SlideShare a Scribd company logo
Perbandingan Peran Militer
Refor masi.

Dalam Or de Bar u

Dengan

Bab I/Pendahuluan.
A. Pendahuluan.
Budaya politik adalah suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan dalam sebuah Negara
dibangun melalui Supremasi sipil dengan sebuah budaya politik yang baik. Budaya politik yang
baik dapat diwujudkan ketika mesin politik (partai) dapat menyentuh akar rumput dan melakukan
kaderisasi politik yang baik. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada partai politik
yang mengakar dan memberikan budaya politik yang baik ke bawah. Partai-partai politik yang
ada saat itu antara lain Serikat Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional Mahasiswa (PNI),
dan lain-lain. Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki massa yang sangat besar saat itu.
Akan tetapi, banyaknya anggota partai tersebut tidak diimbangi dengan internalisasi budaya
politik yang baik ke seluruh anggotannya. Banyaknya anggota partai itu lebih dikarenakan
variabel lainnya yang berpengaruh seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya
terutama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya.
Partai-partai lain juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai Sosialis Indonesia
pimpinan Sjahrir memang dikenal sebagai partai kalangan intelektual. Namun, citra partai ini
tidak menjadikan budaya politik partai itu dikatakan baik karena intelektual para pimpinan
partainya tidak diiringi dengan budaya politik yang baik sehingga terbukti bahwa partai ini hanya
memiliki kader-kader berkualitas di tingkat pimpinannya tetapi tidak memiliki sentuhan politik di
lapisan akar rumput. Melalui Gambaran lintasan sejarah di atas memberikan suatu analisa tentang
masuknya militer dalam dunia politik Faktor dominan masuknya militer dalam dunia politik
adalah budaya politik yang kurang dibangun dengan baik oleh partai-partai politik. Ketidak
becusan kalangan sipil dalam mengurus Negara membuat kalangan militer berinisiatif untuk
masuk (intervensi) kedunia politik. Masuknya militer dalam dunia politik disebut dengan
Pretorian.
Banyak teori yg mengeratkan Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak
faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia militer memang menjadikan setiap
perwira militer memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi
yang dibangun Masuknya militer dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan untuk
melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa mengancam
kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bias mengontrol
militer dengan sebaik-baiknya. Dilihat begitu pentingnya peranan Militer terhadap stabilitas
bangsa, perlu kiranya dipahami, seperti apakah peranan militer di Indonesia khususnya pada masa
Orde Baru dan di Era Reformasi ini. Hal ini berguna untuk dapat membangun sebuah budaya
politik yang baik dan diharapkan mampu memberikan solusi alternatif tentang harus bagaimana
kekuasaan memposisikan militer dalam peranannya sebagai sebuah kekuatan. Dalam makalah ini
saya berusaha menjelaskan, bagaimana peranan militer pada kedua masa tersebut diatas. Mulai
dari bentuk peranannya, legitimasi yang didapat, dan dampak dari peranan militer terhadap
politik.

B.Posisi Militer Pada Masa Orde Baru .
Dilihat Dari Sejarahnya Keterikatan ABRI dalam politik terlihat yaitu pada prakteknya militer
bukan saja di perbolehkan mengikuti dunia politik, melainkan juga ”bersama kekuatan sosial
politik lainnya” terlibat dalam kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal empirik.
Militer secara kelembagaan atau individu terlibat dalam berbagai kegiatan seperti:
Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui jalur pengangkatan meskipun bukan
partai tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR RI yang mengesahkan kedudukan tersebut.
Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik TNI di wujudkan melalui Golkar.
Disamping untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi, politisi Orde Baru juga berusaha
melahirkan kekuatan politik yang dominan. TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi juga
di eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di pemerintahan,
baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan. Dalam usaha menopang kesejahteraan
keluarga TNI, Presiden Soeharto juga banyak memberikan kesempatan untuk berbisnis.
Disamping tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi modernisasi
dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama TNI.Dilihat dari
Dominasi dalam dwi fungsi ABRI memang berada pada angkatan darat, hal tersebut terjadi
karena sejarah panjang politik di Indonesia.
Kegagalan kekuatan politik nasionalis melawan kekuatan politik Islam dalam pemerintahan
Soekarno, telah menjadikan pamor kekuatan militer naik. apa yang di lakukan PKI pada tahun
1965, membuat angkatan darat menjadi mobilisator dari masyarakat untuk menghalau kekuatan
PKI, telah membawa nama militer (AD) semakin dicintai pada saat itu. Terutama dari kalangan
priyayi dan santri dalam usaha menandingi kekuatan komunis. Percaturan politik di Indonesia
sejak tahun 1959 hingga terjadi perebuatan kekuasaan oleh PKI sangat didominasi oleh Soekarno
sampai dengan hal-hal yang sangat sepele.
B.1. Tentang Dwi Fungsi ABRI.
Merinkas Sekilas tentang Dwifungsi ABRI yang dimulai dari konsep pemikiran Jalan Tengah
yang dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H.Nasution pada pidatonya di
AMN Magelang pada bulan November 1958. Dalam konsep jalan tengah ini dijelaskan perlunya
keterlibatan militer selaku perseorangan untuk turut secara aktif menyumbangkan tenaganya
diluar bidang militer yang dikemudian hari berkembang menjadi doktrin Dwifungsi yang ternyata
menyimpang menjadi penekanan peranan politik lembaga TNI. Dari perkembangan sejarah
lahirnya Dwifungsi pada masa Demokrasi terpimpin ke Dwifungsi era Orde Baru diwarnai
dengan dinamika adanya politik Balance of Power Presiden Soekarno yang kemudian adanya
Gerakan 30 Septembernya PKI yang disusul dengan lahirnya Orde Baru. Dimasa Orde Baru
Doktrin Dwifungsi yang semakin gencar dilakukan oleh TNI menghadapi berbagai kritik baik
dari dalam maupun dari luar tubuh TNI, Hal ini lebih disebabkan oleh karena makin
merambahnya peranan TNI dalam posisi posisi sipil baik dalam pemerintahan maupun dalam
badan legislatif. Dilihat Pada masa masa menjelang runtuhnya rezim orde baru, kritikan-kritikan
mengenai Dwifungsi makin gencar disuarakan dari dalam tubuh TNI itu sendiri diatandai dengan
semakin beraninya para perwira TNI yang menyuarakan tentang peninjauan ulang doktrin
Dwifungsi, tidak terlepas para purnawirawan sepert Jendral Soemitro dan bahkan Jendral
A.H.Nasution selaku peletak dasar Dwifungsi turut bicara karena kondisi doktrin dwifungsi yang
makin menyimpang dari arah semula. Dalam Munculnya konsepsi Empat Paradigma Baru untuk
menggantikan Dwifungsi pada masa pasca lengsernya kepemimpinan Soeharto yang telah selama
32 tahun memimpin dengan ditopang oleh TNI sebagai alat kekuasaan menunjukan bahwa
sebetulnya konsep Dwifungsi belum sepenuhnya hilang seperti yang diharapkan oleh public
terutama kaum intelektual sipil yang dimotori mahasiswa. Empat Paradigma Baru tidak lebih dari
sebuah bentuk Dwifungsi yang diperlunak, hal ini menunjukan bahwa TNI masih berusaha
mempertahankan posisinya sebagai kekuatan politik.
Dan Angkatan bersenjata selaku salah satu komponen dalam sebuah negara memiliki peranan
yang berbeda beda dalam prakteknya di dunia. Katakanlah negara-negara Eropa Barat dan
Amerika serikat yang menganut asas Supremasi sipil menempatkan angkatan bersenjatanya hanya
manjalankan fungsi Pertahanan saja. Lain halnya di negara-negara Amerika latin, Asia, Afrika
dan timur tengah, selain menjalankan fungsi Pertahanan, Angkatan bersenjata juga menjalankan
peran politik yang cukup besar. Dimana tentara tampil sebagai aktor politik utama yang sangat
dominan yang secara langsung menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan
kekuasaan mereka. Kondisi tersebut diistilahkan oleh Eric A. Nordlinger dalam bukunya “Militer
dalam Politik” sebagai Pretorianisme yaitu campur tangan militer dalam pemerintahan.
Berkenaan dengan konsep supremasi militer dan supremasi sipil DR Salim Said menjadikan
konsep tersebut sebagai landasan teori dalam penulisan bukunya. Dengan berlandaskan teori
tersebut DR.Salim Said mengupas tuntas tentang peranan TNI dalam kancah politik baik pada
masa negara-negara Eropa Barat dan Amerika mendukung posisi TNI dalam pemerintahan
sebagai upaya menghalau pengaruh komunis pada masa perang dingin hingga kebalikannya yaitu
dimana Amerika dan Eropa Barat mengecam keberadaan TNI dalam pemerintahan dan
digaungkannya asas supremasi sipil oleh mereka dimasa pasca perang dingin. Pada masa
Soeharto tampil mengendalikan kekuasaan, militer mengukuhkan keyakinan dan kebenaran
dwifingsi yang kemudian secara resmi dinyatakan sebagi doktrin, yang secara eksplisit menolak
pandanagn yang secara tegas mengharuskan militer mengambil jarak dari kehidupan politik,
sembari menyatakan militer sebagai penyelamat negara dan penjaga idiologi negara, Pancasila.
Dengan kata lain Dwifungsi dikembangkan menjadi sejumlah asumsi dasar sebagai justifikasi
peran politik militer, yang mencakup: Nilai kesejarahan, dalam hal ini militer Indonesia
dipersepsikan sebagai institusi yang memiliki sejarah sendiri sebagai tentara rakyat yang berperan
besar dalam menghadapi perlawanan militer ; Mengamankan Idiologi negara, dalam hal ini
militer bertanggung jawab mengamankan ideologi negara, Pancasila; Bentuk Negara, Militer
merumuskan pandangan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang diatur dalam
system kekeluargaan. Militer dan sipil adalah satu keluarga, yang memiliki hak dan tanggung
jawab yang sama. Berangkat darisejumlah asumsi dasar tersebut menjadikan pihak militer dengan
penuh keyakinan menerapkan kebijakan dwifungsi yang dengan praktek ini membawa TNI
kemudian menjadi bagian penting dalam system kekuasaan di Indonesia.Militer muncul sebagai
Power Elite (Zainuddin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai politik dalam Negara Transisi, 2000).
Jika Ditinjau dari sudut Sosiologis, Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik
memberikan definisi atas istilah Sosiologi Politik sebagai suatu ilmu kekuasaan didasarkan pada
pendekatan sosiologi.
Dua faktor penyebab antagonisme politik yaitu sebab sebab individu (individual dan psikologis)
dan sebab sebab kolektif (perjuangan kelas, konflik rasial, konflik antar kelompok
horisontalantara kelompok kelompok territorial), dalam buku yang ditulis oleh DR. Salim Said
terlihat bahwa munculnya kekuatan militer dalam kancah perpolitikan tidak terlepas dari sebab
sebab kolektif dimana militer menganggap pihak politisi sipil tidak mampu melaksanakan
perannya di kancah politik sehingga menuntut dirinya untuk tampil menggantikan posisi mereka.
Dalam Doktrin Dwifungsi yaitu fungsi sebagai kekuatan sosial politik dan fungsi sebagai
kekuatan pertahan dan keamanan. Seperti pengungkapan tindakan tindakan TNI dalam
menghadapi hakekat ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia baik berupa subversi,
gangguan kamtibmas, ancaman dari luar negeri, pelanggaran wilayah maupun kerawanan yang
ditimbulkan oleh ekstrim kiri maupun ekstrim kanan.
Upaya yang dilakukan TNI dalam rangka pemantapan ketahanan nasional hanya dilihat dari
perspektif kedudukan TNI sebagai fungsi kekuatan sosial politik, bukan dari fungsi pertahan
keamanan sebagaimana konsep dwifungsi. Dalam Kepemimpinan TNI dalam kancah politik
Indonesia , dinyatakan bahwa keterlibatan politik militer di Indonesia dimulai sejak pertengahan
tahun limapuluhan dan mencapai puncaknya pada tahun 1966 seiring dengan makin mundurnya
peran politik golongan sipil. Kemunduran kekuatan sipil tersebut pada akhirnya mengubah
hubungan kekuatan antara sipil dan militer kearah yang menguntungkan pihak TNI. Keadaan
inilah yang digunakan oleh TNI untuk memperbesar peranan politik mereka dalam pemerintahan.
Kondisi ini juga diakui oleh Letjen TNI Agus Widjojo, bahwa memang telah terjadi over reach
(kebablasan) tentara dalam fungsi-fungsi non militer di masa lalu sebagai akibat dari: Peran
generasi 1945 yang berjuang dengan cara gerilya; kesiapan tentara menduduki posisi-posisi
administrative yang ditinggalkan pejabat colonial Belanda; pandangan diri (self perception)
tentara sebagai agen pembangunan (agent of development) dan agen persatuan nasional (agent of
nation unity), serta pengawal bangsa (guardian of the nation; persepsi mengenai demokrasi
parelmenter yang gagal memajukan kemakmuran bangsa di tahun lima puluhan; kekuasaan yang
diberikan kepada militer dalam masa SOB (martial Law) sejak terjadinya pemberontakan regional
lemahnya pengawasan system politik.
B.2. Posisi Militer Pada Masa Reformasi.
Setelah melalui masa pemerintahan yg berjalan 30 tahun akhirnya Soeharto turun dari jabatan
presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie
(1998-1999), Abdurahman Wahid (1999-2000) dan Megawati (2002-kini). Masa yang oleh
sebagian kalangan disebut masa reformasi ini “sempat” mendorong para militer TNI untuk
meninggalkan perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa dilakukan
oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan melemahkan
bargaining position militer di arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan
arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat, sehingga
lambat laun peranan militer dalam bidang politik kembali menguat. Dilihat Kembalinya militer
dalam bidang politik dikarenakan kelompok sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan
militer.
Selain itu, kelompok sipil cenderung menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas
turunya Soeharto dan bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di
DPR untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut nampat pada
TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih diperkenankan
duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut: “Keikutsertaan
Tentara Nasional dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan 2009.” Selain alasan tersebut diatas,
ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di bidang politik berakhir, “nyaris hilang”.
Pada awal reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini ditandai
dengan digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati, gubenur,
menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak dijabat oleh militer lagi.
Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam lembaga perwakilan rakyat juga mulai
dibatasi.
Bab 2/C. Identifikasi Masalah.
Masalah Perpolitikan Indonesia, lebih diakibatkankan adanya konflik yang terjadi diantara
Soeharto Dengan konflik internal Angkatan Darat. Ketika Soeharto sudah sulit untuk mengontrol
militer dan lambat laun tidak mendapatkan dukungan penuh. Soeharto mencoba melakukan
perombahan struktur militer dengan dekat dengan angkatan 1972 (mempersiapkan Wiranto
sebagai putra mahkota dalam struktur tertinggi militer) dan mengalihkan dukungan dari militer
menjadi kalangan Islam dengan pendirian ICM..
• Meninjau Berdasarkan latar belakang di atas inti dari identifikasi pokok permasalahannya
ialah: perbandingan partisipasi politik yg bagaimanakah militer di zaman orde baru dan
era reformasi?

