Dokumen tersebut menjelaskan bahwa dalam Islam, anak perempuan dihargai dan memuliakannya akan mendapatkan pahala surga. Rasulullah menganjurkan untuk berbuat baik kepada anak perempuan dengan memberikan nafkah, pendidikan, dan kasih sayang. Berbuat demikian dijanjikan akan mendapatkan syurga dan terhindar dari neraka.
1. Barang Siapa Memuliakan Anak
Perempuan, Janji Surga
Telah Menantikannya
Posted by Admin pada 16/06/2009
Kelahiran anak laki-laki, hingga kini, dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak
sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan
rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal, dalam Islam, jika
anak-anak perempuan itu dimuliakan yang terurai dalam sikap kasih sayang, memberikan pendidikan
dan pengajaran agama yang baik, janji surga telah menantikannya.
Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang belum juga dikaruniai anak laki -laki. Bahkan
tak sedikit orang tua yang lebih mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan
untuk mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia sebagaimana
dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
مَنِ ابْتلُِيَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ، فَأحَْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka,
maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan
Muslim no. 2629)
Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya
sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh
Shahih Muslim, 16/178)
Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina dengan lahirnya anak
perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذاَ بُشِ رَ أحََدهُُمْ بِاْلأنُْثىَ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَداًّ وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتوََارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِ رَ بِهِ أيَُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أمَْ يَدسُُّهُ فِي الترَُّابِ ألَا سَاءَ مَا
يَحْكُمُوْنَ
2. “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah
padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena
buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah,
betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Sementara di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam perbuatan
mengubur anak-anak perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذاَ الْمَوْءُوْدةَ سُئِلَتْ. بِأ ي ذنَْبٍ قُتِلَتْ
“Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-
Takwir: 8-9)
Al-Mau`udah adalah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena
kebencian terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia dibunuh,
untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi ditanya (pada hari kiamat
kelak, –pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan orang yang berbuat zalim (tentang apa yang
akan menimpanya, –pen.)? (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260)
Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam didapati pula larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan.
Hadits ini disampaikan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأمَُّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَوَأْد الْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَة السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu, menolak untuk memberikan hak
orang lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan
Allah membenci bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan
harta.” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
3. Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di dalam
tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan pelakunya, karena merupakan pembunuhan
tanpa hak dan mengandung pemutusan hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12/11)
Di sisi lain, dalam agama yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan
memuliakan anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menganugerahkan anak perempuan telah
menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan:
جَاءَتْنِي مِسْكِيْنَةٌ تحَْمِلُ ابْنَتيَْنِ لَهَا فَأطَْعَمْتهَُا ثلَاثََ تمََرَاتٍ فَأعَْطَتْ كُلَّ وَاحِدةٍَ مِنْهُمَا تمَْ رَة وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تمَْرَ ة لِتأَْكُلَهَا فَاسْتطَْعَمَتْهَا ابْنَتاَهَا، فَشَقَّتِ
التمَّْرَة الَّتِي كَانَتْ ترُِيْد أنَْ تأَْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأعَْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذكََرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَس وْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أوَْجَبَ لَهَا بِهَا
الْجَنَّةَ وَأعَْتقََهَا بِهَا مِنَ النَّارِ
Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya
tiga butir kurma. Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah
lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Namun kedua anak itu meminta kurma tersebut, maka si
ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk kedua anaknya. Hal itu sangat
menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan
membebaskannya dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630)
Dalam riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menyebutkan kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka
dengan baik kelak pada hari kiamat:
-مَنْ عَالَ جَارِيَتيَْنِ حَتىَّ تبَْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أنََا وَهُوَ -وَضَمَّ أصََابِعَه “Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka
dewasa, mak a dia ak an datang pada hari k iamat nanti dalam k eadaan ak u dan dia (seperti ini),” dan
beliau mengumpulk an jari jemarinya”. (HR. Muslim no. 2631)
4. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan
seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar
terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh Shahih Muslim, 16/178)
Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak perempuan, seorang
shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَه ثلَاثَُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأطَْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدتَِهِ، كُنَّ لَه حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar atas mereka, memberi
mereka makan, minum, dan pakaian dari hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari
api neraka kelak pada hari kiamat.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil
Mufrad no. 56: “Shahih”)
Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah rahimahullahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ ثلَاثََ بَنَاتٍ، يُؤْوِيْهِنَّ، وَيَكْفِيْهِنَّ، وَيَرْحَمُهُنَّ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ الْبَتةَّ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَعْضِ القَوْمِ: وَثِنْتيَْنِ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ ق قَالَ:
وَثِنْتيَْنِ
“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang dia jaga, dia cukupi dan dia beri
merek a k asih sayang, mak a pasti baginya surga.” Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan dua juga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Adabil Mufrad no. 58: “Hasan”)
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga meriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تدُْرِكُهُ ابْنَتاَنِ، فَيُحْسِنُ صُحْ بَتهَُمَّا، إِلا أدَْخَلَتاَهُ الْجَنَّة
5. “Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang telah dewasa, lalu dia berbuat
baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan memasukkannya ke dalam surga.” (Dikatakan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 57: “Hasan lighairihi”)
Agama yang sempurna ini juga memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang
orang tua kepada anak perempuannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh
bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha . Tentang ini,
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah:
مَا رَأيَْتُ أحََداً مِنَ النَّاسِ كَانَ أشَْبَهَ بِالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلامًَا وَلا حَدِيْثاً وَلا جِلْسَة مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ: وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَ لَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ
رَآهَا قَدْ أقَْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا، ثمَُّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثمَُّ أخََذ بِيَدِهَا حَتىَّ يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذاَ أتَاَهَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّ بَتْ بِهِ، ثمَُّ قَامَتْ
إِلَيْهِ فَأخََذتَْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْه “Ak u tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam cara bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berk ata lagi, “Biasanya apabila Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Fathimah datang, beliau mengucapk an selamat datang padanya,
lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau
dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang padanya, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri
menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725)
Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu . Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
دخََلْتُ مَعَ أبَِي بَكْرٍ عَلَى أهَْلِهِ، فَإِذاَ عَائِشَةُ ابْنَ تهُُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أصََابَتْهَا حُمَّى، فَرَأيَْتُ أبََا بَكْرٍ يُقَب لُ خَدهََّا وَقَالَ: كَيْفَ أنَْتِ يَا بُنَيَّةُ؟ ق
“Ak u pernah masuk bersama Abu Bak r menemui k eluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang
terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bak r mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘Bagaimana
keadaanmu, wahai putriku?” (HR. Al-Bukhari no. 3918)
Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk memberikan bagian yang sama antara anak
laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu:
6. تصََدقََّ عَلَيَّ أبَِي بِبَعْضِ مَالِهِ. فَقَالَتْ أ مِي عَمْرَة بِنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرَْضَى حَتىَّ تشُْهِد رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أبَِي إِلَى رَ سُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدهَُ عَلَى صَدقََتِي. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أفََعَلْتَ هذاَ بِوَلَدِ كَ كُل هِمْ؟ ق قَالَ: لا.َ قَالَ: اتقَُّوا اللهَ وَاعْدِلُوا فِي
أوَْلادَِكُمْ. فَرَجَعَ أبَِي فَرَد تِلْكَ الصَّدقََة “Ayahku pernah memberik u sebagian hartanya, lalu ibuk u, ‘Amrah bintu Rawahah, mengatak an
padanya, “Ak u tidak ridha hingga engk au minta persak sian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Mak a ayahk u pun menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta persaksian
beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Apak ah ini k au lak uk an
pada semua anak mu?” “Tidak ,” jawab ayahk u. Beliau pun bersabda, “Bertak walah k epada Allah
tentang urusan anak -anak mu.” Ayahk u pun k embali dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Al-
Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits ini bahwa semestinya orang tua
menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia berikan pada seorang anak sesuatu
yang semisal dengan yang lain dan tidak melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak
laki-laki dan perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 11/29)
Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada
anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَد عَلَى الفِطْرَةِ، فَأبََوَاهُ يُهَ وِداَنِهِ أوَْ يُنَصِ رَانِهِ أوَْ يُمَ جسَانِهِ، كَمَثلَِ البَهِيْمَةِ تنُْتجَُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ ترََى فِيْهَا جَدْعَاءَ؟ ق
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak akan melahirkan binatang ternak yang
sempurna. Apakah engkau lihat ada binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya?”
