SlideShare a Scribd company logo
DAYAH : PERADABAN ISLAM DI ACEH1
A. Pendahuluan
       Munculnya dayah (pesantren) sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional
yang sangat disegani dan telah banyak membawa perubahan di bumi Aceh, tidak
terlepas dari faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi kemunculannya. Kata
dayah merupakan hasil adopsi dari bahasa Arab, ini sebagai isyarat bahwa dayah
(Zawiyah dalam bahasa Arab) telah mulai berkembang sejak masa Rasulullsh SAW.
Dan juga harus di akui bahwa “Dayah dan Aceh bukanlah sebuah alternatif satu sama
lain, melainkan ia adalah sebuah realitas historis”.
       Dalam sejarah peradaban Islam di Aceh, Dayah memiliki peranan yang sangat
penting dalam membina dan membangun pranata kehidupan masyarakat Aceh pada
khususnya, dan peradaban Islam masyarakat Indonesia pada umumnya. Beranjak dari
itulah penulis akan mencoba menjelaskan peranan pesantren di Aceh sebaga sebuah
peradaban Islam yang mana dalam makalah ini akan memuat, pengertian
pesantren(dayah), dayah dalam kajian sejarah, serta pengaruh dalam dalam pranata
kehidupan masyarakat dan tentunya upaya dayah dalam mewujudakan peradaban
Islam di Aceh dengan proses transformasi sosial.


B. Pengertian Pesantren
       Istilah Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta yang kemudian memiliki
pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Pesantren berasal dari kata santri yang
diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat
santri. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata, yaitu sant
(manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan untuk membina manusia menjadi orang baik.2

       1
          Dipresentasikan Dalam Seminar Kelas, 8 Juni 2011 Oleh Mukhlisuddin (Nim 10 HUKI
1966) Mahasiswa PPS IAIN SUMUT Prodi Hukum Islam, Dosen Pembimbing Prof. Abd. Mukti,
Sebagai Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI) Semester II (Dua).
        2
          Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam
Agama dan Perubahan Sosial, (ed) Taufiq Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 328.


                                            1
Sementara itu, A.H. Johns, sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari,
berpendapat bahwa pesantren memiliki kata dasar santri. Kata santri itu sendiri
berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan Berg mengatakan
bahwa kata santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang
yang tahu buku-buku agama suci Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab suci
agama Hindu. Kata shastri ini berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci,
buku-buku agama tentang ilmu pengetahuan.3
        Dari segi terminologis, pesantren diberi pengertian oleh Mastuhu adalah
sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat
dikatakan lengkap apabila didalam pesantren itu terdapat elemen-elemen seperti
pondok, masjid, Kyai (pimpinan/guru) dan pengajaran kitab-kitab klasik. Dengan
demikian, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam sebagaimana dalam
definisi Mastuhu, dan apabila ia memiliki elemen-elemen tersebut.4
        Abdurrahman Wahid memaknai pesantren secara teknis sebagai a place
where santri (student) live.5 Abdurrahman Mas’ud menulis, the word pesantren stems
from ‘santri’ which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word
pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in
and acquire knowledge.6 Dan masih banyak lagi para peneliti yang memberikan
pengertian tersendiri tentang pesantren berdasarkan konteks pemahaman dan sudut
pandangnya masing-masing.
            Dari berbagai definisi diatas menunjukkan bahwa betapa pentingnya
        3
           Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 18.
        4
           Mastuhu, Dinamika system Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1988), h. 6.
         5
           Abdurrahman Wahid, ”Principles The Pesantren Education”, dalam Manfred Oepen and
Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, P3M, Jakarta, 1998. Lihat juga Ahmad Muthohar,
AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 12.
         6
           Abdurrahman Mas’ud, “Why the Pesantren as Center for Islamic Studies Remains Unique
and Stronger in Indonesia”, makalah Seminar Internasional, Prince of songkla University Pattani,
tanggal 25-28 Juni 1998. Lihat juga Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren
ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 12.


                                               2
keberadaan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sangat dekat dengan
kehidupan masyarakat, baik didalam makna maupun nuansanya secara menyeluruh.
Apalagi pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia dan
telah banyak memberikan kontribusi pada pembangunan bangsa, terutama
pembangunan moril dan mental serta pendidikan masyarakat Indonesia.
       Sedangkan di Aceh sendiri, istilah pesantren lebih dikenal dengan sebutan
“Dayah”. Kata dayah berasal dari kata zawiyah yang dalam bahasa Arab berarti
sudut atau pojok mesjid (kamus A.W. Munawwir, 1997).7 Kata zawiyah pertamanya
dikenal di Afrika Utara pada awal perkembangan Islam, yang dimaksud dengan
zawiyah pada masa itu adalah satu pojok sebuah mesjid yang menjadi halqah para
sufi, para sufi ini biasanya berkumpul, bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan
bermalam serta berbagai aktivitas lainnya di mesjid. Pada masa Rasulullah SAW
sudah dikenal beberapa istilah lain dalam khazanah pendidikan Islam antara lain;
Shuffah yaitu tempat yang digunakan untuk aktivitas pendidikan, Maktab yaitu
sebuah lembaga pendidikan Islam yang paling dasar disamping zawiyah dan shuffah,
Majelis yaitu tempat berlansungnya proses belajar mengajar, Halaqah yaitu lingkaran
dimana para murid duduk melingkari gurunya dan mendengar setiap sesuatu
penjelasan dari guru, Ribath yaitu tempat para sufi mengkonsentrasikan dirinya dalam
ber’ubudiyah kepada Allah SWT, juga pada kegiatan keilmuwan yang biasanya
dipimpin oleh seorang Mursyid (guru besar).8
       Dilihat dari definisi masing-masing istilah tersebut dan apa yang kita dapati
serta yang terjadi dalam lingkungan dayah di Aceh sekarang ini, maka istilah-istilah
dimaksud kesemuanya terdapat dalam lingkungan dayah di Aceh. Balai (shuffah)
sebagai ciri khas dayah yang dijadikan sebagai tempat aktivitas pendidikan dan
proses belajar-mengajar, Tingkatan kelas (maktab) merupakan pemisahan tingkat
keilmuwan di dayah bagi para murid (Tajzi, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan

       7
          Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, Cet.
XIV, 1997), h. 595.
        8
          Zarkasyi, Paradigma Baru Pendidikan Dayah, dalam Muslim Thahiry, dkk, ”Wacana
Pemikiran Santri Aceh”, (Banda Aceh, BRR NAD-Nias, PKPM & Wacana Press, 2007), h. 148-150.


                                            3
Takhasshus), Halaqah merupakan metode pembelajaran yang diterapkan di dayah
dari dulu sampai sekarang, Mushalla (ribath) merupakan urat nadi dayah dimana
selain sebagai tempat ber’ubudiyah juga digunakan untuk kegiatan ilmuwan
(mubahatsah).
      Dalam lintas sejarah pendidikan Islam di Aceh, sebahagian besar dayah salafi
sering kita perdapatkan keberadaannya di pelosok desa atau kawasan pesisir
pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan perkotaan. Sehingga sungguh tepat
apabila kita memahami makna dayah atau zawiyah adalah sudut/pojok. Akan tetapi,
kultur masyarakat Aceh menyebutnya dengan nama dayah bukan berdasarkan pada
letak geografis dayah itu sendiri yang lazimnya di daerah pedalaman, melainkan
istilah dayah merupakan hasil adopsi dari Timur Tengah yang di bawa pulang oleh
Ulama Aceh dahulu.
      Merujuk dari definisi pesantren dan dayah merupakan satu kesamaan makna
dan nuansa secara menyeluruh, maka perbedaan sebutan pada dua istilah tersebut
hanyalah terletak pada perbadaan tempat dan kultur daerah. Kata pesantren lebih
banyak digunakan di daerah Jawa dan sebagian besar daerah lain di Indonesia,
sedangkan kata dayah khusus digunakan oleh masyarakat Aceh dan kata surau lazim
digunakan oleh masyarakat Minangkabau.


C. Pesantren dalam catatan Sejarah
      Pada periode Mekkah, dimana kaum muslimin menjadi golongan minoritas
yang tertindas, bahaya yang setiap saat mengancam kehidupan mereka dari golongan
yang berkuasa yaitu kaum kafir Quraisy, akan tetapi pendidikan untuk mencetak
kader-kader Islam terus dilaksanakan oleh Nabi Saw. Dengan mengambil tempat di
rumaah Arqam bin Abi Arqam, yang terletak di daerah Shafa, Rasulullah Saw
melakukan pendidikan Islam secara tekun selama hampir 3 (tiga) tahun. Disinilah
Rasulullah Saw mendidik dan menggembleng calon-calon pemimpin dan ulama
seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib (sahabat khulafaur rasyidin), Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf,

                                         4
Arqam bin Arqam, Sa’ad bin Zaid, Mas’ud bin Amir, Bilal bin Dabah, ‘Ammar bin
Yaser dan sepuluh orang lainnya. Hasil dari pendidikan di rumah Arqam inilah lahir
kader-kader Islam yang militant dan tangguh, yang kemudian hari mampu
mengembangkan Islam ke daerah-daerah kekuasaan Persia di timur dan Romawi di
barat, hanya dalam kurun waktu 35 tahun.9
        Kemudian hijrahnya Rasulullah Saw dengan para sahabatnya dari Mekkah ke
Madinah tidak menyebabkan usaha pendidikan Islam itu terhenti. Bahkan mesjid
Nabawi di Madinah dijadikan pusat pendidikan Islam dengan menambahkan ruangan
suffa, yang dibangun disebelah utara mesjid sebagai tempat tinggal bagi mereka yang
ingin mendalami tentang agama Islam.10
        System pendidikan seperti yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw terus
dikembangkan dan dilanjutkan oleh para sahabat khulafaur rasyidin dan thabi’in.
Masjid yang semula merupakan pusat pendidikan tunggal, lambat laun berkembang
menjadi pusat pendidikan Islam sampai tingkat tinggi. Pada masa Pemerintahan Bani
Umayyah didirikanlah “Al-Kuttab” sebagai lembaga pendidikan bagi anak-anak
tingkat dasar (TPQ/TPA untuk masa sekarang). Pemerintahan Abbasyiyah di
Baghdad periode Harun Al Rasyid mendirikan “Duwarul Hikmah” dan “Duwarul
Ilmi” lahir di Mesir di bawah kekuasaan Fathimiyah.11
        Perkembangan kemajuan umat Islam, yang dimulai pada abad VI terus
menanjak dan pada abad X atau abad IV Hijriyah lahir pula satu lembaga pendidikan
Islam yang bernama “Madrasah”, yang pada masa sahabat dan thabi’in belum
dikenal. Lembaga pendidikan Madrasah yang paling tua didirikan di Nisyapur,
dengan nama Madrasah Al Baihaqiyah. Kemudian di Baghdad berdiri Madrasah
Nizamiyah pada tahun 457 Hijriyah, pada masa pemerintahan Nazhamul Mulk. Lalu


        9
           Abdullah Nasheh, ‘Ulwan, Tarbiyatul Awlad fil Islam, (Beirut: Daral Islam, 1981), h.
1082-1083.
        10
           Siti Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pusat Antara, 1962), h.
22.
        11
           Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di
Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1994, h. 10.


