SlideShare a Scribd company logo
1 of 107
Download to read offline
Tinjauan Spiritual Company
Dalam Etika Bisnis Dan Profesi
Risdianto, SE., MM.
Tinjauan Spiritual Company
Dalam Etika Bisnis Dan Profesi
Penulis:
Risdianto, SE., MM.
Editor:
Reza Oktiana Akbar, M.Pd.
Layout:
Tim Kreatif CV. Confident
Desain Cover
Tim Kreatif CV. Confident
Cetakan Pertama, Juli 2021
Isi diluar tanggungjawab Penerbit
Undang-undang No.19 Tahun 2002 Tentang
Hak Cipta Pasal 72
ii + 101 hlm ; tinggi : 29,7 cm
Penerbit:
CV. Confident (Anggota IKAPI Jabar)
Jl. Karang Anyar No.17 Jamblang Kab.Cirebon 45156
ISBN: 978-623-6834-47-3
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin
tertulis dari penulis dan penerbit
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya dapat menyelesaikan penyusunan buku yang berjudul “Tinjauan
Spiritual Company dalam Etika Bisnis dan Profesi". Buku ini disusun untuk
memberikan gambaran tentang spiritual company yaitu sebuah perusahaan yang
melaksanakan good corporate governance dengan pendekatan secara spiritual.
Ke depan suatu perusahaan tidak hanya melaksanakan kesalehan spiritual [sebagai
bentuk spiritual company] secara ritual ‘saleh ritual’, tapi juga‘saleh akal’ dan ‘saleh
sosial’.
Dalam buku ini akan dibahas tentang Analisis Pengaruh Kecerdasan
Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan Perusahaan,
Manajemen Resiko Berbasis Spiritual Islam, Membangun Budaya spiritual Organisasi
dalam perusahaan, dan lain-lain. Diharapkan dengan membahas spiritual company,
perusahaan bukan hanya berorientasi pada sukses dunia tapi juga akhirat. Selain itu,
penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, sehingga buku ini dapat tersusun dengan baik.
Akhir kata penyusun berharap semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya
bagi pengembangan ilmu manajemen khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Cirebon, Juli 2021
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
..
..
..
..
.................................................. 25
V MANAJEMEN RISIKO BERBASIS SPIRITUAL ISLAM..........................31
........................................ 86
X PENGARUH KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA
KARYAWAN MELALUI ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR
PADA PT PLN (PERSERO) AREA BOJONEGORO
II SPIRITUAL MANAJEMEN : SEBUAH REFLEKSI DARI
PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN...........................................................7
I ANALISIS PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN
KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN
PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM TIRTA PEUSADA.............................. 1
III KONTRIBUSI KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN
SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN YANG DIMODERASI
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL......................................................21
IV PERILAKU SPIRITUAL DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN
PERUSAHAAN PABRIK KELAPA SAWIT
VII MEMBANGUN BUDAYA SPIRITUAL ORGANISASI DALAM
MEWUJUDKAN COMPANY YANG SUKSES DUNIA AKHIRAT................ 61
VIII PARADIGMA MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS
SPIRITUAL (SPIRITUAL BASED HUMAN RESOURCES MANAGEMENT)
TERHADAP KORPORASI.................................................................................. 65
VI PENGARUH KEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP KEPUASAN
KERJA KARYAWAN MELALUI MOTIVASI INTRINSIK DANKOMITMEN
ORGANISASI ...................................................................................................... 50
IX PENGARUH KECERDASAN INTELEKTUAL, KECERDASAN EMOSI,
DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN
................................................................................................................................71
XI ULASAN BEBERAPA MATERI TENTANG SPIRITUAL COMPANY .... 94
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................100
1
Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan
Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan Perusahaan Daerah
Air Minum Tirta Peusada (Syardiansah et al., 2018)
PENDAHULUAN
Kinerja karyawan yang baik akan membawa setiap individu untuk berpacu dalam
upaya untuk memberikan hal yang terbaik bagi organisasi di tempatnya bekerja.
Efektivitas secara keseluruhan dari sebuah organisasi akan meningkat dalam keadaan
yang demikian, jika seluruh sumber daya manusia yang dimiliki organisasi berada
dalam kondisi yang sama yaitu memiliki kinerja yang baik. Karyawan yang seperti itu
dibutuhkan organisasi karena berguna untuk merubah lingkungan kerja secara cepat dan
membantu organisasi untuk bertahan.
Banyak faktor yang berpotensi memiliki hubungan dengan kinerja baik yang bersifat
material maupun non material. Adapun faktor non material yang mempengaruhi kinerja
salah satunya adalah sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu dan melekat
pada dirinya dengan tingkatan yang berbeda- beda. Beberapa kecerdasan yang
mempengaruhi karyawan di dalam sebuah perusahaan di antaranya adalah Kecerdasan
Emosional (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual (Spritual Quotient). Kedua
kecerdasan tersebut dimiliki oleh setiap individu, namun tidak semua individu memiliki
kedua tingkat kecerdasan tersebut dengan baik. Apalagi individu yang dimaksud adalah
orang-orang yang bekerja di sebuah perusahaan. Beban tugas yang diterima menjadi
salah satu dalih mengapa karyawan tersebut terkadang tidak mampu mengontrol dan
mengelola dengan baik terkait kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual.
Kecerdasan emosional sendiri diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk
mengendalikan diri termasuk di dalamnya kemampuan untuk memahami dan mengerti
apa yang orang lain rasakan serta menghargai apa yang orang lain lakukan. Terlihat sepele
memang bila dibandingkan dengan komponen kecerdasan intelektual, obyeknya pun
invisible atau tak terlihat. Namun, justru sesuatu yang tak terlihat tersebut yang
pengaruhnya sangat besar terhadap kehidupan, termasuk kehidupan pegawai di
lingkungan pekerjaan.
Kecerdasan spiritual diyakini merupakan tingkatan tertinggi dari kecerdasan, yang
digunakan untuk menghasilkan arti (meaning) dan nilai (value). Dua jenis kecerdasan
yang disebutkan pertama yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional
merupakan bagian yang terintegrasi dari kecerdasan spiritual. Kecerdasan sprititual yang
tinggi ditandai dengan adanya pertumbuhan dan transformasi pada diri seseorang,
tercapainya kehidupan yang berimbang antara karier/pekerjaan dan pribadi/keluarga,
serta adanya perasaan suka cita serta puas yang diwujudkan dalam bentuk
menghasilkan kontribusi yang positif dan berbagi kebahagiaan kepada lingkungan.
Berbeda dengan karyawan yang memiliki kecerdasan spiritual yang rendah. Pada
karyawan dengan tingkat kecerdasan spiritual yang rendah, keberhasilan dalam karier,
pekerjaan, penghasilan, status dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat materi ternyata
tidak selalu mampu membuatnya bahagia.
PDAM Tirta Peusada Aceh Timur merupakan perusahaan daerah sebagai penyedia air
bersih yang didistribusikan kepada masyarakat di Kabupaten Aceh Timur. Terdapat
penurunan kinerja pada karyawan PDAM Tirta Peusada terutama dalam hal kuantitas
kerja. Beberapa karyawan berpendapat bahwa mereka kurang mampu mengotrol emosi
dalam bekerja sehingga saat menyelesaikan pekerjaan yang rumit mereka menjadi
tidak fokus. Di samping itu inisiatif yang dimiliki pun kurang dalam tugas-tugas
tertentu. Berkaitan dengan kecerdasan spiritual dapat dilihat dari masih adanya
2
keterlambatan pelayanan atas komplain konsumen serta pekerjaan lainnya. Hal ini
terkesan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan semata-mata hanya bertanggung
jawab terhadap pimpinan, padahal tanggung jawab sebenarnya di dalam bekerja adalah
kepada Tuhan Yang Maha Esa jika ditinjau dari spiritualitas.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan
pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PDAM
Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui pengaruh
Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara parsial terhadap kinerja karyawan
pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Untuk mengetahui pengaruh
Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan terhadap kinerja
karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur.
Menurut Patton (2009) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kekuatan
di balik singgasana kemampuan intelektual. Selanjutnya secara sederhana Ginanjar (2008)
mengartikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan. Dan cara
meningkatkan ini adalah dengan cara mempraktekkannya. Shapiro (2007) mengatakan
kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang
lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan.
Goleman (2007) membagi aspek-aspek kecerdasan emosional menjadi lima
aspek yang menjadi pedoman dalam mencapai kesuksesan dalam mencapai kesuksesan
dalam kehidupan sehari-hari, yakni:
(1) Kesadaran diri, kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya
pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan
pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan dalam mencermati perasaan yang
sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan
perasaan diri dan orang lain yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan atas
suatu masalah.
(2) Pengaturan diri, pengelolaan diri berarti pengelolaan impulse dan perasaan yang
menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat
tergantung pada kesadaran diri sendiri. Emosi dikatakan berhasil apabila : mampu
menghibur diri sendiri ketika ditimpa musibah, dapat melepas kecemasan, kemurungan
atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semuanya itu. Sebaliknya
orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung
melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan diri
sendiri.
(3) Motivasi, kemampuan seseorang memotivasi diri sendiri dapat ditelusuri melalui hal-
hal sebagai berikut : cara mengendalikan dorongan hati, kekuatan berpikir positif,
optimisme dan keadaan flow, yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya
tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya yang hanya terfokus pada
satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan
cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam
diri nya.
(4) Empati, empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada
kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia
akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu
menghormati perasaan orang lain.
3
(5) Keterampilan sosial, keteramilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan
dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan. Tanpa memiliki
keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
Menurut Zohar dan Marshall (2008), kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Kecerdasan yang memberi
makna, yang melakukan kontektualisasi, dan bersifat transformatif. Selanjutnya definisi
kecerdasan sprititual menurut Nggermanto (2007) adalah kecerdasan manusia yang
digunakan untuk berhubunga dengan Tuhan. Potensi kecerdasan spiritual setiap orang
sangat besar dan tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan atau materi lainnya.
Menurut Zohar dan Marshall (2008), ciri-ciri kecerdasan spiritual secara umum
adalah:
(1) Kesadaran diri, kesadaran seseorang untuk memberikan makna dan autentisitas pada
dirinya dan organisasi tempat ia bergabung.
(2) Spontanitas, seseorang menjadi sangat responsif terhadap momen, dan kemudian rela
dan sanggup untuk bertanggung jawab terhadapnya.
(3) Terbimbing oleh visi dan nilai, terbimbing oleh visi dan nilai berarti bersikap idealistis,
tidak egoistis, dan berdedikasi.
(4) Holistik, holistik adalah suatu kemampuan untuk melihat suatu permasalahan dari
setiap sisi dan melihat bahwa setiap persoalan punya setidaknya dua sisi, dan biasanya
lebih.
(5) Kepedulian, suatu kualitas dari empati yang mendalam, bukan hanya mengetahui
perasaan orang lain, tetapi ikut juga merasakan apa yang orang lain rasakan.
(6) Merayakan keberagaman, menghargai orang lain dan pendapat-pendapat walaupun itu
bertentangan, dan tidak meremehkan pendapat-pendapat itu.
(7) Independensi terhadap lingkungan, independensi terhadap lingkungan berarti teguh,
terfokus, tabah, berpikiran independen, kritis terhadap diri sendiri, berdedikasi, dan
berkomitmen. (8) Bertanya “Mengapa”, keingintahuan yang aktif dan kecenderungan
untuk mengajukan pertanyaan “mengapa” yang fundamental sangat penting bagi segala
macam kegiatan ilmiah, yang merupakan semangat dan motivasi untuk meneliti secara
terus menerus.
Fahmi (2016) mendefinisikan kinerja sebagai hasil yang diperoleh oleh suatu
organisasi baik organisasi tersebut bersifat profit oriented dan non profit oriented.
Menurut Yani (2012) kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan kecakapan,
pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kasmir (2016) menyatakan bahwa kinerja
adalah hasil kerja dan perilaku kerja seseorang dalam suatu periode, biasanya 1 tahun.
Kemudian kinerja dapat diukur dari kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas dan
tanggung jawab yang diberikan. Artinya dalam bekerja mengandung unsur standar yang
pencapaian harus dipenuhi, sehingga, bagi yang mencapai standar yang telah diteatpkan
berarti berkinerja baik.
Indikator penilaian kinerja menurut Kasmir (2016) yaitu sebagai berikut:
(1) Kualitas (mutu), pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan melihat kualitas (mutu)
dari pekerjaan yang dihasilkan melalui suatu proses tertentu. Dengan kata lain bahwa
kualitas merupakan suatu tingkatan dimana proses atau hasil dari penyelesaian suatu
kegiatan mendekati titik sempurna.
(2) Kuantitas, untuk mengukur kinerja dapat pula dilakukan dengan melihat dari
kuantitas yang dihasilkan seseorang. Dengan kata lain kuantitas merupakan produksi yang
dihasilkan dapat ditunjukkan dalam bentuk satuan mata uang, jumlah unit, atau jumlah
siklus kegiatan yang diselesaikan. Biasanya untuk pekerjaan tertentu sudah ditentukan
kuantitas yang dicapai. Pencapaian kuantitas yang diharapkan adalah jumlah yang
sesuai dengan target atau melebihi dari target yang telah ditetapkan.
4
(3) Waktu (jangka waktu), untuk jenis pekerjaan tertentu diberikan batas waktu dalam
menyelesaikan pekerjaannya. Artinya ada pekerjaan batas waktu minimal dan batas waktu
maksimal yang harus dipenuhi. Jika melanggar atau tidak memenuhi ketentuan waktu
tersebut, maka dapat dianggap kinerjanya kurang baik, demikian pula sebaliknya. Dalam
arti lebih luas ketepatan waktu merupakan dimana kegiatan tersebut dapat diselesaikan,
atau suatu hasil produksi dapat dicapai dengan batas waktu yang telah ditetapkan
sebelumnya. Untuk jenis pekerjaan tertentu makin cepat suatu pekerjaan, makin baik
kinerjanya demikian pula sebaliknya makin lambat penyelesaian suatu pekerjaan, maka
kinerjanya menjadi kurang baik.
(4) Pengawasan, hampir seluruh pekerjaan perlu melakukan dan memerlukan
pengawasan terhadap pekerjaan yang sedang berjalan. Pada dasarnya situasi dan kondisi
selalu berubah dari keadaan yang baik menjadi tidak baik atau sebaliknya. Oleh karena
itu, setiap aktivitas pekerjaan memerlukan pengawasan sehingga tidak melenceng dari
yang telah ditetapkan. Dengan adanya pengawasan maka setiap pekerjaan akan
menghasilkan kinerja yang baik.
(5) Hubungan antar karyawan, penilaian kinerja seringkali dikaitkan dengan kerjasama
atau kerukunan antar karyawan dan antar pimpinan. Hubungan ini seringkali juga
dikatakan sebagai hubungan antar perseorangan. Dalam hubungan ini diukur apakah
seorang karyawan mampu untuk mengembangkan perasaan saling menghargai, niat baik
dan kerjasama antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Hubungan antar
perseorangan akan menciptakan suasana yang nyaman dan kerjasama yang
memungkinkan satu sama lain saling mendukung untuk menghasilkan aktivitas
pekerjaan yang lebih baik. Hubungan antar karyawan ini merupakan perilaku kerja yang
dihasilkan seorang karyawan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di PDAM Tirta Peusada yang berada di Kabupaten Aceh
Timur. Penelitian dilakukan selama 4 (lima) bulan, yaitu sejak November
2017sampai dengan Maret 2018. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
(1) Data kualitatif adalah data yang berupa ciri-ciri, sifat, keadaan, atau gambaran dari
kualitas objek yang diteliti (Mulyana, 2008).
(2) Data kuantitatif adalah data yang berupa bilangan, nilainya bisa berubah-ubah atau
bersifat variatif (Mulyana, 2008).
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan pada PDAM
Tirta Peusada. Sugiyono (2010), menyatakan bahwa populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Adapun jumlah populasi pada penelitian ini adalah 65 orang karyawan.
Menurut Sugiyono (2010), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampling jenuh.
Sampling jenuh yaitu pengambilan seluruh populasi menjadi sampel. Dengan demikian
maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 65 orang.
Menganalisis data pada penelitian ini menggunakan regresi linier berganda yang
pertujuan untuk mengetahui pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja terhadap kinerja
karyawan. Persamaan regresi linier berganda yang digunakan dikemukakan oleh Sugiyono
(2010:277):
Y = a + β1X1+β2X2+e
Keterangan :
Y = Dependen variabel a = Konstanta
X1, X2 = Independen variabel
β1, β2 = Koefisien regresi e = Error
5
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: kecerdasan emosional
dan kecerdasan spiritual secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja
karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan
pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini dilakukan beberapa pengujian yaitu:
(1) Uji secara parsial (Uji t), pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh
pengaruh satu variabel bebas secara parsial (individual) menerangkan variasi variabel
dependen.
(2) Uji secara simultan (Uji F), pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah semua
variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara simultan
(serempak) terhadap variabel terikat.
(3) Koefisien Determinasi (R2), pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi
adalah antara nol dan satu.Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel
independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang
mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua
informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel independen (Ghozali,
2013). Pada penelitian ini nilai koefisien determinasi (R2) menggunakan hasil perhitungan
program statistical package of social science (SPSS) versi 20,0 for Windows dengan
mengambil angka dari tabel regressionmodelsummary yaitu R Square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan
pada PDAM Tirta dapat diketahui dari hasil penelitian berupa tanggapan kuesioner.
Tanggapan tersebut kemudian di analisis dengan menggunakan persamaan regresi linier
berganda yang diolah dengan menggunakan program SPSS versi 20,0. Hasil persamaan
regresi linier berganda yang didapat yaitu: Y = 2,138 + 0,442X1 + 0,218X2.
Berdasarkan persamaan di atas dapat dijelaskan: Konstanta sebesar 2,138 adalah kinerja
sebelum dipengaruhi oleh variabel keselataman dan kesehatan kerja. Koefisien regresi
sebesar 0,442X1, menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif
terhadap kinerja dan bila kecerdasan emosional meningkat satu satuan maka akan
meningkatkan kinerja sebesar 0,442 dengan asumsi variabel lain bernilai tetap. Koefisien
regresi sebesar 0,218X2, menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh positif
terhadap kinerja dan bila kecerdasan spiritual meningkat satu satuan maka akan
meningkatkan kinerja sebesar 0,218 dengan asumsi variabel lain bernilai tetap.
Pembuktian hipotesis pada penelitian menggunakan uji t dan uji F serta koefisien
determinasi (R2) sebagai berikut: (1) Hasil uji statistik (uji t) diperoleh: Pada variabel
kecerdasan emosional tsig < α (0,018 <0,05) maka dapat dinyatakan bahwa variabel
kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
Pada variabel kecerdasan spiritual tsig < α (0,033 < 0,05) maka dapat dinyatakan bahwa
variabel kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Dengan demikian
berdasarkan uji t maka hipotesis yang menyatakan kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual secara parsial berpengaruh terhadap kinerja karyawan diterima. (2) Berdasarkan
perhitungan SPSS uji F diperoleh Fsig < α (0,011 > 0,05), maka dapat dinyatakan bahwa
variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan terhadap
kinerja. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh terhadap kinerja karyawan diterima.
(3) Berdasarkan perhitungan koefisien determinasi dapat diketahui bahwa nilai koefisien
determinasi (R2) pada kolom R Square sebesar 0,472. Nilai koefisien determinasi tersebut
6
0,472 atau 47,2% variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
mempengaruhi kinerja karyawan dan sisanya sebesar 52,8% dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak masuk dalam penelitian ini.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan yaitu: berdasarkan
hasil persamaan regresi linier berganda diperoleh konstanta sebesar 2,138 adalah
kinerja sebelum dipengaruhi oleh variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Koefisien regresi sebesar 0,442X1, menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
berpengaruh positif terhadap kinerja. Koefisien regresi sebesar 0,218X2, menunjukkan
bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh positif terhadap kinerja. Hasil uji t kecerdasan
emosional, tsig < α 5% (0,018 < 0,05) maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan
emosional berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Pada variabel kecerdasan spiritual,
tsig < α (0,033 < 0,05) maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan spiritual
berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Hasil uji F, Fsig< α (0,011 > 0,05), maka dapat
dinyatakan bahwa variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh
signifikan terhadap kinerja. Hasil uji koefisien determinasi (R2) sebesar 0,472 atau 47,2%
variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual mempengaruhi kinerja
karyawan dan sisanya sebesar 52,8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.
7
SPIRITUAL MANAJEMEN:
SEBUAH REFLEKSI DARI PENGEMBANGAN ILMU
MANAJEMEN(Arief, 2010)
Salah satu tren yang terjadi pada zaman post modern adalah perubahan lingkungan yang
sangat cepat. Turbulansi yang terjadi pada lingkungan menyebabkan berubahnya segala sesuatu
yang ada, seperti perubahan perekonomian, teknologi, budaya dan secara hakiki terjadinya
perubahan peranan dari manusia didalam menjalani kehidupan. Makna dari perubahan lingkun
gan menyebabkan manusia semakin terjebak ke dalam kebenaran semu, yang semuanya diukur
dengan materi, dan material dapat diukur melalui pemikiran – pemikiran yang kreatif.
Materialism dapat menimbulkan berbagai penyakit psikologis, seperti krisis jati
diri, depresi, stress, serta ketakutan manusia didalam menghadapi kegagalan, dan kondisi tersebut
menjadi bagian dari keseharian dan tidak dapat dihindarkan. Unsur kemanusiaan yang ada di
dalam dirinya mengalami kehancuran dengan cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah
sebuah ras yang non manusiawi. Kegiatan mekanis yang dilakukan oleh manusia tidak sesuai lagi
dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah (Asih). Pada akhirnya, berbagai penyakit
psikologis yang ada pada manusia akan berdampak pada kinerja, dan hal ini terutama dapat
dilihat ketika mereka terlibat dalam dunia bisnis. Perilaku orang dan etika manusia didalam
menjalankan aktivitas bisnis telah jauh dari nilai – nilai kemanusiaan dan nilai kebenaran. Cara
pandang bahwa bisnis harus berorientasi pada pasar akan menyebabkan perusahaan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, profitabilitas dan dilakukan dengan
mengekploitasi dan mengeksplorasi semua sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya internal
dan eksternal. Perusahaan akan menjadi bangga ketika dapat menerapkan ilmu, konsep dan
pemikiran dalam menghadapi lingkungan yang dinamis sehingga tidak menyadari bahwa apa
yang telah dilakukan telah menyebabkan mereka menjadi egosentrik dan dipenuhi dengan
pertimbangan jangka pendek sehingga tatanan perekonomian, sosial, budaya dan politik menjadi
tidak seimbang.
Orientasi bisnis yang dimiliki oleh manusia dengan tidak memandang perilaku
yang beretika serta hanya mementingkan unsur materialism sangat bertentangan dengan
pemikiran dasar dari Aristoteles (384-322 SM). Dalam pandangannya, Aristoteles menekankan
