Teks ini membahas sejarah tradisi pesantren di Indonesia. Ia menjelaskan lonjakan pesat jumlah lembaga pesantren dari 1.853 pada tahun 1831 menjadi 17.506 pada tahun 2007 akibat dukungan pemerintah. Teks ini juga menggambarkan peran penting para ulama dan pesantren dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa, sastra, dan moral keislaman di masyarakat Indonesia pada masa kejayaannya antara tah
Pendidikan merupakan lembaga untuk mengenyam dan mempelajari ilmu pengetahuan. Pendidikan memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia, tentu pendidikan berkembang oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai wujud terimakasih kepada Indonesia karena telah membantu memberikan keuntungan untuk kas Belanda
Pendidikan merupakan lembaga untuk mengenyam dan mempelajari ilmu pengetahuan. Pendidikan memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia, tentu pendidikan berkembang oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai wujud terimakasih kepada Indonesia karena telah membantu memberikan keuntungan untuk kas Belanda
1. SEJARAH TRADISI PESANTREN
Oleh: Zamakhsyari Dhofier,*
PENDAHULUAN
Jumlah lembaga pendidikan pesantren di seluruh Indonesia pada kurun waktu 20 tahun
terakhir, berkembang sangat cepat; pada bulan Desember 2007 yang lalu telah mencapai
sebanyak 17.5061
. Dalam buku “Tradisi Pesantren” yang saya tulis tahun 1980 dan telah
diterbitkan ulang 7 kali oleh LP3ES2
, menguraikan perkembangan jumlah lembaga pesantren di
pulau Jawa dari tahun 1831 sampai dengan tahun 1977. Berdasarkan laporan Departemen
Agama, jumlah lembaga pendidikan pesantren di seluruh Indonesia pada tahun 1987 sebanyak
6.5793
; dan pada tahun 1990 belum terjadi perkembangan jumlah yang cukup berarti.
Lonjakan jumlah lembaga pesantren yang luar biasa terjadi mulai tahun 1990 sebagai
buah dari kebijakan baru Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional pada bulan Maret 1989 memberikan legalitas yang sama dengan sekolah-
sekolah negeri tingkat dasar dan menengah terhadap madrasah-madrasah tingkat dasar dan
menengah yang dikembangkan di pesantren. Disamping itu, mulai tahun tersebut, banyak sekali
generasi muda yang berlatar-belakang pendidikan pesantren berhasil menyelesaikan pendidikan
guru di berbagai perguruan tinggi. Lonjakan yang spektakuler selama 17 tahun tersebut, saya
perkirakan akan terus berlanjut. Pada tahun 2020 mendatang jumlah lembaga pesantren
kemungkinan akan mencapai sekitar 25.000. Jumlah lembaga pesantren yang terus berlanjut
tersebut disebabkan karena lembaga pendidikan pesantren inilah yang dengan cepat dapat
memberikan santunan pendidikan bagi generasi muda pedesaan yang memerlukan pendidikan
tingkat menengah dan tinggi. Departemen Pendidikan Nasional yang mengutamakan standar
kualitas sulit menambah jumlah fasilitas pendidikan menengah dan tinggi yang mencukupi
kebutuhan serta biaya yang terjangkau peserta didik di pedesaan.
LATAR BELAKANG SEJARAH
Pesantren mempunyai latar-belakang sejarah yang sangat panjang yang tidak dapat
dipahami dari sudut perkembangan jumlah lembaganya. Meskipun demikian, ada baiknya saya
memulai uraian sejarah pesantren dengan mengkaji data paling awal yang tersedia, yaitu laporan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tahun 18314
tentang lembaga-lembaga pendidikan
penduduk Jawa yang mencatat jumlah lembaga-lembaga pengajian Al-Qur’an dan pesantren
sebanyak 1.853. Van der Chijs, seorang pejabat pendidikan Belanda yang berkunjung ke
Indonesia pada tahun 1831 untuk merancang bantuan lembaga-lembaga pengajian dan pesantren
di Jawa mengembangkan pendidikan model Eropa, mengemukakan bahwa sejumlah besar
* Rektor Universitas Sains Al Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo, Lulusan Australian National University,
Penulis Buku Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
1 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan, Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Desember 2007, hal 127 dan 132
mencatat jumlah pesantren di seluruh Indonesia mencapai 17.506 dan santri sebanyak 3.289.141.
2 Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Cet. Ketujuh, 1997, LP3ES, Jakarta
3 Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradition & Change in Indonesia Islamic Education, Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama, Jakarta, 1995, hal. 123.
4 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, op.cit., hal. 35
2. lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengajarkan tidak lebih dari pembacaan Qur’an, dan
hanya sebagian kecil murid diajar menulis Arab. Van der Chijs berpendapat lembaga-lembaga
semacam itu tidak layak untuk mengembangkan pendidikan moderen model Eropa; yang layak
hanyalan lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh gereja.
Laporan Pemerintah Hindia Belanda tahun 18855
mencatat perkembangan jumlah
lembaga pengajian dan pesantren di seluruh Jawa (kecuali Kesultanan Yogyakarta) mencapai
14.929, dengan murid sebanyak 222.663. Menurut van den Berg, yang lebih paham tentang
kualitas pendidikan pesantren memberikan pandangan yang lebih baik dari pada van der Chijs,
dan berpendapat bahwa 4/5 dari lembaga tersebut memberikan pengajaran dasar pembacaan
Qur’an; sekitar 3.000 lembaga mengajarkan pengetahuan dasar bahasa Arab dan kitab-kitab
pelajaran agama Islam tingkat dasar, antara lain kitab Safinah al-Najah, Sullam al-Tauhid, dan
Sharah al-Sittin. Van den Berg juga menilai bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang dapat
dikategorikan sebagai lembaga pesantren mencapai sebanyak 300 buah. Lulusannya banyak yang
berhasil melanjutkan pendidikannya di Makkah, Saudi Arabia, dan setelah kembali ke Indonesia
menjadi pendidik-pendidik yang sangat berpengaruh, bahkan melakukan pembaharuan
pemikiran keislaman di masyarakat Indonesia.
Lonjakan jumlah lembaga pengajian dan pesantren dari 1.853 buah pada tahun 1831
menjadi 14.929 dengan jumlah santri mencapai 222.663 pada tahun 1885 adalah buah dari
pesatnya perkembangan hubungan laut antara negeri Belanda dan jajahannya, Hindia Belanda.
Dengan ditemukannya kapal api menjelang abad ke-19 dan dibukanya Terusan Suez pada tahun
1869, perusahaan kapal Belanda KPM diberi izin oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk
mengangkut jema’ah haji Indonesia. Belanda juga mencabut resolusi-resolusi tahun 1825, 1831
dan ordonansi tahun 1859 yang melarang umat Islam Indonesia melakukan perjalanan haji ke
Makkah. Kesempatan melakukan ibadah haji tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh umat
Islam Indonesia. Pada tahun 1887, sebagaimana dituturkan oleh Bernard Dahm, di 43.000 desa
di Indonesia sudah terdaftar sebanyak 48.819 haji dan 21.500 guru dan kyai pimpinan pesantren.
Sejak tahun 1890, di Indonesia setiap tahun bertambah sekitar 10.000 haji. Itulah sebabnya
Pemerintah Kolonial mulai ketakutan terhadap aktivitas masyarakat pesantren6
. Snouck
Hurgronje yang melakukan penelitian di Makkah selama 6 bulan pada tahun 1881 untuk bahan
penulisan disertasi doktornya menjelaskan bahwa pada tahun tersebut di Makkah terdapat tidak
kurang dari 5.000 mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Makkah7
. Menyadari semakin
kuatnya kesadaran “Pan Islamisme” masyarakat pesantren sebagai buah pergaulan mereka
selama di Makkah, Snouck yang diangkat sebagai penasehat Pemerintah Kolonial pada tahun
1890, menyarankan Gubernur Jendral di Batavia agar memberikan kesempatan kepada kelompok
masyarakat elit pribumi untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda sebagai
bagian dari upaya membatasi pengaruh pesantren dalam kehidupan sosial, kultural, dan politik
masyarakat pribumi8
.
Survai yang dilakukan oleh kantor Shumubu (Kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh
Pemerintah Militer Jepang di Jawa 1942-1945) tahun 1942 mencatat jumlah pesantren serta
5 Ibid, hal. 35
6 Bernard Dahm, History of Indonesia in the Twentieth Century, London: Pall Mall Press, hal. 10
7 Snouck Hurgronje, Mecca in the Later Part of the Nineteenth Century, Leiden: E.J. Brill, 1931, hal. 1931
8 Harry J. Benda, The Crecent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation of Java, W.
Van Hoeve, Ltd., The Hague, 1958, hal. 57.