D. Kerangka Pemikiran
Kontrol Sipil atas Militer
Sebenarnya Posisi militer adalah berada di bawah kontrol sipil secara demokratis. Dengan
kalimat lain, hubungan sipil-militer (HSM) yang demokratis terjadi bila militer dikendalikan oleh
sebuah kontrol sipil secara demokratis. Secara teoretis, kontrol sipil adalah sederhana: Semua
keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional, tidak ditentukan oleh militer sendiri,
melainkan diputuskan oleh pejabat sipil yang terpilih secara demokratis. Pada prinsipnya, kontrol
sipil adalah absolut dan mencakup keseluruhan. Tidak ada keputusan atau tanggung jawab yang
diberikan kepada militer kecuali secara ekspresif atau implisit didelegasikan kepadanya oleh
pemimpin sipil. Bahkan keputusan-keputusan perintah pemilihan strategi, operasi apa yang
digunakan dan kapan, taktik apa yang dipakai, manajemen internal militer berasal dari kekuasaan
sipil. Mereka didelegasikan untuk menyeragamkan personel hanya untuk alasan-alasan
kenyamanan, tradisi, keefektifan, atau pengalaman militer dan keahlian. Kaum sipil membuat
semua peraturan, dan mereka dapat mengubahnya kapanpun.
Tipe Militer
Dalam Sejarahnya Pretorian dirumuskan Amos Perlmutter sebagai situasi dimana militer dalam
suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom dalam masyarakat
tersebut berkat penggunaan kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuataan. Pretorian
terbagi dalam dua jenis yaitu pretorian historis dan pretorian modern.
1. Pretorian historis dimulai dari tentara ibukota Romawi yang selalu mendesakkan calon
pemimpin negara untuk disetujui senat. Pretorianisme jenis ini kemudian berkembang subur di
masyarakat feodal yang berciri patrimonial. Di dalam masyarakat ini tentara menjadi alat utama
pendukung kekuasaan raja atau bangsawan. Hubungan antara tentara dengan penguasa didasarkan
pada orientasi tradisi. Dalam pretorianisme modern, tentara justru menentang penguasa dan
menawarkan jenis kekuasaan baru. Tentara dalam pretorianisme modern cenderung campur
tangan dalam pemerintahan dan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan
kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.
2. Pretorianisme modern terbagi atas 3 bentuk yaitu otokrasi militer, oligarki militer dan
pretorianisme otoriter. Dalam otokrasi militer, pimpinan pemerintahan dipegang oleh seorang
perwira militer yang sekaligus menjadi penguasa tertinggi. Dalam rezim ini, pemilu ditiadakan.
Sedangkan dalam oligarki militer, pemerintahan dijalankan oleh beberapa orang, dimana
eksekutif terdiri dari para perwira militer sedangkan eksekutif utama diduduki oleh pensiunan
perwira militer atau orang sipil yang didukung militer secara penuh. Rezim ini hanya bisa
bertahan selama mendapat dukungan dari militer dan selalu melakukan mobilisasi dukungan.
Rezim ini juga hanya kadang-kadang saja mengadakan pemilu. Ada pun dalam pretorianisme
otoriter, pemerintahannya merupakan fusi militer dan sipil dengan kontrol yang sangat sedikit
atau tidak ekstrim. Kombinasi dari ketiga bentuk pretorianisme modern itu bisa berwujud rezim
militer otoriter, dimana tentara, birokrat, manajer dan tehnokrat memainkan peranan yang
penting. Birokrasi terdiri dari militer dan sipil sedangkan kepala pemerintahan bisa dari sipil
murni. Dukungan rezim ini adalah lembaga militer. Rezim ini juga mengusahakan dukungan
politik dari luar negeri. Pemilu diadakan dengan pembatasan-pembatasan dan masih bisa
menolerir adanya struktur politik nasional yang tidak mendukung rezim.
Sistematika Penulisan.
Dalam penyusunan Tugas ini pembahasan dan penganalisaannya diklasifikasikan secara
sistematis kedalam Beberapa Bab-bab yaitu:

•

Bab I : Pendahuluan.
Dalam bab ini mengemukakan tentang Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penulisan,Dan Kerangka Pemikiran.

• Bab II : Identifikasi masalah.
Dalam pembuatan tugas akhir ini, penulis membutuhkan data-data yang berhubungan dengan
kajian yg ditulis, yaitu bersumber dari studi pustaka.
•

Bab III : Pembahasan.
Dalam bab ini diuraikan tentang segala sesuatu yang terkait dengan Perbandingan Kedua Era
Tersebut dengan melakukan kajian Hingga Selesai Dibahas Secara Tuntas.

•

Bab IV : Penutup.
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan Daftar Pustaka.

