Dokumen ini membahas tentang analisis ketahanan pangan di Kota Tangerang dengan meninjau berbagai aspek seperti ketersediaan, aksesibilitas, stabilitas, dan pemanfaatan pangan. Dokumen ini menganalisis tantangan-tantangan ketahanan pangan di Kota Tangerang dan strategi-strategi peningkatan ketahanan pangan yang telah dilakukan pemerintah kota.
1. i
ANALISIS KETAHANAN PANGAN DI KOTA TANGERANG
( STUDI KASUS PADA BERBAGAI ASPEK KETAHANAN PANGAN )
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD DESAR EKA SYAPUTRA; 3334200010
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
CILEGON
2020
2. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Metode ..................................................................................................7
1.3 Manfaat .................................................................................................7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Ketahanan Pangan...............................................................8
2.2 Kebijakan Pangan Nasional ..................................................................8
2.3 Sistem Ketahanan Pangan.....................................................................9
2.4 Ketersediaan dan Distribusi Pangan .....................................................9
2.5 Stabilitas Ketersediaan Pangan.............................................................10
2.6 Aksebilitas atau Keterjangkauan Terhadap Pangan..............................11
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Kota Tangerang.......................................................12
3.2 Evaluasi RPJMD Kota Tangerang 2008-2013......................................13
3.3 Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan...............................................21
BAB 4. KESIMPULAN ........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
3. 1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejumlah lembaga secara berkala melakukan perhitungan indeks
ketahanan pangan negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Pada tahun
2015 , The Economist Intelligence Unit (EIU) mempublikasikan Global
Food Security Index yang mengukur kondisi ketahanan pangan
berdasarkan aspek ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan keamanan
pangan. Global Food Security Index menempatkan kondisi ketahanan
pangan Indonesia pada peringkat ke-74 dari 109 negara di dunia.
Menurut undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan
menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif,
dan produktif secara berkelanjutan.
Menurut definisi di atas, dijelaskan bahwa ketahanan pangan
dibangun di atas empat pilar. Keempat pilar tersebut adalah (1)
ketersediaan yaitu tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun
mutunya; (2) akses yaitu terjangkaunya pangan atau memiliki sumber
daya untuk mendapatkan pangan; (3) pemanfaatan yaitu penggunaan yang
tepat berdasarkan pengetahuan gizi dasar serta (4) stabilitas dari
ketersediaan, akses dan pemanfaatan.
Peran pemerintah daerah dalam bidang pangan tercantum pada
undang-undang No 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dan
peraturan pemerintah No.17 Tahun 2015 tentang ketahanan pangan dan
gizi. Urusan pemerintah wajib diantaranya meliputi pangan tertulis pada
pasal 12 tahun 2015 tentang ketahanan pangan dan gizi mengatur peran
serta pemerintah daerah terkait cadangan pangan pemerintah daerah,
penganekaragaman pangan, kesiapsiagaan krisis pangan dan
penanggulangan krisis pangan, distribusi pangan, dan bantan pangan,
pengawasan , sistem informasi pangan dan gizi, dan peran serta
masyarakat.
4. Kota Tangerang adalah kota yang terletak di Tatar Pasundan
Provinsi Banten. Kota ini terletak tepat di sebelah barat ibu kota negara
Indonesia, Jakarta. Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten
serta ketiga terbesar di kawasan Jabodetabek setelah Jakarta dan Bekasi di
provinsi Jawa Barat dan dilalui oleh Jalan Nasional Rute 1. Pemerintah
kota tangerang sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan
pemerintah bertanggugjawab dalam mewujudkan ketahanan pangan
diwilayahnya.
Kondisi ketahanan pangan di Kota Tangerang hingga saat ini
masih menemui berbagai tantangan yang harus diatasi. Tantangan tersebut
terjadi dihampir seluruh pilar ketahanan pangan.
Tantangan dalam hal ketersediaan pangan terkait penyediaan
pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya berhubungan dengan
antara lain jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sumberdaya
pertanian di kota Tangerang. Jumlah penduduk kota tangerang pada tahun
2010 sebesar 1,799 juta sedangkan jumlah penduduk provinsi banten
sebesar 11,83 juta.