pada pentingnya peningkatan kepekaan manusia melalui ide–ide sejarah, khususnya mengenai
akal sehat, dan berusaha menghindari pola-pola yang ekstrem dalam filsafat. Pola pemikiran
tersebut mengacu pada bagaimana manusia dapat mencapai keseimbangan kehidupan, dengan
tidak hanya berpikir mengenai hal – hal yang bersifat konkret, tetapi juga memasukkan unsur
yang abstrak. Dalam metafisikanya ia menolak pemisahan forma- forma Plato melalui analisis-
analisisnya tentang material, paternsialitas, substansi, dan dunia teleologis secara umum.
Dalam etika dan filsafat sosial, ia dikenal mempertahankan ajaran tentang posisi “tengah-
tengah” dalam perbuatan manusia dimana ia menekankan keutamaan dan tanggung jawab moral,
khususnya pada situasi-situasi tertentu dimana “keputusan terletak pada persepsi”. Pola
pemikiran ini dianggap dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia didalam menjalani
kehidupan dan secara luas dapat membawa perubahan bagi perusahaan.
Tujuan perusahaan adalah menggabungkan antara strategi dan nilai serta menjawab
pertanyaan paling mendasar dari kehidupan perusahaan ; Mengapa perusahaan didirikan ?
(Drucker, dalam Pearce, Maciariello dan Yamawaki, 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, perusahaan memerlukan strategi, menentukan
8
sifat dari cita – cita dan sasarannya, mempengaruhi keputusannya, membentuk cara mengelola,
menentukan tingkat keseimbangan antara nilai – nilai yang dianut oleh perusahaan dengan
karyawan serta mempengaruhi motivasi hakiki karyawan, dan sebagai akibatnya akan
mempengaruhi komitmen, inisiatif dan kreatifitas karyawan. Penciptaan keseimbangan melalui
penentuan nilai – nilai yang dianut oleh perusahaan didalam menumbuhkan motivasi, yang
berdampak pada komitmen, inisiatif dan kreatifitas karyawan tentunya membutuhkan
kemampuan dari individu didalam melakukan pengendalian diri secara terus menerus pada
kegiatan, tujuan serta hasil – hasil yang bermakna. Semua desain organisasi perusahaan yang
selama ini menjadi fokus dalam perdebatan teori organisasi dibuat dengan maksud untuk
memastikan keseimbangan antara keberadaan kualitas yang ada pada diri individu dengan
tujuan organisasi. Tetapi, mekanisme pada semua desain tersebut berlangsung lebih external
daripada internal. Pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan dari Drucker, yang menyatakan
bahwa terdapat perbedaan kepentingan dari para pemegang saham, pelanggan dan karyawan
dalam perusahaan. Sebuah tujuan yang ingin menyeimbangkan kepentingan semua pihak terkait
seringkali tidak memperhatikan soliditas dari organisasi. Oleh karena itu, tantangan yang
dihadapi oleh pemimpin adalah sejauh mana mereka dapat meraih kinerja tertinggi dari
setiap individu melalui upaya mengkombinasikan kualitas – kualitas pribadi dengan berbagai
kompetensi yang dimiliki, seperti pendidikan, ketrampilan, bakat, kemampuan dan berbagai
kekuatan lainnya (Hendrawan, 2007).
Secara hakiki, struktur ontologis manusia, yakni Logos subyektif, memungkinkan
manusia mentransendir dirinya, sehingga ia mampu berpikir secara metafisis ke arah yang
absolut. Secara esensial, metafisika hanya mungkin terjadi jika seseorang dapat merefleksikan
spiritualitas, yakni berkaitan dengan keinginan manusia untuk menyatukan diri dengan yang
absolut. Refleksi metafisis manusia tentang absolutisme yang ditemukan melalui aktivitas yang
terbatas tidak hanya berkaitan dengan kemampuan intelektual manusia, tetapi lebih berkaitan
dengan unsur teologis, yaitu proses pencarian kesatuan antara yang absolut dan keterbatasan
yang dimiliki oleh manusia, yang berarti juga merupakan upaya pemenuhan dirinya. Pendasaran
metafisis atas keinginan manusia untuk menunjukkan spiritualitas melampaui kondisi-kondisi
eksternal yang bersifat kontingen, seperti faktor historis, psikologis, budaya, sosial, ekonomi,
atau yang lainnya. Kemampuan manusia untuk mentransendir dirinya mencerminkan struktur
terdalam, baik dari yang terbatas maupun dari yang absolut, sehingga bukanlah bersifat
ekternal, melainkan internal.
Secara ontologis, Hendrawan (2007) memaknai arti dari spiritual sebagai “sesuatu yang
prinsip sehingga menghidupkan organisme fisik”, “”sesuatu yang berhubungan dengan hal yang
suci” dan “sesuatu yang berhubungan dengan fenomena atau makhluk supernatural”.
Selanjutnya, secara ringkas dijelaskan bahwa spiritualitas meliputi ; (1) sebagai sumber kekuatan
hidup ; (2) memiliki status yang suci dan (3) berkaitan dengan Tuhan. Ali (2009) menjelaskan
bahwa spiritualitas merupakan komponen yang lebih kecil dari keyakinan atau agama. Spiritual
sebagai sumber kekuatan hidup dan mempunyai status kesucian, mencerminkan kecenderungan
untuk memisahkan spiritualitas dari agama. Meskipun masih dapat disatukan, sumber kekuatan
hidup dan kesucian dapat dibedakan menjadi bentuk (form) dan makna (substance). Bentuk
adalah sesuatu yang dapat dilihat dari luar, sedangkan makna merupakan hakikat yang tidak
terlihat, suatu realitas yang tersembunyi. Rumi, dalam Hendrawan (2007), menjelaskan bahwa
bentuk dan makna merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bentuk berasal dari makna
dan makna akan merealisasikan diri sebagai bentuk. Argumentasi ini membawa implikasi
penting, bahwa spiritualitas memerlukan realisasi nyata sebagai perwujudan bentuk.
Implikasinya, realisasi dari spiritualitas ini diwujudkan dalam agama, new age, sekte maupun
gerakan yang lain dengan berbagai tingkat kesadaran yang berbeda, individu, kelompok dan
masyarakat, yang akan memberikan suatu nilai bagi kehidupan.
9
Keyakinan atau fenomena spiritualitas telah memberikan dampak yang penting bagi
perilaku individu dan bagaimana mereka dapat memfungsikan kemampuan yang dimiliki untuk
sesuatu yang bermakna (Saucier dan Skrzypińska, 2006). Spiritualitas dapat memberikan sesuatu
yang lebih dengan bagaimana keragaman dimulai, apa bentuk kehidupan khusus dan bagaimana
seseorang dapat memahami ketidakadilan (Argyle & Beit Hallahmi,1975) ; spiritualitas dapat
meningkatkan kenyamanan dan keamanan bagi seseorang sehingga akan terhindar dari rasa
cemas (Greenberg, Pyszczynski, & Solomon, 1986) ; serta dapat meningkatkan kepekaan
seseorang terhadap sesuatu yang benar dan salah (Baumeister, 1991). Selanjutnya, keyakinan
yang dimiliki oleh seseorang akan dapat menghubungkan dengan orang lain, sehingga mereka
akan dapat memberikan masukan terhadap sistem yang ada dengan berdasar pada nilai– nilai
dan aturan yang berlaku pada kelompok sosial (Kuczkowski, 1993) ; nilai dan aturan yang
mungkin dapat digunakan sebagai landasan utama didalam menentukan perilaku nyata
(Mądrzycki, 1996, dalam Saucier dan Skrzypińska, 2006).
Secara empiris, ketertarikan dari beberapa peneliti untuk melakukan kajian dalam mencari
hubungan antara spiritual pada manajemen telah mengalami perkembangan (Kinni, 2003 ;
Weaver dan Agle, 2002). Kajian tersebut didasarkan dari pernyataan yang dikemukakan oleh
beberapa manajer bahwa peran dari keyakinan atau spiritual menjadi hal yang sangat penting
didalam menjalankan bisnis. Spiritual Manajemen didefinisikan sebagai manajemen yang
mengedepankan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Samsu, 2009).
Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai- nilai spiritual manajemen sudah ada sejak sekitar tahun
631M, dimana dunia mencatat sebuah fenomena manajemen di Madinah, ketika Nabi
Muhammad berhasil membangun masyarakat madani di sebuah wilayah yang demokratis,
yang menghargai pluralitas dengan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, supremasi hukum,
egalitarianisme dan toleransi yang semuanya dibangun dengan dasar manajemen spiritual.
Secara faktual, beberapa negara Barat, khususnya negara yang berada di Amerika
Utara, ketidak percayaan masyarakat terhadap institusi agama telah mengalami peningkatan.
Fenomena ini mendorong timbulnya spiritualitas bagi masyarakat dengan berbagai bentuk
keyakinan dan kepercayaan yang bervariasi, mulai dari cult, sect, New Thought, New Religious
Movement, Human Potentials Movement, The Holistic Health Movement, sampai New Age
Movement (Wattimena, tidak dipublikasikan). Tujuannya dari timbulnya gerakan spiritualitas ini
adalah ingin memenuhi hasrat untuk mendamaikan hati.
Terlepas dari apa bentuknya, makna dari spriritual sebagaimana yang dikemukakan
oleh Rumi dalam Hendrawan (2007) menunjukkan pentingnya perusahaan memasukkan dimensi
ini didalam menjalankan kegiatan bisnis. Beberapa filsuf besar seperti Thales (+ 585
SM), menyatakan bahwa “Segala sesuatu penuh dengan dewa” (kosmologi naturalistik).
Sedangkan Plotinus (205-270) yang dianggap sebagai neo- Platonis terbesar meyakini bahwa
realitas ini muncul dari sumber yang bersifat transenden dan tak terlukiskan yang disebut Yang
Esa. Yang Esa itu melampaui ada, dan segala sesuatu muncul dari dari-Nya melalui emanasi.
Emanasi pertama adalah Nous (akal), yang kedua Jiwa-Dunia yang bersamanya jiwa-jiwa
manusia muncul, dan yang ketiga adalah Materi.
Agustinus (354-430), merupakan filsuf besar Kristen pertama, menganggap bahwa Tuhan
sebagai pengada tertinggi yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan; bahkan waktupun
belum ada sebelum penciptaan. Kejahatan tidak diciptakan Tuhan karena pada hakikatnya
kejahatan itu tidak ada. Pengetahuan manusia hanya dapat terjadi melalui pencerahan budi.
Namun sejak Adam tergelincir ke bumi, maka manusia hanya dapat terbebas dari dosa jika
rahmat-Nya memulihkan kekuatan untuk melakukan kebaikan. Setiyadi menyatakan bahwa
spiritual mengacu pada suatu sifat yang mengandung energi, semangat, kekuatan yang ada
namun tiada dapat terlihat, hanya dapat dirasakan keberadaannya. Ia lebih merupakan
10
perwujudan dari pengakuan bahwa gagal suksesnya perusahaan tidak hanya sebagai resultan
dari upaya fisik yang dilakukan manusia, namun di dalamnya ada intervensi dari Tuhan Yang
Maha Esa, sebagai sumber spirit. Dari beberapa pemikiran tersebut secara tersirat maupun
tersurat sudah menggambarkan besarnya peran dari spiritual didalam menjalankan kehidupan
melalui pengelolaan manajemen.
Secara empiris, Novicevic, Ghosh, Clement dan Robinson (2008) menyatakan bahwa
sistem manajemen akan menghilangkan pemahaman individu terhadap formalitas pada
perusahaan. Pernyataan ini memperkuat argumentasi dari Thompson (1961) bahwa terdapat
kesenjangan antara spesialisasi dan status dari hirarki yang ada pada perusahaan. Untuk
menjembatani kesenjangan antara sistem yang ada pada perusahaan, Hendrawan (2007)
menyatakan bahwa manajemen perusahaan harus mengintegrasikan aspek spiritual (spirituality),
kepemimpinan (leadership) dan ilmu pengetahuan (science). Pernyataan ini didukung dengan
argumentasi dari Ali (2009) yang mengemukakan bahwa persaingan yang ada pada pasar akan
mengimprovisasi manajer perusahaan untuk menggunakan pendekatan dan pemikiran spiritual.
Pada titik ini, pengembangan ilmu manajemen harus didasarkan tidak hanya pada aspek yang
konkret, dengan hanya mempertimbangkan pada kondisi materialism, tetapi juga memasukkan
aspek yang abstrak.
Manajemen merupakan pencapaian sasaran-saran organisasi dengan cara yang efektif dan
efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian sumber daya
organisasi (Daft, 2000). Pada umumnya, manajemen suatu perusahaan bercermin dari
negara – negara Barat yang dianggap sangat maju dan inovatif didalam mengembangkan konsep
– konsep baru untuk menjalankan kegiatan operasional bisnis. Dari beberapa kajian empiris
banyak ditemukan pengembangan model manajemen secara teoritis dan temuan empiris dari
aktivitas bisnis yang menunjukkan peningkatan kinerja perusahaan ditengah dinamisasi yang ada
pada lingkungan dan ketatnya persaingan (Novicevic, Harvey, Buckley dan Adams, 2008).
Tetapi, ketika ekonomi Amerika mengalami degradasi, timbul persepsi bahwa ada yang salah
dengan sistem bisnis yang digunakan selama ini. Pandangan dari mahzab scientific yang
dipelopori oleh Taylor dengan penekanan pada “bekerja pada output maksimum, dan tidak
membatasi output”, pada kenyataannya tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu perlu
dikembangkan konsepsi lain sebagai suatu alternatif yang dapat diterapkan oleh perusahaan
untuk menjaga survivalitas dalam lingkungan yang dinamis.
Budaya dan Spiritualitas
Untuk menginvestigasi bagaimana spritualitas dimasukkan dan akan mempengaruhi
perilaku organisasi tidak hanya dibatasi dari dimensi yang dimiliki oleh karyawan yang berada
di organisasi, tetapi juga sebagai refleksi dari seseorang didalam memahami suatu nilai dan
makna dari spritualitas yang dimiliki (Mohamed et al., 2001). Dari studi empiris yang dilakukan
oleh Oliveira (2001) dijelaskan bahwa model dari teori organisasi berkaitan dengan beberapa
konsep teori yang lain, salah satunya adalah dengan budaya. Budaya yang terdiri dari suatu
sistem pembelajaran dan dikomunikasikan melalui makna bahasa secara alamiah dan sistem
simbol yang lain, mempunyai fungsi yang representatif, bersifat langsung dan afektif serta
mempunyai kemampuan untuk menciptakan entitas budaya yang secara khusus akan
membentuk kepekaan terhadap realitas yang ada (Rubinstein, 1993). Melalui sistem pemaknaan
ini, seseorang yang berada dalam suatu kelompok tertentu akan beradaptasi pada lingkungan dan
struktur dari aktivitas interpersonal.
Selama 1 abad terakhir, perkembangan kehidupan manusia selalu diikuti dengan
perkembangan budaya. Suatu budaya akan menghargai keragaman dari keyakinan yang
dimiliki oleh seseorang dengan menekankan pada kode – kode yang akan menggerakkan nilai
11
– nilai toleransi (Milliman, Czaplewski, dan Ferguson, 2003 ; Milliman et. al.,1999 ; Kouzes
dan Posner, 1995).
Beberapa bentuk dari budaya dapat digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Sistem budaya akan menjadi cara baru bagi seseorang untuk “berpikir, menunjukkan perasaan
dan eksistensinya” (Zachariev,2002). Budaya merupakan seperangkat orientasi nilai yang
menunjukkan inti pusat dari makna pada kehidupan manusia (Brake, Walker dan Walker,1995).
Budaya akan menanamkan norma berperilaku dan sifat, mengetahui dan menguasai sekumpulan
peraturan, menghormati nilai dan norma masyarakat, serta menghargai ilmu pengetahuan dan
kebenaran (Pearce, Maciariello dan Yamawaki, 2010). Orientasi nilai yang dimiliki oleh
manusia akan memandu mereka untuk menunjukkan bagaimana mereka akan berpikir,
bertindak serta menggambarkan keyakinan. Orientasi nilai juga merupakan elemen dari budaya
dimana seseorang akan menggunakan pola ini sebagai pendekatan didalam melakukan interaksi
dengan individu lain atau suatu kelompok, dan dalam melakukan pembelajaran. Dengan
demikan, budaya akan mempengaruhi tindakan, pengambilan keputusan dan perasaan seseorang
dalam menginterpretasikan dirinya, orang lain, organisasi dan lainnya.
Spiritualitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya. Dalam Landmarks
of Tomorrow, Drucker mengatakan kebutuhan manusia akan nilai – nilai spiritual untuk
membentuk budaya. Dengan kemampuan yang dimiliki, manusia dapat menyebabkan
kehancuran pada dirinya sendiri dan orang lain, baik dari segi fisik, perasaan, psikis dan moral.
Kemajuan ilmu pengetahuan akan mendorong terjadinya perubahan perilaku manusia sehingga
dapat mengubah manusia menjadi individu yang kehilangan jati dirinya dengan
menyalahgunakan rasa takut dan perasaan, tidak mempunyai keyakinan, nilai, prinsip, belas
kasih, harga diri serta hilangnya rasa kemanusiaan. Ketika sifat – sifat tersebut berjalan dalam
waktu yang sangat lama, maka akan menjadi suatu budaya. Untuk mengatasi hal ini, manusia
dapat kembali ke nilai – nilai spiritual yang akan memandu mereka untuk menggunakan
kemampuannya yang dihasilkan dari penciptaan pengetahuan baru dalam memberikan manfaat
tertinggi bagi umat manusia.
Dari studi yang dilakukan oleh Mirvis (1997) ; Cavanagh, et al. (2001) disebutkan bahwa
pada beberapa budaya yang ada pada perusahaan, khususnya yang dikarakteristikkan oleh filosofi
materialistic dan positivist, isu – isu tentang spiritualitas di tempat kerja telah banyak digunakan
untuk menjawab tantangan budaya. Selanjutnya, Mirvis (1997) menjelaskan bahwa budaya
perusahaan dikarakteristikkan sebagai “anti etika” dari spiritualitas. Selanjutnya dijelaskan
bahwa tendensi perusahaan terhadap “kebenaran dan alasan”, “spiritual dan sekular” akan
menimbulkan perspektif dan kepekaan bahwa spiritual sebagai sesuatu yang tidak dapat
didiskusikan pada beberapa organisasi (p. 203; Mirvis, 1997). Argumentasi diatas menjelaskan
bahwa spiritualitas menjadi legitimasi penguatan didalam mengekspresikan keyakinan dan
spiritualitas di tempat kerja menjadi faktor yang cukup valid didalam mempengaruhi
lingkungan perusahaan (Brown, 2003 ; Mirvis, 1997 ; Karakas dan Fahri, 2010). Spiritualitas
yang ada pada suatu perusahaan dapat terhambat dengan perilaku yang ditunjukkan oleh manajer
yang mencoba untuk mempertahankan keberadaannya pada saat ini. Jika demikian,
karyawan yang mempunyai persepsi terhadap spiritual akan menjalankan aktivitas spiritualnya
dengan caranya sendiri dan untuk menghindari tekanan yang ada, mereka tidak menunjukkan
perilaku yang menunjukkan aktivitas spiritual.
Model Spiritualitas Perusahaan
Spiritualitas merupakan bentuk penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui perilaku
tertentu. Fokus spiritual terdapat pada diri manusia. Ketika wilayah psikologi mengkaji jiwa
sebagai psyche (dalam terminologi spiritual lebih dikenal sebagai ego), maka spiritualitas
menyentuh jiwa sebagai spirit. Konteks spiritual yang digunakan oleh budaya barat menyebutkan
12
spiritual sebagai inner self (diri pribadi), sesuatu yang “diisikan” Tuhan pada saat manusia
diciptakan. Sims (1994) menyebutkan lima aspek spiritualitas yang didasarkan pada
psychiatrist, yaitu ; (1) arti dari kehidupan, (2) toleransi antar manusia, (3) kepribadian
seseorang ; menjadi dirinya sendiri, pemikiran dan motivasi, (4) moralitas ; berkaitan dengan
kebaikan dan keburukan dan (5) kesadaran akan adanya Tuhan ; berkaitan dengan hubungan
antara Tuhan dan manusia.
Spiritual mengacu pada suatu sifat yang mengandung energi, semangat, kekuatan yang
ada namun tiada dapat terlihat, hanya dapat dirasakan keberadaannya. Secara khusus, spiritual
yang ditunjukkan oleh perusahaan tidak hanya berkaitan dengan agama yang dianut oleh setiap
pimpinan dan pegawai perusahaan, tetapi lebih merupakan perwujudan dari pengakuan bahwa
kegagalan atau kesuksesan perusahaan tidak hanya sebagai resultan dari upaya fisik yang
dilakukan manusia, tetapi di dalamnya ada intervensi dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
sumber keyakinan. Perusahaan yang menekankan pada spiritual akan mengubah perilaku individu
dan perusahaan dari yang awalnya tidak atau kurang peka terhadap kondisi lingkungan sekitar
menjadi lebih peka dan sadar terhadap lingkungan sekitar.
Hendrawan (2009) menjelaskan bahwa secara sederhana model spiritual
perusahaan mempunyai tiga dimensi, yaitu :
(1) Dimensi vertikal, dimensi ini berkaitan dengan tingkatan sistem yang menjadi
obyek spiritualisasi, meliputi individu, kelompok dan organisasi.
(2) Dimensi horizontal, dimensi ini merupakan analogi dari konsep perjalanan
kaum sufi dalam meraih pengalaman spiritual tertinggi yang dikenal dengan
istilah syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifah.
(3) Dimensi diagonal. Dimensi ini mencoba menyatukan berbagai unsur kehidupan yang
terpisah, yaitu unsur aksi, identitas, nilai dan keyakinan.
Ketiga dimensi yang ada pada spiritual perusahaan tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut :
Interaksi dari dimensi model spiritual perusahaan sebagaimana yang tertera pada gambar
diatas akan menghasilkan peningkatan, pendalaman dan perluasan kesadaran individu dalam
bentuk ; (1) pengenalan diri ; (2) intuisi ; dan (3) harmonisasi. Perubahan kesadaran yang
menghasilkan pengalaman spiritual universal yang oleh Huxley (dalam Hendrawan, 2009)
disebutdengan kearifan abadi, perennial wisdom. Dampak yang ditimbulkan dari perubahan
kesadaran akan menciptakan penguasaan diri dari tingkat individu, keberhasilan kelompok, dari
tingkatan kelompok dan pengelolaan dari dalam diri pada tingkatan organisasi (Hendrawan,
2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa ketiga dimensi tersebut merupakan unsur vital bagi
efektifitas organisasi dalam menghadapi lingkungan bisnis yang semakin kompetitif.
13
Dengan pendekatan yang berbeda, Campuzano (2009) menjelaskan model spiritual
organisasi bisnis dengan membedakan 3 tingkatan elemen yang meliputi “metrik sistem kinerja”,
“spirituality Quotient” dan “kepemimpinan spiritual”. Pada model ini dijelaskan bahwa tingkatan
tertinggi pada spiritualisasi perusahaan adalah menciptakan kinerja yang unggul karena adanya
kesadaran yang tinggi dari karyawan untuk memotivasi diri dalam meningkatkan kinerja.
Spiritual quotient meliputi kejujuran, rasa hormat dan tanggung jawab terhadap nilai yang
diberikan. Tanggung jawab akan memberikan manfaat bagi perusahaan, dan oleh karena itu
pengalaman kepemimpinan dan karyawan akan meningkatkan kualitas dari kehidupan pekerjaan.
Sedangkan spiritual leadership akan mempengaruhi karyawan dalam mencapai realisasi diri dan
berusaha untuk mencapai tujuan yang akan menunjukkan aktualitas. Pemimpin akan
mempengaruhi budaya organisasi melalui nilai – nilai yang ditanamkan, menghubungkan dengan
orang lain, mempraktekkan spiritualitas dan menghidupkan gaya hidup secara transparan (Gull
dan Doh, 2004). Spiritual leadership termasuk realisasi diri dan implementasi keseimbangan
antara keluarga, pekerjaan dan spiritualitas.
Gambar 2. Model Spiritual Organisasi Bisnis
Sumber : Campuzano & Seteroff, 2009
Realisasi diri merupakan hal yang sangat penting karena hasilnya dapat dilihat oleh
karyawan. Keseimbangan gaya hidup akan meningkatkan kepuasan karena semua aspek
kehidupan akan menyeimbangkan hal yang lain serta menghasilkan keadaan yang harmonis,
bukan menimbulkan kekacauan serta konflik internal dan eksternal Campuzano, Guadalupe dan
Seteroff, 2009). Ketika spiritual dapat mengurangi perilaku yang tidak jujur dan meningkatkan
perilaku yang beretika, maka spiritual pada organisasi bisnis secara positif dapat memberikan
dampak pada efisiensi kelompok dan kinerja para eksekutif. Spiritual organisasi bisnis akan
menghasilkan suatu norma pada kelompok yang akan meningkatkan produktifitas serta
mengurangi biaya dari aktivitas bisnis yang yang dijalankan menjadi lebih atraktif dalam upaya
untuk meningkatkan lingkungan persaingan global.
Dari kedua model spiritualisasi perusahaan sebagaimana yang dikembangkan oleh
Hendrawan (2009) dan Campuzano (2009) diatas dapat dilihat perbedaannya. Jika model yang
dikemukakan oleh Hendrawan (2009) lebih menitik beratkan pada upaya membangun spiritual
pada organisasi yang berbasis pada tingkatan individu, disisi lain model yang dikembangkan oleh
Campuzano (2009) lebih menitik beratkan pada pembangunan spiritual organisasi dengan
berdasarkan pada pemimpin. Model spiritual perusahaan yang dikembangkan oleh Campuzano
(2009) akan meningkatkan kesadaran pada karyawan dan menghasilkan peningkatan
kepuasan pada karyawan.
Spiritualitas Dan Keunggulan Bersaing
Spiritualitas dapat diwujudkan melalui penanaman nilai – nilai budaya. Dalam bidang
bisnis, selama ini aspek spiritualitas agak termajinalisasi, karena dalam menjalankan aktivitas
14
bisnisnya, beberapa perusahaan yang berorientasi pada profit selalu dihadapkan pada pola
pemikiran yang bersifat materialisme. Keuntungan yang diperoleh dan berdampak pada
perkembangan perusahaan semata – mata karena disebabkan oleh aktivitas yang dijalankan
melalui proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara obyektif. Perspektif obyektifitas
yang mewakili intelektualisme dan materialisme yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk
menilai perkembangan perusahaan memang sangat penting, tetapi pada sisi yang lain dapat
melepaskan diri dari absolutisme. Pada tingkatan tertentu, obyektifitas dan intelektualisme akan
berbenturan dengan dinding kokoh yang menghalangi jalan manusia menuju Tuhan. Hakikatnya,
manusia adalah makhluk spiritual yang hidup di alam materi (Wattimena, tidak dipublikasikan).
Dalam perspektif spiritualitas, perusahaan adalah tempat bagi individu untuk
mengungkapkan perkembangan total dirinya. Perusahaan dan pekerjaan tidak lagi dilihat
sebagai instrumen untuk menghasilkan pendapatan, tetapi dilihat sebagai lahan suci (sacred)
untuk meraih dan mengungkapkan spiritualitas (Hendrawan, 2009). Spiritualitas yang dimiliki
oleh individu akan membentuk mentalitas baru yang dicirikan dengan orientasi yang lebih
holistik, memberikan pelayanan kepada manusia, mempunyai komitmen pada kebenaran dan
bentuk – bentuk perilaku luhur lain serta kesadaran diri. Ciri – ciri dari mentalitas individu
tersebut diatas sangat diperlukan bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja. Studi empiris
