Dokumen tersebut membahas tentang studi fenomenologi mengenai pola komunikasi dan identitas diri polisi wanita di Kepolisian Kota Besar Bandung. Dokumen tersebut menjelaskan latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka seputar riset terdahulu dan sejarah kepolisian Indonesia serta peran polisi wanita.
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Artikel
1. PEREMPUAN DALAM RANAH PROFESI MASKULIN
Studi Fenomenologi tentang Pola Komunikasi dan Identitas Diri
Polisi Wanita di Kepolisian Resor Kota Besar Bandung
EDWIN RIZAL
Universitas Padjadjaran1
1. Pendahuluan
Sebagai wilayah hukum yang berupa kota besar, Bandung sarat
dengan ciri dan karakteristik urban, yang ditandai dengan heterogenitas
warga dan beragamnya kebutuhan masyarakat. Ibarat gula yang
diperebutkan oleh jutaan semut, Bandung menciptakan kalangan yang
terpental, kalah dalam perebutan kue pembangunan. Sebagian dari
masyarakat yang tersisih ini, tidak akan kuat menjaga norma dan moral yang
mengikat sebelumnya, bukannya tidak mungkin akan memunculkan bibit-
bibit kriminalitas. Berdasarkan data terakhir, kriminalitas di Bandung pada
tahun 2010 meningkat 29 kasus atau naik 0,48 persen. Tahun 2010 tercatat
sebanyak 6.103 kasus. Sementara jumlah penyelesaian perkara pada tahun
tersebut hanya mencapai 1.635 kasus.
Khusus penelitian tentang polisi wanita (untuk selanjutnya disebut
dengan Polwan), riset yang dilakukan oleh Martin (dalam Mulyana, 2006:277-
290) menunjukkan bahwa pesan-pesan verbal maupun non-verbal secara
diskriminatif menunjukkan ketidakberpihakan dalam karier perempuan
sebagai aparatur pelayan masyarakat. Roach & Eicher (dalam Barnard,
2006:10) menambahkan perempuan melalui atribut diri dikesankan sebagai
sosok ambigu. Hal yang miris juga diungkapkan oleh de Beauvoir (2003:4)
bahwa Phytagoras dan Tolstoy mendeskripsikan perempuan sebagai sosok
1
Program Doktor Ilmu Komunikasi
e-mail: edwinrizal@unpad.ac.id, edwin_rizal@ymail.com
2. yang penuh dengan kekacauan dan ketidakmampuan serta pria akan
dianggap bodoh ketika memberikan nilai positif bagi feminisme perempuan.
Mengapa perempuan mendapatkan situasi ketidaksetaraan dalam
peran sertanya, khususnya di sektor publik? Untuk menjawab hal tersebut,
maka studi fenomenologis adalah sebuah solusi teoretis sekaligus
metodologis dalam memahami realitas.
2. Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran tentang
bagaimana pola komunikasi dan pengalaman perempuan sebagai seorang
polisi dalam membentuk identitas diri dalam profesinya di sektor publik,
sekaligus mendapatkan pemahaman tentang bagaimana lingkungan kerja
kepolisian dimaknai oleh seorang polwan. Melalui pemahaman ini
diharapkan akan muncul konstruk teoritik baru tentang identifikasi
perempuan sebagai seorang polwan dalam ranah yang selama ini
teridentifikasi sebagai wilayah laki-laki.
3. Kegunaan Penelitian
A. Kegunaan Akademik
Penelitian ini diharapkan menjadi bagian dari upaya membangun
ilmu komunikasi, khususnya dalam studi dengan menggunakan paradigma
fenomenologi. Diharapkan penelitian ini dapat melahirkan suatu model
komunikasi baru yang dapat menjembatani dan memaknai lebih
komprehensif tentang keberadaan perempuan dalam suatu institusi
kepolisian dengan mengedepankan pada kesepahaman persepsi dan
interpretasi antar individu yang bergelut dalam wilayah pekerjaan yang
sama
B. Kegunaan Praktis
1. Bagi Polisi
3. Sebagai seorang polisi, kekerasan dan kriminalitas sudah menjadi
suatu santapan sehari-hari, terlepas dari kontroversi banyak pihak,
suka tidak suka memang profesi ini dibutuhkan walau banyak
dilecehkan, dan terkadang perannya dianggap belum menjawab
keinginan masyarakat. Keberadaannya pada suatu masyarakat selalu
menampilkan berbagai tanggapan, terutama bila dihadapkan
langsung pada kasus yang melibatkan masyarakat banyak. Hal ini
menjadi suatu perhatian yang serius bila polisi tersebut adalah
perempuan, aktivitas dan keberadaannya seolah menjadi opsional
saja, dan tersubstitusikan, padahal peranan dan kediriannya sudah
disadari dan dirasakan oleh masyarakat luas pada saat ini.
2. Bagi Masyarakat
Profesi polwan adalah suatu keniscayaan dan tidak dapat dinafikan
oleh seluruh masyarakat terutama di Indonesia. Untuk mengantisipasi
hal ini Kepolisian Indonesia memiliki strategi baru yaitu dengan
mengedepankan para polwan menjadi barisan pertama menghadapi
pendemo, hal ini dilakukan karena Polwan dianggap lebih efektif
untuk melakukan tindakan persuasif kepada masa pengunjuk rasa.
Kepercayaan Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian Negara selayaknya
dijadikan suatu pijakan perseptif bagi masyarakat yang masih
memandang berbeda pada profesi ini.
4. Kajian Literatur
A. Riset Terdahulu
Penelitian dari Rabe-Hemp (2008:426-434) mengungkapkan bahwa
perempuan sudah menjadi polisi sejak tahun 1880an, tetapi baru pada 40
tahun terakhir para peneliti mulai menganalisis perbedaan gender di
lembaga kepolisian. Fakta lain mengungkapkan bahwa sebenarnya
perempuan mulai menjadi polisi pada tahun 1910, tetapi hingga 1970an
keberadaan mereka pada lembaga kepolisian tetap dibatasi sampai jumlah
4. dan posisi tertentu saja. Kesempatan mereka untuk berkarier di bidang
kepolisian ternyata tetap dibatasi pada bidang tertentu saja dikarenakan
dasar stereotip dan persepsi yang dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.
