SlideShare a Scribd company logo
1

Makalah

Demokrasi zonder Toleransi
Potret Islam Pasca Orde Baru
Oleh: BURHANUDDIN MUHTADI

Ada dua pertanyaan pokok dalam studi gerakan
sosial: pertama, kenapa dan bagaimana suatu gerakan
sosial muncul dan kedua, bagaimana gerakan sosial
menyampaikan pesan ideologinya agar bisa diterima
masyarakat. Tentu tidaklah mudah menjawab
dua pertanyaan ini. Munculnya gerakan sosial
adalah gejala sosial yang kompleks, dan karena
itu penjelasannya sulit diringkus dalam satu teori
gerakan sosial tertentu. Para ahli ilmu sosial
belakangan ini semakin menyadari mendesaknya
teori atau perspektif yang bersifat integral dan
konprehensif tentang gerakan sosial, yakni antara
pendekatan struktur kesempatan politik (political
opportunity structure/POS), resource mobilization theory
(RMT) dan collective action frames (McAdam, McCarthy
dan Zald, 1996, h. 7). Dengan kata lain, gerakan
sosial harus dilihat dari pelbagai sisi, baik kultural,
psikologis, rasional, dan struktural (terutama
organisasi dan konteks politik) dan lain-lain (cf.
Klandermans, 1997; Jenkins, 1983; Mujani, 2005).

Makalah Diskusi | Januari 2011
2
Dalam perspektif ini, unit analisis dalam memotret gerakan sosial tidak
sekadar individu sebagai partisipan gerakan sosial, tapi juga kelompok dan
organisasi. Partisipan memang menjadi aktor penting dalam gerakan sosial,
tapi partisipan itu tidak berada dalam ruang hampa. Partisipan gerakan sosial
berada dalam konteks kultural dan struktural dari gerakan itu. Di sinilah
konteks struktural organisasi yang mewadahi dan memungkinkan terjadinya
mobilisasi sumberdaya dan struktur kesempatan politik yang melingkupinya
akan berkait-kelindan dengan motif individual, keyakinan ideologis, nilai-nilai,
dan kalkulasi rasional partisipan kenapa ia kemudian memutuskan untuk
terlibat dalam gerakan sosial.
Saya ingin memakai perspektif gerakan sosial secara integral untuk
menjelaskan munculnya gerakan sosial Islam (OGI) di Indonesia pasca Orde
Baru. Secara empirik, OGI jelas menggunakan “Islam” sebagai simbol dan
identitas. Selama ini perspektif integral dalam melihat OGI masih minim.
Banyak penulis yang lebih banyak memfokuskan pada pendekatan ideologis
dalam memotret OGI di Indonesia. Sementara di dunia akademis Barat, studi
gerakan Islam seringkali memiliki bias kekerasan atau terorisme. Karena
itu, upaya yang dilakukan oleh para sarjana seperti Carrie Wickam, Quintan
Wiktorowicz, dan Diane Singerman membawa aktivisme Islam ke dalam ranah
teori aksi kolektif patut dihargai. Namun demikian, penelitian-penelitian itu
kebanyakan dilakukan di Timur Tengah dan Afrika Utara, terutama Mesir,
Aljazair, Palestina, Iran, Turki, dan Yaman.
Keterlibatan seorang Muslim dan atau entrepreneur gerakan Islam dalam
OGI sangat terkait dengan Islamisme. Islamisme adalah sebentuk keyakinan
yang memposisikan Islam sebagai sistem kehidupan yang total dan integral
dalam seluruh aras kehidupan, termasuk politik, sebagai subordinasi dari
agama (Roy, 1993; Kramer, 1997; Monshipuri, 1998). Dalam konteks ini,
meminjam istilah Gellner (1981: 1), “specificity” Islam dipahami sebagai
blueprint atau cetak-biru dari sebuah tertib sosial. Karena itu, konsep al-diin wa
al-daulah dan dakwah adalah password kaum Islamis untuk masuk ke dalam
pelbagai aktivisme politik. Gerakan Islam muncul dalam rangka mewujudkan
cita-cita Islam, terutama menerapkan syariat Islam dalam masyarakat dan
negara. Dengan kata lain, gerakan Islam adalah suatu gerakan yang berusaha
menghidupkan kembali praktek sosial-politik Nabi Muhammad SAW dalam
konteks masyarakat sekarang yang telah berubah. Atau, kalau menggunakan
istilah Sivan (1995), gerakan Islam adalah suatu upaya mewujudkan “teologi
abad pertengahan dalam masyarakat modern.”
Sebelum beranjak lebih jauh, saya akan membeberkan hasil penelitian
Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lazuardi Birru, Maret 2010. Studi ini
bertujuan untuk melihat penerimaan publik terhadap ideologi Islamisme
pada dua tingkat: tindakan dan sikap. Unit analisis riset ini adalah individu.
Tindakan Islamis diamati melalui sejumlah indikator: pernah atau bila ada
kesempatan bersedia melakukan atau merencanakan razia orang atau
kelompok orang yang dipandang berperilaku bertentangan dengan syariat
Islam, demonstrasi menentang kelompok yang dinilai menodai ajaran Islam,
melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain, dan atau
menyumbang dana bagi perjuangan menegakan syariat Islam. Sebagaimana
diperkirakan, hasil studi menunjukkan bahwa partisipasi warga muslim dalam
tindakan Islamis atau kegiatan-kegiatan yang mencerminkan agenda-agenda
Makalah Diskusi | Januari 2011
3
Islamis seperti ikut merencanakan atau melakukan tindakan sweeping dan
policing atas tempat-tempat atau kegiatan-kegiatan publik yang dipersepsikan
tidak sesuai dengan ajaran Islam atau yang dipersepsikan sebagai kegiatan
dan tempat maksiat, relatif kecil. Bahkan, tindakan Islamis dalam bentuk
rapat/pertemuan umum atau demonstrasi terhadap kelompok yang dianggap
menodai Islam, demonstrasi untuk menunjukkan solidaritas terhadap
penderitaan bangsa Palestina, juga relatif jarang dilakukan oleh warga muslim
Indonesia.
Yang menyatakan pernah melakukan satu atau beberapa dari tindakan
Islamis tersebut secara kuantitatif, sedikit jumlahnya. Kecuali menyumbang
dana, tindakan-tindakan lain dilakukan 1 hingga 3%. Tapi untuk sebuah
tindakan radikal 1% dari penduduk Muslim Indonesia yang sekitar 238 juta
adalah besar. Memang secara kuantitatif kecil, tapi dampak kualitatifnya
sangat besar karena partisipan OGI adalah minoritas vokal (Grafik I). Partisipasi
dalam gerakan kolektif semacam itu, baik yang bersifat Islamis maupun
tidak, di negara Muslim maupun sekuler, memang sangat jarang. Hal ini
bukan berarti aktivitas yang jarang dilakukan umat Islam tersebut diabaikan
saja. Demonstrasi, mogok, boikot, dan kegiatan partisipasi non-konvensional
semacam itu biasanya memang tidak membutuhkan banyak partisipan tapi
kadangkala punya pengaruh penting terhadap kebijakan-kebijakan publik.
Katakanlah jumlah penduduk dewasa kita saat ini kurang lebih 170 juta.
Jika satu persen saja dari mereka ikut serta dalam aksi kolektif seperti itu
sebenarnya sudah cukup banyak, yakni sekitar 1,7 juta orang. Kalau mereka,
pada saat bersamaan, turun ke jalan, gemparlah ibukota. Sederhananya, tak
perlu banyak orang untuk terlibat dalam tindakan Islamis semacam bom Bali.
Cukup beberapa orang saja, tapi pengaruhnya sangat besar. It is not all about
numbers!
Mengapa tingkat partisipasi dalam tindakan Islamis relatif sedikit? Di
samping karena variasi dalam memahami Islam, jumlah yang secara statistik
kecil ini sangat terkait dengan ada atau tidaknya insentif dari partisipasi
tersebut. Teori pilihan rasional paling mungkin bisa menjelaskan kenapa orang
berpartisipasi dalam aksi kolektif. Gerakan sosial, termasuk gerakan Islam,
di manapun dan kapan pun bertujuan untuk mencapai suatu public goods,
dan setiap Muslim bisa memperoleh public goods tanpa harus berpartisipasi.
Setiap orang pada dasarnya rasional, cenderung berusaha mendapatkan
sesuatu dengan “modal” seminimal mungkin. Kalau mereka bisa mendapatkan
public goods tanpa harus berpartisipasi, kenapa harus berpartisipasi? Dalam
perspektif ilmu sosial, gejala semacam itu rentan melahirkan para pembonceng
gratisan. Dilema tindakan kolektif ini yang menyebabkan hanya sedikit orang
yang ikut terlibat dalam gerakan sosial (cf. Olson, 1967; Popkin, 1976; Lichbach,
1995).
Oleh karena itu, jika kita hanya berpatokan pada jawaban responden pada
actual Islamist behavior seperti di atas, tentu kurang memuaskan. Untuk itu,
pertanyaan soal potential behavior atau kesediaan untuk melakukan tindakantindakan Islamis jika mereka memiliki kesempatan penting diajukan. Hasil
studi LSI dan Lazuardi Birru menunjukkan proporsi Muslim Indonesia yang
bersedia melakukan tindakan radikal bila kesempatan tersedia, jauh lebih
besar lagi. Terdapat 26,3% responden Muslim yang bersedia melakukan
sweeping atau policing terhadap tempat-tempat yang dinilai maksiat, 27%
Makalah Diskusi | Januari 2011
4
yang bersedia demonstrasi terhadap kelompok yang dianggap menodai atau
mengancam Islam, 25,8% yang bersedia meyakinkan orang lain agar mengikuti
pandangan radikal mereka, 37,1% yang bersedia menyumbang dalam bentuk
materi kepada organisasi yang memperjuangkan syariat Islam, 5,3% bersedia
melakukan penyerangan terhadap tempat ibadat agama lain, dan 14% yang
bersedia demo mengutuk pendudukan Israel atas tanah Palestina. Bila mereka
dimobilisasi, atau berada dalam jaringan atau radar gerakan radikal, ada
geneologi keluarga yang pernah terlibat gerakan radikal, ada persuasi, ada
dukungan atau setidaknya sikap permisif masyarakat terhadap mereka, tidak
adanya resistensi lingkungan, ada pemahaman keagamaan yang mendukung,
ada justifikasi keagamaan yang mendukung, ada dana, ada skill atau
keterampilan, maka potensial tindakan Islamis akan terjadi secara lebih sering.
Lebih daripada itu, pada tingkat sikap, tindakan-tindakan Islamis yang
kadar destruktifnya lebih besar juga cukup mendapatkan dukungan luas oleh
masyarakat, walaupun tidak, atau belum, membentuk kekuatan mayoritas.
Misalnya, satu dari lima orang Muslim di Indonesia memandang bahwa
penyerangan terhadap World Trade Center (WTC) di New York sekitar 10 tahun
lalu dinilai sebagai tindakan jihad yang dalam keyakinan umat Islam punya
makna positif. Selain itu, satu dari sepuluh orang Muslim Indonesia percaya
bahwa tindakan yang dilakukan Amrozi dkk di Bali juga dinilai sebagai jihad
dan mendukungnya, dan hukuman mati yang telah diberikan terhadap mereka
dinilai tidak adil. Meski sebagian besar umat Muslim Indonesia memahami
bahwa menahan hawa nafsu adalah bentuk dari jihad, masih cukup banyak di
antara mereka yang memahami bahwa jihad adalah perang atau menggunakan
senjata melawan orang atau kelompok yang dinilai mengancam Islam.
Pada tingkat dukungan umat Islam di Indonesia terhadap agenda-agenda
Islamis, baik yang masuk dalam wilayah jinayat (pidana) seperti hukum potong
tangan, rajam bagi pezina, orang murtad dibunuh, maupun muamalat seperti
bunga bank dilarang maupun dilarang bepergian tanpa didampingi muhrim,
juga cukup besar. Masyarakat Islam di Indonesia terbelah. Dukungan terhadap
agenda-agenda Islamis ini menjadi sumber parokialisme dalam Islam.

