3. Nama
TTL
: Nasr Hamid Abu Zaid
: 10 July 1943, T}ant}a>, Mesir
Perjalanan Intelektual:
S1 - S3 jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Univ.
Kairo. Pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun
(1978-1980) untuk penelitian doktoralnya di
University of Pensylvania, Philadelphia, USA.
Di Universitas ini ia mempelajari folklore dan
metodologi kajian lapangan (fieldwork)
Pada tahun 2002, ia mengajukan karyakaryanya, di antaranya Naqd l-Khit}a>b l-Di>ny
yang diterbitkan pada tahun ini juga, dan saat itu
pula namanya melejit di dunia Islam. Di tahun
ini pula dimulai "Kasus Abu Zaid" di
persidangan yang berakhir dengan vonis murtad
atas dirinya oleh pengadilan tinggi Mesir dan ia
dituntut menceraikan istrinya.
Beberapa karyanya yang lain: Mafhu>m lNas}s}, Falsafah Ta'wi>l, Imam Al-Sya>fi'iy wa
Ta'si>s l-Aidiu>lu>jiyyah l-Wasat}iyyah, dll.
4.
5. Mustahil manusia
yang relatif
memahami
kehendak Tuhan
yang absolut
Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Hermeneutika
Inklusif, Judul asli: Isyka>liya>t „l-Qira>‟ah
wa A>liya>t „l-Ta‟wi>l, (Jakarta:
ICIP, 2004), hal. 7
Tak perlu dipedulikan asumsi-asumsi
wacana keagamaan yang menyatakan
kesesuaian pemahaman Nabi terhadap
dilalah asli teks... Asumsi semacam ini
akan menjurus kepada
karena telah menyamakan antara yang
absolut dan yang nisbi (tafsir Nabi)..
antara maksud Tuhan dangan pemahaman
manusia,
6. Pembacaan thdp teks2 keagamaan
hingga saat ini belum ada yg ilmiah &
obyektif („ilmy-mawd}u>„iy), karena
banyak diwarnai unsur khurafat &
mitos serta bercorak literalis-idiologis
Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd „l-Khit}a>b „lDi>ny, hal. 62
8. Al-Qur‟a>n Produk Budaya (Muntaj Tsaqa>fi);
Teks Manusiawi (Nas}s} Basyary); Fenomena
Sejarah (Za>hirah Ta>ri>khiyyah) Mafhu>m lNas}s}
“Realitaslah yang memproduksi teks.” Mafhu>m
l-Nas}s}, hal. 109
“Pada fase terbentuknya teks di dalam
budaya, budaya menjadi subyek (produsen) dan
teks menjadi obyek (produk)...” Ibid}, hal. 200
Keimanan akan wujud metafisik yang mendahului teks
akan mengaburkan hakikat aksiomatis ini (bahwa Al-Quran
Produk Budaya) serta mengeruhkan kemungkinan
fenomena teks untuk bisa dipahami secara ilmiah. Mafhu>m
l-Nas}s}, hal. 27
Wujud teks yang bersumber dari Tuhan sama sekali tidak
menafikan hakikatnya sebagai teks linguistik yang sangat
terkait dengan zaman dan tempatnya...”
Nas}r H>mid Abu> Zaid, Al-Nas}s} wa „l-S}ult}ah wa „l-Haqi>qah, (Beirut: Al-Markaz AlTsaqa>fy al-„Araby, 1995) hal. 92
9.
10. Maksudnya: Memahami bagaimana konteks melahirkan makna teks. Karena bagi
Abu Zaid, teks tidak memiliki dila>lah (makna) asli, tetapi dila>lah tersebut
diciptakan oleh konteks.
Realitas (konteks) adalah yang
pertama, yang kedua dan yang
terakhir. Menyia-nyiakan
realitas demi makna teks
agama yang kaku dan
permanen akan
mengubahnya menjadi mitos.
Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd „l-Khit}a>b adDi>ny, hal. 130
Tak perlu dipedulikan asumsi-asumsi
wacana keagamaan yang menyatakan
kesesuaian pemahaman Nabi terhadap
dila>lah asli teks, itupun kalau ada
sesuatu yang disebut dengan dila>lah asli
teks. Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd „l-Khita>b „l-Di>ny, hal. 126
11. Tat}awwur „l-lughah:
“Bahasa selalu berkembang maknanya
bersama perkembangan gerak masyarakat dan
budaya ... Sehingga.. merupakan kewajiban
mengembalikan pemahaman teks dengan
membuang makna historis-sosiologis yang
asli, kemudian menggantinya dengan maknamakna baru yang lebih manusiawi dan
maju.” Naqd „l-Khit}a>b, hal. 133
12. Menyingkap konsepkonsep makna baru
yang lebih manusiawi
dan maju.