Polwan juga dalam perjalanan tugasnya masih didiskriminasikan, yaitu
mulai dari proses perekrutan, promosi jabatan, tugas yang diemban, posisi
jabatan hingga pada pelecehan (de Guzman dan Frank, 2004: 396-412).
B. Kajian Konseptual Kepolisian
Berbicara tentang profesionalisme, berarti berbicara tentang peran,
fungsi dan tugas suatu profesi yang diakui dan hidup di tengah masyarakat.
Polisi sebagai suatu profesi, mau tidak mau harus ada dalam suatu sistem
ketatapemerintahan, dengan merujuk pada tugas dan fungsinya dalam
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Di Indonesia, sebagai salah
satu negara yang berdasarkan hukum, profesi polisi menjadi suatu pilar
yang penting karena peranannya dalam mewujudkan masyarakat yang
aman, nyaman dan bebas dari rasa takut akan tindak-tindak pelanggaran
hukum, atau dalam kata lain polisi memiliki peranan dalam mewujudkan
janji-janji hukum menjadi kenyataan
Historiografi Perempuan sebagai Polisi di Indonesia
Memaknai profesionalisme polisi, berarti tidak dapat melepaskan diri
dari keberadaan profesi polisi dimasyarakat. Sebagai profesi yang dimiliki
oleh hampir semua negara di muka bumi ini, keberadaannya secara de facto
terlihat jelas disetiap sudut aktifitas masyarakat. Dengan berbagai jenis
seragam serta atribut yang tentunya berbeda-beda bergantung dari regulasi
komunitasnya, keberadaan polisi sebenarnya cukup mencolok di tengah-
tengah masyarakat sipil. Keberadaan mereka tentunya menjadi jawaban akan
kebutuhan masyarakat akan tegaknya norma hukum, aturan dan ketertiban
sipil.
5. a) Sejarah Kepolisian Masa Kerajaan
Tonggak pertama fungsi kepolisian di bumi nusantara ini sudah
berjalan lebih dari 700 tahun, yaitu dimulai dari pasukan bhayangkara di
bawah pimpinan Gajah Mada di Kerajaan Majapahit (ini salah satu jawaban
akan istilah aparat kepolisian kita sebagai aparat bhayangkara).
b) Sejarah Kepolisian Masa Pendudukan Belanda
Pada tahun 1814, gubernur jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles
mengeluarkan suatu regulasi tentang tata usaha dan kehakiman pada
pengadilan-pengadilan daerah di Jawa dan tata usaha kepolisian yang
menjadi dasar dari aturan-aturan kepolisian yang dianut oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1897, setelah hampir satu abad, reorganisasi polisi
dilakukan kembali, dan hasil yang dicapai menunjukkan kemajuan, dengan
terciptanya jabatan opsiner polisi, yang kemudian menjelma menjadi
inspektur polisi. Kepolisian dijalankan oleh petugas-petugas sesuai dengan
fungsinya.
Pada tahun 1904 diusahakan perbaikan kepolisian. Asisten Residen
Priester membedakan dua golongan polisi, yaitu polisi umum dan polisi
kampung, dan Semarang menjadi kota pertama dipraktekkannya rencana-
rencana Priester. Akhirnya kota terbagi menjadi seksi-seksi, penjaga malam
dan penjaga gardu yang tadinya tidak dibayar, kini mulai diberikan gaji dan
tunjangan, jumlah petugas-petugas ditambah, dan polisi-polisi swasta yang
dibayar oleh masyarakat kini ditiadakan, tugas dan fungsinya dilaksanakan
langsung oleh polisi negara.
Pada tahun 1911 diadakan kembali reorganisasi kepolisian, yang
sedikit ditambahkan kembali pada reorganisasi pada tahun 1914.
Reorganisasi ini membentuk dasar-dasar dari organisasi polisi kota.
Meskipun pada awalnya reorganisasi tersebut diperuntukkan tiga kota besar
di Jawa saja, yaitu Jakarta, Semarang dan Surabaya, berdasarkan staatblads
yang dikeluarkan oleh pemerintah, pada tahun-tahun berikutnya perubahan
6. yang memuat peraturan-peraturan tersebut akhirnya juga diterapkan
didaerah-daerah di Jawa dan Madura (Oudang, 1952:12).
Berdasarkan reorganisasi terakhir, kepolisian pada akhir
pemerintahan Hindia Belanda tetap terbagi menjadi tiga, yaitu administrasi
dan pendidikannya di bawah hoofd van den dienst der algemene politie, yang
berada di bawah Departemen Dalam Negeri, rechtspolitie di bawah precureur
generaal dan bidang operasi ditangan residen.
c) Sejarah Kepolisian Masa Pendudukan Jepang
Pada masa Jepang ini, kepolisian terbagi menjadi empat regional
(Djamin, 2006:83), yaitu:
1. Kepolisian yang berkantor pusat di Jakarta, membawahi kepolisian di
Jawa dan Madura, di bawah pimpinan angkatan darat (rikugun).
2. Kepolisian di Sumatera berkantor pusat di Bukit Tinggi, di bawah
kendali angkatan darat (rikugun).
3. Kepolisian regional Timur besar meliputi Sulawesi, maluku, Irian
Barat, berkantor pusat di Makasar di bawah kendali angkatan laut
(kaigun).
4. Kepolisian di Kalimantan berkantor pusat di Banjarmasin di bawah
kendali angkatan laut (kaigun).
d) Sejarah Kepolisian Masa Kemerdekaan
Pada 1946 kepolisian negara berada dibawah kepemimpinan Perdana
Menteri. Tetapi dengan instruksi Dewan Pertahanan Negara pada 1 Agustus
1947, kepolisian negara mulai dimiliterisasikan. Presiden Abdurrahman
Wahid melanjutkan kebijakan pemerintah yang mulai mendorong pemisahan
polisi dari militer secara bertahap yang dimulai sejak munculnya instruksi
Presiden no.2, tanggal 1 April 1999.
Pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, kepala
kepolisian pertama adalah Komisaris Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Pada
masa orde baru kepolisian negara telah berganti pimpinan hingga sembilan
7. kali, dan kepala kepolisian negara yang terakhir di masa orde baru adalah
Jenderal Polisi Dibyo Widodo.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat suatu
perubahan dalam struktur kepolisian negara, didalam Peraturan Presiden
tersebut, selain penghapusan kepolisian wilayah, ada penambahan struktur
organisasi kepolisian. Pasal 15 peraturan Presiden tersebut mengatur
pembentukan divisi hubungan internasional di bawah kepala kepolisian,
yang menyelenggarakan kegiatan national central bureau (NCB) Interpol dan
membantu pelaksanaan perlindungan hukum terhadap warga negara
Indonesia di luar negeri.
• Polwan Sebagai Bhayangkara Negara
Ulang tahun polwan yang diselenggarakan setiap tanggal 1 September
dikaitkan dengan tanggal dimulainya pendidikan kader kepolisian angkatan
ketiga, pada 1948. Pada saat itu mulai pertama kalinya diikutsertakannya
enam orang perempuan sebagai peserta didik. Penyertaan perempuan dalam
pendidikan kader polisi tersebut karena semakin dirasakannya kebutuhan
akan tenaga perempuan di tubuh kepolisian, ditambah lagi dengan desakan
dari berbagai organisasi Islam yang meminta agar tahanan perempuan tidak
digeledah oleh polisi laki-laki (Rachman, 2006:6).
Sebagai perempuan, maka tugas yang dilakukan oleh para polwan di
awal-awal masa tugasnya hampir keseluruhan berkait dengan hal-hal yang
menyangkut hubungannya dengan keberadaan perempuan juga, seperti
(Djamin, 2006:228-229):
a) mengusut dan memberantas, terutama mencegah kejahatan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh atau terhadap perempuan dan
anak-anak pada umumnya.
b) Mengawasi dan memberantas pelacuran, perdagangan perempuan
dan anak-anak serta perbuatan-perbuatan cabul.
c) Membentri bantuan pada polisi umum dalam pengusutan dan
pemeriksaan perlara terhadap terdakwa atau saksi-saksi
8. perempuan, khusus untuk memeriksa badan perempuan yang ada
keterkaitannya dengan suatu perlara.
d) Mengawasi penggunaan tenaga kerja perempuan dan anak-anak.
e) Melakukan tugas kepolisian dalam lapangan sosial
(memperhatikan tempat-tempat pelacuran, mendidik mereka yang
melakukannya kearah perbaikan moril, meninjau dan
memperhatikan rumah-rumah miskin, rumah orang-orang tuna
netra, rumah orng-orang cacat lainnya dan sebagainya).
f) Mengawasi dan menolong serta melindungi kaum perempuan,
anak-anak atau orang-orang tua yan keadaannya membutuhkan
pertolongan.
g) Mengurus dan melindungi kaum perempuan dan anak-anak yang
terlantar.
• Keahlian dalam Spesifikasi Tugas
Pendidikan kepolisian adalah pendidikan kedinasan untuk
menunjang kebutuhan organisasi kepolisian secara khusus maupun umum.
Karena bersifat pendidikan, maka sistem pendidikan nasional (sisdiknas)
juga menjadi acuan dalam penyelenggaraannya. Karena itu pihak kepolisian
tetap memelihara mutu penyelenggaraan pendidikan tersebut sesuai dengan
sistem pendidikan nasional. Selain mengenalkan ilmu-ilmu spesifik dibidang
kepolisian, sistem pendidikan pada institusi pendidikan kepolisian,
khususnya pada pendidikan tingkatan yang lebih tinggi, mengacu juga pada
disiplin ilmu nonkepolisian tetapi yang terkait atau memiliki pengaruh
langsung terhadap fungsi-fungsi kepolisian Indonesia.
Sistem Pendidikan Polri
Secara teknis pendidikan Polri tidak membedakan antara polwan dan
polki, hanya saja tempat penyelenggaraannya yang membedakan, kecuali
pada Akademi Kepolisian. Secara umum berbagai pendidikan yang
diselenggarakan oleh Kepolisian Indonesia dilakukan melalui beberapa
tahapan, yaitu :
9. a. Pendidikan pertama (Dikma)
Pendidikan ini untuk membentuk siswa/calon polisi yang ditempuh
melalui pendidikan dasar keprajuritan dan pendidikan dasar
golongan atau pangkat, dengan tujuan agar anggota polisi yang
dibentuk memiliki tingkat kepribadian, kemampuan intelek dan
jasmani yang sesuai dengan peranan dan golongan atau pangkat.
Pendidikan pembentukan (Diktuk)
b. Pendidikan pengembangan umum (dikbangum)
Pendidikan ini adalah pendidikan berjenjang dan berlanjut untuk
mengembangkan kemampuan umum yang diperoleh berdasarkan
kelanjutan pendidikan, pelatihan dan penugasan sebelumnya, dalam
rangka perencanaan penggunaan anggota selanjutnya..
c. Pendidikan pengembangan spesialisasi (dikbangspes)
Pendidikan ini dibentuk untuk mengembangkan kemampuan
spesialisasi, baik yang telah maupun belum diperoleh dari
pendidikan, latihan atau penugasan sebelumnya. Pendidikan ini
terdiri dari pendidikan kejuruan dan pendidikan jabatan.
d. Pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi (Dik iptek)
Pendidikan ini lebih difokuskan pada penugasan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat keilmuan yang
dilaksanakan di luar/dalam lembaga pendidikan Polri melalui
kerjasama dengan lembaga lain, seperti pendidikan jenjang diploma-3
ilmu kepolisian, strata-1 sampai dengan strata-3 ilmu kepolisian dan
pendidikan iptek lain diluar lembaga pendidikan Polri.
e. Pendidikan peralihan (Dik Alih)
Pendidikan ini dimaksudkan untuk melengkapi dan memantapkan
aspek pendidikan dasar golongan atau pangkat bagi anggota Polri
yang mendapatkan anugerah kenaikan pangkat medan tempur atau
kenaikan pangkat luar biasa menjadi perwira atau bintara. Pendidikan
ini terdiri atas pendidikan peralihan bintara dan peralihan perwira.