3. madrasah sebanyak 1.871, dan murid-muridnya sebanyak 139.4159
. Penurunan jumlah pesantren
dan madrasah tersebut pada masa pendudukan Jepang dibandingkan dengan hasil survai tahun
1885, merupakan buah dari upaya Pemerintah Hindia Belanda membatasi perkembangan jumlah
pesantren dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah bagi murid-murid Indonesia,
dan mulai pertengahan dasawarsa 1910-an memberikan kesempatan yang lulus sekolah atas
mengikuti pendidikan tinggi. Jumlah seluruhnya sebanyak sekitar 100.00010
, hampir sama
dengan jumlah berkurangnya santri dari tahun 1885. Kedua, dengan berkecamuknya Perang
Dunia I dan II serta bergantinya kekuasaan pemerintahan Syarif Husein di Saudi Arabia ke
pemerintahan Ibnu Saud, jumlah santri senior dari Indonesia yang belajar ke Masjidil Haram di
Makkah mengalami penurunan yang sangat drastis sehingga lembaga pesantren dan madrasah
kekurangan guru.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan
baru Indonesia yang merdeka, masyarakat dan pemerintah mengutamakan pengembangan
sekolah-sekolah dan pendidikan tinggi moderen. Pesantren mengalami stagnasi. Baru pada awal
tahun 2001, pemerintah menyadari potensi pesantren untuk menyantuni kebutuhan pendidikan
bagi generasi muda pedesaan dan pinggiran kota. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang
maju hanya dapat dikembangkan di kota-kota besar dan hanya dapat menyantuni kebutuhan
pendidikan bagi kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi. Sejak tahun 2001 tersebut,
pemerintah mengembangkan Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pesantren, setelah menyadari
betapa cepatnya perkembangan pesantren di wilayah-wilayah pedesaan, sehingga pada Desember
2007 jumlahnya telah mencapai 17.509.
PESANTREN PADA MASA JAYANYA
Untuk dapat menatap ke masa depan dengan penuh percaya diri, maka makalah ini akan
menjelaskan beberapa hal sebagai berikut: Pertama: seberapa besarkah peran para ulama di
nusantara pada masa jayanya (1400-1680) sehingga mereka mampu meletakkan dasar-dasar
ilmu pengetahuan serta intelektualisme Islam yang tangguh. Periode masa jaya ini perlu dibagi
kedalam dua periode mendaki puncak kejayaan (1400-1511), dan periode turun dari puncak ke
dataran (1511-1680).
Periode 1400-1511 merupakan periode pesta pora rempah-rempah dan perdagangan di
Asia Tenggara, khususnya di wilayah nusantara. Puncak kejayaan itu tergambar pada besarnya
kapal-kapal “jung” milik para pedagang di nusantara yang mendominasi perdagangan selama
abad ke-15. Jung terbesar yang pernah ada adalah sebuah pengangkut militer berbobot mati
kira-kira 1.000 ton, dibuat di Jepara untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513.
Sebagai pusat perdagangan paling ramai di Asia Tenggara dan juga sebagai pusat penyebaran
Islam sebelum direbut oleh Portugis pada tahun 1511, Malaka berkembang sebagai kota
kosmopolitan yang paling mendunia, bahkan bila diukur dari sudut jumlah bahasa yang dipakai
oleh para pedagang di kota itu, yaitu sekitar 35 bahasa. Para ulama yang mendampingi para
pedagang Muslim yang memegang dominasi aktivitas perdagangan di nusantara memusatkan
kegiatannya pada pembangunan komunitas Muslim (masa “formative period” masyarakat
9 Ibid, hal. 40.
10 Lihat H.J. Benda, op.cit, hal. 31.
4. Muslim). “Formative Period” itu meliputi banyak hal, bukan hanya dalam bidang keagamaan
saja. Salah satu aspek yang juga sama pentingnya ialah “proses pembentukan kebudayaan
Melayu Modern” dimana bahasa Arab menjadi acuan utama bagi pemilihan kata-kata serta
tulisan Arab Melayu yang disebut “huruf Jawi”. Dominasi bahasa Melayu sebagai “lingua
franca” aktivitas perdagangan serta kehidupan politik di wilayah Nusantara jelas sekali dari
perubahan sistem pemerintahan dari Hindu Buddhis menjadi kesultanan. Naskah-naskah dalam
bahasa Melayu Jawi yang paling tua ditemukan pada akhir abad ke-16, dan penulisnya adalah
Hamzah Fansuri. Para ulama dan pemikir 400 tahun sebelumnya mungkin disibukkan oleh
aktivitas dakwah dan pembimbingan umat yang baru terbentuk.
Periode 1511-1680 menghadapi ancaman Portugis, dan pada abad ke-17 ancaman baru
yang jauh lebih kuat dari Belanda dan Inggris. Pada awal periode ini Portugis mendominasi
peperangan laut yang memaksa pedagang nusantara menggunakan perahu kecil-kecil pengangkut
lada agar dapat lari lebih cepat menghindari patroli Portugis. Dan untuk menghindari kontrol
Portugis di lautan Hindia para pedagang Muslim di nusantara membangun “jalur alternatif
Islam” ke Laut Merah, berlayar dari Aceh langsung melintasi Samudra Hindia lewat Maladewa
menuju Mesir. Itulah sebabnya Kesultanan Aceh menjadi makmur, terutama di masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1638). Khawatir atas ancaman asing yang
membahayakan eksistensi komunitas keagamaan Islam yang baru akan mulai mapan, sejumlah
ulama menulis karya-karya yang diperlukan untuk menjadi pegangan yang lebih kuat, agar umat
Islam (terutama ulama dan pemikir) lebih dapat mendalami ajaran dan intelektualisme Islam
melalui bacaan.
Kedua, makalah ini juga ingin menjelaskan bagaimana para ulama mampu berperan sebagai
pembangun dan pengembang bahasa dan sastra Melayu, dan ketiga, bagaimana mereka mampu
mengembangkan moral keislaman dalam masyarakat, dan menuntun para pemimpin
menjalankan roda pemerintahan dengan moral keislaman, dari sistem kerajaan Hindu-Budis
menjadi sistem kesultanan.
Pada masa kejayaan pesantren antara tahun 1400 sampai dengan 1680 tersebut pesantren
melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan hebat antara lain, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-
Sumatrani, Arraniri, dan al-Singkili. Tokoh-tokoh tersebut adalah ulama besar, intelektual,
pemikir dan pembentuk peradaban Melayu klas dunia yang juga pelaku sejarah dalam pentas
politik dan pemerintahan. Ada seorang ‘alim lagi yang lahir di Pasei yang setelah saya kaji
dengan serius, sangat penting untuk dimasukkan sebagai pemikir dan alim agung, meskipun
belum ditemukan peninggalan-peninggalannya dalam karya-karya tulisan, namun jasa-jasanya
diketahui dengan jelas sebagaimana dicatat oleh para pelaku serta pencatat sejarah nusantara;
namanya Syekh Nurullah. Dari catatan sejarah itulah diketahui bahwa jasa Syekh Nurullah
sangat spektakuler mungkin melebihi jasa empat tokoh yang lahir sesudahnya. Kelima pemikir
besar tersebut, hanya Arraniri yang lahir di luar Aceh. Syekh Nurullah lahir sekitar tahun 1490
dan meninggal pada tahun 1570 dalam kedudukan sebagai Sultan Cirebon. Hamzah Fansuri lahir
di Barus (1550?-1604?). Syamsuddin lahir di Pasei dan meninggal tahun 1620. Arraniri lahir di
Ranir, Gujarat, pada dasawarsa 1590an dan meninggal tahun 1658, dan al-Singkili lahir di
Singkel, meninggal tahun 1693.
5. Pada periode antara tahun 1490-1690 itu, kelimanya mampu meletakkan dasar-dasar
pemikiran ilmu keislaman di nusantara. Oleh karena itu, untuk dapat memahami rumit dan
kedalaman kreativitas pemikiran mereka, terlebih dahulu perlu diketahui perkembangan situasi
ekonomi, politik, agama, dan kultural Asia Tenggara antara tahun 1400-1690. Mereka berlima
adalah pemikir besar dan sekaligus pelaku sejarah dalam peradaban Islam sebagai peradaban
dunia yang masih memainkan peran sangat penting pada periode tersebut. Disamping itu, mereka
berlima hidup di wilayah nusantara, wilayah yang sangat penting dan menjadi panggung baru
dalam percaturan peradaban dunia.
Sepertinya, setelah emporium Abbasiyah berakhir oleh serbuan Hulaghu Khan pada
tahun 1258, serta kemunduran perdagangan Muslim di wilayah Timur Tengah dan Lautan
Tengah, masyarakat nusantara pada periode 1258-1511 dapat bertindak sebagai salah satu
“penyelamat Dunia Islam” yang mulai melemah pemornya. Penyelamat lainnya: Kesultanan
Turki, Kesultan Mughal dan Dinasti Mamluk di kawasan Mesir, Syam, Hijaz, dan Nubia. Sultan
Salim di Palestina memang menang dalam Perang Salib; tetapi dalam format percaturan
peradaban antara Asia dan Eropa, pengalaman Perang Salib menguatkan upaya para pemikir dan
pemimpin Eropa untuk dapat mengalahkan Islam. Islam telah menguasai percaturan dalam
peradaban dunia selama sekitar 1.000 tahun, yaitu sejak zaman Khulafaur-Rasyidin sampai
dengan kegagalan Turki menduduki kota Wina pada tahun 1611. Cita-cita Eropa mengungguli
Islam, mulai terwujud setelah Umayyad terusir dari Cordoba pada tahun 1498, dan sejak tahun
itu Eropa terus melaju melakukan ekspansi besar-besaran ke seluruh penjuru dunia.