tentang hubungan antara spiritualitas dan kinerja dikemukakan oleh Karakas (2010) melalui
pendapat dari beberapa peneliti sebelumnya. Kesimpulan yang diambil adalah hubungan antara
keduanya dapat dilihat dari dua sudut pandang ; (1) spiritualitas sebagai anti materialist ; dan (2)
spiritualitas sebagai anti positivist. Spiritualitas sebagai anti materialist diargumentasikan bahwa
karakteristik anti materialist pada spiritual menjadi tantangan yang sangat penting bagi
perusahaan didalam menginvestigasi hubungannya dengan kinerja keuangan. Beberapa peneliti
mendukung argumentasi ini dengan menyebutkan bahwa faktor etika dan moral menjadi
komponen yang menentukan hubungan antara spiritual perusahaan dengan kinerja atau
profitabilitas.
Pada sisi lain, spiritualitas berhubungan dengan peningkatan produktifitas atau
profitabilitas perusahaan. Argumentasi ini yang melandasi pemikiran dari beberapa peneliti
dengan memandang spiritualitas sebagai anti positivist. Dalam hubungannya dengan peningkatan
produktifitas, Fry (2003) mengamati bahwa :
“Sebuah perubahan besar terjadi pada kehidupan individu dan profesional ketika
pemimpin mengintegrasikan spiritualitas dalam pekerjaan. Sebagian besar karyawan
menyetujui bahwa bahwa integrasi spiritualitas dalam pekerjaan akan menyebabkan perubahan
positif dalam hubungannya dengan efektifitas. Terdapat bukti bahwa spiritualitas di tempat kerja
tidak hanya menyebabkan hasil yang bermanfaat bagi individu seperti peningkatan ketenangan,
kedamaian, kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi, tetapi spiritualitas tersebut juga
akan meningkatkan produktifitas dan mengurangi tingkat keluar masuknya karyawan dalam
organisasi.”
Selanjutnya dijelaskan bahwa ;
Tujuan dari spiritualitas perusahaan adalah untuk menciptakan visi dan nilai yang melintasi
strategi, pemberdayaan kelompok dan tingkatan individu serta secara utama adalah untuk
menjaga tingkatan tertinggi dari komitmen organisasi dan produktifitas.
Studi empiris yang dilakukan oleh Kinjerski and Skrypnek (2006) menjelaskan bahwa
individu dengan spiritualitas yang tinggi akan berdampak secara positif dalam menjalin
hubungan dengan pelanggan dan peningkatan produktifitas. Secara lebih mendalam, terdapat
beberapa anggapan bahwa spiritualitas organisasi akan meningkatkan produktifitas dan
15
kinerja (Biberman dan Whitty, 1997 ; Biberman et al., 1999 ; Burack, 1999 ; Kriger dan
Hanson, 1999 ; Korac-Kakabadse, Kouzmin, dan Kakabadse, 2002 ; Neck dan Milliman, 1994 ;
Thompson, 2000 ; Case dan Gosling, 2010). Berdasarkan pendapat dari beberapa peneliti diatas,
Karakas (2010) mengembangkan model hubungan antara spiritualitas organisasi terhadap
profitabilitas dan kinerja dengan memasukkan tiga perspektif meliputi ;
a) Perspektif sumberdaya manusia ; spiritualitas akan menggerakkan kebaikan dari
karyawan dan makna dari hidup.
b) Perspektif filosofis ; spiritualitas akan meningkatkan kepekaan karyawan dan makna
dari pekerjaan.
c) Perspektif interpersonal ; spiritualitas akan meningkatkan kepekaan karyawan pada
hubungan interpersonal dan kelompok.
Sumber ; Karakas (2010)
Gambar 3. Tiga Perspektif Spiritualitas nan Kinerja
Ketika perusahaan dapat meningkatkan produktifitas dan kinerja, maka keunggulan
bersaing akan dapat diciptakan oleh perusahaan. Berdasarkan model keunggulan bersaing yang
dikemukakan oleh Porter, keunggulan bersaing akan menggabungkan antara dua strategi ofensif
dan defensif dalam menciptakan posisi yang tidak tergantung pada industri dan untuk mencapai
kesuksesan dengan tekanan persaingan serta menggerakkan hasil yang superioritas. Porter
menyatakan bahwa dasar yang digunakan untuk menciptakan kinerja yang unggul dalam suatu
industri merupakan sumber dari keunggulan bersaing. Faktor kritis yang akan menjadi sumber
dari keunggulan bersaing adalah bagaimana kemampuan dari perusahaan untuk menghadapi
tantangan bisnis melalui mekanisme manajemen, meliputi perencanaan, manajemen
keuangan dan pengambilan keputusan secara inovatif serta mengelola dinamika bisnis dibawah
tekanan perubahan.
Papulova dan Papulova (2006) mengemukakan bahwa keunggulan bersaing yang nyata
akan berimplikasi pada kemampuan perusahaan didalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan
pelanggan secara lebih efektif daripada yang diberikan oleh pesaing. Keunggulan bersaing dapat
dicapai jika perusahaan dapat memberikan nilai tambah kepada pelanggan melalui sistem yang
diterapkan. Pengakuan atas hasrat untuk memberikan nilai tambah kepada pelanggan melalui
pemberian pelayanan yang baik, peduli pada kepentingan pelanggan diatas kepentingan sendiri
merupakan salah satu dimensi kesempurnaan spiritualitas. Selain itu, unsur keikhlasan dan
kejujuran juga menunjukkan ciri – ciri spiritualitas dari organisasi.
Dalam perspektif spiritual, nilai tambah yang diberikan untuk mencapai keunggulan
bersaing dijelaskan oleh Fry dan Whittington (2005) terdiri dari ; (1) berbuat baik dan potensi
yang dimiliki oleh manusia, serta menciptakan dan mempersepsikan organisasi dengan baik ; dan
(2) pemberdayaan organisasi. Perspektif perbuatan baik, eksplorasi potensi yang dimiliki oleh
manusia dan mempersepsikan organisasi dengan baik menggambarkan bagaimana seseorang
mampu menciptakan hasil karya melalui kombinasi dari visi, kreatifitas, menunjukkan perilaku
yang bernilai serta harapan. Visi, kreatifitas dan perilaku yang bernilai sebagai komponen
pembentuk nilai tambah akan berguna ketika perusahaan mampu memenuhi kebutuhan dan
16
keinginan masyarakat. peningkatan visi, kreatifitas dan perilaku dapat dilakukan melalui proses
pembelajaran, pengembangan dan meningkatkan kepekaan dari kompetensi yang mengarah pada
bagaimana perusahaan dapat memaknai hakikat dari manusia.
Pembelajaran merupakan proses perubahan perilaku, sikap, nilai maupun keyakinan yang
secara terus menerus dapat digunakan untuk menghadapi tantangan – tantangan baru (adaptive
learning). Pada sisi yang lain, pembelajaran juga mencakup tentang perluasan kapasitas sehingga
seseorang dapat menciptakan hasil – hasil yang diinginkan. Seseorang yang melakukan
pembelajaran seperti ini akan mencoba mengembangkan ketegangan kreatif antara visi yang
dimiliki dan kenyataan secara obyektif, dan mereka akan melakukan aktivitas yang dapat
mengurangi kesenjangan antara visi dan kenyataan. Pembelajaran seperti ini disebut
dengan generative learning. Adaptive learning dan generative learning akan membawa
perusahaan untuk meningkatkan inovasi dan kreatifitas secara terus menerus.
Dengan demikian, memaknai hakikat dari manusia dapat membawa perusahaan untuk
mencari berbagai bentuk inovasi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Inovasi yang
dihasilkan oleh perusahaan akan menciptakan keunggulan bersaing bagi perusahaan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Hussain dan Ilyas (2011). Selanjutnya dijelaskan oleh
Kuczmarski (1995) dalam Hussain dan Ilyas (2011), bahwa keunggulan bersaing merupakan
kerangka dari pemikiran yang menunjukkan suatu pendekatan atau metode pada pemikiran
yang difokuskan pada kondisi di yang akan dihadapi melalui visi ke depan. Dengan
spiritualisasi dimungkinkan munculnya motivator yang kuat secara internal didalam
meningkatkan inovasi dan kreatifitas dari individu dalam organisasi. Spiritualisasi menekankan
perkembangan manusia secara integral – materiil dan spiritual serta individual dan kolektif – di
satu pihak dan memandang pekerjaan dan tempat kerja sebagai sesuatu yang “suci” (sacred)
di pihak lain (Hendrawan, 2009).
Mengembangkan Model Spiritualitas Manajemen
Pada umumnya, pemaknaan tentang spiritualitas selalu diarahkan pada istilah yang
berkaitan dengan bentuk disiplin religius tertentu. Griffin (2005) dalam Muhammad (2009)
mengemukakan bahwa istilah spiritual merujuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi
hidup kita, baik duniawi maupun ukhrawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan
komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah
spiritualitas memiliki konotasi nilai-nilai religius dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang
dimiliki seseorang mencerminkan hal-hal yang dianggapnya suci, yaitu yang memiliki
kepentingan yang paling mendasar. Model spiritualitas perusahaan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Campuzano & Seteroff (2009) yang terdiri dari sistem kinerja, spiritualitas
kepemimpinan dan spiritualitas quotient, berusaha untuk mencari keseimbangan antara pimpinan
dan karyawan. Harmonisasi hubungan antara pimpinan dan karyawan akan menciptakan kondisi
kerja yang nyaman karena kesesuaian tujuan antara individu dan organisasi. Pada kondisi ini,
eksplorasi kemampuan dari individu yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas yang beretika
dapat menciptakan kinerja yang optimal.
Sistem kinerja yang berlandaskan spiritual sebagaimana yang dikemukakan oleh Karakas
(2010) menunjukkan bahwa untuk mencapai kinerja yang tinggi maka individu harus mampu
memaknai dirinya sebagai manusia yang baik, meningkatkan kepekaan terhadap tujuan dan
makna dari kehidupan serta kepekaan terhadap kelompok dan elemen – elemen yang
menghubungkannya. Perspektif ini pada dasarnya mengarah pada proses pembentukan perilaku
individu yang berlandaskan pada nilai – nilai kehidupan.
Individu yang menggunakan unsur spiritulitas didalam menunjukkan perilaku akan
melihat kehidupan yang dijalani sebagai sesuatu yang bersifat sakral dan mereka akan menjalani
kehidupan sebagai sebuah alat untuk melakukan aktivitas secara unik, dengan menemukan
17
gagasan – gagasan atau ide tentang kehidupan melalui pemberian pelayanan yang tidak
bertujuan untuk memuaskan dirinya sendiri tetapi semata – mata karena ibadah. Manusia
seperti ini berkeyakinan bahwa apa yang mereka lakukan akan memiliki nilai – nilai yang
bersumber secara vertikal. Perilaku yang ditunjukkan sangat beretika karena mereka menganggap
bahwa kehidupan merupakan suatu instrumen dan bukan dari tujuan akhir.
Studi yang dilakukan oleh Karakas (2010) yang menggambarkan pemaknaan manusia
sebagai makhluk yang baik diasumsikan bahwa setiap individu mempunyai tingkatan positif dari
spiritualitasnya, termasuk subyektifitas suatu kebaikan, moral dan komitmen. Peningkatan
kepekaan terhadap tujuan dan makna hidup diasumsikan bahwa peningkatan tersebut akan
bersinergi dengan penciptaan kreatifitas, lebih mempunyai visi dan tujuan, dan mampu
menggerakkan kelompok. Sedangkan peningkatan kepekaan terhadap kelompok dan hubungan
yang dilakukan dengan orang lain, diasumsikan sebagai tindakan yang lebih mementingkan
orang lain atau kelompok daripada kepentingan pribadi. Meskipun demikian, studi ini belum
menjelaskan beberapa faktor yang membentuk pemaknaan fitrah manusia, kepekaan terhadap
tujuan dan makna hidup serta kepekaan terhadap kelompok. Pada sisi lain, seseorang akan
dapat memaknai dirinya sebagai manusia ketika mereka menyadari suatu realitas dengan “apa
adanya”. Oleh karena itu, konsepsi spiritualitas dapat dikembangkan kedalamannya dengan
mencari beberapa faktor yang dapat membentuk pemaknaan dan kepekaan individu terhadap
lingkungan sekitar.
Kesadaran dari individu didalam memandang realitas dengan “apa adanya” oleh
Hendrawan (2009) disebut dengan Personal Mastery. Makna personal mastery adalah
pengendalian diri secara terus menerus pada kegiatan, tujuan, serta hasil – hasil yang bermakna.
Personal mastery akan produk dari perubahan kesadaran dan spiritualitas akan mengubah
mekanisme perubahan tersebut. Selanjutnya, Hendrawan (2009) menjelaskan bahwa secara
sederhana, perubahan ini digambarkan sebagai proses interiorisasi “perjalanan ke dalam” (inner
journey). Proses ini melewati berbagai tingkatan pengalaman tertentu, sehingga membuka
secara gradual sekat yang menutup hakikat dari suatu realitas. Isu sentral dalam perjalanan ke
dalam, interiorisasi, adalah menghidupkan hati. Dalam perspektif spiritual, hati memiliki peran
sentral karena menjadi referensi untuk didengar suaranya dalam menemukan jawaban yang
bermakna dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia. Salah satu pemikiran cara untuk
menghidupkan hati telah dikemukakan oleh Senge (dalam Hendrawan, 2009) melalui
teori U.
18
Melalui teori ini, Senge et al mencoba menjelaskan bagaimana seseorang dapat
mendengarkan suara hati dan bagaimana seseorang dapat membuka diri terhadap hal – hal yang
berada di luar konsepsi diri. Selanjutnya, teori ini juga dapat menjelaskan kepekaan seseorang
terhadap realitas yang dihadapi dan kemudian mereka akan bertindak sesuai dengan realitas tersebut.
Pada gambar diatas, teori ini menjelaskan berbagai kedalaman persepsi tentang realitas dan
tingkatan aksi yang mengikutinya. Dalam gerakan tersebut, presence merupakan kata kunci
untuk melihat masa depan, suatu proses menarik diri dan perenungan yang memungkinkan
munculnya pengetahuan dari dalam. Transformasi hubungan self dengan dunia dimulai dengan
pencerahan (sensing). Secara bertahap, kemudian persepsi bergeser ke melihat dari dalam proses
kehidupannya yang mendasari realitas.
Tahap kritis yang menjadi titik balik perubahan kesadaran diri terletak pada presencing.
Pada tahap ini, hati mengalami pembukaan secara tiba – tiba sehingga segalanya tampak jelas.
Realitas – realitas yang tadinya tersembunyi menjadi tampak dan segala yang jasadiah dapat terlihat.
Penyingkapan ini memberikan suatu pemahaman yang dalam tentang realitas, kejernihan
penglihatan dan kepastian. Dengan kata lain, kesadaran mengalami pencerahan, sebagai sebuah
pengalaman puncak dalam kesadaran individu yang membuat individu memahami hakikat
kehidupannya secara holistik sehingga terlahir dengan identitas baru yang mengemban misi
kehidupan dan tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang berbeda di dunia. Mereka yang
tercerahkan mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mendorong terwujudnya perubahan –
perubahan struktural yang mendasar.
Secara sederhana, konsepsi pengembangan kedalam dari model spiritual perusahaan telah
dikemukakan oleh Husain dan Khan (2010). Melalui studi yang dilakukan, Husain dan Khan (2010)
memperpanjang mekanisme pembentukan spiritual individu dengan mengidentifikasi beberapa
sumber nilai – nilai spiritualitas, meliputi naturalism, ethical relativism, ethical hedonism dan
positivism. Asumsi yang ada pada sumber– sumber nilai tersebut dianggap dapat digunakan
untuk mengembangkan organisasi.
Nilai – Nilai Spiritual
Naturalism
Naturalism merupakan suatu bentuk keyakinan bahwa universalitas dari alam semesta
adalah kemandirian yang adanya tidak disebabkan karena supranatural dan pengawasan”.
Asumsi yang dikemukakan pada naturalism adalah bahwa manusia dan alam semesta dapat
dipahami tanpa mengembalikan penjelasan spiritual dan bahwa penjelasan yang diberikan oleh
ilmu pengetahuan adalah satu – satunya penjelasan yang memuaskan dari realitas yang dihadapi.
Asumsi ini menyebabkan para ilmuwan perilaku banyak yang menyimpulkan bahwa semua
nilai – nilai moral adalah fana dan berasal dari manusia.
Ethical Relativism
Ethical relativism mempunyai keyakinan bahwa “tidak ada prinsip universalitas yang
valid, ketika semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya dan nilai – nilai individu”.
Selanjutnya, “budaya atau masyarakat akan mempertahankan kebenaran atau kesalahan, jika
memang hal itu baik bagi mereka”. Ethical relativism juga berpendapat bahwa jika nilai bersifat
relatif, maka perusahaan seharusnya meletakkan titik berat nilai – nilai yang ada pada karyawan.
Ethical Hedonism
Ethical hedonism merupakan bentuk keyakinan dimana seseorang harus mencari
kesenangan sendiri dan bahwa kebaikan tertinggi bagi seseorang adalah mendapatkan
kesenangan secara bersama – sama dengan perasaan sakit yang sangat sedikit. Menurut
beberapa ahli perilaku, pada dasarnya hidup manusia hanyalah mencari kesenangan dalam
19
bentuk perilaku yang hedonistik dan mencari pahala. Argumentasi ini menjadi alasan yang
bertentangan dengan asumsi relativisme etis yang mendukung nilai – nilai etis. Berdasarkan
pada asumsi tersebut, maka organisasi akan mendorong individu yang ada didalamnya untuk
menghilangkan belenggu agama dan lebih menerima kecenderungan hedonistik mereka.
Positivism
Sumber nilai positivism berpendapat bahwa “pengetahuan adalah terbatas pada fakta
yang diamati dan adanya interaksi yang terjadi diantara manusia”. Sumber ini juga dikatakan
memenuhi unsur ilmiah jika terdapat bukti yang melandasinya. Positivist beranggapan
bahwa pengamatan empiris pada akhirnya akan mengarah pada pemahaman yang lengkap dari
suatu realitas. Secara tajam, positivist akan membedakan antara fakta dan nilai – nilai yang
terkandung didalamnya, karena kaum positivist menganjurkan bahwa hanya dengan pemikiran
yang ilmiah dan pernyataan yang logis maka kognitif akan lebih bermakna, bernilai dan
intelektual dianggap sebagai sesuatu yang berarti.
Asumsi tersebut diatas dapat membawa pengaruh besar pada keyakinan individu didalam
memaknai suatu kehidupan, meningkatkan kepekaan pada tujuan hidup dan menjalin hubungan
dengan orang lain. Selanjutnya keyakinan yang dimiliki oleh individu harus dapat dikelola
dengan baik oleh organisasi jika organisasi ingin meningkatkan hubungan interpersonal dan
membuka jalan bagi perubahan organisasi.
Budaya
Naturalism
Ethical Ethical
Positivism
Spiritualita
s
Employee Well - Being
Sense of Meaning &
Sense of Community &
Interconnectedness
Productivity and
Performance
Sensing Precencin Realizing
Gambar. Model Pengembangan Spiritualitas Perusahaan
20
Dalam konteks spiritualitas perusahaan, pengalaman yang dimiliki oleh individu melalui
penerapan nilai – nilai budaya akan terkait langsung dengan kesadaran spiritual individu.
Pada titik ini, kesadaran spiritual menjadi jembatan yang akan menghubungkan budaya
perusahaan sehingga akan memberikan makna terhadap kehidupan, peningkatan kepekaan
tentang tujuan dan hubungan antar individu sehingga akan membawa pengalaman individu untuk
berorganisasi. Asumsi dan paradigma, nilai – nilai dan perilaku organisasi secara praktis akan
berorientasi pada tanggung jawab, mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri
maupun peningkatan kesadaran atau kepedulian terhadap lingkungan serta penignkatan
keyakinan yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu. Dengan demikian, perilaku
yang ditunjukkan oleh individu yang pada awalnya hanya sebatas pada budaya yang dihasilkan
dari sumber – sumber nilai, akan menjadi spiritualitas perusahaan, yang berarti bahwa status dari
budaya tersebut akan berubah menjadi ibadah kepada Tuhan. Dengan status seperti itu, maka
budaya perusahaan mampu mendefinisikan situasi dan pengalaman kolektif yang sangat kuat
serta menghasilkan motivasi dan perasaan yang mendalam.
21
KONTRIBUSI KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN
SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN YANG
DIMODERASI KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
(Asmadi et al., 2015)
PENDAHULUAN
Setiap perusahaan memiliki tujuan utama dalam aktivitas proses bisnisnya, tujuan ini
berasal dari misi dan visi perusahaan yang diterjemahkan kedalam rencana strategis
perusahaan, kemudian dikembangkan menjadi rencana aksi. Pencapaian tujuan perusahaan
dilihat dari kinerja yang mampu dicapai oleh seluruh komponen yang terlibat dalam
manajemen perusahaan. Menurut Winardi (1996 dalam Sumenge, 2013) disebutkan bahwa
kinerja merupakan suatu konsep bersifat universal, yang merupakan efektifitas operasional
suatu organisasi dan karyawannya berdasarkan standar serta kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Untuk mencapai kesuksesan kinerja perusahaan dilihat dari kinerja yang telah
dicapai oleh karyawannya, dimana kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap
orang sebagai prestasi kerja, sehingga perusahaan menuntut agar para karyawannya mampu
menampilkan kinerja yang baik (Yuniningsih, 2002; Rivai, 2006). Maka dari itu, pengelolaan
sumber daya manusia menjadi faktor utama dalam memastikan pencapaian kinerja yang baik.
Untuk memastikan pengelolaan tersebut dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan mampu
menjadi motivator, inspirator pada setiap tahapan pekerjaan.
Salah satu gaya kepemimpinan yang cukup populer saat ini adalah kepemimpinan
transformasional yaitu ciri pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
bawahan dengan cara-cara tertentu. Dengan penerapan kepemimpinan ini diyakini bahwa
bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, meningkatkan loyalitas dan respek kepada
pimpinannya, sehingga akhirnya bawahan akan termotivasi untuk melakukan aktivitas
pekerjaan lebih yang baik (Bass, 1998 dalam Swandari, 2003). Nazari dan Emami (2012)
menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional yaitu kepemimpinan yang mampu
menginspirasi, memotivasi dan mengembangkan orang lain untuk menghasilkan kesadaran
akan pencapaian tujuan organisasi yang akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan kepuasan
karyawan.
Konteks saat ini, upaya peningkatan kinerja tidak hanya melibatkan ukuran-ukuran
kinerja yang mampu dicapai oleh karyawan berdasarkan berdasarkan kecerdasan intelektual
semata, tapi juga perlu melibatkan perspektif kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Dinyatakan oleh Tikollah, Triyuwono, dan Ludigdo (2006) bahwa kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual merupakan “trio kecerdasan” yang tidak
terpisahkan dalam kehidupan seseorang. Sedangkan oleh Choiriah (2013) dinyatakan bahwa
beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja berasal dari dalam diri mereka, serta unsur
psikologis manusia adalah kemampuan mengelola emosional, kemampuan intelektual serta
kemampuan spiritual.
Kemampuan manajemen perusahaan untuk mengoptimalkan ketiga sumber daya
kecerdasan tersebut diyakini akan mampu mendorong lahirnya sumber daya manusia
berkinerja tinggi yang pada akhirnya tujuan utama perusahaan dapat dicapai. Beberapa peran
penting kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja adalah karyawan akan
mampu menampilkan kinerja dengan hasil kerja yang lebih baik, efisien, tepat serta mampu
memantau, mengendalikan perasaaan sendiri dan orang lain, mampu menciptakan
profesionalisme kerja dan meningkatkan etos kerja karyawan, kemudian mampu memaknai
setiap tindakan serta nilai dalam kehidupan juga pekerjaan mereka, terakhir karyawan akan
22
mampu menghadapi tantangan, tanggung jawab, produktif serta optimis dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah (Agustian, 2001; Goleman, 2001; Fitriyanto, 2005; Patton, 1998
dalam Trihandini, 2005; Srivastava dan Misra, 2012; Dharmawan, 2013).
Namun dalam upaya mengoptimalkan serta mengelola potensi kecerdasan tersebut diatas,
perlu melibatkan peran kepemimpinan yang sudah dijelakan di atas. Peran ini sangat penting
untuk memastikan bahwa proses pengelolaan sumber daya kecerdasan yang melekat pada
karyawan dan manajemen pengetahuan dapat berjalan dengan baik dan menjadi motivasi bagi
peningkatan kinerja karyawan serta perusahaan secara keseluruhan. Berdasarkan penjelasan di
atas, lahir sebuah inisiatif untuk melakukan penelitian lanjutan yang bertujuan ingin
mengetahui seberapa besar kontribusi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap
kinerja karyawan dengan menghadirkan kepemimpinan transformasional sebagai moderator.
Definisi Operasional Variabel dan Indikator
1. Kecerdasan Emosional
Indikator kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(1) kesadaran diri meliputi kesadaran emosional, ketepatan dalam mengukur kemampuan
diri dan kepercayaan diri,
(2) manajemen diri meliputi mengontrol emosional, jujur, komitmen, adaptasi,
mendorong
pencapaian dan inisiatif,
(3) kesadaran sosial meliputi empati, berorientasi pada pelayanan, kesadaran
berorganisasi,
(4) manajemen hubungan meliputi pengembangan, pengaruh, komunikasi, manajemen
konflik, visioner, menjadi katalisator dalam perubahan, kerjasama (Goleman, 2001)
2. Kecerdasan Spiritual
Komponen-komponen utama kecerdaasan spiritual yaitu mutlak jujur yang bermakna
kemampuan berkata benar dan konsisten pada kebenaran, keterbukaan bermakna kemampuan
bersikap terbuka, pengetahuan diri, fokus pada kontribusi dan terakhir spiritual non-dogmatis
yang didalamnya terdapat tingat kesadaran yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai (Sukidi, 2002
dalam Waryanti, 2011).
3. Kepemimpinan Transformasional
Bass dan Avolio (1993 dalam Muhdiyanto dan Wicaksono, 2010) menjabarkan tentang
dimensi-dimensi dalam kepemimpinan transformasional sebagai berikut :
(1) Kharismatik, dimensi ini menunjukkan bahwa suatu proses seorang pemimpin
mempengaruhi para anggota dengan cara membangkitkan emosi dan identifikasi yang
kuat terhadap bawahannya,
(2) Stimulasi intelektual, dimensi ini menunjukkan bahwa proses seorang pemimpin untuk
meningkatkan kesadaran para anggotanya terhadap masalah-masalah yang ada dan