BAB 3/E. Pembahasan.
Partisipasi Politik Militer di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi.
Memulai dari bagaimana militer masuk ke politik dilanjutkan dengan lahirnya dwi fungsi, peran
politik militer yang meluas dan kebijakan-kebijakan, jabatan-jabatan strategis banyak di duduki
oleh militer, dan pendebatan konflik memakai cara-cara militer. Tetapi seiring adanya refomasi
terjadi reformasi dan demokratisasi termasuk di dalamnya menuntut dwi fungsi ABRI dihapus
dan militer di reformasi dan kemudian menjalankan fungsi-fungsi militer hanya dalam konteks
pertahanan dan keamanan.
E.1. Militer Di Era Orde Baru.
Setelah Diluncurkanya Surat Super Semar, Soeharto dimandatkan untuk menjadi pemimpin
pemerintahan. Saat itu pula militer berperan penting dalam memegang tatanan kekuasaan politik
Indonesia. Pada masa rezim orde baru, militer mengintervensi dari seluruh aspek politik dalam
pemerintahan. Politik Soeharto yang menerapkan demokrasi pancasila (1965-1998) dan kebijakan
sentralisasi memberikan peluang besar untuk menduduki kekuasaan politik. Oleh karena itu,
militer pada masa itu dijadikan kekuatan pertahanan dan keamanan dan sosial politik yang
disebut pretorian. Militer pretorian memiliki andil dalam politik sangat besar bahkan lebih
dominan dalam mengatur kekuasaan pemerintah dibandingkan sipil sehingga kekuasaan sipil
sangat terbatas. Intervensi politik dalam pemerintahan pun tinggi dan permanen sampai diakhiri
oleh revolusi Mei 1998 yaitu jatuhnya rezim orde baru. Masa rezim orde baru juga memiliki pola
hubungan pola supremasi militer dimana militer memegang peranan penting dalam kehidupan.
Bentuk-bentuk intervensi militer terhadap politik pada masa orde baru misalnya tradisi intervensi
militer yang diwarisi oleh masa demokrasi terpimpin dimana militer mempunyai hak yang sama
dalam pemilu. Intervensi militer berlanjut pada demokrasi pancasila yang didirikan “soeharto”
bahkan militer menempati jatah kursi 100 buah dalam parlemen.
Dengan kekuasaan tersebut, militer dapat dengan bebas melakukan apa saja bahkan dengan
penyiksaan dan pembunuhan massal peristiwa berdarah tanjung priok. Sebagian bukti dari
kekuasaan militer yaitu rekaman dari hasil wawancara Tim Peneliti PPW LIPI dengan tokoh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan solo Juli 1998: “pada saat itu setiap penduduk yang tidak
memilih Golkar atau dicurigai tidak akan mencoblos Golkar dengan mudah dicap sebagai PKI.
Kalau sudah demikian, aparat keamanan bebas melakukan apa saja, dari penyiksaan sampai
penghilangan nyawa manusia. Korban kekerasan pemilu pada waktu itu tidak terhitung
jumlahnya”. Selain itu, bentuk lain dari intervensi militer adalah adanya dwifungsi ABRI dimana
ABRI berfungsi tidak hanya dalam segi militer tetapi juga memasuki urusan non-militer.
Penyebab keberadaan dwifungsi ABRI juga tak lepas dari peran ABRI dalam sejarah
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Doktrin dwi fungsi ABRI ini dirumuskan pada saat seminar TNI AD ke I. Dalam seminar tersebut
dapat dijelaskan mengenai TNI-AD befungsi sebagai suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan
militer.Dwifungsi ini juga ditegaskan dalam TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 telah berhasil
dibentuk kabinet Ampera, dengan dibentuknya Kabinet Ampera yang dipimpin oleh Soeharto
yang didalamnya terdapat pula perwira-perwira ABRI. Hal ini menegaskan pula bahwa militer
terjun ke dalam dunia politik. Telah disoroti pula 3 masalah pembinaan TNI-AD sebagai;
Kekuatan Militer, Golongan Karya, dan Pembinaan Pertahanan Darat nasional. indikasi ini bisa
muncul karena disesuaikan dengan teori Huntington dan Finer bahwa penyebab paling penting
dari intervensi militer dalam politik adalah sistem kebudayaan politik, struktur politik serta
institusionalnya. Institusi pada pemerintahan masa orde baru sangat mendukung adanya
supremasi militer sehingga kekuasaan militer lebih dominan terhadap sipil. Pemerintah pada
zaman orde baru juga mudah untuk melakukan propaganda dalam pemerintahan. Propaganda
adalah menejemen dari tingkah laku kolektif dengan cara manipulasi sejumlah simbol signifikan.
Propaganda yang dibuat oleh soeharto dengan menunjukkan kewibawaan tinggi sebagai kepala
pemerintahan serta beralasan untuk kestabilitasan perekonomian negara yang harus diperbaiki
dari pelaksanaan demokrasi terpimpin.
Namun, di balik semua itu Soeharto menimbun hutang luar negri dan memberikan peluang bagi
militer untuk memegang beberapa perusahaan sehingga dengan bebas menguasai pemerintahan.
Ketentraman dan kestabilan perekonomian yang secara jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari
hanyalah manipulasi Soeharto dalam memainkan politik, elit politik serta militer berjaya dalam
pemerintahan Soeharto sedangkan rakyat dibutakan dengan ketentraman yang semu. Korbankorban dari sistem pemerintahan Soeharto adalah penentang Soeharto yang melihat manipulasi
Soeharto yang mengatasnamakan stabilitas ekonomi, penjagaan keamanan sebagai
penyalahgunaan otoritas kekuasaan. Propaganda lain yang dilakukan pemerintah dalam masa
orde baru seperti trilogi pembangunan, kampanye keluarga berencana, pemasyarakatan pancasila,
institusi-institusi yang memndukung propaganda serta pemutaran film-film kemenangan tentara.
Trilogi pembangunan yang berisi tentang stabilitas nasional, pemerataan dan pertumbuhan
ekonomi dimanipulasi dengan tujuan dapat dilakukan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan
setelah adanya pertumbuhan ekonomi (kue nasional) dilakukan suatu pemerataan kesejahteraan
nasional. Pemasyarakatan pancasila berarti segala dasar visi dan tujuan organisasi berdasarkan
pancasila. Contoh sederhananya adalah program P4 (Pedoman Pengalaman Penghayatan
Pancasila), setiap orang harus mengetahui dan mengamalkan isi dari P4 tersebut. Padahal itu
adalah salah satu bentuk keotoriteran masa Orde Baru. Pembunuhan massal dan penghilangan
manusia saat itu sering terjadi, bagi masyarakat yang menentang berdirinya rezim ini maka akan
ditindaklanjuti oleh aparat pemerintahan. Seperti Tragedi Tanjung Priok tahun 1984 dimana
pembantaian dan pembunuhan massal dilakukan oleh tentara militer karena menentang asaz
pancasila. Awal dari pemicu kasus ini sebenarnya adalah penghinaan terhadap mushola AsSa’adah oleh Sersan Satu Hermanu. Bahkan, polisi pun dilarang keluar dari markasnya oleh
tentara. Tentara sangat berperan dan mendominasi kekuasaan di era-orde baru. Dari contoh kasus
diatas dapat membuktikan bahwa militer dapat bertindak menyelewengkan kekuasaan dan masuk
ke dalam tatanan politik dan sipil. Sampai akhirnya mahasiswa turun ke jalan untuk menurunkan
Soeharto dari kursi jabatannya.
Peran mahasiswa dalam menggalakan reformasi dalam pemerintahan otoriter menuju demokrasi
sangat besar. Berbagai pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan karena kesewenang-wenangan
militer masih membekas di hati masyarakat hingga sekarang. Nama militer masih terdengar
karena citra tindak kekerasan dan kekejamannya. Namun setelah reformasi 1998 berlangsung,
terjadi Reposisi yang dimaksud adalah pemisahan secara menyeluruh antara kewenangan TNI dan
Polri sehingga secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Masa
orde baru memberi pelajaran untuk masyarakat dan khususnya mahasiswa sebagai generasi
pembangun bangsa untuk memperbaiki sistem politik yang ada di Indonesia untuk tidak
sewenang-wenang dalam memegang kursi pemerintahan. Pemegang kursi pemerintahan
seharusnya adalah orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai bangsa Indonesia dan
berorientasi untuk memajukan bangsa Indonesia. Supremasi militer yang terjadi pada masa Orde
Baru memberi pelajaran juga kepada militer untuk menjadi militer professional dimana militer
berkewajiban untuk melindungi pertahanan dan keamanan bangsa dan mengetahui serta
menjalankan tugas yang diberikan dari negara.
F. Militer di Era Reformasi
Pergerakan Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal
dalam organisasi hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi organisasi TNI adalah
mengubah nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah restrukturisasi dan
reorganisasi TNI. Misalnya, likuidasi beberapa organisasi ABRI yang dianggap tak sesuai dengan
semangat reformasi seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru
mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil, likuidasi Kepala Staf Komando
Teritorial (Kaster) TNI, serta likuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang
membuat militer mengontrol kehidupan politik.
Reformasi mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah reaktualisasi, reposisi dan
redefinisi peran ABRI 1999. Pertama, mengubah cara-cara pendekatan secara langsung menjadi
tidak langsung. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah
dari konsep harus selalu di depan menjadi tidak harus selalu di depan. Keempat, kesiapan untuk
melakukan pembagian peran dengan mitra non ABRI. Empat hal yang dicanangkan oleh
Panglima ABRI Jenderal (TNI) Wiranto dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh hati.
Makna substansial Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya superior, serba lebih
tahu urusan negara dan dengan sendirinya mensubordinasi politik sipil. Pola pikir seperti ini yang
masih membuat lambatnya perubahan yang terjadi di internal militer. Demokratisasi politik
tingkat nasional kemudian melahirkan produk regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem
keamanan nasional. Ini tercermin dalam langkah positif yang berarti berupa pemisahan TNI dan
Polri, April 1999. tindakan kepolisian akan lebih oleh aparat kepolisian tanpa harus khawatir
dengan intervensi kepentingan militer. Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP MPR No. VI Tahun
2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran TNI dan Polri.
Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk ketentuan Pasal 30
mengenai pertahanan dan keamanan negara yang menegaskan pembedaan fungsi pertahanan dan
keamanan. Langkah-langkah ini sempat menimbulkan polemik. Kepentingan pemisahan
organisasi antara TNI dengan Polri adalah sesuatu yang mendesak. Namun sebagian kalangan
menilai pemisahan tugas dan peran yang dikotomis antara pertahanan dan keamanan, berpotensi
menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional dan
potensi konflik antara personel Polri dan TNI di lapangan. Arus reformasi juga mulai mengurangi
dominasi Angkatan Darat (AD) dalam TNI. Pada era Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI
selalu berasal dari AD.
Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden, mendobrak tradisi ini dengan mengangkat
seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI. Presiden Megawati Soekarnoputri
yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari AD.
Di penghujung pemerintahan Megawati, Undang-undang 34/2004 tentang TNI disahkan dan
menyatakan bahwa posisi Panglima TNI dijabat secara bergantian. Upaya melanjutkan
kepemimpinan TNI di bawah Jenderal (AD) Ryamizard Ryacudu sempat memicu kontroversi,
saat Presiden hasil Pemilu 2004 Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan Marsekal TNI
AU Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI. pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan
maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun
jauh-jauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah
memperingatkan mengenai netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota
TNI aktif untuk ikut mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa
anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur
ataupun walikota/bupati.
Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan regulasi politik yang
memang masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam
pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit
(anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan
politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh
mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang
bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang
membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat
untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum. Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih
merupakan masalah pokok. Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau
merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan
bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan sipil militer dalam sistem
negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain berperan dalam pertahanan negara
juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa figur-figur militer masih terus tergoda
untuk masuk ke wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan
paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam membaca
perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring dengan kesadaran dan
minat pemilih.
Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada. Contohnya
adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum Gumelar pada
pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa
Timur, disusul Letkol (Bais) Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di
Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni Letjend
TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahankekalahan ini menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur
yang berlatar belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan kader-kader
terbaiknya untuk bertarung dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan
berkontribusi lebih banyak jika fokus pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita
sebagai alat pertahanan negara. Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya
kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi politik dalam mencetak kader
yang berkualitas, selalu membuat partai masih mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal
luas oleh masyarakat. Dalam hal ini figur militer selalu difasilitasi dan ditarik-tarik oleh partai
untuk masuk dalam kontestasi politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang
memang kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi
TNI yang memangkas tradisi politik TNI.
Secara institusi TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh
regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari banyaknya
purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden 2009
maupun yang ikut dalam pengurus partai politik. Konsep kemanunggalan yang disalah artikan.
Tidak ada yang memungkiri, pada saat perang kemerdekaan militer Indonesia adalah satu
kesatuan, saling bahu membahu melawan kolonialisme Belanda pada saat itu, namun fakta
sejarah ini tidak bisa kemudian diklaim sebagai hak sejarah oleh TNI. Historical fallacies
(kesalahan sejarah) telah menumbuhkan persepsi yang salah, bahwa fakta sejarah harus
diperlakukan sebagai hak sejarah. Sekalipun barangkali fakta sejarah menunjukkan, TNI adalah
anak kandung revolusi dan tak terpisahkan dari rakyat, sehingga menyandang peran ganda
sebagai militer profesional sekaligus sebagai kekuatan sosial politik fakta tersebut tidak bisa
dengan sendirinya menjadi hak Konsep kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru
melegitimasi peran sosial politik TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan historis TNI
seharusnya bisa lebih dinamis, konsep pertahanan modern dengan melibatkan rakyat dalam
definisi konvensional adalah paradigma usang.
Perlu digagas hubungan sipil militer, jarak, tugas dan tanggungjawab yang jelas. TNI dan
masyarakat sipil di negara demokrasi tidaklah berada pada posisi sejajar, tapi masyarakat sipil
adalah pemegang kedaulatan tertinggi, termasuk supremasi terhadap militer melalui mekanisme
politik yang ada. Persoalan paradigmatik ini kemudian berujung pada kekeliruan doktrin pada
level operasional (doktrin pelaksanaan) yang dikenal sebagai doktrin Tri Dharma Eka
Karya/Tridek (pengganti doktrin Catur Dharma Eka Karya/Cadek). Paradigma lama tanpa usaha
melakukan redefinisi terhadap konsep kemanunggalan TNI dengan rakyat menjadikan pertahanan
Indonesia masih mengandalkan unsur masyarakat sipil dalam konsep perang rakyat semestanya.