                                                 5
lembaga model dakwah Madrasah ini ditiru orang dimana-mana.12
       Dari data sejarah yang terungkap diatas, membuktikan bahwa mesjid dan
Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh dan telah banyak
melahirkan kader-kader ulama dan cendikiawan muslim sampai dengan sekarang.
Oleh karena demikian, setelah Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh pada abad-
abad pertama Hijriyah, maka pola pendidikan Islam yang telah berkembang subur di
Timur Tengah, telah diterapkan oleh umat Islam di Indonesia. Pertumbuhan
pendidikan Islam di Indonesia mulai subur berkembang, setelah Kesultanan Samudra
Pasai berdiri megah di Indonesia. Para ulama telah mendirikan lembaga pendidikan
Islam seperti Madrasah di Timur Tengah, dengan nama “Pondok Pesantren/ Dayah”,
yaitu dengan Mesjid sebagai pusat pendidikan, ditambah dengan ruangan-ruangan
kelas (balai) dan asrama pemondokan santri (bilek dalam bahasa Aceh). Nama-nama
dayah itu terkenal dengan nama para ulama yang mendirikan dan memimpinnya
seperti antara lain Teungku di Geurreudong, Teungku cot Mamplam dan lain-lain.
Kemegahan lembaga pendidikan Dayah memuncak pada masa Kesultanan Iskandar
Muda, sehingga dari sanalah lahir ulama-ulama besar seperti Syeikh Nuruddin Ar
Raniri, Syeikh Ahmad Khatib Langin, Syeikh Syamsuddin As Sumatrawi, Syeikh
Hamzah Fansuri, Syeikh Abdur Rauf As Singkili, Syeikh Burhanuddin (ulama besar
di Minangkabau).13
       Berdasarkan fakta sejarah perkembangan Islam di Indonesia, Samudra Pasai
(Aceh) merupakan awal mula perkembangan Islam di Indonesia dan menjadi pusat
pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Dari sinilah terus mengalir dan
berkembang ke berbagai daerah di Indonesia, antara lain ke daerah Jawa. Maulana
Malik Ibrahim yang berasal dari Aceh, merupakan wali songo pertama yang
mensyiarkan Islam di daerah Jawa, dengan mendidik para muridnya melalui lembaga
pendidikan Pondok Pesantren yang didirikannya. Setelah Maulana Malik Ibrahim
wafat, Raden Rahmat (Sunan Ampel) melanjutkan kegiatan pendidikan yang
       12
           Abdul Qadir Djaelani, …, h. 10-11.
       13
            Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Hidakarya Agung,
1982), h. 172.


                                            6
didirikan oleh ayahnya. Pola pendidikan yang diterapkan oleh dua wali songo ini
mengikuti pola pendidikan pesantren/dayah yang ada di Pasai (Aceh).
       Pada realitanya, system pendidikan pondok pesantren (dayah) ternyata tidak
hanya berkembang dan terdapat di Aceh dan Jawa atau Indonesia secara umum, akan
tetapi juga didapatkan di sebagian besar wilayah Asia Tenggara, dengan istilah
sebutan yang berbeda-beda karena historis kultur budaya masing-masing, namun
dengan system pendidikan yang sama. Persamaan system pendidikan Islam di Asia
Tenggara dengan Mesjid dan Madrasah sebagai pusat pendidikannya, tidak terlepas
dari historis perjalanannya yaitu bermuara dari pusat kekuasaan dan kebudayaan serta
pendidikan Islam di Timur Tengah. Kenyataan seperti ini juga didukung dengan
peradaban Islam yang mencapai puncak kejayaannya pada masa itu, sehingga Islam
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di dunia.
       System pendidikan Islam dengan Mesjid dan Madrasah sebagai pusat
pendidikannya, yang di Indonesia dinamakan dengan pondok pesantren dan di Aceh
dinamakan dengan dayah, menurut Roger Garaudy, adalah merupakan system
pendidikan yang paling popular di dunia Islam, seperti yang dijumpai pada Masjid
Karawizyn di Fes Marokko, di Samarkand dan Cordova Spanyol.14
       Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu dan pertukaran masa serta
perkembangan zaman, pondok pesantren (dayah) terus berkembang dan tersebar
hampir diseluruh pelosok pendesaan di Aceh khususnya. Kedudukan pondok
pesantren tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan umat, yaitu sebagai
benteng pertahanan Islam yang paling kokoh dan sulit dihancurkan oleh kaum
orientalis misionaris (musuh-musuh Islam). Hal ini dapat dilihat dari upaya para
musuh-musuh Islam dari dulu masa penjajahan sampai dengan sekarang, yang terus
melakukan praktik pemurtadan dengan berbagai cara dan pendekatan, tetapi
kenyataannya umat Islam tidak murtad. Umat Islam secara kuantitatif tetap utuh pada
aqidah keislamannya, berkat peran dan fungsi pondok pesantren yang memposisikan
dirinya sebagai benteng pertahanan umat Islam.
       14
            Roger Garaudy, Janji-Janji Islam (Terjemahan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 117.


                                                  7
D. Peranan Dayah; Peradaban Islam di Aceh
       Ulama merupakaan waritsatul anbiya (pewaris para Nabi). Dalam
mengembankan tugas dan fungsinya sebagai penyambung lidah para Nabi, ulama
harus mengikuti metode atau pola perjuangan yang telah dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Metode atau pola tersebut harus dimulai dengan dakwah dan pendidikan.
       Dengan Islam, Nabi Muhammad SAW mampu menggulirkan transformasi
sosial yang dahsyat hingga berhasil menancapkan akar peradaban besar di dunia. Atas
jasanya yang besar itu, kalau boleh meminjam bahasanya Gramsci, Muhammad
adalah seorang intelektual organik. Sosok intelektual yang tidak cukup puas
berteriak : "revolusi!" Tapi setelah itu langsung duduk di atas kursi empuk sambil
menyeruput kopi. Namun dalam hal ini, beliau benar-benar terjun langsung menjadi
eksekutor lapangan, bekerja keras mengorganiser kekuatan untuk melawan
ketidakadilan dan memberantas kejahilan. Dari situlah awal mula proses transformasi
social secara monumental dalam pengembangan umat dan perubahan pranata
kehidupan umat manusia secara menyeluruh segala aspek kehidupan manusia.
       Dalam konteks historis Islam, peristiwa hijrah merupakan momentum paling
penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan dan pembaharuan besar
dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada sebuah peradaban yang maju
dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan, penghargaan Hak Azasi
Manusia (HAM), demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum,
yang kesemuanya dilandasi dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai syari'ah.
       Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat
modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Hijrah
bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan
karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis
reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. bahwa
peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.
       Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya

                                           8
sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : "al hijrah farraqat
bainal haq wal bathil fa-arrikhuha" (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang
haq dan yang bathil, maka jadikanlah momentum itu sebagai awal penanggalan
kalender Islam).
       Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah
sesungguhnya mengandung makna reformasi yang sangat luar biasa. Semangat
reformasi tersebut terlihat dari langkah-langkah strategis yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW ketika beliau menetap di Madinah, baik dalam bidang sosial
keagamaan, politik, hukum maupun ekonomi.
       Rasulullah SAW Kemudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak
pembentukan masyarakat baru, yaitu:
   1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun
       masjid.
   2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum
       pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum
       Anshar.
   3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang
       ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian
       perdamaian.
       Melalui tiga hal di atas, Rasulullah SAW berhasil membangun masyarakat
ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah,
artinya “kota” atau “tempat peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah SAW
secara bertahap menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan
yang damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu,
banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk Islam.
       Sehingga sangat layak dan pantas bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan
sosok revolusi dan reformasi peradaban dunia. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
perubahan dan pengembangan moralitas umat manusia dilanjutkan secara estafet oleh
para sahabat, thabi’, thabi’in dan para ulama-ulama setelah itu, kesemuanya