Ditinjau dari laju pertumbuhan penduduk, maka setiap tahun
jumlah penduduk Kota Tangerang selalu mengalami peningkatan dengan
laju pertumbuhan rata-rata sebesar 3.5% per tahun. Sedangkan Laju
pertumbuhan penduduk Banten per tahun selama sepuluh tahun terakhir
yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 2,80 persen. Maka laju pertumbuhan
penduduk di kota tangerang lebih tinggi daripada provinsi Banten itu
sendiri.
Kota Tangerang memiliki luas wilayah sebesar 15.390 ha . namun,
lahan yang diperuntukan untuk pertanian berupa sawa, ladang, dan kebun
di kota Tangerang hanya mencapai 93 ha. Oleh karena itu, produksi
pangan dari dalam wilayah Kota Tangerang terbatas dan tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Tantangan dalam hal akses terhadap pangan berkaitan dengan
kemampuan penduduk untuk mendapatkan pangan. Keterbatasan terhadap
akses pangan berhubungan antara lain dengan kemiskinan. Hal ini karena
penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki akses atau sumberdaya
terhadap pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya. Olaeh karena
5. 3
itu, masyarakat miskin sering dikategorikan sebagai penduduk rawan
pangan.
Menurut publikasi BPS persentase penduduk miskin kota
tangerang sebesar 0,64 persen. Persentase tersebut memang tidak sebesar
persentase kemiskinan yang terjadi di provinsi banten sebesar 5,25 persen.
Namun, kemiskinan masih terjadi di Kota Tangerang dan menjadi
tantangan tersendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan wilayah.
Ketidakseimbangan gizi pada masyarakat merupakan tantangan
yang terjadi di Kota tangerang dalam hal pemanfaatan pangan berkaitan
dengan penggunaan pangan yang tepat berdasarkan pengetahuan gizi
dasar penduduk. Menurut Thaha et al. (2012), pemahaman masyrakat
terhadap pentingnya gizi bagi kesehatan, kecerdasan, dan kemampuan
kerja (produktivitas) belum merata dan masih rendah. Hal ini berpengaruh
terhadap status gizi masyarakat baik kekurangan maupun kelebihan gizi.
Kementrian kesehatan (kemenkes) pada tahun 2015 Dalam rangka
mengetahui status gizi balita di Kota Tangerang tahun 2015, maka pada
bulan Februari dilaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) di 1.075
posyandu seluruh kota Tangerang. Pada tahun 2015, hasil yang didapat
dari pemantauan berdasarkan Berat Badan menurut Umur (BB/U) balita
Gizi Buruk sebanyak 636 anak (0,7%), Status Gizi Kurang sebanyak
5.955 anak (6,58%), Status Gizi Baik sebanyak 80.362 anak (88,77%),
dan Status Gizi lebih sebanyak 3.580 anak (3,95 %). Dari 636 anak gizi
buruk BB/U, ditemukan bahwa terdapat 180 anak berstatus gizi buruk
berdasarkan berat badan menurut tinggi badannya (BB/TB). Untuk lebih
jelasnya mengenai perkembangan status gizi balita di Kota Tangerang
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini.
6. Tabel 1.1 Status Gizi di Kota Tangerang Tahun 2011-2015
Pada tahun 2015 balita gizi buruk banyak ditemukan di Kecamatan
Karawaci yaitu sebanyak 92 balita atau 1,04% dari seluruh balita yang
ditimbang. Berikut adalah sebaran status gizi balita di 13 kecamatan se-
Kota Tangerang tahun 2015.
7. 5
Tabel 1.2 Sebaran Status Gizi Menurut Kecamatan di Kota Tangerang tahun
2015
Sejumlah faktor mempengaruhi pola konsumsi pangan penduduk
perkotaan antara lain yaitu pendapat punduduk yang relatif tinggi,
perubahan nilai dan norma sosial serta keragaman budaya (ruel et al.