Kajian ini berarti searah dengan kajian Prof. Muhammad Sayed Naquib al-Attas yang
melakukan periodisasi peradaban dan sejarah Kepulauan Melayu-Indonesia moderen bukan
kelanjutan dengan sejarah benua India, melainkan merupakan kelanjutan dari sejarah peradaban
Islam dan Eropa. Dengan pudarnya Majapahit, bahkan Kepulauan Melayu sepertinya
melepaskan diri dari keterpakuannya dengan peradaban India. Bahasa Melayu dan Jawa kuno
melepaskan diri keterikatannya dari bahasa Sansekerta; demikian pula abjad dan aksara yang
berakar kepada tulisan Sansekerta berubah sepenuhnya ke abjad dan tulisan “Arab pegon” atau
“Arab Jawi”. Buku-buku karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Arraniri, dan
Abdurrauf al-Singkili itulah yang melegitimasi bahasa dan sastra Melayu Islam yang ditulis
dengan huruf Arab Jawi. Adalah suatu keajaiban, Arraniri yang berdarah asli Arab dan lahir di
Ranir, Gujarat, menulis hampir seluruh karya-karyanya dalam bahasa Melayu moderen dan
dalam huruf dan abjad Arab Jawi.
Selama sekitar 150 tahun pada periode sejak meninggalnya Gajah Mada 1358-1511,
masyarakat nusantara menjadi pelaku yang penting dalam percaturan dan akulturasi peradaban
dunia. Pertama, memudarnya Majapahit setelah meninggalnya Gajah Mada, tidak menjadikan
kehidupan politik dan ekonomi nusantara memudar. Perdagagan rempah-rempah dengan Gujarat
justru berkembang pesat. Eropa Barat semakin memerlukan rempah-rempah sebagai penghangat
tubuh karena mereka semakin kaya setelah berhasil merebut kendali perdagangan internasional
di Eropa Selatan dan Barat serta Lautan Tengah dari tangan para pedagang Muslim.
Kedua, munculnya Kerajaan Malaka pada tahun 1403, yang kemudian berkembang
sebagai emporium baru yang kuat setelah menjelma sebagai sebuah kesultanan Muslim mulai
tahun 1407, selama satu abad Kesultanan Malaka mampu mengembangkan wilayahnya sebagai
6. transito perdagangan Muslim yang makmur, serta sebagai pusat penyebaran dan studi Islam,
serta pusat penyebaran bahasa dan sastra Melayu, yang menurut al-Attas berakar dari Melayu
Barus dan Pasei, bukan Melayu Riau. Sejumlah ulama Hadramaut dan Gujarat melakukan
eksodus ke wilayah nusantara. Kemakmuran Malaka meluas ke seluruh negara-negara di wilayah
Asia Tenggara, dan wilayah nusantara berkembang sebagai produsen rempah-rempah terbesar
yang paling makmur. Hal ini berakibat terjadinya perubahan kehidupan keagamaan semua
kelompok masyarakat nusantara secara revolusioner. Pada abad ke-16 ini industri perkapalan di
Asia Tenggara maju pesat. Kelemahan Hinduisme sebagai bagian emporium Majapahit yang
memudar diganti oleh menguatnya Islam sebagai agama baru penduduk nusantara yang
memadukan dan meramukan trilogi keislaman, perdagangan dan ke-Melayuan dalam satu
etika dan logika peradaban.
Ketiga, kemakmuran pedagang nusantara menurun pada abad ke-16 meskipun sampai
dengan tahun 1640 masih mampu bertahan sebagai produsen rempah-rempah. Penurunan
kemakmuran pedagang nusantara itu disebabkan karena Portugis merebut Malaka pada tahun
1511 dan kemudian Maluku oleh Portugis, yang mengakibatkan para pedagang nusantara
(terutama pedagang Jawa yang selama abad ke-15 memegang ekspansi perdagangan yang paling
kuat) kehilangan dominasinya, dan hanya sebagai pemasok. Kapal-kapal jung Jawa dirampas
oleh Portugis setelah serangan Dipati Unus terhadap Malaka dipatahkan pada tahun 1513, dan
sebagian lagi dihancurkan. Yang tersisa adalah kapal-kapal kecil yang menghubungkan kota-kota
pedalaman dan kota-kota pantai pemasok. Para pedagang nusantara kehilangan kemampuan
mereka dalam perdagangan interinsuler dan internasional. Dominasi peradaban Islam dalam
pentas Asia Tenggara berangsur-angsur menurun digantikan oleh menguatnya peradaban Eropah.
Islam di Cordoba terusir dari daratan Spanyol. Kesultanan Mughal juga semakin melemah. Pada
posisi dan lingkungan ekonomi-politik seperti inilah para pemikir besar di wilayah Kesultanan
Aceh, yang pada kurun waktu antara 1590 sampai dengan tahun 1638, masih mampu bertahan
sebagai kesultanan dengan perdagangan yang cukup makmur, berupaya merumuskan dasar-dasar
intelektualisme Islam, yang waktu itu menghadapi tekanan berat oleh ancaman peradaban Eropa
Barat.
Intelektualisme Islam yang dirumuskan oleh para ulama pendahulu tersebut merupakan
hasil ijtihad yang nilai dan kedalaman kreativitasnya sangat tinggi, dan tangguh meskipun para
ulama pewaris masa-masa berikutnya menghadapi tempaan badai kolonialisme Eropa Barat
selama kurang lebih 350 tahun. Islam di nusantara yang diwariskan oleh para ulama itu, diakui
oleh Prof. Muhammad Naquib al-Attas sebagai Islam yang universal yang akan tetap kuat
menghadapi perkembangan semua zaman, yaitu Islam yang mampu membentuk karakter
masyarakat Islam sebagai “ummatan wasathon yang tasammuh” dan mampu menjadikannya
sebagai “khoira ummah”.
Islam warisan para ulama itu, dan tumbuh terus (meskipun menghadapi badai
kolonialisme Eropa yang mengakibatkan tertinggal dengan kemajuan peradaban Eropa), serta
mampu memperkuat dimensi kerohanian umat. Islam di nusantara itu terbukti tumbuh sebagai
agamanya suatu bangsa di negara berpenduduk terbesar ke-empat di dunia yang ingin terus maju
dan oleh karena itu diharapkan mampu memberikan makna hidup yang lebih tinggi bagi
peradaban kemanusiaan dewasa ini. Keunggulan Islam di nusantara ini semua berkat dari
unggulnya kualitas dasar-dasar intelektualisme Islam, sebagaimana ditulis sendiri oleh
7. Arraniri: “saya pengikut Syafi’iyyah dalam masalah fiqh, pengikut Asy’ariyyah dalam masalah
aqaid, dan pengikut Juneidiyyah dalam masalah Tasauf”. Keyakinannya itu ditanamkan oleh
ulama pewaris pada setiap awal tulisannya di berbagai kitab, yang juga diikuti oleh para ulama
penerus yang ingin membuktikan bahwa ulama penerus tersebut mampu merawat, menjaga dan
mengembangkannya.
Kolonialisme Eropa Barat selama 350 tahun itu memang menyebabkan intelektu-alisme
Islam di nusantara terhambat perkembangannya, karena harus pindah ke desa-desa.
Kolonialisme Eropa menguasai kota-kota dan seluruh pantai nusantara. Pusat-pusat studi Islam
yang berbobot yang mampu mewisuda mahasiswa sekualitas Syekh Nurullah, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin al-Sumatrani, Arraniri, dan Abdurrauf al-Singkili memang hancur di perkotaan
karena dihantam oleh badai kolonialisme. Lahan desa memang tidak cukup subur untuk
mengembangkan intelektualisme Islam yang tinggi mutunya, tidak pula cukup pupuk (yaitu
dalam bentuk komunikasi intelektual dengan para ulama di Timur Tengah dan pusat-pusat studi
Islam di Gujarat) yang dapat diimpor, dan tidak cukup pula tenaga ahli yang berkualitas untuk
meningkatkan mutu intelektualisme Islam di nusantara. Pusat-pusat studi Islam di luar negeri
pun pada waktu itu sedang sangat merana. Namun demikian, Islam di nusantara tetap kuat dan
berkembang, meskipun untuk sementara melakukan kontemplasi di desa-desa dalam kelompok-
kelompok Tasauf dan tarekat. Dan buahnya jelas, pesantren-pesantren dan madrasah sampai kini
tetap kuat dan berkembang dengan jumlah dan jaringan pendidikan Islam yang paling luas dari
pada negeri-negeri Muslim lainnya.