Ideologi dan Psikologi Gerakan Islam
Adanya diskrepansi pada tingkat tindakan Islamis dan dukungan pada level
sikap, seperti dikemukakan di atas, dipahami ahli gerakan sosial sebagai tarikmenarik antara mobilisasi aksi dan mobilisasi konsensus di mana dukungan atau
berkurangnya dukungan untuk berpartisipasi dipengaruhi oleh aspek-aspek
perilaku (behavioural) dan sikap (attitudinal). Mobilisasi konsensus adalah
“proses di mana organisasi gerakan sosial berusaha memperoleh dukungan
bagi pandangan-pandangannya.” Sementara itu, mobilisasi aksi berhubungan
dengan persoalan psikologi sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan
perilaku (Klandermans, 1997).
Sarjana gerakan sosial memperkenalkan konsep resonansi pembingkaian
(frame resonance) untuk mentransformasikan mobilisasi potensial ke dalam
mobilisasi aktual. Benford dan Snow (1998) menyebut ada tiga elemen utama
ideologi dan teori framing gerakan sosial. Pertama adalah framing diagnostik
yang berupa identifikasi masalah dan penanggungjawab serta target kesalahan
atau sebab musababnya. Kedua adalah framing prognostik yang terdiri dari
artikulasi solusi yang ditawarkan bagi persoalan-persoalan tersebut dan
Makalah Diskusi | Januari 2011
5
identifikasi strategi, taktik dan target. Ketiga adalah pembingkaian motivasi
yaitu “elaborasi panggilan untuk bergerak atau penjelasan mengenai aksi yang
melampaui diagnosis dan prognosis.”
Pada tingkat diagnosis, hampir semua gerakan Islam memiliki framing
yang sama. Bahwa umat Islam di seluruh dunia mengalami kemunduran
karena meninggalkan ideologi Islam yang kaffah dan larut dalam tarikan
sekularisme dan liberalisme Barat. Pada tingkat prognosis, gerakan Islam
juga memiliki retorika yang mirip, yakni “Islam sebagai solusi” (al-Islam huwa
al-hall). Meskipun framing semacam ini dilakukan oleh gerakan Islam di
mana-mana, terdapat perbedaan penting dalam taktik dan strategi. Jamaah
Tabligh, misalnya, fokus kepada ‘dakwah murni,’ berkutat dalam transformasi
kepercayaan individu terhadap nilai-nilai Islam, tetapi mengabaikan
keterlibatan di dalam politik. Sebaliknya, Hizbut Tahrir sangat jauh masuk ke
dalam politik dengan mengkampanyekan Islam sebagai satu-satunya solusi
bagi sistem bikinan manusia yaitu demokrasi, sekularisme, kapitalisme serta
menolak masuk dalam mekanisme demokrasi. Sementara PKS masuk dalam
prosedur politik formal.
Ideologi dan framing Islamis dengan pelbagai variasi “resep” dan solusi
bertemu dengan penjelasan psikologis partisipan Muslim yang mendorongnya
untuk ikut serta dalam gerakan Islam. Dalam perspektif psikologi sosial,
framing meliputi tiga hal (Klandermans, 1997): perasaan tidak adil atas
perlakuan terhadap suatu kelompok partisipan, identitas kelompok yang
mendefinisikan “kita” sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial
lain, rezim, dan agensi. Pada kelanjutannya, perasaan tidak adil tersebut
menyebabkan munculnya deprivasi relatif (Gurr, 1968), yakni perasaan
tertinggal, terbelakang, lemah, antara kelompoknya dibanding kelompok
lain, atau realitas sui generis yang dialami sekarang dibanding keadaan yang
dipersepsikan lebih baik sebelumnya. Sebut saja perasaan ketertinggalan Islam
dibanding kelompok sosial-keagamaan lain. Perasaan ini dirasakan bersama
oleh suatu kolektivitas umat karena Islam sebagai identitas. Kaum Islamis
di banyak tempat, termasuk di Indonesia, merasa tersubordinasi oleh Barat.
“Trauma Islam modern,” ungkap Daniel Pipes “muncul dari disparitas antara
kesuksesan abad pertengahan dan kegagalan masa kini,” yang menyebabkan
“perasaan lemah dan tidak berguna yang mengakar dalam dunia Islam dewasa
ini. Coba simak pernyataan Irwan Prayitno, salah seorang ideolog PKS, di
bawah:
Kondisi masyarakat Islam sekarang ini … sangat menyedihkan dan berada
di bawah kekuasaan musuh-musuh Islam. Sebagai umat terbaik dan besar
kaum Muslim tidak lagi bisa memperlihatkan kebesaran mereka di tengahtengah umat manusia; bahkan semakin terpuruk karena ke-jahiliyahan
(kebodohan)…Kaum Muslim sekarang ini mengalami kemunduran.1

Perasaan nelangsa secara kolektif di atas biasanya dialamatkan kepada
skenario atau plot jahat kaum Zionis dan Salibis. Konspirasi untuk melemahkan
umat Islam tak lagi beroperasi secara fisik melalui modus operandi penjajahan
teritorial, tapi melalui penjajahan pikiran melalui apa yang mereka sebut
”perang pemikiran” (ghazwul fikr). Umat Islam yang terseret arus pemikiran dan
1

	Irwan Prayitno, Ahwaal Al-Muslimun Al-Yaum (Kondisi Umat Islam Saat Ini), diterbitkan kembali
dalam Prayitno, Kepribadian Dai, 2005, h. 155.
Makalah Diskusi | Januari 2011
6
perilaku non-Islami dianggap terperangkap dalam jahiliyyah modern. Gejala ini
juga beririsan dengan konsep deprivasi relatif yang berkaitan dengan persepsi
tentang adanya nilai-nilai prinsipil dalam suatu masyarakat yang dilanggar atau
tidak ditegakkan oleh pihak berwenang terkait (Klandermans, 1997; Kriesi,
1993). Dalam buku panduan yang ditujukan kepada para da’i dan trainer, Irwan
Prayitno menjelaskan doktrin jahiliyah:
Kaum kafir… selalu mencari cara untuk menghancurkan umat Islam…
Strategi yang mereka pilih untuk menghancurkan Islam adalah al-ghazw
al-fikr. Al-ghazw al-fikr adalah serangan ideologi, kultural, mental dan
konseptual yang dilancarkan terus-menerus dalam pola-pola yang
sangat sistematik, terorganisir dan terencana. Hasilnya adalah perubahan
personalitas, gaya hidup dan perilaku masyarakat Muslim…Upaya ini…
dimulai dengan memotong hubungan negara-negara Islam di bawah
kekhalifahan Islam, yang mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok
dan ideologi-ideologi nasionalis. Pemisahan agama dan negara, orientalisme,
Kristenisasi dan gerakan emansipasi perempuan juga adalah kegiatankegiatan al-ghazw al-fikr…2

Meski demikian, banyak studi membuktikan bahwa deprivasi relatif saja
tidak cukup membuat seseorang ikut terlibat dalam gerakan sosial, termasuk
dalam gerakan Islam. Agensi menjadi krusial untuk memfasilitasi perasaan
deprivatif itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik. Efikasi adalah perasaan
individu bahwa dengan terlibat dalam gerakan bersama-sama dengan anggota
yang lain dapat merubah keadaan menjadi lebih baik; juga persepsi bahwa
orang lain akan ikut serta, dan persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan
sukses (Klandermans, 1997). Dengan kata lain, efikasi adalah suatu perasaan
seseorang bahwa dirinya penting, mampu, dan berarti untuk melakukan
sesuatu yang diharapkan. Ada optimisme di situ, yang merupakan energi
psikologis pendorong suatu tindakan. Mujani (2002) menggunakan konsep
efikasi politik tersebut dalam konteks aktivitas Islamis. Dalam tradisi Islam, ada
nilai-nilai yang bias mendorong seorang muslim menjadi aktivis radikal.
Pertama, pemahaman jihad sebagai ibadah puncak dengan cara
mempertahankan agama Allah dan dipercaya sebagai suatu kewajiban setiap
muslim, dan seorang muslim yang meninggal dalam berjihad akan masuk
surga (syahid). Adalah benar bahwa ‘jihad’ memiliki makna atau pengertian
yang diperebutkan (contested) di antara kalangan ulama. Menahan hawa nafsu
juga disebut sebagai jihad, bahkan dipercaya sebagai jihad besar. Sebaliknya,
ada juga yang memahaminya secara agak khusus, yakni perang fisik melawan
kekuatan yang dipandang mengancam eksistensi Islam, termasuk dengan
memanggul senjata. Definisi spesifik dari jihad ini dan ganjaran yang akan
diperolehnya potensial menjadi energi psikologis yang dapat mendorong
seorang muslim berani mengambil risiko mati sekalipun. Temuan LSI sendiri
menunjukkan: meskipun terdapat 54,4% responden muslim yang setuju
pemahaman jihad sebagai mengendalikan hawa nafsu, dan 24,3% tidak setuju
dengan pandangan tersebut, tapi cukup banyak di antara Muslim Indonesia
yang memahami bahwa jihad adalah perang atau menggunakan senjata
melawan orang atau kelompok yang dinilai mengancam Islam (49,9%). Ketika
2

	Irwan Prayitno, “Al-Ghazw Al-Fikri,” diterbitkan kembali dalam Prayitno, Kepribadian Dai, 2005,
h. 3-4.
Makalah Diskusi | Januari 2011
7
ditanyakan pendapat bahwa selama demi tegaknya syariat Islam, kekerasan
bisa dibenarkan sebanyak 32,8% responden setuju, 54,5% tidak setuju.
Responden Muslim bahkan terbelah opininya: separuhnya setuju jihad harus
dilakukan dengan mengorbankan nyawa satu-satunya yang mereka punya.
Kedua, nilai yang tumbuh dari keyakinan bahwa pada akhirnya umat Islam
akan menang dalam perjuangan menentang lawan-lawannya (ya’lu wala yu’la
alaih). Perasaan optimis akan menang ini menjadi semacam energi psikologis
lain yang mendorong seorang muslim terlibat dalam aktivitas Islamis. Agak
sulit membayangkan bagaimana seorang Muslim yang pesimis dengan hasil
yang akan dicapai untuk melakukan tindakan berisiko Mujani (2002).
Di samping efikasi radikal, energi psikologis yang menjadi kebalikan dari
efikasi dan diperkirakan mendorong seorang Muslim terlibat dalam aktivitas
radikal adalah alienasi Islamis. Alienasi adalah suatu perasaan terasing yang
dialami seorang individu dari lingkungannya. Apa yang terjadi di sekitar dirinya
bertentangan dengan apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang seharusnya
terjadi. Mujani (2002) mengembangkan konsep ini dalam konteks aktivis
radikal. Di dalam Islam sendiri ada nilai-nilai atau ajaran dari suatu keyakinan
yang berasal dari Al-Qur’an atau Hadist bahwa umat Islam adalah umat terbaik.
Tapi realitas berbicara lain. Akibatnya, perasaan tertinggal dibanding umat
lain itu memunculkan perasaan rendah diri. Kontradiksi antara keyakinan
bahwa umat Islam merupakan umat terbaik di satu pihak, dan di pihak lain
pengalaman sehari-hari yang sebaliknya tentang umat Islam, potensial
menumbuhkan perasaan untuk menyalahkan kekuatan di luar umat Islam.
Memang agak tipis bedanya dengan deprivasi relatif, tapi alienasi Islamis ini
lebih didorong faktor psikologis karena ketertinggalan ekonomi-politik yang
menjadi komponen penting deprivasi relatif. Keadaan psikologis ini potensial
mendorong seorang muslim menjadi aktivis radikal, sebagai wujud dari protes
atas ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuatan di luar umat Islam sendiri.
Dalam perspektif alienasi Islamis ini, studi LSI dan Lazuardi Birru (Maret,
2010) menemukan sebanyak 24,1% responden Muslim Indonesia merasa umat
Islam sekarang diperlakukan tidak adil oleh pemeluk agama lain dan banyak
pula yang menganggap suara non-Muslim yang minoritas lebih berpengaruh
dibanding mayoritas Muslim. Bahkan hampir separuh dari mereka meyakini
banyak pihak yang memberikan pengaruh yang negatif terhadap umat Islam
dan sepertiga dari mereka percaya kampanye internasional melawan terorisme
hanyalah kedok untuk menyudutkan Islam.
Studi kuantitatif dalam skala nasional yang pernah dilakukakan LSIPPIM-Freedom Institute (2005) juga menemukan besarnya proporsi umat
Islam Indonesia yang yakin bahwa pada akhirnya perjuangan umat Islam
akan berhasil melawan musuh-musuhnya (79,2%), dan lebih besar lagi yang
menginginkan mati ketika sedang membela agama Allah (83,7%). Sementara
itu yang teralienasi, yakni mereka yang merasa umat Islam diperlakukan secara
tidak adil oleh umat lain cukup besar juga (45%) meskipun bukan proporsi
mayoritas. Temuan riset menunjukkan di antara dua faktor psikologis, efikasi
maupun alienasi, yang punya hubungan positif secara signifikan terhadap
aktivitas Islamis ternyata adalah alienasi Islamis. Yang merasa umat Islam
diperlakukan tidak adil, dibanding yang merasa diperlakukan adil, lebih banyak
yang terlibat dalam aktivitas Islamis seperti aksi sweeping, demonstrasi
solidaritas bagi umat Islam, dan boikot terhadap barang dan jasa yang
dipandang haram. Sementara itu, efikasi Islamis berhubungan secara berarti
Makalah Diskusi | Januari 2011
8
dengan dukungan terhadap kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi
gerakan Islamis, bukan dengan aktivitas atau tindakan atau perilaku Islamis.
Terutama efikasi tentang keinginan untuk mati syahid. Mereka yang ingin sahid,
dibanding yang tidak ingin, lebih banyak yang mendukung organisasi gerakan
Islamis tersebut dibanding yang tidak mendukung (Mujani, 2005).