Bab IV/G.Penutup:
Posisi Militer yang sebenarnya bila ditandai dengan beberapa karakter: Pertama, militer
mempunyai orientasi profesional yakni tidak cenderung melakukan intervensi dan dominasi
dalam kehidupan politik; Kedua, militer hanya menjalankan fungsi pertahanan-kemanan; ketiga,
secara institusional militer bertindak sebagai lembaga yang bertugas sebagai aparat negara, bukan
sebagai komponen pemerintahan; keempat, militer sebagai lembaga yang didukung oleh
pemerintah mengembangkan militerisasi dalam pengertian build-up, yakni membangun industri
militer untuk kepentingan pertahanan-keamanan; kelima, ideologi militerisme ke dalam wilayah
kehidupan masyarakat relatif terbatas; keenam, militer berada dalam posisi subordinat yang
tunduk pada supremasi sipil dalam pemerintahan; ketujuh, derajat kontestasi militer atau
keterlibatan dalam pembuatan keputusan nasional sangat terbatas dalam bidang pertahanankeamanan dan kebijakan luar negeri; kedelapan, hak-hak istimewa militer dalam menggunakan
kekuatan senjata (perang) sangat terbatas, dibawah kontrol sipil; kesembilan, kekuatan sipil, baik
masyarakat sipil maupun masyarakat politik, dalam posisi dominan yang mengontrol sepakterjang militer.
Dari Pembahasan Diatas Terlihat Militer sangat Mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa
orde baru dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer juga
mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998 serta mendapat perlakuan istimewa
dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang fluktuatif, militer mendapatkan jatah melalu
mekanisme pengangkatan. Kondisi ini menyebabkan pelbagai dampai, khususnya terkait
tersumbatnya peluang demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta
menurunkan profesionalisme militer, ini bisa dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia
memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah dan sistim pertahanan yang lemah. Lemahnya
sistim pertahanan menjadi salah satu faktor melemahnya posisi Indonesia dalam melakukan
diplomasi dengan negara-negara tetangga. Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan
Indonesia disebabkan 2 faktor yakni faktor internal; hasrat kekuasaan para perwira termasuk
didalam upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer
khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi prasyarat
pembangunan. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kegagalan pemerintahan orde lama.
(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis ekonomi).

H. Daftar Pustaka:

# Scribd, Dwifungsi ABRI Sebagai Bentuk Praktek Politik Praktis Militer di Indonesia.
#Pertahanan Semesta dan Wajib Militer: Pengalaman Indonesia dan Negara Lain Beni
Sukadis, Eric Hendra Perpustakaan Universitas Paramadina.
#Hubungan-hubungan Sipil-militer : Perspektif Regional - JANOWITZ, Morris.
#Peran militer dalam ketahanan nasional : studi kasus bidang hankam di Indonesia, 19672000.
#Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik - Liddle, R. William.

More Related Content

What's hot

Implementasi Pancasila di Era setelah Reformasi
Implementasi Pancasila di Era setelah ReformasiImplementasi Pancasila di Era setelah Reformasi
Implementasi Pancasila di Era setelah Reformasi
Parningotan Panggabean
 
Perkembangan politik di indonesia
Perkembangan politik di indonesiaPerkembangan politik di indonesia
Perkembangan politik di indonesia
Operator Warnet Vast Raha
 
Pancasila dalam arus sejarah bangsa indonesia
Pancasila dalam arus sejarah bangsa indonesiaPancasila dalam arus sejarah bangsa indonesia
Pancasila dalam arus sejarah bangsa indonesia
Deden Reinaldi
 
Asas Tunggal Pancasila
Asas Tunggal PancasilaAsas Tunggal Pancasila
Asas Tunggal Pancasila
Alvianocto
 
Bab iv
Bab ivBab iv
Bab iv
febri samar
 
Keadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaan
Keadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaanKeadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaan
Keadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaanVJ Asenk
 
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASIMASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
 
Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"
Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"
Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"
bawon15505124020
 
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
Ariz Frends
 
Pancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baruPancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baru
Riskiana Riskiana
 
Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...
Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...
Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...
avandiliakireina
 
Suharto dan g30 s
Suharto dan g30 sSuharto dan g30 s
Suharto dan g30 s
cloudpapua29
 
Makalah pancasila
Makalah pancasilaMakalah pancasila
Makalah pancasila
Mara Sutan Siregar
 
Pers pada Masa Orde Baru
Pers pada Masa Orde BaruPers pada Masa Orde Baru
Pers pada Masa Orde Baru
Rosi Nurdian
 
Makalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesia
Makalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesiaMakalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesia
Makalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesiamunziraja
 
Perbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baru
Perbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baruPerbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baru
Perbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baru
dionadya p
 
Pers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baruPers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baru
Ody Hari
 
Membedah unsur kebahasaan
Membedah unsur kebahasaanMembedah unsur kebahasaan
Membedah unsur kebahasaan
Rismatus Fadila
 

What's hot (19)

Implementasi Pancasila di Era setelah Reformasi
Implementasi Pancasila di Era setelah ReformasiImplementasi Pancasila di Era setelah Reformasi
Implementasi Pancasila di Era setelah Reformasi
 
Perkembangan politik di indonesia
Perkembangan politik di indonesiaPerkembangan politik di indonesia
Perkembangan politik di indonesia
 
Pancasila dalam arus sejarah bangsa indonesia
Pancasila dalam arus sejarah bangsa indonesiaPancasila dalam arus sejarah bangsa indonesia
Pancasila dalam arus sejarah bangsa indonesia
 
Asas Tunggal Pancasila
Asas Tunggal PancasilaAsas Tunggal Pancasila
Asas Tunggal Pancasila
 
Bab iv
Bab ivBab iv
Bab iv
 
Keadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaan
Keadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaanKeadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaan
Keadaan ekonomi indonesiapada masa awal keerdekaan
 
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASIMASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
 
Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"
Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"
Presentasi Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "ORDE LAMA"
 
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
PERBANDINGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DAN REFORMASI MELIHAT DARI SYA...
 
Pancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baruPancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baru
 
Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...
Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...
Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Dan HAM Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Da...
 
Suharto dan g30 s
Suharto dan g30 sSuharto dan g30 s
Suharto dan g30 s
 
Makalah pancasila
Makalah pancasilaMakalah pancasila
Makalah pancasila
 
Pers pada Masa Orde Baru
Pers pada Masa Orde BaruPers pada Masa Orde Baru
Pers pada Masa Orde Baru
 
Makalah orde lama
Makalah orde lamaMakalah orde lama
Makalah orde lama
 
Makalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesia
Makalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesiaMakalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesia
Makalah pancasila sebagai dasar negara republik indonesia
 
Perbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baru
Perbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baruPerbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baru
Perbedaan pelaksanaan demokrasi di orde lama dan orde baru
 
Pers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baruPers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baru
 
Membedah unsur kebahasaan
Membedah unsur kebahasaanMembedah unsur kebahasaan
Membedah unsur kebahasaan
 

Similar to Document (8)

Soeharto1
Soeharto1Soeharto1
Soeharto1
La Mone
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter iLa Mone
 
Soeharto before
Soeharto beforeSoeharto before
Soeharto beforeLa Mone
 
Peran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politikPeran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politik
Hasanuddin University
 
Peran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politikPeran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politik
Fusuy Sayi
 
Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA
Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA
Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
RPJP_2005-2025.pdf
RPJP_2005-2025.pdfRPJP_2005-2025.pdf
RPJP_2005-2025.pdf
MurtantiJaniRahayu
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiadedyprasetyo01
 
Aksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarno
Aksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarnoAksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarno
Aksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarno
ANJU NOFAROF HASUDUNGAN
 
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan perPERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
syaukanisaputra
 
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.PdMateri akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
haidzarzamany21
 
Tm 17 militer dalam sistem politik indonesia
Tm 17 militer dalam sistem politik indonesiaTm 17 militer dalam sistem politik indonesia
Tm 17 militer dalam sistem politik indonesia
Bagus Aji
 
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3
AbdulLatif324
 
ANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptx
ANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptxANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptx
ANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptx
MuhammadHisyamYuckyK
 
DINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptx
DINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptxDINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptx
DINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptx
amelprakerin
 
Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"
Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"
Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"
bawon15505124020
 
Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...
Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...
Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...
RiyandeeProject
 
Birokrasi dan partai politik
Birokrasi dan partai politikBirokrasi dan partai politik
Birokrasi dan partai politik
Yasirecin Yasir
 
Bab 9 sni 6
Bab 9 sni 6Bab 9 sni 6
Bab 9 sni 6
Putra Sanubari
 
Sejarah demokrasi di indonesia
Sejarah demokrasi di indonesiaSejarah demokrasi di indonesia
Sejarah demokrasi di indonesia
_aima
 

Similar to Document (8) (20)

Soeharto1
Soeharto1Soeharto1
Soeharto1
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
Soeharto before
Soeharto beforeSoeharto before
Soeharto before
 
Peran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politikPeran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politik
 
Peran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politikPeran militer dalam sistem politik
Peran militer dalam sistem politik
 
Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA
Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA
Perkembangan politik di indonesia STIP KABUPATEN MUNA
 
RPJP_2005-2025.pdf
RPJP_2005-2025.pdfRPJP_2005-2025.pdf
RPJP_2005-2025.pdf
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesia
 
Aksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarno
Aksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarnoAksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarno
Aksi aksi kerjasama tni ad dan kami jatuhkan soekarno
 
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan perPERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
 
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.PdMateri akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
 
Tm 17 militer dalam sistem politik indonesia
Tm 17 militer dalam sistem politik indonesiaTm 17 militer dalam sistem politik indonesia
Tm 17 militer dalam sistem politik indonesia
 
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3
Demokrasi pada tahun 1959-1966 XI MIPA 3
 
ANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptx
ANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptxANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptx
ANCAMAN BERDIMENSI POLITIK.pptx
 
DINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptx
DINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptxDINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptx
DINAMIKA PERWUJUDAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN.pptx
 
Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"
Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"
Makalah PKN "Masalah HAM di Orde Lama"
 
Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...
Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...
Studi perbandingan pemerintahan dan studi perbandingan politik merupakan sebu...
 
Birokrasi dan partai politik
Birokrasi dan partai politikBirokrasi dan partai politik
Birokrasi dan partai politik
 
Bab 9 sni 6
Bab 9 sni 6Bab 9 sni 6
Bab 9 sni 6
 
Sejarah demokrasi di indonesia
Sejarah demokrasi di indonesiaSejarah demokrasi di indonesia
Sejarah demokrasi di indonesia
 

Document (8)