MENATAP KE MASA DEPAN
Fajar harapan baru mulai terbuka pada awal abad ke-20. Sebagian kecil generasi muda
ahli waris ulama memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan dasar, menengah, dan tinggi
“modern” selama beberapa dasawarsa pada abad ke-20. Kelompok cendekiawan baru yang
terbentuk ini selama tujuh dasawarsa pertama abad ke-20 masih terpukau oleh kemilaunya
peradaban Barat yang melemahkan kesadaran mereka untuk dapat menghargai warisan tradisi
dan sejarah kebudayaan bangsanya sendiri. Warisan dan jasa para ulama-pun dilupakan, bahkan
dianggap sebagai penyebab kegagalan nenek moyang mengatasi dominasi penjajah. Sebagian
diantara mereka itu kecewa dan menilai warisan pemikiran Islam para ulama masa lalu telah
usang dan menjadi penyebab pengekang dinamika umat. Mereka mempertentangkan antara
tradisi dengan modernitas. Antara tahun 1924 dan 1955 sejumlah pemimpin Islam bahkan saling
bertengkar, dan saling mengkafirkan karena salah menafsirkan masalah-masalah tradisi dan
modernitas.
Beruntunglah, mulai seperempat terakhir abad ke-20 muncul tokoh-tokoh yang
mendalami karya-karya para ulama terdahulu dan menyadari tingginya nilai peninggalan para
ulama tersebut. Prof. Dr. Sayed Muhammad Naquib al-Attas, misalnya, telah menulis buku
bejudul: “The Mysticism of Hamzah Fansuri” yang diterbitkan oleh University of Malay Press
tahun 1970. Tahun 1972, ia menerbitkan lagi sebuah buku: “Islam dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu” dan sejumlah tulisan lainnya yang mengupas sumbangan besar Hamzah
8. Fansuri, Syamsuddin al-Sumatani, Arraniri dan Abdurrauf al-Singkili dalam pengembangan
bahasa, sastra, kebudayaan serta penulisan sejarah Melayu. Selama 400 tahun karya-karya ulama
yang juga sarjana-sarjana tangguh, terabaikan dan tertimbun oleh “debu pengabaian” tanpa ada
perhatian dari para pemikir Islam.
Dalam buku-bukunya itu al-Attas mengungkapkan kekagumannya terhadap Hamzah
Fansuri sebagai seorang penyair dan Sufi Melayu yang paling masyhur. Hamzah Fansuri
memberikan bukti kehebatan para ulama seangkatannya dan ulama yang mendidiknya dalam
bentuk tulisan-tulisan. Buku-bukunya itu dimaksudkan untuk memantapkan dasar-dasar
pemikiran serta kerohanian Islam dalam bentuk tulisan-tulisan berbahasa Melayu, agar
masyarakat yang tidak menguasai bahasa Arab dapat mempelajari ilmu pengetahuan melalui
tulisan. Dengan demikian, pengetahuan yang diperolehnya dapat lebih mantap dan selalu dapat
dicek melalui tulisan.
Tulisan-tulisan Hamzah Fansuri tersebut berawal dari tahun 1590an. Karya-karya
Hamzah Fansuri itu pulalah yang membakukan bahasa dan sastra Melayu yang Islami yang
ditulis dengan “Arab Pegon” atau lebih dikenal “Tulisan Arab Jawi”. Dengan demikian, bahasa
dan sastra Melayu menjadi mapan dan dapat berkembang hidup, lengkap dalam bentuk tulisan
yang memungkinkan ulama generasi berikutnya dapat mendalami dan meneruskan bahasa dan
kebudayaan Melayu. Arraniri yang lahir di Ranir, Gujarat, tidak mungkin dapat menjadi
mahasiswa dalam bidang kebudayaan, bahasa dan sastra Melayu dan muncul sebagai ulama dan
sarjana Melayu bila tidak belajar dari karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani
dan karya-karya Melayu lain yang ditulis oleh ulama dan sarjana lainnya, baik sebelum
generasinya Hamzah Fansuri maupun yang seangkatannya. Sebagaimana akan disinggung nanti,
dalam penulisan khusus untuk buku-buku Tasaufnya, Arraniri mengutip sebagai rujukannya tidak
kurang dari 69 buku-buku yang telah terbit. Mungkinkah para penulis pendahulu Arraniri
tersebut hanya gemar membaca dan tidak mau menulis? Demikian pula guru-gurunya Hamzah
Fansuri, mungkinkah mereka hanya membaca buku-buku yang telah terbit dan mengajarkannya
kepada Hamzah Fansuri secara lisan tanpa mengajarnya menulis?
Langkah Hamzah Fansuri itu diikuti oleh murid-muridnya dan para ulama berikutnya
sehingga sastra Islam Melayu segera dapat berkembang pesat dan mencapai puncaknya berupa
karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf as-
Singkili pada akhir abad ke-17. Keempat ulama tersebut sangat penting untuk diakui sebagai
peletak pertama dasar-dasar pemikiran dan kerohanian Tasauf di nusantara dalam bentuk tulisan.
Tentu saja para ulama pendahulu yang membesarkan dan memperkaya karya-karya empat ulama
tersebut perlu pula diakui jasa-jasanya. Hamzah, Syamsuddin, Arraniri dan Abdurrauf
memahami, menguasai dan dapat menulis karya-karya keislaman dalam bahasa Melayu karena
belajar dari guru-guru dan ulama pendahulunya.
Dari kelima ulama, sarjana dan budayawan agung itulah generasi sekarang seharusnya
mengetahui bahwa keempat ulama tersebut menimba ilmu dari para ulama yang sejak abad ke-11
berkumpul dan membangun jaringan keulamaan di Barus. Dari penggalian arkeologi para
ilmuwan bulan Oktober 1999 diketahui bahwa beberapa ratus tahun sebelum Hamzah,
Syamsuddin, Arraniri, dan Abdurrauf, para ulama di Barus dan Pasei telah mampu menguasai
ilmu keislaman serta mampu membangun dan mengembangkan bahasa dan sastra Melayu Islam
9. yang menjadi inti dari Kebudayaan Melayu. Dengan demikian, akar-akar keulamaan pada
dasarnya telah berkembang dan terjalin sejak abad ke-11 di Barus, dan kemudian berkembang
setelah berdirinya kesultanan Pasei pada akhir abad ke-13.
Jumlah dan jaringan ulama meningkat pesat sejak Malaka menjadi transito perdagangan
Muslim yang sangat ramai mulai tahun 1407; dan kemudian berkembang menuju puncak
kejayaan setelah Tun Perak, ipar Sultan Muzaffar Syah diangkat sebagai perdana menteri dan
melebarkan sayap kekuasaannya di berbagai wilayah Semenanjung Malaka dan pantai-pantai
timur pulau Sumatra. Perlu diketahui bahwa Malaka dapat menjadi pusat transito perdagangan
Muslim dan pusat studi Islam yang paling ramai, kuat dan masyhur juga berkat jasa Pasei.
Parameswara, seorang pangeran dan menantu Hayam Wuruk yang lari dari Majapahit pada
tahun 1402 mendirikan kerajaan Malaka pada tahun 1403. Pada tahun 1407, saat usianya sudah
mencapai 72 tahun, Parameswara menikah dengan putri Sultan Pasei. Dapat dipastikan bahwa,
atas pertimbangan mertuanya, Parameswara boleh menikahi putrinya asal ia memeluk agama
Islam.
Parameswara setuju memeluk agama Islam dan ia menjadikan Malaka sebagai pusat
transito perdagangan Muslim dengan gelar Sultan Megat Iskandar Syah. Sultan Muzaffar Syah,
putra Sultan Megat Iskandar Syah dari istri seorang pedagang kaya-raya dari Pasei, muncul
sebagai seorang Sultan yang kuat yang memerintah Malaka mulai tahun 1446 dan menjadikan
Malaka berkembang sebagai emporium yang mampu menandingi Siam, menganeksasi Pahang,
Pasei, Trengganu, Patani, Kampar, Indragiri, Kedah, Johore, Jambi, Bengkalis, dan Kepulauan
Carimon. Keberhasilannya membangun emporium Malaka itu atas jasa perdana menterinya, Tun
Perak, ipar Sultan Muzaffar Syah. Dengan meninggalnya Tun Perak pada tahun 1488, Malaka
mulai meredup sinarnya, dan pada tahun 1511 direbut oleh Portugis. Sejak tahun 1511 tersebut,
para pedagang Muslim di wilayah nusantara mulai mengalami kemunduran. Kesultanan Pasei-
pun berada dibawah pengaruh Portugis.