1998. Dixon et al.(2007) lebih lanjut mengemukakan bahwa pola
konsumsi pangan di wilayah perkotaan mulai mengalami peningkatan
dalam hal ragam makanan serta menuju pola konsumsi pangan gaya barat
yang tinggi kadar lemak dan karbohidrat.
Berdasarkan data kemenkes (2013), konsumsi makanan
berlemak dan makanan manis di wilayah perkotaan lebih besar dariapda di
wilayah perdesaan. Konsumsi makanan berlemak lebih dari 1 kali per hari
di kota sebesar 43,4 % dan di desa sebesar 37.8 %. Sementara konsumsi
makanan manis lebih dari 1 kali per hari di kota sebesar 55.5% dan di desa
37.8%
Pemerintah Kota Tangerang mendukung ketahanan pangan
telah melaksanakan program antara lain peningkatan ketahanan pangan
pertanian/perkebunan dan kegiatan antara lain yaitu peningkatan mutu dan
keamanan pangan, penyuluhan sumber pangan alternatif, analisis dan
penyusunan pola konsumsi dan suplai pangan, pemanfaatan pekarangan
untuk ketahanan pangan, penanganan pasca panes dan pengolahan hasil
pertanian, pengembangan desa mandiri pangan, dan laporan berkala
kondisi ketahanan pangan daerah. Program dan kegiatan tersebut
dilaksanakan sejalan dengan berbagai dokumen perencanaan dan kegiatan
tersebut dilaksanakan sejalan dengan berbagai dokumen perencanaan Kota
Tangerang meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana
Pembangunan Jangka Panjang daerah (RPJPD) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Ketahanan pangan di kota tangerang akan tercapai apabila empat
aspek ketahanan pangan yaitu ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan
dan stabilitas pangan terpenuhi. Akan tetapi, dokumen perencanaan yang
ada belum mencantumkan keseluruhan aspek ketahanan pangan di
dalamnya. RPJMD memfokuskan pada ketersediaan dan keterjangkauan
8. sedangkan RPJMD memfokuskan pada aspek ketersediaan dan
pemanfaatan pangan.
Dokumen perencanaan mulai dari RPJPD, RPJMD hingga
dokumen per ncanaan satuan kerja petangkat daerah yang memuat
keseluruhan aspek ketahanan pangan merupakan upaya dalam
mewujudkan ketahanan pangan di kota Tangerang. Dokumen tersebut
juga harus saling berkaitan agar pelaksanaan pembangunan ketahanan
pangan berjalan dengan baik.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang memiliki tugas
pokok dan fungsi sebagai penyelenggara pembangunan sektor pertanian
mencakup pula ketahanan pangan di Wilayah kota Tangerang yaitu dinas
pertanian dan ketahanan pangan. Oleh karena itu peran dinas pertanian
dan ketahanan pangan sebagai instansi yang memiliki fungsi teknis
sekaligus koordinatif dalam pengelolaan ketahanan pangan wilayah harus
dilengkapi dengan strategi yang tepat dalam rangka peningkatan
ketahanan pangan di kota tangerang.
Kesehatan pangan merupakan upaya mewuhudkan penduduk yang
berjualitas yaitu penduduk yang sehat, aktif dan produktif sehingga
mampu untuk hidup sejahtera. Oleh karena itu, pemenuhan pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman , beragam, bergizi, merata,
dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan
budaya sampai dengan tingkat individu harus dicapai
Upaya mewuhudkan ketahanan pangan merupakan tanggung
jawab seluruh pihak termasuk pemerintah daerah. Mencapai kondisi
ketahanan pangan wilayah yang ideal diperlukan strategi yang tepat.
Dinas petanian dan ketahanan pangan kota tangerang sebagai
SKPD yang memiliki tugas pokok dan fungsi bidang kethanan pangan
bertanggung jawab untuk mengordinasikan berbagai faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan serta merumuskan alternatif dan proritas
strategi dalam rangka pencapaian ketahanan pangan yang ideal.
