1. MAKNA AMANAH DAN KEJUJURAN DALAM HUBUNGAN
ANTARA PERUSAHAAN DENGAN KARYAWAN
Oleh : M. Arif Hakim, M.Ag
Latar Belakang Masalah
Bisnis selalu memainkan peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan
sosial semua orang di sepanjang abad. Hal ini juga berlaku pada dunia kita sekarang
ini. Di seluruh dunia hampir tidak ada lagi kelompok-kelompok yang “berdikari”,
sehingga tidak membutuhkan produk atau jasa orang lain. Malah bisa dikatakan,
semakin maju suatu masyarakat, semakin besar pula ketergantungan satu sama lain di
bidang ekonomi. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat
modern. Sebagai bagian dan bidang dunia kini, umat Islam tidak terkecualikan dari
aturan ini. Karena merasakan perlu dan pentingnya bisnis, mereka juga terlibat dalam
bisnis. Agama mereka (Islam) bukan hanya mengizinkan mereka, tetapi juga
mendorong mereka untuk berbisnis. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang
pengusaha penuh untuk jangka waktu yang lama. Namun umat Islam kontemporer
mendapati dirinya berhadapan dengan dilema berat. Walaupun mereka terlibat aktif,
mereka tidak yakin apakah bisnis yang mereka jalani sahih atau tidak.
Tidak ada keraguan tentang kenyataan bahwa legalitas bisnis pasti diakui oleh
al-Qur’an. Al-Qur’an tidak lantas berhenti setelah memutuskan legalitasnya, tetapi
selanjutnya menyinggung sejumlah perintah dan larangan yang eksplisit dan implisit
berkenaan dengan transaksi bisnis. Juga dikemukakan lewat pernyataan-pernyataan
tegas tentang pentingnya penyebaran kekayaan dalam masyarakat. Perintah ini
sebagaimana perintah-perintah lainnya, harus dipertimbangkan.
Di samping penghargaan umum terhadap pekerjaan bisnis, al-Qur’an sering
membicarakan kejujuran dan keadilan dalam perdagangan.1 Al-Qur’an juga
mencontohkan Allah sebagai prototipe perbuatan baik. Oleh karena itu, umat Islam
harus berusaha untuk meniru-Nya dalam kehidupan mereka, termasuk tentunya,
perilaku mereka dalam bisnis. Sifat-sifat Allah dan prinsip-prinsip yang digariskan
oleh-Nya, seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an, haruslah berpengaruh dalam
pemikiran dan perilaku umat Islam, mencetak mereka menjadi bentuk etis yang
diinginkan. Pengetahuan akan sifat-sifat Allah dan ajaran-ajaran-Nya membentuk
awal yang vital untuk konsep bisnis unik yang diuraikan al-Qur’an.
1
Lihat Q. S. al-An’am: 152, al-Isra’: 35, dan ar-Rahman: 9.
2. Jika perusahan ingin mencatat sukses dalam bisnis, menurut Richard De
George, ia membutuhkan tiga hal pokok, yaitu produk yang baik, manajemen yang
mulus dan etika.2 Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta berguna
untuk masyarakat dan di samping itu dikelola dengan manjemen yang tepat di bidang
produksi, finansial, sumber daya manusia, dan lain-lain, tetapi ia tidak mempunyai
etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan baginya.
Perilaku bisnis yang disetujui dalam Islam dilandaskan pada dua prinsip
mendasar, yaitu kebebasan dan keadilan. Penekanan al-Qur’an pada keadilan secara
umum dan mempertahankan
keseimbangan yang sebenarnya secara khusus,
merupakan bukti dari perintah-perintahnya yang kuat dan sering diulang-ulang.
Kebebasan dalam urusan transaksi bisnis mempertimbangkan hak orang yang
memiliki harta, keabsahan perdagangan, dan adanya kesepakatan bersama. Tetapi,
kesepakatan bersama hanya akan ada jika terdapat kemauan, kejujuran dan dapat
dipercaya, berlawanan dengan paksaan, kecurangan dan kebohongan.3
Pendapat yang hampir senada juga dikemukakan oleh Abdullah A. Hanafi dan
Hamid Sallam. Mereka mengklasifikasikan prinsip-prinsip etis yang utama di dalam
melakukan bisnis yang Islami menjadi enam kelompok, yaitu kejujuran, kepercayaan,
ketulusan (hati), persaudaraan (ukhuwwah), ilmu (pengetahuan), dan keadilan.4
Sedangkan Amin Rais menyebutkan adanya tiga prinsip hubungan kerja dalam
Islam, pertama, keadilan; kedua, saling menguntungkan; dan ketiga, saling ridla, tidak
boleh ada paksaan.5
Dalam situasi kita sekarang di Indonesia mungkin tidak begitu sulit untuk ikut
mengakui mendesaknya etika dalam melakukan bisnis. Gelombang reformasi, yang
sejak sekitar tahun 1997 ternyata tidak terbendung lagi, dengan jelas dan dengan
tekanan besar menyoroti aspek-aspek etis dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Tidak bisa disangkal, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan
masalah nasional yang memiliki konotasi etika yang kental. Dan aspek-aspek etis ini
sebagian besar justru terkait dengan sektor ekonomi dan bisnis. Kita tidak boleh
2
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. I, h. 375.
