2. Pengertian Asma
Asma adalah suatu penyakit inflamasi kronis
umum dari jalan nafas (airways) yang ditandai
dengan variabel dan gejala yang berulang seperti
obstruksi aliran udara reversibel, wheezing, tidak
bisa bernafas, rasa sesak di dada, bronkospasme
dan batuk-batuk terutama pada malam hari.
3. Epidemiologi Asma
Diperkirakan 300 juta orang di seluruh dunia diduga
mengidap penyakit asma. Kematian akibat asma di
dunia dipekirakan mencapai 250 000 orang/tahun.
Di Indonesia : prevalensi asma belum diketahui
secara pasti, namun diperkirakan 2–5 % penduduk
Indonesia menderita asma. Separuh dari semua kasus
asma berkembang sejak masa kanak-kanak,
sedangkan sepertiganya pada masa dewasa sebelum
umur 40 tahun.
4. Etiology Asma
Asma bisa disebabkan oleh banyak hal, diantaranya
:
1. Genetik
2. Lingkungan
3. Infeksi virus seperti rhinovirus
4. Alergan seperti : debu, bulu anjing dan kucing
5. Patofisiologi Asma
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator
kimiawi ke jalan napas dan mungkin pula adanya aktivitas
yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis.
Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme
melalui respon imun spesifik dan non spesifik oleh daya
degranulai sel mast bronkial.
6. Epidemiologi Asma
Diperkirakan 300 juta orang di seluruh dunia diduga
mengidap penyakit asma. Kematian akibat asma di
dunia dipekirakan mencapai 250 000 orang/tahun.
Di Indonesia : prevalensi asma belum diketahui
secara pasti, namun diperkirakan 2–5 % penduduk
Indonesia menderita asma. Separuh dari semua kasus
asma berkembang sejak masa kanak-kanak,
sedangkan sepertiganya pada masa dewasa sebelum
umur 40 tahun.
7. Pembagian Asma
1. Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
2. Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi
genetik yang berhubungan dengan IgE sel mast dan respon
eosinofil terhadap alergan.
8. DERAJAT ASMA GEJALA GEJALA MALAM FUNGSI PARU
INTERMITEN
Mingguan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala di luar serangan
Serangan singkat
Fungsi paru asimtomatik dan normal di luar
serangan.
< 2 kali sebulan VEP1 atau APE > 80%
PERSISTEN
RINGAN
Mingguan
Gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan
tidur.
> 2 kali
seminggu
VEP1 atau APE > 80%
normal
PERSISTEN
SEDANG
Harian
Gejala harian
Menggunakan obat setiap hari
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Serangan 2x/minggu, bisa berhari – hari
> sekali
seminggu
VEP1 atau APE > 60%
tetapi < 80% normal
PERSISTEN
BERAT
Kontinu
Gejala terus menerus
Aktivitas fisik terbatas
Sering serangan
Sering VEP1 atau APE < 80%
normal
9. Ditinjau Dari Gejala Klinis
Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-
kadang sesak, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan
faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu
melakukan aktivitas normal sehari-hari.
Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas
walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, sesak
nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari.
Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu
aktivitas sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan
atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang
mengancam jiwa yang dikenal dengan status asmatikus.
10. Manifestasi Klinis
1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma
timbul jika ada faktor pencetus.
2. Tingkat kedua : Penderita asma tidak mengeluh dan
pada pemeriksaan fisik tanpa kelainan tetapi fungsi
parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini
banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh
dari serangan asma
3. Tingkat ketiga : Penderita tidak ada keluhan tetapi
pada pemeriksaan fisik maupun maupun fungsi paru
menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas
11. 4. Tingkat keempat : penderita mengeluh
sesak nafas, batuk dan nafas
berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun
spirometri akan dijumpai tanda-tanda
obstruksi jalan napas.
5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus,
yaitu suatu keadaan darurat medik
berupa serangan akut asma yang berat,
bersifat refrakter terhadap pengobatan
yang biasa dipakai.
12. Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala
yang klasik seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan
asma dapat timbul berulang-ulang dengan masa remisi
diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan
pengobatan, tetapi kadang-kadang dapat pula menjadi kronik
sehingga keluhan berlangsung terus menerus.
13. 1. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan
nafas reversibel.
2. Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau
FVC sebanyak > 20% menunjukkan diagnosis asma.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis, tetapi juga penting untuk menilai
berat obstruksi dan efek pengobatan.
14. 3. Tes provokasi bronkial untuk menunjukkan
adanya hiperreaktifitas bronkus. Jika
pemeriksaan spirometri normal, untuk
menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus
harus dilakukan tes provokasi histamin,
metakolin, alergen, kegiatan jasmani,
hiperventilasi dengan udara dingin bahkan
inhalasi dengan aquadestilata. Penurunan
FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes
provokasi adalah bermakna.
