Puji-pujian di dalam masjid sering kali dilakukan oleh umat Islam sa'at menjelang shalat berjama'ah di masjid. Apakah hal ini sesuai dengan perintah Allah dan contoh dari Rosulullah.
2. ْ
نَع
ْ
ِديِعَس
ِْنب
ْ
ِبِيَسُمال
َْلاَق
ْ
َم
ْ
ر
ُْرَمُع
ِْانسَحِب
ِْنب
ث
ْ
تِبَا
َْوُه َو
ْ
ُدِشنُي
ْ
يِف
ْ
ِد ِجسَمال
َْحَلَف
ْ
َظ
ْ
ِهيَلإ
َْلاَقَف
ْ
دَق
ْ
َدشأن
ُْت
ْ
ِهيِف َو
ْ
نَم
َْوُه
ْ
رَيخ
َْكنِم
ْ
مُث
َْتَفَتال
إ
ىَل
يِبأ
ْ
َةَريَرُه
َْلاَقَف
َْتعِمَسأ
َْلوُسَر
ْ
ِللا
ىلَص
للا
ْ
َلَع
ْ
ِهي
ْ
َملَس َو
ُْلوُقَي
ِْأج
ْ
ب
ْ
يِنَع
ْ
مُهللَا
ْ
ُهدأي
ْ
ِحوُرِب
ْ
ُقلا
ِْ
ُسد
َْلاَق
ْ
مُهللَا
ْ
مَعَن
Dari Sa'id bin al-Musayyib, ia berkata, "Suatu ketika Umar
berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang
sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan,
namun Hassan menjawab, `aku pernah melantunkan syair di
masjid (padahal) saat itu ada seorang yang lebih mulia darimu
(Nabi Muhammad Saw).' Kemudian ia menoleh kepada Abu
Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. `Bukankah
engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW: "Jawablah
pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau
menguatkannya dengan Ruh al-Qudus". Abu Hurairah lalu
menjawab, `Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya)." (HR
Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain).
3. mengatakan bahwa hadis tersebut termuat dalam Shahih Muslim,
VII/162-163, Sunan Abu Dawud, 11/316, al-Thayalisi, 304, Ahmad,
II/269,V/222, dari al-Zuhri, dari Sa'id, dan dari Abu Hurairah.
Dalam riwayat Ahmad ada tambahan kalimat yang menjelaskan:
فانصرف
عمر
و
هو
يعرف
أنه
يريد
رسول
للا
صلى
للا
عليه
وسلم
Kemudian Umar berpaling pergi, dan ia mengetahui yang dimaksud
dengan orang (yang lebih baik dari dirinya) adalah Rasulullah SAW. Kata
al-Albani, sanad hadits tersebut shahih.
4. Ulama yang membolehkan dan cenderung menganggapnya
sunah antara lain beralasan sebagai berikut:
• Pertama, Syaikh al-Zain menjelaskan bahwa hadits tersebut
menunjukkan bolehnya melantunkan syair yang berisi puji-
pujian, nasihat, pelajaran tata krama, dan ilmu yang
bermanfaat di dalam masjid (Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri
Rabbil Alamin, 16). 7pwrnu.co
• Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, selain
menambah syiar agama, amaliah ini (pujian) merupakan
strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di
tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung
beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
• Ketiga, puji-pujian tersebut dapat sebagai upaya untuk
mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat
jamaah dilaksanakan. Selain itu dimaksudkan agar para
jamaah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika
menunggu shalat jamaah dilaksanakan
5. Sedangkan ulama yang tidak membolehkan dan menganggapnya
bid’ah antara lain beralasan sebagai berikut:
• Pertama, memang mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt
adalah sebuah ibadah yang sangat baik dan dianjurkan. Termasuk
juga membaca shalawat dan salam kepada Nabi SAW. Sebab Allah
SWT dan para malaikat-Nya pun telah bershalawat kepadanya.
Maka Allah SWT pun memerintahkan umat Islam untuk
memperbanyak shalawat kepada Nabi dan Rasul termulia itu (Al-
Ahzab: 56).
