1. PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT
KECEMASAN KLIEN YANG AKAN MENJALANI TINDAKAN
KATETERISASI JANTUNG DAN NEUROLISIS ABLASI DI RUANG
CATHLAB MHJS
Disusun Oleh :
Nama : Agus Supriatna
NIM : 11192006
Prodi S1 Keperawatan NR MHJS
STIKES PERTAMEDIKA
Tahun Ajaran 2019 – 2020
2. 1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner (PJK) atau dikenal dengan Coronary Artery Disease
(CAD) adalah suatu penyakit dengan proses perjalanan penyakit yang cukup
panjang dan terjadi aterosklerosis dipembuluh darah. Pada saat arteri yang
mensuplai miokardium mengalami gangguan sehingga jantung tidak mampu
untuk memompa sejumlah darah secara efektif untuk memenuhi perfusi darah ke
organ vital dan jaringan perifer secara adekuat (Ignatius & Workman 2010).
Penurunan suplai darah ke otot jantung menyebabkan terjadinya ketidak
seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Pusat Kesehatan Jantung
Harapan Kita, 2001). Pada akhirnya ketidak seimbangan ini akan menimbulkan
gangguan pompa jantung dan mempengaruhi tubuh secara sistemik.
Penyakit jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
Amerika. Salah satu penyakit jantung yang menjadi ancaman bagi kesehatan
adalah penyakit jantung koroner (Smeltzer & Bare, 2002). American Heart
Association (AHA) (2008), melaporkan bahwa jumlah pasien yang menjalani
perawatan medis di Amerika Serikat pada tahun 2005 hampir mencapai 1,5 juta
orang. Laporan tersebut menyebutkan, kira-kira 1,1 juta orang (80%) mengalami
Non ST Elevation Miocard Infarct (NSTEMI), sedangkan 20% mengalami ST
Elevation Miocard Infarct (STEMI) (Kolansky, 2009). Menurut WHO (2008,
dalam Panthee & Kritpracha, 2011) menyatakan bahwa pada tahun 2020 sekitar
23.6 juta orang akan meninggal karena penyakit kardiovaskuler terutama karena
penyakit jantung dan stroke, sehingga menjadi ancaman penyebab kematian
utama didunia.
Pertambahan jumlah kematian terbesar terdapat di Pasifik Barat dan Asia
Tenggara. Indonesia sebagai salah satu negara yang berada dikawasan Asia
Tenggara sebagai negara berkembang juga menunjukan kecenderungan yang
hampir sama, yaitu bahwa penyakit jantung koroner juga termasuk penyebab
kematian tertinggi di Indonesia. Data penelitian pada Depertemen Kesehatan
menunjukan bahwa hipertensi dan penyakit kardiovaskuler masih cukup tinggi
3. 2
dan cenderung meningkat (Dinkes Nunukan, 2009). Adapun laporan studi
mortalitas tahun 2001 oleh Survei Kesehatan Nasional (SurKesNas, 2001)
menunjukkan bahwa penyebab utama kematian di Indonesia adalah penyakit
sistem sirkulasi (jantung dan pembuluh darah) sekitar 26,39%.
Berdasarkan data rekam medis Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (Sulastomo,
2010), pasien Infark Miokard Akut (IMA) yang berusia di bawah 45 tahun
berjumlah 92 orang dari 962 pasien IMA (10,1%) pada tahun 2006 dan angka ini
menjadi 10,7% yaitu 117 pasien IMA usia muda dari 1.096 seluruh pasien IMA
pada tahun 2007.
Meskipun sebenarnya angka kematian akibat penyakit jantung sudah menurun
sejak pertengahan tahun 1960 tetapi prevalensi maupun komplikasi atau
keterbatasan yang diakibatkan penyakit jantung tersebut tidak pernah menurun
(Sullivan et.al., 1998). Upaya untuk menurunkan angka kejadian penyakit jantung
diperlukan tindakan pencegahan dan penanganan dengan pendekatan multifaktor
dan dilakukan sepanjang kehidupan (Lewis et. al., 2007). Upaya tersebut harus
dilakukan secara komprehensip meliputi upaya preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif. Upaya yang tepat untuk mengurangi dan mengendalikan berbagai
faktor resiko penyakit jantung menjadi salah satu kunci menurunkan angka
kejadian penyakit jantung tersebut.