10. Penjenjangan dan Penugasan Personil
Pada dekade 1980-an, peluang untuk meraih tugas dan jenjang
kepangkatan yang sama dengan rekan sejawatnya laki-laki telah terbuka
dengan lebar, ini dapat terlihat pada 1987 dilantiknya seorang kapolsek
polwan yang pertama, bahkan pada awal 1990-an sudah tercatat seorang
polwan yang memiliki jenjang kepangkatan hingga Brigadir jenderal polisi,
meskipun pangkat tersebut diraih bukan dikarenakan dengan jabatan yang
strategis fungsional, melainkan lebih bersifat politis.
Tanggung Jawab Profesi Pengamanan
Napoleon Bonaparte, seorang pemimpin besar dan tokoh revolusi
Perancis pernah mengungkapkan bahwa betapa mulianya tugas seorang
polisi, menjalankan suatu tugas yang tidak jarang akan dihindari bagi
kebanyakan masyarakat awam. Profesi yang dekat dan erat dengan dunia
kekerasan ini menjadi suatu profesi yang harus dijalankan sesuai dengan
aturan dan norma-norma yang mengikat. Lebih lanjut, Napoleon
mengungkapkan bahwa ’Seni dari tugas kepolisian adalah tidak mau melihat
kesia-siaan yang seharusnya dilihat’. Maksud ungkapannya adalah suatu
simpati secara pribadi maupun institusi bagi profesi polisi tersebut, selain
juga sebagai ungkapan protes atas cara pandang masyarakat yang sering
menyudutkan polisi, sehingga profesi ini selalu termarjinalkan dan jarang
mendapat apresiasi meskipun berprestasi.
Tugas Pokok dan Fungsi Aparat Bhayangkara
Dalam melaksanakan tugas pokok, pasal pasal 13 UU no. 2/2002
undang-undang tentang kepolisian negara menjabarkan tugas polisi secara
rinci, yaitu :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan
kebutuhan.
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu-lintas dijalan.
11. c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
d. Turut serta dalam pembinaan hukuk nasional.
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyelidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa.
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya.
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
untuk kepentingan tugas kepolisian.
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana,
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang.
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Perempuan dan Konsep Kamtibmas
American Bar Association menjelaskan delapan tugas pokok dan
fungsi seorang polisi (Natarajan, 2008:6), tugas pokok dan fungsi tersebut
adalah:
a. Mencegah dan mengendalikan perilaku yang dianggap sebagai
perilaku mengancam atas kehidupan individu dan harta benda.
12. b. Membantu individu yang berada dalam keadaan bahaya, seperti
korban kriminalitas.
c. Melindungi tegaknya konstitusi, termasuk didalamnya hak
kebebasan berbicara dan berkumpul.
d. Memfasilitasi kelancaran lalu lintas.
e. Membantu mereka yang tidak bisa merawat diri mereka sendiri,
dikarenakan mabuk, kecanduan, sakit mental, cacat fisik, baik tua
maupun muda.
f. Mengatasi konflik, apakah itu antar individu, kelompok individu,
atau individu dan pemerintah.
g. Mengidentifikasi masalah yang memiliki potensi untuk menjadi
masalah yang lebih serius bagi warga individu, bagi polisi atau
pemerintah.
h. Menciptakan dan memelihara rasa aman di masyarakat.
Prinsip dan Falsafah Polri
Falsafah yang dianut oleh Polri adalah community policing atau
perpolisian masyarakat (Polmas). Polri mengharapkan falsafah ini menjadi
arah kebijakan unggulan Polri, lebih kepada penyeimbang antara pendekatan
koersif kuratif (penegakan hukum) dan pendekatan preventif dan preemtif.
Tentunya harapan institusi kepolisian adalah terpenuhinya harapan
masyarakat terhadap unjuk kerja dan kinerja polisi dalam memberikan jasa
atau pelayanannya kepada masyarakat.
Secara ringkas Polmas dibangun dengan asumsi-asumsi:
a. Jumlah polisi tidak cukup, sehingga memerlukan keterlibatan
masyarakat dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat.
b. Masyarakat adalah mitra sejajar polisi, sehingga bersama-sama
dapat memecahkan masalah atas isu-isu yang ada, khususnya
yang berkaitan dengan kamtibmas.
13. c. Polisi memerlukan pengenalan wilayah yang baik, sebagai deteksi
dan mekanisme deteksi dini dan peringatan dini, karena itu polisi
ditempatkan secara permanen di wilayah tugas tertentu.
e) Polwan di Era Reformasi Polri
Membaiknya citra institusi kepolisian Indonesia, sejalan dengan
tindak reformasi yang sedang dilaksanakan, tentunya secara signifikan akan
berdampak pula terhadap keberadaan polwan. Citra positif yang sampai saat
ini masih melekat pada polwan, membuatnya lebih dipercaya dan dapat
mewakili serta merepresentasikan upaya kepolisian Indonesia dalam
memperbaiki citra secara lebih luas dan untuk meningkatkan
keprofesionalismenya (Rachman, 2006:25).
5. Kajian Teoretik
Harold Laswell (1948) menyebutkan sebuah model komunikasi yang
konsepnya sama dengan model Aristoteles, yaitu sama-sama menekankan
pada elemen speaker, message dan audience (tetapi menggunakan istilah yang
berbeda). Baik Laswell maupun Aristoteles sama-sama melihat komunikasi
sebagai proses satu arah dimana individu dipengaruhi individu lain sebagai
akibat dari pengiriman pesan (Ruben, 1992).
Braddock (1958) dalam McQuail dan Windahl (1993:13) menambahkan
dua hal dalam model Laswell yang dapat mempengaruhi tindakan
komunikasi, yaitu:
1. Dalam situasi dan keadaan bagaimana sebuah pesan itu dikirimkan
2. Untuk tujuan apa komunikator mengirimkan pesan
Teori Braddock menggambarkan karakter awal model komunikasi,
bahwa komunikator itu selalu memiliki kesadaran untuk mempengaruhi
komunikan, jadi komunikasi dilihat sebagai suatu proses persuasif. Lasswell
mengemukakan tiga fungsi komunikasi yaitu: pengawasan lingkungan,
korelasi berbagai bagian terpisah dalam masyarakat yang merespon
lingkungan, dan transmisi warisan sosial.