                                        9
merupakan waratsatul anbiya yang mengemban tugas mengayomi umat dan berperan
aktif dalam tranformasi social umat manusia.
        Dengan demikian, perubahan pranata dan peradaban kehidupan manusia tidak
mungkin berhasil tanpa perubahan sistem nilai yang mendukung pembangunan
peradaban masyarakat, yang kemudian diikuti oleh transformasi sosial untuk menjadi
pondasi dalam persiapan penerimaan keadaan yang baru.
        Dalam konteks Indonesia, kita patut bertanya apa tawaran solusi konkrit
lembaga-lembaga keagamaan Islam semacam MUI, NU, Muhammadiyyah dan ICMI
terhadap masalah-masalah yang menimpa bangsa dan masyarakat seperti krisis moral,
kemiskinan struktural, korupsi, penggusuran, pengangguran, kerusakan lingkungan
dan sebagainya. Lembaga-lembaga keagamaan tersebut justru sibuk dengan dunia
sendiri yang jauh dari hiruk pikuk masyarakat. Bahkan tak jarang ikut terseret
mendukung program atau proyek besar neoliberal yang cenderung menindas.
        Dari realitas itu kita tahu bahwa Islam tiba-tiba kehilangan citra diri sebagai
pewaris gerakan pembebasan dan penegak keadilan. Hilangnya citra transformatif
dan liberatif Islam tersebut seolah meneguhkan kepercayaan dan keyakinan
nonmuslim bahwa mereka telah berhasil meracuni pemikiran umat Islam. Islam oleh
lembaga-lembaga formalnya hanya difungsikan untuk memberi wejangan-wejangan
dalam bentuk ritualisme absurd dan tidak memberi tawaran nyata untuk mengatasi
problemtika sosial yang menghimpit umat, padahal Islam adalah Rahmatan Lil
‘Alamin. Selain dari itu, dan ini yang paling naif, Islam justru banyak dipolitisir dan
dikomersialisasikan oleh para pemeluknya sendiri. Parpol Islam banyak bermunculan,
perda-perda syari'at diciptakan dan bank-bank syari'ah didirikan, tapi semua itu hanya
sebatas strategi untuk menarik massa demi kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu.
        Melihat realitas sosial sekarang yang pengap, timpang dan menindas, Islam
harus ditampilkan sebagai agama yang penuh gairah transformasi. Problematika
sosial yang tengah menghimpit sekarang ini harus menjadi agenda utama seluruh
institusi agama Islam. Namun, dari sekian banyak institusi dan lembaga-lembaga

                                          10
Islam yang ada sekarang ini, hanya pesantren yang masih eksis dalam
memepertahankan gairah transformasi. Walaupun gairah tersebut terkadang sedikit
luntur karena berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam lingkungan
pesantren. Kelunturan itu pun dianggap wajar, mengingat keberadaan pesantren yang
mandiri dalam pengembangannya.
        Sebatas pemahaman kita selama ini, ada 3 (tiga) elemen yang membuat
pesantren (dayah) mampu menjadi sub-kultur tersendiri, yaitu:15
    1. Pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-
        kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi
        pesantren. Artinya, atasan seorang kiai (pimpinan pesantren)16 itu hanyalah
        Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia
        lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola
        kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik.
    2. Kitab-kitab rujukan yang digunakan di banyak pesantren, umumnya terdiri
        dari warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul,
        pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali.
        Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku,
        hitam-putih (kitab kuning), dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul
        fikih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan
        keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang
        padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar
        pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan.
    3. Sistem nilai atau values system yang diterapkan di pesantren itu sendiri.
        Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan
        mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-nilai dasar pesantren,
        15
           Lily Zakiyah Munir, Pesantren Harus Pertahankan Jati Dirinya, Wawancara Novriantoni
dan Mohammad Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Lily Zakiyah Munir, direktur
Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), www.islamlib.com, diakses pada tanggal 6
Juni 2011
        16
           Kiai merupakan sebutan bagi seorang pimpinan pesantren dalam kultur masyarakat Jawa.
Sedangkan di Aceh, sebutan bagi pimpinan pesantren adalah Abon, Abi, Abu, Waled, Teungku, dll.


                                              11
seperti al-ushûl khamsah (lima prinsip dasar) yang diadopsi dari paham Ahli
       Sunnah. Nilai-nilai dasar tersebut adalah:
          a. Tawâsuth, tidak memihak atau moderasi
          b. Tawâzun, menjaga keseimbangan dan harmoni
          c. Tasâmuh, toleransi
          d. Adl, sikap adil
          e. Tasyâwur, prinsip musyawarah
       “Pancasila” pesantren itu tidak hanya sekadar hiasan kata dan teori belaka,
akan tetapi dibuktikan dengan terinternalisasi dan diprektikkan dalam dunia
pesantren. Sebab, komunitas pesantren itu hidup seperti dalam akademi militer
selama 24 jam, dan menjalankan aktivitas pendidikan sejak sebelum subuh sampai
kembali tidur. Jadi, dunia pesantren sesungguhnya membuat miniatur dunia ideal
mereka sendiri sebagai bekal mentrasfomasikannya kepada masyarakat.
       Berbekal elemen-elemen dan nilai-nilai dasar pesantren yang tersebut diatas,
dalam semangat transformasinya, pesantren diharapkan bisa menjadi martil atas
kuatnya sistem dan idiologi pembangunan modern. Idiologi pembangunan modern
terbukti telah gagal menciptakan keadilan dan kemakmuran. Janji-janji kesejahteraan
yang ditawarkannya hanya omong kosong dan pemanis mulut belaka, yang terjadi
justru eksploistasi dan dominasi oleh kelompok pemodal terhadap kelompok lemah.
Dengan demikian orang-orang yang jauh dari lingkaran kapital, hidupnya semakin
termsarginalkan.


E. Transformasi Sosial Pesantren; Upaya Mewujudkan Peradaban.
       Pesantren (Dayah) merupakan sebuah kampung peradaban bagi kehidupan
manusia, khususnya bagi masyarakat pesisir yang berdomisili di pesisir dan pelosok
pendesaan Aceh dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Keberadaannya
didambakan, tetapi pesonanya sering kali tidak mampu membetahkan penghuninya.
Bahkan ada segilintir kelompok menusia yang mengatakan pesantren sebagai bagian



                                          12
dari kamuflase17 kehidupan, alasannya karena pesantren lebih banyak mengurusi
urusan ukhrawiyah dibandingkan dengan urusan duniawiyah. Pesantren sering
dilabelkan sebagai pusat kehidupan fatalis18, karena memprioritaskan dan
menanamkan kehidupan zuhud yang mengabaikan kehidupan dunia materi. Padahal,
komunitas pesantren menikmati kesederhanaan kehidupannya sebagai bagian dari
panggilan moralitas keberagamaan. Bagi mereka, dunia merupakan “alat atau media”
untuk menggapai tujuan yaitu negri akhirat. Karena manusia tidak mungkin sampai
ketujuan yang dicita-citakan tanpa ada alat atau media yang dijadikan sebagai sarana,
begitu juga halnya seorang hamba tidak mungkin menikmati kehidupan akhirat tanpa
membangun peradaban dunia yang baik.
        Mengapa misalnya, pesantren menjadi “besar” dan “berjasa” justru ditengah
kesederhanaan dan ketulusan para tokohnya dalam memimpin lembaganya dengan
berazaskan tanggung jawab moral islami dan dengan sikap tak lebih dari sekedar
mengabdi pada sebuah profesi? Mengapa misalnya, pesantren menjadi “hebat” dan
“kuat” justru ditengah kejujuran dan ketegaran para tokohnya dalam mengemban
amanah umat dengan sikap lebih dari sekedar istiqamah? Mengapa misalnya,
pesantren menjadi “hancur” dan “lenyap” justru ketika para tokohnya melakukan
“lompat pagar” kedalam arena politik praktis yang menjanjikan kekayaan materi?
        Mengapa pesantren dan transformasi social? Karena, sulit membayangkan
bahwa seorang ulama yang mendirikan dan memimpin sebuah pesantren besar dan
ternama di sebuah wilayah, mencurahkan segala infrastruktur intelektualnya, tanpa
melakukan transformasi social. Bahkan peranan tersebut, menurut hemat penulis,
jauh lebih besar dan kompleks daripada kajian ilmiah yang pernah dipublikasikan,
baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, artikel atau sebuah laporan sebuah
majalah/tabloid     ternama     sekalipun.    Peranan     mereka      (komunitas     pesantren;
ulama/teungku dan santri), jauh lebih riil dan monumental dalam proses transformasi

        17
            Penyamaran dan pengelabuan. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007, hal. 499).
         18
            Orang yang percaya atau menyerah saja pada nasib. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Ibid,
hal. 314).


                                               13
social ketimbang hasil telaah di ruang terbatas yang sangat mungkin telah melewati
proses penyederhanaan masalah.
        Pesantren sebagai salah satu pintu transformasi sosial, memang telah
membuktikan keterlibatannya dalam menyiapkan tunas agama dan bangsa dimasa
depan. Sumbangsih pesantren dalam menciptakan dan melahirkan generasi penerus
sebagai pewaris tongkat estafet agama dan bangsa merupakan yang paling
monumental, khususnya dalam sejarah pendidikan Islam di Aceh. Pesantren telah
menjadi “agent of change” bagi umat Islam Indonesia dan Aceh khususnya.
Pesantren juga telah menyiapkan dan memberikan apa yang diminta dan dibutuhkan
oleh negri ini; “Dayah (Pesantren) dan Aceh bukanlah sebuah alternatif satu sama
lain, melainkan ia adalah sebuah realitas historis”. Nurcholish Madjid mengatakan,
efektifitas dayah (pesantren) untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk
karena sejak awal keberadaannya, pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat
belajar masyarakat, community learning centre.19
        Secara tradisi, sebuah institusi pendidikan Islam sekaligus sebagai lembaga
dakwah dapat disebut “pesantren” kalau ia memiliki elemen-elemen utama yang
lazim dikenal di dunia pesantren. Menurut studi Zamakhsyari Dhofir (Tradisi
Pesantren, LP3ES, 1990), Elemen-elemen utama itu antara lain; (1) pondok (bilek
dalam khazanah keacehan), (2) mesjid/mushalla, (3) santri, dan (4) Kyai/Ulama
sebagai pimpinan (Abon, Abu, Waled, dll dalam khazanah keacehan). Berbagai studi
tentang pesantren menyimpulkan bahwa di antara empat elemen utama di atas,
elemen kyai/ulama-lah yang paling menentukan masa depan sebuah dayah.
        Gejala pesantren sebagai “kampung peradaban” dan pusat “transformasi
sosial” mulai terasa sejak beberapa alumninya mampu menjadi pionir20 intelektualitas
di Aceh. Mereka telah menyebarkan daya tarik tersendiri dan memberikan godaan
cerdas terhadap publik, bahwa dunia pesantren dengan segala kesederhanaan dan

        19
            Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, Cet I, 1997), h. 125.
         20
            Perintis atau pelopor. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007, h. 878).