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,
1999), cet.V, h. 174.
4
A. A. Hanafi & Hamid Sallam, Business Ethics: an Islamic Perspective, dalam F. R. Faridi
(Ed.), Islamic Principles of Business Organization and Management (New Delhi: Institute of Objective
Studies, 1995), cet. I, h. 9.
5
M. Amin Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998),
cet. III, h. 120.
3
3. menutup mata untuk menerima kenyataan bahwa di luar negeri sekarang Indonesia
dipandang sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia.
Paling tidak, terdapat lima macam borok yang berjangkit di dalam tubuh
negara dan bangsa kita berbarengan dengan krisis ekonomi yang sampai sekarang
belum kunjung berhenti. Pertama, di dalam bidang sosial, misalnya kesenjangan
sosial yang menimbulkan kerusuhan di mana-mana. Kedua, borok ekonomi yang
sekarang terkuak, berasal dari fundamen ekonomi yang dianggap sehat dan kuat
ternyata sangat keropos, bahkan tidak berfungsi dan tidak berarti. Ketiga, borok dalam
pelaksanaan Pemilu yang tidak begitu luber dan jelas tidak jurdil. Keempat, borok
yang lebih gawat yaitu borok kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan kita semakin
menumpul dan tidak lagi peka. Yang terakhir, borok yang sangat memprihatinkan
yaitu krisis kepercayaan.6
Munculnya banyak pengusaha nakal atau --meminjam istilah Amin Rais-konglomerat “hitam” pada era reformasi ini menunjukkan melemahnya --bahkan
menghilangnya — nilai-nilai etis dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat pada
umumnya dan dalam dunia bisnis pada khususnya. Mereka menjadikan jalur birokrasi
pemerintah
sebagai
fasilitator—bahkan
backing—untuk
melancarkan
dan
mensukseskan usaha mereka. Mereka tidak memperdulikan dan mempertimbangkan
nilai etis atau tidaknya, benar atau salahnya, dan halal atau haramnya. Yang paling
penting mereka memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan cara
apapun dan bagaimanapun.
Tidak kalah serunya, banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh para
buruh/karyawan, baik untuk menuntut pembayaran gaji yang lebih layak, menuntut
pemberian pesangon setelah mereka “dirumahkan”, atau sebagai solidaritas dan rasa
setia kawan atas nasib rekan-rekan mereka yang di-PHK, dan sebagainya.
Berbagai fenomena dan kenyataan yang terjadi pada era reformasi dan
sekaligus era multi krisis ini menunjukkan perlunya ditata kembali dan diperkuat
nilai-nilai etis dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Begitu juga dalam dunia bisnis. Hubungan antara perusahaan
dengan karyawan akan lebih indah dan harmonis bila nilai-nilai etis dan moralitas
(baca: amanah dan kejujuran/kesetiaan) menjadi pertimbangan penting di dalamnya.
Insya Allah “perseteruan” tidak akan terjadi lagi.
6
Ibid, h. 176-181.
4. Berdasarkan latar belakang masalah baik yang normatif maupun historissosiologis di atas, maka penulis akan mengkaji makna amanah/kepercayaan dan
kejujuran/kesetiaan dalam hubungan antara perusahaan dengan karyawan di dalam
makalah ini. Pada awalnya akan diuraikan secara normatif/doktrinal konsep amanah
dan kejujuran di dalam agama Islam dan dilanjutkan dengan penjelasan hubungan
antara perusahaan dengan karyawan dilihat dari segi kewajiban masing-masing.
Kemudian baru dianalisis makna amanah dan kejujuran dalam hubungan tersebut
untuk menemukan konsep baru yang mungkin bisa diterapkan di sana.