14. A. Identitas Diri
Sebagai titik balik pemikiran a-positif terhadap keperan-sertaan
perempuan dalam berbagai profesi di luar ranah domestik, Yusuf (2007:1-11)
mengatakan bahwa Partisipasi perempuan yaitu menyangkut peran tradisi
dan peran transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan
sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi
meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat
dan manusia pembangunan. Pada peran transisi wanita sebagai tenaga kerja
turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan
sesuai dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan
pekerjaan yang tersedia.
B. Fenomenologi Sosial
Schutz, sebagai salah satu murid Husserl yang mengembangkan studi
sosiologi berdasarkan filsafat fenomenologi dengan menerbitkan The
Phenomenology of Social World di Jerman, tahun 1932 (Calhoun, dkk., 2007: 32-
42). Schutz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara
individu membangun realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi
dari para pendahulunya dalam kehidupan sosial. Hubungan individu
membangun realitas kultural dan sosial tersebut kiranya dapat kita pahami
pula sebagai bentuk kehidupan keseharian dan profesinya dalam
membentuk realitas kehidupan individu yang berkelindan dengan proses
dialektika realitas sosial dan kulturalnya. Tradisi ini menaruh perhatian pada
persepsi dan interpretasi orang terhadap pengalaman subyektifnya.Schutz
lebih menspesifikasikan pada bagaimana terbentuknya dunia keseharian
manusia lewat kesadaran intersubjektif (fenomenologi intersubjektif).
C. Interaksionisme Simbolik
Dalam interaksi simbolik ini tindakan manusia sejatinya adalah
sesuatu yang bersifat simbolik, dalam pengertian bahwa makna
sesungguhnya merupakan representasi atas suatu realitas yang hanya
dipahami ketika individu memberikan tafsir atas realitas itu sendiri. Mead
15. yang mengabadikan pemikirannya dalam wujud Teori Interaksi Simbolik ini
melihat bahwa secara prinsipal bahwa simbol mengemuka melalui interaksi.
Ritzer dan Goodman (2010:289) mengidentifikasi konsepsi interaksi
simbolik dalam tujuh pilar, yakni :
a. manusia memiliki kemampuan berfikir
b. kemampuan berfikir muncul sebagai konsekuensi dari interaksi
sosial
c. melalui interaksi, manusia mengetahui dan memahami tentang
makna dan simbol sekaligus berusaha untuk mengoptimalisasikan
pemanfaatannya
d. kemudian, melalui simbol dan makna tersebut, manusia berusaha
untuk mengekstensifikasi kemampuannya berinteraksi dan
mengambil suatu tindakan
e. manusia memiliki kemampuan melakukan perubahan makna dan
simbol yang telah dikuasainya sebagaimana interpretasi dirinya
terhadap situasi yang dihadapi
f. manusia juga memiliki kemampuan untuk merekayasa sekaligus
berfikir alternatif
g. dan pada akhirnya, tingkah laku dan interaksi melulu
berhubungan dengan bagaimana sebuah masyarakat itu dilahirkan
6. Kerangka berpikir
Berangkat dari konsep-konsep tentang polisi sebagai individu sosial
dan profesinya, juga berdasarkan pemikiran teoretis fenomenologi dan
interaksionisme simbolik, maka alur berpikir penelitian ini perlu
dikemukakan sebagai bentuk kerangka pemikiran.
Paradigma dan teori yang diajukan oleh peneliti merupakan
pendekatan subjektif dalam studi ilmu-ilmu sosial. Studi yang menggunakan
pendekatan subjektif ini sering disebut dengan studi humanistik, dan
pendekatannya mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak memiliki sifat
16. yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat intepretif (Mulyana,
2006:32-38).
Menurut pandangan subjektif pula, realitas adalah suatu kondisi yang
cair dan mudah berubah melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari-
hari. Karena manusia yang mengkronstruksi realitas, maka manusia bebas
untuk memilih tindakan apapun, dalam arti mereka dapat merubah struktur.
Struktur hanya menjadi sekedar konstruksi sosial, yang bersifat artifisial,
rentan dan dapat berubah, sehingga struktur sosial dapat dikatakan bukanlah
fakta-fakta yang kukuh dan independen atau terlepas dari kepercayaan,
keinginan dan tindakan manusia.
7. Fokus Penelitian
Sejarah kelahiran polwan di Indonesia tak jauh berbeda dengan proses
kelahiran polwan di negara lain. Kelahiran polwan sepertinya menjadi
keharusan, tepatnya pada tahun 1948 dikarenakan kejadian-kejadian tertentu,
terutama pada saat tahun tersebut pemerintah Indonesia mengalami
pengungsian besar-besaran dari semenanjung Malaya yang sebagaian besar
adalah kaum perempuan. Pada saat itu para pengungsi tidak mau diperiksa,
apalagi digeledah secara fisik oleh polisi laki-laki, membuka kesempatan bagi
6 perempuan untuk menempuh pendidikan sebagai Inspektur Polisi di
Sekolah Polisi Negara di Sukabumi. Pada tahun 1951 ke enam perempuan ini
dilantik sebagai Polwan pertama di Indonesia. Berdasarkan kesejarahannya
tersebut menyebabkan Polwan pulalah yang menjadi pionir sehingga
muncul gagasan untuk melahirkan Korp Wanita AU (Wara). Korps wanita
AD (Kowad) serta Korps Wanita AL (Kowal). Sehingga institusi Polwan ini
menjadi pembuka jalan bagi perempuan untuk bekerja dan berkarier di dunia
dimana sebelumnya selalu dianggap sebagai wilayah laki-laki.
