Dokumen tersebut membahas tentang takdir pernikahan dan jodoh yang ditetapkan Allah. Ia menjelaskan bahwa takdir tidak dapat diubah meskipun kita berusaha, namun kita tetap harus berusaha sebelum bertawakkal kepada Allah. Dokumen juga membahas tentang sikap menerima takdir Allah apapun keadaannya dengan sabar dan ridha.
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Dilema cinta dalam logika asmara
1. Dilema Cinta Dalam Logika Asmara
Jodoh termasuk rezeki dari Allah, dan penetapannya merupakan bagian dari
takdir Allah. Takdir makhluk yang berada di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana tidak
akan pernah bisa berubah. Oleh karena itu, kalau memang sudah ditakdirkan
untuk berjodoh, meskipun terpisah jarak dan waktu, pada akhirnya akan
dipertemukan dan dipersatukan juga dengan tali pernikahan. Jodoh tak kan lari
ke mana, ibarat tak akan lari gunung dikejar. Begitu juga sebaliknya, jika bukit
telah didaki dan laut pun diseberangi, bila tidak berjodoh, tidak akan pernah
bisa bersatu dalam mahligai pernikahan.
7. Bertawakkal dan ridha terhadap takdir Allah bagaimanapun keadaannya
Jodoh termasuk rezeki dari Allah, dan penetapannya merupakan bagian dari takdir Allah. Takdir
makhluk yang berada di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana tidak akan pernah bisa berubah. Oleh karena
itu, kalau memang sudah ditakdirkan untuk berjodoh, meskipun terpisah jarak dan waktu, pada
akhirnya akan dipertemukan dan dipersatukan juga dengan tali pernikahan. Jodoh tak kan lari ke
mana, ibarat tak akan lari gunung dikejar. Begitu juga sebaliknya, jika bukit telah didaki dan laut
pun diseberangi, bila tidak berjodoh, tidak akan pernah bisa bersatu dalam mahligai pernikahan.
Kewajiban hamba mengenai takdir Allah ini adalah berusaha, berdo’a untuk mencapai yang kita
inginkan, lalu bertawakkal, sabar dan ridha atas segala hal yang telah Allah tetapkan bagi diri
kita.
َف ِ اَّلله ىَلَع َوَونُنِمْؤُمْلا ِلهك َوَتَيْل
“…Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.”
(Qs. Ibrahim: 11)
َينِنِمْؤُم ْمُتْنُك ْنِإ واُلهك َوَتَف ِ اَّلله ىَلَع َو
“…Dan bertawakkallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs.
Al-Ma’idah: 23)
Banyak orang yang salah kaprah memahami hakikat tawakkal. Mereka mengira bahwa pasrah
begitu saja dan “nrimo ing pandum” (menerima segala sesuatu yang telah ditetapkan) tanpa
adanya usaha adalah wujud tawakkal yang benar. Sikap yang demikian keliru. Tawakkal sama
sekali tidak menafikan adanya usaha hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan kepada kita untuk berusaha dahulu baru kemudian bertawakkal.
اَق ،ُّيِسُودهسالَة هرُق يِبَأ ُْنب ُة َيرِغُمال َانَثهدَحْطُأ ْوَأ ،ُلهك َوَتَأ َو اَهُلِقْعَأ ِ اَّلله َلوُس َر اَي :ٌلُجَر َلاَق :ُلوُقَي ،ٍكِلاَم َْنب ََسنَأ ُتْعِمَس :َلاَهُقِل
:َلاَق ؟ُلهك َوَتَأ َو«ْلهك َوَت َو اَهْلِقْعا »
2. Al-Mughirah ibn Abi Qurrah As-Sadusi mengabarkan kepada kami, “Saya mendengar Anas ibn
Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Wahai Rasulullah saya ikat (tambatkan) unta itu lalu saya bertawakkal atau saya
lepaskan unta itu lalu saya bertawakkal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
“Ikatlah unta tersebut, lalu bertawakallah.” (HR.Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Albani
dalam kitab Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-Islam )
Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari hadits ini?
Bahwa sebelum kita bertawakkal, kita harus menempuh sebab yakni dengan berusaha (di dalam
hadits dicontohkan dengan mengikat unta) terlebih dahulu, baru kemudian kita bertawakkal.
Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua jenis pondasi dalam tawakkal:
1. Adanya usaha yang sungguh – sungguh
2. Adanya penyandaran dan pasrah diri hanya kepada Allah setelah berusaha
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya salah seorang dari kamu, penciptaannya telah dihimpun di perut ibunya selama
empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula, kemudian menjadi
segumpal daging selama itu pula. Kemudian, diutuslah malaikat kepadanya, meniupkan ruh
kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal: menulis rezekinya, ajalnya, amalnya,
dan apakah ia celaka atau bahagia…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal yang perlu diperhatikan di sini menyikapi takdir adalah:
Takdir manusia memang telah ditetapkan di Al-Lauh Al-Mahfuzh dan tidak akan pernah berubah.
Adapun berkenaan dengan ketentuan takdir yang terdapat dalam catatan malaikat, maka masih
dapat berubah sesuai dengan amalan hamba. Manusia hanya diperintahkan untuk berusaha
(disertai dengan berdoa dan bertawakkal tentunya) agar manusia dipermudah kepada apa yang
telah ditakdirkan baginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah usaha mencari rezeki,
karena jiwa tidak akan mati sampai sempurna rezekinya walaupun kadang agak tersendat –
sendat. Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mengusahakannya, ambillah
yang halal dan buanglah yang haram.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Albani
dalam Shahih Ibnu Majah no.1741)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap orang yang berbuat telah dimudahkan untuk melakukan perbuatan (yang telah
ditakdirkan baginya -pen).” (HR. Muslim, bab Al-Qadar, no.2648)
Manusia hanya bisa berusaha, sedangkan Allah lah Yang Maha Kuasa. Siapapun yang didapat
nantinya merupakan anugrah terbaik dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka bersyukurlah…meskipun
kenyataan yang didapati merupakan hal yang kurang disukai.
…اًيرِثَك اًْريَخ ِهيِف ُ اَّلله َلَعْجَي َو اًئْيَش واُهَرْكَت ْنَأ ىَسَعَف هنُهوُمُتْه ِرَك ْنِإَف
3. “…Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak…” (Qs. An–
Nisa’: 19)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata,
عليه والتوكل إليه واإلنابة لمحبته قلبه وفرغ وقناعة وأمنا غنى صدره هللا مأل : بالقدر الرضى من قلبه مأل من
“Barangsiapa yang memenuhi hatinya dengan ridha kepada takdir, maka Allah memenuhi
dadanya dengan kecukupan, rasa aman, dan qana’ah, serta mengosongkan hati orang tersebut
untuk mencintaiNya, kembali kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi
larangan Allah [4], dan bertawakkal kepadaNya.” (Madarij As-Salikin)
Bagaimana jika seseorang sudah berusaha keras menjadi shalih/shalihah, namun ternyata
pasangan hidupnya jauh dari ketaatan dan standar idaman? Apakah Allah menyalahi janjinya
bahwa pria shalih akan mendapat wanita shalihah? Tidak! Dan apakah menghadapi kenyataan
itu, lalu kita menghabiskan waktu kita dengan muka bermuram durja? Sedih, kecewa, putus
asa…atau malah ingin segera mengakhiri perjalanan bahtera rumah tangga?? Tentu tidak!
Taruhlah jika seseorang itu sudah benar dalam berusaha dan berdoa, tapi nyatanya dia mendapat
pasangan yang justru “berbeda derajat” keshalihan/keshalihahannya, jauh panggang daripada api,
ada dua hal yang bisa dirunut di sini:
• Allah hendak menguji dia melalui pasangan hidupnya. Siapa tahu justru dirinya yang menjadi
perantara pasangannya untuk kembali mengenal kebenaran. Siapa pula yang tahu bahwa
kesabaran, dakwah, dan didikan yang dilakukan bagi pasangannya, justru menjadi ladang pahala
yang bisa mempermudah dia meretas jalan menuju ke FirdausNya. Pasti ada banyak hikmah
yang terkandung dalam segala takdir yang Allah tetapkan, namun terkadang manusia tidak
mengetahui karena keterbatasan akal pikiran.