Faktor Struktural: Organisasi Islamis dan
Struktur Kesempatan Politik
Di atas segalanya, ideologi Islamis, deprivasi relatif, alienasi dan efikasi
Islamis dan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi partisipasi dalam
gerakan Islam, adalah sumber-sumber yang dapat dimobilisasi oleh organisasi
sehingga menjadi kekuatan aktual bagi lahirnya suatu gerakan Islam.
Islamisme pada awalnya merupakan fenomena “orang bercakap-cakap di
pojok ruangan.” Mereka mengalami deprivasi relatif, dan mengidap gejala lari
dari kebebasan (escape from freedom), untuk meminjam istilah Erich Fromm.
Untuk itulah, mereka membentuk suatu komune kecil yang dinamakan usrah.
Ada rasa damai dan kesejukan hati ketika hidup dalam usrah. Sebaliknya,
ada perasaan terancam bila bergaul dengan komunitas di luar mereka. Bagi
mereka, dunia luar adalah sarat dosa, berlumur durjana. Dengan “bercakapcakap” di sudut ruangan, kelompok ini merasa terjaga dan terpelihara
“keimanan” mereka serta merasa sebagai senasib dan sepenanggungan
sebagai pihak tertindas dan teraniaya. Barangkali inilah yang disebut Martin
E. Marty dan R. Scott Appleby, dalam Fundamentalism Observed (1994), sebagai
bentuk atau mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis
yang mengancam.
Tak ubahnya seperti enclave, usrah itu —meminjam Sivan dalam
Fundamentalism Comprehended (1995)— dipalangi oleh group dan grid. Group
berguna untuk menegaskan komitmen terhadap kelompok sedang grid berguna
untuk menyensor interaksi sosial anggota dengan orang di luar komunitas.
Sivan menyebutnya sebagai enclave culture. Semakin sedikit interaksi
sosialnya (grid), dan makin besar komitmennya terhadap komunitas (group),
maka semakin baik komunitas itu berkembang. Untuk merawat sterilisasi
kelompok, diterapkan pola pengkaderan yang berjenjang (hierarki) dengan
memakai stelsel aktif dan sistem sel yang kuat dengan kohesivitas yang ketat
antaranggota. Sistem pembelahan sel yang mirip multilevel marketing dipakai
untuk menggelembungkan anggota kelompok sembari tetap menjaga kesucian
kelompok.
Pada perkembangannya kemudian, OGI menghadapi dilema. Jika mereka
tetap persisten menjaga “kemurnian” gerakan, maka ide-ide yang mereka
perjuangkan takkan berkembang signifikan. Intinya, dibutuhkan organisasi
Islamis yang lebih terbuka dan reseptif terhadap kalangan luar. Organisasi
Islamis dalam pelbagai bentuk dan variasinya merupakan faktor krusial bagi
tumbuh tidaknya gerakan. Dari sisi partisipan, peran organisasi dan mobilisasi
ini penting untuk mewadahi seorang Muslim dapat berpartisipasi. Dalam
pendekatan gerakan sosial secara integral, betapapun terdapat struktur
kesempatan politik yang memungkinkan lahirnya gerakan Islam, tetap tidak
bisa menciptakan gerakan. Kondisi politik kondusif tidak akan berguna jika
gerakan sosial, termasuk gerakan Islam, tidak memiliki organisasi dan jaringan
yang memadai untuk mengaktualkan potensi politiknya. Dengan demikian,
Makalah Diskusi | Januari 2011
9
studi tentang “alat” atau sumberdaya sangat penting dalam teori gerakan
sosial untuk memahami infrastruktur pendukung yang dibutuhkan bagi aksi
kolektif. Studi tentang alat dikenal sebagai mobilisasi sumber daya (resource
mobilisation) atau pendekatan struktur mobilisasi sumberdaya.
Sumber daya bagi gerakan Islam bukan saja nilai-nilai atau ideologi tertentu
tapi juga organisasi dan jaringan yang memungkinkan bagi mobilisasi dan
rekrutmen aktivis gerakan. Dalam definisinya, Tilly (1978: 3) menyatakan
bahwa salah satu sumber daya yang paling penting adalah jaringan informal
dan formal yang menghubungkan individu-individu dan organisasi-organisasi
gerakan. Istilah “jaringan” merujuk kepada struktur sosial, yaitu serangkaian
hubungan sosial yang mendorong atau menghambat perilaku, sikap, dan
kemungkinan orang untuk melakukan aksi (Klandermans, 1997). Klandermans
juga menyatakan pentingnya kepemimpinan untuk menetapkan sumber daya
bagi para peserta mobilisasi. Maguire (1995) membagi sumber daya ke dalam
dua kategori, yaitu yang tangible (uang, ruang, perlengkapan, dan seterusnya)
dan intangible (kapasitas kepemimpinan, manajerial dan pengalaman
organisasi, justifikasi ideologis, taktik dan semacamnya).
Kekuatan dan efektivitas organisasi dan jaringan bagi gerakan Islam
tergantung bukan saja pada kemampuan internal organisasi tersebut dalam
memobilisasi sumber daya dan dalam memediasi anggota-anggota masyarakat
untuk mencapai tujuan gerakan, tapi juga pada hambatan dan kesempatan yang
tersedia dalam konteks politik makro, yakni variasi dalam struktur kesempatan
politik (SKP). Dalam leksikon ilmu sosiologi politik, SKP adalah pola hubungan
antara elite politik, antara partai politik, antara kelompok kepentingan, dan
semua ini dengan masyarakat sebagai konstituen (cf. McAdam, 1996; Tarrow,
1994; Jenkins and Klandermans, 1995; Kriesi, et. al., 1992; Brockett, 1991;
Kitchel, 1988; Tilly, 1978).
McAdam (1996) menyarikan empat dimensi SKP, yakni (1) keterbukaan
dan ketertutupan relatif sistem politik ; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring
keterikatan elit; (3) adanya atau tiadanya aliansi-aliansi elit; (4) kapasitas atau
kecenderungan negara untuk melakukan represi. Secara umum, hambatan
atau kesempatan politik bagi gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua
kategori: pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup
menciptakan hambatan bagi gerakan sosial, termasuk gerakan Islam,
sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi munculnya gerakan akibat
dari politik yang lebih kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga
antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka iklim politik maka semakin
membuka kesempatan bagi munculnya gerakan sosial, tak terkecuali gerakan
Islam; sebaliknya, semakin tertutup, maka semakin tertutup kesempatan bagi
munculnya gerakan. Namun demikian, hubungan antara struktur kesempatan
politik dan kemunculan gerakan sosial tidak bersifat linear, melainkan
kurvalinear. Eisinger (1971) menyatakan gerakan sosial sangat mungkin
muncul dalam sistem politik yang dicirikan oleh percampuran antara faktorfaktor keterbukaan dan ketertutupan. Karena itu tidaklah mudah memberikan
batasan derajat keterbukaan politik yang memunculkan gerakan sosial ini.

Makalah Diskusi | Januari 2011
 

10

Tingkat
mobilisasi

Sistem Tertutup		
	

Model Mobilisasi Eisinger

Sistem Terbuka

Dalam konteks Indonesia di bawah rezim Orde Baru, represi terhadap
gerakan Islam menciptakan disinsentif bagi aktivis Islam untuk melakukan
mobilisasi secara terbuka. Aktivisme Islam non-disruptif, dengan
menggunakan masjid kampus sebagai basis menjadi pilihan. Dalam terma
mobilisasi sumber daya, yang terutama menggunakan teori pilihan rasional,
kekuatan koersif dan represi meningkatkan biaya dan resiko partisipasi dan
dengan demikian menghalangi aksi kolektif. Wiktorowicz (2001) menyebut hal
ini, dalam kasus Ikhwanul Muslimin di Yordania, sebagai “web of disincentives”
(jaringan disinsentif). Untuk menghindari kontrol dan represi rezim, dakwah
kampus dipilih untuk menjalani apa yang Wiktorowicz sebut sebagai “jaringan
pemaknaan yang sama” (the network shared meaning) dengan struktur
kepemimpinan rahasia dan organisasi non formal untuk mencapai citacitanya. Dalam bahasa kaum Tarbiyah, dakwah kampus di era Soeharto adalah
pengejawantahan konsep Sirriyat al-Tandzim wa Alamiyyat al-Dakwah (Struktur
Organisasi Rahasia dan Dakwah Terbuka). Jatuhnya Soeharto membuka kran
kebebasan bagi entrepeneur Islam untuk mengembangkan organisasi dan
mobilisasi secara terbuka.
Dari empat organisasi Islamis di Indonesia, studi LSI menunjukkan Jamaah
Islamiyah dan FPI relatif lebih dikenal publik dibandingkan MMI dan Hizbut
Tahrir (lihat Grafik 2). Bahkan FPI mengalami peningkatan awareness yang
cukup signifikan dari 37% di 2005 menjadi 49% pada 2010. Bahkan, dari mereka
yang mengenal atau tahu FPI, 38% di antaranya mendukung agenda Islamis
organisasi yang dipimpin Rizieq Shihab. MMI dan Hizbut Tahrir yang tingkat
kedikenalannya di kalangan publik tidak sebesar FPI, tapi dukungan pada
agenda perjuangan yang diusung MMI dan Hizbut Tahrir lebih tinggi dibanding
Jamaah Islamiyah. Hal ini barangkali terkait dengan jalur kekerasan yang
digunakan Jamaah Islamiyah yang membuat penerimaan publik terhadap
mereka relatif lebih rendah dibanding organisasi Islamis lainnya (lihat Grafik 3).

Kultur Politik Islamis
Lantas bagaimana wajah Islam Indonesia selama kurun 13 tahun terakhir
kita menikmati rezim demokrasi? Dalam perspektif kultur politik demokrasi
Makalah Diskusi | Januari 2011
11
(civic culture), stabilitas demokrasi ditentukan oleh dua unsur yang sekilas
tampak kontradiktif. Pertama, unsur ‘aktif’ yang merekomendasikan adanya
partisipasi politik warga dan keterlibatan politis (political engagement). Kedua,
unsur ‘pasif’ yang meniscayakan adanya budaya politik yang toleran secara
politik dan sikap percaya antarwarga (interpersonal trust). Kombinasi apik dua
unsur aktivisme dan pasifisme demokrasi ini, menurut Almond dan Verba
(1963), akan membentuk kultur politik yang moderat yang akan memberikan
garansi bagi terkonsolidasinya sebuah rezim demokrasi.