  • 1. Perbandingan Peran Militer Refor masi. Dalam Or de Bar u Dengan Bab I/Pendahuluan. A. Pendahuluan. Budaya politik adalah suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan dalam sebuah Negara dibangun melalui Supremasi sipil dengan sebuah budaya politik yang baik. Budaya politik yang baik dapat diwujudkan ketika mesin politik (partai) dapat menyentuh akar rumput dan melakukan kaderisasi politik yang baik. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada partai politik yang mengakar dan memberikan budaya politik yang baik ke bawah. Partai-partai politik yang ada saat itu antara lain Serikat Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional Mahasiswa (PNI), dan lain-lain. Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki massa yang sangat besar saat itu. Akan tetapi, banyaknya anggota partai tersebut tidak diimbangi dengan internalisasi budaya politik yang baik ke seluruh anggotannya. Banyaknya anggota partai itu lebih dikarenakan variabel lainnya yang berpengaruh seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya terutama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya. Partai-partai lain juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir memang dikenal sebagai partai kalangan intelektual. Namun, citra partai ini tidak menjadikan budaya politik partai itu dikatakan baik karena intelektual para pimpinan partainya tidak diiringi dengan budaya politik yang baik sehingga terbukti bahwa partai ini hanya memiliki kader-kader berkualitas di tingkat pimpinannya tetapi tidak memiliki sentuhan politik di lapisan akar rumput. Melalui Gambaran lintasan sejarah di atas memberikan suatu analisa tentang masuknya militer dalam dunia politik Faktor dominan masuknya militer dalam dunia politik adalah budaya politik yang kurang dibangun dengan baik oleh partai-partai politik. Ketidak becusan kalangan sipil dalam mengurus Negara membuat kalangan militer berinisiatif untuk masuk (intervensi) kedunia politik. Masuknya militer dalam dunia politik disebut dengan Pretorian. Banyak teori yg mengeratkan Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia militer memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun Masuknya militer dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan untuk melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa mengancam kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bias mengontrol militer dengan sebaik-baiknya. Dilihat begitu pentingnya peranan Militer terhadap stabilitas bangsa, perlu kiranya dipahami, seperti apakah peranan militer di Indonesia khususnya pada masa Orde Baru dan di Era Reformasi ini. Hal ini berguna untuk dapat membangun sebuah budaya politik yang baik dan diharapkan mampu memberikan solusi alternatif tentang harus bagaimana kekuasaan memposisikan militer dalam peranannya sebagai sebuah kekuatan. Dalam makalah ini saya berusaha menjelaskan, bagaimana peranan militer pada kedua masa tersebut diatas. Mulai dari bentuk peranannya, legitimasi yang didapat, dan dampak dari peranan militer terhadap politik. B.Posisi Militer Pada Masa Orde Baru .
  • 2. Dilihat Dari Sejarahnya Keterikatan ABRI dalam politik terlihat yaitu pada prakteknya militer bukan saja di perbolehkan mengikuti dunia politik, melainkan juga ”bersama kekuatan sosial politik lainnya” terlibat dalam kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal empirik. Militer secara kelembagaan atau individu terlibat dalam berbagai kegiatan seperti: Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui jalur pengangkatan meskipun bukan partai tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR RI yang mengesahkan kedudukan tersebut. Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik TNI di wujudkan melalui Golkar. Disamping untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi, politisi Orde Baru juga berusaha melahirkan kekuatan politik yang dominan. TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi juga di eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di pemerintahan, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan. Dalam usaha menopang kesejahteraan keluarga TNI, Presiden Soeharto juga banyak memberikan kesempatan untuk berbisnis. Disamping tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi modernisasi dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama TNI.Dilihat dari Dominasi dalam dwi fungsi ABRI memang berada pada angkatan darat, hal tersebut terjadi karena sejarah panjang politik di Indonesia. Kegagalan kekuatan politik nasionalis melawan kekuatan politik Islam dalam pemerintahan Soekarno, telah menjadikan pamor kekuatan militer naik. apa yang di lakukan PKI pada tahun 1965, membuat angkatan darat menjadi mobilisator dari masyarakat untuk menghalau kekuatan PKI, telah membawa nama militer (AD) semakin dicintai pada saat itu. Terutama dari kalangan priyayi dan santri dalam usaha menandingi kekuatan komunis. Percaturan politik di Indonesia sejak tahun 1959 hingga terjadi perebuatan kekuasaan oleh PKI sangat didominasi oleh Soekarno sampai dengan hal-hal yang sangat sepele. B.1. Tentang Dwi Fungsi ABRI. Merinkas Sekilas tentang Dwifungsi ABRI yang dimulai dari konsep pemikiran Jalan Tengah yang dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H.Nasution pada pidatonya di AMN Magelang pada bulan November 1958. Dalam konsep jalan tengah ini dijelaskan perlunya keterlibatan militer selaku perseorangan untuk turut secara aktif menyumbangkan tenaganya diluar bidang militer yang dikemudian hari berkembang menjadi doktrin Dwifungsi yang ternyata menyimpang menjadi penekanan peranan politik lembaga TNI. Dari perkembangan sejarah lahirnya Dwifungsi pada masa Demokrasi terpimpin ke Dwifungsi era Orde Baru diwarnai dengan dinamika adanya politik Balance of Power Presiden Soekarno yang kemudian adanya Gerakan 30 Septembernya PKI yang disusul dengan lahirnya Orde Baru. Dimasa Orde Baru Doktrin Dwifungsi yang semakin gencar dilakukan oleh TNI menghadapi berbagai kritik baik dari dalam maupun dari luar tubuh TNI, Hal ini lebih disebabkan oleh karena makin merambahnya peranan TNI dalam posisi posisi sipil baik dalam pemerintahan maupun dalam badan legislatif. Dilihat Pada masa masa menjelang runtuhnya rezim orde baru, kritikan-kritikan mengenai Dwifungsi makin gencar disuarakan dari dalam tubuh TNI itu sendiri diatandai dengan semakin beraninya para perwira TNI yang menyuarakan tentang peninjauan ulang doktrin Dwifungsi, tidak terlepas para purnawirawan sepert Jendral Soemitro dan bahkan Jendral A.H.Nasution selaku peletak dasar Dwifungsi turut bicara karena kondisi doktrin dwifungsi yang makin menyimpang dari arah semula. Dalam Munculnya konsepsi Empat Paradigma Baru untuk menggantikan Dwifungsi pada masa pasca lengsernya kepemimpinan Soeharto yang telah selama 32 tahun memimpin dengan ditopang oleh TNI sebagai alat kekuasaan menunjukan bahwa sebetulnya konsep Dwifungsi belum sepenuhnya hilang seperti yang diharapkan oleh public terutama kaum intelektual sipil yang dimotori mahasiswa. Empat Paradigma Baru tidak lebih dari
  • 3. sebuah bentuk Dwifungsi yang diperlunak, hal ini menunjukan bahwa TNI masih berusaha mempertahankan posisinya sebagai kekuatan politik. Dan Angkatan bersenjata selaku salah satu komponen dalam sebuah negara memiliki peranan yang berbeda beda dalam prakteknya di dunia. Katakanlah negara-negara Eropa Barat dan Amerika serikat yang menganut asas Supremasi sipil menempatkan angkatan bersenjatanya hanya manjalankan fungsi Pertahanan saja. Lain halnya di negara-negara Amerika latin, Asia, Afrika dan timur tengah, selain menjalankan fungsi Pertahanan, Angkatan bersenjata juga menjalankan peran politik yang cukup besar. Dimana tentara tampil sebagai aktor politik utama yang sangat dominan yang secara langsung menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan kekuasaan mereka. Kondisi tersebut diistilahkan oleh Eric A. Nordlinger dalam bukunya “Militer dalam Politik” sebagai Pretorianisme yaitu campur tangan militer dalam pemerintahan. Berkenaan dengan konsep supremasi militer dan supremasi sipil DR Salim Said menjadikan konsep tersebut sebagai landasan teori dalam penulisan bukunya. Dengan berlandaskan teori tersebut DR.Salim Said mengupas tuntas tentang peranan TNI dalam kancah politik baik pada masa negara-negara Eropa Barat dan Amerika mendukung posisi TNI dalam pemerintahan sebagai upaya menghalau pengaruh komunis pada masa perang dingin hingga kebalikannya yaitu dimana Amerika dan Eropa Barat mengecam keberadaan TNI dalam pemerintahan dan digaungkannya asas supremasi sipil oleh mereka dimasa pasca perang dingin. Pada masa Soeharto tampil mengendalikan kekuasaan, militer mengukuhkan keyakinan dan kebenaran dwifingsi yang kemudian secara resmi dinyatakan sebagi doktrin, yang secara eksplisit menolak pandanagn yang secara tegas mengharuskan militer mengambil jarak dari kehidupan politik, sembari menyatakan militer sebagai penyelamat negara dan penjaga idiologi negara, Pancasila. Dengan kata lain Dwifungsi dikembangkan menjadi sejumlah asumsi dasar sebagai justifikasi peran politik militer, yang mencakup: Nilai kesejarahan, dalam hal ini militer Indonesia dipersepsikan sebagai institusi yang memiliki sejarah sendiri sebagai tentara rakyat yang berperan besar dalam menghadapi perlawanan militer ; Mengamankan Idiologi negara, dalam hal ini militer bertanggung jawab mengamankan ideologi negara, Pancasila; Bentuk Negara, Militer merumuskan pandangan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang diatur dalam system kekeluargaan. Militer dan sipil adalah satu keluarga, yang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Berangkat darisejumlah asumsi dasar tersebut menjadikan pihak militer dengan penuh keyakinan menerapkan kebijakan dwifungsi yang dengan praktek ini membawa TNI kemudian menjadi bagian penting dalam system kekuasaan di Indonesia.Militer muncul sebagai Power Elite (Zainuddin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai politik dalam Negara Transisi, 2000). Jika Ditinjau dari sudut Sosiologis, Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik memberikan definisi atas istilah Sosiologi Politik sebagai suatu ilmu kekuasaan didasarkan pada pendekatan sosiologi. Dua faktor penyebab antagonisme politik yaitu sebab sebab individu (individual dan psikologis) dan sebab sebab kolektif (perjuangan kelas, konflik rasial, konflik antar kelompok horisontalantara kelompok kelompok territorial), dalam buku yang ditulis oleh DR. Salim Said terlihat bahwa munculnya kekuatan militer dalam kancah perpolitikan tidak terlepas dari sebab sebab kolektif dimana militer menganggap pihak politisi sipil tidak mampu melaksanakan perannya di kancah politik sehingga menuntut dirinya untuk tampil menggantikan posisi mereka. Dalam Doktrin Dwifungsi yaitu fungsi sebagai kekuatan sosial politik dan fungsi sebagai kekuatan pertahan dan keamanan. Seperti pengungkapan tindakan tindakan TNI dalam menghadapi hakekat ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia baik berupa subversi, gangguan kamtibmas, ancaman dari luar negeri, pelanggaran wilayah maupun kerawanan yang ditimbulkan oleh ekstrim kiri maupun ekstrim kanan.