“Pembacaan teks yang dilakukan di zaman berikutnya (setela h zaman produksi teks) di dalam
komunitas lain berdiri di atas
yang saling melengkapi:
(1) Ikhfa>‟, menyembunyikan segala hal yang bukan substansi, biasanya terkait waktu dan
tempat yang tidak bisa menerima takwil, dan
(2) Kasyf, menyingkap sesuatu yang menjadi substansi teks dengan metode takwil. Dalam hal
ini tidak ada unsur-unsur substantif yang permanen di dalam teks tersebut. Tetapi setiap
pembacaan teks—dalam pengertian historis-sosiologis—memiliki substansinya di dalam
teks yang disingkap oleh pembacaan itu.” [Naqd „l-Khita>b al-Di>ny, hal. 118]
13.
14. -
“Dan sesungguhnya Al-Qur‟a>n ini benar-benar
diturunkan oleh Rabb semesta alam. Dia dibawa turun
oleh Ar-Ru>h Al-Ami>n (Jibri>l). Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan. (Penurunan AlQuran itu ) Dengan bahasa Arab yang jelas.” [QS. AlSyu„ara>‟: 192-195].
Jika Al-Qur‟a>n turun dari Alla>h dengan Bahasa Arab, ini berarti AlQuran turun dari Allah dengan lafaz dan maknanya (Lafz}an wa
Ma„nan), karena bahasa Arab itu adalah lafaz dan makna.
Lafaz Al-Quran bukan diproduk oleh Jibril atau Muhammad
15. Konsekuensi logis mengatakan, “Al-Qur‟a>n produk
budaya” ialah manusialah yang memproduk AlQur‟a>n. Dan ini sangat bertentangan dengan AlQuran dan akidah Umat Islam, bahwa Al-Quran turun
dari Allah secara lafaz dan makna
“Al-Quran Produk Budaya” dan “Al-Quran bersumber
dari Allah” dua pernyataaan kontradiktif
Merupakan aksioma bahwa setiap ucapan dinisbatkan
kepada pengucapnya, bukan pendengarnya. Al-Qur‟a>n
difirmankan oleh Alla>h kemudian didengar dan
disampaikan oleh Muhammad Saw, lalu bagaimana
mungkin sumbernya menjadi lenyap, kemudian
dikatakan bahwa firman itu menjadi diproduk oleh
pendengar?
16. Di dalam Al-Quran kata
wahyu sangat umum
maknanya (ilham, mimpi para
nabi, komunikasi
langsung, pengutusan
Jibri>l, dll). (Na>shir bin Abdul Kari>m al„Aql, Al-Itijaha>t al-„Aqla>niyyah alH}adi>thah, (Riya>dh: Da>r „l-Fad}i>lah, 2001) hal.
155-156)
Jika Al-Quran turun hanya
dengan makna, lalu apa
bedanya wahyu Al-Quran dan
wahyu ilham yang juga turun
kepada manusia biasa bahkan
kepada hewan seperti lebah?
Tak mungkin Al-Quran
disebut mukjizat yang mustahil
didatangkan oleh seluruh
makhluk, kalau lafaznya dari
Muhammad atau Jibril yang
keduanya adalah makhluk?
Abdul „Az}i>m Al-Zurqa>ny, Mana>hil „l-„Irfa>n fi> „Ulu>m
„l-Qur‟a>n, hal. 44
Tak mungkin Al-Quran
disebut Kala>mulla>h kalau
lafaznya disusun oleh
Muhammad atau Jibril?
Ibid, hal. 44
Karena tidak dikenal dalam
Jibri>l tak perlu turun
menyampaikan AlQur‟a>n, karena ilham bisa
datang tanpa harus melalui
Jibri>l?
bahasa Arab kata kala>m yang
hanya berarti makna saja tanpa
lafaz.
Kha>lid bin ;Uthma>n Al-Sibt, Mana>hil „l-„Irfa>n fi>
„Ulu>m „l-Qur‟a>n, Dira>sah wa Taqwi>m, hal. 177
17.
18. Abu Zaid, mengklaim bahwa Teks
Wahyu tidak memiliki dila>lah/Makna
Asli.
Artinya, lafaz-lafaz Al-Quran seolah
wadah kosong yang bisa diisi oleh siapa
saja menurut subyektifitas masingmasing Pembaca.