Satu hal yang pasti, Allah tidak selalu memberikan semua yang kita inginkan, namun Allah
akan memberi pilihan terbaikNya dari yang kita perlukan.
Mari kita cermati kisah – kisah monumental yang terabadikan dalam KitabNya yang mulia
tentang dua nabi shalih yakni Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam, niscaya kita akan
mendapatkan ‘ibrah yang besar dari kisah tersebut. Mereka berdua memiliki istri yang disifati
“berkhianat” kepada suaminya. Ada lagi kisah wanita mulia Asiyah bersuamikan thaghut
semacam Fir’aun yang bahkan melakukan kekufuran nyata ketika dia berseru, “Ana rabbukum
Al-A’la.” Siapa yang menyangsikan kredibilitas keshalihan dua nabi tersebut?
Siapa pula yang meragukan keshalihahan Asiyah?
Tentu tiap orang yang masih benar akalnya akan berujar bahwa mereka adalah sosok nabi yang
shalih dan wanita shalihah. Akan tetapi, lihatlah ujian yang Allah berikan pada mereka dengan
pasangan hidup yang mereka miliki.
• Adakalanya seseorang yang dikira shalih/shalihah, kurang sesuai dengan hakikat aslinya,
karena hanya Allah lah yang tahu benar kadar ketakwaan yang tersembunyi di dalam hati tiap
hambaNya.
4. ىَقهتا ِنَمِب ُمَلْعَأ َوُه
“Dia yang mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Qs. An-Najm: 32)
Contoh konkretnya begini, ada seorang yang dikenal shalih, dia pun senantiasa berdakwah,
beramar makruf nahi munkar, namun ternyata di balik itu semua dia sering melanggar apa yang
dia serukan dan bermudah-mudahan dalam melakukan dosa ketika dia bersendirian. Inilah yang
dimaksud “shalih” menurut sangkaan manusia, tetapi sebenarnya bukan demikian hakikatnya. [5]
8. Bersabar ketika menanti pasangan
Allah Ta’ala berfirman,
ِة ََلهصال َو ِْربهصالِب واُنيِعَتْسا واُنَمَآ َينِذهلا اَهُّيَأ اَي
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat.” (Qs. Al-Baqarah: 153)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa cara terbaik untuk meminta pertolongan Allah
dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpa (di antaranya ketika jodoh belum kunjung
tiba) adalah dengan bersabar dan shalat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini,
“…Sedangkan sabar dalam ayat ini ada dua macam, yaitu sabar dalam rangka meninggalkan
berbagai perkara haram dan dosa; dan bersabar dalam menjalankan ketaatan dan ibadah.
Bersabar bentuk yang kedua lebih banyak pahalanya, dan itulah sabar yang lebih dekat
maksudnya untuk mendapatkan kemudahan. Adapun bentuk sabar yang ketiga adalah bersabar
atas musibah dan kejadian yang menimpa. Sabar yang demikian merupakan suatu keharusan,
sebagaimana keharusan beristighfar dari berbagai kesalahan.”
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Sabar ada dua bentuk: bersabar untuk Allah dengan
menjalankan apa yang Dia cintai walaupun berat bagi jiwa dan badan. Dan bersabar untuk
Allah dari segala yang Dia benci walaupun keinginan nafsu menentangnya. Siapa yang
kondisinya seperti ini maka dia termasuk dari golongan orang-orang yang sabar yang akan
selamat, insya Allah…” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim lil Hafizh Ibn Katsir)
9. Optimis (Tafa’ul) dan berpikir positif
Optimis: [n] orang yg selalu berpengharapan (berpandangan) baik dl (dalam pen) menghadapi
segala hal. [6]
Allah Subhanahu Ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai tafa’ul ُلُاؤَفهتال
(optimisme) dan membenci tasya’um ُمَُاؤشهتال (pesimisme). Optimisme dapat ditumbuhkan dengan
senantiasa berhusnuzhzhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan mempertinggi
tawakkal dalam kehidupan sehari-hari.