Toleransi Politik	
Konsep toleransi politik telah dikembangkan melalui studi-studi sistematik
seperti yang dilakukan Sullivan dkk (1982). Dalam studi ini toleransi politik
diukur dari sikap individu apakah ada kelompok sosial atau politik yang paling
tidak disukai. Berdasarkan survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI),
Maret 2010, ditemukan bahwa hanya 38% responden yang menyatakan tidak
ada kelompok sosial atau politik yang paling tidak disukai. 61% responden
punya kelompok sosial-politik yang paling dibenci. Di antara yang paling tidak
disukai pilihan paling banyak jatuh pada Komunis (32%), kemudian Yahudi
(16%), dan kemudian Kristen (7%). Dibanding survei dengan wording yang sama
lima tahun yang lalu, terjadi penurunan sentimen negatif terhadap komunis,
tetapi proporsi mereka yang membenci Yahudi dan Kristen naik dua kali lipat.
Masih tingginya sikap tidak toleran publik terhadap komunisme mungkin
dipicu oleh “pengalaman pahit” yang dialami ketika terjadi konflik antara
kekuatan Komunis dan lawan-lawannya. Hal ini sesuai data yang menunjukkan
kebencian terhadap komunis tersebut lebih kuat magnitude-nya di kategori
usia 40-an tahun ke atas. Rezim Soeharto berjasa melanggengkan “trauma”
itu melalui propaganda sistematis lewat film, cerita-cerita, dan yang lebih
penting lewat buku-buku, pelajaran di sekolah yang mencitrakan komunisme
sebagai kekuatan politik buruk dan berbahaya. Adapun tingkat intoleransi
Muslim terhadap Kristen mungkin pengaruh pemahaman tertentu atas ajaran
agama. Dalam khutbah-khutbah di mesjid misalnya tidak jarang sikap tidak
toleran terhadap pemeluk Kristen ditunjukan dengan mengutip ayat al-Qur’an
(Al-Baqarah 120): “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”
Terhadap kelompok yang tidak disukai tersebut, riset kuantitatif LSI Maret
2010 menemukan 93,8% responden tidak setuju anggota kelompok sosialpolitik yang dibenci tadi berpidato di hadapan masyarakat di daerah ini, 95,6%
tidak setuju kelompok tadi mengadakan pawai di daerahnya, 82,8% tidak setuju
kelompok tadi menjadi pejabat pemerintah di negeri ini, 80,2% setuju anggota
kelompok tadi diawasi secara khusus oleh polisi dan 72,9% setuju anggota
kelompok tadi dilarang mengajar di sekolah umum. Tampak jelas proximity
mempengaruhi jawaban. Semakin dekat dengan tempat tinggal warga,
intoleransi mereka terhadap kelompok sosial-politik yang tidak mereka sukai,
makin tinggi.
Gambaran spesifik mengenai intoleransi ini juga terlihat dalam hubungannya
dengan pemeluk non-Muslim. Umat Islam yang tidak keberatan non-Muslim
menjadi guru di sekolah negeri hanya 55,5%, kalau non-Muslim mengadakan
acara keagamaan/kebaktian di daerah sekitar tempat tinggal responden yang
Makalah Diskusi | Januari 2011
12
tidak keberatan hanya 36,2%, dan kalau membangun tempat peribadatan
di sekitar sini yang tidak keberatan hanya 25,8%. Di samping itu, yang tidak
keberatan kalau orang non-Muslim menjadi pejabat pemerintahan (47,8%) dan
hanya separuh responden muslim yang tidak keberatan jika non-Muslim ikut
dan aktif sebagai kelompok politik.
	

Trust
Secara teoretis dan empiris, kultur politik yang berpengaruh secara positif
terhadap demokrasi adalah interpersonal trust atau saling percaya sesama
warga (Inglehart, 1988). Dalam riset terakhir LSI, kami tidak mengecek
perkembangan trust masyarakat Indonesia. Namun studi-studi empiris
sebelumnya, misalnya yang dilakukan PPIM 2002, menunjukkan bahwa tingkat
trust kita tidak begitu bagus. Hanya 29% yang menyatakan selalu atau sering
percaya pada orang lain. Pada umumnya masyarakat menyatakan bahwa
setiap orang harus hati-hati terhadap orang lain, jangan mudah percaya
(86%). Proporsi ini sangat besar, dan menunjukan masih tipisnya kultur politik
demokratis kalau dilihat dari sisi saling percaya sesama warga.
Saling percaya sesama warga ini merupakan pondasi kultural bagi sikap
percaya pada lembaga-lembaga publik. Dipercaya bahwa orang yang percaya
pada orang lain cenderung pula percaya pada lembaga-lembaga publik, dan
sebaliknya orang yang tidak percaya pada orang lain cenderung juga tidak
percaya pada lembaga-lembaga publik (Inglehart, 2000), dan percaya pada
lembaga publik merupakan aspek kultural penting untuk mendukung stabilnya
demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari suatu masyarakat (Almond and
Verba, 1963). Dalam hal ini, secara umum masyarakat Indonesia juga kurang
percaya pada lembaga-lembaga publik. Lembaga publik di mana proporsi
warga merasa percaya padanya paling baik ditemukan pada kepercayaan
mereka pada pemimpin keagamaan dan kemudian organisasi kemasyarakatan
keagamaan atau ormas keagamaan. Tingkat kepercayaan terhadap elit agama
maupun ormas agama bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan partai
politik, DPR, pengadilan, polisi dan jaksa.
Adalah penting bagi lembaga-lembaga publik demokratis seperti partai
politik, DPR, pengadilan, polisi dan jaksa untuk meningkatkan kinerja mereka
agar bisa dipercaya masyarakat. Tapi tingkat kepercayaan publik terhadap
tokoh agama dan lembaga keagamaan yang tinggi menunjukan bahwa
masyarakat Indonesia pada umumnya masih terikat dengan keyakinan terhadap
lembaga-lembaga tradisional (agama) dan terhadap lembaga yang selama ini
mencerminkan sikap konservatif dibanding percaya terhadap institusi penegak
hukum seperti polisi, jaksa dan pengadilan. Masyarakat juga cenderung kurang
percaya pada lembaga-lembaga modern seperti partai dan DPR. Padahal trust
terhadap lembaga-lembaga publik ini merupakan indikator tersendiri dari
konsolidasi demokrasi (Norris, 1999).

Pasifisme Demokrasi
Demikianlah potret Islam pasca-Orde Baru. Kultur politik kita terlalu
didominasi wajah aktif demokrasi, tapi miskin toleransi dan saling percaya.
Indonesia pasca Soeharto ditandai oleh melonjaknya surplus percaya diri
Makalah Diskusi | Januari 2011
13
masyarakat di satu sisi, dan melorotnya wibawa negara di sisi lain. Ini terlihat
dari kurang berdayanya aparat dalam menegakkan hukum di tengah maraknya
pelbagai bentuk aktivisme dan partisipasi politik non-konvensional sekelompok
warga. Berbeda dengan partisipasi konvensional yang ditentukan waktu dan
metode pelaksanaannya seperti ikut pemilu dan kampanye, partisipasi nonkonvensional bersifat timeless, merentang dari bentuk yang paling lunak seperti
mengorganisir petisi, dialog, demonstrasi, hingga memboikot, memblokir lalulintas dan merusak sarana dan prasarana umum.
Adalah benar, seperti dikatakan sarjana politik seperti Verba, Schozman
dan Brady (1995) bahwa aktivisme dalam partisipasi politik adalah intinya
demokrasi. Tapi, aktivisme saja tidak cukup menstabilkan demokrasi.
Diperlukan adanya pasifisme demokrasi yang menyertai —apa yang disebut
Almond dan Verba sebagai— ‘budaya politik partisipan.’ Kelompok-kelompok
Islam perlu meningkatkan sikap pasif berdemokrasi seperti toleransi dan sikap
percaya serta mengurangi kultur politik Islamis yang cenderung agresif, tidak
sudi menenggang perbedaan dan sulit percaya kepada pihak lain.
Kultur politik Islamis yang berkembang di Indonesia pasca Soeharto ditandai
oleh miskinnya budaya toleran, baik yang bersifat toleransi internal umat
Islam maupun eksternal. Kita menyaksikan rentetan peristiwa pengusiran
jamaah Ahmadiyah dan perusakan aset-aset organisasi Ahmadiyah mulai
dari Kuningan, Tasikmalaya hingga Lombok, yang dilakukan oleh kelompokkelompok Islamis. Kita juga menjadi saksi atas penghancuran masjid-masjid
LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) atau lebih dikenal sebagai Islam
Jamaah. Melorotnya tingkat toleraitu juga makin kentara dengan aksi-aksi
sepihak mereka untuk membubarkan misa kebaktian, menutup gereja-gereja,
dan semacamnya.
Sebenarnya kita boleh-boleh saja ‘membenci’ kelompok lain, sepanjang
‘kebencian’ kita tidak menghalangi hak-hak kelompok tersebut. Kita boleh tidak
suka terhadap para penjual makanan yang masih buka di bulan puasa. Tapi kita
tidak boleh menghalangi hak-hak mereka untuk mencari nafkah. Kita boleh
tidak setuju terhadap keyakinan jamaah Ahmadiyah, tapi hak mereka untuk
hidup dan beribadah tidak boleh kita ganggu. Itulah toleransi.

Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme
di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas
Salihara, Rabu 26 Januari 2011. Makalah ini tidak
disunting. Makalah ini milik Kalam dan tidak untuk
dimuat di mana pun.

Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia
t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org
Makalah Diskusi | Januari 2011

More Related Content

What's hot

Ideologi al yasar al islami
Ideologi al yasar al islamiIdeologi al yasar al islami
Ideologi al yasar al islamiyuandakusuma
 
00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)
00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)
00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)
Erta Erta
 
Sayyid qutb - Salah Faham terhadap Islam
Sayyid qutb - Salah Faham terhadap IslamSayyid qutb - Salah Faham terhadap Islam
Sayyid qutb - Salah Faham terhadap Islam
Imran
 
Islam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan IslamIslam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan Islam
Fuad Amsyari
 
Radikal Islam
Radikal IslamRadikal Islam
Radikal Islam
Zaen Ahmad
 
Spe Bab3
Spe Bab3Spe Bab3
Spe Bab3
WanBK Leo
 
Tugas makalah sosiologi agama
Tugas makalah sosiologi agamaTugas makalah sosiologi agama
Tugas makalah sosiologi agama
Fitrah Plur
 
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irakKebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Yan Hendayana
 
Isu isu seputar radikalisme (makalah)
Isu isu seputar radikalisme (makalah)Isu isu seputar radikalisme (makalah)
Isu isu seputar radikalisme (makalah)
Erta Erta
 
"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer
"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer
"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer
Ali Murfi
 
Agama Dari Perspektif Sosiologi
Agama Dari Perspektif SosiologiAgama Dari Perspektif Sosiologi
Agama Dari Perspektif SosiologiNur Mahudai
 
Catatan Kecil Penanganan Deradikalisasi
Catatan Kecil Penanganan DeradikalisasiCatatan Kecil Penanganan Deradikalisasi
Catatan Kecil Penanganan Deradikalisasi
Lestari Moerdijat
 
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam PendidikanPemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
wanhishamudin
 
Soeharto3
Soeharto3Soeharto3
Soeharto3La Mone
 
Pionir kebangkitan
Pionir kebangkitanPionir kebangkitan
Pionir kebangkitan
Atik Latifah
 

What's hot (16)

Ideologi al yasar al islami
Ideologi al yasar al islamiIdeologi al yasar al islami
Ideologi al yasar al islami
 
00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)
00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)
00 makalah isu isu seputar radikalisme (revisi)
 
Sayyid qutb - Salah Faham terhadap Islam
Sayyid qutb - Salah Faham terhadap IslamSayyid qutb - Salah Faham terhadap Islam
Sayyid qutb - Salah Faham terhadap Islam
 
Islam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan IslamIslam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan Islam
 
Radikal Islam
Radikal IslamRadikal Islam
Radikal Islam
 
Spe Bab3
Spe Bab3Spe Bab3
Spe Bab3
 
Tugas makalah sosiologi agama
Tugas makalah sosiologi agamaTugas makalah sosiologi agama
Tugas makalah sosiologi agama
 
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irakKebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
 
Isu isu seputar radikalisme (makalah)
Isu isu seputar radikalisme (makalah)Isu isu seputar radikalisme (makalah)
Isu isu seputar radikalisme (makalah)
 