Implikasinya, Abu Zaid menuduh Tuhan
berkomunikasi dengan manusia dengan
lafaz2 kosong tanpa makna.
Padahal, manusia saja tidak akan
berkomunikasi dengan lafaz-lafaz tanpa
makna, lantas bagaimana dengan Tuhan
yang Maha bijaksana dan Mahabenar
dengan segala firman-Nya?
19. Al-Qur‟a>n adalah kitab suci yang bisa dipahami dan
Rasulullah Saw sangat memahami Al-Quran
Tak mungkin beliau menyampaikan sesuatu yang beliau
tidak pahami? Dan apa artinya beliau sebagai rasul kalau
beliau sendiri tak paham Al-Quran yang dibawanya?
Apa artinya Allah Swt yang memerintahkan kaum
Muslimin untuk meneladani Nabi Saw kalau beliau
sendiri tak paham. (A>li „Imra>n: 31 dan 132, Al-Nisa>‟:
59, Al-Ma>‟idah: 92, Al-Anfa>l: 1 dan 46, Al-Nu>r: 63, AlMuja>dilah: 1, Al-Tagha>bun: 12, dll).
Apakah semua ayat-ayat diatas menyuruh kita syirik?
Dalam banyak ayat Allah memerintahkan kita untuk
mendatabburi Al-Quran, apa artinya diperintah mentadabburi
kalau tidak mungkin dipahami?
20. Ayat-ayat Al-Quran harus dipahami melalui konsep
makna kebahasaan orang-orang Ummy [Orang Arab
pada saat turunnya Al-Quran].
Al-Sya>t}iby, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l „l-Syari>‟ah, (Beirut: Da>r „l-Kutub „l„Ilmiyyah, 1991), 2/78
23. Membuang Keimanan kepada hal-hal
yang ghaib
- Malaikat, Arsy, Qolam, Lauh dll (Naqd
l-Khit}a>b: 207)
- Sihir, Hasad, Jin-Syetan (Naqd lKhit}a>b: 212)
Membuang hukum-hukum Islam:
.
- Hukum Waris (Nasr Hamid. AZ,Voice of an
Exile Reflections on Islam :178)
- Hukum Hudud (Voice of an Exile Reflections
on Islam: 166)
- Kewajiban Jilbab (Al-Mar‟ah fi> Khit}a>b
l-Azmah: 103)
Menjustifikasi :
- Doktrin Trinitas (Naqd l-Khit}a>b: 205)
- Homoseks (Voice of an Exile Reflections on
Islam: 89)
“Apabila kita membaca
teks-teks hukum melalui
analisa mendalam terhadap
struktur teks...dan sosiokultural yang memproduk
hukum dan undang-undang
maka bisa saja pembacaan
tersebut menggiring kita
untuk menggugurkan
sekian banyak hukumhukum yang merupakan
produk sejarah yang lebih
tepat dikatakan
mendeskripsikan sejarah
daripada menciptakan
Syariat.”
Muh}ammad Sa>lim Abu>
„A>s}i, Maqa>lata>ni fi „l-Ta‟wi>l, hal. 93.
Teks Nas}r H>amid dikutip dari Majalah
Kairo, Juni, 1993
24. 1. Al-Quran Kala>mulla>h, yang diturunkan melalui
perantara Jibri>l kepada Muhammad secara lafaz dan
makna, dan bukan produk Muhammad/ Budaya
2. Al-Quran bisa dipahami dan pemahamannya tidak relatif
3. Pergeseran makna tidak berlaku pada Al-Quran, dan ia
harus dipahami dengan ma‟hud bangsa Arab pada masa
turunnya
4. Relativitas tafsir: senjata meragukan
Agama, mendekonstruksi bangunan Ilmu
Islam, sebaliknya mengabsolutkan idiologi-idiologi
Barat
5. Paham relativitas tafsir meniscayakan bahwa pengutusan
nabi dan penurunan wahyu tidak ada gunanya, karena
pada akhirnya manusia tidak akan memahami maksud
wahyu Tuhan
25.
26.
27.
28.
29. Di dalam Al-Quran kata
wahyu sangat umum
maknanya (ilham, mimpi para
nabi, komunikasi
langsung, pengutusan
Jibri>l, dll). (Na>shir bin Abdul Kari>m al„Aql, Al-Itijaha>t al-„Aqla>niyyah alH}adi>thah, (Riya>dh: Da>r „l-Fad}i>lah, 2001) hal.