5. ِإ َو ُّيِْميِلَحْلا َلاَقْيَغِب ىَلاَعَت ِ اَّللهِب ِنَظ ُءوُس َمَُاؤشهتال هنَ ِِل ُلْأَفْلا ُهُب ِجْعُي َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ اَّلله ىهلَص َانَك اَمهنَو ٍٍهقَحُم ٍٍَبَس ِرٍنَظ ُنْسُح ُلُاؤَفهتال
اَح ِلُك ىَلَع ىَلاَعَت ِ اَّللهِب ِنهظال ِنْسُحِب ٌورُمْأَم ُنِمْؤُمْلا َو ِهِبٍل
Al-Halimi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka dengan
optimisme, karena pesimis merupakan cermin persangkaan buruk kepada Allah Ta’ala tanpa
alasan yang jelas. Optimisme merupakan wujud persangkaan yang baik kepadaNya. Seorang
mukmin diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi”. (Fathul
Bari, hadits no. 5755, bab Al-Fa’l)
ىَلاَعَت ُ اَّلله ُلوُقَي َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ اَّلله ىهلَص ُّيِبهنال َلاَق َلاَق ُهْنَع ُ اَّلله َي ِض َر َة َْريَرُه يِبَأ ْنَعَأيِب يِدْبَع ِنَظ َدْنِع َان…الحديث
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadapku…” (HR.
Bukhari no. 7405)
ُ اَّلله ُلوُقَي( ُهُل ْوَقِهِب ٌلِامَع يِنَأ هنَظ اَم ِهِب َلَمْعَأ ْنَأ ىَلَع ٌرِداَق ْيَأ )يِب يِدْبَع ِنَظ َدْنِع َانَأ ىَلاَعَت
Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah berfirman, “Aku menurut persangkaan
hambaKu terhadapKu.” yakni : Allah mampu berbuat sesuatu (merealisasikan suatu perbuatan)
atas dasar persangkaan hambaNya bahwa Allah akan berbuat demikian.” (Fathul Bari, hadits no.
7405)
َب ْوهتال َدْنِع ِلُوبَقْلا ُّنَظ َو ِاءَعُّدال َدْنِع ِةَباَجِ ْاإل ُّنَظ يِب عبد ظن معنى قيل المفهم في ُّيِبُطْرُقْلا َلاَقُّنَظ َو ِة
ِدْع َو ِقِداَصِب اًكُّسَمَت اَهِوطُرُشِب ِةَداَبِعْلا ِلْعِف َدْنِع ِةاَازَجُمْلا ُّنَظ َو ِارَفْغِتْس ِاِل َدْنِع ِة َرِفْغَمْلاِه
Al-Qurthubi berkata di dalam kitab Al-Mufhim (Al-Mufhim li Ma Asykala min Talkhishi Kitabi
Muslim pen), “Ada yang mengatakan bahwa makna prasangka hambaKu terhadapKu adalah
prasangka dalam hal pengabulan doa ketika memanjatkan doa, prasangka tentang diterimanya
taubat ketika hamba bertaubat, prasangka mengenai adanya ampunan ketika hamba beristighfar,
dan prasangka akan diberi pahala ketika melaksanakan ibadah beserta syarat-syaratnya dalam
rangka berpegang teguh pada kebenaran janjiNya.” (Tuhfatul Ahwadzi, hadits no. 2496, bab Fi
Husnizhzhan billahi Ta’ala)
Salah satu faidah yang terkandung di dalam hadits di atas adalah: anjuran berprasangka baik
terhadap Allah, di dalam segala hal termasuk dalam hal keoptimisan bahwa doanya akan
terkabul. Bukankah Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa yang bisa mewujudkan doa kita, jika
memang Dia menghendakinya? Mewujudkan hal yang demikian adalah mudah bagi Allah.
Jangankan hanya untuk mengabulkan doa kita, bahkan untuk penciptaan alam semesta seisinya
serta berbagai jenis makhlukNya pun adalah hal yang mudah bagi Allah. Oleh karena itu,
seorang mukmin sejati adalah orang yang berkepribadian mantap dan senantiasa berpikiran
optimis jauh ke depan.
Eksperimen yang cukup dikenal untuk sedikit mengetahui apakah Anda seorang yang optimis
ataukah pesimis, adalah dengan melihat gelas yang diisi air hingga setengah penuh. Seorang
yang optimis akan berpandangan baik dan positif bahwa gelas ini setengah terisi. Akan tetapi,
6. orang yang pesimis akan berpandangan bahwa gelas ini setengah kosong. Kalau demikian
adanya, Anda termasuk orang yang seperti apa?