                                             14
kekurangannya justru menyimpan potensi besar untuk melakukan transformasi
peradaban Islam yang universal. Caranya beraneka ragam, bisa melalui jalur politik,
dunia bisnis (perniagaan), bidang pertanian, perkebunan, lembaga pendidikan, lebih-
lebih lagi terjun ke dunia dakwah (jurnalis), dan lain sebagainya.
        Keniscayaan bahwa pesantren tetap utuh hingga kini bukan hanya disebabkan
oleh kemampuannya dalam melakukan akomodasi-akomodasi tertentu seperti terlihat
di atas, tetapi juga lebih banyak disebabkan oleh karakter eksistensialnya. Karakter
yang dimaksud adalah, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid, pesantren
tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keislaman, tetapi juga
mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga yang murni
berkarakter keindonesiaan, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman
sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas
lingkungannya memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan. Hal ini tidak
hanya terlihat dari hubungan latar belakang pendirian pesantren dengan lingkungan
tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui
pemberian wakaf, shadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pihak pesantren
melakukan ‘balas jasa’ kepada komunitas lingkungannya dengan bermacam cara,
termasuk dalam bentuk mendidik masyarakat, bimbingan sosial, kultural, dan
ekonomi.
        Atas kemandirian pesantren ini, Martin van Bruinessen, salah seorang peneliti
keislaman dari Belanda, meyakini bahwa di dalam pesantren terkandung potensi yang
cukup kuat dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society). Sungguhpun
demikian,    menurutnya,     demokratisasi tetap       tidak bisa diharapkan melalui
instrumentasi pesantren. Sebab, dalam pandangan Martin, kiai-ulama di pesantren
adalah tokoh yang lebih dominan didasarkan atas nilai kharisma. Sementara, antara
kharisma dan demokrasi, keduanya tidak mungkin menyatu.21 Walaupun demikian,
menurut Martin, kaum tradisional (termasuk pesantren) di banyak negara berkembang

        21
            Ellyasa K.H. Darwis, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, Cet. I,
1994), h. 77-78.


                                             15
tidak dipandang sebagai kelompok yang resisten dan mengancam modernisasi.22


                                    DAFTAR BACAAN
         Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik
Islam di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1994.
         Abdullah Nasheh, ‘Ulwan, Tarbiyatul Awlad fil Islam, Beirut: Daral Islam,
1981
         Abdurrahman Wahid, ”Principles The Pesantren Education”, dalam Manfred
Oepen and Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, P3M, Jakarta, 1998.
         Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi
Selatan”, dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed) Taufiq Abdullah,. Jakarta:
Rajawali Press, 1983.
         Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah
Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.
         Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif, Cet. XIV, 1997.
         Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta: Paramadina, Cet I, 1997.
         Ellyasa K.H. Darwis, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS,
Cet. I, 1994.
         Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Hidakarya
Agung, 1982.
         Mastuhu, Dinamika system Pendidikan Pesantren,.Jakarta: INIS, 1988.
         Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi
Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994.
         Roger Garaudy, Janji-Janji Islam (Terjemahan), Jakarta: Bulan Bintang,
1982.
         Siti Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pusat
Antara, 1962.
         Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007.
         Zarkasyi, Paradigma Baru Pendidikan Dayah, dalam Muslim Thahiry, dkk,
”Wacana Pemikiran Santri Aceh”, Banda Aceh, BRR NAD-Nias, PKPM & Wacana
Press, 2007.




       22
           Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa,
Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. vi.


                                          16

More Related Content

What's hot

Upaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bkUpaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bkNur Arifaizal Basri
 
Ppt pondok pesantren
Ppt pondok pesantrenPpt pondok pesantren
Ppt pondok pesantren
abdusshofi
 
KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah
KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah
KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah
Syarifatul Marwiyah
 
RPS IPI - 2022-2023.pdf
RPS IPI - 2022-2023.pdfRPS IPI - 2022-2023.pdf
RPS IPI - 2022-2023.pdf
Syarifatul Marwiyah
 
Ppt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolah
Ppt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolahPpt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolah
Ppt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolah
UNIMUS
 
Ppt Tujuan dan Asas-asas BK
Ppt Tujuan dan Asas-asas BKPpt Tujuan dan Asas-asas BK
Ppt Tujuan dan Asas-asas BK
280395
 
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'ATHUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
Mutiara permatasari
 
Pesantren dalam era globalisasi
Pesantren dalam era globalisasiPesantren dalam era globalisasi
Pesantren dalam era globalisasi
yahyanursidik
 
Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)
Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)
Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)juniska efendi
 
Pengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islamPengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islamYusuf Hasyim Addakhil
 
Makalah Administrasi pendidikan
Makalah Administrasi pendidikanMakalah Administrasi pendidikan
Makalah Administrasi pendidikan
Hasmul Tafit
 
173746788 makalah-pengelolaan-kelas
173746788 makalah-pengelolaan-kelas173746788 makalah-pengelolaan-kelas
173746788 makalah-pengelolaan-kelasSunrise James
 
POWER POINT STUDI ISLAM
POWER POINT STUDI ISLAMPOWER POINT STUDI ISLAM
POWER POINT STUDI ISLAM
AlfinfatihaRahmah
 
Manajemen pendidikan islam ppt
Manajemen pendidikan islam pptManajemen pendidikan islam ppt
Manajemen pendidikan islam ppt
Ukhty Nicken
 
Modul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Modul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur RasyidinModul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Modul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Istna Zakia Iriana
 
9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling
9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling
9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konselingkomisariatimmbpp
 
Lembaga pendidikan islam
Lembaga pendidikan islamLembaga pendidikan islam
Lembaga pendidikan islamOgi Satriawan
 
SITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptx
SITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptxSITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptx
SITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptx
Mira Nurhasanah
 
Manajemen pengelolaan pesantren
Manajemen pengelolaan pesantrenManajemen pengelolaan pesantren
Manajemen pengelolaan pesantren
Feni Prasetiya
 

What's hot (20)

Upaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bkUpaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bk
 
Ppt pondok pesantren
Ppt pondok pesantrenPpt pondok pesantren
Ppt pondok pesantren
 
KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah
KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah
KD 9 - Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah
 
RPS IPI - 2022-2023.pdf
RPS IPI - 2022-2023.pdfRPS IPI - 2022-2023.pdf
RPS IPI - 2022-2023.pdf
 
Ppt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolah
Ppt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolahPpt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolah
Ppt kepemimpinan dalam konteks manajemen sekolah
 
Ppt Tujuan dan Asas-asas BK
Ppt Tujuan dan Asas-asas BKPpt Tujuan dan Asas-asas BK
Ppt Tujuan dan Asas-asas BK
 
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'ATHUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
 
Pesantren dalam era globalisasi
Pesantren dalam era globalisasiPesantren dalam era globalisasi
Pesantren dalam era globalisasi
 
Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)
Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)
Makalah spi masa kemunduran (1250 1500 m)
 
Pengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islamPengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islam
 
Makalah Administrasi pendidikan
Makalah Administrasi pendidikanMakalah Administrasi pendidikan
Makalah Administrasi pendidikan
 
173746788 makalah-pengelolaan-kelas
173746788 makalah-pengelolaan-kelas173746788 makalah-pengelolaan-kelas
173746788 makalah-pengelolaan-kelas
 
POWER POINT STUDI ISLAM
POWER POINT STUDI ISLAMPOWER POINT STUDI ISLAM
POWER POINT STUDI ISLAM
 
Manajemen pendidikan islam ppt
Manajemen pendidikan islam pptManajemen pendidikan islam ppt
Manajemen pendidikan islam ppt
 
Modul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Modul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur RasyidinModul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Modul SKI - KB 1 Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
 
9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling
9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling
9. kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling
 
Arab Pra Islam
Arab Pra IslamArab Pra Islam
Arab Pra Islam
 
Lembaga pendidikan islam
Lembaga pendidikan islamLembaga pendidikan islam
Lembaga pendidikan islam
 
SITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptx
SITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptxSITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptx
SITUASI DAN KONDISI PRA ISLAM.pptx
 
Manajemen pengelolaan pesantren
Manajemen pengelolaan pesantrenManajemen pengelolaan pesantren
Manajemen pengelolaan pesantren
 

Viewers also liked

Bahan slide presentasi pondok pesantren2
Bahan slide presentasi pondok pesantren2Bahan slide presentasi pondok pesantren2
Bahan slide presentasi pondok pesantren2Cut Ampon Lambiheue
 
Permen No.PER-06/MBU/2011
Permen No.PER-06/MBU/2011Permen No.PER-06/MBU/2011
Permen No.PER-06/MBU/2011
izaupdate
 
Seminar blu aset 6mar2014
Seminar blu aset 6mar2014Seminar blu aset 6mar2014
Seminar blu aset 6mar2014
Ambara Sugama
 
Identifikasi SIstem Informasi Pondok Pesantren
Identifikasi SIstem Informasi Pondok PesantrenIdentifikasi SIstem Informasi Pondok Pesantren
Identifikasi SIstem Informasi Pondok PesantrenAinul Yaqin
 
Ppt jurnal
Ppt jurnalPpt jurnal
Ppt jurnal
Muchammad Fauzan
 
Kualitas aktiva produktif
Kualitas aktiva produktifKualitas aktiva produktif
Kualitas aktiva produktifAdam Hastawa
 
Pengelolaan wakaf di Pondok Pesantren Darunnajah
Pengelolaan wakaf di Pondok Pesantren DarunnajahPengelolaan wakaf di Pondok Pesantren Darunnajah
Pengelolaan wakaf di Pondok Pesantren Darunnajah
Dr.Sofwan Manaf, M.Si.
 
Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012
Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012
Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012
Pondok Pesantren Darunnajah Cipining Bogor
 
03 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 2013
03 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 201303 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 2013
03 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 2013Pristiyanto SS
 
02 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 2013
02 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 201302 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 2013
02 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 2013Pristiyanto SS
 
Manajemen pondok pesantrem
Manajemen pondok pesantremManajemen pondok pesantrem
Manajemen pondok pesantremISMAIL ABAS
 
Sewa bmn kepada badan usaha
Sewa bmn kepada badan usahaSewa bmn kepada badan usaha
Sewa bmn kepada badan usaha
Dimas Purnomo
 
Sinergi Wakaf Produktif - TDA Center Depok
Sinergi Wakaf Produktif - TDA Center DepokSinergi Wakaf Produktif - TDA Center Depok
Sinergi Wakaf Produktif - TDA Center Depok
Urip Budiarto
 
16 ps-2014 bantuan komunitas ponpes
16 ps-2014 bantuan komunitas ponpes16 ps-2014 bantuan komunitas ponpes
16 ps-2014 bantuan komunitas ponpesWinarto Winartoap
 
Ppt pondok pesantren
Ppt pondok pesantrenPpt pondok pesantren
Ppt pondok pesantren
abdusshofi
 

Viewers also liked (20)

Sejarah tradisi pesantren
Sejarah tradisi pesantrenSejarah tradisi pesantren
Sejarah tradisi pesantren
 
Bahan slide presentasi pondok pesantren2
Bahan slide presentasi pondok pesantren2Bahan slide presentasi pondok pesantren2
Bahan slide presentasi pondok pesantren2
 
Permen No.PER-06/MBU/2011
Permen No.PER-06/MBU/2011Permen No.PER-06/MBU/2011
Permen No.PER-06/MBU/2011
 
Seminar blu aset 6mar2014
Seminar blu aset 6mar2014Seminar blu aset 6mar2014
Seminar blu aset 6mar2014
 
Identifikasi SIstem Informasi Pondok Pesantren
Identifikasi SIstem Informasi Pondok PesantrenIdentifikasi SIstem Informasi Pondok Pesantren
Identifikasi SIstem Informasi Pondok Pesantren
 
Ppt jurnal
Ppt jurnalPpt jurnal
Ppt jurnal
 
Kualitas aktiva produktif
Kualitas aktiva produktifKualitas aktiva produktif
Kualitas aktiva produktif
 
Pengelolaan wakaf di Pondok Pesantren Darunnajah
Pengelolaan wakaf di Pondok Pesantren DarunnajahPengelolaan wakaf di Pondok Pesantren Darunnajah
Pengelolaan wakaf di Pondok Pesantren Darunnajah
 
Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012
Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012
Profil Pesantren Darunnajah Cipining Bogor 2012
 
Prop pontren
Prop pontrenProp pontren
Prop pontren
 
Kemandirian Pesantren
Kemandirian PesantrenKemandirian Pesantren
Kemandirian Pesantren
 
03 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 2013
03 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 201303 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 2013
03 mustafa edwin n acara kjks bogor 30 sept 2013
 
02 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 2013
02 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 201302 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 2013
02 ppt ahmad junaedi acara kjks bogor 30 sept 2013
 
Materi ii hukum wakaf
Materi ii hukum wakafMateri ii hukum wakaf
Materi ii hukum wakaf
 
Manajemen pondok pesantrem
Manajemen pondok pesantremManajemen pondok pesantrem
Manajemen pondok pesantrem
 
Sewa bmn kepada badan usaha
Sewa bmn kepada badan usahaSewa bmn kepada badan usaha
Sewa bmn kepada badan usaha
 
Sinergi Wakaf Produktif - TDA Center Depok
Sinergi Wakaf Produktif - TDA Center DepokSinergi Wakaf Produktif - TDA Center Depok
Sinergi Wakaf Produktif - TDA Center Depok
 
16 ps-2014 bantuan komunitas ponpes
16 ps-2014 bantuan komunitas ponpes16 ps-2014 bantuan komunitas ponpes
16 ps-2014 bantuan komunitas ponpes
 
anggaran pemerintah
anggaran pemerintahanggaran pemerintah
anggaran pemerintah
 
Ppt pondok pesantren
Ppt pondok pesantrenPpt pondok pesantren
Ppt pondok pesantren
 

Similar to Dayah (Pesantren)

Makalah rara
Makalah raraMakalah rara
Makalah rara
irrijalrijal
 
Manajemen Pondok Pesantren.pptx
Manajemen Pondok Pesantren.pptxManajemen Pondok Pesantren.pptx
Manajemen Pondok Pesantren.pptx
muhardi6
 
Pendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docxPendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docx
Zukét Printing
 
Pendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdfPendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdf
Zukét Printing
 
Sejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdfSejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdf
Zukét Printing
 
Sejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docxSejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docx
Zukét Printing
 
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docx
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docxPeranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docx
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docx
Zukét Printing
 
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdf
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdfPeranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdf
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdf
Zukét Printing
 
Tugas sejarah pondok pesantren assalam
Tugas sejarah pondok pesantren assalamTugas sejarah pondok pesantren assalam
Tugas sejarah pondok pesantren assalamDewi_Sejarah
 
Makalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolahMakalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolah
syaifulanam27
 
Pondok pesantren sebagai pendidikan islam
Pondok pesantren sebagai pendidikan islamPondok pesantren sebagai pendidikan islam
Pondok pesantren sebagai pendidikan islam
cantikrofiah
 
Dinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pbDinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pb
ahmad al haris
 
Corak pesantren
Corak pesantrenCorak pesantren
Corak pesantren
Gunk Sofyan
 
Institusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesiaInstitusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesia
sadiman dimas
 
Kurikulum pesantren salafiyah
Kurikulum pesantren salafiyahKurikulum pesantren salafiyah
Kurikulum pesantren salafiyah
IzzanAlbari
 
Resensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalamResensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalam
Hafidzotul Millah
 
Kedatangan islam dan pembudayaan alam melayu
Kedatangan islam dan pembudayaan alam melayuKedatangan islam dan pembudayaan alam melayu
Kedatangan islam dan pembudayaan alam melayuskst2
 
Modernisasi pesantren
Modernisasi pesantrenModernisasi pesantren
Modernisasi pesantren
iwan Alit
 

Similar to Dayah (Pesantren) (20)

Makalah rara
Makalah raraMakalah rara
Makalah rara
 
Manajemen Pondok Pesantren.pptx
Manajemen Pondok Pesantren.pptxManajemen Pondok Pesantren.pptx
Manajemen Pondok Pesantren.pptx
 
Pendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docxPendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docx
 
Pendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdfPendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdf
 
Sejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdfSejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdf
 
Sejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docxSejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docx
 
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docx
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docxPeranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docx
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.docx
 
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdf
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdfPeranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdf
Peranan Penting Pesantren dalam Pengembangan Aswaja.pdf
 
Tugas sejarah pondok pesantren assalam
Tugas sejarah pondok pesantren assalamTugas sejarah pondok pesantren assalam
Tugas sejarah pondok pesantren assalam
 
Aswaja x -bab3
Aswaja x -bab3Aswaja x -bab3
Aswaja x -bab3
 
Makalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolahMakalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolah
 
Pondok pesantren sebagai pendidikan islam
Pondok pesantren sebagai pendidikan islamPondok pesantren sebagai pendidikan islam
Pondok pesantren sebagai pendidikan islam
 
Dinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pbDinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pb
 
Corak pesantren
Corak pesantrenCorak pesantren
Corak pesantren
 
Institusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesiaInstitusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesia
 
Kurikulum pesantren salafiyah
Kurikulum pesantren salafiyahKurikulum pesantren salafiyah
Kurikulum pesantren salafiyah
 
Resensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalamResensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalam
 
Kedatangan islam dan pembudayaan alam melayu
Kedatangan islam dan pembudayaan alam melayuKedatangan islam dan pembudayaan alam melayu
Kedatangan islam dan pembudayaan alam melayu
 
Lembaga
LembagaLembaga
Lembaga
 
Modernisasi pesantren
Modernisasi pesantrenModernisasi pesantren
Modernisasi pesantren
 

Dayah (Pesantren)