"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer
"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer
"Muslim Progresif" Omid Safi dan Isu-Isu Islam Kontemporer
 
Teori kepimpinan
Teori kepimpinan Teori kepimpinan
Teori kepimpinan
 
Agama Dari Perspektif Sosiologi
Agama Dari Perspektif SosiologiAgama Dari Perspektif Sosiologi
Agama Dari Perspektif Sosiologi
 
Catatan Kecil Penanganan Deradikalisasi
Catatan Kecil Penanganan DeradikalisasiCatatan Kecil Penanganan Deradikalisasi
Catatan Kecil Penanganan Deradikalisasi
 
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam PendidikanPemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
 
Soeharto3
Soeharto3Soeharto3
Soeharto3
 
Pionir kebangkitan
Pionir kebangkitanPionir kebangkitan
Pionir kebangkitan
 

Similar to Agama dan Sekularisme - Burhanuddin Muhtadi

Revisi makalah msi islam radikalisme
Revisi makalah msi islam radikalismeRevisi makalah msi islam radikalisme
Revisi makalah msi islam radikalisme
Winda nawangasari
 
Makalah Islam dan Radikalisme
Makalah Islam dan RadikalismeMakalah Islam dan Radikalisme
Makalah Islam dan Radikalisme
Winda nawangasari
 
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaanKrisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaanOperator Warnet Vast Raha
 
Gerakan sosial indonesia
Gerakan sosial indonesiaGerakan sosial indonesia
Gerakan sosial indonesia
Tsauroh Arrisalati
 
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6
adminpancasilamanaje1
 
Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...
Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...
Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...
InternationalJournal Ihya' 'Ulum al-Din
 
Radikalisme dan masa depan bangsa
Radikalisme dan masa depan bangsaRadikalisme dan masa depan bangsa
Radikalisme dan masa depan bangsa
Heruska D'spallans
 
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullahRadikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Lovita Ivan Hidayatullah S. Pd.I
 
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesiaKonsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Dimebag Darrell
 
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdfSistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
MohalliAhmad1
 
Politik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madaniPolitik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madaniAndi Undu
 
PPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptx
PPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptxPPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptx
PPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptx
LintasLti
 
Memahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga Kini
Memahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga KiniMemahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga Kini
Memahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga Kini
PT Mitra Shapphire Sejahtera
 
Revolusi Kepemimpinan Gerakan PMII
Revolusi Kepemimpinan Gerakan PMIIRevolusi Kepemimpinan Gerakan PMII
Revolusi Kepemimpinan Gerakan PMII
PMII
 
Peradaban islam dahulu dan sekarang
Peradaban islam dahulu dan sekarangPeradaban islam dahulu dan sekarang
Peradaban islam dahulu dan sekarang
nasution_onky
 
MODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdf
MODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdfMODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdf
MODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdf
Fa2dili
 
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
muhammad tarmizi
 
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGANAGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
primagraphology consulting
 
Misi Da'wah dan Perubahan Sosial
Misi Da'wah dan Perubahan SosialMisi Da'wah dan Perubahan Sosial
Misi Da'wah dan Perubahan SosialIdrus Abidin
 

Similar to Agama dan Sekularisme - Burhanuddin Muhtadi (20)

Revisi makalah msi islam radikalisme
Revisi makalah msi islam radikalismeRevisi makalah msi islam radikalisme
Revisi makalah msi islam radikalisme
 
Makalah Islam dan Radikalisme
Makalah Islam dan RadikalismeMakalah Islam dan Radikalisme
Makalah Islam dan Radikalisme
 
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaanKrisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
 
Gerakan sosial indonesia
Gerakan sosial indonesiaGerakan sosial indonesia
Gerakan sosial indonesia
 
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6
 
Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...
Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...
Karakter Hubungan dan Harmonisasi Kehidupan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iy...
 
Radikalisme dan masa depan bangsa
Radikalisme dan masa depan bangsaRadikalisme dan masa depan bangsa
Radikalisme dan masa depan bangsa
 
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullahRadikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
 
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesiaKonsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
 
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdfSistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
Sistem Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Islam.pdf
 
Politik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madaniPolitik islam dan masyarakat madani
Politik islam dan masyarakat madani
 
Peradaban islam
Peradaban islamPeradaban islam
Peradaban islam
 
PPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptx
PPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptxPPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptx
PPT_Islam_dan_Tantangan_Radikalisme.pptx
 
Memahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga Kini
Memahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga KiniMemahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga Kini
Memahami Strategi Snouck Hurgronje Hingga Kini
 
Revolusi Kepemimpinan Gerakan PMII
Revolusi Kepemimpinan Gerakan PMIIRevolusi Kepemimpinan Gerakan PMII
Revolusi Kepemimpinan Gerakan PMII
 
Peradaban islam dahulu dan sekarang
Peradaban islam dahulu dan sekarangPeradaban islam dahulu dan sekarang
Peradaban islam dahulu dan sekarang
 
MODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdf
MODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdfMODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdf
MODUL 8 ANALISA KB 4 --jurnal_6460b4da78b6c.pdf
 
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
 
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGANAGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
 
Misi Da'wah dan Perubahan Sosial
Misi Da'wah dan Perubahan SosialMisi Da'wah dan Perubahan Sosial
Misi Da'wah dan Perubahan Sosial
 