Penegasan Istilah dan Rumusan Masalah
Pada umumnya, dalam membahas hubungan antara perusahaan dengan
karyawan, korelasi kewajiban dan hak selalu ada. Kewajiban bagi satu pihak
merupakan hak bagi pihak yang lain. Kami memilih untuk membicarakan topik ini
dari segi kewajiban saja, tetapi perlu disadari bahwa segi hak sering berperan juga,
secara implisit maupun eksplisit.
Membahas secara umum kewajiban karyawan dan perusahaan mau tidak mau
akan menghadapi banyak kesulitan. Sebab, di antara karyawan terdapat banyak
variasi; ada posisi dan peran yang sangat beragam. Ada karyawan tingkat bawah,
tingkat menengah dan bahkan tingkat atas (direktur). Namun, yang kami maksud
karyawan di sini adalah manajer, dalam arti mereka yang memimpin karyawan lain,
misalnya kepala bagian. Alasannya, karena merekalah yang memikul tanggung jawab
dalam perusahaan.
Perusahaan juga banyak macamnya. Ada yang besar atau kecil, dalam
berbagai bidang yang digeluti. Kami menyebut “perusahaan” untuk semua
jenis/bidang usaha itu.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan penegasan istilah di atas,
maka pokok permasalahan yang akan dan ingin dibahas dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa kewajiban karyawan terhadap perusahaan dan begitu juga sebaliknya ?
2. Apa makna amanah dan kejujuran dalam hubungan antara perusahaan dengan
karyawan ?
Metode Penulisan
Tulisan dalam makalah ini bersifat literer (library research), sehingga
pengumpulan datanya lebih banyak dilakukan di perpustakaan. Kemudian data
5. tersebut
diolah
dengan
metode
deskriptif-analitis, 7
yaitu
dengan
berusaha
memaparkan data-data tentang suatu hal/masalah dengan analisa dan interpretasi yang
tepat untuk memberikan gambaran konsepsional mengenai peranan dimensi amanah
dan kejujuran dalam hubungan antara perusahaan dengan karyawan.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif-sosiologis,
dan teknik pengumpulan data yang tepat adalah teknik penelusuran naskah. Metode
deduktif dan induktif digunakan untuk menganalisis beberapa data yang diperoleh
pada tahap-tahap penelitian.
Amanah (Kepercayaan)
Menepati amanah merupakan moral yang mulia. Allah menggambarkan orang
Mukmin yang beruntung dengan firman-Nya : “Dan orang-orang yang memelihara
amanah-amanah (yang dipikulnya dan janjinya)”.8
Dalam hadits, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tiga golongan yang termasuk
munafik meskipun mereka berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika berbicara
berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika diamanatkan ia berkhianat”. Dan
Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat dan tak merestui tipu dayanya.
Maksud amanah adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak
mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik
berupa harga atau upah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”.9
Amanah bertambah penting pada saat seseorang membentuk serikat dagang,
melakukan bagi hasil (mudharabah), atau wakalah (menitipkan barang untuk
menjalankan proyek yang telah disepakati bersama). Dalam hal ini, pihak yang lain
percaya dan memegang janji demi kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak
menjalankannya hanya demi kemaslahatan pihaknya, maka ia telah berkhianat.
Di dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: “ Aku adalah yang ketiga dari dua
orang yang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati temannya.
Apabila salah satu dari keduanya berkhianat, Aku keluar dari mereka”.
Kejujuran (Kesetiaan)
7
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metoda dan Teknik (Bandung:
Tarsito, 1990), h. 139.
8
Q. S. al-Mukmin: 8.
9
Q. S. an-Nisa’: 58.
6. Nabi Muhammad SAW menjadikan kejujuran sebagai hakikat agama. Beliau
pernah menyatakan bahwa agama itu kesetiaan terhadap Allah, Rasul, Kitab,
pemimpin-pemimpin muslimin dan rakyat.10
Lawan sifat jujur adalah menipu (curang), yaitu menonjolkan keunggulan
barang tetapi menyembunyikan cacatnya. Masyarakat umum sering tertipu oleh
perlakuan para pedagang seperti ini. Mereka mengira suatu barang itu baik
kualitasnya, namun ternyata sebaliknya. Sifat menipu ini sangat dikecam oleh Nabi.
Beliau berkata, “Barang siapa menipu (curang), bukanlah dari golongan kami”.