  • 1. DAYAH : PERADABAN ISLAM DI ACEH1 A. Pendahuluan Munculnya dayah (pesantren) sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang sangat disegani dan telah banyak membawa perubahan di bumi Aceh, tidak terlepas dari faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi kemunculannya. Kata dayah merupakan hasil adopsi dari bahasa Arab, ini sebagai isyarat bahwa dayah (Zawiyah dalam bahasa Arab) telah mulai berkembang sejak masa Rasulullsh SAW. Dan juga harus di akui bahwa “Dayah dan Aceh bukanlah sebuah alternatif satu sama lain, melainkan ia adalah sebuah realitas historis”. Dalam sejarah peradaban Islam di Aceh, Dayah memiliki peranan yang sangat penting dalam membina dan membangun pranata kehidupan masyarakat Aceh pada khususnya, dan peradaban Islam masyarakat Indonesia pada umumnya. Beranjak dari itulah penulis akan mencoba menjelaskan peranan pesantren di Aceh sebaga sebuah peradaban Islam yang mana dalam makalah ini akan memuat, pengertian pesantren(dayah), dayah dalam kajian sejarah, serta pengaruh dalam dalam pranata kehidupan masyarakat dan tentunya upaya dayah dalam mewujudakan peradaban Islam di Aceh dengan proses transformasi sosial. B. Pengertian Pesantren Istilah Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta yang kemudian memiliki pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat santri. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata, yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi orang baik.2 1 Dipresentasikan Dalam Seminar Kelas, 8 Juni 2011 Oleh Mukhlisuddin (Nim 10 HUKI 1966) Mahasiswa PPS IAIN SUMUT Prodi Hukum Islam, Dosen Pembimbing Prof. Abd. Mukti, Sebagai Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI) Semester II (Dua). 2 Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed) Taufiq Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 328. 1
  • 2. Sementara itu, A.H. Johns, sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari, berpendapat bahwa pesantren memiliki kata dasar santri. Kata santri itu sendiri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan Berg mengatakan bahwa kata santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku agama suci Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri ini berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama tentang ilmu pengetahuan.3 Dari segi terminologis, pesantren diberi pengertian oleh Mastuhu adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat dikatakan lengkap apabila didalam pesantren itu terdapat elemen-elemen seperti pondok, masjid, Kyai (pimpinan/guru) dan pengajaran kitab-kitab klasik. Dengan demikian, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam sebagaimana dalam definisi Mastuhu, dan apabila ia memiliki elemen-elemen tersebut.4 Abdurrahman Wahid memaknai pesantren secara teknis sebagai a place where santri (student) live.5 Abdurrahman Mas’ud menulis, the word pesantren stems from ‘santri’ which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge.6 Dan masih banyak lagi para peneliti yang memberikan pengertian tersendiri tentang pesantren berdasarkan konteks pemahaman dan sudut pandangnya masing-masing. Dari berbagai definisi diatas menunjukkan bahwa betapa pentingnya 3 Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 18. 4 Mastuhu, Dinamika system Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1988), h. 6. 5 Abdurrahman Wahid, ”Principles The Pesantren Education”, dalam Manfred Oepen and Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, P3M, Jakarta, 1998. Lihat juga Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 12. 6 Abdurrahman Mas’ud, “Why the Pesantren as Center for Islamic Studies Remains Unique and Stronger in Indonesia”, makalah Seminar Internasional, Prince of songkla University Pattani, tanggal 25-28 Juni 1998. Lihat juga Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 12. 2
  • 3. keberadaan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, baik didalam makna maupun nuansanya secara menyeluruh. Apalagi pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia dan telah banyak memberikan kontribusi pada pembangunan bangsa, terutama pembangunan moril dan mental serta pendidikan masyarakat Indonesia. Sedangkan di Aceh sendiri, istilah pesantren lebih dikenal dengan sebutan “Dayah”. Kata dayah berasal dari kata zawiyah yang dalam bahasa Arab berarti sudut atau pojok mesjid (kamus A.W. Munawwir, 1997).7 Kata zawiyah pertamanya dikenal di Afrika Utara pada awal perkembangan Islam, yang dimaksud dengan zawiyah pada masa itu adalah satu pojok sebuah mesjid yang menjadi halqah para sufi, para sufi ini biasanya berkumpul, bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam serta berbagai aktivitas lainnya di mesjid. Pada masa Rasulullah SAW sudah dikenal beberapa istilah lain dalam khazanah pendidikan Islam antara lain; Shuffah yaitu tempat yang digunakan untuk aktivitas pendidikan, Maktab yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam yang paling dasar disamping zawiyah dan shuffah, Majelis yaitu tempat berlansungnya proses belajar mengajar, Halaqah yaitu lingkaran dimana para murid duduk melingkari gurunya dan mendengar setiap sesuatu penjelasan dari guru, Ribath yaitu tempat para sufi mengkonsentrasikan dirinya dalam ber’ubudiyah kepada Allah SWT, juga pada kegiatan keilmuwan yang biasanya dipimpin oleh seorang Mursyid (guru besar).8 Dilihat dari definisi masing-masing istilah tersebut dan apa yang kita dapati serta yang terjadi dalam lingkungan dayah di Aceh sekarang ini, maka istilah-istilah dimaksud kesemuanya terdapat dalam lingkungan dayah di Aceh. Balai (shuffah) sebagai ciri khas dayah yang dijadikan sebagai tempat aktivitas pendidikan dan proses belajar-mengajar, Tingkatan kelas (maktab) merupakan pemisahan tingkat keilmuwan di dayah bagi para murid (Tajzi, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan 7 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. XIV, 1997), h. 595. 8 Zarkasyi, Paradigma Baru Pendidikan Dayah, dalam Muslim Thahiry, dkk, ”Wacana Pemikiran Santri Aceh”, (Banda Aceh, BRR NAD-Nias, PKPM & Wacana Press, 2007), h. 148-150. 3
  • 4. Takhasshus), Halaqah merupakan metode pembelajaran yang diterapkan di dayah dari dulu sampai sekarang, Mushalla (ribath) merupakan urat nadi dayah dimana selain sebagai tempat ber’ubudiyah juga digunakan untuk kegiatan ilmuwan (mubahatsah). Dalam lintas sejarah pendidikan Islam di Aceh, sebahagian besar dayah salafi sering kita perdapatkan keberadaannya di pelosok desa atau kawasan pesisir pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan perkotaan. Sehingga sungguh tepat apabila kita memahami makna dayah atau zawiyah adalah sudut/pojok. Akan tetapi, kultur masyarakat Aceh menyebutnya dengan nama dayah bukan berdasarkan pada letak geografis dayah itu sendiri yang lazimnya di daerah pedalaman, melainkan istilah dayah merupakan hasil adopsi dari Timur Tengah yang di bawa pulang oleh Ulama Aceh dahulu. Merujuk dari definisi pesantren dan dayah merupakan satu kesamaan makna dan nuansa secara menyeluruh, maka perbedaan sebutan pada dua istilah tersebut hanyalah terletak pada perbadaan tempat dan kultur daerah. Kata pesantren lebih banyak digunakan di daerah Jawa dan sebagian besar daerah lain di Indonesia, sedangkan kata dayah khusus digunakan oleh masyarakat Aceh dan kata surau lazim digunakan oleh masyarakat Minangkabau. C. Pesantren dalam catatan Sejarah Pada periode Mekkah, dimana kaum muslimin menjadi golongan minoritas yang tertindas, bahaya yang setiap saat mengancam kehidupan mereka dari golongan yang berkuasa yaitu kaum kafir Quraisy, akan tetapi pendidikan untuk mencetak kader-kader Islam terus dilaksanakan oleh Nabi Saw. Dengan mengambil tempat di rumaah Arqam bin Abi Arqam, yang terletak di daerah Shafa, Rasulullah Saw melakukan pendidikan Islam secara tekun selama hampir 3 (tiga) tahun. Disinilah Rasulullah Saw mendidik dan menggembleng calon-calon pemimpin dan ulama seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib (sahabat khulafaur rasyidin), Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, 4
  • 5. Arqam bin Arqam, Sa’ad bin Zaid, Mas’ud bin Amir, Bilal bin Dabah, ‘Ammar bin Yaser dan sepuluh orang lainnya. Hasil dari pendidikan di rumah Arqam inilah lahir kader-kader Islam yang militant dan tangguh, yang kemudian hari mampu mengembangkan Islam ke daerah-daerah kekuasaan Persia di timur dan Romawi di barat, hanya dalam kurun waktu 35 tahun.9 Kemudian hijrahnya Rasulullah Saw dengan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah tidak menyebabkan usaha pendidikan Islam itu terhenti. Bahkan mesjid Nabawi di Madinah dijadikan pusat pendidikan Islam dengan menambahkan ruangan suffa, yang dibangun disebelah utara mesjid sebagai tempat tinggal bagi mereka yang ingin mendalami tentang agama Islam.10 System pendidikan seperti yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw terus dikembangkan dan dilanjutkan oleh para sahabat khulafaur rasyidin dan thabi’in. Masjid yang semula merupakan pusat pendidikan tunggal, lambat laun berkembang menjadi pusat pendidikan Islam sampai tingkat tinggi. Pada masa Pemerintahan Bani Umayyah didirikanlah “Al-Kuttab” sebagai lembaga pendidikan bagi anak-anak tingkat dasar (TPQ/TPA untuk masa sekarang). Pemerintahan Abbasyiyah di Baghdad periode Harun Al Rasyid mendirikan “Duwarul Hikmah” dan “Duwarul Ilmi” lahir di Mesir di bawah kekuasaan Fathimiyah.11 Perkembangan kemajuan umat Islam, yang dimulai pada abad VI terus menanjak dan pada abad X atau abad IV Hijriyah lahir pula satu lembaga pendidikan Islam yang bernama “Madrasah”, yang pada masa sahabat dan thabi’in belum dikenal. Lembaga pendidikan Madrasah yang paling tua didirikan di Nisyapur, dengan nama Madrasah Al Baihaqiyah. Kemudian di Baghdad berdiri Madrasah Nizamiyah pada tahun 457 Hijriyah, pada masa pemerintahan Nazhamul Mulk. Lalu 9 Abdullah Nasheh, ‘Ulwan, Tarbiyatul Awlad fil Islam, (Beirut: Daral Islam, 1981), h. 1082-1083. 10 Siti Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pusat Antara, 1962), h. 22. 11 Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1994, h. 10. 5
