Yang dimaksud faktor efek adalah suatu akibat dari adanya faktor risiko.
Dalam penelitian analitik ini membahas tentang bagaimana terjadinya
penularan kuman TB dan mengapa penularan TB dapat terjadi di sekitar
masyarakat Desa Pasayangan.
3.3 Meode Eksperimental
Dalam penelitian eksperimen, hal yang perlu dilakukan sebagai pembuktian
faktor sebagai penyebab terjadinya suatu penyakit adalah dilakukannya uji
kebenaran dengan percobaan atau eksperimen. Eksperimen yang penulis
lakukan yaitu di laboratorium.
36. 27
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil Penelitian
Secara umum perkembangan penularan TB tiap tahunnya tidak menetap.
Namun tingginya penularan TB di Desa Pasayangan di tahun 2010. Hal ini
disebabkan oleh tingkat kesadaran masyarakat akan faktor lingkungan yang
mempengaruhi penularan TB sekitar masyarakat di Desa Pasayangan.
Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui secara detail mengenai penularan
kuman TB di sekitar lingkungannya. Sehingga masalah lingkungan tersebut
dianggap sepele oleh masyarakat. Tingkat penularan TB di Desa Pasayangan
dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 4.1 Penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar
selama 6 Tahun Terakhir
Dalam hasil observasi yang dilakukan, ternyata di Desa Pasayangan
Martapura Kabupaten Banjar lebih banyak orang dewasa khususnya laki-laki
dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini dikarenakan orang dewasa lebih sering
berinteraksi dengan orang lain tanpa menyadari bahwa orang tersebut terserang
kuman TB. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok
tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan
tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2010 2011 2012 2013 2014 2015
37. 28
Adapun hasil penelitian eksperimen yang dilakukan pada uji laboratorium
oleh penulis untuk mengetahui bahwa seseorang tersebut positif terserang
penyakit TB yaitu dengan melakukan penelitian terhadap dahak penderita.
Gambar 4.2 Hasil Penelitian Dahak Penderita TB
Dari hasil penelitian dahak penderita TB dapat dilihat pada gambar diatas
terdapat noda garis merah yang menunjukkan adanya mikrobakteri dalam
sampel dahak. Seorang laki-laki berusia 60 tahun menderita batuk, produksi
sputum dan dahak yang bercampur dengan darah dan berwarna biru. Warna
dalam dahak menunjukkan hasil Tuberkulosis (TB).
4.2 Pembahasan
4.2.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Puskesmas Pasayangan berlokasi di Pasayangan Martapura yang
mempunyai 11 kelurahan, diantara nya : Pasayangan barat, Pasayangan Utara,
Pasayangan Selatan, T. Irang, Keraton, Ulu, Tambak Baru, Tambak Baru Ilur,
Tungkaran, Murung Kenanga dan Murung Keraton. Diantara 11 Kelurahan
tersebut, yang paling banyak dan rentan terhadap adanya penyakit Tuberkulosis
(TB) adalah kelurahan Keraton, karena di daerah tersebut terdapat jumlah
penduduk yang padat disertai dengan lingkungan yang kurang bersih. Ada pun di
kelurahan Murung keraton juga ada beberapa orang yang terkena atau tertular
penyakit Tuberkulosis (TB) dikarenakan daerah tersebut berdekatan dengan
pasar yang lingkungannya tidak terjaga sehinga penyebaran TB dapat tertular
dengan cepat.
38. 29
4.2.2 Karakteristik Subjek Penelitian
Penyakit Tuberkulosis (TB) ini banyak menyerang orang yang memiliki
kekebalan tubuh yang lemah. Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (mycobacterium
tuberculosis) dan dapat ditularkan melalui sekresi pernafasan yang di
hembuskan oleh penderitanya kemudian di hirup oleh orang lain yang jaraknya
berdekatan dengan si penderita.