10. Berhati – hati dan menjaga diri
Sudah maklum kiranya bahwa masa pra nikah adalah masa yang rentan godaan bagi kedua calon
pasangan. Apalagi jika keduanya merasa begitu memiliki banyak kesamaan dan mulai ada
ketertarikan. Pada masa ini sangat mungkin bersemi benih rasa suka, yang berbunga rindu dan
berbuah cinta. Amat mungkin pula terbuka peluang untuk “berpacaran gaya terselubung” ala
aktivis dakwah. Mengapa dikatakan terselubung? Karena gaya interaksi semacam ini memang
terkamuflasekan oleh suatu dalih. Contohnya: alasan “perhatian kepada saudara atau saudari di
jalan Allah” atau malah yang dikemas secara apik dan menarik atas nama dakwah.
”Sayang…sudah hafalan Qur’an belum hari ini? Tadi belajar apa saja? Pematerinya ustadz
siapa?” Si pujaan hati pun -misalkan- menimpali, “tadi datang gak ke kajian? Sudah hafalan
hadits belum hari ini?”. [Silahkan baca artikel menarik: Pacaran Terselubung Via Hp dan
Chatting red].
Wal’iyadzubillah…Semoga kita semua dijauhkan dari hal – hal yang seperti itu. Panggilan atau
ungkapan mesra seperti: sayang, cinta, rindu sangatlah tidak beradab jika dilontarkan pada
wanita atau pria yang belum dihalalkan bagi kita. Apalagi jika perkataan mesra itu dibalut
dengan sajak rayuan cinta yang mengundang nafsu.
Cinta…kau begitu manis terasa
Kau indah nan sempurna
Kau hidupku, kau sayangku, kau pengantinku di surgaNya
Kekasih…kau yang kupuja dan kucinta hingga ajal tiba
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…
Dari kejadian itu, cukuplah kiranya penulis sampaikan beberapa point yang patut diperhatikan
oleh siapapun yang sedang menjalani stase pra nikah,
• Allah Ta’ala berfirman,
ًَلْيِبَس َءاَس َو ًةَش ِاحَف َانَك ُههنِإ َان ِالز ُوابَرْقَت َِل َو
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs. Al-Isra’: 32)
Jenis huruf “la” pada ayat tersebut adalah la An-nahiyyah (الناهية )ِل yang berarti “jangan” dan
bermakna larangan. Dari ayat ini diambil faidah hukum mengenai haramnya mendekati zina
dalam bentuk apapun. Karena pada setiap kata yang berbentuk larangan, terkandung hukum asal:
HARAMnya perbuatan tersebut, kecuali ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya yakni
haram. Oleh karena itu, salah satu hikmah mengapa Allah berfirman, “Janganlah kamu
mendekati zina”, dan bukan langsung berfirman, “Janganlah kamu berzina” adalah adanya
7. cakupan larangan yang menunjukkan haramnya mendekati segala macam sarana yang bisa
menghantarkan kepada perbuatan zina -termasuk pacaran sebelum ada ikatan pernikahan-.