Berdasarkan dari uraian di atas dan merujuk pada identitas historis
yang meletakkan perempuan dalam struktur yang tersubordinasi, maka
permasalahan tersebut dirumuskan menjadi ‘Bagaimana pola komunikasi dan
pengalaman polwan dalam membentuk identitas diri sebagai perempuan yang
17. menjalani profesi kepolisian?’ Selanjutnya, permasalahan ini terurai dalam
sejumlah pertanyaan :
1. Bagaimana polwan Polrestabes Bandung membentuk identitas
dirinya berdasarkan pengalamannya dalam profesi kepolisian
yang dipersepsi sebagai dunia profesi laki-laki ?
2. Bagaimana pola komunikasi yang terjadi pada polwan Polrestabes
Bandung dengan mitra kerjanya ?
8. Metodologi Penelitian
A. Desain Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, yakni pendekatan yang menghasilkan data yang
bersifat deskriptif. Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan penelitian yang
berupaya guna memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa tidak
memerlukan kuantifikasi, atau gejala-gejala tersebut tidak memungkinkan
untuk diukur secara tepat (Abercromby, Hill dan Turner, dalam Garna,
2007:39-54).
Penitikberatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
interaksi simbolik, mengingat skema penelitian adalah pada bagaimana
usaha manusia memaknai seluruh tindakan manusia adalah suatu tindakan
sosial yang berbasis pada proses. Interaksionisme simbolik mempelajari sifat
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Pada
penitikberatan ini, individu dianggap bersifat aktif, reflektif dan kreatif,
menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh
karena individu terus berubah, maka masyarakatpun berubah melalui
interaksi (Mulyana, 2006:68).
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah polwan yang bertugas di
Kepolisian Resor Kota Besar Bandung (Polrestabes Bandung), dibawah
Kepolisian Daerah Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di Bandung untuk
18. alasan selain pada kemudahan lokasi riset, juga atas pertimbangan-
pertimbangan rasionalitas lainnya. Populasi polwan di Jawa Barat
berdasarkan data statistik terakhir, yaitu pada September 2009 adalah
sebanyak 1250 orang, yang terbagi keseluruh Jawa Barat, yaitu Kepolisian
Daerah dan Kepolisian Resor Kota Besar serta Kepolisian Resor. Alasan lain
yang menjadi pertimbangan peneliti untuk memilih di Kepolisian Resor Kota
Besar Bandung terutama pada kemudahan akses, populasi polwan yang
cukup untuk dijadikan subjek penelitian serta ragamnya bentuk serta jenis
kriminalitas yang ditangani oleh Kepolisian Resor Kota Besar Bandung.
Data diperoleh melalui wawancara yang dilakukan terhadap enam
orang polwan yang bekerja dalam lingkungan Kepolisian Resor Kota Besar
Bandung. Pemilihan keenam orang nara sumber tadi bersandar pada
kemudahan dan akses yang telah di bina sebelumnya oleh peneliti melalui
beberapa orang yang memiliki hubungan dengan nara sumber, juga
berdasarkan observasi yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti
langsung pada lokasi penelitian. Keenam polwan yang menjadi nara sumber
penelitian memiliki jenjang kepangkatan yang beragam, dari bintara hingga
perwira. Keenam nara sumber tersebut juga memiliki rentang umur yang
beragam serta masa tugas serta pengalaman penempatan tugas yang
berbeda-beda.
C. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah identifikasi perempuan sebagai
polisi dalam mengidentifikasikan dirinya dalam profesinya di sektor publik
dan bagaimana pola komunikasi pada polisi perempuan. Melalui
pemahaman ini diharapkan akan muncul konstruk teoritik baru tentang
identifikasi perempuan sebagai seorang polisi dalam ranah yang selama ini
teridentifikasi sebagai wilayah laki-laki.
19. D. Teknik Pengumpulan Data
Pengamatan (observation) merupakan cara yang sangat baik untuk
meneliti tingkah laku manusia. Dalam melakukan pengamatan, peneliti
sudah memahami terlebih dahulu pengertian-pengertian umum dari objek
penelitiannya. Apabila tidak maka hasil pengamatannya menjadi tidak tajam.
Dalam penelitian naturalistik, pengamatan terhadap suatu situasi tertentu
harus dijabarkan dalam ketiga elemen utamanya, yaitu lokasi penelitian,
pada pelaku atau aktor, dan kegiatan atau aktivitasnya. Kemudian ketiga
elemen utama tersebut harus diuraikan lebih terperinci lagi.
E. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan adalah dengan menggunakan
analisis interaktif dari Miles dan Huberman, yakni serangkaian proses yang
meliputi reduksi dan saji data serta penarikan kesimpulan secara
berkelanjutan. Dalam fase reduksi, peneliti melakukan pemilihan, abstraksi
dan transformasi data untuk kemudian disajikan sebagai seperangkat
informasi yang kepadanya dapat ditelusuri arti, penjelasan, regulasi, pola
dan konfigurasi dari informasi tersebut yang sesungguhnya.
Selanjutnya, dilakukan triangulasi data sebagai bagian dari
pemeriksaaan keabsahan data dengan menggunakan triangulasi peneliti dan
subjek penelitian. Dengan kata lain, keabsahan data didapatkan dengan
membandingkan hasil wawancara, amatan dan simpulan yang dilakukan
oleh peneliti dengan subjek itu sendiri.
Secara tegas, Kuswarno (2009:72) menandaskan, bahwa rangkaian
analisa data dalam penelitian fenomenologis meliputi kegiatan :
- Mendeskripsikan secara menyeluruh pengalaman
- Menemukan pernyataan dalam wawancara tentang bagaimana
orang-orang memahami topik, rincian pernyataan dan
memperlakukan setiap pernyataan memiliki nilai yang setara dan
mengembangkan rincian tersebut dengan tidak memperlakukan
secara repetisi atau tumpang tindih
20. - Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam
unit-unit yang bermakna dan merinci dan menuliskan kembali dalam
deskripsi saksama
- Merefleksikan pemikiran peneliti dan menggunakan variasi imajinasi
atau deskripsi struktural dengan mencari keseluruhan makna yang
memungkinkan dan melalui perspektif divergen, mempertimbangkan
gejala dan mengkonstruksikan bagaimana gejala tersebut dialami
- Mengkonstruksikan seluruh penjelasan tentang makna dan esensi
pengalaman
- Mengungkapkan pengalaman dengan membuat deskripsi gabungan.