Dari hasil observasi yang kami lakukan, penyebaran kuman TB yang paling
cepat tersebar yaitu dengan seringnya masyarakat berinteraksi dengan
seseorang dimana seseorang tersebut tanpa disadari telah terserang TB. Seperti
yang terjadi di kelurahan Pasayangan, pada awalnya hanya beberapa orang
yang terserang TB namun, karena padatnya penduduk dan masyarakat sering
melakukan interaksi dengan penderitan sehingga hal ini mempengaruhi
percepatan penularan TB.
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis (TB) adalah pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.
Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Gejala penyakit Tuberkulosis (TB) kadang tidak terlihat. Gejala TB antara
lain rasa sakit di dada, kehilangan berat badan, dan nafsu makan serta banyak
mengeluarkan keringat, terutama di malam hari.
4.2.3 Lingkungan Tempat Tinggal Penderita TB
Penderita Tuberkulosis (TB) dapat di pengaruhi akibat dari lingkungan
tempat tinggal penderita. Seperti di Desa Pasayangan kelurahan Keraton dan
39. 30
Kelurahan Murung Keraton umumnya penderita TB tinggal di daerah yang
kumuh, penuh, dan sesak serta ventilasi rumah yang kurang memadai berisiko
tertular penyakit ini. Kebiasaan masyarakat yang jarang membuka jendela rumah
juga mempengaruhi penyebaran kuman TB dimana sinar matahari tidak dapat
masuk ke dalam rumah dan mengakibatkan kelembaban di dalam rumah.
Sebenarnya, apabila masyarakat memiliki kebiasaan yang rajin membuka
jendela setiap pagi, maka kuman TB yang terdapat di udara rumah dapat mati.
40. 31
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
1. Kualitas lingkungan yang buruk di sekitar Desa Pasayangan, dapat
mempercepat penyebaran kuman TB di sekitar masyarakat. Lingkungan
Desa Pasayangan Martapura masih jauh dari kata bersih karena
kurangnya kesadaran masyarakat sekitar untuk menjaga kebersihan
tempat tinggal mereka sendiri. Kebanyakan masyarakat sekitar bertempat
tinggal di kawasaan yang padat, kumuh, dan sangat dekat dengan
wilayah pasar yang kotor. Kebiasaan masyarakat yang jarang membuka
jendela rumah saat pagi hari dapat menyebabkan kelembaban dan juga
mempercepat perkembangan kuman TB.
2. Penyeberan TB di Desa Payangan terjadi akibat adanya interaksi antar
masyrakat sekitar yang tanpa menyadari telah lama terserang kuman TB.
Kuman Tb (Mycobacterium tuberculosis) dapat ditularkan melalui sekresi
pernapasan yang dihembuskan oleh penderita dan pada waktu batuk
atau bersin penderita TB menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak).
3. Pencegahan penularan TB yang dilakukan masyarakat Desa Pasayangan
Martapura yaitu dengan membersihkan lingkungan sekitar, setiap hari
membuka ventilasi rumah, dan penderita TB menggunakan masker saat
berinteraksi denga masyarakat sekitar.
5.2 Saran
1. Sebaiknya penderita lebih memperhatikan kebersihan lingkungan
sekitarnya terutama di lingkungan tempat tinggal. Apabila masyarakat
terserang batuk yang disertai dengan dahak yang berdarah, segera
periksa ke puskesmas terdekat agar penyakit tersebut dapat diobati
sebelum mencapai ke BTA (+).
2. Penularan penyakit TB ini tidak dapat ditanggulangi dengan baik karena
kurangnya pemahaman masyarakat tentang penyakit yang di sebabkan
oleh kuman Tuberkulosis (TB).
41. 32
DAFTAR RUJUKAN
1. Aditama, T. 2002. Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis Terbaru.
(online) (http://www.tbindonesia.or.id) diakses 18 November 2015).