Pada sekitar tahun 1520, di ujung utara pulau Sumatra muncul seorang kuat baru, Sultan
Ali Mughayat Syah, yang berhasil mengembangkan Kesultanan Aceh dan pada bulan Mei 1521
dapat mengalahkan armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito di laut lepas, dan
berturut-turut menyatukan Deli, Daya, Pidir dan Pasei pada tahun 1424. Sayang, Kesultanan
Aceh gagal merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1537 dan kegagalan itu diikuti oleh
meninggalnya Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1539. Persaingan internal terlalu
berkepanjangan sehingga Kesultanan Aceh baru menguat kembali pada waktu Sultan Iskandar
Muda naik tahta pada tahun 1607. Beliau mampu menjadikan Kesultanan Aceh yang makmur
dan jaya sampai wafatnya pada tahun 1636. Pada tahun-tahun berikutnya, meskipun
kolonialisme Eropa Barat menguasai percaturan politik di Asia Tenggara, Kesultanan Aceh
mampu bertahan sebagai satu-satunya kesulta-nan di nusantara yang terbebas dari penjajahan
Belanda sampai tahun 1873. Namun karena percaturan perdagangan internasional, kekuatan serta
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai sepenuhnya oleh Inggris, Belanda, dan
Perancis, Kesultanan Aceh sulit untuk dapat mengembangkan kekuatan umat Islam dalam
bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan.
Yang menarik sekali ialah, pada periode antara tahun 1570-1630, yang oleh Prof.
Anthony Reid, penulis “South-East Asia in the Age of Commerce” digambarkannya sebagai
10. periode Islamisasi paling kuat di nusantara, Islam dideklarasikan oleh penguasa sebagai agama
resmi di berbagai kesultanan, antara lain: Mataram (di Jawa Tengah dengan gelar Sultan Agung
Sayyidin Panatagama), Sulawesi Selatan (1603-1612), Buton, Lombok, Sumbawa, Mindanao
dan Kalimantan Selatan. Disamping itu para penguasa kesultanan-kesultanan yang sudah lama
mapan, Aceh, Johor, Patani, Banten, dan Ternate mengembangkan kekuasaannya ke daerah
pedalamannya masing-masing sejalan dengan tuntutan agar penduduknya memeluk agama Islam.
Saya yakin, ini semua karena buah yang ditanamkan oleh para ulama angkatan Hamzah Fansuri
dan para ulama sebelumnya serta para ulama generasi berikutnya
Hamzah lahir di Barus (diperkirakan pada tahun 1550). Karya-karya prosanya dalam
bahasa Melayu adalah Asrar al-‘Arifin fi bayan ‘Ilm al-Suluk wat-Tauhid, Syarab al-‘Asyikin,
dan Al-Muntahi, sedangkan karya-karya puisinya adalah Sya’ir Jawi fi Bayan ‘Ilm al-Suluk wat-
Tauhid, Sya’ir Perahu, dan Sya’ir Dagang. Seorang muridnya yang juga sangat terkenal, adalah
Syamsuddin al-Sumatrani, menulis paling tidak empat buku: Kitab al-Harakah, Mir’ah al-
Mu’minin, Dzikr Da’irah Qaba Qawsayni aw Adna, dan Mir’ah al-Muhaqqiqin. Karier politik
Syamsuddin sangat tinggi. Ia diangkat sebagai Syaikhul Islam Kesultanan Aceh dan juga
memegang jabatan diplomatik karena mengatur urusan dan kegiatan luar negeri Kesultanan
Aceh. Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah yang memerintah Aceh tahun 1589-1604 adalah murid
Samsuddin dalam masalah keislaman dan masalah-masalah kebudayaan. Hal ini berarti bahwa
Syamsuddin bukan sekedar menguasai ilmu fiqh, Tasauf, ilmu ‘Aqaid, tetapi juga sarjana
kebudayaan dan ahli strategi dalam diplomasi dan ilmu pengetahuan politik internasional.
Setelah mendalami dasar-dasar intelektualisme Islam yang tertuang dalam buku-buku
karya Nuruddin Arraniri, al-Attas menyimpulkan bahwa Arraniri kemungkinan memberikan
sumbangan yang lebih besar dari pada Hamzah Fansuri dalam pengemba-ngan kehidupan
intellektualisme dan kerohanian umat Islam di nusantara. Arraniri seorang alim dan penulis
yang sangat produktif. Buku-bukunya yang terbit dalam bidang tauhid, Tasauf, fiqh, hadis,
sejarah, dan bidang-bidang studi keislaman yang lain dalam bahasa Melayu antara tahun 1634
dan 1644 berjumlah tidak kurang dari 19 buah. Beberapa buku tersebut disusun atas perintah
Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Safiyyat al-Din Syah. Bukunya yang berjudul Bustan al-
Salatin fi Dzikri al-Awwalin wa al-Akhirin” terdiri dari 7 jilid yang dimaksudkan sebagai karya
ensiklopedia, untuk dijadikan patokan serta standar pemahaman berbagai ajaran Islam yang
ditulis dalam bahasa Melayu.
Antara tahun kembalinya ke Ranir sampai meninggalnya pada tahun 1658, Arraniri
menulis lagi 3 buah buku dalam bahasa Arab berjudul: 1. Al-Lama’an bi takfir man qala bi
khalq al-Qur’an, 2. Sawarim al-Siddiq li qat’i al-Zindiq, 3. Rahiq al-Muhammadiyyah fi tariq
al-Sufiyyah. Sebagian besar merupakan terjemahan kedalam bahasa Arab dari tulisan-tulisannya
dalam bahasa Melayu di Aceh. Dapat dilihat bahwa Arraniri hanya produktif dalam menulis pada
waktu berada di Aceh, dan hampir semuanya dalam bahasa Melayu yang berarti Arraniri
memiliki kecintaan dan keterikatan kepada peradaban Melayu lebih kuat daripada dengan
komunitas Arab dan komunitas Muslim di Ranir. Sayang Arraniri tidak menyebutkan tentang
penguasaannya terhadap kebudayaan dan bahasa Melayu dan buku-buku yang dibacanya yang
berkaitan tentang Islam, kebudayaan dan bahasa Melayu.
11. Sebagai seorang ‘alim keturunan Arab dan lahir di Ranir, Gujarat, Arraniri bukan tanpa
sebab bahwa kelak ia kemudian mengembangkan kariernya sebagai seorang ilmuwan keislaman
di wilayah Melayu dan hampir semua karya-karyanya ditulis dalam bahasa Melayu. Pamannya,
Muhammad al-Hamid menjadi pengajar di Aceh di masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat
Syah, bersamaan waktunya di saat Hamzah Fansuri menjadi penyair Sufi agung yang pertama-
tama merumuskan doktrin Sufi dan metafisika dalam bahasa Melayu, yang disusul oleh
muridnya Syamsuddin al-Sumatrani. Selama lima dasawarsa sebelum Arraniri datang ke Aceh
berkumpullah sejumlah ulama di Aceh yang masyhur yang disebutkan dalam bukunya Bustan al-
Salatin, antara lain Syekh Abu al-Khayr ibn Hajar, Syekh Muhammad al-Yamani, Muhammad al-
Hamid, dan sejumlah ulama yang lain.
Al-Attas juga memberikan daftar nama 69 buah buku yang dijadikan rujukan oleh
Arraniri dalam penulisan buku-buku Tasaufnya. Dengan lengkapnya daftar karangan-karangan
Arraniri serta buku-buku rujukan yang dikutipnya, al-Attas ingin menunjukkan betapa luar biasa
kayanya pengetahuan yang dimiliki oleh Arraniri yang memungkinkan pembacanya mengetahui
alam pemikiran para ulama pada masa jayanya.
Dalam bukunya “A Commentary on al-Hujjat al-Siddiq of Nuruddin al-Raniri”, hal. 29,
al-Attas secara jenius berupaya memahami pemikiran Arraniri sebagai kasus yang dapat
menunjukkan kehebatan pemikiran para ulama pembangun intelektualisme Islam di nusantara.
Dengan menelusuri pemikiran para ulama pendahulu Arraniri, seperti Hamzah Fansuri dan
Samsuddin al-Sumatrani serta ulama seangkatannya, al-Attas dapat menyimpulkan bahwa
pemikiran ulama pada periode antara 1590 sampai dengan 1630 para ulama di nusantara telah
menetapkan pilihan standar atau pilihan yang baku yaitu: pemikiran Imam Syafi’i dalam
bidang fiqh, pemikiran al-Asy’ari dalam bidang tauhid dan pandangan-pandangan al-
Juneid dalam bidang Tasauf. Itulah sebabnya dasar-dasar intelektualisme dan kerohanian Islam
di nusantara diwarnai hampir sepenuhnya pandangan dan pemikiran ketiga ulama besar tersebut,
karena pandangan ketiganyalah yang dipilih oleh para ulama di nusantara ini.