Faktor resiko munculnya penyakit jantung koroner meliputi faktor yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
antara lain : usia, jenis kelamin dimana laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan, etnis (etnis kulit putih lebih beresiko dibandingkan etnis lainnya) dan
predisposisi genetik. sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi berupa faktor
mayor dan kontributif. Faktor resiko mayor berupa peningkatan kolesterol,
hipertensi, merokok, inaktivitas fisik dan obesitas. Sedangkan yang termasuk
faktor kontributif adalah diabetes mellitus, status psikologis dan tingkat
homosistein (Lewis et. al., 2007).
Diagnosis IMA mempengaruhi baik aspek fisik dan psikososial dari kehidupan
pasien, studi sebelumnya menemukan bahwa pasien setelah IMA melaporkan
penurunan nilai dalam kehidupan sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga,
aktivitas fisik, seperti memanjat tangga, kegiatan seksual dan hobi, tidak dapat
4. 3
melakukan tingkat yang sama pekerjaan yang mereka bisa lakukan sebelum
diagnosis penyakit, dan mood rendah (Panthee & Kritpracha, 2011). Beberapa
pasien tidak bisa diharapkan kembali bekerja seperti dulu tepat waktu dikarenakan
kondisinya. Dengan demikian gangguan fisik dan emosi dari infark miokard akut
dapat menjadi permanen dan dalam banyak kasus mempengaruhi serta merusak
gaya hidup sehingga mengurangi kualitas hidup untuk jangka panjang (Brown, et
al, 1999 dalam Chan et al, 2004).
Dari hasil survey Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013
diketahui bahwa penyakit jantung dan pembuluh darah menempati urutan
tertinggi sebagai penyebab kematian di Indonesia yaitu sebesar 26,4%. Sindrome
Koroner Akut (SKA), merupakan suatu kasus kegawat daruratan terutama dalam
pembuluh darah koroner, dan merupakan sekumpulan sidrom penyakit jantung
koroner dan menjadi penyebab kematian tertinggi didunia bahkan mengalami
peningkatan dalam 10 tahun terakhir ini sehingga penanganan SKA harus
dilakukan secara cepat dan tepat, baik untuk diagnosis maupun prosedur tindakan
(Ainiyah, 2015).
Saat ini, kateterisasi jantung adalah teknik intervensi dan diagnosis hemodinamik
yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dan menyumbang sekitar enam
ribu prosedur per satu juta penduduk per tahun di negara-negara Barat. Tingkat
komplikasi dan restenosis rendah. Kateterisasi jantung adalah penyisipan kateter
sampai aorta dan ventrikel kiri dengan menusuk arteri radialis, brakialis atau
femoralis. Gambar arteri koroner didapatkan dengan cara menyuntikkan kontras
melalui kateter. Prosedur ini digunakan untuk penilaian diagnostik untuk
mengkonfirmasi atau menentukan tingkat keparahan kardiopati, meskipun menjadi
ujian pilihan untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit koroner, tetap
menimbulkan risiko potensial, seperti aritmia, emboli, perubahan neurologis,
perubahan vasovagal, selain komplikasi iskemik, alergi dan vaskular (Buzzato,
2010).
Proses kateterisasi jantung selalu didahului sesuatu reaksi emosional tertentu oleh
pasien, apakah reaksi tersebut jelas atau tersembunyi. Kateterisasi jantung pada
umumnya merupakan prosedur elektif dimana pasien dengan penyakit jantung
simtomatik mengikuti sebuah aturan dimana pasien memerlukan perawatan di
5. 4
rumah sakit, menanti saat prosedur dilakukan bisa menjadi sumber utama stres
dan kecemasan. Perasaan ini berhubungan langsung dengan sifat prosedur invasif
dan ketidakpastian yang berkaitan dengan diagnosis (Buzzato, 2010).
Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (afektif) yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh,
perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2016).
Menurut Hawari (2016) pada dasarnya semua penyakit fisik akan mempengaruhi
kondisi psikologik seseorang. Demikian juga penderita Sindrome Koroner Akute
pada umumnya akan mengalami kondisi psikologik antara lain gangguan
penyesuaian, kecemasan atau depresi Pasien dengan SKA akan disertai kecemasan
dan SKA itu sendiri merupakan stressor yang menyebabkan klien merasa cemas.