2. Ahmadi, Umar Fahmi. 2005. Menejemen Penyakit Berbasis Wilayah.
Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
3. Anonim. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.829/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta
4. Apriani, W. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Tb
paru di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2000. Tesis.
Program Pascasarja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok
5. Ardi. M., Linda. A. 2010. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi
Dengan Minat Berorganisasi Pada SISWA Fakultas Psikologi UNI SUSKA.
Jurnal Psikologi 2010.
6. Atmosukarto, Sri Soewati. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam
Penyebaran Tuberkulosis. Media Litbang Kesehatan, Vol 9. Jakarta
7. Azwar A. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara. Jakarta
8. Azwar, A. 1999. Pengantar Epidemiologi. Binarupa Aksara. Jakarta
9. Badan Litbang Kesehatan. 2005. Survei Prevalensi Tuberkulosis di
Indonesia 2004. Badan Litbang Kesehatan. Jakarta
10. Balaji, V., Daley P., Azad, A.A., Sudarsanam, T., Michael, J., Sarojini,
Sahni, Diana, R., George, C.P., Abraham, I., Thomas, K., Ganesh, A., John
K R., & Mathai D. 2010. Risk Factors for MDR and XDR-TB in a Tertiary
Referral Hospital in India. PLoS ONE, 5(3).
11. Behrman, R. E., Kliegman, R. M., dan Jenson, H.B. 2003. Nelson Texbook
of Pediatrics. Edisi-16. W.B. Saunders Company. Phildelphia
12. Caminero, J.A. 2010. Multidrug-resistant Tuber-culosis: Epidemiology, Risk
Factors, and Case Finding. The International Journal of Tuberculosis and
Lung Disease, 14(4) 382–390.
13. Departemen Kesehatan RI. 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman. Jakarta
42. 33
14. Departemen Kesehatan RI. 1994. Pengawasan Kualitas Kesehatan
Lingkungan dan Pemukiman, Dirjen P2M & PLP. Jakarta
15. Departemen Kesehatan RI. 2001. Departemen Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
16. Departemen Kesehatan RI. 2005. Upaya Pencegahan TB Paru Di
Indonesia.
17. Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis. tersedia: www.depkes.go.id
18. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pointers Menkes Menyambut Hari TBC
Sedunia 2007. www.depkes.go.id
19. Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Pedoman Tehnik Pembangunan
Perumahan Sederhana Tidak Bersusun. Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum, No. 20/kprs/1986. Jakarta
20. Fatimah. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan
Dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilapcap (Kecamatan : Sidareja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari). Tesis :
Universitas Diponegoro Semarang
21. Firdiana P, Widya H.C. 2008. Hubungan antara Luas Ventilasi dan
Pencahayaan Rumah dengan Terjadinya Tuber Culosis Paru Anak di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu. Kecamatan Tembalang
Semarang Tahun 2007. Jurnal Kemas, 3(2):89-101
22. Gklinis. 2004. Pengobatan Tuberculosis Paru Masih Menjadi Masalah.
Jakarta
23. Global tuberculosis Institute. A history of Tubeculosis Treatment. New
Jersey Medical School. tersedia : http:globaltb.njms.rutgerse.edu
24. Gould dan Brooker. 2003. Mikrobiologi Terapan. EGC. Jakarta
25. Hidayati, T. 2000. Tuberculosis. FKUI. Jakarta
26. Karyadi, E., West, E.C., Schultink, W., Nelwan, H.R., Gross, R., dan Amin,
Z. 2003. A double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and Zinc
Supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia. Effects on
clinical response and nutritional status (online) (http://www.ajcn.org)
diakses pada November 2015
27. Keman, Soedjajadi. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan
Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2005
43. 34
28. Lyanda, April. 2012. RAPID TB TEST. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
29. Miller F. J. W. 1982. Tuberculosis in Children Evolution, Epidemiology
Treatment, Prevention, Churchil Livingstone. Edinburgh LondonMelbourne
and New York
30. Misnadiarly, Simanjuntak, Ch Pudjarwoto. 1990. Pengaruh Faktor Gizi
danPemberian BCG terhadap Timbulnya Penyakit tuberkulosis Paru.