mempengaruhi untuk memandang masalah tersebut dari sudut pandang yang baru,
(3) Inspiratif, dimensi ini menunjukkan bahwa perilaku seorang pemimpin untuk
merangsang antusiasme anggotanya yang dapat menumbuhkan kepercayaan anggota dan
kemampuan untuk menyelesaikan tugas serta mencapai tujuan kelompok,
(4) Perhatian yang berorientasi individual, dimensi ini mununjukkan bahwa memberi
dukungan, membesarkan hati, dan berbagi pengalaman tentang pengembangan diri kepada
anggotanya.
4. Kinerja
Menurut Bernadin (1993 dalam Edwardin, 2006) menyatakan ada enam kriteria yang
digunakan untuk mengukur sejauh mana kinerja karyawan secara individu, yaitu : (1)
Kualitas, (2) Kuantitas, (3) Ketepatan Waktu, (4) Efektivitas, (5) Kemandirian, (6) Komitmen
Kerja.
23
PEMBAHASAN
Kontribusi Kecerdasan Emosional dan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan.
Hasil penelitian diperoleh bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
memberikan kontribusi positif serta signifikan terhadap kinerja karyawan kantor pusat
adminitrasi PT. Garam (Persero), hasil ini bermakna bahwa semakin meningkat tingkat
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual seorang karyawan maka kinerja akan semakin
baik. Oleh Agustian (2001) dinyatakan bahwa keberadaan kecerdasan emosional yang baik
akan membuat seorang karyawan mampu menampilkan kinerja dan hasil kerja yang lebih
baik. Dalam hal pengendalian emosi, setiap hari kerja karyawan pasti dihadapkan dengan
beban tugas dan semuanya harus dikerjakan sesuai target. Penelitian ini menunjukkan bahwa
karyawan perusahaan tersebut mampu mengendalikan emosionalnya, termasuk kemampuan
memahami kondisi orang lain disekitarnya sebagai mitra kerja dan bekerjasama. Penelitian ini
mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya, mereka
menyatakan bahwa kecerdasan emosional memberikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap peningkatan kinerja karyawan, serta mampu meningkatkan profesionalisme kerja
(Trihandini, 2005; Edwardin, 2006; Dharmawan, 2013).
Sedangkan menyangkut kecerdasan spiritual penelitian ini mendukung apa yang
dinyatakan oleh Srivastava dan Misra (2012) bahwa orang harus memiliki makna dan nilai
dalam kehidupan dan pekerjaan mereka. Makna dan nilai ini sangat bergantung pada
keyakinan dan nilai-nilai yang mendasari motif mereka yang pada gilirannya mendorong
lahirnya perilaku. Penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan oleh Wiersma
(2002 dalam Sumenge, 2013) bahwa kecerdasan spiritual mempengaruhi tujuan seseorang
dalam mencapai karirnya di dunia kerja. Seseorang yang membawa makna spiritualitas dalam
kerjanya akan merasakan hidup dan pekerjaannya lebih berarti.
Kontribusi Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja
Karyawan yang Dimoderasi Kepemimpinan Transformasional.
Berdasarkan hasil penelitian, kepemimpinan transformasional terbukti bukan sebagai
variabel moderator. Akan tetapi, kehadiran kepemimpinan transformasional tidak
menyebabkan dampak negatif terhadap kinerja karyawan, namun justru ikut memberikan
kontribusi positif terhadap kinerja karyawan, artinya pada perusahaan PT. Garam (Persero)
ciri kepemimpinan transformasional telah hadir. Kontribusi kepemimpinan ini sesuai dengan
penelitian Kurniawan (2006) serta Muhdiyanto dan Wicaksono (2010) bahwa kepemimpinan
transformasional mempunyai pengaruh nyata terhadap kinerja karyawan dan beberapa aspek
yang ada dalam kepemimpinan tersebut mampu menghasilkan kesadaran akan pencapaian
tujuan organisasi yang akhirnya akan melahirkan dorongan untuk meningkatkan kinerja,
efektifitas (Nazari dan Emami, 2012). Namun kehadiran kepemimpinan tersebut belum
mampu memberikan pengaruh terhadap keberadaan potensi kecerdasan emosional dan
spiritual yang melekat pada karyawannya.
KESIMPULAN
Penelitian ini dilakukan melalui studi kasus di kantor pusat administrasi PT. Garam
(Persero) Surabaya, data primer yang digunakana adalah angket kuesioner. Untuk teknik
analisis data Moderated Regression Analysis (MRA). Hasil penelitian membuktikan bahwa
kecerdasan emosional mampu memberikan kontribusi sebesar 42,5 % dan kecerdasan spiritual
berkontribusi sebesar 47,6 % terhadap kinerja karyawan kantor pusat administrasi PT. Garam
(Persero). Namun kepemimpinan transformasional terbukti bukan variabel moderator
melainkan variabel independen. Kepemimpinan transformasional di perusahaan tersebut
secara parsial menunjukkan kontribusi dan signifikan terhadap kinerja, namun kepemimpinan
tersebut belum mampu memberikan pengaruh terhadap potensi kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual. Hal ini merupakan informasi yang sangat bermanfaat dan penting bagi
perusahaan bahwa untuk mencapai kinerja yang tinggi dan meningkatkan pencapaian tujuan
24
utama tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual semata, tapi perlu melibatkan secara
aktif kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Sebaiknya penelitian mendatang dapat melakukan pengujian yang lebih komperehensif
dan menggunakan alat ukur kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual serta kinerja
karyawan baik secara kualitatif maupun kuantitatif untuk menghindari tingkat subyektivitas
responden serta bisa dilakukan proses konfirmasi dengan kondisi yang sebenarnya. Sebaiknya
juga ada model uji yang melibatkan level pimpinan dan karyawan, agar dapat terlihat
konsistensi hasil penelitian dan implikasi manajerial guna peningkatan kinerja karyawan.
25
PERILAKU SPIRITUAL DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN
PERUSAHAAN PABRIK KELAPA SAWIT (Rahman & Makmur, 2015)
PENDAHULUAN
Target keuntungan yang diharapkan organisasi bisnis tidak akan bisa terlepas dari
peran karyawan yang ada didalamnya. Untuk bekerja dengan optimal dan memberikan
hasil yang baik karyawan juga memiliki dimensi dan cara pandang yang unik yang
menuntut organisasi agar memperhati- kannya dengan baik. Salah satu aspeknya adalah
kepuasan.
Hasil penelitian Rahman (2013) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kepuasan kerja
karyawan pada tiga perusahaan pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu masih dalam
kategori cukup.Empat indikator yang diukur menunjukkan tingkat capaian responden
yang juga berada dalam kategori cukup.
Keadaan ini tentunya harus menjadi perhatian organisasi terutama untuk
operasionalisasi perusahaan dalam jangka panjang. Kinerja target produksi pabrik saat ini
mungkin saja dapat tercapai dengan baik, namun tidak dapat diestimasi akan
mengalami grafik yang semakin membaik dan semakin membesarnya lingkup
perusahaan untuk masa yang akan datang jika kondisi organisasi dalam keadaan kepuasan
kerja karyawan yang cukup.
Mengkaji aspek kepuasan kerja karyawan bagi perusahaan pabrik kelapa sawit di
Rokan Hulu merupakan bagian penting yang harus dilakukan bagian departemen HRD.
Secara historis literatur, kajian-kajian tentang permasalahan kepuasan kerja karyawan
dalam organisasi sampai saat ini masih terus menjadi topik hangat yang diperbincangkan.
Dari abad 19 hingga abad ke 20 telah lebih dari dua belas ribu studi yang diterbitkan
yang menunjukkan pentingnya masalah ini (Gazzawi, I :2008).
Robbins (2004) memaknai kepuasan kerja sebagai penjumlahan yang rumit dari
sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Artinya,
kepuasan kerja merupakan sesuatu hal yang rumit dari perasaan dan penilaian seorang
karyawan atas unsur pekerjaan yang tidak dapat disamakan antara seorang karyawan
dengan karyawan lainnya.Hal inilah yang menyebabkan pentingnya kajian aspek
kepuasan kerja dalam suatu organisasi.
Efek praktis dari organisasi yang lemah memperhatikan aspek kepuasan kerja
karyawan secara empiris telah banyak dibuktikan bahwa mau tidak mau organisasi
akan berhadapan dengan tingkat absensi yang tinggi, komitmen organisasi yang rendah,
prestasi yang rendah, loyalitas yang rendah, produktivitas rendah, dan turn over intention
yang tinggi (Clark, Georgellis, & Sanfey, 1998; Hakim, Thoresen, Bono, & Patton, 2001;
Schleicher, Watt, & Greguras, 2004; Scott & Taylor, 1985, L. Borgogni, dkk. 2013).
Kepuasan kerja juga sebagai penyebab atas motivasi kerja dan selanjutnya dapat
berakibat pada kualitas institusi (Machado-Taylor, dkk. 2010; Maria de Lourdes
Machado, dkk. 2011). Untuk perusahaan industri pabrik kepuasan kerja adalah salah satu
upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Shahnaz Tabatabaei, dkk.
2013).
Merespon persoalan diatas, pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana
organisasi mengelola dan dapat menciptakan kepuasan kerja karyawan?.Sudarsono
(2008) merekomendasikan agar organisasi memper- baiki karakteristik pekerjaan dan
organisasi, Sabran, dkk (2008) mere- komendasikan untuk memperbaiki kepemimpinan,
keadilan organisasi dan kepercayaan organisasi, Agusthina, dkk (2008)
merekomendasikan untuk memperbaiki gaya kepemimpinan, motivasi dan burnout, Dian
Natasari dan Armanu (2012) merekomendasikan untuk memperbaiki model pemberian
26
insentif material dan non-material, Fathur Rohman, dkk (2011) mere komendasikan untuk
pember dayaan psikologis dan komitmen afektif, Made Surya Putra (2012)
merekomendasikan untuk memperbaiki keadaan nepotisme dalam organisasi, Agustinus
Numberi (2013) merekomen dasikan untuk memperbaiki kondisi kerja, Sony Bagus
Purwanto (2013) merekomendasikan untuk memperbaiki komunikasi dalam organisasi.
Salah satu kajian yang mendapat perhatian umum akhir-akhir ini dalam masalah
kepuasan kerja karyawan adalah bagaimana peranan aspek spiritualitas karyawan
(Samiyanto;2011). Kajian ini berawal dari temuan penelitian dan tulisan Zohar dan
Marshall (2000) dan di Indonesia kajian ini ramai menjadi kajian akademisi dan menjadi
bahan-bahan pelatihan karyawan perusahaan sejak terbitnya buku ESQ Ari Ginanjar
(2011).
Spiritual merupakan jawaban atas tingkat stress kerja, ketegangan emosional, merasa
tidak pernah cukup dengan finansial yang diterima, munculnya perilaku tidak etis
karyawan dalam organisasi. Disebalik itu spritualitas merupakan sebagai salah satu
dimensi yang mampu membentuk karakter prilaku karyawan, menghilangkan adanya
perilaku korupsi dan nepotisme dalam organisasi, membentuk perilaku yang tenang,
menjadikan pekerjaan sebagai sesuatu yang bernilai dan bermakna.
Banyak kajian akhir-akhir ini yang telah melihat aspek spiritual dalam pekerjaan
seperti peranan kecerdasan spiritual dalam perilaku karyawan
(Rachmi;2010,Thontowi;2011, Amalia; 2011, Supriyanto;2012, Samianto;2011, dll).
Hasilnya telah membuktikan bahwa kecerdasan spiritual memberi- kan efek kepada
kepemimpinan, kepuasan kerja, pcyhcologicalcapital, servant lidership dan
kinerja.Namun demikian, dari beberapa kajian itu sedikit penelitian yang mencoba
melihat pada aspek dasar dari munculnya kecerdasan spiritual seseorang yaitu perilaku
spiritual, sementara kajian seperti itulah yang diharapkan mampu memberikan jawaban
yang mendasar atas tinggi atau rendahnya kecerdasan spiritual seseorang.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perilaku spiritual terhadap
kepuasan kerja karyawan melalui variabel mediasi kecerdasan spiritual.Penelitian ini
berusaha memberikan kontribusi pada pengetahuan dalam mengkaji persoalan kepuasan
kerja karyawan melalui adanya aspek perilaku spiritual. Disamping itu, juga berupaya
membantu perusahaan- perusahaan dalam memberikan solusi bagaimana mereka dapat
menciptakan karyawan yang puas dalam bekerja dengan menggunakanaspek spiritual.
Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan pabrik kelapa sawit di Kabupaten
Rokan Hulu-Riau.
KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang pekerja terhadap
pekerjaannya (Devis dan Newstrom; 2005). Robbins (2004) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai sikap umum individu terhadap peker- jaannya. Dengan kata lain kepuasan
kerja merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan
dan terpisahkan satu sama lain. Dengan demikian, kepuasan merupakan evaluasi yang
menggam- barkan perasaan seseorang atas sikapnya, senang atau tidak senang, puas
atau tidak puas dalam bekerja.
Banyak ragam penelitian dalam mengukur kepuasan kerja, khusus dalam corak
karyawan pabrik, Lam and Zhang (2003) dalam Giannikis (2011) mengukur harapan
pekerjaan dan job satisfaction, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan
kerja seseorang merupakan harapannya atas challenging job, sense of accomplishment,
job security, meaningful work and friendly, co- workers, training for personal growth and
development, promotion opportunity, having personal responsibility, opportunity to
exercise independent thought and opportunity to use creativity in work, competitive
salary, competitive, fringe benefits, and respect and fair treatment from managers. Hasil
27
penelitian tersebut diuji sebagai indikator untuk mengukur kepuasan kerja karyawan
dalam penelitian ini.
Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, salah satu nya adalah
kecerdasan spiritual (Zohar;2000, Amalia, Supriyanto;2012, Samianto;2011,dll).
Karyawan yang cerdas spiritual melahirkan perilaku yang tenang, memandang pekerjaan
sebagai sesuatu yang bernilai dan bermakna positif, sehingga dengan itu mereka akan
cenderung puas dalam bekerja.
Syari’ati dalam Ginanjar (2007) dikutip dari tulisan Supriyanto (2012) menyatakan
bahwa spiritual quotient adalah penjabaran dari gerakan thawaf spiritual yang
menjelaskan tentang bagaimana meletakkan aktifitas manusia, agar mampu mengikuti
pola- pola atau etika alam semesta. Sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan penuh
makna, serta memiliki perasaan nyaman dan aman, tidak terlanggar atau tidak
bertentangan dengan azas-azas SBO (Spiritual Based Organization) yang sudah baku dan
pasti.
Definisi tersebut bermakna bahwa orang yang cerdas pritual itu adalah orang yang
cenderung konsisten dalam berprilaku sesuai dengan ketentuan organisasi spritualnya
(kepercayaan agama), sehingga menciptakan perasaan jiwa yang selalu bermakna, hidup
dalam aman dan kedamaian.Dalam perpektif Islam manifestasi dari orang yang cerdas
spiritual itu adalah terbentuknya pribadi yang bertaqwa (Qardawi).Taqwa dapat
dimaknakan sebagai bentuk perilaku seseorang yang bercirikan tawadhuk, qanaah, warak,
dan yakin.Tawadhu adalah sifat orang yang rendah hati.Qanaah adalah merasa
cukup dengan apa yang ada. Warak adalah berhati-hati menjaga diri dari hal haram dan
syubhat. Yakin adalah sifat yang optimis dengan kemampuan diri dalam menjalankan
semua ibadah yang diperintahkan oleh Allah (Badlishah;2010).
Untuk dapat menjadi pribadi yang bertaqwa atau cerdas spiritual, dalam perspektif
Islam seseorang dituntun untuk melaksanakan perilaku-perilaku spiritual yang tertuang
dalam syariat atau ajaran Islam dan senantiasa menjaga diri untuk tidak melakukan
ketentuan yang telah dilarang agama (Quraishihab;2009). Atas dasar perilaku yang
melaksanakan syariat inilah seseorang akan menjadi pribadi yang bertaqwa atau pribadi
yang cerdas secara spritual.
Perilaku spiritual yang dimaksudkan adalah paradigma dan perilaku-perilaku
spiritual yang tertuang dalam syariat ajaran agama Islam yang komprehensif.Syafii
Antonio (2011) menjelaskan tiga fondasi dasar dalam Islam, yaitu adanya pemahaman
yang kokoh dalam aqidah, perilaku yang konsisten dalam menjalankan syariah, dan
pribadi yang berakhlak.Pemahaman yang kokoh dalam akidah merupakan keyakinan yang
teguh dan benar dalam enam rukun iman.Perilaku yang konsisten dalam syariah
merupakan tindakan yang ikhlas dalam menjalankan syariat yang terdiri dari syariah
dalam muammalah dan syariah dalam ibadah.Pribadi yang berakhlak merupakan tindakan
yang senantiasa sesuai ketentuan agama dan tidak melakukan tindakan yang dilarang oleh
agama.
Kecerdasan spiritual adalah penjabaran dari gerakan thawaf spiritual yang
menjelaskan tentang bagaimana meletakkan aktifitas manusia, agar mampu mengikuti
pola- pola atau etika alam semesta. Sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan penuh
makna, serta memiliki perasaan nyaman dan aman, tidak terlanggar atau tidak
bertentangan dengan azas-azas SBO (Spiritual Based Organization) yang sudah baku dan
pasti. Kecerdasan spiritual diukur dengan indikator taqwa yaitu tawadhuk, qanaah,
warak, dan yakin.
Perilaku spiritual adalah paradigma dan perilaku-perilaku spiritual yang tertuang
dalam syariat ajaran agama Islam yang komprehensif.Perilaku spiritual diukur dengan
indikator pemahaman yang kokoh dalam aqidah, perilaku yang konsisten dalam
28
menjalankan syariah, dan pribadi yang berakhlak.Kecerdasan maupun perilaku spiritual
mereka para karyawan berkaitan dengan masa kerja mereka. Begitu juga halnya dengan
aspek terakhir yang kita lihat yaitu aspek bidang pekerjaan karyawan.Walaupun
umumnya responden penelitian ini adalah para karyawan umum diwilayah pabrik dan
kesekretariatan namun data diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor yang
agak tinggi antara setiap bidang pekerjaan karyawan baik itu skor kepuasan, kecerdasan
maupun perilaku spiritual mereka.
Hasil analisis menjelaskan bahwa kondisi ketiga variabel penelitian baik itu
kepuasan kerja, kecerdasan spiritual dan juga perilaku spiritual para karyawan ditempat
penelitian berada dalam kategori baik.Namun demikian dalam hal kepuasan kerja
terdapat tiga indikator masih dalam kategori cukup, yaitu perasaan tentang keamanan
pekerjaan, perasaan tentang adanya peluang untuk mendapatkan promosi jabatan, dan
perasaan tentang sikap hormat dan perlakuan adil dari pimpinan.Dalam hal kecerdasan
spiritual juga terdapat dua indikator dalam kategori cukup, yaitu keikhlasan karyawan
dalam menger- jakan berat ataupun ringan pekerjaan yang diberikan, dan keiklasan
dalam sikap merasa cukup atas pemberian organisasi. Dalam hal perilaku spiritual juga
terdapat tiga indikator dalam kategori cukup yaitu perilaku karyawan dalam
menunaikan ibadah shalat lima waktu, perilaku dalam berderma, berinfaq atau
bersadaqah, dan juga perilaku melakukan tilawah atau membaca Al-quran, namun
terdapat satu indikator dalam kategori sangat baik yaitu perilaku karyawan dalam
senantiasa berdoa kepada Allah SWT. Perilaku spiritual berpengaruh terhadap
kepuasan kerja karyawan, tetapi secara langsung berpengaruh terhadap kecerdasaran
spiritual karyawan, sedangkan kecerdasaran spiritual karyawan secara langsung
berpengaruh terhadap kepuasan kerja perilaku-perilaku spiritual. Dengan kata lain
bahwa perilaku spiritual itu memang tidak langsung membawa seseorang menjadi
pribadi yang cenderung puas dalam bekerja tapi iamembawanya kearah pribadi
seseorang yang cerdas dan pemahaman spiritual.
d. Pembahasan
Temuan analisis jalur menunjukkan bahwa perilaku spiritual secara langsung
tidak berpengaruh spiritual merupakan ketegangan emosional, merasa tidak pernah cukup
dan membentuk perilaku yang tenang, menjadikan pekerjaan sebagai sesuatu yang
bernilai dan bermakna. Temuan ini tentunya dapat membantu para manajemen organisasi
dalam mengelola kepuasan kerja karyawan yang cenderung rumit dan akan berbeda
antara setiap individu dalam organisasi.
Melihat hasil dari karakteristik responden penelitian, lima karakteristik biografis yang
dikaji menunjukkan dua diantaranya memiliki bentuk hasil yang agak berbeda, yaitu
usia dan pendidikan. Kepuasan kerja, perilaku spiritual dan kecerdasan spiritual karyawan
menunjukkan angka skor yang agak semakin tinggi seiring dengan bertambahnya
usia dan meningkatnya tingkat pendidikan, tetapi tidak ada hal yang berbeda dari jenis
kelamin, masa kerja dan bidang pekerjaan mereka. Tentang hal ini benar apa yang
diungkapkan Robbin (2004) bahwa karakteristik biografis tertentu memang kadangkala
menjadi sebab atas kepuasan kerja seseorang dan banyak pula para pakar spiritual
menjelaskan bahwa kadangkala kedewasaan dan kesadaran berperilaku spiritual seseorang
baru akan semakin tinggi muncul seiring dengan dekatnya usia mereka kepada ketuaan.
Dari hal ini tentunya perlu perhatian bagi manajemen organisasi agar memperbaiki
mekanisme pembelajaran organisasi karyawan, tidak mungkin semuanya menjalankan
pendidikan formal tetapi bukti empiris menunjukkan cara pandang mereka agak
berbeda seiring perbedaan pendidikan mereka. Jadi mekanisme agar mereka tetap
mendapatkan pembelajaran dari organisasi merupakan bagian penting yang harus
29
dilakukan, sehingga cara pandang dan perilaku mereka tentang organisasi akan lebih
sinkron dengan apa yang diharapkan oleh organisasi.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terkait kepuasan kerja terdapat tiga
indikator masih dalam kategori cukup, yaitu perasaan tentang keamanan pekerjaan,
perasaan tentang adanya peluang untuk mendapatkan promosi jabatan, dan perasaan
tentang sikap hormat dan perlakuan adil dari pimpinan.Hal inilah yang diungkapkan
banyak pakar kenapa kepuasan kerja merupakan sesuatu yang rumit, karena penilaiann
yang baik atas sesuatu hal belum membuat seseorang senang dan puas atas unsur yang
lainnya.Terkait hal ini manajemen organisasi perlu memperkuat perasaan kemanan kerja
karyawan, menjelaskan dengan baik tentang promosi jabatan dan ada atau tidaknya
peluang untuk para karyawan bisa naik jabatan dan kejelasan karir, serta juga diperlukan
gaya kepemimpinan yang situasional terutama dalam menjelaskan perlakuan adil yang
dirasakan para karyawan.
Hasil analisis deskriptifjuga menjelaskan bahwa terkait kecerdasan spiritual terdapat
dua indikator dalam kategori cukup, yaitu keikhlasan karyawan dalam mengerjakan berat
ataupun ringan pekerjaan yang diberikan, dan keikhlasan dalam sikap merasa cukup atas
pemberian organisasi. Pemahaman yang baik tentang makna keikhlasan ini hanya bisa
diperoleh bagi pribadi karyawan yang kokoh dalam memahami nilai- nilai spiritual,
dan hal ini akan bisa diperkuat jika organisasi mampu meransang budaya organisasi
yang berazazkan spiritualitas yang didukung oleh terfasilitasinya pembelajaran spiritual
formal dan informal karyawan dalam organisasi.
Perilaku spiritual karyawan juga terdapat tiga indikator dalam kategori cukup yaitu
perilaku dalam menunaikan ibadah shalat lima waktu, perilaku dalam berderma,
berinfaq atau bersadaqah, dan juga perilaku melakukan tilawah atau membaca Al-
quran. Qardawi (1997) menjelaskan bahwa beberapa hal itu adalah nilai- nilai dasar
agama atau spiritual yang merupakan pokok untuk terbentuknya karakter pribadi religius
atau kecerdasan spiritual. terfasilitasinya pembelajaran spiritual formal dan informal
karyawan dalam organisasi dan penyediaan waktu yang efektif akan dapat
membantu para karyawan dalam menjalankan perilaku spiritual yang baik dan
membawa mereka kearah pribadi yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi pula.
KESIMPULAN
Hasil analisis dan pembahasan diatas, menyimpulkan bahwa perilaku spiritual
(X1) secara langsung tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan, tetapi secara
langsung berpengaruh terhadap kecerdasaran spiritual karyawan (X2) dan kecerdasaran
spiritual karyawan (X2) secara langsung berpengaruh pula terhadap kepuasan kerja
karyawan pabrik kelapa sawit. Hasil data juga menyatakan bahwa kondisi ketiga variabel
penelitian secara umum adalah baik.Namun terkait kepuasan kerja terdapat tiga indikator
masih dalam kategori cukup, yaitu perasaan tentang keamanan pekerjaan, perasaan
tentang adanya peluang untuk mendapatkan promosi jabatan, dan perasaan tentang sikap
hormat dan perlakuan adil dari pimpinan.Terkait kecerdasan spiritual juga terdapat dua
indikator dalam kategori cukup, yaitu keikhlasan karyawan dalam mengerjakan berat
ataupun ringan pekerjaan yang diberikan, dan keiklasan dalam sikap merasa cukup atas
pemberian organisasi.Terkait perilaku spiritualterdapat tiga indikator dalam kategori
cukup yaitu perilaku karyawan dalam menunaikan ibadah shalat lima waktu, perilaku
dalam berderma, berinfaq atau bersadaqah, dan juga perilaku melakukan tilawah atau
membaca Al-quran.
Kesimpulan diatas menyarankan beberapa hal bahwa organisasi perusahaan pabrik
kelapa sawit perlu memperhatikan aspek perilaku dan kecerdasan spiritual dalam
pekerjaan untuk mengelola kepuasan kerja karyawan yang cenderung rumit dan
kompleks. Organisasi tempat penelitian juga disarankan untuk memfasilitasi pembelajaran
30
formal dan informal organisasi juga pembelajaran terkait pemahaman spiritualitas,
disarankan juga untuk memperkuat perasaan kemanan kerja karyawan,
menjelaskan dengan baik tentang promosi jabatan dan ada atau tidaknya peluang
untuk para karyawan bisa naik jabatan dan kejelasan karir, serta juga perlunya
gaya kepemimpinan yang situasional terutama dalam menjelaskan perlakuan adil
yang dirasakan para karyawan. Penelitian ini juga tidak lepas dari kekurangannya
sebagai peluang penelitian lanjutan yaitu diperlukan pengembangan indikator
setiap variabel agar dapat memuat segala hal yang lebih konkrit dalam mengukur
variabel penelitian.
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY
SPIRITUAL COMPANY