.. :فإن ودواعيه مقدماته جميع عن النهي يشمل ذلك ِلن فعله مجرد عن النهي من أبلغ قربانه عن والنهي”ا حول حام منلحمى
فيه يقع أن يوشك”إليه داع أقوى النفوس من كثير في الذي اِلمر هذا خصوصا …
“..dan larangan mendekati zina lebih dalam (mengena) maknanya daripada larangan berbuat
zina semata, karena larangan mendekati zina mencakup larangan dari segala permulaan dan
dari seluruh faktor pendorong perbuatan zina. Barangsiapa yang menggembala (ternaknya) di
sekitar pagar daerah terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamnya. Terlebih dalam
perkara zina ini, yang merupakan seruan paling kuat bagi kebanyakan jiwa…” (Tafsir As-Sa’di)
Mendekati zina saja sudah merupakan hal yang haram, apalagi melakukannya. Tidak usah terlalu
jauh membayangkan zina hanyalah terbatas pada bersatunya dua genital –maaf-, namun zina di
sini meliputi lingkup yang lebih kompleks.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Telah ditetapkan bagi Anak Adam bahwa ia dapat melakukan zina, itu bukanlah suatu hal yang
mustahil: Kedua mata zinanya adalah melihat. Kedua telinga zinanya adalah mendengar. Zina
lisan adalah ucapan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah langkah. Zina hati
berkeinginan dan berangan – angan, lalu kemaluanlah yang bisa membenarkan atau
mendustakannya.” (HR. Muslim)
• Ada salah satu kaidah fiqhiyyah yang berbunyi : “Man ista’jala syaian qabla awanihi ‘uqiba bi
hirmanihi”
ِهِناَمْر ِحِب ٍَِق ْوُع ِهِنا َوَأ َلْبَق ًءْيَش َلَجْعَتْسا ْنَم
(Barangsiapa yang tergesa – gesa terhadap sesuatu sebelum waktunya, akan diberi hukuman -
berupa- tidak boleh mendapatkannya). Apakah pelaku tidak takut jika Allah merenggut
kenikmatan pernikahannya, hanya karena dia tergesa – gesa mencoba kenikmatan semu sesaat
untuk berhubungan “gelap” dengan lawan jenis?
Pernikahan adalah ikatan sakral yang suci. Tiada pantas ikatan suci tersebut dinodai oleh
“pacaran” pra nikah yang sangat mungkin menyebabkan hilangnya barakah pernikahan,
wal’iyadzubillah.
Penuntut ilmu agama hanyalah manusia biasa, yang kadang tergelincir dalam dosa. Mereka
bukan makhluk yang terpelihara dari dosa. Untuk itulah perlu adanya komitmen dari kedua belah
pihak untuk sama – sama teguh menjaga hati, agar tidak terkontaminasi virus merah jambu
sebelum saatnya tiba nanti, Insya Allah. Ikhwan ataupun akhawat mungkin pernah terjerumus
sesekali. Ketergelinciran ini tidak lalu mengeluarkan mereka dari jajaran ahlussunnah, sehingga
kita bisa dengan semena-mena menghakimi, memandang rendah seolah mereka kriminal agamis
terkeji sepanjang masa, plus memberikan serentetan tudingan label bahwa mereka bukan orang
yang bertakwa dan lain sebagainya [memangnya kita orang yang paling suci sedunia dan tidak
pernah melakukan dosa??].
8. Orang yang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun orang
yang jika melakukan kesalahan segera bertaubat dan kembali pada kebenaran. Statemen “Ikhwan
dan akhawat hanyalah manusia biasa, yang terkadang tergelincir dalam dosa. Mereka bukan
makhluk yang terpelihara dari dosa…” bukan berarti bentuk pembelaan dan perlindungan
subyektif penulis terhadap ketergelinciran mereka, namun di sini penulis sedang mengajak Anda
semua untuk lebih bijak dan arif menyikapi kesalahan yang dilakukan oknum “berpacaran
terselubung” dari kalangan penuntut ilmu, dalam memberi peringatan dan meluruskan
ketergelinciran mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua Anak Adam (pasti pernah) melakukan kesalahan. Dan sebaik – baiknya orang yang
melakukan kesalahan, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh
Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’)
Satu hal yang perlu diingat bahwa calon pasangan belum tentu menjadi pasangan. Masih banyak
kemungkinan – kemungkinan yang bisa terjadi di luar batas kuasa makhluk. Sangat mungkin
terjadi suatu hal yang akhirnya berakibat putusnya proses antara calon pasangan. Bermula dari
intensnya hubungan itu, besar kemungkinan tersisa seonggok luka, secercah asa, sekeping rasa,
bahkan sebentuk cinta yang terlanjur bersemayam di jiwa. Maka dari itu, berhati – hatilah agar
jangan sampai perasaan cinta begitu mengakar kuat di dalam dada, hingga bisa mengalahkan
ilmu dan akal logika, yang bisa berujung pada kondisi “cinta buta”.
Manakala cinta sang pecinta sudah demikian mendalam pada orang yang dicinta, akan sangat
susah melupakannya. Pada akhirnya hanya menjadi sebuah dilema bagi sang pecinta yang
sedang dimabuk asmara, apakah dia rela memutuskan proses dengan kekasih hatinya atau tidak.