15. 4. Pemeriksaan tes kulit
Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang
spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesa,
karena alergen yang menunjukkann tes kulit yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma; sebaliknya tes kulit yang
negatif tidak selalu berarti tidak ada faktor kerentanan kulit.
5. Pemerikasaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam
serum.Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan
hanya untuk menyokong adanya penyakit atopi.
16. 6. Pemerikasaan radiologi
Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita
asma adalah normal. Pemeriksaan tersebut
dilakukan bila ada kecurigaan proses patalogik
di paru atau komplikasi asma seperti
pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dll.
17. 7. Pemeriksaan eosinofi dalam darah
Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering
meningkat. Selain dapat dipakai sebagai patokan untuk
menentukan cukup tidaknya dosis kortkosteroid yang
diperlukan penderita asma, jumlah eosinofil total dalam
darah dapat membantu untuk membedakan asma dari
bronkitis kronik.
8. Pemeriksaan sputum: disamping untuk melihat adanya
eosinofil, kristal Charcot, spiral Churschmann.
18. Terapi dan Penatalaksanaan
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7
komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka
panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
19. Evaluasi Preoperatif
1. Anamnesa dan Riwayat Penyakit
2. Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik
4. Pemeriksaan Laboratorium
5. Penetapan Status ASA
20. Pengelolaan Preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita
dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah
menentukan reversibilitas kelainan.
Proses obstruksi yang reversible adalah
bronkospasme, sekresi terkumpul dan
proses inflamasi jalan napas.
21. Farmakoterapi
1. β-agonis: Inhalasi β-agonis memberikan bantuan
jangka pendek dari bronkospasme. Long-acting
inhalasi β-agonis juga dapat digunakan untuk
manajemen asma kronis, tetapi hanya bila diberikan
bersama dengan kortikosteroid inhalasi.
2. Kortikosteroid inhalasi adalah agen anti-inflamasi
yang kuat yang merupakan andalan terapi untuk
pasien dengan asma persisten
22. 3. Leukotrien diproduksi oleh sel-sel
inflamasi seperti basofil, eosinofil, dan
sel mast. Mediator inflamasi tersebut
menghasilkan edema bronkial,
merangsang sekresi saluran napas, dan
menyebabkan proliferasi otot polos
melalui mekanisme non-histamin.
23. 4. Cromones / Natrium kromolin dan nedokromil
natrium menstabilkan sel mast dan mengganggu fungsi
sel klorida.
5. Antikolinergik
Ipratropium bromida menghambat hiper-sekresi lendir
dan mengurangi bronkokonstriksi refleksif dengan
menargetkan reseptor napas muscarinic kolinergik. Obat
ini dapat diberikan baik melalui dosis meteran inhaler
(MDI) atau nebulizer
24. Premedikasi
1. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi
pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan
riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
2. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi
sebaiknya dipilih yang tidak mempunyai efek pelepasan
histamin misalnya fentanil, sufentanil
3. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian
dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan
ketamin sebagai agen induksi. Antikolinergik tidak efektif
untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan
intubasi.
25. 4. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen
pemblok H2 secara teori dapat mengganggu, karena
aktivasi reseptor H2 secara normal akan menyebabkan
bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin,
aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blokade H2
dapat menimbulkan bronkokonstriksi.
5. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain
1-1,5 mg/kgBB atau Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat
menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT. Pemberian
anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada
stadium dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat
yang refrakter.
26. Penanganan Anestesi Intraoperatif
Tujuan utama dalam anastesi pada pasien asma adalah untuk
menghindari terjadinya bronkospasme dan mengurangi respon
terhadap intubasi trakea.
Sangat penting bahwa pasien harus berada pada tingkat
anestesi yang dalam sebelum instrumenting jalan napas, seperti
intubasi trakea karena selama dalam tingkat anestesi cahaya
dapat memicu terjadinya bronkospasme.
27. Teknik anestesi regional harus dianggap saat
yang tepat, untuk menghindari instrumentasi
jalan napas.
Propofol merupakan agen induksi pilihan pada
hemodinamik pasien yang stabil karena
kemampuannya untuk melemahkan respon
bronchospastic intubasi baik pada penderita
asma dan penderita non-asma.
28. Penanganan Post Operatif
Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural
analgesia. NSAID harus dihindari karena dapat mencetus
terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus tetap diberikan.
Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian
bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca
pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator
atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan
MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.
29. PENUTUP
Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan
episode berulang penyempitan bronkus yang reversible,
biasanya diantara episode terdapat pernapasan yang lebih
normal.
Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting
dilakukan evaluasi pasien dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.
30. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis
perlu dilakukan pengobatan sampai tercapai kondisi
yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi
dimana gejala-gejala asma sudah minimal.
Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting
dilakukan terutama pada saat manipulasi jalan napas
Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu
dipertimbangkan untuk menghindari penggunaan
obat-obatan dan tindakan yang merangsang
terjadinya bronkospasme atau serangan asma.