More Related Content

What's hot

sistem informasi personalia
sistem informasi personaliasistem informasi personalia
sistem informasi personaliaSTEVENZ Huang
 
Otonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyono
Otonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyonoOtonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyono
Otonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyonoAGUS SETIYONO
 
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...Nur Anisa Rachmawati
 
Budaya organisasi dan budaya kerja
Budaya organisasi dan budaya kerjaBudaya organisasi dan budaya kerja
Budaya organisasi dan budaya kerjaFitriana Jinne
 
Iqbal pamungkas 11131334
Iqbal pamungkas 11131334Iqbal pamungkas 11131334
Iqbal pamungkas 11131334IQBAL PAMUNGKAS
 
Makalah leadership Steve Jobs oleh teguhn
Makalah leadership Steve Jobs oleh teguhnMakalah leadership Steve Jobs oleh teguhn
Makalah leadership Steve Jobs oleh teguhnTeguh Nugraha
 
Supriyadi scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...
Supriyadi   scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...Supriyadi   scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...
Supriyadi scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...Supriyadi supriyadi
 
penyusun fadli illow
penyusun fadli illowpenyusun fadli illow
penyusun fadli illowFadLi IlLow
 
Partisipasi kerja & disiplin kerja
Partisipasi  kerja & disiplin kerjaPartisipasi  kerja & disiplin kerja
Partisipasi kerja & disiplin kerjajuniotrov
 
Makalah uts erlika -11150961- 7omsdm b.12
Makalah uts  erlika -11150961- 7omsdm b.12Makalah uts  erlika -11150961- 7omsdm b.12
Makalah uts erlika -11150961- 7omsdm b.12erlikapesek
 
PENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
PENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAMPENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
PENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAMBoedi Santosa,
 
Makalah uts evaluasi kinerja dan kompensasi
Makalah uts evaluasi kinerja dan kompensasiMakalah uts evaluasi kinerja dan kompensasi
Makalah uts evaluasi kinerja dan kompensasititatoharoh
 
HUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJA
HUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJAHUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJA
HUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJAAbby Lee
 
Makalah msdm strategic
Makalah msdm strategicMakalah msdm strategic
Makalah msdm strategicfyrda sevvyra
 

What's hot (19)

sistem informasi personalia
sistem informasi personaliasistem informasi personalia
sistem informasi personalia
 
Otonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyono
Otonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyonoOtonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyono
Otonomi vol13no1jan2013-01. sukardiyono
 
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
 
PENGANTAR MANAJEMEN - PERBEDAAN BUDAYA
PENGANTAR MANAJEMEN - PERBEDAAN BUDAYAPENGANTAR MANAJEMEN - PERBEDAAN BUDAYA
PENGANTAR MANAJEMEN - PERBEDAAN BUDAYA
 
Budaya organisasi dan budaya kerja
Budaya organisasi dan budaya kerjaBudaya organisasi dan budaya kerja
Budaya organisasi dan budaya kerja
 
Terbaru k3
Terbaru k3Terbaru k3
Terbaru k3
 
PENGEMBANGAN MANAJEMEN SPIRITUAL DI SEKOLAH
PENGEMBANGAN MANAJEMEN SPIRITUAL DI SEKOLAHPENGEMBANGAN MANAJEMEN SPIRITUAL DI SEKOLAH
PENGEMBANGAN MANAJEMEN SPIRITUAL DI SEKOLAH
 
Iqbal pamungkas 11131334
Iqbal pamungkas 11131334Iqbal pamungkas 11131334
Iqbal pamungkas 11131334
 
Makalah leadership Steve Jobs oleh teguhn
Makalah leadership Steve Jobs oleh teguhnMakalah leadership Steve Jobs oleh teguhn
Makalah leadership Steve Jobs oleh teguhn
 
Supriyadi scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...
Supriyadi   scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...Supriyadi   scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...
Supriyadi scalable services system (3 s) dalam membangun budaya organisasi ...
 
penyusun fadli illow
penyusun fadli illowpenyusun fadli illow
penyusun fadli illow
 
Partisipasi kerja & disiplin kerja
Partisipasi  kerja & disiplin kerjaPartisipasi  kerja & disiplin kerja
Partisipasi kerja & disiplin kerja
 
Makalah msdm stratejik
Makalah msdm stratejikMakalah msdm stratejik
Makalah msdm stratejik
 
Makalah uts erlika -11150961- 7omsdm b.12
Makalah uts  erlika -11150961- 7omsdm b.12Makalah uts  erlika -11150961- 7omsdm b.12
Makalah uts erlika -11150961- 7omsdm b.12
 
PENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
PENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAMPENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
PENGORGANISASIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
 
Makalah uts evaluasi kinerja dan kompensasi
Makalah uts evaluasi kinerja dan kompensasiMakalah uts evaluasi kinerja dan kompensasi
Makalah uts evaluasi kinerja dan kompensasi
 
HUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJA
HUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJAHUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJA
HUBUNGAN PARTISIPASI TERHADAP KINERJA
 
Dasar organisasi
Dasar organisasiDasar organisasi
Dasar organisasi
 
Makalah msdm strategic
Makalah msdm strategicMakalah msdm strategic
Makalah msdm strategic
 

Similar to SPIRITUAL COMPANY

Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritualPerilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritualIndra1980
 
budaya orhanisasi. widhi.2017
budaya orhanisasi. widhi.2017budaya orhanisasi. widhi.2017
budaya orhanisasi. widhi.2017Widhi Ibu'e Nala
 
Spiritualitas dan budaya organisasi
Spiritualitas dan budaya organisasiSpiritualitas dan budaya organisasi
Spiritualitas dan budaya organisasiLaksmita Kusuma
 
Makalah psikologi industri sikap kerja
Makalah psikologi industri sikap kerjaMakalah psikologi industri sikap kerja
Makalah psikologi industri sikap kerjaDayang Sari Andriani
 
Hubungan Kemanusiaan Pandangan Filsafat
Hubungan Kemanusiaan Pandangan FilsafatHubungan Kemanusiaan Pandangan Filsafat
Hubungan Kemanusiaan Pandangan FilsafatMochamad Sirodjudin
 
Makalah kewirausahaan
Makalah kewirausahaanMakalah kewirausahaan
Makalah kewirausahaanroji muhidin
 
BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI, GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...
BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI,   GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI,   GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...
BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI, GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...menik11111
 
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...AGUS SETIYONO
 
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...AGUS SETIYONO
 
Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....
Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....
Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....andhikapratama176
 
Pentingnya pengembangan kepribadian- personality development
Pentingnya pengembangan kepribadian- personality developmentPentingnya pengembangan kepribadian- personality development
Pentingnya pengembangan kepribadian- personality developmentstate univ of surabaya
 
Kultur organisasi p pt
Kultur organisasi p ptKultur organisasi p pt
Kultur organisasi p ptlenin888
 
Urgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hari
Urgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hariUrgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hari
Urgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hariAndriyanti Pasaribu
 
Kecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptx
Kecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptxKecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptx
Kecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptxUchyuchykhadijah1
 
Leadership Concept. Heroic Leadership
Leadership Concept. Heroic LeadershipLeadership Concept. Heroic Leadership
Leadership Concept. Heroic LeadershipR. Anang Tinosaputra
 
Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...
Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...
Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...Eka Yulianto
 
Karakteristik psikologis sebagai landasan resiliensi
Karakteristik psikologis sebagai landasan resiliensiKarakteristik psikologis sebagai landasan resiliensi
Karakteristik psikologis sebagai landasan resiliensiayukusdiana
 

Similar to SPIRITUAL COMPANY (20)

Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritualPerilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
 
Tugas 1
Tugas 1Tugas 1
Tugas 1
 
Tugas 1
Tugas 1Tugas 1
Tugas 1
 
budaya orhanisasi. widhi.2017
budaya orhanisasi. widhi.2017budaya orhanisasi. widhi.2017
budaya orhanisasi. widhi.2017
 
Spiritualitas dan budaya organisasi
Spiritualitas dan budaya organisasiSpiritualitas dan budaya organisasi
Spiritualitas dan budaya organisasi
 
Makalah psikologi industri sikap kerja
Makalah psikologi industri sikap kerjaMakalah psikologi industri sikap kerja
Makalah psikologi industri sikap kerja
 
Hubungan Kemanusiaan Pandangan Filsafat
Hubungan Kemanusiaan Pandangan FilsafatHubungan Kemanusiaan Pandangan Filsafat
Hubungan Kemanusiaan Pandangan Filsafat
 
Makalah kewirausahaan
Makalah kewirausahaanMakalah kewirausahaan
Makalah kewirausahaan
 
BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI, GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...
BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI,   GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI,   GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...
BE & GG, SUKMAWATI, PROF HAPZI ALI, GCG BPJS KETENAGAKERJAAN, UNIVERSITAS M...
 
PPT Uji proposal pptx
PPT Uji proposal pptxPPT Uji proposal pptx
PPT Uji proposal pptx
 
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
 
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
1 hubungan antara kualitas interaksi atasan= bawahan dan quality of worklife ...
 
Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....
Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....
Makalah evaluasi kinerja dan kompensasi UTS.ANDHIKA PRATAMA,11150937,7I MSDM....
 
Pentingnya pengembangan kepribadian- personality development
Pentingnya pengembangan kepribadian- personality developmentPentingnya pengembangan kepribadian- personality development
Pentingnya pengembangan kepribadian- personality development
 
Kultur organisasi p pt
Kultur organisasi p ptKultur organisasi p pt
Kultur organisasi p pt
 
Urgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hari
Urgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hariUrgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hari
Urgensi Hubungan Iesq dengan Sikap Kehidupan Sehari-hari
 
Kecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptx
Kecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptxKecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptx
Kecerdasan Emosional dan Spiritual Gabung.pptx
 
Leadership Concept. Heroic Leadership
Leadership Concept. Heroic LeadershipLeadership Concept. Heroic Leadership
Leadership Concept. Heroic Leadership
 
Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...
Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...
Be & gg, eka yulianto, hapzi ali, nilai budaya organisasi pada dinas penanama...
 
Karakteristik psikologis sebagai landasan resiliensi
Karakteristik psikologis sebagai landasan resiliensiKarakteristik psikologis sebagai landasan resiliensi
Karakteristik psikologis sebagai landasan resiliensi
 

Recently uploaded

"Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind...
"Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind..."Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind...
"Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind...HaseebBashir5
 
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...HaseebBashir5
 
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptxPROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptxMelandaNiuwa
 
Investment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 MaterialInvestment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 MaterialValenciaAnggie
 
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2PutriMuaini
 
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di IndonesiaJudul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di IndonesiaHaseebBashir5
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehFORTRESS
 
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik PerhatianTentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik PerhatianHaseebBashir5
 
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...gamal imron khoirudin
 
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank TerpercayaUnikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercayaunikbetslotbankmaybank
 
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barangContoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barangRadhialKautsar
 
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar JudiCimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar JudiHaseebBashir5
 
PRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYA
PRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYAPRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYA
PRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYALex PRTOTO
 
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptxerlyndakasim2
 
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptxRISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptxerlyndakasim2
 
PPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptx
PPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptxPPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptx
PPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptxYasfinaQurrotaAyun
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxFORTRESS
 
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di IndonesiaTajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di IndonesiaHaseebBashir5
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptxFORTRESS
 
KEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDO
KEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDOKEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDO
KEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDOANNISAUMAYAHS
 

Recently uploaded (20)

"Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind...
"Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind..."Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind...
"Menjelajahi Keberagaman Permainan di Sumaterabet: Situs Slot Terbesar di Ind...
 
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
 
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptxPROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
 
Investment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 MaterialInvestment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 Material
 
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
 
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di IndonesiaJudul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
 
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik PerhatianTentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
 
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
 
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank TerpercayaUnikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
 
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barangContoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
 
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar JudiCimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
 
PRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYA
PRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYAPRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYA
PRTOTO SITUS SPORTING BET DAN TOGEL TERPERCAYA
 
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
 
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptxRISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
 
PPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptx
PPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptxPPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptx
PPT Presentasimatkul Hukum Komersial.pptx
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
 
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di IndonesiaTajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
 
KEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDO
KEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDOKEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDO
KEAGENAN KAPAL DALAM DUNIA MARITIME INDO
 