Kenapa harus menjadi dilema dalam dirinya? Karena ternyata cintanya berseberangan dengan
ilmu dan logika. Dilema cinta itu hanya ada jika kita menimbangnya dengan logika asmara
(logika orang yang kasmaran). Akan tetapi, jika kita menimbangnya dengan syari’at dan logika
yang sehat, maka tidak akan ada dilema. Apa yang harus terjadi, maka terjadilah. Andaikata
proses lebih baik harus berhenti, maka berhentilah. Andaikata proses berlanjut, maka suatu hari
nanti adalah hari H…..Insya Allah…..
11. Melejitkan potensi diri guna menutup kekurangan
Masing-masing pribadi itu unik dan membawa unikum yang berbeda antara satu dengan lainnya,
lengkap dengan paket kelebihan dan kekurangannya. Suatu hal yang selaras dengan fitrah, ketika
di satu sisi seseorang dianugrahi banyak kelebihan, namun di sisi lain ada orang yang dianggap
punya lebih banyak kekurangan. Adanya kelebihan merupakan anugrah yang patut disyukuri,
bukan untuk berbangga diri, dan adanya kekurangan bukanlah hal yang harus ditangisi. Oleh
karena itulah, seseorang hendaknya bisa berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya
dengan menggali dan melejitkan potensi terpendam yang ada dalam diri.
Tiap diri seyogyanya mengenal dan menganalisa segi positif dan negatif yang dikaruniakan
padanya. Segi positif itu, diselaraskan dengan syariat untuk membangun keistimewaan,
kekuatan, dan kecantikan dalam diri (inner beauty) guna menutup kekurangan yang dia miliki,
sehingga orang tersebut nantinya akan memiliki mizah الميزة (ciri khas yang bisa membedakan
9. antara dirinya dengan orang lain). Adapun segi negatifnya, secara perlahan-lahan dikurangi dan
ditutupi. Tidak usah minder ataupun rendah diri jika merasa hanyalah orang yang “biasa saja”
dan memiliki social value (nilai sosial) yang standar lagi rata-rata saja. Bisa jadi jika orang yang
“biasa saja” itu mengoptimalkan segala aset yang dimiliki, dan berusaha menjalani penempaan
diri laksana proses pengasahan permata, bukan hal yang mustahil andaikata justru hasil akhir
tempaan itu kemilau pesonanya melebihi orang yang memang terlahir “lebih dari standar rata-
rata“.
Berbicara sedikit mengenai permata, proses pengasahan bahan mentah permata dari batuan
“kusam” menjadi permata yang berkilau, bisa dianalogikan dengan keadaan wanita yang biasa
saja namun menjadi luar biasa, karena dia berusaha melejitkan potensi diri dan melebarkan
“jangkauan sayap” kharismanya.
Pada umumnya, bahan mentah permata hanyalah berupa batuan biasa yang berwarna, kecuali
intan yang kebanyakan transparan (meskipun intan pun sebenarnya beraneka macam warnanya).
Orang awam yang menemukan bebatuan seperti ini bisa jadi membuangnya begitu saja, lantaran
dianggap batuan biasa. Lihatlah bedanya ketika batu ini mengalami penempaan dan proses
pengasahan. Subhanallah! Batu “kusam” ini berubah menjadi batu mulia yang kilaunya sungguh
memukau mata.
Kalaulah ada yang masih berkecil hati karena harta, rupa, ataupun hal yang menyangkut
dunia…janganlah merasa rendah diri…masih banyak orang yang lebih banyak celanya dari kita.
Syukurilah, berbahagialah dengan apa yang dimiliki, sabar serta ridha atas segala yang Allah
karuniakan bagi diri kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang lain yang lebih besar karunianya dalam
harta dan rupa, maka lihatlah orang yang lebih rendah dari apa yang telah dikaruniakan
kepadanya.” (HR. Bukhari no. 6490 dan Muslim no. 2963)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim hal 1987 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta yang kalian miliki, akan tetapi Dia melihat
hati dan amal perbuatan yang kalian lakukan.”
Dan di dalam riwayat Imam Muslim yang lain:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat badan dan bentuk kalian, akan tetapi Dia melihat hati – hati
kalian.”