155-156)
Tak mungkin Al-Quran
disebut mukjizat yang mustahil
didatangkan oleh seluruh
makhluk, kalau lafaznya dari
Muhammad atau Jibril yang
keduanya adalah makhluk?
Abdul „Az}i>m Al-Zurqa>ny, Mana>hil „l-„Irfa>n fi> „Ulu>m
„l-Qur‟a>n, hal. 44
Jika Al-Quran turun hanya
dengan makna, lalu apa
bedanya wahyu Al-Quran dan
wahyu ilham yang juga turun
kepada manusia biasa bahkan
kepada hewan seperti lebah?
Jibri>l tak perlu turun
menyampaikan AlQur‟a>n, karena ilham bisa
datang tanpa harus melalui
Jibri>l?
Tak mungkin Al-Quran
disebut Kala>mulla>h kalau
lafaznya disusun oleh
Muhammad atau Jibril?
Ibid, hal. 44
Karena tidak dikenal dalam
bahasa Arab kata kala>m yang
hanya berarti makna saja tanpa
lafaz.
Kha>lid bin ;Uthma>n Al-Sibt, Mana>hil „l-„Irfa>n fi>
„Ulu>m „l-Qur‟a>n, Dira>sah wa Taqwi>m, hal. 177
30. Syaikh Abdul Az}i>m Al-Zurqa>ny :
Pendapat Al-Qur‟a>n turun dari Allah kepada
Jibril/Muhammad secara makna, lalu
dibahasakan dengan bahasa Arab oleh Jibril /
Muhammad adalah pendapat yang sangat
keji, bertentangan dengan AlQur‟a>n, Sunnah dan Ijma>„, serta
merupakan pendapat yang dipalsukan atas
nama kaum Muslimin.
Abdul „Az}i>i Al-Zurqa>ny, Mana>hil „l-„Irfa>n fi> „Ulu>m „l-Qur‟a>n, (Beirut: Da>r „l-Kita>b
al-„Araby, 1995), hal. 43-44
31. Barometer Kebenaran Tafsir
dalam Islam
Selain Kesaksian
Indra, Prinsip
Logika dan
Nilai-nilai
universal di
atas, dalam tafsir
Islam standarstandar seperti:
32.
33. Wujud relatif manusia tidak
ada kaitannya dengan masalah
pemahaman/ilmu. Masalah
wujud/eksistensi adalah ranah
ontologis, sementara
pemahaman dan ilmu itu ada
pada ranah epistemologis.
Manusia bisa mengetahui apa yang
diketahui oleh Tuhan, („Allama lInsa>na ma> lam ya „lam/ wala>
yuhi>t}ut}u>na bisyai‟in min
`ilmihi> illa> bima> sya>‟a)
Dalam banyak ayat Allah
memerintahkan kita untuk
mendatabburi Al-Quran, apa artinya
diperintah mentadabburi kalau tidak
mungkin dipahami?
“Sesungguhnya Kami
mengutusmu dengan
kebenaran sebagai pemberi
kabar gembira dan
peringatan.” [QS. AlBaqarah: 119].
Jika ia tidak
dipahami, bagaimana
mungkin akan menjadi kabar
gembira dan peringatan?
“Dialah (Allah) yang telah
mengutus Rasul-Nya dengan
hidayah dan agama yang
benar.” [QS. At-Taubah:
33, Al-Fath: 28, Al-S}aff: 9].
Kalau tidak
dipahami, bagaimana
mungkin dapat menjadi
hidayah dan sumber ajaran
agama?
35. Memahami teks
dengan kontekes
kekinian Tidak
masuk akal!
Nabi pernah bersabda
kepada istri-istri beliau:
“Yang paling
pertama menyusulku
adalah yang paling
panjang tangannya
di antara kalian.”
HR. Al-Bukha>ri dan Muslim
Panjang tangan dalam
kamus-kamus bahasa
berarti orang
dermawan (sifat
terpuji).
Adapun sekarang, kata
ini bermakna
pencuri.
Ibnu Manz}u>r, Lisa>n „l-„Arab, hal. 13/440
36. • Ia merelatifkan penafsiran para ulama bahkan
penafsiran Nabi, pada saat yang sama ia
mengabsolutkan penafsiran sendiri.
• Ia merelatifkan metodologi penafsiran para
ulama, lalu mengabsolutkan metodologi
penafsiran sendiri.
• Abu Zaid tidak konsisten dengan masalah
perkembangan dilalah, dengan mengecap
musyrik orang yang mempercayai penafsiran
Nabi. Mengapa ia menuduh orang dengan
istilah yang baku maknanya?