Perkataan “bukan dari golongan kami” menunjukkan bahwa menipu (curang)
adalah dosa besar. Jika ia termasuk dosa kecil, ia bisa dihapuskan dengan shalat lima
waktu. Hadits ini mencakup seluruh sifat curang, seperti curang dalam sewamenyewa, dalam menjalin kerja sama, dan dalam berdagang.
Salah satu sikap curang adalah “melipatgandakan harga” terhadap orang yang
tidak mengetahui harga pasaran. Pedagang mengelabui pembeli dengan menetapkan harga di
atas harga pasaran. Sebaliknya, kalau membeli, ia berusaha mendapatkan harga di bawah
standar. Tindak penipuan ini bisa juga dilakukan oleh orang yang menjalankan usaha sewa-
menyewa barang, berdagang mata uang, atau bekerja dengan sistem bagi hasil. Pihak
yang tidak mengetahui dikelabui karena kebodohannya.
Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan
Setidaknya terdapat tiga kewajiban karyawan terhadap perusahaan yang sering
menimbulkan masalah khusus, yaitu :
1. Kewajiban ketaatan11
Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, justru karena ia bekerja
di situ. Bagi orang yang mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan, maka
salah satu implikasi dari statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus
mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Namun demikian, hal itu
tidak bararti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang diberikan
oleh atasannya. Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak perlu
mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak
bermoral. Kedua, karyawan tidak wajib juga mematuhi peraturan atasannya
yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Ketiga,
10
HR. Muslim dari Tamim ad-Darani.
K. Bertens, Pengantar Etika…, h. 169-170 dan Richard T. De George, Business Ethics
(Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1995), edisi IV, h. 415-419.
11
7. karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan
perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, ketika ia
menjadi karyawan di perusahaan itu.
2. Kewajiban konfidensialitas12
Adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial—
dan karena itu rahasia—yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu
profesi. Banyak profesi mempunyai suatu kewajiban konfidensialitas,
khususnya profesi yang bertujuan membantu sesama manusia.
Dalam konteks perusahaan konfidensialitas juga bisa memegang peranan
penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia
mempunyai akses kepada informasi rahasia. Pengetahuan rahasia itu diperoleh
oleh seseorang justru karena dia karyawan. Seandainya ia tidak bekerja di situ,
ia tentu tidak mengetahui informasi itu. Konsekuensinya, ia sebagai karyawan
harus menjaga kerahasiaan. Perlu dicatat lagi, kewajiban konfidensialitas tidak
saja berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan, tetapi berlangsung terus
setelah ia pindah kerja.
Adapun alasan etis yang mendasari kewajiban itu adalah bahwa perusahaan
menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka informasi rahasia sama
dengan mencuri. Alasan lain yang berhubungan dengan alasan pertama adalah bahwa
membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas. Kewajiban
konfidensialitas terutama penting dalam sistem ekonomi pasar bebas, di mana
kompetisi merupakan unsur hakiki.
3. Kewajiban loyalitas13
Kewajiban ini pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai
karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan
harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia
melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena
itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya.
Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik
kepentingan (conflict of interest), artinya konflik antara kepentingan pribadi
karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh menjalankan
kegiatan pribadi yang bersaing dengan kepentingan perusahaan. Berdasarkan
12
13
Ibid., h. 171-173.
Ibid., h. 173-175 dan De George, Business…, h. 415-419.
8. kontrak kerja atau setidak-tidaknya karena persetujuan implisit (kalau tidak
ada kontrak resmi), karyawan wajib melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
demi kepentingan perusahaan. Karena itu ia tidak boleh melibatkan diri dalam
kegiata lain yang terbentur dengan kewajiban itu.
Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan
Makalah ini membatasi diri pada beberapa kewajiban penting yang meminta
perhatian khusus dan penanganan serius. Kewajiban perusahaan biasanya sepadan
dengan hak karyawan. Di antaranya adalah :
1. Perusahaan tidak boleh mempraktekkan diskriminasi14
Diskriminasi adalah masalah etis yang baru tampak dengan jelas dalam paro
kedua abad ke-20. Seperti berlaku untuk banyak hal lain di zaman kita, tempat
asal permasalahan ini adalah Amerika Serikat. Hampir setiap negara
mempunyai salah satu masalah diskriminasi, berhubung dengan situasinya
yang khas. Diskriminasi baru terhapus betul bila dalam suatu negara semua
warganya mempunyai hak yang sama dan diperlakukan dengan cara yang
sama pula.
Diskriminasi bisa berlangsung dalam semua sektor masyarakat, termasuk dunia
bisnis. Dalam konteks perusahaan, membedakan antara pelbagai karyawan karena
alasan yang tidak relevan yang berakar dalam prasangka termasuk diskriminasi.