9. Prosedur Penelitian
A. Perencanaan Penelitian
Peneliti tertarik meneliti tentang keberadaan perempuan dalam ranah
laki-laki, terutama dalam lingkup pekerjaan yang identik dengan kekerasan
dan ketegasan serta penegakan hukum dilandasi oleh masih sedikitnya
populasi perempuan dalam komunitas polisi, serta terlihat perbedaan yang
cukup signifikan pada diri seorang perempuan bilamana diri perempuan
tersebut telah menempatkan dirinya sebagai polisi, yang ditandai salah
satunya dengan seragam yang dikenakannya.
Tetapi dengan kedudukannya sebagai aparat pemerintah dan aparat
Bhayangkara, penjaga ketenteraman, ketertiban dan keamanan masyarakat,
membuat sosok tersebut seolah berjarak dengan masyarakat yang
dilayaninya. Di satu sisi ada keseganan dalam diri publik untuk lebih dekat
secara personal kepada mereka dan di sisi lain seolah ada jarak yang dijaga
oleh aparat kepolisian terhadap publik.
Kondisi dan asumsi yang terbangun oleh kedua belah pihak tersebut
akhirnya menjadi kendala yang dihadapi oleh peneliti saat mengobservasi
dan mencoba untuk berinteraksi dengan calon nara sumber sewaktu di
21. lapangan. Rasanya menjadi mustahil untuk mencoba berkontak langsung
dengan polwan sebagai calon nara sumber bila tidak dibantu oleh pihak
ketiga. Peneliti menyadari keadaan tersebut setelah berulang kali melakukan
pendekatan, yang selalu berakhir dengan kegagalan. Dengan bantuan pihak
ketiga akhirnya dapat mencairkan kebuntuan yang dihadapi oleh peneliti.
Dengan bantuan tersebut peneliti dapat menjalin hubungan dengan beberapa
polwan yang akhirnya menjadi nara sumber penelitian ini.
B. Jadwal Penelitian
Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka
tidak terlepas tahapan-tahapan yang dibutuhkan dalam keberlangsungan
jalannya penelitian, untuk itu peneliti mencoba menggambarkan secara
ringkas dan jelas rencana dalam tahap-tahap pelaksanaan penelitian ini
dalam bentuk tabel yang disusun berdasarkan waktu :
No Uraian Kegiatan Waktu
1 Penyiapan Proposal April s.d Juli 2009
2 Pra Survei Agustus 2009
3 Bimbingan Proposal Oktober 2009 s.d
November 2009
4 Seminar UP Disertasi Desember 2009
5 Perbaikan UP Disertasi Januari 2010
6 Pengumpulan Data Maret 2010 s.d
Agustus 2010
7 Pengolahan & Analisa Data Agustus 2010
8 Penulisan Laporan September s.d
November 2010
9 Penelaahan Laporan Februari 2011
10 Revisi Hasil Penelaahan Maret 2011
11 Sidang Tertutup April 2011
12 Revisi Hasil Sidang Tertutup April s/d Mei 2011
13 Promosi Juni 2011
10. Simpulan
Penelitian ini telah mengeksplorasi polisi wanita dan identitas
kediriannya dalam profesinya sebagai polisi yang dipersepsi sebagai dunia
22. kerja maskulin. Melalui hasil pembacaan literatur, utamanya tentang
identitas diri polwan, profesionalisme polri, fenomenologi sosial dan
interaksi simbolik, maka berhasil teridentifikasi kediriannya berdasarkan
pengalaman keprofesiannya yang dipersepsi dalam ranah maskulinitas. Ada
pun hasil tersebut, adalah :
1. Terdapat dua kategori identitas polwan, yakni polisi perempuan dan
perempuan polisi
(1). Polisi perempuan
- Identitas polisi perempuan dimaknai sebagai pemahaman
bahwa dirinya merupakan subjek yang menyadari sepenuhnya
keberadaannya sebagai aparatur pengayom, pelindung dan
pelayan masyarakat dalam pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat sebagai kediriannya yang asasi, alih-alih
keterberian dirinya secara fisiologis dan tafsir kultur maupun
sosial sebagai perempuan.
- Pilihan profesi menjadi polisi dilakukan sebagai ajang
pembuktian diri atas kemampuan dan kapabilitas kediriannya
sebagai perempuan yang melampaui asumsi kognitif
masyarakat yang memaknai lekatnya ranah domestik yang
mengikat keberadaan perempuan dalam masyarakat secara
kultur maupun sosial (motif in order to)
- Polisi perempuan memiliki kecakapan melampaui tafsir utama
kultur dan sosial perempuan sebagai polisi yang notabene
teridentifikasi dengan kapabilitas maskulin. Hal ini ditandai
dengan kemampuan nara sumber dalan menjalankan tugas
pokok dan fungsi kepolisian sebagai keniscayaan yang
melampaui bias gender.
- Polisi perempuan memaknai kediriannya dalam profesi polisi
sebagai sesuatu yang asasi tanpa harus terjebak dalam tafsir
gender secara kultur dan sosial.
23. - Polisi perempuan, sebagaimana halnya dengan perempuan
dalam profesi lainnya memiliki lingkungan kultur dan sosial
yang signifikan sebagai dinamika dan struktur penguat dan
peneguh yang memandang bahwa maskulinitas adalah sebuah
keniscayaan, tetapi tetap dapat terlakoni.
(2). Perempuan polisi
- Identitas perempuan polisi dimaknai sebagai pemahaman
dalam menyadari dirinya sepenuhnya sebagai perempuan
dengan mengkonstruksi kediriannya sebagai subjek yang
berbeda dengan tafsir kultur dan sosial utama atas keprofesian
polisi sebagai pekerjaan yang maskulin.