Pada halaman xv dalam bukunya itu al-Attas menegaskan:
“My purpose in writing this commentary is twofold. In the first instance, it is to demonstrate that the unity
of ideas in the world of Islam pertaining to the intellectual interpretation of the nature of reality was not
confined only to particular parts of that world, but to the whole of it. An integrated metaphysical system
formulated to explain the nature of God, of the universe, of man, of creation, of knowledge – in short, of
reality as a whole – was known also in the Malay world. In the second instance , the vision of the nature of
reality derived from the intuition of existence as experienced by the masters among the men of discerment
can indeed be formulated in rational and theoretical terms needed as a foundation for an Islamic philosophy
of science”.
Para ulama terdahulu, selain jenius mewariskan dasar-dasar intelektualisme Islam
Indonesia yang tangguh juga mewariskan lembaga-lembaga pendidikan Islam, yang seringkali
dijuluki “tradisional”, namun ternyata memudahkan para ulama, para asatidz dan para da’i
(tokoh-tokoh utama penganjur dan pengawal Islam) generasi berikutnya untuk meneruskannya.
Begitu mudahnya cara para ulama terdahulu mendirikan pesantren, madrasah, dan perguruan-
perguruan tinggi Islam sehingga begitu mudahnya langkah-langkah tersebut dapat ditiru oleh
para ulama sekarang. Warisan ulama dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan Islam
“tradisional” di nusantara yang telah mencapai jumlah 16.000 pesantren dan sekitar 60.000
12. madrasah merupakan jaringan pendidikan Islam yang paling besar dan paling luas dibandingkan
dengan jaringan serupa di negeri-negeri Muslim yang lain. Dan itulah rahasianya, para ulama
mampu mengislamkan sekitar 90% penduduk di nusantara yang kini jumlahnya mencapai lebih
dari 200 juta orang.
Peran ulama generasi berikutnya yang selama 400 tahun kemudian mampu menjaga serta
mengembangkan tradisi tersebut sehingga penduduk nusantara tetap menjadi penduduk Muslim
terbesar di dunia sampai sekarang (dengan jumlah lebih dari 200 juta) yang kini tersatukan dalam
satu pemerintahan, juga sudah seharus dikagumi oleh generasi sekarang.
Umat Islam di wilayah nusantara ini memang pantas sangat bangga beruntung mewarisi
kebudayaan Islam Melayu yang mengagumkan, dan kita berkumpul saat ini tentu bukan hanya
mengagumi dan mengenang jasa para ulama, melainkan juga ingin memperkaya dan memajukan
peradaban Islam Melayu ke masa depan. Di tengah-tengah percaturan antar peradaban yang
semakin intensif dewasa ini “Peradaban Islam Melayu” tidak boleh terjepit dan apa lagi hancur.
Peradaban Barat saat ini sedang giat-giatnya memperkuat dominasinya dalam percaturan
peradaban dunia. Peradaban Islam di Timur Tengah, Peradaban Cina dan India juga sedang
bangun. Mampukah kita memperkuat diri dan menjadikan ulama kita kembali berperan besar
sebagai tulang punggung kemajuan kemajuan peradaban Islam Melayu ke masa depan?
Kita punya bibit dan akar peradaban sendiri yang sangat kuat, dan bila lebih bertumpu
kepada peradaban bangsa lain dalam mengarungi masa depan, kita justru akan hancur. Ujian-
ujian berat yang menimpa peradaban Islam pada periode abad ke-13 sampai dengan abad ke-17
memang sangat berat. Buku-buku ilmu pengetahuan yang menyimpan pemikiran para ulama dan
tersimpan di perpustakaan di Baghdad dihancurkan oleh pasukan Hulaghu Khan pada tahun
1258. Buku-buku perpustakaan dilemparkan ke sungai Tigris dan Euphrat. Yang tersimpan di
perpustakaan di Cordoba jatuh ke tangan para ilmuwan di Eropa. Buku-buku tersebut, karena
belum ada percetakan, ditulis tangan hanya sebanyak satu atau dua kopi saja. Para ilmuwan
Muslim yang kehilangan buku-buku tersebut banyak yang kemudian pindah ke wilayah India
dan Asia Tenggara dan mampu membangun peradaban Islam di wilayah-wilayah baru tersebut.
Dengan datangnya para ulama dari wilayah Timur Tengah melalui India tersebut,
penduduk Melayu di kepulauan nusantara berangsur-angsur memeluk agama Islam dan setelah
semakin kuat posisi ekonomi, kultural dan politiknya, mampu membangun peradaban Melayu
yang hebat seperti yang kita warisi sekarang. Namun demikian, malapetaka baru muncul.
Sebelum pemikir-pemikir besar seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf
Assingkili, cukup waktu untuk mampu membangun kader-kader pada generasi berikutnya,
kekuatan asing (Portugis, Belanda, Inggris, dan bangsa-bangsa lain) dari Eropa melumpuhkan
kekuatan ekonomi dan pemerintahan di wilayah nusantara yang mengakibatkan penduduk
generasi pertengahan abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-20 menjadi bangsa yang
terjajah. Selama kurang lebih 350 tahun terjajah, penduduk nusantara yang selama ribuah tahun
menjadi bangsa bahari, terisolasi dalam percaturan dengan dunia luar.
Pada periode penjajahan tersebut terjadi stagnasi pemikiran. Namun demikian, para
ulama pada masa penjajahan masih mampu berjasa sebagai penjaga dan pengawal kelangsungan
hidup serta integritas peradaban Melayu. Dinamika kemajuan peradaban Melayu merupakan
13. kesatuan tiga serangkai, yaitu, Islam, kemelayuan dan kemampuan tinggi dalam perdagangan.
Saatnya ulama generasi baru, setelah bebas dari penjajahan dan eksploitasi ekonomi asing, untuk
juga dapat melepaskan diri dari belenggu stagnasi pemikiran dan ilmu pengetahuan; namun tetap
dengan mempertahankan tradisi pemikiran para ulama terdahulu yang memang masih lebih baik,
dengan mengambil tradisi baru, meskipun dari peradaban luar, yang sangat baik dan sangat
dibutuhkan untuk memperkaya peradaban Melayu ke depan.
MENGENANG SYEKH NURULLAH
Untuk memperkuat kebanggaan masyarakat Aceh terhadap besarnya jasa ulama Aceh
dalam pembangunan ilmu pengetahuan, bahasa Melayu dan Indonesia, serta peranan mereka
dalam penentuan arah kehidupan pemerintahan penduduk Melayu dan Indonesia kedepan, saya
ingin menceritakan cukup panjang tentang perjalanan hidup seorang alim kelahiran Pasei sekitar
55 tahun sebelum Hamzah Fansuri. Seorang alim tersebut bernama Syekh Nurullah, yang pada
usianya sekitar 29 tahun ia meninggalkan Pasei karena tidak tahan lagi hidup di Pasei karena
telah dikuasai oleh Portugis. Ia pergi menunaikan ibadah haji dan menetap di Makkah selama
tiga tahun untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Pulangnya ke nusantara pada tahun 1524
tidak menuju ke Pasei, melainkan ke Demak meskipun Pasei waktu itu sudah dibebaskan dari
pendudukan Portugis oleh Sultan Ali Mughayat Syah yang baru muncul sebagai orang kuat dan
berhasil mengembangkan Kesultanan Aceh.
Pilihan Syekh Nurullah untuk berlabuh di Demak mungkin terkait dengan situasi dan
perkembangan politik serta perdagangan yang sangat cepat berubah di wilayah nusantara.
Portugis mampu mengalahkan Adipati Unus yang menyerang Malaka dengan lebih dari 30 kapal
“jung” besar pada tahun 1513 dan sekitar 13.000 pasukan. Sejak itu Portugis menguasai medan
perdagangan rempah-rempah di seluruh nusantara. Kesultanan Aceh memang mulai ramai
dengan pindahnya sejumlah ulama yang tidak krasan di Malaka setelah diduduki Portugis dan
memperoleh kesempatan untuk mengatur perdagangan rempah-rempah di wilayah kekuasaan
Aceh. Sebagaimana telah diuraikan di atas, sewaktu Portugis dibawah pimpinan de Brito
menyerang Kesultanan Aceh dapat digagalkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah di laut lepas.
Dengan hitungan mundur, tanggal lahir Syekh Nurullah dapat diperhitungkan, mungkin
antara tahun 1490 dan 1495. Perkiraan itu dihitung dari tahun meninggalnya yang menurut
catatan Dr. De Graaf dan Dr. Pigeaud, dalam bukunya “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa”, hal.
151, ia meninggal pada tahun 1570 dalam usia yang sudah sangat tua dalam kedudukan sebagai
Sultan Cirebon dan seorang alim besar yang masuk dalam kelompok “Walisongo”.
Keputusannya untuk berlabuh di Demak nampaknya telah diperhitungkannya dengan sangat
matang dengan tujuan untuk memaksimalkan peranannya sebagai ilmuwan dan bakatnya sebagai
politisi Muslim. Sayekh Nurullah disambut dengan hangat dan penuh hormat oleh Raja Demak,
Trenggono yang waktu itu belum bergelar sultan.