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
اآلخرة في فنافسه الدنيا في ينافسك الرجل رأيت إذا
“Jikalau engkau melihat ada seorang yang mengunggulimu dalam urusan dunia, maka
unggulilah dia dalam urusan akhirat.” (Lathaif Al-Ma’arif)
10. Kita mungkin seringkali menginginkan pasangan sebagaimana yang orang lain dapatkan, dan
menganggap rumput tetangga lebih hijau, atau menganggap buah di pekarangan tetangga lebih
ranum. Akan tetapi, ingatlah suatu hal bahwa di atas langit tentu masih ada langit lagi. Lalu
ingatlah masa awal ketika kita telah menjatuhkan pilihan untuk menikahi si dia, pasti ada alasan
kita memilihnya. Peganglah alasan itu dan simpan baik – baik dalam ingatan dan hati kita.
“Biarlah orang berkata, diriku ibarat mendapat sebongkah batu hitam yang kurang berharga.
Akan tetapi, bagiku engkau laksana permata yang begitu indah dipandang mata…
karena aku melihatmu bukan hanya dengan dua mata yang berada di kepala, namun dengan
mata hati yang bersemayam di dalam jiwa…”
Bagi yang masih merasa ragu dan minder untuk menikah, berusahalah, berdo’a,
bertawakkal…dan kuatkan tekad dalam hati, “saya akan segera menikah! Insya Allah”
Niscaya nikmatnya pernikahan bisa terwujud menjadi kenyataan, yang terukir dalam kenangan,
bukan hanya impian yang terbingkai indah dalam angan.
Penulis pun berharap…semoga bias indah pelangi cinta segera mewarnai pernikahan Anda
bersama pasangan hidup tercinta.
—
[4] Penulis mengambil pengertian inabah secara istilah dari kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalaatsah
Ibn ‘Utsaimin
[5] Dua point tentang kemungkinan itu diperoleh dari faidah salah satu kajian yang bertema
rumah tangga, yang diisi oleh Ustadz Firanda hafizhahullah. Akan tetapi, penulis lupa judul
kajian secara tepat. Jika penulis tidak keliru mengingat judul kajiannya, kajian tersebut berjudul
“Suami Idaman Istri Pilihan” (yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama). Penulis
hanya mengingat dengan jelas faidahnya saja, namun lupa judul kajiannya. Wallahu A’lam.
[6] http://kamusbahasaindonesia.org/optimis dan
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Fatihdaya Khoirani
Murajaah: Ust Abu Yazid Nurdin
Maraji’:
1. Latha’if Al-Ma’arif, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
2. Madarij As-Salikin baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, melalui program Al-
Maktabah Asy-Syamilah.
3. Pendakian Menuju Allah (terjemah Madarij As-Salikin), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta Timur.
4. Kamus Inggris Indonesia, John M.Echols dan Hassan Shadily, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
5. Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-‘Arabi, melalui program Al-Maktabah Asy-
11. Syamilah.
6. Setiap Penyakit Ada Obatnya (terjemah Al-Jawab Al-Kafi li Man Sa’ala ‘an Ad-Dawa’ Asy-
Syafi), Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
7. Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah li Fadhilati Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-‘Utsaimin,
Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-‘Utsaimin, Darul Iman, Iskandariyyah.
8. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim lil Hafizh Ibn Katsir, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Darul Hadits, Kairo.
9. Zadul Masir, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
10. Taisir Karim Ar-Rahman (Tafsir As-Sa’di), Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir As-Sa’di,
Mu’assasah Ar-Risalah, Beirut.
11. Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Ibnul Hajar Al-‘Asqalani, Darul Hadits, Kairo.
12. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Abdirrahim Al-Mubarakfuri, Darul
Fikr, Beirut.
13. Musnad Imam Ahmad terbitan Ar-Risalah, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
14. Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-Islam, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Abani, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, melalui program Al-Maktabah Asy-
Syamilah.
15. Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi, tahqiq Ahmad Syakir dan Muhammad Fuad Abdul
Baqi’ dll, melalui Al-Maktabah Asy-Syamilah.
16. Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, ‘Abdul Karim Al-Qusyairi, Darul Ma’arif, Kairo, melalui
program Al-Maktabah Asy-Syamilah.