  • 6. lembaga model dakwah Madrasah ini ditiru orang dimana-mana.12 Dari data sejarah yang terungkap diatas, membuktikan bahwa mesjid dan Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh dan telah banyak melahirkan kader-kader ulama dan cendikiawan muslim sampai dengan sekarang. Oleh karena demikian, setelah Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh pada abad- abad pertama Hijriyah, maka pola pendidikan Islam yang telah berkembang subur di Timur Tengah, telah diterapkan oleh umat Islam di Indonesia. Pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia mulai subur berkembang, setelah Kesultanan Samudra Pasai berdiri megah di Indonesia. Para ulama telah mendirikan lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah di Timur Tengah, dengan nama “Pondok Pesantren/ Dayah”, yaitu dengan Mesjid sebagai pusat pendidikan, ditambah dengan ruangan-ruangan kelas (balai) dan asrama pemondokan santri (bilek dalam bahasa Aceh). Nama-nama dayah itu terkenal dengan nama para ulama yang mendirikan dan memimpinnya seperti antara lain Teungku di Geurreudong, Teungku cot Mamplam dan lain-lain. Kemegahan lembaga pendidikan Dayah memuncak pada masa Kesultanan Iskandar Muda, sehingga dari sanalah lahir ulama-ulama besar seperti Syeikh Nuruddin Ar Raniri, Syeikh Ahmad Khatib Langin, Syeikh Syamsuddin As Sumatrawi, Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Abdur Rauf As Singkili, Syeikh Burhanuddin (ulama besar di Minangkabau).13 Berdasarkan fakta sejarah perkembangan Islam di Indonesia, Samudra Pasai (Aceh) merupakan awal mula perkembangan Islam di Indonesia dan menjadi pusat pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Dari sinilah terus mengalir dan berkembang ke berbagai daerah di Indonesia, antara lain ke daerah Jawa. Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Aceh, merupakan wali songo pertama yang mensyiarkan Islam di daerah Jawa, dengan mendidik para muridnya melalui lembaga pendidikan Pondok Pesantren yang didirikannya. Setelah Maulana Malik Ibrahim wafat, Raden Rahmat (Sunan Ampel) melanjutkan kegiatan pendidikan yang 12 Abdul Qadir Djaelani, …, h. 10-11. 13 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Hidakarya Agung, 1982), h. 172. 6
  • 7. didirikan oleh ayahnya. Pola pendidikan yang diterapkan oleh dua wali songo ini mengikuti pola pendidikan pesantren/dayah yang ada di Pasai (Aceh). Pada realitanya, system pendidikan pondok pesantren (dayah) ternyata tidak hanya berkembang dan terdapat di Aceh dan Jawa atau Indonesia secara umum, akan tetapi juga didapatkan di sebagian besar wilayah Asia Tenggara, dengan istilah sebutan yang berbeda-beda karena historis kultur budaya masing-masing, namun dengan system pendidikan yang sama. Persamaan system pendidikan Islam di Asia Tenggara dengan Mesjid dan Madrasah sebagai pusat pendidikannya, tidak terlepas dari historis perjalanannya yaitu bermuara dari pusat kekuasaan dan kebudayaan serta pendidikan Islam di Timur Tengah. Kenyataan seperti ini juga didukung dengan peradaban Islam yang mencapai puncak kejayaannya pada masa itu, sehingga Islam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di dunia. System pendidikan Islam dengan Mesjid dan Madrasah sebagai pusat pendidikannya, yang di Indonesia dinamakan dengan pondok pesantren dan di Aceh dinamakan dengan dayah, menurut Roger Garaudy, adalah merupakan system pendidikan yang paling popular di dunia Islam, seperti yang dijumpai pada Masjid Karawizyn di Fes Marokko, di Samarkand dan Cordova Spanyol.14 Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu dan pertukaran masa serta perkembangan zaman, pondok pesantren (dayah) terus berkembang dan tersebar hampir diseluruh pelosok pendesaan di Aceh khususnya. Kedudukan pondok pesantren tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan umat, yaitu sebagai benteng pertahanan Islam yang paling kokoh dan sulit dihancurkan oleh kaum orientalis misionaris (musuh-musuh Islam). Hal ini dapat dilihat dari upaya para musuh-musuh Islam dari dulu masa penjajahan sampai dengan sekarang, yang terus melakukan praktik pemurtadan dengan berbagai cara dan pendekatan, tetapi kenyataannya umat Islam tidak murtad. Umat Islam secara kuantitatif tetap utuh pada aqidah keislamannya, berkat peran dan fungsi pondok pesantren yang memposisikan dirinya sebagai benteng pertahanan umat Islam. 14 Roger Garaudy, Janji-Janji Islam (Terjemahan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 117. 7
  • 8. D. Peranan Dayah; Peradaban Islam di Aceh Ulama merupakaan waritsatul anbiya (pewaris para Nabi). Dalam mengembankan tugas dan fungsinya sebagai penyambung lidah para Nabi, ulama harus mengikuti metode atau pola perjuangan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Metode atau pola tersebut harus dimulai dengan dakwah dan pendidikan. Dengan Islam, Nabi Muhammad SAW mampu menggulirkan transformasi sosial yang dahsyat hingga berhasil menancapkan akar peradaban besar di dunia. Atas jasanya yang besar itu, kalau boleh meminjam bahasanya Gramsci, Muhammad adalah seorang intelektual organik. Sosok intelektual yang tidak cukup puas berteriak : "revolusi!" Tapi setelah itu langsung duduk di atas kursi empuk sambil menyeruput kopi. Namun dalam hal ini, beliau benar-benar terjun langsung menjadi eksekutor lapangan, bekerja keras mengorganiser kekuatan untuk melawan ketidakadilan dan memberantas kejahilan. Dari situlah awal mula proses transformasi social secara monumental dalam pengembangan umat dan perubahan pranata kehidupan umat manusia secara menyeluruh segala aspek kehidupan manusia. Dalam konteks historis Islam, peristiwa hijrah merupakan momentum paling penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan dan pembaharuan besar dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada sebuah peradaban yang maju dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan, penghargaan Hak Azasi Manusia (HAM), demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum, yang kesemuanya dilandasi dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai syari'ah. Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia. Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya 8
  • 9. sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : "al hijrah farraqat bainal haq wal bathil fa-arrikhuha" (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka jadikanlah momentum itu sebagai awal penanggalan kalender Islam). Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah sesungguhnya mengandung makna reformasi yang sangat luar biasa. Semangat reformasi tersebut terlihat dari langkah-langkah strategis yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika beliau menetap di Madinah, baik dalam bidang sosial keagamaan, politik, hukum maupun ekonomi. Rasulullah SAW Kemudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak pembentukan masyarakat baru, yaitu: 1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun masjid. 2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum Anshar. 3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian perdamaian. Melalui tiga hal di atas, Rasulullah SAW berhasil membangun masyarakat ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah, artinya “kota” atau “tempat peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah SAW secara bertahap menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan yang damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu, banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk Islam. Sehingga sangat layak dan pantas bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan sosok revolusi dan reformasi peradaban dunia. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perubahan dan pengembangan moralitas umat manusia dilanjutkan secara estafet oleh para sahabat, thabi’, thabi’in dan para ulama-ulama setelah itu, kesemuanya 9
  • 10. merupakan waratsatul anbiya yang mengemban tugas mengayomi umat dan berperan aktif dalam tranformasi social umat manusia. Dengan demikian, perubahan pranata dan peradaban kehidupan manusia tidak mungkin berhasil tanpa perubahan sistem nilai yang mendukung pembangunan peradaban masyarakat, yang kemudian diikuti oleh transformasi sosial untuk menjadi pondasi dalam persiapan penerimaan keadaan yang baru. Dalam konteks Indonesia, kita patut bertanya apa tawaran solusi konkrit lembaga-lembaga keagamaan Islam semacam MUI, NU, Muhammadiyyah dan ICMI terhadap masalah-masalah yang menimpa bangsa dan masyarakat seperti krisis moral, kemiskinan struktural, korupsi, penggusuran, pengangguran, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Lembaga-lembaga keagamaan tersebut justru sibuk dengan dunia sendiri yang jauh dari hiruk pikuk masyarakat. Bahkan tak jarang ikut terseret mendukung program atau proyek besar neoliberal yang cenderung menindas. Dari realitas itu kita tahu bahwa Islam tiba-tiba kehilangan citra diri sebagai pewaris gerakan pembebasan dan penegak keadilan. Hilangnya citra transformatif dan liberatif Islam tersebut seolah meneguhkan kepercayaan dan keyakinan nonmuslim bahwa mereka telah berhasil meracuni pemikiran umat Islam. Islam oleh lembaga-lembaga formalnya hanya difungsikan untuk memberi wejangan-wejangan dalam bentuk ritualisme absurd dan tidak memberi tawaran nyata untuk mengatasi problemtika sosial yang menghimpit umat, padahal Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin. Selain dari itu, dan ini yang paling naif, Islam justru banyak dipolitisir dan dikomersialisasikan oleh para pemeluknya sendiri. Parpol Islam banyak bermunculan, perda-perda syari'at diciptakan dan bank-bank syari'ah didirikan, tapi semua itu hanya sebatas strategi untuk menarik massa demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Melihat realitas sosial sekarang yang pengap, timpang dan menindas, Islam harus ditampilkan sebagai agama yang penuh gairah transformasi. Problematika sosial yang tengah menghimpit sekarang ini harus menjadi agenda utama seluruh institusi agama Islam. Namun, dari sekian banyak institusi dan lembaga-lembaga 10