9. 7
1.2 METODE
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah
metode observasi yang dilakukan lewat media internet serta analisis
SWOT yang dilakukan pada tanggal 8-13 Desember. Jenis data yang
digunakan dalam studi kasus ini adalah data sekunder yakni data yang
dipublikasikan oleh instansi atau lembaga terkait antara lain mencakup
Neraca Bahan Makanan Kota Tangerang sebagai sumber data ketersediaan
pangan, laporan analisis situasi pola konsumsi pangan dan harga pangan
serta studi pustaka. Analisis deskriptif pada data sekunder digunakan
untuk mengetahui kondisi ketahanan pangan di Kota Tangerang.
1.2 Manfaat
Studi kasus ini bermanfaat untuk mehami kualitas ketahanan
pangan di Kota Tangerang ditinjau dari aspek-aspek ketahanan pangan
serta memberikan solusi untuk permasalahan-permasalahan tersebut.
10. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan dalam tataran Nasional merupakan
kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya
memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak,aman,
dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan
berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator
untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan Ketersediaan
pangan nasional terhadap impor (Litbang,Deptan 2005). Ketahanan
pangan dalam hal ini pula terdapat beberapa definisi sebagai berikut:
1. Dalam undang-undang No: 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup,baik dalam
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
2. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN,1996)
mendefinisikan Ketahanan pangan adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan anggota rumahtangga dalam
jumlah,mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu
kewaktu agar tetap hidup sehat.
3. International Conference in Nutrition, ( FAO/WHO, 1992 )
mendefinisikan Ketahanan pangan sebagai akses setiap rumahtangga
atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk
keperluan hidup sehat.
2.2 Kebijakan Pangan Nasional
Di Indonesia, pokok-pokok kebijakan pangan saat ini mencangkup
pengembangan: (1) produksi pangan (2) Efisiensi perdagangan dan
distribusi pangan, (3) industri pangan, (4) kemampuan mengekspor
pangan, dan (5) daya beli masyarakat. Kebijakan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan ketahanan pangan ( food security ), mendorong
diversifikasi konsumsi pangan, meningkatkan keamanan pangan ( food
safety ) mengembangkan kelembagaan pangan yang efektif ( Dwi Putra
Darmawan, 2011 ; 12).
11. 9
Ketahanan pangan rumahtangga (Desa/Kota) berhubungan dengan
kemampuan untuk memenuhi kecukupan pangan berkelanjutan dari waktu ke
waktu. Kecukupan pangan dalam hal ini mencakup segi kuantitas dan kualitas
baik dari produksi dari usahatani yang lestari maupun membeli dipasar.
Ketahanan pangan rumahtangga di setiap daerah dibentuk oleh tiga komponen
pokok, yakni stabilitas pasokan pangan, ketersediaan pangan, dan aksesibilitas
terhadap pangan. Stabilitas pasokan pangan ditunjukkan oleh (a) meratanya
distribusi ketersediaan pangan pokok musiman ; (b) ketersediaan pangan
tergantung pada jumlah pangan yang dikonsumsi, dijual dan dibeli ; (c)
aksesibilitas terhadap pangan ditunjukkan mudahnya masyarakat memperoleh
bahan pangan pokok.
2.3 Sistem Ketahanan Pangan
Secara umum Ketahanan pangan mencangkup 3 aspek, antara lain:
1. Ketersediaan pangan;
2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau
dari tahun ke tahun.
3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
Ketiga komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga(Desa/Kota) Ukuran ketahanan pangan di
tingkat rumahtangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan ketiga
komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu
indeks ketahanan pangan ( Dwi Putra Darmawan,2011;15). Untuk level
usahatani/rumahtangga dan masyarakat, indikator ketahanan pangan adalah
sebagai berikut: (1) stabilitas pasokan ( musiman; distribusi ketersediaan
pangan pokok bulanan, dalam kg); (2) ketersediaan (jumlah (kg); persentase
pangan yang dijual, dikonsumsi, dan dibeli di luar usahatani); (3) aksesibilitas
(biaya yang diperlukan per bulan).