Meskipun usianya baru sekitar antara 30-34 tahun, sejak kedatangannya langsung
mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Menurut catatan de Graaf dan Pigeaud, Syekh diberi
kewenangan untuk menunjuk Imam Besar Masjid Agung Kraton Demak ke-4, Pengulu
Rahmatullah. Imam ke-3 masih bergelar Kyai Pambayun. Yang pertama dan kedua bergelar
“ratu” Demak, suatu gelar yang menunjukkan belum mapannya nomenklatur jabatan pejabat-
14. pejabat istana yang berkaitan dengan tugas-tugas keislaman. Jabatan “pengulu” yang ditetapkan
Syekh Nurullah menunjukkan pengaruh nomenklatur Melayu yang diperkenalkan oleh Syekh
Nurullah. Pada tahun berikutnya ia bahkan dinikahkan dengan saudara perempuan Raja.
Tahun-tahun kehidupan Syekh Nurullah yang diuraikan oleh Tome Pires dan orang-orang
Portugis lainnya cukup rinci dan berkisar tentang semangatnya menyebarkan agama Islam
kepada penduduk Jawa Barat serta kelihaian dan keberhasilannya sebagai politisi. Pengalaman
hidup syekhpun pada masa mudanya langsung berbenturan dengan keberadaan Portugis. Selama
tiga tahun di Makkah itu ia kemungkinan mengetahui perkembangan pemerintahan Kesultanan
Turki di Asia Depan dan Eropa Timur. Selang beberapa bulan setelah menjadi ipar Raja
Trenggono, beliau menganjurkan kepada raja Demak agar bertindak sebagai raja Islam sejati
dengan pertama-tama merubah gelarnya dengan sebutan Sultan bagi kakak iparnya itu, dan
dalam menjalankan tugas kekuasaan-nya sebagai seorang Sultan, perlu melaksanakan panggilan
Islam untuk mengislamkan penduduk di wilayah Banten, dan mengusir Portugis yang kafir di
Sunda Kelapa. Masa-masa itu adalah masa pembentukan kebudayaan, bahasa dan sastra Melayu
Islam, dan nampak dengan jelas dari langkah-langkah Syekh Nurullah memperkenalkan
sejumlah istilah yang telah baku ke dalam kazanah kata-kata dalam bahasa Jawa, seperti sultan,
rahmatullah, pengulu dan kafir.
Seluruh usul Syekh Nurullah disetujui oleh Sultan Trenggana. Dengan bantuan personil
dan logistik dari Sultan Trenggono yang cukup memadai, Syekh Nurullah berlayar dari Demak
menuju Banten pada tahun 1525. Beliau berhasil meyakinkan bupati Sunda, untuk menyerahkan
kekuasaan pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut dan membantu Syekh Nurullah untuk
mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Sunda Kelapa merupakan kota pelabuhan tua yang sangat
penting bagi perdagangan Kerajaan Pejajaran. Pengusiran Portugis di Sunda Kelapa berhasil
dengan gemilang pada tahun 1527 melalui pertempuran yang cukup sengit. Sebagai rasa hormat
atas kemenangannya mengusir Portugis, masyarakat Sunda dan Betawi memberi kehormatan
kepada Syekh Nurullah dengan gelar Fatahillah, sedangkan orang Portugis menamakannya
Falatehan. Sebagai tanda bahwa perebutan Sunda Kelapa tersebut sungguh sangat penting bagi
pengemba-ngan agama Islam, kota itu kemudian diberi nama baru Jayakarta, dan sekarang
bernama Jakarta. Itulah sebabnya masyarakat Betawi menyebut Syekh Nurullah juga sebagai
Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1528, Sultan Trenggono menghadiahkan sepucuk meriam besar
buatan Demak yang dibubuhi tahun pembuatannya atas keberhasilan Syekh Nurullah menguasai
Banten dan menjadikannya sebagai pelabuhan dagang yang maju. Meriam tersebut pada paruh
pertama abad ke-20 masih dapat dilihat di Banten, di Kampung Karang Antu.
Dengan telah mantapnya Islamisasi Banten dan Jayakarta, Syekh Nurullah tidak merasa
perlu melakukan kontak diplomasi resmi untuk memperluas langkah Islamisasi- nya ke
pedalaman dengan penguasa Pakuan di Bogor atau Kerajaan Pajajaran di Sumedang. Dengan
menguasai seluruh pantai utara Jawa Barat, beliau yakin bahwa Islamisasi ke pedalaman dapat
berjalan secara otomatis tanpa penggunaan kekuatan militer. Misi-misi diplomatik dalam proses
Islamisasi ke pedalaman pun tidak perlu dipimpinna secara langsung. Oleh karena itu beliau
menggunakan strategi yang lebih lihai dengan cara menelusuri dan mengontrol seluruh
perdagangan rempah-rempah di sepanjang pantai Jawa Barat antara Banten dan Cirebon dan
sekaligus memperkuat keislaman penduduk-penduduk pantai. Dua anak laki-lakinya ditugasi
masing-masing untuk memimpin Cirebon dan Banten sedangkan Syekh Nurullah secara berkala
15. mondar-mandir Banten dan Cirebon yang sejak permulaan abad ke-16 telah menjadi kota dagang
Cina yang sudah masuk Islam serta telah termasuk bagian daerah Kesultanan Demak.
Namun dengan pesatnya kemajuan Banten dan Sunda Kelapa sebagai kota dagang merica
beliau lebih mencurahkan waktunya di Banten dan mohon kepada Sultan Trenggono untuk
menempatkan putra pertamanya yang telah menikah dengan putri Sultan Trenggono menetap dan
memimpin Cirebon. Putra pertama ini meninggal sangat muda yang diperkirakan oleh para
pedagang Portugis pada tahun 1552.
Kesedihan Syekh Nurullah ditinggal mati putra pertamanya terobati karena keluarga
Sultan Trenggono segera menikahkan Hasanuddin, putra kedua Syekh Nurullah dengan putri
Sultan Trenggana yang lain dan menyetujui pengangkatan Hasanuddin sebagai Sultan Banten
yang pertama yang wilayahnya meliputi Sunda Kelapa. Syekh Nurullah, dengan pertimbangan
ingin lebih membahagiakan istrinya, yang juga adik perempuan Sultan, untuk diizinkan tinggal
lebih dekat ke Kraton Demak. Oleh karena itu Syekh mohon ditugaskannya sebagai pengelola
Cirebon, dengan tetap bersikap sebagai bawahan Demak. Terlepas dari soal sejauh mana kuatnya
otoritas yang dimiliki Syekh Nurullah sebagai penguasa Cirebon, namun hubungan Cirebon
dengan penguasa Demak tetap mesra, bahkan saat terjadi persaingan internal di Demak. Beliau
mendahulukan kedudukannya sebagai sesama anggauta keluarga kerajaan yang netral serta
berupaya menjaga kehormatannya sebagai salah seorang aulia dari “Walisongo” dengan gelar
Sunan Gunungjati. Bagi beliau, gelar sebagai salah seorang aulia lebih dipentingkan dari pada
kehormatan beliau sebagai penguasa yang independen dalam memimpin Cirebon.
Sewaktu Demak mengalami kehancuran dan pusat kerajaan pindah ke Pajang, kesultanan
Cirebon kemungkinan tidak perlu menempatkan diri sebagai bawahan Pajang. Namun demikian,
Syekh Nurullah lebih menempatkan diri sebagai seorang alim dan memberikan perhatian yang
lebih besar sebagai pendidik. Memang pamornya sebagai pendiri kesultanan Cirebon tidak
setinggi putranya Hasanuddin sebagai Sultan Banten, yang bahkan mampu melebarkan
kekuasaannya ke wilayah Lampung. Popularitas Sunan Gunungjati sebagai seorang alim yang
paling dihormati di wilayah Jawa Barat, sampai saat ini belum ada yang menandinginya.
Kenyataan ini menunjukkan kelihaian beliau bermain politik sehingga Cirebon aman dari
pergolakan internal, sehingga darah keturunannya sebagai pemilik kraton Cirebon masih tetap
terjaga sampai sekarang. Dan dari penuturan orang-orang Portugis ternyata pada abad ke-16
perdagangan merica penting di kota-kota pelabuhan Jawa Barat, termasuk Cirebon.