- Pilihan profesi menjadi polisi disebabkan internalisasi diri
sebagai akibat pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan
terdekatnya yang terlibat dalam profesi kepolisian maupun
ketentaraan (significant other). Kedekatan tersebut
menimbulkan keinginan kuat nara sumber untuk menjalani
profesi polisi sejak dini (motif because of)
- Perempuan polisi memaknai dirinya merupakan subjek yang
menyadari keperempuannya (terlebih dahulu) dalam
menjalankan peran sebagai aparatur pengayom, pelindung dan
pelayan masyarakat dalam pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat disesuaikan dengan tafsir kultur dan
sosial sebagai perempuan yang direfleksikan melalui peran-
peran tradisional yang mengikat.
- Dalam identitas perempuan polisi, nara sumber memilih
menegosiasikan tafsir utama sosial atas kecakapan perempuan
dengan tafsir polisi sebagai kapabilitas maskulin. Dalam arti
meskipun tugas pokok dan fungsi yang diembannya
dilaksanakan setara dengan laki-laki rekan kerjanya,
24. keberadaannya sebagai polisi adalah lebih karena menjalankan
dan meneruskan profesi ‘keluarga’ .
- Sebagaimana halnya dalam identitas polisi perempuan,
perempuan polisi juga memiliki lingkungan sosial yang
signifikan sebagai dinamika dan struktur penguat dan
peneguh yang memandang bahwa perempuan adalah sistem
pendukung dari keprofesian polisi yang maskulin.
- Dengan latar belakang motif menjadi polisi yang berbeda,
akhirnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya sebagai
aparat Bhayangkara, garda terdepan dalam pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, keberadaan nara sumber
dalam profesi polisi dinisbatkan sebagai subjek yang melekat
dengan tafsir kultur dan sosial sebagai pengayoman dan
pengelolaan dalam ranah domestik, tetapi secara sadar
maupun tidak, ‘handycap’ tersebut terkadang dinikmati dan
menjadi ‘advantage’ bagi keberadaannya sebagai perempuan.
2. Dalam konteks pola komunikasi antara polisi laki-laki dan
perempuan, kedua kategori polwan di atas mendesain dinamika
komunikasinya sebagai berikut :
- Nara sumber dalam keprofesiannya sebagai polisi menerima
perlakuan yang setara dari mitra kerjanya yang laki-laki berkait
dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kepolisian sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan yang mengikat
setiap anggota polisi dalam wilayah Polri.
- Dalam keprofesiannya, nara sumber terkadang menerima
perlakuan yang tidak setara dari mitra kerjanya yang laki-laki
berkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, sejauh
kepentingannya sebagai perempuan dalam fungsi-fungsi
domestik diuntungkan.
25. - Pengakuan kesetaraan dan ketidaksetaraan antara polwan dan
polki bermain dalam ranah subjektifitas tergantung dari fungsi-
fungsi tertentu dalam tugas-tugas kepolisian.
11. Saran
A. Saran Teoritis Akademis
- Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis, yang
didesain untuk melihat pola komunikasi dan identitas diri polwan
melalui pengalamannya menjalani profesi kepolisian. Lewat elaborasi
dan pemahaman yang terintegrasi antara kondisi nyata yang dialami
oleh nara sumber dengan konsep-konsep tentang komunikasi,
identitas dan konsep diri, serta interaksi simbolik, akhirnya meskipun
penelitian ini tidak dirancang untuk menghasilkan suatu generalisasi
konsep dan hanya berlaku dan melekat pada subjek penelitian melalui
nara sumber yang terlibat, diharapkan menghasilkan suatu
pemahaman yang lebih dalam dan lengkap tentang bagaimana
seorang perempuan yang menjalani profesi yang selama ini mendapat
label profesi maskulin, mengidentifikasikan dirinya dalam
keberadaannya sebagai perempuan dan sebagai aparat Bhayangkara,
serta terlihat pola komunikasi yang terjalin antara polwan tersebut
dengan rekan kerja-nya laki-laki dalam pelaksanaan tugas pokok dan
fungsinya sebagai polisi.
- Dengan kesadaran akan keterbatasan kemampuan, peneliti menyadari
masih banyak lagi aspek yang dapat dikuakkan dan digali dalam
studi ini, terutama tentang keberadaan perempuan dalam ranah
profesi maskulin dengan pendekatan subjektif, yang bersifat intepretif
dan berketerbatasan serta tidak dapatnya digeneralisasikan. Untuk itu
dirasakan perlunya studi-studi lanjutan tentang peran perempuan
dalam melakoni keberadaan dirinya sebagai perempuan dan juga
sebagai pelakon suatu profesi yang berbeda dengan kebanyakan
26. perempuan lainnya. Tentunya studi-studi lanjutan tersebut berkait
juga dengan fenomena komunikasi antar budaya -sebagai ajang
pembuktian bahwa setiap manusia memang berbeda, alih-alih sebagai
suatu kesatuan yang selalu sama- dengan pendekatan-pendekatan
lainnya seperti pendekatan kritis, konstruksi sosial atau bahkan
dramaturgis. Dengan pendekatan-pendekatan lain tersebut tentunya
diharapkan munculnya pemahaman baru tentang keberadaan
perempuan dalam melakoni profesi yang jarang dilakukan oleh
perempuan lainnya, sehingga pada akhirnya akan memperkaya
pemahaman tentang pola komunikasi diantara pelaku yang berprofesi
di ranah maskulin.
B. Saran Praktis
- Dengan meningkatnya tingkat kriminalitas dan meningginya
kebutuhan masyarakat akan rasa aman, terlindungi dan terayomi,
maka diharapkan terjadi peningkatan jumlah personil dan peran serta
polwan dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban pada layanan
yang bersentuhan langsung di masyarakat.
- Institusi kepolisian dapat memfasilitasi pendidikan lanjutan
bagi polwan dalam tugas-tugas pemeliharaan keamanan dan
ketertiban
- Institusi kepolisian dapat menghadirkan kurikulum
kesetaraan gender dalam pendidikan dasar polisi laki-laki sehingga
memiliki perspektif dalam pemahaman yang adil dan berkesetaraan
terhadap kecakapan perempuan yang berprofesi sebagai mitra
kerjanya sebagai polisi.