2.4 Ketersediaan dan Distribusi Pangan
Ketersediaan pangan yang memadai dapat memperbesar peluang
rumahtangga (desa/kota) menyediakan pangan melalui berbagai cara,antara
lain dengan memproduksi pangan sendiri di lahan pertanian/perkebunan
sendiri dan membeli di pasar terdekat ( Suhardjo,1994). Ketersediaan pangan
dalam rumahtangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan
yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan
konsumsi rumahtangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok
12. di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan
mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam
berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45).Kondisi ketersediaan pangan rumahtangga
ditunjukkan dari jumlah pangan yang diproduksi dari hasil usahatani (pangan
padi-padian berupa beras yang dihasilkan dari penyosohan gabah).Namun,
ketersediaan pangan yang cukup belum menjamin konsumsi pangan yang baik
kalau terdapat kesenjangan distribusi pangan. Distribusi pangan dalam arti
luas antara lain distribusi antar negara , daerah, golongan masyarakat (
berdasarkan penghasilan), sedangkan dalam arti sempit menyangkut distribusi
pangan antar anggota keluarga dalam satu rumahtangga (Dwi Putra
Darmawan, 2011;19).
Beberapa alternatif program yang dapat ditempuh berkaitan dengan
ketersediaan dan distribusi pangan adalah: (1) peningkatan sarana dan
prasarana transportasi untuk menjamin kelancaran distribusi pangan
keberbagai wilayah, (2) mengembangan stok pangan diberbagai wilayah
dengan jenis pangan yang sesuai dengan pola konsumsi masyarakat, (3)
pengembangan agroindustri dan engolahan pangan untuk mendukung upaya
diversifikasi konsumsi pangan, (4) pengendalian harga pangan dan
pengembangan pemasaran untuk menjamin akses rumahtangga dalam
rumahtangga dalam memperoleh pangan dari pasar, terutama agi golongan
masyarakat berpenghasilan rendah, (5) pengawasan distribusi angan termasuk
mekanisme dan kelembagaannya, termasuk pengembangan impor dan
ekspor pangan.
2.5 Stabilitas Ketersediaan Pangan
Ketahanan pangan rumahtangga (desa/kota) dari aspek pengetahuan
dan sosio-budaya atau sistem nilai mengandung makna suatu kondisi
rumahtangga yang tidak mengalami rawan pangan. Kondisi demikian dapat
terjadi karena rumahtangga yang bersangkutan memiliki pengetahuan untuk
menghadapi berbagai kondisi yang cenderung mengancam ketersediaan
pangan. Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur
berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota
rumah tangga dalam sehari. Satu rumahtangga dikatakan memiliki stabilitas
ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point
dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan
kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut. Dengan asumsi bahwa di
daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari,
13. 11
frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan
ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah
satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu
tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan
bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penggunaan frekuensi
makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan
didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa, dimana rumah tangga yang
memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak
3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya
makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi
rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis,
karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga
tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga
panen berikutnya. Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan
pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali
disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan).
2.6 Aksesibilitas/Keterjangkauan terhadap Pangan
Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga
memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara rumah
tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan
lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:
• Akses langsung (direct access), jika rumahtangga memiliki lahan
sawah/ladang
• Akses tidak langsung (indirect access) jika rumahtangga tidak
memiliki
lahan sawah/ladang.
Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua)
kateori yaitu: (1) produksi sendiri dan (2) membeli.
14. BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Kota Tangerang
Kota Tangerang merupakan salah satu Kotadari delapan
Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Banten. Letak geografis Kota
Tangerang terletak antara 6°6’ - 6°13’ Lintang Selatan dan 106°36’ -
106°42’ Bujur Timur dengan batas wilayah:
• sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga,
dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang.
• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Curug,
Kecamatan Serpong, dan Kecamatan Pondok Aren Kota
Tangerang Selatan.
• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Propinsi DKI Jakarta.
• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Pasar Kemis
dan Cikupa Kabupaten Tangerang.
Letak Kota Tangerang sangat strategis karena berada di antara Ibukota
Negara DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi
Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta,
Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah
penyangga Ibukota Negara DKI Jakarta.