Sepak terjang Syekh Nurullah yang saya ketahui seperti diuraikan diatas merupakan
rekonstruksi untuk dapat membangun hipotesis tingginya ketokohan serta kekokohan posisi para
ulama pada periode awal-awal Islamisasi di Nusantara. Memang kasus Syekh Nurullah bertumpu
kepada laporan-laporan kegiatan politiknya yang dituturkan oleh orang-orang Portugis dan
hikayat-hikayat tradisional. Ada satu warisan yang tentunya sangat dibutuhkan oleh generasi
sekarang dari seorang ilmuwan tangguh sekaliber Syekh Nurullah. Seperti Ibnu Khaldun, yang
sejak mudanya bergelut dalam arena kekuasaan politik dengan modal ilmu pengetahuan yang
dimilikinya fiqh siasah, dapat mewariskan karya besar yang mengagumkan yaitu “Muqoddimah
Ibnu Khaldun” yang ditulisnya setelah karier politiknya hancur pada usia 53 tahun. Syekh
Nurullah tetap memimpin jabatan sebagai sultan sampai meninggalnya pada usia sekitar atau
hampir 80 tahun. Peninggalan dalam kehidupan akademik juga jelas spektakuler: Islamisasi
16. penduduk Jawa Barat yang diawali oleh Syekh Nurullah dari Banten, Sunda Kelapa, dan
selanjutnya Cirebon, wilayah Jawa Barat kini juga memiliki jumlah pesantren dan madrasah
yang secara proporsional dengan rasio jumlah penduduk terbesar nomor dua setelah Aceh; dan
pada abad ke-19 melahirkan seorang Syekh Nawawi al-Banteni, yang pada buku-buku
karangannya, khususnya kitab tafsirnya yang berjudul “Muragh Labib” di covernya tertulis:
Atta’lif, Syekh Nawawi al-Banteni, Sayyid Ulama al-Hijaz yang terbit di Kairo. Dengan
demikian, murid Syekh Nurullah, dari generasi antara tahun 1525 dan tahun 1552 di Banten
secara turun-temurun sampai abad ke-19, ada yang muncul menjadi gurunya para ulama di Hijaz.
MELAYU, ISLAM DAN PERDAGANGAN
Dalam pengembangan bahasa Melayu, tercermin dari terlibatnya seluruh wilayah kota-
kota pantai di Jawa Barat dalam hubungan dagangnya, baik interinsuler maupun internasional, ke
seluruh wilayah nusantara serta dengan negara-negara Asia Tenggara, India, Cina dan Timur
Tengah. Pada periode antara tahun 1400 dan 1650, Asia Tenggara berkembang, oleh Prof.
Anthony Reid ditandai sebagai: “South-East Asia in the Age of Commerce”; sedangkan oleh
Prof. Anthony Johns, Samudra India antara Lautan Merah dan pantai Sumatra dijuluki sebagai
“The Second Arabic Mediterranean Sea”. Hal itu berarti, penduduk Melayu terlibat langsung
dalam percaturan dan akulturasi dengan berbagai bahasa secara intensif yang digunakan di
wilayah Asia Tenggara yang memacu para sarjana bahasa dan sastra di kalangan penduduk
Melayu merekonstruksi pembentukan dan pengembangan bahasa serta satra Melayu. Secara
otomatis, bahasa dan sastra Melayu mengalami proses Islamisasi dan Arabisasi secara intensif
pula. Demikian pula tulisan dan abjad Melayu secara menyeluruh menjadi abjad dan tulisan Arab
Jawi. Karena para ulama menjadi tulang-punggung proses Islamisasi dimana bahasa Arab
menjadi perantara hubungan lisan dan tulisan yang paling penting antar para pedagang dan
dalam kegiatan pendidikan, maka para ulama memegang peran penting dalam pengembangan
bahasa dan sastra Melayu. Kedatangan Syekh Nurullah yang tidak mengetahui bahasa Jawa sama
sekali tidak menjadi masalah. Oleh karena itu, bahasa Melayu sudah pasti menjadi bagian dari
alat percakapan antar ilmuwan dan pemimpin pemerintahan di lingkungan Kerajaan Demak,
Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Cerita tentang Pasei sebagai pusat studi Islam yang tinggi
mutunya sejak abad ke-13 sudah pasti juga diketahui dengan saksama di kalangan para ulama
dan pemimpin di Demak.
Dalam waktu beberapa tahun ini sejumlah arkeolog sedang melakukan penggalian di
sebuah situs di Lobu Tua, Barus. Disamping itu pada bulan Oktober 1999, juga dalam rangka
penelitian arkeologi yang dilakukan oleh satu tim Indonesia–Perancis di situs Barus
diselenggarakan kegiatan pembacaan inskripsi-inskripsi pada sekitar 40 batu nisan berbahasa
Arab dan satu nisan berbahasa Parsi.
Pada salah satu nisan tersebut terdapat nama Fansur yang ditulis Fansuri, dan setelah
diteliti, nisan sebuah kuburan seorang yang bernama Shaykh Hamza b. ‘Abd Allah al-Fansuri
yang meninggal pada tanggal 9 Rajab 933, yang berarti 11 April 1527. Pada waktu teks itu
disalin, nisan yang bertuliskan inskripsi tersebut berada dalam pekuburan Bab Ma’la di Makkah.
Inskripsi tersebut tentu membuat kita semua pusing kepala dan menimbulkan pertanyaan: apakah
ada dua nama Hamza bin Abdullah al-Fansuri. Kalau hanya satu kenapa inskripsi tersebut
bertahun 1527, dan berada di pekuburan elit tempat Siti Khadijah dan Siti Fathimah
17. dimakamkan? Namun, paling tidak, ini suatu indikasi bahwa seorang putra Barus yang
dimakamkan di pekuburan Bab Ma’la, Makkah, yang meninggal pada tahun 1527 adalah seorang
‘alim agung yang sangat dihormati masyarakat elit di Makkah
Penggalian di situs Barus juga memberikan beberapa hasil yang menakjubkan. Cukup
banyak batu nisan telah ditemukan yang menunjukkan bahwa sejumlah ulama yang meninggal di
Barus dari awal abad 10 s/d abad 16, adalah ulama-ulama beberapa generasi yang dapat
diperkirakan cukup tinggi ilmu pengetahuannya yang memungkinkan hasil didikannya menjadi
ulama hebat yang mungkin dapat menjadi tokoh-tokoh pemikir yang sangat penting di wilayah
nusantara. Oleh karena itu, seorang Hamzah Fansuri yang lahir di Barus (sekitar) paruh pertama
abad 16, dapat memperoleh pendidikan tinggi dalam berbagai ilmu keislaman, bahasa dan sastra
Arab serta bahasa dan sastra Melayu. Karya-karya Hamzah Fansuri sangat monumental. Oleh
karena itu, kalau tidak memperoleh pendidikan tinggi yang cukup berbobot, bagaimana mungkin
beliau dapat menjadi seorang ‘alim, Sufi, dan sekaligus sarjana pengembang bahasa dan sastra
Melayu.
Orang-orang yang mengunjungi Masjidil Haram sebelum dirombak seperti sekarang,
masih dapat menemukan tulisan-tulisan Arab “Jawi” dan bahasa Melayu “Jawi” diatas pintu
toilet yang berbunyi “Kakus untuk perempuan” dan “Kakus untuk Laki-Laki” yang menunjukkan
betapa kuatnya “maktab wukalah al-Jawi” di Makkah pada abad ke-19.
Sayed Muhammad Naquib al-Attas, telah menulis sebuah buku berjudul “A Commentary
on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri”. Dalam buku itu dimuat pula karya Arraniri
yang ditulis dalam tulisan Arab “Jawi” tersebut. Dengan mempelajari riwayat hidup seorang
‘alim sekaliber Nurullah (Sunan Gunung Jati), Hamzah Fansuri, Samsuddin As-Sumatrani,
Nuruddin Arraniri dan Abdurrauf As-Singkili) betapa hebatnya para ulama terdahulu dalam
upaya mengubah alam pemikiran masyarakat di nusantara ini dari bangsa yang beragama Hindu-
Buddhis menjadi masyarakat Muslim yang secara turun-temurun kini telah kita warisi sebagai
bangsa yang paling banyak penduduknya yang beragama Islam.
Para ulama ilmuwan tersebut telah berkarya besar mengubah dan mengganti huruf,
struktur dan fonetik bahasa Melayu kuno dengan dasar-dasar bahasa Sansekerta, menjadi huruf
Arab “Jawi”, struktur dan fonetik bahasa Melayu Islam. Karya-karya para ulama itu
menunjukkan kualitas pendidikan tinggi yang diperoleh dari ulama seniornya serta selama
beberapa generasi sebelumnya yang telah menjadikan Barus sebagai pusat penyebaran dan
pendidikan tinggi Islam antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. (Lihat “Islam dalam
Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal. 54, oleh: Sayed Muhammad Naquib Al-Attas).
Terciptanya tulisan atau huruf Arab “Jawi” dan bahasa Melayu sesungguhnya merupakan
gambaran betapa perubahan-perubahan yang sangat mendasar dalam bidang kehidupan
keagamaan, sains, kebudayaan, pandangan yang menyangkut wilayah alam ke-Tuhanan dan
duniawiyah telah secara revolusioner terbangun bagi masyarakat di nusantara yang dimotori oleh
tokoh-tokoh utama sekaliber Hamzah Fansuri, Syamsuddin Assumatrani, Nuruddin Arraniri dan
Abdurrauf Assingkili.
Zamakhsyari Dhofier