Hal itu bisa terjadi dalam menyeleksi karyawan baru, dalam menyediakan
kesempatan promosi, dalam penggajian, dan sebagainya. Biasanya latar
belakang terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme, sektarianisme,
atau seksisme.
Argumen etisnya adalah, pertama, bahwa diskriminasi merugikan perusahaan
itu sendiri terutama dalam rangka pasar bebas. Kedua, diskriminasi
melecehkan martabat dari orang yang didiskriminasi. Ketiga, praktek
diskriminasi bertentangan dengan keadilan, khususnya keadilan distributif atau
keadilan membagi. Keadilan distributif menuntut bahwa kita memperlakukan
semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk
memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda.
2. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja15
14
Ibid., h. 185-189. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang praktek diskriminasi lihat De
George, Business…, h. 423-429.
9. Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Sedangkan
kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat.
Hampir semua negara modern mempunyai peraturan hukum guna melindungi
keselamatan kerja dan kesehatan kaum pekerja. Yang pasti, belum tentu sama
dan belum tentu memuaskan.
Sedangkan landasaan etisnya adalah, pertama, bahwa kesehatan dan
keselamatan kerja terdapat dalam hak si pekerja. Kalau hak ini belum
meyakinkan, kita bisa menunjuk lagi kepada hak setiap manusia untuk tidak
dirugikan dan akhirnya kepada hak untuk hidup (the right of survival). Kedua,
bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan
tidak pernah sebagai sarana belaka. Jika keselamatan dan kesehatan kerja di
bahayakan, maka itu berarti perusahaan memperbudak para pekerja. Ketiga,
bahwa tempat kerja yang aman dan sehat paling menguntungkan bagi
masyarakat sendiri, khususnya bagi ekonomi negara. Atau dengan kata lain,
kewajiban etis ini sejalan dengan cost benefit analysis.
3. Kewajiban memberi gaji yang adil16
Gaji atau upah tidak merupakan satu-satunya motif untuk bekerja. Salah satu
motif yang penting adalah untuk mengembangkan diri. Dalam hal ini gaji atau
upah berkaitan erat dengan kepuasan kerja.
Gaji atau upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan keadilan,
khususnya keadilan distributif. Konsepsi liberalistis berpendapat bahwa upah
atau gaji dapat dianggap adil bila merupakan imbalan untuk prestasi.
Sedangkan pandangan sosialistis menekankan bahwa gaji atau upah baru adil
bila sesuai dengan kebutuhan si pekerja beserta keluarga. Di kebanyakan
negara modern, dilema antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang tidak
dirasakan lagi. Ada semacam pengakuan bahwa prestasi maupun kebutuhan
keluarga harus berperan dalam menentukan gaji yang adil.
Menurut Thomas Garrett dan Richard Klonoski, ada enam kriteria yang pantas
dipertimbangkan supaya gaji atau upah dianggap adil atau fair,17 yaitu :
a. Peraturan hukum;
b. Upah yang lazim dalam sektor industri atau daerah tertentu;
15
Ibid., h. 193-196. Bahkan De George membahas kualitas dari kehidupan pekerjaan mulai
dari keadaan karyawan, pengorganisasian pekerjaan, hubungan karyawan dan sikap karyawan. Lihat
De George, Business…, h. 410-414.
16
Ibid., h. 202-206 dan De George, Business…, h. 370-375.
17
Ibid., h. 206-210.
10. c. Kemampuan perusahaan;
d. Sifat khusus pekerjaan tertentu;
e. Perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan;
f. Perundingan upah/gaji yang fair;
4. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena18
Dalam lingkungan perusahaan, pemberhentian karyawan sering tidak bisa
dihindarkan. Pada awal industrialisasi, memberhentikan pekerja begitu saja
dianggap hal yang lumrah. Dalam perkembangannya, kini semua negara
modern mempunyai peraturan hukum yang bertujuan melindungi karyawan,
juga dalam situasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu peraturan
penting adalah kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon.
Terutama ada tiga alasan mengapa perusahaan akan memberhentikan
karyawan: alasan internal perusahaan (restrukturisasi, otomatisasi, merger
dengan perusahaan lain), alasan eksternal (konyungtur, resesi ekonomi), dan
kesalahan karyawan.