Tetapi, perlu diketahui bahwa tidak terdapat satu hadis pun yang
menerangkan pentingnya membaca shalawat dan salam dengan
suara keras sebelum shalat jamaah. Jadi pada masa Nabi SAW dan
Sahabat masih hidup, tradisi puji-pujian sebelum shalat itu tidak
ada atau tidak dianjurkan.
Mengenai hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud dari Said
bin al-Musayyib yang menerangkan adanya sahabat (Hassan bin
Sabit) membaca syair di masjid tersebut memang benar (shahih),
tetapi tidak dibaca sebelum shalat jamaah. Jadi tidak bisa dijadikan
dalil untuk bolehnya membaca puji-pujian sebelum shalat jamaah.
6. • Kedua, sebelum shalat berjama’ah dilaksanakan,
biasanya ada beberapa orang yang datang duluan
kemudian melaksanakan shalat sunnah
qabliah/tahiyyatul masjid. Karena itu, jika ada
beberapa orang yang membaca puji-pujian
dengan suara keras maka dikhawatirkan akan
mengganggu kekhusyu'an orang yang sedang
shalat sunnah.
Agar tidak mengganggu orang yang sedang shalat,
maka sambil menunggu jama’ah yang lain,
masing-masing dapat membaca tasbih, shalawat
dan istighfar, serta do’a-do’a dengan suara pelan
atau sirr, tidak dengan suara keras seperti
lazimnya puji-pujian.
7. • Ketiga, Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW pernah memerintahkan mereka (para sahabat) agar dzikr
takbir dan tahlil yang dilakukan dengan suara keras itu
ditinggalkan. Nabi bersabda:
ْصلىْللاْعليهْوَِّْللاِلوُسَْرَعَمْانُك
ْاَذِإْانُكَفْ،سلم
ْ
بَك ََاْونللَهْاد َىْوَلَعَْانفَرشَأ
ْ
ُتا َوصَْأتَعَفَتَاْارنر
َْلاَقَفْ،َْان
ُّْىِبالن
–
ْصلىْللاْعليهْوسلم
–
ْ
ُّيَاْأَي
ْ،ْ ُاساْالنَه
ْ
ُكنِإَفْ،ْمُكِسُفنَىْأَلَعْواُعَبار
ْ
َغَْال َْومَصَْأَونُعدَتَْالْم
ْاًبِئا
ْ
يب ِ
رَقْيعِمَسُْهنِإْ،ْمُكَعَمُْهنِإْ،
ْ
َعَت َُْوهُمْاسَكَارَبَتْ،ْ
ْىَلا
هُّدَج
ُ
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan
mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian.
Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib.
Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan
8. Selain hadits tersebut, dalam Al-Qur’an Allah juga
memerintahkan:
•
رُكۡٱذ َو
َْكبر
يِف
َْكِسَۡفن
ُّْرَضَت
اٗع
ْٗةَفي ِخ َو
َُْوند َو
َْجۡٱل
ِْ
ر ۡه
َْنِم
ِْل ۡ
وَقۡٱل
ُِْودُغۡٱلِب
ِْلاَصٓ ۡ
ٱۡل َو
َْ
ال َو
نُكَت
َْنِم
َْينِلِفََٰغۡٱل
"Dan sebutlah (nama) Rabb-mu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan
dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang lalai’’ (Al-araf: 205).
9. • Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ
نِإ
ْ
َءاَعُّدال
َْ
ال
ْ
ُّدَرُي
َْنيَب
اَذَاۡل
ِْن
ْ
ِةَماَقِاْل َو
،
واُعادَف
“Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a (yang
dipanjatkan) di antara adzan dan iqamah, maka berdo’alah
(di waktu itu).” (HR. Ahmad no. 12584, sanad hadits ini
shahih sebagaimana penilaian Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
• Dalam riwayat yang lain disebutkan:
ْ
ُءاَعُّدال
َْ
ال
ْ
ُّدَرُي
َْنيَب
ِْانَذَۡلا
ةَماَقِاْل َو
“Do’a itu tidak tertolak (jika dipanjatkan di antara) adzan
dan iqamah.” (HR. Tirmidzi no. 212 dan 3595, dinilai shahih
oleh Syaikh Al-Albani)