Kecemasan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor-faktor intrinsik
antara lain: usia, jenis kelamin dan pengalaman. Sedangkan faktor ekstrinsik
antara lain : pendidikan, pekerjaan dan kondisi lingkungan. Jenis kelamin yaitu
perempuan memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
kelamin laki-laki, dikarenakan perempuan lebih peka terhadap emosinya pada
akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya. Perbedaan ini bukan hanya
dipengarui faktor emosi tetapi juga dipengarui oleh faktor kognitif (Donsu, 2017).
Selain itu kecemasan yang dialami pasien dapat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan. Menurut Notoatmodjo (2012), semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka semakin baik pola pikirnya. Ini dapat diartikan bahwa semakin
tinggi pendidikan memudahkan seseorang menerima informasi yang berhubungan
dengan rencana tindakan kateterisasi sehingga meminimalkan respon dari tingkat
kecemasan.
Dari data yang didapat pasien Sindroma Koroner Akut di ruang Cath-Lab
Mayapada Hospital Jakarta Selatan pada tahun 2015 telah dilakukan kateterisasi
pada 77 orang pasien, pada tahun 2016 kateterisasi dilakukan pada 78 orang
pasien, pada tahun 2017 dilakukan tindakan kateterisasi pada 182 orang pasien,
pada tahun 2018 telah dilakukan kateterisasi pada 245 pasien dan pada tahun 2019
telah dilakukan kateterisasi pada 264 orang pasien.
6. 5
Dari wawancara yang peneliti lakukan terhadap 10 orang pasien yang akan
dilakukan kateterisasi jantung ternyata didapatkan kurang lebih 80% mengalami
kecemasan. Dari tingkat ringan sampai berat, dengan rincian sebagai berikut:
cemas ringan sebanyak 5 orang, cemas sedang 3 orang dan cemas berat 2 orang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian
ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien
yang akan dilakukan tindakan kateterisasi jantung pada pasien Sindroma Koroner
Akut di Cath-Lab Mayapada Hospital Jakarta Selatan.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien
dengan tindakan kateterisasi jantung di Mayapada Hospital Jakarta Selatan.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia, jenis kelamin, pendidikan)
di Mayapada Hospital Jakarta Selatan.
b. Mengetahui tingkat kecemasan pasien yang dilakukan tindakan keteterisasi
jantung di Mayapada Hospital Jakarta Selatan.
c. Mengetahui dan mengidentifikasi gambaran faktor-faktor yang
menyebabkan kecemasan pada pasien tindakan katerisasi (pengalaman,
dukungan keluarga, tingkat pengetahuan) di Mayapada Hospital Jakarta
Selatan.
d. Menganalisa hubungan antara pengalaman dengan tingkat kecemasan
pasien dengan tindakan keteterisasi jantung di Mayapada Hospital Jakarta
Selatan.
e. Menganalisa hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat
kecemasan pasien dengan tindakan kateterisasi jantung di Mayapada
Hospital Jakarta Selatan.
f. Menganalisa hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat
kecemasan pasien yang dilakukan tindakan kateterisasi jantung di
7. 6
Mayapada Hospital Jakarta Selatan
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pelayanan keperawatan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi perawat untuk
memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang memberikan rasa nyaman
khususnya pasien yang sedang dalam tindakan kateterisasi jantung di Mayapada
Hospital Jakarta Selatan
2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kecemasan pasien dengan tindakan kateterisasi jantung di Mayapada Hospital
Jakarta Selatan
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature bagi mahasiswa
dan institusi pendidikan STIKES PERTAMEDIKA
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan sarana untuk melatih diri dan berfikir secara ilmiah serta
aplikasi ilmu tentang ilmu riset keperawatan
5. Bagi pasien Penyakit Jantung Koroner
Untuk meningkatkan pengetahuan pasien Penyakit Jantung Koroner agar lebih
mengerti dan memahami tentang Penyakit Jantung Koroner sehingga berdampak
dapat mengurangi kecemasan.