Agama dan Sekularisme - Burhanuddin Muhtadi

  • 1. 1 Makalah Demokrasi zonder Toleransi Potret Islam Pasca Orde Baru Oleh: BURHANUDDIN MUHTADI Ada dua pertanyaan pokok dalam studi gerakan sosial: pertama, kenapa dan bagaimana suatu gerakan sosial muncul dan kedua, bagaimana gerakan sosial menyampaikan pesan ideologinya agar bisa diterima masyarakat. Tentu tidaklah mudah menjawab dua pertanyaan ini. Munculnya gerakan sosial adalah gejala sosial yang kompleks, dan karena itu penjelasannya sulit diringkus dalam satu teori gerakan sosial tertentu. Para ahli ilmu sosial belakangan ini semakin menyadari mendesaknya teori atau perspektif yang bersifat integral dan konprehensif tentang gerakan sosial, yakni antara pendekatan struktur kesempatan politik (political opportunity structure/POS), resource mobilization theory (RMT) dan collective action frames (McAdam, McCarthy dan Zald, 1996, h. 7). Dengan kata lain, gerakan sosial harus dilihat dari pelbagai sisi, baik kultural, psikologis, rasional, dan struktural (terutama organisasi dan konteks politik) dan lain-lain (cf. Klandermans, 1997; Jenkins, 1983; Mujani, 2005). Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 2. 2 Dalam perspektif ini, unit analisis dalam memotret gerakan sosial tidak sekadar individu sebagai partisipan gerakan sosial, tapi juga kelompok dan organisasi. Partisipan memang menjadi aktor penting dalam gerakan sosial, tapi partisipan itu tidak berada dalam ruang hampa. Partisipan gerakan sosial berada dalam konteks kultural dan struktural dari gerakan itu. Di sinilah konteks struktural organisasi yang mewadahi dan memungkinkan terjadinya mobilisasi sumberdaya dan struktur kesempatan politik yang melingkupinya akan berkait-kelindan dengan motif individual, keyakinan ideologis, nilai-nilai, dan kalkulasi rasional partisipan kenapa ia kemudian memutuskan untuk terlibat dalam gerakan sosial. Saya ingin memakai perspektif gerakan sosial secara integral untuk menjelaskan munculnya gerakan sosial Islam (OGI) di Indonesia pasca Orde Baru. Secara empirik, OGI jelas menggunakan “Islam” sebagai simbol dan identitas. Selama ini perspektif integral dalam melihat OGI masih minim. Banyak penulis yang lebih banyak memfokuskan pada pendekatan ideologis dalam memotret OGI di Indonesia. Sementara di dunia akademis Barat, studi gerakan Islam seringkali memiliki bias kekerasan atau terorisme. Karena itu, upaya yang dilakukan oleh para sarjana seperti Carrie Wickam, Quintan Wiktorowicz, dan Diane Singerman membawa aktivisme Islam ke dalam ranah teori aksi kolektif patut dihargai. Namun demikian, penelitian-penelitian itu kebanyakan dilakukan di Timur Tengah dan Afrika Utara, terutama Mesir, Aljazair, Palestina, Iran, Turki, dan Yaman. Keterlibatan seorang Muslim dan atau entrepreneur gerakan Islam dalam OGI sangat terkait dengan Islamisme. Islamisme adalah sebentuk keyakinan yang memposisikan Islam sebagai sistem kehidupan yang total dan integral dalam seluruh aras kehidupan, termasuk politik, sebagai subordinasi dari agama (Roy, 1993; Kramer, 1997; Monshipuri, 1998). Dalam konteks ini, meminjam istilah Gellner (1981: 1), “specificity” Islam dipahami sebagai blueprint atau cetak-biru dari sebuah tertib sosial. Karena itu, konsep al-diin wa al-daulah dan dakwah adalah password kaum Islamis untuk masuk ke dalam pelbagai aktivisme politik. Gerakan Islam muncul dalam rangka mewujudkan cita-cita Islam, terutama menerapkan syariat Islam dalam masyarakat dan negara. Dengan kata lain, gerakan Islam adalah suatu gerakan yang berusaha menghidupkan kembali praktek sosial-politik Nabi Muhammad SAW dalam konteks masyarakat sekarang yang telah berubah. Atau, kalau menggunakan istilah Sivan (1995), gerakan Islam adalah suatu upaya mewujudkan “teologi abad pertengahan dalam masyarakat modern.” Sebelum beranjak lebih jauh, saya akan membeberkan hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lazuardi Birru, Maret 2010. Studi ini bertujuan untuk melihat penerimaan publik terhadap ideologi Islamisme pada dua tingkat: tindakan dan sikap. Unit analisis riset ini adalah individu. Tindakan Islamis diamati melalui sejumlah indikator: pernah atau bila ada kesempatan bersedia melakukan atau merencanakan razia orang atau kelompok orang yang dipandang berperilaku bertentangan dengan syariat Islam, demonstrasi menentang kelompok yang dinilai menodai ajaran Islam, melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain, dan atau menyumbang dana bagi perjuangan menegakan syariat Islam. Sebagaimana diperkirakan, hasil studi menunjukkan bahwa partisipasi warga muslim dalam tindakan Islamis atau kegiatan-kegiatan yang mencerminkan agenda-agenda Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 3. 3 Islamis seperti ikut merencanakan atau melakukan tindakan sweeping dan policing atas tempat-tempat atau kegiatan-kegiatan publik yang dipersepsikan tidak sesuai dengan ajaran Islam atau yang dipersepsikan sebagai kegiatan dan tempat maksiat, relatif kecil. Bahkan, tindakan Islamis dalam bentuk rapat/pertemuan umum atau demonstrasi terhadap kelompok yang dianggap menodai Islam, demonstrasi untuk menunjukkan solidaritas terhadap penderitaan bangsa Palestina, juga relatif jarang dilakukan oleh warga muslim Indonesia. Yang menyatakan pernah melakukan satu atau beberapa dari tindakan Islamis tersebut secara kuantitatif, sedikit jumlahnya. Kecuali menyumbang dana, tindakan-tindakan lain dilakukan 1 hingga 3%. Tapi untuk sebuah tindakan radikal 1% dari penduduk Muslim Indonesia yang sekitar 238 juta adalah besar. Memang secara kuantitatif kecil, tapi dampak kualitatifnya sangat besar karena partisipan OGI adalah minoritas vokal (Grafik I). Partisipasi dalam gerakan kolektif semacam itu, baik yang bersifat Islamis maupun tidak, di negara Muslim maupun sekuler, memang sangat jarang. Hal ini bukan berarti aktivitas yang jarang dilakukan umat Islam tersebut diabaikan saja. Demonstrasi, mogok, boikot, dan kegiatan partisipasi non-konvensional semacam itu biasanya memang tidak membutuhkan banyak partisipan tapi kadangkala punya pengaruh penting terhadap kebijakan-kebijakan publik. Katakanlah jumlah penduduk dewasa kita saat ini kurang lebih 170 juta. Jika satu persen saja dari mereka ikut serta dalam aksi kolektif seperti itu sebenarnya sudah cukup banyak, yakni sekitar 1,7 juta orang. Kalau mereka, pada saat bersamaan, turun ke jalan, gemparlah ibukota. Sederhananya, tak perlu banyak orang untuk terlibat dalam tindakan Islamis semacam bom Bali. Cukup beberapa orang saja, tapi pengaruhnya sangat besar. It is not all about numbers! Mengapa tingkat partisipasi dalam tindakan Islamis relatif sedikit? Di samping karena variasi dalam memahami Islam, jumlah yang secara statistik kecil ini sangat terkait dengan ada atau tidaknya insentif dari partisipasi tersebut. Teori pilihan rasional paling mungkin bisa menjelaskan kenapa orang berpartisipasi dalam aksi kolektif. Gerakan sosial, termasuk gerakan Islam, di manapun dan kapan pun bertujuan untuk mencapai suatu public goods, dan setiap Muslim bisa memperoleh public goods tanpa harus berpartisipasi. Setiap orang pada dasarnya rasional, cenderung berusaha mendapatkan sesuatu dengan “modal” seminimal mungkin. Kalau mereka bisa mendapatkan public goods tanpa harus berpartisipasi, kenapa harus berpartisipasi? Dalam perspektif ilmu sosial, gejala semacam itu rentan melahirkan para pembonceng gratisan. Dilema tindakan kolektif ini yang menyebabkan hanya sedikit orang yang ikut terlibat dalam gerakan sosial (cf. Olson, 1967; Popkin, 1976; Lichbach, 1995). Oleh karena itu, jika kita hanya berpatokan pada jawaban responden pada actual Islamist behavior seperti di atas, tentu kurang memuaskan. Untuk itu, pertanyaan soal potential behavior atau kesediaan untuk melakukan tindakantindakan Islamis jika mereka memiliki kesempatan penting diajukan. Hasil studi LSI dan Lazuardi Birru menunjukkan proporsi Muslim Indonesia yang bersedia melakukan tindakan radikal bila kesempatan tersedia, jauh lebih besar lagi. Terdapat 26,3% responden Muslim yang bersedia melakukan sweeping atau policing terhadap tempat-tempat yang dinilai maksiat, 27% Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 4. 4 yang bersedia demonstrasi terhadap kelompok yang dianggap menodai atau mengancam Islam, 25,8% yang bersedia meyakinkan orang lain agar mengikuti pandangan radikal mereka, 37,1% yang bersedia menyumbang dalam bentuk materi kepada organisasi yang memperjuangkan syariat Islam, 5,3% bersedia melakukan penyerangan terhadap tempat ibadat agama lain, dan 14% yang bersedia demo mengutuk pendudukan Israel atas tanah Palestina. Bila mereka dimobilisasi, atau berada dalam jaringan atau radar gerakan radikal, ada geneologi keluarga yang pernah terlibat gerakan radikal, ada persuasi, ada dukungan atau setidaknya sikap permisif masyarakat terhadap mereka, tidak adanya resistensi lingkungan, ada pemahaman keagamaan yang mendukung, ada justifikasi keagamaan yang mendukung, ada dana, ada skill atau keterampilan, maka potensial tindakan Islamis akan terjadi secara lebih sering. Lebih daripada itu, pada tingkat sikap, tindakan-tindakan Islamis yang kadar destruktifnya lebih besar juga cukup mendapatkan dukungan luas oleh masyarakat, walaupun tidak, atau belum, membentuk kekuatan mayoritas. Misalnya, satu dari lima orang Muslim di Indonesia memandang bahwa penyerangan terhadap World Trade Center (WTC) di New York sekitar 10 tahun lalu dinilai sebagai tindakan jihad yang dalam keyakinan umat Islam punya makna positif. Selain itu, satu dari sepuluh orang Muslim Indonesia percaya bahwa tindakan yang dilakukan Amrozi dkk di Bali juga dinilai sebagai jihad dan mendukungnya, dan hukuman mati yang telah diberikan terhadap mereka dinilai tidak adil. Meski sebagian besar umat Muslim Indonesia memahami bahwa menahan hawa nafsu adalah bentuk dari jihad, masih cukup banyak di antara mereka yang memahami bahwa jihad adalah perang atau menggunakan senjata melawan orang atau kelompok yang dinilai mengancam Islam. Pada tingkat dukungan umat Islam di Indonesia terhadap agenda-agenda Islamis, baik yang masuk dalam wilayah jinayat (pidana) seperti hukum potong tangan, rajam bagi pezina, orang murtad dibunuh, maupun muamalat seperti bunga bank dilarang maupun dilarang bepergian tanpa didampingi muhrim, juga cukup besar. Masyarakat Islam di Indonesia terbelah. Dukungan terhadap agenda-agenda Islamis ini menjadi sumber parokialisme dalam Islam. Ideologi dan Psikologi Gerakan Islam Adanya diskrepansi pada tingkat tindakan Islamis dan dukungan pada level sikap, seperti dikemukakan di atas, dipahami ahli gerakan sosial sebagai tarikmenarik antara mobilisasi aksi dan mobilisasi konsensus di mana dukungan atau berkurangnya dukungan untuk berpartisipasi dipengaruhi oleh aspek-aspek perilaku (behavioural) dan sikap (attitudinal). Mobilisasi konsensus adalah “proses di mana organisasi gerakan sosial berusaha memperoleh dukungan bagi pandangan-pandangannya.” Sementara itu, mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku (Klandermans, 1997). Sarjana gerakan sosial memperkenalkan konsep resonansi pembingkaian (frame resonance) untuk mentransformasikan mobilisasi potensial ke dalam mobilisasi aktual. Benford dan Snow (1998) menyebut ada tiga elemen utama ideologi dan teori framing gerakan sosial. Pertama adalah framing diagnostik yang berupa identifikasi masalah dan penanggungjawab serta target kesalahan atau sebab musababnya. Kedua adalah framing prognostik yang terdiri dari artikulasi solusi yang ditawarkan bagi persoalan-persoalan tersebut dan Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 5. 5 identifikasi strategi, taktik dan target. Ketiga adalah pembingkaian motivasi yaitu “elaborasi panggilan untuk bergerak atau penjelasan mengenai aksi yang melampaui diagnosis dan prognosis.” Pada tingkat diagnosis, hampir semua gerakan Islam memiliki framing yang sama. Bahwa umat Islam di seluruh dunia mengalami kemunduran karena meninggalkan ideologi Islam yang kaffah dan larut dalam tarikan sekularisme dan liberalisme Barat. Pada tingkat prognosis, gerakan Islam juga memiliki retorika yang mirip, yakni “Islam sebagai solusi” (al-Islam huwa al-hall). Meskipun framing semacam ini dilakukan oleh gerakan Islam di mana-mana, terdapat perbedaan penting dalam taktik dan strategi. Jamaah Tabligh, misalnya, fokus kepada ‘dakwah murni,’ berkutat dalam transformasi kepercayaan individu terhadap nilai-nilai Islam, tetapi mengabaikan keterlibatan di dalam politik. Sebaliknya, Hizbut Tahrir sangat jauh masuk ke dalam politik dengan mengkampanyekan Islam sebagai satu-satunya solusi bagi sistem bikinan manusia yaitu demokrasi, sekularisme, kapitalisme serta menolak masuk dalam mekanisme demokrasi. Sementara PKS masuk dalam prosedur politik formal. Ideologi dan framing Islamis dengan pelbagai variasi “resep” dan solusi bertemu dengan penjelasan psikologis partisipan Muslim yang mendorongnya untuk ikut serta dalam gerakan Islam. Dalam perspektif psikologi sosial, framing meliputi tiga hal (Klandermans, 1997): perasaan tidak adil atas perlakuan terhadap suatu kelompok partisipan, identitas kelompok yang mendefinisikan “kita” sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain, rezim, dan agensi. Pada kelanjutannya, perasaan tidak adil tersebut menyebabkan munculnya deprivasi relatif (Gurr, 1968), yakni perasaan tertinggal, terbelakang, lemah, antara kelompoknya dibanding kelompok lain, atau realitas sui generis yang dialami sekarang dibanding keadaan yang dipersepsikan lebih baik sebelumnya. Sebut saja perasaan ketertinggalan Islam dibanding kelompok sosial-keagamaan lain. Perasaan ini dirasakan bersama oleh suatu kolektivitas umat karena Islam sebagai identitas. Kaum Islamis di banyak tempat, termasuk di Indonesia, merasa tersubordinasi oleh Barat. “Trauma Islam modern,” ungkap Daniel Pipes “muncul dari disparitas antara kesuksesan abad pertengahan dan kegagalan masa kini,” yang menyebabkan “perasaan lemah dan tidak berguna yang mengakar dalam dunia Islam dewasa ini. Coba simak pernyataan Irwan Prayitno, salah seorang ideolog PKS, di bawah: Kondisi masyarakat Islam sekarang ini … sangat menyedihkan dan berada di bawah kekuasaan musuh-musuh Islam. Sebagai umat terbaik dan besar kaum Muslim tidak lagi bisa memperlihatkan kebesaran mereka di tengahtengah umat manusia; bahkan semakin terpuruk karena ke-jahiliyahan (kebodohan)…Kaum Muslim sekarang ini mengalami kemunduran.1 Perasaan nelangsa secara kolektif di atas biasanya dialamatkan kepada skenario atau plot jahat kaum Zionis dan Salibis. Konspirasi untuk melemahkan umat Islam tak lagi beroperasi secara fisik melalui modus operandi penjajahan teritorial, tapi melalui penjajahan pikiran melalui apa yang mereka sebut ”perang pemikiran” (ghazwul fikr). Umat Islam yang terseret arus pemikiran dan 1 Irwan Prayitno, Ahwaal Al-Muslimun Al-Yaum (Kondisi Umat Islam Saat Ini), diterbitkan kembali dalam Prayitno, Kepribadian Dai, 2005, h. 155. Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 6. 6 perilaku non-Islami dianggap terperangkap dalam jahiliyyah modern. Gejala ini juga beririsan dengan konsep deprivasi relatif yang berkaitan dengan persepsi tentang adanya nilai-nilai prinsipil dalam suatu masyarakat yang dilanggar atau tidak ditegakkan oleh pihak berwenang terkait (Klandermans, 1997; Kriesi, 1993). Dalam buku panduan yang ditujukan kepada para da’i dan trainer, Irwan Prayitno menjelaskan doktrin jahiliyah: Kaum kafir… selalu mencari cara untuk menghancurkan umat Islam… Strategi yang mereka pilih untuk menghancurkan Islam adalah al-ghazw al-fikr. Al-ghazw al-fikr adalah serangan ideologi, kultural, mental dan konseptual yang dilancarkan terus-menerus dalam pola-pola yang sangat sistematik, terorganisir dan terencana. Hasilnya adalah perubahan personalitas, gaya hidup dan perilaku masyarakat Muslim…Upaya ini… dimulai dengan memotong hubungan negara-negara Islam di bawah kekhalifahan Islam, yang mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok dan ideologi-ideologi nasionalis. Pemisahan agama dan negara, orientalisme, Kristenisasi dan gerakan emansipasi perempuan juga adalah kegiatankegiatan al-ghazw al-fikr…2 Meski demikian, banyak studi membuktikan bahwa deprivasi relatif saja tidak cukup membuat seseorang ikut terlibat dalam gerakan sosial, termasuk dalam gerakan Islam. Agensi menjadi krusial untuk memfasilitasi perasaan deprivatif itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik. Efikasi adalah perasaan individu bahwa dengan terlibat dalam gerakan bersama-sama dengan anggota yang lain dapat merubah keadaan menjadi lebih baik; juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta, dan persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses (Klandermans, 1997). Dengan kata lain, efikasi adalah suatu perasaan seseorang bahwa dirinya penting, mampu, dan berarti untuk melakukan sesuatu yang diharapkan. Ada optimisme di situ, yang merupakan energi psikologis pendorong suatu tindakan. Mujani (2002) menggunakan konsep efikasi politik tersebut dalam konteks aktivitas Islamis. Dalam tradisi Islam, ada nilai-nilai yang bias mendorong seorang muslim menjadi aktivis radikal. Pertama, pemahaman jihad sebagai ibadah puncak dengan cara mempertahankan agama Allah dan dipercaya sebagai suatu kewajiban setiap muslim, dan seorang muslim yang meninggal dalam berjihad akan masuk surga (syahid). Adalah benar bahwa ‘jihad’ memiliki makna atau pengertian yang diperebutkan (contested) di antara kalangan ulama. Menahan hawa nafsu juga disebut sebagai jihad, bahkan dipercaya sebagai jihad besar. Sebaliknya, ada juga yang memahaminya secara agak khusus, yakni perang fisik melawan kekuatan yang dipandang mengancam eksistensi Islam, termasuk dengan memanggul senjata. Definisi spesifik dari jihad ini dan ganjaran yang akan diperolehnya potensial menjadi energi psikologis yang dapat mendorong seorang muslim berani mengambil risiko mati sekalipun. Temuan LSI sendiri menunjukkan: meskipun terdapat 54,4% responden muslim yang setuju pemahaman jihad sebagai mengendalikan hawa nafsu, dan 24,3% tidak setuju dengan pandangan tersebut, tapi cukup banyak di antara Muslim Indonesia yang memahami bahwa jihad adalah perang atau menggunakan senjata melawan orang atau kelompok yang dinilai mengancam Islam (49,9%). Ketika 2 Irwan Prayitno, “Al-Ghazw Al-Fikri,” diterbitkan kembali dalam Prayitno, Kepribadian Dai, 2005, h. 3-4. Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 7. 7 ditanyakan pendapat bahwa selama demi tegaknya syariat Islam, kekerasan bisa dibenarkan sebanyak 32,8% responden setuju, 54,5% tidak setuju. Responden Muslim bahkan terbelah opininya: separuhnya setuju jihad harus dilakukan dengan mengorbankan nyawa satu-satunya yang mereka punya. Kedua, nilai yang tumbuh dari keyakinan bahwa pada akhirnya umat Islam akan menang dalam perjuangan menentang lawan-lawannya (ya’lu wala yu’la alaih). Perasaan optimis akan menang ini menjadi semacam energi psikologis lain yang mendorong seorang muslim terlibat dalam aktivitas Islamis. Agak sulit membayangkan bagaimana seorang Muslim yang pesimis dengan hasil yang akan dicapai untuk melakukan tindakan berisiko Mujani (2002). Di samping efikasi radikal, energi psikologis yang menjadi kebalikan dari efikasi dan diperkirakan mendorong seorang Muslim terlibat dalam aktivitas radikal adalah alienasi Islamis. Alienasi adalah suatu perasaan terasing yang dialami seorang individu dari lingkungannya. Apa yang terjadi di sekitar dirinya bertentangan dengan apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi. Mujani (2002) mengembangkan konsep ini dalam konteks aktivis radikal. Di dalam Islam sendiri ada nilai-nilai atau ajaran dari suatu keyakinan yang berasal dari Al-Qur’an atau Hadist bahwa umat Islam adalah umat terbaik. Tapi realitas berbicara lain. Akibatnya, perasaan tertinggal dibanding umat lain itu memunculkan perasaan rendah diri. Kontradiksi antara keyakinan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik di satu pihak, dan di pihak lain pengalaman sehari-hari yang sebaliknya tentang umat Islam, potensial menumbuhkan perasaan untuk menyalahkan kekuatan di luar umat Islam. Memang agak tipis bedanya dengan deprivasi relatif, tapi alienasi Islamis ini lebih didorong faktor psikologis karena ketertinggalan ekonomi-politik yang menjadi komponen penting deprivasi relatif. Keadaan psikologis ini potensial mendorong seorang muslim menjadi aktivis radikal, sebagai wujud dari protes atas ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuatan di luar umat Islam sendiri. Dalam perspektif alienasi Islamis ini, studi LSI dan Lazuardi Birru (Maret, 2010) menemukan sebanyak 24,1% responden Muslim Indonesia merasa umat Islam sekarang diperlakukan tidak adil oleh pemeluk agama lain dan banyak pula yang menganggap suara non-Muslim yang minoritas lebih berpengaruh dibanding mayoritas Muslim. Bahkan hampir separuh dari mereka meyakini banyak pihak yang memberikan pengaruh yang negatif terhadap umat Islam dan sepertiga dari mereka percaya kampanye internasional melawan terorisme hanyalah kedok untuk menyudutkan Islam. Studi kuantitatif dalam skala nasional yang pernah dilakukakan LSIPPIM-Freedom Institute (2005) juga menemukan besarnya proporsi umat Islam Indonesia yang yakin bahwa pada akhirnya perjuangan umat Islam akan berhasil melawan musuh-musuhnya (79,2%), dan lebih besar lagi yang menginginkan mati ketika sedang membela agama Allah (83,7%). Sementara itu yang teralienasi, yakni mereka yang merasa umat Islam diperlakukan secara tidak adil oleh umat lain cukup besar juga (45%) meskipun bukan proporsi mayoritas. Temuan riset menunjukkan di antara dua faktor psikologis, efikasi maupun alienasi, yang punya hubungan positif secara signifikan terhadap aktivitas Islamis ternyata adalah alienasi Islamis. Yang merasa umat Islam diperlakukan tidak adil, dibanding yang merasa diperlakukan adil, lebih banyak yang terlibat dalam aktivitas Islamis seperti aksi sweeping, demonstrasi solidaritas bagi umat Islam, dan boikot terhadap barang dan jasa yang dipandang haram. Sementara itu, efikasi Islamis berhubungan secara berarti Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 8. 8 dengan dukungan terhadap kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi gerakan Islamis, bukan dengan aktivitas atau tindakan atau perilaku Islamis. Terutama efikasi tentang keinginan untuk mati syahid. Mereka yang ingin sahid, dibanding yang tidak ingin, lebih banyak yang mendukung organisasi gerakan Islamis tersebut dibanding yang tidak mendukung (Mujani, 2005). Faktor Struktural: Organisasi Islamis dan Struktur Kesempatan Politik Di atas segalanya, ideologi Islamis, deprivasi relatif, alienasi dan efikasi Islamis dan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi partisipasi dalam gerakan Islam, adalah sumber-sumber yang dapat dimobilisasi oleh organisasi sehingga menjadi kekuatan aktual bagi lahirnya suatu gerakan Islam. Islamisme pada awalnya merupakan fenomena “orang bercakap-cakap di pojok ruangan.” Mereka mengalami deprivasi relatif, dan mengidap gejala lari dari kebebasan (escape from freedom), untuk meminjam istilah Erich Fromm. Untuk itulah, mereka membentuk suatu komune kecil yang dinamakan usrah. Ada rasa damai dan kesejukan hati ketika hidup dalam usrah. Sebaliknya, ada perasaan terancam bila bergaul dengan komunitas di luar mereka. Bagi mereka, dunia luar adalah sarat dosa, berlumur durjana. Dengan “bercakapcakap” di sudut ruangan, kelompok ini merasa terjaga dan terpelihara “keimanan” mereka serta merasa sebagai senasib dan sepenanggungan sebagai pihak tertindas dan teraniaya. Barangkali inilah yang disebut Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, dalam Fundamentalism Observed (1994), sebagai bentuk atau mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam. Tak ubahnya seperti enclave, usrah itu —meminjam Sivan dalam Fundamentalism Comprehended (1995)— dipalangi oleh group dan grid. Group berguna untuk menegaskan komitmen terhadap kelompok sedang grid berguna untuk menyensor interaksi sosial anggota dengan orang di luar komunitas. Sivan menyebutnya sebagai enclave culture. Semakin sedikit interaksi sosialnya (grid), dan makin besar komitmennya terhadap komunitas (group), maka semakin baik komunitas itu berkembang. Untuk merawat sterilisasi kelompok, diterapkan pola pengkaderan yang berjenjang (hierarki) dengan memakai stelsel aktif dan sistem sel yang kuat dengan kohesivitas yang ketat antaranggota. Sistem pembelahan sel yang mirip multilevel marketing dipakai untuk menggelembungkan anggota kelompok sembari tetap menjaga kesucian kelompok. Pada perkembangannya kemudian, OGI menghadapi dilema. Jika mereka tetap persisten menjaga “kemurnian” gerakan, maka ide-ide yang mereka perjuangkan takkan berkembang signifikan. Intinya, dibutuhkan organisasi Islamis yang lebih terbuka dan reseptif terhadap kalangan luar. Organisasi Islamis dalam pelbagai bentuk dan variasinya merupakan faktor krusial bagi tumbuh tidaknya gerakan. Dari sisi partisipan, peran organisasi dan mobilisasi ini penting untuk mewadahi seorang Muslim dapat berpartisipasi. Dalam pendekatan gerakan sosial secara integral, betapapun terdapat struktur kesempatan politik yang memungkinkan lahirnya gerakan Islam, tetap tidak bisa menciptakan gerakan. Kondisi politik kondusif tidak akan berguna jika gerakan sosial, termasuk gerakan Islam, tidak memiliki organisasi dan jaringan yang memadai untuk mengaktualkan potensi politiknya. Dengan demikian, Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 9. 9 studi tentang “alat” atau sumberdaya sangat penting dalam teori gerakan sosial untuk memahami infrastruktur pendukung yang dibutuhkan bagi aksi kolektif. Studi tentang alat dikenal sebagai mobilisasi sumber daya (resource mobilisation) atau pendekatan struktur mobilisasi sumberdaya. Sumber daya bagi gerakan Islam bukan saja nilai-nilai atau ideologi tertentu tapi juga organisasi dan jaringan yang memungkinkan bagi mobilisasi dan rekrutmen aktivis gerakan. Dalam definisinya, Tilly (1978: 3) menyatakan bahwa salah satu sumber daya yang paling penting adalah jaringan informal dan formal yang menghubungkan individu-individu dan organisasi-organisasi gerakan. Istilah “jaringan” merujuk kepada struktur sosial, yaitu serangkaian hubungan sosial yang mendorong atau menghambat perilaku, sikap, dan kemungkinan orang untuk melakukan aksi (Klandermans, 1997). Klandermans juga menyatakan pentingnya kepemimpinan untuk menetapkan sumber daya bagi para peserta mobilisasi. Maguire (1995) membagi sumber daya ke dalam dua kategori, yaitu yang tangible (uang, ruang, perlengkapan, dan seterusnya) dan intangible (kapasitas kepemimpinan, manajerial dan pengalaman organisasi, justifikasi ideologis, taktik dan semacamnya). Kekuatan dan efektivitas organisasi dan jaringan bagi gerakan Islam tergantung bukan saja pada kemampuan internal organisasi tersebut dalam memobilisasi sumber daya dan dalam memediasi anggota-anggota masyarakat untuk mencapai tujuan gerakan, tapi juga pada hambatan dan kesempatan yang tersedia dalam konteks politik makro, yakni variasi dalam struktur kesempatan politik (SKP). Dalam leksikon ilmu sosiologi politik, SKP adalah pola hubungan antara elite politik, antara partai politik, antara kelompok kepentingan, dan semua ini dengan masyarakat sebagai konstituen (cf. McAdam, 1996; Tarrow, 1994; Jenkins and Klandermans, 1995; Kriesi, et. al., 1992; Brockett, 1991; Kitchel, 1988; Tilly, 1978). McAdam (1996) menyarikan empat dimensi SKP, yakni (1) keterbukaan dan ketertutupan relatif sistem politik ; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring keterikatan elit; (3) adanya atau tiadanya aliansi-aliansi elit; (4) kapasitas atau kecenderungan negara untuk melakukan represi. Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori: pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial, termasuk gerakan Islam, sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi munculnya gerakan akibat dari politik yang lebih kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka iklim politik maka semakin membuka kesempatan bagi munculnya gerakan sosial, tak terkecuali gerakan Islam; sebaliknya, semakin tertutup, maka semakin tertutup kesempatan bagi munculnya gerakan. Namun demikian, hubungan antara struktur kesempatan politik dan kemunculan gerakan sosial tidak bersifat linear, melainkan kurvalinear. Eisinger (1971) menyatakan gerakan sosial sangat mungkin muncul dalam sistem politik yang dicirikan oleh percampuran antara faktorfaktor keterbukaan dan ketertutupan. Karena itu tidaklah mudah memberikan batasan derajat keterbukaan politik yang memunculkan gerakan sosial ini. Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 10.   10 Tingkat mobilisasi Sistem Tertutup Model Mobilisasi Eisinger Sistem Terbuka Dalam konteks Indonesia di bawah rezim Orde Baru, represi terhadap gerakan Islam menciptakan disinsentif bagi aktivis Islam untuk melakukan mobilisasi secara terbuka. Aktivisme Islam non-disruptif, dengan menggunakan masjid kampus sebagai basis menjadi pilihan. Dalam terma mobilisasi sumber daya, yang terutama menggunakan teori pilihan rasional, kekuatan koersif dan represi meningkatkan biaya dan resiko partisipasi dan dengan demikian menghalangi aksi kolektif. Wiktorowicz (2001) menyebut hal ini, dalam kasus Ikhwanul Muslimin di Yordania, sebagai “web of disincentives” (jaringan disinsentif). Untuk menghindari kontrol dan represi rezim, dakwah kampus dipilih untuk menjalani apa yang Wiktorowicz sebut sebagai “jaringan pemaknaan yang sama” (the network shared meaning) dengan struktur kepemimpinan rahasia dan organisasi non formal untuk mencapai citacitanya. Dalam bahasa kaum Tarbiyah, dakwah kampus di era Soeharto adalah pengejawantahan konsep Sirriyat al-Tandzim wa Alamiyyat al-Dakwah (Struktur Organisasi Rahasia dan Dakwah Terbuka). Jatuhnya Soeharto membuka kran kebebasan bagi entrepeneur Islam untuk mengembangkan organisasi dan mobilisasi secara terbuka. Dari empat organisasi Islamis di Indonesia, studi LSI menunjukkan Jamaah Islamiyah dan FPI relatif lebih dikenal publik dibandingkan MMI dan Hizbut Tahrir (lihat Grafik 2). Bahkan FPI mengalami peningkatan awareness yang cukup signifikan dari 37% di 2005 menjadi 49% pada 2010. Bahkan, dari mereka yang mengenal atau tahu FPI, 38% di antaranya mendukung agenda Islamis organisasi yang dipimpin Rizieq Shihab. MMI dan Hizbut Tahrir yang tingkat kedikenalannya di kalangan publik tidak sebesar FPI, tapi dukungan pada agenda perjuangan yang diusung MMI dan Hizbut Tahrir lebih tinggi dibanding Jamaah Islamiyah. Hal ini barangkali terkait dengan jalur kekerasan yang digunakan Jamaah Islamiyah yang membuat penerimaan publik terhadap mereka relatif lebih rendah dibanding organisasi Islamis lainnya (lihat Grafik 3). Kultur Politik Islamis Lantas bagaimana wajah Islam Indonesia selama kurun 13 tahun terakhir kita menikmati rezim demokrasi? Dalam perspektif kultur politik demokrasi Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 11. 11 (civic culture), stabilitas demokrasi ditentukan oleh dua unsur yang sekilas tampak kontradiktif. Pertama, unsur ‘aktif’ yang merekomendasikan adanya partisipasi politik warga dan keterlibatan politis (political engagement). Kedua, unsur ‘pasif’ yang meniscayakan adanya budaya politik yang toleran secara politik dan sikap percaya antarwarga (interpersonal trust). Kombinasi apik dua unsur aktivisme dan pasifisme demokrasi ini, menurut Almond dan Verba (1963), akan membentuk kultur politik yang moderat yang akan memberikan garansi bagi terkonsolidasinya sebuah rezim demokrasi. Toleransi Politik Konsep toleransi politik telah dikembangkan melalui studi-studi sistematik seperti yang dilakukan Sullivan dkk (1982). Dalam studi ini toleransi politik diukur dari sikap individu apakah ada kelompok sosial atau politik yang paling tidak disukai. Berdasarkan survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI), Maret 2010, ditemukan bahwa hanya 38% responden yang menyatakan tidak ada kelompok sosial atau politik yang paling tidak disukai. 61% responden punya kelompok sosial-politik yang paling dibenci. Di antara yang paling tidak disukai pilihan paling banyak jatuh pada Komunis (32%), kemudian Yahudi (16%), dan kemudian Kristen (7%). Dibanding survei dengan wording yang sama lima tahun yang lalu, terjadi penurunan sentimen negatif terhadap komunis, tetapi proporsi mereka yang membenci Yahudi dan Kristen naik dua kali lipat. Masih tingginya sikap tidak toleran publik terhadap komunisme mungkin dipicu oleh “pengalaman pahit” yang dialami ketika terjadi konflik antara kekuatan Komunis dan lawan-lawannya. Hal ini sesuai data yang menunjukkan kebencian terhadap komunis tersebut lebih kuat magnitude-nya di kategori usia 40-an tahun ke atas. Rezim Soeharto berjasa melanggengkan “trauma” itu melalui propaganda sistematis lewat film, cerita-cerita, dan yang lebih penting lewat buku-buku, pelajaran di sekolah yang mencitrakan komunisme sebagai kekuatan politik buruk dan berbahaya. Adapun tingkat intoleransi Muslim terhadap Kristen mungkin pengaruh pemahaman tertentu atas ajaran agama. Dalam khutbah-khutbah di mesjid misalnya tidak jarang sikap tidak toleran terhadap pemeluk Kristen ditunjukan dengan mengutip ayat al-Qur’an (Al-Baqarah 120): “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” Terhadap kelompok yang tidak disukai tersebut, riset kuantitatif LSI Maret 2010 menemukan 93,8% responden tidak setuju anggota kelompok sosialpolitik yang dibenci tadi berpidato di hadapan masyarakat di daerah ini, 95,6% tidak setuju kelompok tadi mengadakan pawai di daerahnya, 82,8% tidak setuju kelompok tadi menjadi pejabat pemerintah di negeri ini, 80,2% setuju anggota kelompok tadi diawasi secara khusus oleh polisi dan 72,9% setuju anggota kelompok tadi dilarang mengajar di sekolah umum. Tampak jelas proximity mempengaruhi jawaban. Semakin dekat dengan tempat tinggal warga, intoleransi mereka terhadap kelompok sosial-politik yang tidak mereka sukai, makin tinggi. Gambaran spesifik mengenai intoleransi ini juga terlihat dalam hubungannya dengan pemeluk non-Muslim. Umat Islam yang tidak keberatan non-Muslim menjadi guru di sekolah negeri hanya 55,5%, kalau non-Muslim mengadakan acara keagamaan/kebaktian di daerah sekitar tempat tinggal responden yang Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 12. 12 tidak keberatan hanya 36,2%, dan kalau membangun tempat peribadatan di sekitar sini yang tidak keberatan hanya 25,8%. Di samping itu, yang tidak keberatan kalau orang non-Muslim menjadi pejabat pemerintahan (47,8%) dan hanya separuh responden muslim yang tidak keberatan jika non-Muslim ikut dan aktif sebagai kelompok politik. Trust Secara teoretis dan empiris, kultur politik yang berpengaruh secara positif terhadap demokrasi adalah interpersonal trust atau saling percaya sesama warga (Inglehart, 1988). Dalam riset terakhir LSI, kami tidak mengecek perkembangan trust masyarakat Indonesia. Namun studi-studi empiris sebelumnya, misalnya yang dilakukan PPIM 2002, menunjukkan bahwa tingkat trust kita tidak begitu bagus. Hanya 29% yang menyatakan selalu atau sering percaya pada orang lain. Pada umumnya masyarakat menyatakan bahwa setiap orang harus hati-hati terhadap orang lain, jangan mudah percaya (86%). Proporsi ini sangat besar, dan menunjukan masih tipisnya kultur politik demokratis kalau dilihat dari sisi saling percaya sesama warga. Saling percaya sesama warga ini merupakan pondasi kultural bagi sikap percaya pada lembaga-lembaga publik. Dipercaya bahwa orang yang percaya pada orang lain cenderung pula percaya pada lembaga-lembaga publik, dan sebaliknya orang yang tidak percaya pada orang lain cenderung juga tidak percaya pada lembaga-lembaga publik (Inglehart, 2000), dan percaya pada lembaga publik merupakan aspek kultural penting untuk mendukung stabilnya demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari suatu masyarakat (Almond and Verba, 1963). Dalam hal ini, secara umum masyarakat Indonesia juga kurang percaya pada lembaga-lembaga publik. Lembaga publik di mana proporsi warga merasa percaya padanya paling baik ditemukan pada kepercayaan mereka pada pemimpin keagamaan dan kemudian organisasi kemasyarakatan keagamaan atau ormas keagamaan. Tingkat kepercayaan terhadap elit agama maupun ormas agama bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan partai politik, DPR, pengadilan, polisi dan jaksa. Adalah penting bagi lembaga-lembaga publik demokratis seperti partai politik, DPR, pengadilan, polisi dan jaksa untuk meningkatkan kinerja mereka agar bisa dipercaya masyarakat. Tapi tingkat kepercayaan publik terhadap tokoh agama dan lembaga keagamaan yang tinggi menunjukan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih terikat dengan keyakinan terhadap lembaga-lembaga tradisional (agama) dan terhadap lembaga yang selama ini mencerminkan sikap konservatif dibanding percaya terhadap institusi penegak hukum seperti polisi, jaksa dan pengadilan. Masyarakat juga cenderung kurang percaya pada lembaga-lembaga modern seperti partai dan DPR. Padahal trust terhadap lembaga-lembaga publik ini merupakan indikator tersendiri dari konsolidasi demokrasi (Norris, 1999). Pasifisme Demokrasi Demikianlah potret Islam pasca-Orde Baru. Kultur politik kita terlalu didominasi wajah aktif demokrasi, tapi miskin toleransi dan saling percaya. Indonesia pasca Soeharto ditandai oleh melonjaknya surplus percaya diri Makalah Diskusi | Januari 2011
  • 13. 13 masyarakat di satu sisi, dan melorotnya wibawa negara di sisi lain. Ini terlihat dari kurang berdayanya aparat dalam menegakkan hukum di tengah maraknya pelbagai bentuk aktivisme dan partisipasi politik non-konvensional sekelompok warga. Berbeda dengan partisipasi konvensional yang ditentukan waktu dan metode pelaksanaannya seperti ikut pemilu dan kampanye, partisipasi nonkonvensional bersifat timeless, merentang dari bentuk yang paling lunak seperti mengorganisir petisi, dialog, demonstrasi, hingga memboikot, memblokir lalulintas dan merusak sarana dan prasarana umum. Adalah benar, seperti dikatakan sarjana politik seperti Verba, Schozman dan Brady (1995) bahwa aktivisme dalam partisipasi politik adalah intinya demokrasi. Tapi, aktivisme saja tidak cukup menstabilkan demokrasi. Diperlukan adanya pasifisme demokrasi yang menyertai —apa yang disebut Almond dan Verba sebagai— ‘budaya politik partisipan.’ Kelompok-kelompok Islam perlu meningkatkan sikap pasif berdemokrasi seperti toleransi dan sikap percaya serta mengurangi kultur politik Islamis yang cenderung agresif, tidak sudi menenggang perbedaan dan sulit percaya kepada pihak lain. Kultur politik Islamis yang berkembang di Indonesia pasca Soeharto ditandai oleh miskinnya budaya toleran, baik yang bersifat toleransi internal umat Islam maupun eksternal. Kita menyaksikan rentetan peristiwa pengusiran jamaah Ahmadiyah dan perusakan aset-aset organisasi Ahmadiyah mulai dari Kuningan, Tasikmalaya hingga Lombok, yang dilakukan oleh kelompokkelompok Islamis. Kita juga menjadi saksi atas penghancuran masjid-masjid LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) atau lebih dikenal sebagai Islam Jamaah. Melorotnya tingkat toleraitu juga makin kentara dengan aksi-aksi sepihak mereka untuk membubarkan misa kebaktian, menutup gereja-gereja, dan semacamnya. Sebenarnya kita boleh-boleh saja ‘membenci’ kelompok lain, sepanjang ‘kebencian’ kita tidak menghalangi hak-hak kelompok tersebut. Kita boleh tidak suka terhadap para penjual makanan yang masih buka di bulan puasa. Tapi kita tidak boleh menghalangi hak-hak mereka untuk mencari nafkah. Kita boleh tidak setuju terhadap keyakinan jamaah Ahmadiyah, tapi hak mereka untuk hidup dan beribadah tidak boleh kita ganggu. Itulah toleransi. Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011. Makalah ini tidak disunting. Makalah ini milik Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun. Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org Makalah Diskusi | Januari 2011