Menurut
Garrett
dan
Klonoski,19
kewajiban
perusahaan
dalam
memberhentikan karyawan dapat dijabarkan ke dalam tiga butir berikut ini:
a. Perusahaan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat;
b. Perusahan harus berpegang pada prosedur yang semestinya;
c. Perusahaan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai
seminimal mungkin.
Tawaran Konsep
Bisnis sebagai suatu fenomena sosial yang begitu hakiki tidak bisa dilepaskan
dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk
juga aturan-aturan moral. Namun demikian, kadang-kadang kehadiran etika dalam
bidang bisnis masih diragukan. Dalam masyarakat sering kali beredar anggapan
bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan etika atau moralitas. Pelaku bisnis
hanya menjalankan pekerjaan atau tugasnya sebagaimana matahari yang hanya
berfungsi memancarkan cahaya serta panas saja.
18
19
Ibid., h. 211.
Ibid., h. 211-214.
11. Menurut De George,20 itu semua hanyalah mitos atau cerita dongeng saja. Ia
menemukan tiga gejala dalam masyarakat yang menunjukkan sirnanya mitos
tersebut, yaitu :
1.
Media massa sering memuat liputan luas tentang skandal-skandal dalam bidang
bisnis; bisnis ternyata disoroti tajam oleh masyarakat; sehingga masyarakat
tidak ragu-ragu langsung mengaitkan bisnis dengan moralitas;
2.
Bisnis diamati dan dikritik oleh semakin banyak LSM, terutama LSM
konsumen dan LSM pecinta lingkungan hidup dan apa yang disimak adalah
yang berkonotasi etika;
3.
Bahwa bisnis itu sendiri mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya;
Oleh karena itu, bisnis harus berlaku etis. Keharusan ini bisa ditinjau dari segi
agama (teologis), segi filsafat modern, maupun filsafat Yunani kuno sekalipun.21
Menurut agama, sesudah kehidupan jasmani ini manusia hidup terus dalam
dunia baka, di mana Tuhan sebagai Hakim akan mempertimbangkan dan menghukum
kebaikan dan kejahatan manusia. Pandangan ini didasarkan atas iman/kepercayaan.
Meskipun tentu sangat diharapkan setiap pelaku bisnis akan dibimbing oleh
iman/kepercayaannya, menjadi tugas agama mengajak para pemeluknya untuk tetap
berpegang pada motivasi moral.
Fisafat modern memandang perilaku manusia dalam perspektif sosial. Setiap
kegiatan yang
kita lakukan bersama-sama dalam masyarakat, menuntut adanya
norma-norma dan nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Hidup dalam masyarakat berarti
mengikat diri untuk berpegang pada norma-norma dan nilai-nilai tersebut. Kalau
tidak, hidup bersama dalam masyarakat menjadi kacau tak karuan. Hal ini semacam
“kontrak sosial” dan berlaku juga dalam bidang bisnis.
Menurut Plato and Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik, justru
karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya yang baik adalah
baik karena dirinya sendiri. Malah yang baik adalah satu-satunya hal yang kita kejar
karena dirinya sendiri. Pikiran ini juga bisa diterapkan pada situasi bisnis. Pelaku
bisnis harus melakukan yang baik karena hal itu baik (harus mempunyai integritas
moral yang tinggi).
Jadi, sekarang sudah tertanam keinsafan bahwa bisnis harus berlaku etis demi
kepentingan bisnis itu sendiri. Terdengar semboyan baru seperti Ethics pay (etika
20
21
Ibid., h. 377.
Ibid., h. 378-380.
12. membawa untung), Good business is ethical business, dan sebagainya. Bahkan telah
diusahakan untuk menunjukkan secara empiris bahwa perusahaan yang mempunyai
standar etis tinggi tergolong juga perusahaan yang sukses. Kendati tidak ada jaminan
mutlak, pada umumnya perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai
sukses juga. Good ethics, good business. Keyakinan ini sekarang terbentuk cukup
umum.
Jika
dalam
kegiatan
bisnis
secara
umum
harus
menerapkan
dan
mempertimbangkan nilai-nilai etis/moralitas di dalamnya, maka dalam kegiatan bisnis
yang lebih khusus/kecil juga demikian. Misalnya dalam hubungan antara perusahaan
dengan karyawan. Di dalam hubungan yang menelorkan kewajiban dan hak itu, kedua
pihak harus menerapkan dimensi etis/moral (baca: amanah dan kejujuran/kesetiaan).22
Karena, sebelumnya, amanah dalam kegiatan ekonomi belum banyak dibicarakan,
apalagi diamalkan. Menurut petunjuk agama, amanah harus ditunaikan atau lebih
terjamin pencapaian tujuannya dengan keahlian, terutama keahlian administrasi.