SPIRITUAL COMPANY

  • 1.
  • 2. Tinjauan Spiritual Company Dalam Etika Bisnis Dan Profesi Risdianto, SE., MM.
  • 3. Tinjauan Spiritual Company Dalam Etika Bisnis Dan Profesi Penulis: Risdianto, SE., MM. Editor: Reza Oktiana Akbar, M.Pd. Layout: Tim Kreatif CV. Confident Desain Cover Tim Kreatif CV. Confident Cetakan Pertama, Juli 2021 Isi diluar tanggungjawab Penerbit Undang-undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pasal 72 ii + 101 hlm ; tinggi : 29,7 cm Penerbit: CV. Confident (Anggota IKAPI Jabar) Jl. Karang Anyar No.17 Jamblang Kab.Cirebon 45156 ISBN: 978-623-6834-47-3 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit
  • 4. i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya dapat menyelesaikan penyusunan buku yang berjudul “Tinjauan Spiritual Company dalam Etika Bisnis dan Profesi". Buku ini disusun untuk memberikan gambaran tentang spiritual company yaitu sebuah perusahaan yang melaksanakan good corporate governance dengan pendekatan secara spiritual. Ke depan suatu perusahaan tidak hanya melaksanakan kesalehan spiritual [sebagai bentuk spiritual company] secara ritual ‘saleh ritual’, tapi juga‘saleh akal’ dan ‘saleh sosial’. Dalam buku ini akan dibahas tentang Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan Perusahaan, Manajemen Resiko Berbasis Spiritual Islam, Membangun Budaya spiritual Organisasi dalam perusahaan, dan lain-lain. Diharapkan dengan membahas spiritual company, perusahaan bukan hanya berorientasi pada sukses dunia tapi juga akhirat. Selain itu, penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, sehingga buku ini dapat tersusun dengan baik. Akhir kata penyusun berharap semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi pengembangan ilmu manajemen khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Cirebon, Juli 2021 Penyusun
  • 5. ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI........................................................................................................... ii .. .. .. .. .................................................. 25 V MANAJEMEN RISIKO BERBASIS SPIRITUAL ISLAM..........................31 ........................................ 86 X PENGARUH KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN MELALUI ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR PADA PT PLN (PERSERO) AREA BOJONEGORO II SPIRITUAL MANAJEMEN : SEBUAH REFLEKSI DARI PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN...........................................................7 I ANALISIS PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM TIRTA PEUSADA.............................. 1 III KONTRIBUSI KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN YANG DIMODERASI KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL......................................................21 IV PERILAKU SPIRITUAL DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN PABRIK KELAPA SAWIT VII MEMBANGUN BUDAYA SPIRITUAL ORGANISASI DALAM MEWUJUDKAN COMPANY YANG SUKSES DUNIA AKHIRAT................ 61 VIII PARADIGMA MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS SPIRITUAL (SPIRITUAL BASED HUMAN RESOURCES MANAGEMENT) TERHADAP KORPORASI.................................................................................. 65 VI PENGARUH KEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN MELALUI MOTIVASI INTRINSIK DANKOMITMEN ORGANISASI ...................................................................................................... 50 IX PENGARUH KECERDASAN INTELEKTUAL, KECERDASAN EMOSI, DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN ................................................................................................................................71 XI ULASAN BEBERAPA MATERI TENTANG SPIRITUAL COMPANY .... 94 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................100
  • 6. 1 Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Peusada (Syardiansah et al., 2018) PENDAHULUAN Kinerja karyawan yang baik akan membawa setiap individu untuk berpacu dalam upaya untuk memberikan hal yang terbaik bagi organisasi di tempatnya bekerja. Efektivitas secara keseluruhan dari sebuah organisasi akan meningkat dalam keadaan yang demikian, jika seluruh sumber daya manusia yang dimiliki organisasi berada dalam kondisi yang sama yaitu memiliki kinerja yang baik. Karyawan yang seperti itu dibutuhkan organisasi karena berguna untuk merubah lingkungan kerja secara cepat dan membantu organisasi untuk bertahan. Banyak faktor yang berpotensi memiliki hubungan dengan kinerja baik yang bersifat material maupun non material. Adapun faktor non material yang mempengaruhi kinerja salah satunya adalah sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu dan melekat pada dirinya dengan tingkatan yang berbeda- beda. Beberapa kecerdasan yang mempengaruhi karyawan di dalam sebuah perusahaan di antaranya adalah Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual (Spritual Quotient). Kedua kecerdasan tersebut dimiliki oleh setiap individu, namun tidak semua individu memiliki kedua tingkat kecerdasan tersebut dengan baik. Apalagi individu yang dimaksud adalah orang-orang yang bekerja di sebuah perusahaan. Beban tugas yang diterima menjadi salah satu dalih mengapa karyawan tersebut terkadang tidak mampu mengontrol dan mengelola dengan baik terkait kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual. Kecerdasan emosional sendiri diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengendalikan diri termasuk di dalamnya kemampuan untuk memahami dan mengerti apa yang orang lain rasakan serta menghargai apa yang orang lain lakukan. Terlihat sepele memang bila dibandingkan dengan komponen kecerdasan intelektual, obyeknya pun invisible atau tak terlihat. Namun, justru sesuatu yang tak terlihat tersebut yang pengaruhnya sangat besar terhadap kehidupan, termasuk kehidupan pegawai di lingkungan pekerjaan. Kecerdasan spiritual diyakini merupakan tingkatan tertinggi dari kecerdasan, yang digunakan untuk menghasilkan arti (meaning) dan nilai (value). Dua jenis kecerdasan yang disebutkan pertama yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional merupakan bagian yang terintegrasi dari kecerdasan spiritual. Kecerdasan sprititual yang tinggi ditandai dengan adanya pertumbuhan dan transformasi pada diri seseorang, tercapainya kehidupan yang berimbang antara karier/pekerjaan dan pribadi/keluarga, serta adanya perasaan suka cita serta puas yang diwujudkan dalam bentuk menghasilkan kontribusi yang positif dan berbagi kebahagiaan kepada lingkungan. Berbeda dengan karyawan yang memiliki kecerdasan spiritual yang rendah. Pada karyawan dengan tingkat kecerdasan spiritual yang rendah, keberhasilan dalam karier, pekerjaan, penghasilan, status dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat materi ternyata tidak selalu mampu membuatnya bahagia. PDAM Tirta Peusada Aceh Timur merupakan perusahaan daerah sebagai penyedia air bersih yang didistribusikan kepada masyarakat di Kabupaten Aceh Timur. Terdapat penurunan kinerja pada karyawan PDAM Tirta Peusada terutama dalam hal kuantitas kerja. Beberapa karyawan berpendapat bahwa mereka kurang mampu mengotrol emosi dalam bekerja sehingga saat menyelesaikan pekerjaan yang rumit mereka menjadi tidak fokus. Di samping itu inisiatif yang dimiliki pun kurang dalam tugas-tugas tertentu. Berkaitan dengan kecerdasan spiritual dapat dilihat dari masih adanya
  • 7. 2 keterlambatan pelayanan atas komplain konsumen serta pekerjaan lainnya. Hal ini terkesan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan semata-mata hanya bertanggung jawab terhadap pimpinan, padahal tanggung jawab sebenarnya di dalam bekerja adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa jika ditinjau dari spiritualitas. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui pengaruh Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara parsial terhadap kinerja karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Untuk mengetahui pengaruh Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan terhadap kinerja karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Menurut Patton (2009) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kekuatan di balik singgasana kemampuan intelektual. Selanjutnya secara sederhana Ginanjar (2008) mengartikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan. Dan cara meningkatkan ini adalah dengan cara mempraktekkannya. Shapiro (2007) mengatakan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Goleman (2007) membagi aspek-aspek kecerdasan emosional menjadi lima aspek yang menjadi pedoman dalam mencapai kesuksesan dalam mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yakni: (1) Kesadaran diri, kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan dalam mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan diri dan orang lain yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan atas suatu masalah. (2) Pengaturan diri, pengelolaan diri berarti pengelolaan impulse dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri sendiri. Emosi dikatakan berhasil apabila : mampu menghibur diri sendiri ketika ditimpa musibah, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semuanya itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan diri sendiri. (3) Motivasi, kemampuan seseorang memotivasi diri sendiri dapat ditelusuri melalui hal- hal sebagai berikut : cara mengendalikan dorongan hati, kekuatan berpikir positif, optimisme dan keadaan flow, yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya yang hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam diri nya. (4) Empati, empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
  • 8. 3 (5) Keterampilan sosial, keteramilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Menurut Zohar dan Marshall (2008), kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Kecerdasan yang memberi makna, yang melakukan kontektualisasi, dan bersifat transformatif. Selanjutnya definisi kecerdasan sprititual menurut Nggermanto (2007) adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubunga dengan Tuhan. Potensi kecerdasan spiritual setiap orang sangat besar dan tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan atau materi lainnya. Menurut Zohar dan Marshall (2008), ciri-ciri kecerdasan spiritual secara umum adalah: (1) Kesadaran diri, kesadaran seseorang untuk memberikan makna dan autentisitas pada dirinya dan organisasi tempat ia bergabung. (2) Spontanitas, seseorang menjadi sangat responsif terhadap momen, dan kemudian rela dan sanggup untuk bertanggung jawab terhadapnya. (3) Terbimbing oleh visi dan nilai, terbimbing oleh visi dan nilai berarti bersikap idealistis, tidak egoistis, dan berdedikasi. (4) Holistik, holistik adalah suatu kemampuan untuk melihat suatu permasalahan dari setiap sisi dan melihat bahwa setiap persoalan punya setidaknya dua sisi, dan biasanya lebih. (5) Kepedulian, suatu kualitas dari empati yang mendalam, bukan hanya mengetahui perasaan orang lain, tetapi ikut juga merasakan apa yang orang lain rasakan. (6) Merayakan keberagaman, menghargai orang lain dan pendapat-pendapat walaupun itu bertentangan, dan tidak meremehkan pendapat-pendapat itu. (7) Independensi terhadap lingkungan, independensi terhadap lingkungan berarti teguh, terfokus, tabah, berpikiran independen, kritis terhadap diri sendiri, berdedikasi, dan berkomitmen. (8) Bertanya “Mengapa”, keingintahuan yang aktif dan kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan “mengapa” yang fundamental sangat penting bagi segala macam kegiatan ilmiah, yang merupakan semangat dan motivasi untuk meneliti secara terus menerus. Fahmi (2016) mendefinisikan kinerja sebagai hasil yang diperoleh oleh suatu organisasi baik organisasi tersebut bersifat profit oriented dan non profit oriented. Menurut Yani (2012) kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kasmir (2016) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja dan perilaku kerja seseorang dalam suatu periode, biasanya 1 tahun. Kemudian kinerja dapat diukur dari kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Artinya dalam bekerja mengandung unsur standar yang pencapaian harus dipenuhi, sehingga, bagi yang mencapai standar yang telah diteatpkan berarti berkinerja baik. Indikator penilaian kinerja menurut Kasmir (2016) yaitu sebagai berikut: (1) Kualitas (mutu), pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan melihat kualitas (mutu) dari pekerjaan yang dihasilkan melalui suatu proses tertentu. Dengan kata lain bahwa kualitas merupakan suatu tingkatan dimana proses atau hasil dari penyelesaian suatu kegiatan mendekati titik sempurna. (2) Kuantitas, untuk mengukur kinerja dapat pula dilakukan dengan melihat dari kuantitas yang dihasilkan seseorang. Dengan kata lain kuantitas merupakan produksi yang dihasilkan dapat ditunjukkan dalam bentuk satuan mata uang, jumlah unit, atau jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan. Biasanya untuk pekerjaan tertentu sudah ditentukan kuantitas yang dicapai. Pencapaian kuantitas yang diharapkan adalah jumlah yang sesuai dengan target atau melebihi dari target yang telah ditetapkan.
  • 9. 4 (3) Waktu (jangka waktu), untuk jenis pekerjaan tertentu diberikan batas waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya. Artinya ada pekerjaan batas waktu minimal dan batas waktu maksimal yang harus dipenuhi. Jika melanggar atau tidak memenuhi ketentuan waktu tersebut, maka dapat dianggap kinerjanya kurang baik, demikian pula sebaliknya. Dalam arti lebih luas ketepatan waktu merupakan dimana kegiatan tersebut dapat diselesaikan, atau suatu hasil produksi dapat dicapai dengan batas waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk jenis pekerjaan tertentu makin cepat suatu pekerjaan, makin baik kinerjanya demikian pula sebaliknya makin lambat penyelesaian suatu pekerjaan, maka kinerjanya menjadi kurang baik. (4) Pengawasan, hampir seluruh pekerjaan perlu melakukan dan memerlukan pengawasan terhadap pekerjaan yang sedang berjalan. Pada dasarnya situasi dan kondisi selalu berubah dari keadaan yang baik menjadi tidak baik atau sebaliknya. Oleh karena itu, setiap aktivitas pekerjaan memerlukan pengawasan sehingga tidak melenceng dari yang telah ditetapkan. Dengan adanya pengawasan maka setiap pekerjaan akan menghasilkan kinerja yang baik. (5) Hubungan antar karyawan, penilaian kinerja seringkali dikaitkan dengan kerjasama atau kerukunan antar karyawan dan antar pimpinan. Hubungan ini seringkali juga dikatakan sebagai hubungan antar perseorangan. Dalam hubungan ini diukur apakah seorang karyawan mampu untuk mengembangkan perasaan saling menghargai, niat baik dan kerjasama antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Hubungan antar perseorangan akan menciptakan suasana yang nyaman dan kerjasama yang memungkinkan satu sama lain saling mendukung untuk menghasilkan aktivitas pekerjaan yang lebih baik. Hubungan antar karyawan ini merupakan perilaku kerja yang dihasilkan seorang karyawan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di PDAM Tirta Peusada yang berada di Kabupaten Aceh Timur. Penelitian dilakukan selama 4 (lima) bulan, yaitu sejak November 2017sampai dengan Maret 2018. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Data kualitatif adalah data yang berupa ciri-ciri, sifat, keadaan, atau gambaran dari kualitas objek yang diteliti (Mulyana, 2008). (2) Data kuantitatif adalah data yang berupa bilangan, nilainya bisa berubah-ubah atau bersifat variatif (Mulyana, 2008). Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan pada PDAM Tirta Peusada. Sugiyono (2010), menyatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Adapun jumlah populasi pada penelitian ini adalah 65 orang karyawan. Menurut Sugiyono (2010), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampling jenuh. Sampling jenuh yaitu pengambilan seluruh populasi menjadi sampel. Dengan demikian maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 65 orang. Menganalisis data pada penelitian ini menggunakan regresi linier berganda yang pertujuan untuk mengetahui pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja terhadap kinerja karyawan. Persamaan regresi linier berganda yang digunakan dikemukakan oleh Sugiyono (2010:277): Y = a + β1X1+β2X2+e Keterangan : Y = Dependen variabel a = Konstanta X1, X2 = Independen variabel β1, β2 = Koefisien regresi e = Error
  • 10. 5 Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan beberapa pengujian yaitu: (1) Uji secara parsial (Uji t), pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara parsial (individual) menerangkan variasi variabel dependen. (2) Uji secara simultan (Uji F), pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara simultan (serempak) terhadap variabel terikat. (3) Koefisien Determinasi (R2), pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu.Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel independen (Ghozali, 2013). Pada penelitian ini nilai koefisien determinasi (R2) menggunakan hasil perhitungan program statistical package of social science (SPSS) versi 20,0 for Windows dengan mengambil angka dari tabel regressionmodelsummary yaitu R Square. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan pada PDAM Tirta dapat diketahui dari hasil penelitian berupa tanggapan kuesioner. Tanggapan tersebut kemudian di analisis dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda yang diolah dengan menggunakan program SPSS versi 20,0. Hasil persamaan regresi linier berganda yang didapat yaitu: Y = 2,138 + 0,442X1 + 0,218X2. Berdasarkan persamaan di atas dapat dijelaskan: Konstanta sebesar 2,138 adalah kinerja sebelum dipengaruhi oleh variabel keselataman dan kesehatan kerja. Koefisien regresi sebesar 0,442X1, menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja dan bila kecerdasan emosional meningkat satu satuan maka akan meningkatkan kinerja sebesar 0,442 dengan asumsi variabel lain bernilai tetap. Koefisien regresi sebesar 0,218X2, menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh positif terhadap kinerja dan bila kecerdasan spiritual meningkat satu satuan maka akan meningkatkan kinerja sebesar 0,218 dengan asumsi variabel lain bernilai tetap. Pembuktian hipotesis pada penelitian menggunakan uji t dan uji F serta koefisien determinasi (R2) sebagai berikut: (1) Hasil uji statistik (uji t) diperoleh: Pada variabel kecerdasan emosional tsig < α (0,018 <0,05) maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Pada variabel kecerdasan spiritual tsig < α (0,033 < 0,05) maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Dengan demikian berdasarkan uji t maka hipotesis yang menyatakan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara parsial berpengaruh terhadap kinerja karyawan diterima. (2) Berdasarkan perhitungan SPSS uji F diperoleh Fsig < α (0,011 > 0,05), maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh terhadap kinerja karyawan diterima. (3) Berdasarkan perhitungan koefisien determinasi dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R2) pada kolom R Square sebesar 0,472. Nilai koefisien determinasi tersebut
  • 11. 6 0,472 atau 47,2% variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual mempengaruhi kinerja karyawan dan sisanya sebesar 52,8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak masuk dalam penelitian ini. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan yaitu: berdasarkan hasil persamaan regresi linier berganda diperoleh konstanta sebesar 2,138 adalah kinerja sebelum dipengaruhi oleh variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Koefisien regresi sebesar 0,442X1, menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja. Koefisien regresi sebesar 0,218X2, menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh positif terhadap kinerja. Hasil uji t kecerdasan emosional, tsig < α 5% (0,018 < 0,05) maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Pada variabel kecerdasan spiritual, tsig < α (0,033 < 0,05) maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Hasil uji F, Fsig< α (0,011 > 0,05), maka dapat dinyatakan bahwa variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Hasil uji koefisien determinasi (R2) sebesar 0,472 atau 47,2% variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual mempengaruhi kinerja karyawan dan sisanya sebesar 52,8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.
  • 12. 7 SPIRITUAL MANAJEMEN: SEBUAH REFLEKSI DARI PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN(Arief, 2010) Salah satu tren yang terjadi pada zaman post modern adalah perubahan lingkungan yang sangat cepat. Turbulansi yang terjadi pada lingkungan menyebabkan berubahnya segala sesuatu yang ada, seperti perubahan perekonomian, teknologi, budaya dan secara hakiki terjadinya perubahan peranan dari manusia didalam menjalani kehidupan. Makna dari perubahan lingkun gan menyebabkan manusia semakin terjebak ke dalam kebenaran semu, yang semuanya diukur dengan materi, dan material dapat diukur melalui pemikiran – pemikiran yang kreatif. Materialism dapat menimbulkan berbagai penyakit psikologis, seperti krisis jati diri, depresi, stress, serta ketakutan manusia didalam menghadapi kegagalan, dan kondisi tersebut menjadi bagian dari keseharian dan tidak dapat dihindarkan. Unsur kemanusiaan yang ada di dalam dirinya mengalami kehancuran dengan cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang non manusiawi. Kegiatan mekanis yang dilakukan oleh manusia tidak sesuai lagi dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah (Asih). Pada akhirnya, berbagai penyakit psikologis yang ada pada manusia akan berdampak pada kinerja, dan hal ini terutama dapat dilihat ketika mereka terlibat dalam dunia bisnis. Perilaku orang dan etika manusia didalam menjalankan aktivitas bisnis telah jauh dari nilai – nilai kemanusiaan dan nilai kebenaran. Cara pandang bahwa bisnis harus berorientasi pada pasar akan menyebabkan perusahaan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, profitabilitas dan dilakukan dengan mengekploitasi dan mengeksplorasi semua sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya internal dan eksternal. Perusahaan akan menjadi bangga ketika dapat menerapkan ilmu, konsep dan pemikiran dalam menghadapi lingkungan yang dinamis sehingga tidak menyadari bahwa apa yang telah dilakukan telah menyebabkan mereka menjadi egosentrik dan dipenuhi dengan pertimbangan jangka pendek sehingga tatanan perekonomian, sosial, budaya dan politik menjadi tidak seimbang. Orientasi bisnis yang dimiliki oleh manusia dengan tidak memandang perilaku yang beretika serta hanya mementingkan unsur materialism sangat bertentangan dengan pemikiran dasar dari Aristoteles (384-322 SM). Dalam pandangannya, Aristoteles menekankan pada pentingnya peningkatan kepekaan manusia melalui ide–ide sejarah, khususnya mengenai akal sehat, dan berusaha menghindari pola-pola yang ekstrem dalam filsafat. Pola pemikiran tersebut mengacu pada bagaimana manusia dapat mencapai keseimbangan kehidupan, dengan tidak hanya berpikir mengenai hal – hal yang bersifat konkret, tetapi juga memasukkan unsur yang abstrak. Dalam metafisikanya ia menolak pemisahan forma- forma Plato melalui analisis- analisisnya tentang material, paternsialitas, substansi, dan dunia teleologis secara umum. Dalam etika dan filsafat sosial, ia dikenal mempertahankan ajaran tentang posisi “tengah- tengah” dalam perbuatan manusia dimana ia menekankan keutamaan dan tanggung jawab moral, khususnya pada situasi-situasi tertentu dimana “keputusan terletak pada persepsi”. Pola pemikiran ini dianggap dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia didalam menjalani kehidupan dan secara luas dapat membawa perubahan bagi perusahaan. Tujuan perusahaan adalah menggabungkan antara strategi dan nilai serta menjawab pertanyaan paling mendasar dari kehidupan perusahaan ; Mengapa perusahaan didirikan ? (Drucker, dalam Pearce, Maciariello dan Yamawaki, 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, perusahaan memerlukan strategi, menentukan