Cermin Dunia Kedokteran
31. Misnadiarly, Simanjuntak, Ch Pudjarwoto. 1990. Pengaruh Faktor Gizi dan
Pemberian BCG terhadap Timbulnya Penyakit tuberkulosis Paru. Cermin
Dunia Kedokteran
32. Needham DM, Godfrey-Faussett P., Foster SD. 1998. Barriers to
tuberculosis control in urbanZambia: the economic impact and burden
onpatients prior to diagnosis. Int J Tuberc Lung Dis; 2:811-17.
33. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar.
Rineka Cipta. Jakarta
34. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis : Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI, 1 - 29.
35. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis (Pedoman
diagnosis dan Penatalaksanaan) di Indonesia. PDPI; 2006; tersedia :
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
36. Prasetyowati, I., dan Chatarina. U. W. 2009. Hubungan Antara
Pencahayaan Rumah, Kepadatan Penghuni dan Kelembaban, dan Risiko
Terjadinya Infeksi TB Anak SD di Kabupaten Jember. Jurnal Kedokteran
Indonesia VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009.
37. Sanropie, Djasio, dkk. 1989. Pengawasan Penyehatan Pemukiman untuk
Institusi Pendidikan Sanitasi Lingkungan. Pusdiknakes Depkes RI. Jakarta
38. Smith P.G. dan Moss A. R. 1994. Epidemiology of Tuberculosis
Patoghenesis, Protection and control. ASM Press. Washington DC
39. Soemirat. Juli. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta
40. Soesanto, S.S, Agustina Lubis, Kusnindar Atmosukarto. 2000. Hubungan
Kondisi Perumahan dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru.Media
Litbang Kesehatan. Volume X Nomor 2 tahun 2000; 27-31.
44. 35
41. Stanford S., John P., Herbert MS. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit
Infeksi, Edisi 4. Terjemahan Samik W. Gajah MadaUniversity Press.
Yogyakarta
42. Subaeti, T. 2005. Faktor Risiko Tb paru Pada Petugas Mikroskopis Di
Kabupaten Kebumen. (online) (http://www.fkm.undip.ac.id) diakses pada
November 2015
43. Sugiharto. 2004. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian
Penyakit Tb paru di Puskesmas Jenggot. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang
44. WHO. 2003. Tuberculosis. WHO. Genewa
45. Wiasa, I,W. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan
Kejadian Tb paru di Kabupaten Tabanan. Tesis. Universitas Airlangga.
Surabaya
46. World Health Organization. 2009. A history of Tuberculosis Control in
Indonesia. WHO 2009. tersedia: http:whq.doc.WHO.int
47. 38
Soal-soal Pertanyaan
1. Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman….
a. Mycobacterium Bovis
b. Mycobacterium Sativa
c. Mycobacterium Tuberculosis
d. Mycobacterium Africanum
e. Mycobakterium Hindianus
2. Arti dari ‘Droplet’ adalah….
a. Percikan dahak
b. Percikan liur
c. Percikan darah
d. Percikan debu
e. Percikan api
3. Berikut ini yang termasuk ‘Host’ dalam faktor penularan TB, kecuali….
a. Status Gizi
b. Umur
c. Jenis Kelamin
d. Kekebalan
e. Ventilasi
4. Apa kepanjangan dari BTA ?
a. Basil Tahan Air
b. Basil Tahan Asam
c. Basil Tahan Api
d. Baja Tahan Api
e. Baja Tahan Asam
5. Berikut adalah gejala-gejala penyakit TB, kecuali….
a. Batuk berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih
b. Bintik-bintik merah di kulit
c. Dahak bercampur darah
d. Sesak nafas dan rasa nyeri di dada
e. Kehilangan nafsu makan dan berat badan.