Dengan perkataan lain, amanah akan bisa disampaikan lebih efektif dengan
menerapkan prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi manajemen. Atau amanah merupakan
nilai yang paling sesuai untuk diaplikasikan dalam kaitannya dengan pembentukan
manajemen yang baik.23
Kejujuran ternyata merupakan landasan yang kokoh setiap usaha; kejujuran
terhadap diri sendiri, kepada teman kerja, baik dengan relasi bisnis maupun terhadap
karyawannya sendiri. Kejujuran dalam kewirausahaan adalah prinsip yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi, karena dari kejujuran, keteladanan (kewiraan) usaha pertama
kalinya diwujudkan. Dan kerja sama usaha (perusahaan) akan berumur panjang bila
ada kejujuran dari semua pihak. Tanpa adanya kejujuran itu, kerja sama usaha
menjadi sangat rapuh.24
Berdasarkan nilai amanah dan kejujuran, perusahaan tidak akan melakukan
kebohongan publik –misalnya tentang penyeleksian karyawan, audit keuangan, dan
lain-lain--, melakukan persaingan dengan perusahaan lain secara sehat/fair dan akan
22
Bagi perusahaan, sikap tidak amanah (khianat) akan menimbulkan kerugian dan inefisiensi,
timbul konflik dengan mitra usaha, dan hilang kepercayaan dari konsumen. Jika hal itu terus
berlangsung, bukan tidak mungkin perusahaan tersebut akan mengalami kebrangkutan. Lihat M. Ismail
Yusanto & M. Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
cet. I, h. 105-113.
23
M. Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1990), cet. I, h. 125 & 164.
24
Musa Asy’arie, Islam: Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat (Yogyakarta: LESFI
& IL, 1997), cet. I, h. 94.
13. lebih memperhatikan kesejahteraan karyawan, misalnya pemberian gaji yang lebih
layak minimal sesuai dengan UMR, pemenuhan memberi pesangon, dan sebagainya.
Di samping itu, perusahaan akan lebih transparan sehingga menghindari tindakan
diskriminatif ketika menerima dan “merumahkan” karyawan, meningkatkan
kesehatan karyawan –bahkan keluarganya-- dan tempat kerja
serta menjamin
keselamatan karyawan minimal saat bekerja dengan jaminan sosial/asuransi.
Dengan semangat
amanah
dan kejujuran,
para karyawan berusaha
memaksimalkan pekerjaannya dan bahkan tetap bekerja meskipun tanpa adanya
pengawasan dari majikan/mandor karena mereka meyakini pekerjaan/perintah yang
diberikan atasannya sebagai amanah yang harus dilaksanakan. Mereka yang diberi
tugas untuk mengurusi masalah keuangan perusahaan (akuntan, bendahara, dan lainlain) juga akan menjauhi tindakan korupsi atau mark up dana operasional perusahaan.
Para karyawan tidak merasa khawatir tentang kesejahteraan diri dan keluarganya,
merasa lebih terjamin hidupnya, lebih optimis menatap masa depan serta tidak takut
bila “dirumahkan” secara arogan dan otoriter sehingga demonstrasi/aksi yang
dilakukan oleh para buruh/karyawan bisa diminimalisir (Untuk lebih jelasnya lihat
tawaran konsep hubungan antara perusahaan dengan karyawan dalam halaman
lampiran).
Walhasil, dengan memasukkan dan mempertimbangkan nilai amanah dan
kejujuran dalam hubungan antara perusahaan dengan karyawan maka tidak akan ada
lagi saling tuduh (su’u al-dzan), saling curiga, saling membohongi dan saling
mengancam dalam hubungan mereka. Bahkan hubungan di antara mereka akan lebih
komunikatif, langgeng, harmonis dan indah sebagaimana hubungan antara dua anak
Adam lain jenis dalam ikatan percintaan. Wa Allah A’lam bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa, Islam: Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat (Yogyakarta:
LESFI & IL, 1997), cet. I.
Basri, Cik Hasan, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi
Bidang Agama Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998).
Bertens, Kees, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. I.
14. De George, Richard T., Business Ethics (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
Hall, 1995), edisi IV.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ( t. t. p. : Serajaya Santra, 1986).
Faridi, F. R. (Ed.), Islamic Principles of Business Organization and Management
(New Delhi: Institute of Objective Studies, 1995), cet. I.