  • 13. 8 sifat dari cita – cita dan sasarannya, mempengaruhi keputusannya, membentuk cara mengelola, menentukan tingkat keseimbangan antara nilai – nilai yang dianut oleh perusahaan dengan karyawan serta mempengaruhi motivasi hakiki karyawan, dan sebagai akibatnya akan mempengaruhi komitmen, inisiatif dan kreatifitas karyawan. Penciptaan keseimbangan melalui penentuan nilai – nilai yang dianut oleh perusahaan didalam menumbuhkan motivasi, yang berdampak pada komitmen, inisiatif dan kreatifitas karyawan tentunya membutuhkan kemampuan dari individu didalam melakukan pengendalian diri secara terus menerus pada kegiatan, tujuan serta hasil – hasil yang bermakna. Semua desain organisasi perusahaan yang selama ini menjadi fokus dalam perdebatan teori organisasi dibuat dengan maksud untuk memastikan keseimbangan antara keberadaan kualitas yang ada pada diri individu dengan tujuan organisasi. Tetapi, mekanisme pada semua desain tersebut berlangsung lebih external daripada internal. Pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan dari Drucker, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan kepentingan dari para pemegang saham, pelanggan dan karyawan dalam perusahaan. Sebuah tujuan yang ingin menyeimbangkan kepentingan semua pihak terkait seringkali tidak memperhatikan soliditas dari organisasi. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh pemimpin adalah sejauh mana mereka dapat meraih kinerja tertinggi dari setiap individu melalui upaya mengkombinasikan kualitas – kualitas pribadi dengan berbagai kompetensi yang dimiliki, seperti pendidikan, ketrampilan, bakat, kemampuan dan berbagai kekuatan lainnya (Hendrawan, 2007). Secara hakiki, struktur ontologis manusia, yakni Logos subyektif, memungkinkan manusia mentransendir dirinya, sehingga ia mampu berpikir secara metafisis ke arah yang absolut. Secara esensial, metafisika hanya mungkin terjadi jika seseorang dapat merefleksikan spiritualitas, yakni berkaitan dengan keinginan manusia untuk menyatukan diri dengan yang absolut. Refleksi metafisis manusia tentang absolutisme yang ditemukan melalui aktivitas yang terbatas tidak hanya berkaitan dengan kemampuan intelektual manusia, tetapi lebih berkaitan dengan unsur teologis, yaitu proses pencarian kesatuan antara yang absolut dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia, yang berarti juga merupakan upaya pemenuhan dirinya. Pendasaran metafisis atas keinginan manusia untuk menunjukkan spiritualitas melampaui kondisi-kondisi eksternal yang bersifat kontingen, seperti faktor historis, psikologis, budaya, sosial, ekonomi, atau yang lainnya. Kemampuan manusia untuk mentransendir dirinya mencerminkan struktur terdalam, baik dari yang terbatas maupun dari yang absolut, sehingga bukanlah bersifat ekternal, melainkan internal. Secara ontologis, Hendrawan (2007) memaknai arti dari spiritual sebagai “sesuatu yang prinsip sehingga menghidupkan organisme fisik”, “”sesuatu yang berhubungan dengan hal yang suci” dan “sesuatu yang berhubungan dengan fenomena atau makhluk supernatural”. Selanjutnya, secara ringkas dijelaskan bahwa spiritualitas meliputi ; (1) sebagai sumber kekuatan hidup ; (2) memiliki status yang suci dan (3) berkaitan dengan Tuhan. Ali (2009) menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan komponen yang lebih kecil dari keyakinan atau agama. Spiritual sebagai sumber kekuatan hidup dan mempunyai status kesucian, mencerminkan kecenderungan untuk memisahkan spiritualitas dari agama. Meskipun masih dapat disatukan, sumber kekuatan hidup dan kesucian dapat dibedakan menjadi bentuk (form) dan makna (substance). Bentuk adalah sesuatu yang dapat dilihat dari luar, sedangkan makna merupakan hakikat yang tidak terlihat, suatu realitas yang tersembunyi. Rumi, dalam Hendrawan (2007), menjelaskan bahwa bentuk dan makna merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bentuk berasal dari makna dan makna akan merealisasikan diri sebagai bentuk. Argumentasi ini membawa implikasi penting, bahwa spiritualitas memerlukan realisasi nyata sebagai perwujudan bentuk. Implikasinya, realisasi dari spiritualitas ini diwujudkan dalam agama, new age, sekte maupun gerakan yang lain dengan berbagai tingkat kesadaran yang berbeda, individu, kelompok dan masyarakat, yang akan memberikan suatu nilai bagi kehidupan.
  • 14. 9 Keyakinan atau fenomena spiritualitas telah memberikan dampak yang penting bagi perilaku individu dan bagaimana mereka dapat memfungsikan kemampuan yang dimiliki untuk sesuatu yang bermakna (Saucier dan Skrzypińska, 2006). Spiritualitas dapat memberikan sesuatu yang lebih dengan bagaimana keragaman dimulai, apa bentuk kehidupan khusus dan bagaimana seseorang dapat memahami ketidakadilan (Argyle & Beit Hallahmi,1975) ; spiritualitas dapat meningkatkan kenyamanan dan keamanan bagi seseorang sehingga akan terhindar dari rasa cemas (Greenberg, Pyszczynski, & Solomon, 1986) ; serta dapat meningkatkan kepekaan seseorang terhadap sesuatu yang benar dan salah (Baumeister, 1991). Selanjutnya, keyakinan yang dimiliki oleh seseorang akan dapat menghubungkan dengan orang lain, sehingga mereka akan dapat memberikan masukan terhadap sistem yang ada dengan berdasar pada nilai– nilai dan aturan yang berlaku pada kelompok sosial (Kuczkowski, 1993) ; nilai dan aturan yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan utama didalam menentukan perilaku nyata (Mądrzycki, 1996, dalam Saucier dan Skrzypińska, 2006). Secara empiris, ketertarikan dari beberapa peneliti untuk melakukan kajian dalam mencari hubungan antara spiritual pada manajemen telah mengalami perkembangan (Kinni, 2003 ; Weaver dan Agle, 2002). Kajian tersebut didasarkan dari pernyataan yang dikemukakan oleh beberapa manajer bahwa peran dari keyakinan atau spiritual menjadi hal yang sangat penting didalam menjalankan bisnis. Spiritual Manajemen didefinisikan sebagai manajemen yang mengedepankan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Samsu, 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai- nilai spiritual manajemen sudah ada sejak sekitar tahun 631M, dimana dunia mencatat sebuah fenomena manajemen di Madinah, ketika Nabi Muhammad berhasil membangun masyarakat madani di sebuah wilayah yang demokratis, yang menghargai pluralitas dengan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, supremasi hukum, egalitarianisme dan toleransi yang semuanya dibangun dengan dasar manajemen spiritual. Secara faktual, beberapa negara Barat, khususnya negara yang berada di Amerika Utara, ketidak percayaan masyarakat terhadap institusi agama telah mengalami peningkatan. Fenomena ini mendorong timbulnya spiritualitas bagi masyarakat dengan berbagai bentuk keyakinan dan kepercayaan yang bervariasi, mulai dari cult, sect, New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The Holistic Health Movement, sampai New Age Movement (Wattimena, tidak dipublikasikan). Tujuannya dari timbulnya gerakan spiritualitas ini adalah ingin memenuhi hasrat untuk mendamaikan hati. Terlepas dari apa bentuknya, makna dari spriritual sebagaimana yang dikemukakan oleh Rumi dalam Hendrawan (2007) menunjukkan pentingnya perusahaan memasukkan dimensi ini didalam menjalankan kegiatan bisnis. Beberapa filsuf besar seperti Thales (+ 585 SM), menyatakan bahwa “Segala sesuatu penuh dengan dewa” (kosmologi naturalistik). Sedangkan Plotinus (205-270) yang dianggap sebagai neo- Platonis terbesar meyakini bahwa realitas ini muncul dari sumber yang bersifat transenden dan tak terlukiskan yang disebut Yang Esa. Yang Esa itu melampaui ada, dan segala sesuatu muncul dari dari-Nya melalui emanasi. Emanasi pertama adalah Nous (akal), yang kedua Jiwa-Dunia yang bersamanya jiwa-jiwa manusia muncul, dan yang ketiga adalah Materi. Agustinus (354-430), merupakan filsuf besar Kristen pertama, menganggap bahwa Tuhan sebagai pengada tertinggi yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan; bahkan waktupun belum ada sebelum penciptaan. Kejahatan tidak diciptakan Tuhan karena pada hakikatnya kejahatan itu tidak ada. Pengetahuan manusia hanya dapat terjadi melalui pencerahan budi. Namun sejak Adam tergelincir ke bumi, maka manusia hanya dapat terbebas dari dosa jika rahmat-Nya memulihkan kekuatan untuk melakukan kebaikan. Setiyadi menyatakan bahwa spiritual mengacu pada suatu sifat yang mengandung energi, semangat, kekuatan yang ada namun tiada dapat terlihat, hanya dapat dirasakan keberadaannya. Ia lebih merupakan
  • 15. 10 perwujudan dari pengakuan bahwa gagal suksesnya perusahaan tidak hanya sebagai resultan dari upaya fisik yang dilakukan manusia, namun di dalamnya ada intervensi dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber spirit. Dari beberapa pemikiran tersebut secara tersirat maupun tersurat sudah menggambarkan besarnya peran dari spiritual didalam menjalankan kehidupan melalui pengelolaan manajemen. Secara empiris, Novicevic, Ghosh, Clement dan Robinson (2008) menyatakan bahwa sistem manajemen akan menghilangkan pemahaman individu terhadap formalitas pada perusahaan. Pernyataan ini memperkuat argumentasi dari Thompson (1961) bahwa terdapat kesenjangan antara spesialisasi dan status dari hirarki yang ada pada perusahaan. Untuk menjembatani kesenjangan antara sistem yang ada pada perusahaan, Hendrawan (2007) menyatakan bahwa manajemen perusahaan harus mengintegrasikan aspek spiritual (spirituality), kepemimpinan (leadership) dan ilmu pengetahuan (science). Pernyataan ini didukung dengan argumentasi dari Ali (2009) yang mengemukakan bahwa persaingan yang ada pada pasar akan mengimprovisasi manajer perusahaan untuk menggunakan pendekatan dan pemikiran spiritual. Pada titik ini, pengembangan ilmu manajemen harus didasarkan tidak hanya pada aspek yang konkret, dengan hanya mempertimbangkan pada kondisi materialism, tetapi juga memasukkan aspek yang abstrak. Manajemen merupakan pencapaian sasaran-saran organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian sumber daya organisasi (Daft, 2000). Pada umumnya, manajemen suatu perusahaan bercermin dari negara – negara Barat yang dianggap sangat maju dan inovatif didalam mengembangkan konsep – konsep baru untuk menjalankan kegiatan operasional bisnis. Dari beberapa kajian empiris banyak ditemukan pengembangan model manajemen secara teoritis dan temuan empiris dari aktivitas bisnis yang menunjukkan peningkatan kinerja perusahaan ditengah dinamisasi yang ada pada lingkungan dan ketatnya persaingan (Novicevic, Harvey, Buckley dan Adams, 2008). Tetapi, ketika ekonomi Amerika mengalami degradasi, timbul persepsi bahwa ada yang salah dengan sistem bisnis yang digunakan selama ini. Pandangan dari mahzab scientific yang dipelopori oleh Taylor dengan penekanan pada “bekerja pada output maksimum, dan tidak membatasi output”, pada kenyataannya tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu perlu dikembangkan konsepsi lain sebagai suatu alternatif yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk menjaga survivalitas dalam lingkungan yang dinamis. Budaya dan Spiritualitas Untuk menginvestigasi bagaimana spritualitas dimasukkan dan akan mempengaruhi perilaku organisasi tidak hanya dibatasi dari dimensi yang dimiliki oleh karyawan yang berada di organisasi, tetapi juga sebagai refleksi dari seseorang didalam memahami suatu nilai dan makna dari spritualitas yang dimiliki (Mohamed et al., 2001). Dari studi empiris yang dilakukan oleh Oliveira (2001) dijelaskan bahwa model dari teori organisasi berkaitan dengan beberapa konsep teori yang lain, salah satunya adalah dengan budaya. Budaya yang terdiri dari suatu sistem pembelajaran dan dikomunikasikan melalui makna bahasa secara alamiah dan sistem simbol yang lain, mempunyai fungsi yang representatif, bersifat langsung dan afektif serta mempunyai kemampuan untuk menciptakan entitas budaya yang secara khusus akan membentuk kepekaan terhadap realitas yang ada (Rubinstein, 1993). Melalui sistem pemaknaan ini, seseorang yang berada dalam suatu kelompok tertentu akan beradaptasi pada lingkungan dan struktur dari aktivitas interpersonal. Selama 1 abad terakhir, perkembangan kehidupan manusia selalu diikuti dengan perkembangan budaya. Suatu budaya akan menghargai keragaman dari keyakinan yang dimiliki oleh seseorang dengan menekankan pada kode – kode yang akan menggerakkan nilai
  • 16. 11 – nilai toleransi (Milliman, Czaplewski, dan Ferguson, 2003 ; Milliman et. al.,1999 ; Kouzes dan Posner, 1995). Beberapa bentuk dari budaya dapat digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan. Sistem budaya akan menjadi cara baru bagi seseorang untuk “berpikir, menunjukkan perasaan dan eksistensinya” (Zachariev,2002). Budaya merupakan seperangkat orientasi nilai yang menunjukkan inti pusat dari makna pada kehidupan manusia (Brake, Walker dan Walker,1995). Budaya akan menanamkan norma berperilaku dan sifat, mengetahui dan menguasai sekumpulan peraturan, menghormati nilai dan norma masyarakat, serta menghargai ilmu pengetahuan dan kebenaran (Pearce, Maciariello dan Yamawaki, 2010). Orientasi nilai yang dimiliki oleh manusia akan memandu mereka untuk menunjukkan bagaimana mereka akan berpikir, bertindak serta menggambarkan keyakinan. Orientasi nilai juga merupakan elemen dari budaya dimana seseorang akan menggunakan pola ini sebagai pendekatan didalam melakukan interaksi dengan individu lain atau suatu kelompok, dan dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikan, budaya akan mempengaruhi tindakan, pengambilan keputusan dan perasaan seseorang dalam menginterpretasikan dirinya, orang lain, organisasi dan lainnya. Spiritualitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya. Dalam Landmarks of Tomorrow, Drucker mengatakan kebutuhan manusia akan nilai – nilai spiritual untuk membentuk budaya. Dengan kemampuan yang dimiliki, manusia dapat menyebabkan kehancuran pada dirinya sendiri dan orang lain, baik dari segi fisik, perasaan, psikis dan moral. Kemajuan ilmu pengetahuan akan mendorong terjadinya perubahan perilaku manusia sehingga dapat mengubah manusia menjadi individu yang kehilangan jati dirinya dengan menyalahgunakan rasa takut dan perasaan, tidak mempunyai keyakinan, nilai, prinsip, belas kasih, harga diri serta hilangnya rasa kemanusiaan. Ketika sifat – sifat tersebut berjalan dalam waktu yang sangat lama, maka akan menjadi suatu budaya. Untuk mengatasi hal ini, manusia dapat kembali ke nilai – nilai spiritual yang akan memandu mereka untuk menggunakan kemampuannya yang dihasilkan dari penciptaan pengetahuan baru dalam memberikan manfaat tertinggi bagi umat manusia. Dari studi yang dilakukan oleh Mirvis (1997) ; Cavanagh, et al. (2001) disebutkan bahwa pada beberapa budaya yang ada pada perusahaan, khususnya yang dikarakteristikkan oleh filosofi materialistic dan positivist, isu – isu tentang spiritualitas di tempat kerja telah banyak digunakan untuk menjawab tantangan budaya. Selanjutnya, Mirvis (1997) menjelaskan bahwa budaya perusahaan dikarakteristikkan sebagai “anti etika” dari spiritualitas. Selanjutnya dijelaskan bahwa tendensi perusahaan terhadap “kebenaran dan alasan”, “spiritual dan sekular” akan menimbulkan perspektif dan kepekaan bahwa spiritual sebagai sesuatu yang tidak dapat didiskusikan pada beberapa organisasi (p. 203; Mirvis, 1997). Argumentasi diatas menjelaskan bahwa spiritualitas menjadi legitimasi penguatan didalam mengekspresikan keyakinan dan spiritualitas di tempat kerja menjadi faktor yang cukup valid didalam mempengaruhi lingkungan perusahaan (Brown, 2003 ; Mirvis, 1997 ; Karakas dan Fahri, 2010). Spiritualitas yang ada pada suatu perusahaan dapat terhambat dengan perilaku yang ditunjukkan oleh manajer yang mencoba untuk mempertahankan keberadaannya pada saat ini. Jika demikian, karyawan yang mempunyai persepsi terhadap spiritual akan menjalankan aktivitas spiritualnya dengan caranya sendiri dan untuk menghindari tekanan yang ada, mereka tidak menunjukkan perilaku yang menunjukkan aktivitas spiritual. Model Spiritualitas Perusahaan Spiritualitas merupakan bentuk penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui perilaku tertentu. Fokus spiritual terdapat pada diri manusia. Ketika wilayah psikologi mengkaji jiwa sebagai psyche (dalam terminologi spiritual lebih dikenal sebagai ego), maka spiritualitas menyentuh jiwa sebagai spirit. Konteks spiritual yang digunakan oleh budaya barat menyebutkan
  • 17. 12 spiritual sebagai inner self (diri pribadi), sesuatu yang “diisikan” Tuhan pada saat manusia diciptakan. Sims (1994) menyebutkan lima aspek spiritualitas yang didasarkan pada psychiatrist, yaitu ; (1) arti dari kehidupan, (2) toleransi antar manusia, (3) kepribadian seseorang ; menjadi dirinya sendiri, pemikiran dan motivasi, (4) moralitas ; berkaitan dengan kebaikan dan keburukan dan (5) kesadaran akan adanya Tuhan ; berkaitan dengan hubungan antara Tuhan dan manusia. Spiritual mengacu pada suatu sifat yang mengandung energi, semangat, kekuatan yang ada namun tiada dapat terlihat, hanya dapat dirasakan keberadaannya. Secara khusus, spiritual yang ditunjukkan oleh perusahaan tidak hanya berkaitan dengan agama yang dianut oleh setiap pimpinan dan pegawai perusahaan, tetapi lebih merupakan perwujudan dari pengakuan bahwa kegagalan atau kesuksesan perusahaan tidak hanya sebagai resultan dari upaya fisik yang dilakukan manusia, tetapi di dalamnya ada intervensi dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber keyakinan. Perusahaan yang menekankan pada spiritual akan mengubah perilaku individu dan perusahaan dari yang awalnya tidak atau kurang peka terhadap kondisi lingkungan sekitar menjadi lebih peka dan sadar terhadap lingkungan sekitar. Hendrawan (2009) menjelaskan bahwa secara sederhana model spiritual perusahaan mempunyai tiga dimensi, yaitu : (1) Dimensi vertikal, dimensi ini berkaitan dengan tingkatan sistem yang menjadi obyek spiritualisasi, meliputi individu, kelompok dan organisasi. (2) Dimensi horizontal, dimensi ini merupakan analogi dari konsep perjalanan kaum sufi dalam meraih pengalaman spiritual tertinggi yang dikenal dengan istilah syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifah. (3) Dimensi diagonal. Dimensi ini mencoba menyatukan berbagai unsur kehidupan yang terpisah, yaitu unsur aksi, identitas, nilai dan keyakinan. Ketiga dimensi yang ada pada spiritual perusahaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Interaksi dari dimensi model spiritual perusahaan sebagaimana yang tertera pada gambar diatas akan menghasilkan peningkatan, pendalaman dan perluasan kesadaran individu dalam bentuk ; (1) pengenalan diri ; (2) intuisi ; dan (3) harmonisasi. Perubahan kesadaran yang menghasilkan pengalaman spiritual universal yang oleh Huxley (dalam Hendrawan, 2009) disebutdengan kearifan abadi, perennial wisdom. Dampak yang ditimbulkan dari perubahan kesadaran akan menciptakan penguasaan diri dari tingkat individu, keberhasilan kelompok, dari tingkatan kelompok dan pengelolaan dari dalam diri pada tingkatan organisasi (Hendrawan, 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa ketiga dimensi tersebut merupakan unsur vital bagi efektifitas organisasi dalam menghadapi lingkungan bisnis yang semakin kompetitif.
  • 18. 13 Dengan pendekatan yang berbeda, Campuzano (2009) menjelaskan model spiritual organisasi bisnis dengan membedakan 3 tingkatan elemen yang meliputi “metrik sistem kinerja”, “spirituality Quotient” dan “kepemimpinan spiritual”. Pada model ini dijelaskan bahwa tingkatan tertinggi pada spiritualisasi perusahaan adalah menciptakan kinerja yang unggul karena adanya kesadaran yang tinggi dari karyawan untuk memotivasi diri dalam meningkatkan kinerja. Spiritual quotient meliputi kejujuran, rasa hormat dan tanggung jawab terhadap nilai yang diberikan. Tanggung jawab akan memberikan manfaat bagi perusahaan, dan oleh karena itu pengalaman kepemimpinan dan karyawan akan meningkatkan kualitas dari kehidupan pekerjaan. Sedangkan spiritual leadership akan mempengaruhi karyawan dalam mencapai realisasi diri dan berusaha untuk mencapai tujuan yang akan menunjukkan aktualitas. Pemimpin akan mempengaruhi budaya organisasi melalui nilai – nilai yang ditanamkan, menghubungkan dengan orang lain, mempraktekkan spiritualitas dan menghidupkan gaya hidup secara transparan (Gull dan Doh, 2004). Spiritual leadership termasuk realisasi diri dan implementasi keseimbangan antara keluarga, pekerjaan dan spiritualitas. Gambar 2. Model Spiritual Organisasi Bisnis Sumber : Campuzano & Seteroff, 2009 Realisasi diri merupakan hal yang sangat penting karena hasilnya dapat dilihat oleh karyawan. Keseimbangan gaya hidup akan meningkatkan kepuasan karena semua aspek kehidupan akan menyeimbangkan hal yang lain serta menghasilkan keadaan yang harmonis, bukan menimbulkan kekacauan serta konflik internal dan eksternal Campuzano, Guadalupe dan Seteroff, 2009). Ketika spiritual dapat mengurangi perilaku yang tidak jujur dan meningkatkan perilaku yang beretika, maka spiritual pada organisasi bisnis secara positif dapat memberikan dampak pada efisiensi kelompok dan kinerja para eksekutif. Spiritual organisasi bisnis akan menghasilkan suatu norma pada kelompok yang akan meningkatkan produktifitas serta mengurangi biaya dari aktivitas bisnis yang yang dijalankan menjadi lebih atraktif dalam upaya untuk meningkatkan lingkungan persaingan global. Dari kedua model spiritualisasi perusahaan sebagaimana yang dikembangkan oleh Hendrawan (2009) dan Campuzano (2009) diatas dapat dilihat perbedaannya. Jika model yang dikemukakan oleh Hendrawan (2009) lebih menitik beratkan pada upaya membangun spiritual pada organisasi yang berbasis pada tingkatan individu, disisi lain model yang dikembangkan oleh Campuzano (2009) lebih menitik beratkan pada pembangunan spiritual organisasi dengan berdasarkan pada pemimpin. Model spiritual perusahaan yang dikembangkan oleh Campuzano (2009) akan meningkatkan kesadaran pada karyawan dan menghasilkan peningkatan kepuasan pada karyawan. Spiritualitas Dan Keunggulan Bersaing Spiritualitas dapat diwujudkan melalui penanaman nilai – nilai budaya. Dalam bidang bisnis, selama ini aspek spiritualitas agak termajinalisasi, karena dalam menjalankan aktivitas
  • 19. 14 bisnisnya, beberapa perusahaan yang berorientasi pada profit selalu dihadapkan pada pola pemikiran yang bersifat materialisme. Keuntungan yang diperoleh dan berdampak pada perkembangan perusahaan semata – mata karena disebabkan oleh aktivitas yang dijalankan melalui proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara obyektif. Perspektif obyektifitas yang mewakili intelektualisme dan materialisme yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk menilai perkembangan perusahaan memang sangat penting, tetapi pada sisi yang lain dapat melepaskan diri dari absolutisme. Pada tingkatan tertentu, obyektifitas dan intelektualisme akan berbenturan dengan dinding kokoh yang menghalangi jalan manusia menuju Tuhan. Hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual yang hidup di alam materi (Wattimena, tidak dipublikasikan). Dalam perspektif spiritualitas, perusahaan adalah tempat bagi individu untuk mengungkapkan perkembangan total dirinya. Perusahaan dan pekerjaan tidak lagi dilihat sebagai instrumen untuk menghasilkan pendapatan, tetapi dilihat sebagai lahan suci (sacred) untuk meraih dan mengungkapkan spiritualitas (Hendrawan, 2009). Spiritualitas yang dimiliki oleh individu akan membentuk mentalitas baru yang dicirikan dengan orientasi yang lebih holistik, memberikan pelayanan kepada manusia, mempunyai komitmen pada kebenaran dan bentuk – bentuk perilaku luhur lain serta kesadaran diri. Ciri – ciri dari mentalitas individu tersebut diatas sangat diperlukan bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja. Studi empiris tentang hubungan antara spiritualitas dan kinerja dikemukakan oleh Karakas (2010) melalui pendapat dari beberapa peneliti sebelumnya. Kesimpulan yang diambil adalah hubungan antara keduanya dapat dilihat dari dua sudut pandang ; (1) spiritualitas sebagai anti materialist ; dan (2) spiritualitas sebagai anti positivist. Spiritualitas sebagai anti materialist diargumentasikan bahwa karakteristik anti materialist pada spiritual menjadi tantangan yang sangat penting bagi perusahaan didalam menginvestigasi hubungannya dengan kinerja keuangan. Beberapa peneliti mendukung argumentasi ini dengan menyebutkan bahwa faktor etika dan moral menjadi komponen yang menentukan hubungan antara spiritual perusahaan dengan kinerja atau profitabilitas. Pada sisi lain, spiritualitas berhubungan dengan peningkatan produktifitas atau profitabilitas perusahaan. Argumentasi ini yang melandasi pemikiran dari beberapa peneliti dengan memandang spiritualitas sebagai anti positivist. Dalam hubungannya dengan peningkatan produktifitas, Fry (2003) mengamati bahwa : “Sebuah perubahan besar terjadi pada kehidupan individu dan profesional ketika pemimpin mengintegrasikan spiritualitas dalam pekerjaan. Sebagian besar karyawan menyetujui bahwa bahwa integrasi spiritualitas dalam pekerjaan akan menyebabkan perubahan positif dalam hubungannya dengan efektifitas. Terdapat bukti bahwa spiritualitas di tempat kerja tidak hanya menyebabkan hasil yang bermanfaat bagi individu seperti peningkatan ketenangan, kedamaian, kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi, tetapi spiritualitas tersebut juga akan meningkatkan produktifitas dan mengurangi tingkat keluar masuknya karyawan dalam organisasi.” Selanjutnya dijelaskan bahwa ; Tujuan dari spiritualitas perusahaan adalah untuk menciptakan visi dan nilai yang melintasi strategi, pemberdayaan kelompok dan tingkatan individu serta secara utama adalah untuk menjaga tingkatan tertinggi dari komitmen organisasi dan produktifitas. Studi empiris yang dilakukan oleh Kinjerski and Skrypnek (2006) menjelaskan bahwa individu dengan spiritualitas yang tinggi akan berdampak secara positif dalam menjalin hubungan dengan pelanggan dan peningkatan produktifitas. Secara lebih mendalam, terdapat beberapa anggapan bahwa spiritualitas organisasi akan meningkatkan produktifitas dan