48. 39
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Informasi dan Persetujuan menjadi Responden Penelitian 39
Lampiran 2 Lembar Pernyataan dan Persetujuan menjadi Responden
Penelitian.………………………………………………………………. 40
Lampiran 3 Lembar Kuesioner Penelitian …………………………….……..…..... 41
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian …………………………………………….…. 42
50. 41
Lampiran 1. Lembar Informasi dan Persetujuan menjadi Responden Penelitian
PROGRAM STUDTI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Kepada Yth.
Bapak Responden
di-
Tempat,
Dengan Hormat,
Sehubungan dengan kegiatan penelitian yang akan kami lakukan tentang
“Hubungan Kualitas Lingkungan Terhadap Penularan Tuberkuloasis (TB) di Desa
Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar”, maka kami peneliti mohon kesediaan
Bapak untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian ini.
Bapak diminta kesediannya untuk memberikan keterangan sesuai dengan yang
Bapak ketahui pada saat di minta informasi melalui kuesioner. Identitas bapak tidak
akan disebutkan dalam hasil penelitian, dan informasi yang Bapak berikan akan di jaga
kerahasiaannya.
Demikian informasi ini kami sampaikan, atas kesediaan Bapak saya ucapkan
terimakasih.
Peneliti
Nursela Istiqomah Dina Puspita Sari Linda Sinaga
NIM.H1E114051 NIM.H1E114208 NIM.H1E114230
51. 42
Lampiran 2. Lembar Pernyataan dan Persetujuan menjadi Responden Penelitian
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
Sehubungan dengan akan dilaksanakannya penelitian tentang “Hubungan
Kualitas Lingkungan Terhadap Penularan Tuberkuloasis (TB) di Desa
Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar”, untuk memenuhi persyaratan
penyusunan laporan pada program studi Teknik Lingkungan Universitas Lambung
Mangkurat, yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan penulaaran TB yang
diakibatkan oleh kualitas lingkungan dan dari kebiasaan berinteraksi dengan penderita
TB.
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur/Tanggal lahir :
Alamat :
Menyatakan bahwa untuk keperluan tersebut saya BERSEDIA / TIDAK BERSEDIA
menjadi responden dalam penelitian ini, dan akan memberikan keterangan yang
seluas-luasnya dengan yang saya ketahui.
Yang Membuat Pernyataan
*Coret yang tidak perlu
52. 43
Lampiran 3. Lembar Kuesioner Penelitian
KUESIONER
PENYAKIT MENULAR TUBERKULOSIS (TB) TERHADAP MASYARAKAT
1. Anda tinggal di kelurahan mana?
2. Apakah kelurahan yang anda tempati penduduknya padat?
∑ YA
TIDAK
TIDAK TAHU
3. Apakah anda memiliki ventilasi rumah yang memadai?
YA
TIDAK
TIDAK TAHU
4. Apakah rumah yang anda tempati mendapatkan sinar matahari yang cukup?
YA
TIDAK
TIDAK TAHU
5. Apakah anda orang yang selalu menjaga kebersihan rumah ?
YA
TIDAK
KADANG-KADANG
6. Apakah anda tau tentang penyakit TB sebelumnya?
YA
TIDAK
7. Apakah anda pernah mengalami batuk sampai berdarah?
YA
TIDAK
53. 44
8. Saat anda tau ada masyarakat yang terserang batuk, apakah anda sering
berinteraksi dengan orang tersebut?
YA
TIDAK
KADANG-KADANG
9. Saat anda tau anda terserang TB, apakah anda sering memakai pelindung diri
seperti masker saat berinteraksi dengan orang lain?
YA
TIDAK
KADANG-KADANG
10. Berapa banyak orang menurut anda yang tertular TB di kelurahan anda
tempati?
∑ SEDIKIT
∑ SEDANG
∑ BANYAK