  • 4. Upaya yang dilakukan TNI dalam rangka pemantapan ketahanan nasional hanya dilihat dari perspektif kedudukan TNI sebagai fungsi kekuatan sosial politik, bukan dari fungsi pertahan keamanan sebagaimana konsep dwifungsi. Dalam Kepemimpinan TNI dalam kancah politik Indonesia , dinyatakan bahwa keterlibatan politik militer di Indonesia dimulai sejak pertengahan tahun limapuluhan dan mencapai puncaknya pada tahun 1966 seiring dengan makin mundurnya peran politik golongan sipil. Kemunduran kekuatan sipil tersebut pada akhirnya mengubah hubungan kekuatan antara sipil dan militer kearah yang menguntungkan pihak TNI. Keadaan inilah yang digunakan oleh TNI untuk memperbesar peranan politik mereka dalam pemerintahan. Kondisi ini juga diakui oleh Letjen TNI Agus Widjojo, bahwa memang telah terjadi over reach (kebablasan) tentara dalam fungsi-fungsi non militer di masa lalu sebagai akibat dari: Peran generasi 1945 yang berjuang dengan cara gerilya; kesiapan tentara menduduki posisi-posisi administrative yang ditinggalkan pejabat colonial Belanda; pandangan diri (self perception) tentara sebagai agen pembangunan (agent of development) dan agen persatuan nasional (agent of nation unity), serta pengawal bangsa (guardian of the nation; persepsi mengenai demokrasi parelmenter yang gagal memajukan kemakmuran bangsa di tahun lima puluhan; kekuasaan yang diberikan kepada militer dalam masa SOB (martial Law) sejak terjadinya pemberontakan regional lemahnya pengawasan system politik. B.2. Posisi Militer Pada Masa Reformasi. Setelah melalui masa pemerintahan yg berjalan 30 tahun akhirnya Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie (1998-1999), Abdurahman Wahid (1999-2000) dan Megawati (2002-kini). Masa yang oleh sebagian kalangan disebut masa reformasi ini “sempat” mendorong para militer TNI untuk meninggalkan perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan melemahkan bargaining position militer di arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer dalam bidang politik kembali menguat. Dilihat Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan kelompok sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan militer. Selain itu, kelompok sipil cenderung menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas turunya Soeharto dan bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut nampat pada TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih diperkenankan duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut: “Keikutsertaan Tentara Nasional dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan 2009.” Selain alasan tersebut diatas, ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di bidang politik berakhir, “nyaris hilang”. Pada awal reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini ditandai dengan digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati, gubenur, menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak dijabat oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam lembaga perwakilan rakyat juga mulai dibatasi. Bab 2/C. Identifikasi Masalah. Masalah Perpolitikan Indonesia, lebih diakibatkankan adanya konflik yang terjadi diantara Soeharto Dengan konflik internal Angkatan Darat. Ketika Soeharto sudah sulit untuk mengontrol
  • 5. militer dan lambat laun tidak mendapatkan dukungan penuh. Soeharto mencoba melakukan perombahan struktur militer dengan dekat dengan angkatan 1972 (mempersiapkan Wiranto sebagai putra mahkota dalam struktur tertinggi militer) dan mengalihkan dukungan dari militer menjadi kalangan Islam dengan pendirian ICM.. • Meninjau Berdasarkan latar belakang di atas inti dari identifikasi pokok permasalahannya ialah: perbandingan partisipasi politik yg bagaimanakah militer di zaman orde baru dan era reformasi? D. Kerangka Pemikiran Kontrol Sipil atas Militer Sebenarnya Posisi militer adalah berada di bawah kontrol sipil secara demokratis. Dengan kalimat lain, hubungan sipil-militer (HSM) yang demokratis terjadi bila militer dikendalikan oleh sebuah kontrol sipil secara demokratis. Secara teoretis, kontrol sipil adalah sederhana: Semua keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional, tidak ditentukan oleh militer sendiri, melainkan diputuskan oleh pejabat sipil yang terpilih secara demokratis. Pada prinsipnya, kontrol sipil adalah absolut dan mencakup keseluruhan. Tidak ada keputusan atau tanggung jawab yang diberikan kepada militer kecuali secara ekspresif atau implisit didelegasikan kepadanya oleh pemimpin sipil. Bahkan keputusan-keputusan perintah pemilihan strategi, operasi apa yang digunakan dan kapan, taktik apa yang dipakai, manajemen internal militer berasal dari kekuasaan sipil. Mereka didelegasikan untuk menyeragamkan personel hanya untuk alasan-alasan kenyamanan, tradisi, keefektifan, atau pengalaman militer dan keahlian. Kaum sipil membuat semua peraturan, dan mereka dapat mengubahnya kapanpun. Tipe Militer Dalam Sejarahnya Pretorian dirumuskan Amos Perlmutter sebagai situasi dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuataan. Pretorian terbagi dalam dua jenis yaitu pretorian historis dan pretorian modern. 1. Pretorian historis dimulai dari tentara ibukota Romawi yang selalu mendesakkan calon pemimpin negara untuk disetujui senat. Pretorianisme jenis ini kemudian berkembang subur di masyarakat feodal yang berciri patrimonial. Di dalam masyarakat ini tentara menjadi alat utama pendukung kekuasaan raja atau bangsawan. Hubungan antara tentara dengan penguasa didasarkan pada orientasi tradisi. Dalam pretorianisme modern, tentara justru menentang penguasa dan menawarkan jenis kekuasaan baru. Tentara dalam pretorianisme modern cenderung campur tangan dalam pemerintahan dan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif. 2. Pretorianisme modern terbagi atas 3 bentuk yaitu otokrasi militer, oligarki militer dan pretorianisme otoriter. Dalam otokrasi militer, pimpinan pemerintahan dipegang oleh seorang perwira militer yang sekaligus menjadi penguasa tertinggi. Dalam rezim ini, pemilu ditiadakan. Sedangkan dalam oligarki militer, pemerintahan dijalankan oleh beberapa orang, dimana eksekutif terdiri dari para perwira militer sedangkan eksekutif utama diduduki oleh pensiunan perwira militer atau orang sipil yang didukung militer secara penuh. Rezim ini hanya bisa bertahan selama mendapat dukungan dari militer dan selalu melakukan mobilisasi dukungan. Rezim ini juga hanya kadang-kadang saja mengadakan pemilu. Ada pun dalam pretorianisme otoriter, pemerintahannya merupakan fusi militer dan sipil dengan kontrol yang sangat sedikit
  • 6. atau tidak ekstrim. Kombinasi dari ketiga bentuk pretorianisme modern itu bisa berwujud rezim militer otoriter, dimana tentara, birokrat, manajer dan tehnokrat memainkan peranan yang penting. Birokrasi terdiri dari militer dan sipil sedangkan kepala pemerintahan bisa dari sipil murni. Dukungan rezim ini adalah lembaga militer. Rezim ini juga mengusahakan dukungan politik dari luar negeri. Pemilu diadakan dengan pembatasan-pembatasan dan masih bisa menolerir adanya struktur politik nasional yang tidak mendukung rezim. Sistematika Penulisan. Dalam penyusunan Tugas ini pembahasan dan penganalisaannya diklasifikasikan secara sistematis kedalam Beberapa Bab-bab yaitu: • Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini mengemukakan tentang Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan,Dan Kerangka Pemikiran. • Bab II : Identifikasi masalah. Dalam pembuatan tugas akhir ini, penulis membutuhkan data-data yang berhubungan dengan kajian yg ditulis, yaitu bersumber dari studi pustaka. • Bab III : Pembahasan. Dalam bab ini diuraikan tentang segala sesuatu yang terkait dengan Perbandingan Kedua Era Tersebut dengan melakukan kajian Hingga Selesai Dibahas Secara Tuntas. • Bab IV : Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan Daftar Pustaka. BAB 3/E. Pembahasan. Partisipasi Politik Militer di Zaman Orde Baru dengan Era Reformasi. Memulai dari bagaimana militer masuk ke politik dilanjutkan dengan lahirnya dwi fungsi, peran politik militer yang meluas dan kebijakan-kebijakan, jabatan-jabatan strategis banyak di duduki oleh militer, dan pendebatan konflik memakai cara-cara militer. Tetapi seiring adanya refomasi terjadi reformasi dan demokratisasi termasuk di dalamnya menuntut dwi fungsi ABRI dihapus dan militer di reformasi dan kemudian menjalankan fungsi-fungsi militer hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan. E.1. Militer Di Era Orde Baru. Setelah Diluncurkanya Surat Super Semar, Soeharto dimandatkan untuk menjadi pemimpin pemerintahan. Saat itu pula militer berperan penting dalam memegang tatanan kekuasaan politik Indonesia. Pada masa rezim orde baru, militer mengintervensi dari seluruh aspek politik dalam pemerintahan. Politik Soeharto yang menerapkan demokrasi pancasila (1965-1998) dan kebijakan sentralisasi memberikan peluang besar untuk menduduki kekuasaan politik. Oleh karena itu, militer pada masa itu dijadikan kekuatan pertahanan dan keamanan dan sosial politik yang disebut pretorian. Militer pretorian memiliki andil dalam politik sangat besar bahkan lebih dominan dalam mengatur kekuasaan pemerintah dibandingkan sipil sehingga kekuasaan sipil sangat terbatas. Intervensi politik dalam pemerintahan pun tinggi dan permanen sampai diakhiri
  • 7. oleh revolusi Mei 1998 yaitu jatuhnya rezim orde baru. Masa rezim orde baru juga memiliki pola hubungan pola supremasi militer dimana militer memegang peranan penting dalam kehidupan. Bentuk-bentuk intervensi militer terhadap politik pada masa orde baru misalnya tradisi intervensi militer yang diwarisi oleh masa demokrasi terpimpin dimana militer mempunyai hak yang sama dalam pemilu. Intervensi militer berlanjut pada demokrasi pancasila yang didirikan “soeharto” bahkan militer menempati jatah kursi 100 buah dalam parlemen. Dengan kekuasaan tersebut, militer dapat dengan bebas melakukan apa saja bahkan dengan penyiksaan dan pembunuhan massal peristiwa berdarah tanjung priok. Sebagian bukti dari kekuasaan militer yaitu rekaman dari hasil wawancara Tim Peneliti PPW LIPI dengan tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan solo Juli 1998: “pada saat itu setiap penduduk yang tidak memilih Golkar atau dicurigai tidak akan mencoblos Golkar dengan mudah dicap sebagai PKI. Kalau sudah demikian, aparat keamanan bebas melakukan apa saja, dari penyiksaan sampai penghilangan nyawa manusia. Korban kekerasan pemilu pada waktu itu tidak terhitung jumlahnya”. Selain itu, bentuk lain dari intervensi militer adalah adanya dwifungsi ABRI dimana ABRI berfungsi tidak hanya dalam segi militer tetapi juga memasuki urusan non-militer. Penyebab keberadaan dwifungsi ABRI juga tak lepas dari peran ABRI dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Doktrin dwi fungsi ABRI ini dirumuskan pada saat seminar TNI AD ke I. Dalam seminar tersebut dapat dijelaskan mengenai TNI-AD befungsi sebagai suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer.Dwifungsi ini juga ditegaskan dalam TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 telah berhasil dibentuk kabinet Ampera, dengan dibentuknya Kabinet Ampera yang dipimpin oleh Soeharto yang didalamnya terdapat pula perwira-perwira ABRI. Hal ini menegaskan pula bahwa militer terjun ke dalam dunia politik. Telah disoroti pula 3 masalah pembinaan TNI-AD sebagai; Kekuatan Militer, Golongan Karya, dan Pembinaan Pertahanan Darat nasional. indikasi ini bisa muncul karena disesuaikan dengan teori Huntington dan Finer bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam politik adalah sistem kebudayaan politik, struktur politik serta institusionalnya. Institusi pada pemerintahan masa orde baru sangat mendukung adanya supremasi militer sehingga kekuasaan militer lebih dominan terhadap sipil. Pemerintah pada zaman orde baru juga mudah untuk melakukan propaganda dalam pemerintahan. Propaganda adalah menejemen dari tingkah laku kolektif dengan cara manipulasi sejumlah simbol signifikan. Propaganda yang dibuat oleh soeharto dengan menunjukkan kewibawaan tinggi sebagai kepala pemerintahan serta beralasan untuk kestabilitasan perekonomian negara yang harus diperbaiki dari pelaksanaan demokrasi terpimpin. Namun, di balik semua itu Soeharto menimbun hutang luar negri dan memberikan peluang bagi militer untuk memegang beberapa perusahaan sehingga dengan bebas menguasai pemerintahan. Ketentraman dan kestabilan perekonomian yang secara jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari hanyalah manipulasi Soeharto dalam memainkan politik, elit politik serta militer berjaya dalam pemerintahan Soeharto sedangkan rakyat dibutakan dengan ketentraman yang semu. Korbankorban dari sistem pemerintahan Soeharto adalah penentang Soeharto yang melihat manipulasi Soeharto yang mengatasnamakan stabilitas ekonomi, penjagaan keamanan sebagai penyalahgunaan otoritas kekuasaan. Propaganda lain yang dilakukan pemerintah dalam masa orde baru seperti trilogi pembangunan, kampanye keluarga berencana, pemasyarakatan pancasila, institusi-institusi yang memndukung propaganda serta pemutaran film-film kemenangan tentara. Trilogi pembangunan yang berisi tentang stabilitas nasional, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi dimanipulasi dengan tujuan dapat dilakukan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan setelah adanya pertumbuhan ekonomi (kue nasional) dilakukan suatu pemerataan kesejahteraan