Luas wilayah kota Tangerang tercatat 18.378 Ha (termasuk luas
Bandara Soekarno Hatta sebesar 1969 ha) yang berjarak sekitar 60 km dari
ibukota provinsi Banten dan sekitar 27 Km dari Jakarta. Wilayah Kota
Tangerang meliputi 13 kecamatan yaitu :
15. 13
Tabel 3.1 Penggunaan lahan per wilayah kecamatan
3.2 EVALUASI RPJMD KOTA TANGERANG 2008 – 2013
3.2.1.Urusan Pertanian dan Kelautan-Perikanan
Berdasarkan hasil evaluasi RPJMD Kota Tangerang tahun
2008 – 2013, capaian target dari Urusan Pertanian dan Kelautan-
Perikanan adalah sebagai berikut.
20. Tabel 3.3 Rekomendasi Urusan Pertanian dan Kelautan-Perikanan
3.2.2 Urusan Ketahanan Pangan
Berdasarkan hasil evaluasi RPJMD Kota Tangerang tahun
2008 – 2013, capaian target dari Urusan Ketahanan Pangan adalah
sebagai berikut. Kondisi pencapaian indikator SPM (standar Pelayanan
Minimal) Ketahanan Pangan Kota Tangerang dilihat dari hasil analisis
terhadap indikator SPM tahun 2014. Adapun indikator yang dianalisis
yakni ketersediaan energy dan protein per kapita, penguatan cadangan
pangan, ketersediaan informasi pasokan, harga dan akses pangan,
stabilitas harga dan stabilitas pasokan pangan, pola pangan harapan
(PPH), pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dan penanganan
daerah rawan pangan.
Ketersediaan Energi dan Protein Per kapita.
Kota Tangerang memiliki ketersediaan energi sebesar 2.200
kkal/kap/hr (Nilai minimal SPM : 1.980 kkal/kap/hr) untuk
ketersediaan protein mencapai 66,9 gr/kap/hr (Nilai Minimal SPM =
51,3 gr/kap/hr) Angka capaian SPM ketersediaan energy di Kota
Tangerang sebesar 93,5% sehingga dikatakan Kota Tangerang sudah
mencapai SPM. Akan tetapi ketersediaan energi untuk kebutuhan
masyarakat sebagian besar mengandalkan pasokan dari luar daerah
karena kapasitas produksi dalam daerah hanya berkisar antara 2 – 17
% saja.
21. 19
Penguatan Cadangan Pangan.
Belum adanya upaya dari Pemerintah Kota Tangerang pada
segi cadangan pangan, terbukti dengan belum adanya anggaran dana
untuk cadangan pangan dan belum adanya lembaga cadangan
pangan. Untuk itu, capaian SPM Penguatan Cadangan Pangan di Kota
Tangerang sebesar 0% (SPM belum tercapai) minimal SPM 60%.
Ketersediaan Informasi Pasokan, Harga dan Akses
Pangan.
Pelaksanaan indikator pasokan, harga dan akses pangan belum
dilaksanakan sepenuhnya. Indikator yang diamati hanya harga pangan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa capaian SPM ketersediaan
informasi pasokan, harga dan akses pangan di kota Tangerang sebesar
33.3% atau SPM belum tercapai pada tahun 2013.
Stabilitas Harga dan Stabilitas Pasokan Pangan.
Kota Tangerang memiliki TPIO (Tim Pengendali Inflasi
Oaerah) yang bekerjasarna dengan instansi terkait untuk melakukan
operasi pasar dan kegiatan lainnya untuk menjaga stabilitas harga.
Adapun capaian stabilitas harga di KotaTangcrang sebesar 88%.