(HR. Al-Bukhari no. 1385)
Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala kebaikan dan keburukan. Sehingga
dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab, serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan
Islam. Maka hendaknya kita berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini,
hingga nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama maupun
dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada teladan yang baik
bagi kita. (Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal. 25)
7. Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap memberikan
pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan seseorang yang terbaik setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dalam peristiwa
turunnya ayat tayammum. Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
خَرَ جْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أسَْفَارِهِ حَتىَّ إِذاَ كُنَّا بِالْبَيْداَءِ أوَْ بِذ اَتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْد لِي، فَأقََامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى التِ مَاسِهِ، وَأقََامَ النَّاسُ مَعَهُ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ. فَأتَىَ النَّاسُ إِلَى أبَِي بَكْرٍ الصِ دِ يْقِ فَقَالُوا: ألَا ترََى مَا صَنَعَتْ عَائِشَة ؟ ق أقََامَتْ بِرَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَجَاء أبَُو بَكْرٍ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى ف خِذِي قَدْ
نَامَ. فَقَالَ: حَبَسْتِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَع اتبََنِي أبَُو بَكْرٍ وَ قَالَ مَا شَاءَ اللهُ
أنَْ يَقُوْلَ، وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي، فَلا يَمْنَعُنِي مِنَ التحََّرُّكِ إِلا مَكَانُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي. فَقَامَ رَ سُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أصَْبَحَ عَلَ ىَُ غَيْرِ مَاءٍ، فَأنَْزَلَ اللهُ آيَةَ التيََّمُّمِ، فَتيََمَّمُوا. فَقَالَ أسَُيْد بْنُ الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ بِأوََّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أبَِي بَكْرٍ. قَالَتْ:
فَبَعَثْنَا البَعِيْرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ، ف أصََبْنَا العِقْد تحَْتهَ “Kami pernah k eluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu safarnya.
Ketika kami tiba di Al-Baida’ –atau di Dzatu Jaisy– tiba-tiba kalungku hilang. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun singgah di sana untuk mencarinya, dan orang-orang pun turut singgah bersama
beliau dalam keadaan tidak ada air di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari
mengeluhk an, “Tidak k ah engk au lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara mereka pun tidak
membawa air.” Abu Bak r segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakr b erk ata, “Engk au telah
membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tidak
berair, padahal merek a juga tidak membawa air!” Aisyah melanjutk an, “Abu Bak r pun mencelak u dan
mengatakan apa yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku dengan tangannya. Tidak ada
yang mencegahk u untuk bergerak k arena rasa sak it, k ecuali k arena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang tidur di pangk uank u. Keesok an harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangun dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah turunkan ayat tayammum sehingga orang-orang
pun melak uk an tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun berk ata, “Ini buk anlah barak ah pertama yang
ada pada k alian, wahai k eluarga Abu Bak r.” ‘Aisyah berk ata lagi, “Kemudian k ami hela unta yang
kunaiki, ternyata kami temukan kalung itu ada di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no.
267)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan bahwa di dalam hadits ini terkandung ta`dib
(pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan ucapan, perbuatan, pukulan, dan
sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib terhadap anak perempuan walaupun dia telah
dewasa, bahkan telah menikah dan tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4/58)
8. Inilah di antara pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia-nyiaan,
tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih sayang diiringi
pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di negeri yang kekal
abadi. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.