  • 11. Islam yang ada sekarang ini, hanya pesantren yang masih eksis dalam memepertahankan gairah transformasi. Walaupun gairah tersebut terkadang sedikit luntur karena berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren. Kelunturan itu pun dianggap wajar, mengingat keberadaan pesantren yang mandiri dalam pengembangannya. Sebatas pemahaman kita selama ini, ada 3 (tiga) elemen yang membuat pesantren (dayah) mampu menjadi sub-kultur tersendiri, yaitu:15 1. Pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan- kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai (pimpinan pesantren)16 itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik. 2. Kitab-kitab rujukan yang digunakan di banyak pesantren, umumnya terdiri dari warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih (kitab kuning), dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan. 3. Sistem nilai atau values system yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-nilai dasar pesantren, 15 Lily Zakiyah Munir, Pesantren Harus Pertahankan Jati Dirinya, Wawancara Novriantoni dan Mohammad Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Lily Zakiyah Munir, direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), www.islamlib.com, diakses pada tanggal 6 Juni 2011 16 Kiai merupakan sebutan bagi seorang pimpinan pesantren dalam kultur masyarakat Jawa. Sedangkan di Aceh, sebutan bagi pimpinan pesantren adalah Abon, Abi, Abu, Waled, Teungku, dll. 11
  • 12. seperti al-ushûl khamsah (lima prinsip dasar) yang diadopsi dari paham Ahli Sunnah. Nilai-nilai dasar tersebut adalah: a. Tawâsuth, tidak memihak atau moderasi b. Tawâzun, menjaga keseimbangan dan harmoni c. Tasâmuh, toleransi d. Adl, sikap adil e. Tasyâwur, prinsip musyawarah “Pancasila” pesantren itu tidak hanya sekadar hiasan kata dan teori belaka, akan tetapi dibuktikan dengan terinternalisasi dan diprektikkan dalam dunia pesantren. Sebab, komunitas pesantren itu hidup seperti dalam akademi militer selama 24 jam, dan menjalankan aktivitas pendidikan sejak sebelum subuh sampai kembali tidur. Jadi, dunia pesantren sesungguhnya membuat miniatur dunia ideal mereka sendiri sebagai bekal mentrasfomasikannya kepada masyarakat. Berbekal elemen-elemen dan nilai-nilai dasar pesantren yang tersebut diatas, dalam semangat transformasinya, pesantren diharapkan bisa menjadi martil atas kuatnya sistem dan idiologi pembangunan modern. Idiologi pembangunan modern terbukti telah gagal menciptakan keadilan dan kemakmuran. Janji-janji kesejahteraan yang ditawarkannya hanya omong kosong dan pemanis mulut belaka, yang terjadi justru eksploistasi dan dominasi oleh kelompok pemodal terhadap kelompok lemah. Dengan demikian orang-orang yang jauh dari lingkaran kapital, hidupnya semakin termsarginalkan. E. Transformasi Sosial Pesantren; Upaya Mewujudkan Peradaban. Pesantren (Dayah) merupakan sebuah kampung peradaban bagi kehidupan manusia, khususnya bagi masyarakat pesisir yang berdomisili di pesisir dan pelosok pendesaan Aceh dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Keberadaannya didambakan, tetapi pesonanya sering kali tidak mampu membetahkan penghuninya. Bahkan ada segilintir kelompok menusia yang mengatakan pesantren sebagai bagian 12
  • 13. dari kamuflase17 kehidupan, alasannya karena pesantren lebih banyak mengurusi urusan ukhrawiyah dibandingkan dengan urusan duniawiyah. Pesantren sering dilabelkan sebagai pusat kehidupan fatalis18, karena memprioritaskan dan menanamkan kehidupan zuhud yang mengabaikan kehidupan dunia materi. Padahal, komunitas pesantren menikmati kesederhanaan kehidupannya sebagai bagian dari panggilan moralitas keberagamaan. Bagi mereka, dunia merupakan “alat atau media” untuk menggapai tujuan yaitu negri akhirat. Karena manusia tidak mungkin sampai ketujuan yang dicita-citakan tanpa ada alat atau media yang dijadikan sebagai sarana, begitu juga halnya seorang hamba tidak mungkin menikmati kehidupan akhirat tanpa membangun peradaban dunia yang baik. Mengapa misalnya, pesantren menjadi “besar” dan “berjasa” justru ditengah kesederhanaan dan ketulusan para tokohnya dalam memimpin lembaganya dengan berazaskan tanggung jawab moral islami dan dengan sikap tak lebih dari sekedar mengabdi pada sebuah profesi? Mengapa misalnya, pesantren menjadi “hebat” dan “kuat” justru ditengah kejujuran dan ketegaran para tokohnya dalam mengemban amanah umat dengan sikap lebih dari sekedar istiqamah? Mengapa misalnya, pesantren menjadi “hancur” dan “lenyap” justru ketika para tokohnya melakukan “lompat pagar” kedalam arena politik praktis yang menjanjikan kekayaan materi? Mengapa pesantren dan transformasi social? Karena, sulit membayangkan bahwa seorang ulama yang mendirikan dan memimpin sebuah pesantren besar dan ternama di sebuah wilayah, mencurahkan segala infrastruktur intelektualnya, tanpa melakukan transformasi social. Bahkan peranan tersebut, menurut hemat penulis, jauh lebih besar dan kompleks daripada kajian ilmiah yang pernah dipublikasikan, baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, artikel atau sebuah laporan sebuah majalah/tabloid ternama sekalipun. Peranan mereka (komunitas pesantren; ulama/teungku dan santri), jauh lebih riil dan monumental dalam proses transformasi 17 Penyamaran dan pengelabuan. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007, hal. 499). 18 Orang yang percaya atau menyerah saja pada nasib. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Ibid, hal. 314). 13
  • 14. social ketimbang hasil telaah di ruang terbatas yang sangat mungkin telah melewati proses penyederhanaan masalah. Pesantren sebagai salah satu pintu transformasi sosial, memang telah membuktikan keterlibatannya dalam menyiapkan tunas agama dan bangsa dimasa depan. Sumbangsih pesantren dalam menciptakan dan melahirkan generasi penerus sebagai pewaris tongkat estafet agama dan bangsa merupakan yang paling monumental, khususnya dalam sejarah pendidikan Islam di Aceh. Pesantren telah menjadi “agent of change” bagi umat Islam Indonesia dan Aceh khususnya. Pesantren juga telah menyiapkan dan memberikan apa yang diminta dan dibutuhkan oleh negri ini; “Dayah (Pesantren) dan Aceh bukanlah sebuah alternatif satu sama lain, melainkan ia adalah sebuah realitas historis”. Nurcholish Madjid mengatakan, efektifitas dayah (pesantren) untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya, pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat, community learning centre.19 Secara tradisi, sebuah institusi pendidikan Islam sekaligus sebagai lembaga dakwah dapat disebut “pesantren” kalau ia memiliki elemen-elemen utama yang lazim dikenal di dunia pesantren. Menurut studi Zamakhsyari Dhofir (Tradisi Pesantren, LP3ES, 1990), Elemen-elemen utama itu antara lain; (1) pondok (bilek dalam khazanah keacehan), (2) mesjid/mushalla, (3) santri, dan (4) Kyai/Ulama sebagai pimpinan (Abon, Abu, Waled, dll dalam khazanah keacehan). Berbagai studi tentang pesantren menyimpulkan bahwa di antara empat elemen utama di atas, elemen kyai/ulama-lah yang paling menentukan masa depan sebuah dayah. Gejala pesantren sebagai “kampung peradaban” dan pusat “transformasi sosial” mulai terasa sejak beberapa alumninya mampu menjadi pionir20 intelektualitas di Aceh. Mereka telah menyebarkan daya tarik tersendiri dan memberikan godaan cerdas terhadap publik, bahwa dunia pesantren dengan segala kesederhanaan dan 19 Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, Cet I, 1997), h. 125. 20 Perintis atau pelopor. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007, h. 878). 14
  • 15. kekurangannya justru menyimpan potensi besar untuk melakukan transformasi peradaban Islam yang universal. Caranya beraneka ragam, bisa melalui jalur politik, dunia bisnis (perniagaan), bidang pertanian, perkebunan, lembaga pendidikan, lebih- lebih lagi terjun ke dunia dakwah (jurnalis), dan lain sebagainya. Keniscayaan bahwa pesantren tetap utuh hingga kini bukan hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam melakukan akomodasi-akomodasi tertentu seperti terlihat di atas, tetapi juga lebih banyak disebabkan oleh karakter eksistensialnya. Karakter yang dimaksud adalah, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid, pesantren tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga yang murni berkarakter keindonesiaan, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas lingkungannya memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan. Hal ini tidak hanya terlihat dari hubungan latar belakang pendirian pesantren dengan lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pihak pesantren melakukan ‘balas jasa’ kepada komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, termasuk dalam bentuk mendidik masyarakat, bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi. Atas kemandirian pesantren ini, Martin van Bruinessen, salah seorang peneliti keislaman dari Belanda, meyakini bahwa di dalam pesantren terkandung potensi yang cukup kuat dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society). Sungguhpun demikian, menurutnya, demokratisasi tetap tidak bisa diharapkan melalui instrumentasi pesantren. Sebab, dalam pandangan Martin, kiai-ulama di pesantren adalah tokoh yang lebih dominan didasarkan atas nilai kharisma. Sementara, antara kharisma dan demokrasi, keduanya tidak mungkin menyatu.21 Walaupun demikian, menurut Martin, kaum tradisional (termasuk pesantren) di banyak negara berkembang 21 Ellyasa K.H. Darwis, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, Cet. I, 1994), h. 77-78. 15
  • 16. tidak dipandang sebagai kelompok yang resisten dan mengancam modernisasi.22 DAFTAR BACAAN Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1994. Abdullah Nasheh, ‘Ulwan, Tarbiyatul Awlad fil Islam, Beirut: Daral Islam, 1981 Abdurrahman Wahid, ”Principles The Pesantren Education”, dalam Manfred Oepen and Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, P3M, Jakarta, 1998. Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed) Taufiq Abdullah,. Jakarta: Rajawali Press, 1983. Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. XIV, 1997. Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, Cet I, 1997. Ellyasa K.H. Darwis, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, Cet. I, 1994. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1982. Mastuhu, Dinamika system Pendidikan Pesantren,.Jakarta: INIS, 1988. Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994. Roger Garaudy, Janji-Janji Islam (Terjemahan), Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Siti Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pusat Antara, 1962. Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007. Zarkasyi, Paradigma Baru Pendidikan Dayah, dalam Muslim Thahiry, dkk, ”Wacana Pemikiran Santri Aceh”, Banda Aceh, BRR NAD-Nias, PKPM & Wacana Press, 2007. 22 Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. vi. 16