Sementara itu, dalam kegiatan stabilitas pasokan belum sehingga hasil
pencapaiannya 0% pada tahun 2013. Sehingga dapat disimpulkan
persentase pencapaian SPM Stabilitas Harga dan Stabilitas Pasokan
Pangan Kota Tangerang sebesar 44% atau belum mencapai SPM
Pola Pangan Harapan (PPH)
Pencapaian nilai PPH Kota Tangerang pada tahun 2012 sebesar
79,2 atau belum mencapai SPM (skor 90). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa penduduk Kota Tangerang belum
mengkonsumsi pangan sesuai dengan pola makan sehat dan nilai gizi
seimbang. Seluruh kelompok pangan di Kota Tangerang belum
mencapai skor ideal, kecuali konsumsi pangan hewani. Rendahnya
skor PPH Kota Tangerang dapat disebabkan oleh rendahnya daya beli
masyarakat maupun rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai
pola makan Beragarn, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA)
22. Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan
Telah dilaksanakan pengawasan dan pembinaan keamanan
pangan melalui (I) Pengawasan Jajanan Sekolah dengan capaian
96.43%. (2) Pengawasan Bahan Makanan/Pangan Segar dengan
capaian 94.24%. (3) Pengawasan Hasil Olahan lndustri Kecil Rumah
Tangga dengan capaian 96.43%, (4) Pengawasan Hasil Produk
Makanan UMKM/IMKM dengan capaian 70%, dan (5) Monitoring
peredaran bahan kimia di pasarbelum dilakukan, capaian 0%. Adapun
rata-rata capaian SPM Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan
Kota Tangerang sebesar 71 %, atau belum mencapai SPM (Target
SPM 90%).
Penanganan Daerah Rawan Pangan
Berdasarkan data FSVA (Peta Kerawanan Pangan) tahun 2012
diperoleh hasil yakni : (1) lndikator daya beli yang rendah;
berdasarkan indikator daya beli diperoleh bahwa terdapat satu
kecamatan termasuk prioritas 3 yakni Kecamatan Neglasari. (2)
Indikator gizi buruk pada Balita; berdasarkan indikator gizi buruk
terdapat satu daerah termasuk prioritas 2 yaitu Kecamatan Bendayang
disebabkan adanya 20% - 30% balita gizi buruk. Capaian SPM
Penanganan Daerah Rawan Pangan Kota Tangerang sebesar 0%, atau
belum mencapai SPM(Target SPM minimal 60%).
Pencapaian SPM Ketahanan Pangan di Kota Tangerang
berdasarkan evaluasi dari 7 SPM yang telah ditetapkan untuk tahun
2015, terdapat 4 indikator kinerja yang sudah melampaui angka
minimal (Ketersediaan Energi, Ketersediaan Protein, Ketersediaan
Informasi Pasokan Harga dan Akses Pangan, Pengawasan dan
Pembinaan Kemananan Pangan), 2 indikator kinerja yang belum
tercapai (Stabilitas Harga dan Pasokan Pangan, Skor Pola Pangan
Harapan (PPH), dan 2 indikator yang memiliki skor 0%, yaitu
Penguatan Cadangan Pangan dan Penanganan Daerah Rawan Pangan.
23. 21
Tabel 3.4 Ikhtisar Kondisi Ketahanan Pangan Kota Tangerang Tahun 2012
3.3 Strategi peningkatan ketahanan pangan
Perumusan alternatif strategi peningkatan ketahanan pangan
menggunakan analisis SWOT. Metode tersebut menghasilkan empat tipe
strategi yaitu strategi kekuatan-peluang atau strategi SO (strengths-
opportunities), strategi kelemahan-peluang atau strategi WO (weakness-
opportunities), strategi kekuatan-ancaman atau strategi ST (strengths-
threats) dan strategi kelemahan-ancaman atau strategi WT
(weaknessthreats). kerjasama triple helix antara universitas, industri dan
pemerintah untuk menciptakan sistem ketahanan pangan yang kuat. 2)
pengembangan akses informasi untuk mengatasi masalah kesenjangan
informasi harga pangan penduduk sebagai upaya pengendalian inflasi, 3)
peningkatan akses teknologi dan inovasi dalam rangka peningkatan daya
saing produk pangan serta 4) peningkatan infrastruktur. Strategi WO
terdiri atas 1) strategi peningkatan kerjasama government to government