Rahardjo, M. Dawam, Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1990), cet. I.
Rais, M. Amin, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung:
Mizan, 1998), cet. III.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:
Mizan, 1999), cet. V.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metoda dan Teknik
(Bandung: Tarsito, 1990).
Yusanto, M. Ismail & Widjajakusuma, M. Karebet, Mengggagas Bisnis Islami
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. I.
MAKNA AMANAH DAN KEJUJURAN DALAM HUBUNGAN
ANTARA PERUSAHAAN DENGAN KARYAWAN
15. Disusun Oleh :
M. Arif Hakim, M.Ag
NIP. 150 369 035
Sekolah tinggi agama islam negeri (STAIN)
KUDUS
2006
Lampiran
HUBUNGAN ANTARA
PERUSAHAAN DENGAN KARYAWAN
ETIKA/MORAL:
* AMANAH
* KEJUJURAN
16. * KEADILAN
* UKHUWWAH
* DLL
PERUSAHAAN
KEWAJIBAN
&
HAK
KARYAWAN
UU/PERATURAN HUKUM:
* UU PERBURUHAN/
TENAGA KERJA
* AD/ART PERUSAHAAN
* KODE ETIK PERUSAHAAN
* DLL
LEMBARAN REVISI
1. Penegasan Istilah (h. 4)
Sebenarnya, semua orang yang terlibat dalam suatu perusahaan termasuk
karyawan, baik itu karyawan tingkat bawah (pekerja kasar), karyawan tingkat
menengah, manajer (kepala bagian) bahkan direktur utama sekalipun. Tetapi, perlu
ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud karyawan dalam makalah ini adalah manajer
(kepala bagian).
17. 2. Metode Penulisan (h. 5)
Metode analisa isi (content analysis) dalam makalah ini kurang tepat, sehingga
tidak perlu digunakan karena pendekatan yang dipakai adalah normatif-sosiologis.
3. Pembahasan
a. Kewajiban karyawan terhadap perusahaan dan kewajiban perusahaan
terhadap karyawan (h. 6-10).
Dalam perbaikan makalah ini, kewajiban karyawan terhadap perusahaan dan
begitu juga kewajiban perusahaan terhadap karyawan telah ditambah
referensi/rujukannya dari karyanya Richard T. De George yang diberi judul Business
Ethics. Sehingga klaim hanya memakai sebuah referensi/rujukan tidak bisa
dibenarkan lagi.
b. Standar upah/gaji karyawan (h. 9-10).
Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pendapatnya Thomass Garrett dan
Richard Klonoski tentang 6 kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
upah/gaji karyawan. Standar upah/gaji pada satu tempat dengan tempat yang lain
mungkin saja berbeda sesuai dengan standar hidup masyarakat masing-masing
tempat. Di samping itu, besar-kecilnya suatu perusahaan juga mempengaruhi
kemampuannya dalam memberikan upah/gaji. Sehingga UMR yang telah dipatok oleh
pemerintah harus bersifat fleksibel, tidak kaku, dan lingkupnya lokal.
c. Dimensi amanah dalam manajemen (h. 12).
Dimensi amanah bisa dan harus masuk dalam semua bidang manajemen, baik
manajemen personalia, keuangan, sumber daya manusia (SDM), pemasaran, dan
sebagainya.
18. d. Makna amanah dalam bisnis/hubungan antara perusahaan dengan
karyawan (h. 11-13).
Untuk lebih memperjelas dan mempertegas makna amanah dalam hubungan
antara perusahaan dengan karyawan, penulis telah menambahkan referensi/rujukan
dari karyanya M. Ismail Yusanto & M. Karebet Widjajakusuma yang berjudul
Menggagas Bisnis Islami. Sikap amanah akan memberikan dampak positif bagi diri
pelaku, perusahaan, masyarakat, bahkan negara. Bagi perusahaan, sikap tidak amanah
(khianat) akan menimbulkan kerugian dan inefisiensi, timbul konflik dengan mitra
usaha, dan hilang kepercayaan dari konsumen. Kalau hal ini terus berlangsung, bukan
tidak mungkin, perusahaan tersebut berakhir bangkrut.
4. Daftar Pustaka (h. 14).
Dalam perbaikannya, penulis tambahkan dua buah referensi/rujukan untuk
menyempurnakan makalah ini, yaitu :
a. De George, Richard T., Business Ethics (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
Hall, 1995), edisi IV.
b. Yusanto, M. Ismail & Widjajakusuma, M. Karebet, Mengggagas Bisnis Islami
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. I.