  • 8. nasional. Pemasyarakatan pancasila berarti segala dasar visi dan tujuan organisasi berdasarkan pancasila. Contoh sederhananya adalah program P4 (Pedoman Pengalaman Penghayatan Pancasila), setiap orang harus mengetahui dan mengamalkan isi dari P4 tersebut. Padahal itu adalah salah satu bentuk keotoriteran masa Orde Baru. Pembunuhan massal dan penghilangan manusia saat itu sering terjadi, bagi masyarakat yang menentang berdirinya rezim ini maka akan ditindaklanjuti oleh aparat pemerintahan. Seperti Tragedi Tanjung Priok tahun 1984 dimana pembantaian dan pembunuhan massal dilakukan oleh tentara militer karena menentang asaz pancasila. Awal dari pemicu kasus ini sebenarnya adalah penghinaan terhadap mushola AsSa’adah oleh Sersan Satu Hermanu. Bahkan, polisi pun dilarang keluar dari markasnya oleh tentara. Tentara sangat berperan dan mendominasi kekuasaan di era-orde baru. Dari contoh kasus diatas dapat membuktikan bahwa militer dapat bertindak menyelewengkan kekuasaan dan masuk ke dalam tatanan politik dan sipil. Sampai akhirnya mahasiswa turun ke jalan untuk menurunkan Soeharto dari kursi jabatannya. Peran mahasiswa dalam menggalakan reformasi dalam pemerintahan otoriter menuju demokrasi sangat besar. Berbagai pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan karena kesewenang-wenangan militer masih membekas di hati masyarakat hingga sekarang. Nama militer masih terdengar karena citra tindak kekerasan dan kekejamannya. Namun setelah reformasi 1998 berlangsung, terjadi Reposisi yang dimaksud adalah pemisahan secara menyeluruh antara kewenangan TNI dan Polri sehingga secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Masa orde baru memberi pelajaran untuk masyarakat dan khususnya mahasiswa sebagai generasi pembangun bangsa untuk memperbaiki sistem politik yang ada di Indonesia untuk tidak sewenang-wenang dalam memegang kursi pemerintahan. Pemegang kursi pemerintahan seharusnya adalah orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai bangsa Indonesia dan berorientasi untuk memajukan bangsa Indonesia. Supremasi militer yang terjadi pada masa Orde Baru memberi pelajaran juga kepada militer untuk menjadi militer professional dimana militer berkewajiban untuk melindungi pertahanan dan keamanan bangsa dan mengetahui serta menjalankan tugas yang diberikan dari negara. F. Militer di Era Reformasi Pergerakan Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal dalam organisasi hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi organisasi TNI adalah mengubah nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Misalnya, likuidasi beberapa organisasi ABRI yang dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil, likuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta likuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol kehidupan politik. Reformasi mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah reaktualisasi, reposisi dan redefinisi peran ABRI 1999. Pertama, mengubah cara-cara pendekatan secara langsung menjadi tidak langsung. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah dari konsep harus selalu di depan menjadi tidak harus selalu di depan. Keempat, kesiapan untuk melakukan pembagian peran dengan mitra non ABRI. Empat hal yang dicanangkan oleh Panglima ABRI Jenderal (TNI) Wiranto dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh hati. Makna substansial Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya superior, serba lebih tahu urusan negara dan dengan sendirinya mensubordinasi politik sipil. Pola pikir seperti ini yang masih membuat lambatnya perubahan yang terjadi di internal militer. Demokratisasi politik tingkat nasional kemudian melahirkan produk regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem keamanan nasional. Ini tercermin dalam langkah positif yang berarti berupa pemisahan TNI dan
  • 9. Polri, April 1999. tindakan kepolisian akan lebih oleh aparat kepolisian tanpa harus khawatir dengan intervensi kepentingan militer. Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran TNI dan Polri. Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk ketentuan Pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara yang menegaskan pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan. Langkah-langkah ini sempat menimbulkan polemik. Kepentingan pemisahan organisasi antara TNI dengan Polri adalah sesuatu yang mendesak. Namun sebagian kalangan menilai pemisahan tugas dan peran yang dikotomis antara pertahanan dan keamanan, berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional dan potensi konflik antara personel Polri dan TNI di lapangan. Arus reformasi juga mulai mengurangi dominasi Angkatan Darat (AD) dalam TNI. Pada era Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI selalu berasal dari AD. Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden, mendobrak tradisi ini dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI. Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari AD. Di penghujung pemerintahan Megawati, Undang-undang 34/2004 tentang TNI disahkan dan menyatakan bahwa posisi Panglima TNI dijabat secara bergantian. Upaya melanjutkan kepemimpinan TNI di bawah Jenderal (AD) Ryamizard Ryacudu sempat memicu kontroversi, saat Presiden hasil Pemilu 2004 Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan Marsekal TNI AU Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI. pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun jauh-jauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati. Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan regulasi politik yang memang masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit (anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum. Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah pokok. Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan sipil militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain berperan dalam pertahanan negara juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa figur-figur militer masih terus tergoda untuk masuk ke wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam membaca perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring dengan kesadaran dan minat pemilih. Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada. Contohnya adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum Gumelar pada
  • 10. pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul Letkol (Bais) Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahankekalahan ini menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur yang berlatar belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi lebih banyak jika fokus pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita sebagai alat pertahanan negara. Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi politik dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat partai masih mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam hal ini figur militer selalu difasilitasi dan ditarik-tarik oleh partai untuk masuk dalam kontestasi politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang memang kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara institusi TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari banyaknya purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden 2009 maupun yang ikut dalam pengurus partai politik. Konsep kemanunggalan yang disalah artikan. Tidak ada yang memungkiri, pada saat perang kemerdekaan militer Indonesia adalah satu kesatuan, saling bahu membahu melawan kolonialisme Belanda pada saat itu, namun fakta sejarah ini tidak bisa kemudian diklaim sebagai hak sejarah oleh TNI. Historical fallacies (kesalahan sejarah) telah menumbuhkan persepsi yang salah, bahwa fakta sejarah harus diperlakukan sebagai hak sejarah. Sekalipun barangkali fakta sejarah menunjukkan, TNI adalah anak kandung revolusi dan tak terpisahkan dari rakyat, sehingga menyandang peran ganda sebagai militer profesional sekaligus sebagai kekuatan sosial politik fakta tersebut tidak bisa dengan sendirinya menjadi hak Konsep kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru melegitimasi peran sosial politik TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan historis TNI seharusnya bisa lebih dinamis, konsep pertahanan modern dengan melibatkan rakyat dalam definisi konvensional adalah paradigma usang. Perlu digagas hubungan sipil militer, jarak, tugas dan tanggungjawab yang jelas. TNI dan masyarakat sipil di negara demokrasi tidaklah berada pada posisi sejajar, tapi masyarakat sipil adalah pemegang kedaulatan tertinggi, termasuk supremasi terhadap militer melalui mekanisme politik yang ada. Persoalan paradigmatik ini kemudian berujung pada kekeliruan doktrin pada level operasional (doktrin pelaksanaan) yang dikenal sebagai doktrin Tri Dharma Eka Karya/Tridek (pengganti doktrin Catur Dharma Eka Karya/Cadek). Paradigma lama tanpa usaha melakukan redefinisi terhadap konsep kemanunggalan TNI dengan rakyat menjadikan pertahanan Indonesia masih mengandalkan unsur masyarakat sipil dalam konsep perang rakyat semestanya. Bab IV/G.Penutup: Posisi Militer yang sebenarnya bila ditandai dengan beberapa karakter: Pertama, militer mempunyai orientasi profesional yakni tidak cenderung melakukan intervensi dan dominasi dalam kehidupan politik; Kedua, militer hanya menjalankan fungsi pertahanan-kemanan; ketiga, secara institusional militer bertindak sebagai lembaga yang bertugas sebagai aparat negara, bukan sebagai komponen pemerintahan; keempat, militer sebagai lembaga yang didukung oleh pemerintah mengembangkan militerisasi dalam pengertian build-up, yakni membangun industri
  • 11. militer untuk kepentingan pertahanan-keamanan; kelima, ideologi militerisme ke dalam wilayah kehidupan masyarakat relatif terbatas; keenam, militer berada dalam posisi subordinat yang tunduk pada supremasi sipil dalam pemerintahan; ketujuh, derajat kontestasi militer atau keterlibatan dalam pembuatan keputusan nasional sangat terbatas dalam bidang pertahanankeamanan dan kebijakan luar negeri; kedelapan, hak-hak istimewa militer dalam menggunakan kekuatan senjata (perang) sangat terbatas, dibawah kontrol sipil; kesembilan, kekuatan sipil, baik masyarakat sipil maupun masyarakat politik, dalam posisi dominan yang mengontrol sepakterjang militer. Dari Pembahasan Diatas Terlihat Militer sangat Mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa orde baru dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer juga mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998 serta mendapat perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang fluktuatif, militer mendapatkan jatah melalu mekanisme pengangkatan. Kondisi ini menyebabkan pelbagai dampai, khususnya terkait tersumbatnya peluang demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan profesionalisme militer, ini bisa dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah dan sistim pertahanan yang lemah. Lemahnya sistim pertahanan menjadi salah satu faktor melemahnya posisi Indonesia dalam melakukan diplomasi dengan negara-negara tetangga. Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor yakni faktor internal; hasrat kekuasaan para perwira termasuk didalam upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi prasyarat pembangunan. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kegagalan pemerintahan orde lama. (instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis ekonomi). H. Daftar Pustaka: # Scribd, Dwifungsi ABRI Sebagai Bentuk Praktek Politik Praktis Militer di Indonesia. #Pertahanan Semesta dan Wajib Militer: Pengalaman Indonesia dan Negara Lain Beni Sukadis, Eric Hendra Perpustakaan Universitas Paramadina. #Hubungan-hubungan Sipil-militer : Perspektif Regional - JANOWITZ, Morris. #Peran militer dalam ketahanan nasional : studi kasus bidang hankam di Indonesia, 19672000. #Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik - Liddle, R. William.