untuk meningkatkan ketersediaan pangan,2) peningkatan kualitas
konsumsi pangan dan gizi penduduk antara lain melalui sosialisasi pa
ngan beragam, bergizi seimbang, dan aman, dan 3) peningkatan kerjasama
24. government to business untuk mendukung program dan kegiatan
ketahanan pangan.Strategi ST terdiri atas 1) strategi peningkatan
kerjasama government to government untuk menjamin pasokan dalam hal
perdagangan pangan, 2) peningkatan akses ekonomi untuk menjamin
keterjangkauan pangan yang dibutuhkan oleh penduduk, 3)pengembangan
pertanian perkotaan untu kmeningkatkan ketersediaan dan keragaman
pangan (Zezza et al. 2010) khususnya sayur dan buah (Surayya 2010)
serta 4) peningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku utama penghasil
pangan (Aji et al. 2014) untuk meningkatkan minat masyarakat pada
bidang agribisnis. Strategi WT terdiri atas 1) peningkatan kerjasama
government to government untuk meningkatkan ketersediaan dan pasokan
pangan, 2) peningkatan akses ekonomi untuk meningkatkan daya beli
pangan dan 3) penguatan kelembagaan pangan baik pemerintah maupun
masyarakat dalam rangka menjamin stabilitas pangan. Strategi untuk
pembangunan ketahanan pangan tersebut juga dikemukakan oleh Mahfi et
al. (2008) yaitu mewujudkan koordinasi, advokasi dan sosialisasi
ketahanan pangan dalam rangka mengatasi masalah penduduk,
kemiskinan, harga sarana produksi, masalah gizi dan kesehatan.
25. 23
BAB IV
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari studi kasus ketahanan
pangan di Kota Tangerang sebagai berikut
a. Ketersediaan energi di kota tangerang sudah menapai SPM tetapi
ketersediaan energi untuk kebutuhan masyarakat sebagian besar
mengandalkan pasokan dari luar daerah karena kapasitas produksi dalam
daerahnya hanya berkisar 2-17 %.
b. Penguatan cadangan makanan di Kota Tangerang tercapai SPM 0 %
artinya belum adanya upaya dari pemerintah kota Tangerang.
c. Ketersediaan informasi pasokan, harga dan akses pangan di Kota
Tangerang belum mencapai SPM dengan SPM sebesar 33.3 %.
d. Stabilitas Harga pangan di Kota Tangerang sebesar 88% sementara
stabilitas pasokan pangan sebesar 0% sehingga belum tercapai SPM.
e. Pola nilai PPH Kota Tangerang sebesar 79,2 % sehingga belum mencapai
SPM, hal tersebut mengindikasikan bahwa penduduk Kota Tangerang
belum mengkonsumsi pangan sesuai dengan pola makan sehat dan nilai
gizi seimbang.
f. Pengawasan dan pembinaan keamanan pangan di Kota Tangerang sebesar
71% sehingga belum mencapai SPM.
g. Penanganan daerah rawan pangan di Kota Tangerang sebesar 0% sehingga
belum mencapai SPM.
26. DAFTAR PUSTAKA
BAB III GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG.
docplayer.info.Diakses pada 12 Desember 2020 melalui
https://docplayer.info/34567109-Bab-iii-gambaran-umum-kota-
tangerang.html
Putri, Dian. 2012. Ketahanan Pangan. repository.ump. Diakses pada 12
Desember 2020 melalui
http://repository.ump.ac.id/2313/3/DIAN%20PUSPARAHMI%20PUTRI
%20BAB%20II.pdf
BPHN.2014. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH
DAERAHKOTA TANGERANG TAHUN 2014-2018. bphn.go.id.
Diakses pada 12 Desember 2020 melalui
http://www.bphn.go.id/data/documents/kotatangerang-2014-10.pdf
Kemkes. 2015. PROFIL KESEHATAN KOTA TANGERANG TAHUN 2015.
kemkes.go.id. Diakses pada 12 Desember 2020 melalui
https://www.kemkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KO
TA_2015/3671_Banten_Kota_Tangerang_2015.pdf
Rimadianti, Dini. Dkk. 2016. STRATEGI PENINGKATAN KETAHANAN
PANGAN DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN KOTA
TANGERANG SELATAN. journal.ipb. Diakses pada 12 Desember 2020
melalui
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/view/13172/9924