  • 20. 15 kinerja (Biberman dan Whitty, 1997 ; Biberman et al., 1999 ; Burack, 1999 ; Kriger dan Hanson, 1999 ; Korac-Kakabadse, Kouzmin, dan Kakabadse, 2002 ; Neck dan Milliman, 1994 ; Thompson, 2000 ; Case dan Gosling, 2010). Berdasarkan pendapat dari beberapa peneliti diatas, Karakas (2010) mengembangkan model hubungan antara spiritualitas organisasi terhadap profitabilitas dan kinerja dengan memasukkan tiga perspektif meliputi ; a) Perspektif sumberdaya manusia ; spiritualitas akan menggerakkan kebaikan dari karyawan dan makna dari hidup. b) Perspektif filosofis ; spiritualitas akan meningkatkan kepekaan karyawan dan makna dari pekerjaan. c) Perspektif interpersonal ; spiritualitas akan meningkatkan kepekaan karyawan pada hubungan interpersonal dan kelompok. Sumber ; Karakas (2010) Gambar 3. Tiga Perspektif Spiritualitas nan Kinerja Ketika perusahaan dapat meningkatkan produktifitas dan kinerja, maka keunggulan bersaing akan dapat diciptakan oleh perusahaan. Berdasarkan model keunggulan bersaing yang dikemukakan oleh Porter, keunggulan bersaing akan menggabungkan antara dua strategi ofensif dan defensif dalam menciptakan posisi yang tidak tergantung pada industri dan untuk mencapai kesuksesan dengan tekanan persaingan serta menggerakkan hasil yang superioritas. Porter menyatakan bahwa dasar yang digunakan untuk menciptakan kinerja yang unggul dalam suatu industri merupakan sumber dari keunggulan bersaing. Faktor kritis yang akan menjadi sumber dari keunggulan bersaing adalah bagaimana kemampuan dari perusahaan untuk menghadapi tantangan bisnis melalui mekanisme manajemen, meliputi perencanaan, manajemen keuangan dan pengambilan keputusan secara inovatif serta mengelola dinamika bisnis dibawah tekanan perubahan. Papulova dan Papulova (2006) mengemukakan bahwa keunggulan bersaing yang nyata akan berimplikasi pada kemampuan perusahaan didalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan secara lebih efektif daripada yang diberikan oleh pesaing. Keunggulan bersaing dapat dicapai jika perusahaan dapat memberikan nilai tambah kepada pelanggan melalui sistem yang diterapkan. Pengakuan atas hasrat untuk memberikan nilai tambah kepada pelanggan melalui pemberian pelayanan yang baik, peduli pada kepentingan pelanggan diatas kepentingan sendiri merupakan salah satu dimensi kesempurnaan spiritualitas. Selain itu, unsur keikhlasan dan kejujuran juga menunjukkan ciri – ciri spiritualitas dari organisasi. Dalam perspektif spiritual, nilai tambah yang diberikan untuk mencapai keunggulan bersaing dijelaskan oleh Fry dan Whittington (2005) terdiri dari ; (1) berbuat baik dan potensi yang dimiliki oleh manusia, serta menciptakan dan mempersepsikan organisasi dengan baik ; dan (2) pemberdayaan organisasi. Perspektif perbuatan baik, eksplorasi potensi yang dimiliki oleh manusia dan mempersepsikan organisasi dengan baik menggambarkan bagaimana seseorang mampu menciptakan hasil karya melalui kombinasi dari visi, kreatifitas, menunjukkan perilaku yang bernilai serta harapan. Visi, kreatifitas dan perilaku yang bernilai sebagai komponen pembentuk nilai tambah akan berguna ketika perusahaan mampu memenuhi kebutuhan dan
  • 21. 16 keinginan masyarakat. peningkatan visi, kreatifitas dan perilaku dapat dilakukan melalui proses pembelajaran, pengembangan dan meningkatkan kepekaan dari kompetensi yang mengarah pada bagaimana perusahaan dapat memaknai hakikat dari manusia. Pembelajaran merupakan proses perubahan perilaku, sikap, nilai maupun keyakinan yang secara terus menerus dapat digunakan untuk menghadapi tantangan – tantangan baru (adaptive learning). Pada sisi yang lain, pembelajaran juga mencakup tentang perluasan kapasitas sehingga seseorang dapat menciptakan hasil – hasil yang diinginkan. Seseorang yang melakukan pembelajaran seperti ini akan mencoba mengembangkan ketegangan kreatif antara visi yang dimiliki dan kenyataan secara obyektif, dan mereka akan melakukan aktivitas yang dapat mengurangi kesenjangan antara visi dan kenyataan. Pembelajaran seperti ini disebut dengan generative learning. Adaptive learning dan generative learning akan membawa perusahaan untuk meningkatkan inovasi dan kreatifitas secara terus menerus. Dengan demikian, memaknai hakikat dari manusia dapat membawa perusahaan untuk mencari berbagai bentuk inovasi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Inovasi yang dihasilkan oleh perusahaan akan menciptakan keunggulan bersaing bagi perusahaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hussain dan Ilyas (2011). Selanjutnya dijelaskan oleh Kuczmarski (1995) dalam Hussain dan Ilyas (2011), bahwa keunggulan bersaing merupakan kerangka dari pemikiran yang menunjukkan suatu pendekatan atau metode pada pemikiran yang difokuskan pada kondisi di yang akan dihadapi melalui visi ke depan. Dengan spiritualisasi dimungkinkan munculnya motivator yang kuat secara internal didalam meningkatkan inovasi dan kreatifitas dari individu dalam organisasi. Spiritualisasi menekankan perkembangan manusia secara integral – materiil dan spiritual serta individual dan kolektif – di satu pihak dan memandang pekerjaan dan tempat kerja sebagai sesuatu yang “suci” (sacred) di pihak lain (Hendrawan, 2009). Mengembangkan Model Spiritualitas Manajemen Pada umumnya, pemaknaan tentang spiritualitas selalu diarahkan pada istilah yang berkaitan dengan bentuk disiplin religius tertentu. Griffin (2005) dalam Muhammad (2009) mengemukakan bahwa istilah spiritual merujuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun ukhrawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah spiritualitas memiliki konotasi nilai-nilai religius dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki seseorang mencerminkan hal-hal yang dianggapnya suci, yaitu yang memiliki kepentingan yang paling mendasar. Model spiritualitas perusahaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Campuzano & Seteroff (2009) yang terdiri dari sistem kinerja, spiritualitas kepemimpinan dan spiritualitas quotient, berusaha untuk mencari keseimbangan antara pimpinan dan karyawan. Harmonisasi hubungan antara pimpinan dan karyawan akan menciptakan kondisi kerja yang nyaman karena kesesuaian tujuan antara individu dan organisasi. Pada kondisi ini, eksplorasi kemampuan dari individu yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas yang beretika dapat menciptakan kinerja yang optimal. Sistem kinerja yang berlandaskan spiritual sebagaimana yang dikemukakan oleh Karakas (2010) menunjukkan bahwa untuk mencapai kinerja yang tinggi maka individu harus mampu memaknai dirinya sebagai manusia yang baik, meningkatkan kepekaan terhadap tujuan dan makna dari kehidupan serta kepekaan terhadap kelompok dan elemen – elemen yang menghubungkannya. Perspektif ini pada dasarnya mengarah pada proses pembentukan perilaku individu yang berlandaskan pada nilai – nilai kehidupan. Individu yang menggunakan unsur spiritulitas didalam menunjukkan perilaku akan melihat kehidupan yang dijalani sebagai sesuatu yang bersifat sakral dan mereka akan menjalani kehidupan sebagai sebuah alat untuk melakukan aktivitas secara unik, dengan menemukan
  • 22. 17 gagasan – gagasan atau ide tentang kehidupan melalui pemberian pelayanan yang tidak bertujuan untuk memuaskan dirinya sendiri tetapi semata – mata karena ibadah. Manusia seperti ini berkeyakinan bahwa apa yang mereka lakukan akan memiliki nilai – nilai yang bersumber secara vertikal. Perilaku yang ditunjukkan sangat beretika karena mereka menganggap bahwa kehidupan merupakan suatu instrumen dan bukan dari tujuan akhir. Studi yang dilakukan oleh Karakas (2010) yang menggambarkan pemaknaan manusia sebagai makhluk yang baik diasumsikan bahwa setiap individu mempunyai tingkatan positif dari spiritualitasnya, termasuk subyektifitas suatu kebaikan, moral dan komitmen. Peningkatan kepekaan terhadap tujuan dan makna hidup diasumsikan bahwa peningkatan tersebut akan bersinergi dengan penciptaan kreatifitas, lebih mempunyai visi dan tujuan, dan mampu menggerakkan kelompok. Sedangkan peningkatan kepekaan terhadap kelompok dan hubungan yang dilakukan dengan orang lain, diasumsikan sebagai tindakan yang lebih mementingkan orang lain atau kelompok daripada kepentingan pribadi. Meskipun demikian, studi ini belum menjelaskan beberapa faktor yang membentuk pemaknaan fitrah manusia, kepekaan terhadap tujuan dan makna hidup serta kepekaan terhadap kelompok. Pada sisi lain, seseorang akan dapat memaknai dirinya sebagai manusia ketika mereka menyadari suatu realitas dengan “apa adanya”. Oleh karena itu, konsepsi spiritualitas dapat dikembangkan kedalamannya dengan mencari beberapa faktor yang dapat membentuk pemaknaan dan kepekaan individu terhadap lingkungan sekitar. Kesadaran dari individu didalam memandang realitas dengan “apa adanya” oleh Hendrawan (2009) disebut dengan Personal Mastery. Makna personal mastery adalah pengendalian diri secara terus menerus pada kegiatan, tujuan, serta hasil – hasil yang bermakna. Personal mastery akan produk dari perubahan kesadaran dan spiritualitas akan mengubah mekanisme perubahan tersebut. Selanjutnya, Hendrawan (2009) menjelaskan bahwa secara sederhana, perubahan ini digambarkan sebagai proses interiorisasi “perjalanan ke dalam” (inner journey). Proses ini melewati berbagai tingkatan pengalaman tertentu, sehingga membuka secara gradual sekat yang menutup hakikat dari suatu realitas. Isu sentral dalam perjalanan ke dalam, interiorisasi, adalah menghidupkan hati. Dalam perspektif spiritual, hati memiliki peran sentral karena menjadi referensi untuk didengar suaranya dalam menemukan jawaban yang bermakna dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia. Salah satu pemikiran cara untuk menghidupkan hati telah dikemukakan oleh Senge (dalam Hendrawan, 2009) melalui teori U.
  • 23. 18 Melalui teori ini, Senge et al mencoba menjelaskan bagaimana seseorang dapat mendengarkan suara hati dan bagaimana seseorang dapat membuka diri terhadap hal – hal yang berada di luar konsepsi diri. Selanjutnya, teori ini juga dapat menjelaskan kepekaan seseorang terhadap realitas yang dihadapi dan kemudian mereka akan bertindak sesuai dengan realitas tersebut. Pada gambar diatas, teori ini menjelaskan berbagai kedalaman persepsi tentang realitas dan tingkatan aksi yang mengikutinya. Dalam gerakan tersebut, presence merupakan kata kunci untuk melihat masa depan, suatu proses menarik diri dan perenungan yang memungkinkan munculnya pengetahuan dari dalam. Transformasi hubungan self dengan dunia dimulai dengan pencerahan (sensing). Secara bertahap, kemudian persepsi bergeser ke melihat dari dalam proses kehidupannya yang mendasari realitas. Tahap kritis yang menjadi titik balik perubahan kesadaran diri terletak pada presencing. Pada tahap ini, hati mengalami pembukaan secara tiba – tiba sehingga segalanya tampak jelas. Realitas – realitas yang tadinya tersembunyi menjadi tampak dan segala yang jasadiah dapat terlihat. Penyingkapan ini memberikan suatu pemahaman yang dalam tentang realitas, kejernihan penglihatan dan kepastian. Dengan kata lain, kesadaran mengalami pencerahan, sebagai sebuah pengalaman puncak dalam kesadaran individu yang membuat individu memahami hakikat kehidupannya secara holistik sehingga terlahir dengan identitas baru yang mengemban misi kehidupan dan tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang berbeda di dunia. Mereka yang tercerahkan mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mendorong terwujudnya perubahan – perubahan struktural yang mendasar. Secara sederhana, konsepsi pengembangan kedalam dari model spiritual perusahaan telah dikemukakan oleh Husain dan Khan (2010). Melalui studi yang dilakukan, Husain dan Khan (2010) memperpanjang mekanisme pembentukan spiritual individu dengan mengidentifikasi beberapa sumber nilai – nilai spiritualitas, meliputi naturalism, ethical relativism, ethical hedonism dan positivism. Asumsi yang ada pada sumber– sumber nilai tersebut dianggap dapat digunakan untuk mengembangkan organisasi. Nilai – Nilai Spiritual Naturalism Naturalism merupakan suatu bentuk keyakinan bahwa universalitas dari alam semesta adalah kemandirian yang adanya tidak disebabkan karena supranatural dan pengawasan”. Asumsi yang dikemukakan pada naturalism adalah bahwa manusia dan alam semesta dapat dipahami tanpa mengembalikan penjelasan spiritual dan bahwa penjelasan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan adalah satu – satunya penjelasan yang memuaskan dari realitas yang dihadapi. Asumsi ini menyebabkan para ilmuwan perilaku banyak yang menyimpulkan bahwa semua nilai – nilai moral adalah fana dan berasal dari manusia. Ethical Relativism Ethical relativism mempunyai keyakinan bahwa “tidak ada prinsip universalitas yang valid, ketika semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya dan nilai – nilai individu”. Selanjutnya, “budaya atau masyarakat akan mempertahankan kebenaran atau kesalahan, jika memang hal itu baik bagi mereka”. Ethical relativism juga berpendapat bahwa jika nilai bersifat relatif, maka perusahaan seharusnya meletakkan titik berat nilai – nilai yang ada pada karyawan. Ethical Hedonism Ethical hedonism merupakan bentuk keyakinan dimana seseorang harus mencari kesenangan sendiri dan bahwa kebaikan tertinggi bagi seseorang adalah mendapatkan kesenangan secara bersama – sama dengan perasaan sakit yang sangat sedikit. Menurut beberapa ahli perilaku, pada dasarnya hidup manusia hanyalah mencari kesenangan dalam
  • 24. 19 bentuk perilaku yang hedonistik dan mencari pahala. Argumentasi ini menjadi alasan yang bertentangan dengan asumsi relativisme etis yang mendukung nilai – nilai etis. Berdasarkan pada asumsi tersebut, maka organisasi akan mendorong individu yang ada didalamnya untuk menghilangkan belenggu agama dan lebih menerima kecenderungan hedonistik mereka. Positivism Sumber nilai positivism berpendapat bahwa “pengetahuan adalah terbatas pada fakta yang diamati dan adanya interaksi yang terjadi diantara manusia”. Sumber ini juga dikatakan memenuhi unsur ilmiah jika terdapat bukti yang melandasinya. Positivist beranggapan bahwa pengamatan empiris pada akhirnya akan mengarah pada pemahaman yang lengkap dari suatu realitas. Secara tajam, positivist akan membedakan antara fakta dan nilai – nilai yang terkandung didalamnya, karena kaum positivist menganjurkan bahwa hanya dengan pemikiran yang ilmiah dan pernyataan yang logis maka kognitif akan lebih bermakna, bernilai dan intelektual dianggap sebagai sesuatu yang berarti. Asumsi tersebut diatas dapat membawa pengaruh besar pada keyakinan individu didalam memaknai suatu kehidupan, meningkatkan kepekaan pada tujuan hidup dan menjalin hubungan dengan orang lain. Selanjutnya keyakinan yang dimiliki oleh individu harus dapat dikelola dengan baik oleh organisasi jika organisasi ingin meningkatkan hubungan interpersonal dan membuka jalan bagi perubahan organisasi. Budaya Naturalism Ethical Ethical Positivism Spiritualita s Employee Well - Being Sense of Meaning & Sense of Community & Interconnectedness Productivity and Performance Sensing Precencin Realizing Gambar. Model Pengembangan Spiritualitas Perusahaan
  • 25. 20 Dalam konteks spiritualitas perusahaan, pengalaman yang dimiliki oleh individu melalui penerapan nilai – nilai budaya akan terkait langsung dengan kesadaran spiritual individu. Pada titik ini, kesadaran spiritual menjadi jembatan yang akan menghubungkan budaya perusahaan sehingga akan memberikan makna terhadap kehidupan, peningkatan kepekaan tentang tujuan dan hubungan antar individu sehingga akan membawa pengalaman individu untuk berorganisasi. Asumsi dan paradigma, nilai – nilai dan perilaku organisasi secara praktis akan berorientasi pada tanggung jawab, mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri maupun peningkatan kesadaran atau kepedulian terhadap lingkungan serta penignkatan keyakinan yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu. Dengan demikian, perilaku yang ditunjukkan oleh individu yang pada awalnya hanya sebatas pada budaya yang dihasilkan dari sumber – sumber nilai, akan menjadi spiritualitas perusahaan, yang berarti bahwa status dari budaya tersebut akan berubah menjadi ibadah kepada Tuhan. Dengan status seperti itu, maka budaya perusahaan mampu mendefinisikan situasi dan pengalaman kolektif yang sangat kuat serta menghasilkan motivasi dan perasaan yang mendalam.
  • 26. 21 KONTRIBUSI KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN YANG DIMODERASI KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL (Asmadi et al., 2015) PENDAHULUAN Setiap perusahaan memiliki tujuan utama dalam aktivitas proses bisnisnya, tujuan ini berasal dari misi dan visi perusahaan yang diterjemahkan kedalam rencana strategis perusahaan, kemudian dikembangkan menjadi rencana aksi. Pencapaian tujuan perusahaan dilihat dari kinerja yang mampu dicapai oleh seluruh komponen yang terlibat dalam manajemen perusahaan. Menurut Winardi (1996 dalam Sumenge, 2013) disebutkan bahwa kinerja merupakan suatu konsep bersifat universal, yang merupakan efektifitas operasional suatu organisasi dan karyawannya berdasarkan standar serta kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mencapai kesuksesan kinerja perusahaan dilihat dari kinerja yang telah dicapai oleh karyawannya, dimana kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja, sehingga perusahaan menuntut agar para karyawannya mampu menampilkan kinerja yang baik (Yuniningsih, 2002; Rivai, 2006). Maka dari itu, pengelolaan sumber daya manusia menjadi faktor utama dalam memastikan pencapaian kinerja yang baik. Untuk memastikan pengelolaan tersebut dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan mampu menjadi motivator, inspirator pada setiap tahapan pekerjaan. Salah satu gaya kepemimpinan yang cukup populer saat ini adalah kepemimpinan transformasional yaitu ciri pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu. Dengan penerapan kepemimpinan ini diyakini bahwa bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, meningkatkan loyalitas dan respek kepada pimpinannya, sehingga akhirnya bawahan akan termotivasi untuk melakukan aktivitas pekerjaan lebih yang baik (Bass, 1998 dalam Swandari, 2003). Nazari dan Emami (2012) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional yaitu kepemimpinan yang mampu menginspirasi, memotivasi dan mengembangkan orang lain untuk menghasilkan kesadaran akan pencapaian tujuan organisasi yang akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan kepuasan karyawan. Konteks saat ini, upaya peningkatan kinerja tidak hanya melibatkan ukuran-ukuran kinerja yang mampu dicapai oleh karyawan berdasarkan berdasarkan kecerdasan intelektual semata, tapi juga perlu melibatkan perspektif kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dinyatakan oleh Tikollah, Triyuwono, dan Ludigdo (2006) bahwa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual merupakan “trio kecerdasan” yang tidak terpisahkan dalam kehidupan seseorang. Sedangkan oleh Choiriah (2013) dinyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja berasal dari dalam diri mereka, serta unsur psikologis manusia adalah kemampuan mengelola emosional, kemampuan intelektual serta kemampuan spiritual. Kemampuan manajemen perusahaan untuk mengoptimalkan ketiga sumber daya kecerdasan tersebut diyakini akan mampu mendorong lahirnya sumber daya manusia berkinerja tinggi yang pada akhirnya tujuan utama perusahaan dapat dicapai. Beberapa peran penting kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja adalah karyawan akan mampu menampilkan kinerja dengan hasil kerja yang lebih baik, efisien, tepat serta mampu memantau, mengendalikan perasaaan sendiri dan orang lain, mampu menciptakan profesionalisme kerja dan meningkatkan etos kerja karyawan, kemudian mampu memaknai setiap tindakan serta nilai dalam kehidupan juga pekerjaan mereka, terakhir karyawan akan
  • 27. 22 mampu menghadapi tantangan, tanggung jawab, produktif serta optimis dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah (Agustian, 2001; Goleman, 2001; Fitriyanto, 2005; Patton, 1998 dalam Trihandini, 2005; Srivastava dan Misra, 2012; Dharmawan, 2013). Namun dalam upaya mengoptimalkan serta mengelola potensi kecerdasan tersebut diatas, perlu melibatkan peran kepemimpinan yang sudah dijelakan di atas. Peran ini sangat penting untuk memastikan bahwa proses pengelolaan sumber daya kecerdasan yang melekat pada karyawan dan manajemen pengetahuan dapat berjalan dengan baik dan menjadi motivasi bagi peningkatan kinerja karyawan serta perusahaan secara keseluruhan. Berdasarkan penjelasan di atas, lahir sebuah inisiatif untuk melakukan penelitian lanjutan yang bertujuan ingin mengetahui seberapa besar kontribusi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan dengan menghadirkan kepemimpinan transformasional sebagai moderator. Definisi Operasional Variabel dan Indikator 1. Kecerdasan Emosional Indikator kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) kesadaran diri meliputi kesadaran emosional, ketepatan dalam mengukur kemampuan diri dan kepercayaan diri, (2) manajemen diri meliputi mengontrol emosional, jujur, komitmen, adaptasi, mendorong pencapaian dan inisiatif, (3) kesadaran sosial meliputi empati, berorientasi pada pelayanan, kesadaran berorganisasi, (4) manajemen hubungan meliputi pengembangan, pengaruh, komunikasi, manajemen konflik, visioner, menjadi katalisator dalam perubahan, kerjasama (Goleman, 2001) 2. Kecerdasan Spiritual Komponen-komponen utama kecerdaasan spiritual yaitu mutlak jujur yang bermakna kemampuan berkata benar dan konsisten pada kebenaran, keterbukaan bermakna kemampuan bersikap terbuka, pengetahuan diri, fokus pada kontribusi dan terakhir spiritual non-dogmatis yang didalamnya terdapat tingat kesadaran yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai (Sukidi, 2002 dalam Waryanti, 2011). 3. Kepemimpinan Transformasional Bass dan Avolio (1993 dalam Muhdiyanto dan Wicaksono, 2010) menjabarkan tentang dimensi-dimensi dalam kepemimpinan transformasional sebagai berikut : (1) Kharismatik, dimensi ini menunjukkan bahwa suatu proses seorang pemimpin mempengaruhi para anggota dengan cara membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat terhadap bawahannya, (2) Stimulasi intelektual, dimensi ini menunjukkan bahwa proses seorang pemimpin untuk meningkatkan kesadaran para anggotanya terhadap masalah-masalah yang ada dan mempengaruhi untuk memandang masalah tersebut dari sudut pandang yang baru, (3) Inspiratif, dimensi ini menunjukkan bahwa perilaku seorang pemimpin untuk merangsang antusiasme anggotanya yang dapat menumbuhkan kepercayaan anggota dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas serta mencapai tujuan kelompok, (4) Perhatian yang berorientasi individual, dimensi ini mununjukkan bahwa memberi dukungan, membesarkan hati, dan berbagi pengalaman tentang pengembangan diri kepada anggotanya. 4. Kinerja Menurut Bernadin (1993 dalam Edwardin, 2006) menyatakan ada enam kriteria yang digunakan untuk mengukur sejauh mana kinerja karyawan secara individu, yaitu : (1) Kualitas, (2) Kuantitas, (3) Ketepatan Waktu, (4) Efektivitas, (5) Kemandirian, (6) Komitmen Kerja.
  • 28. 23 PEMBAHASAN Kontribusi Kecerdasan Emosional dan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan. Hasil penelitian diperoleh bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual memberikan kontribusi positif serta signifikan terhadap kinerja karyawan kantor pusat adminitrasi PT. Garam (Persero), hasil ini bermakna bahwa semakin meningkat tingkat kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual seorang karyawan maka kinerja akan semakin baik. Oleh Agustian (2001) dinyatakan bahwa keberadaan kecerdasan emosional yang baik akan membuat seorang karyawan mampu menampilkan kinerja dan hasil kerja yang lebih baik. Dalam hal pengendalian emosi, setiap hari kerja karyawan pasti dihadapkan dengan beban tugas dan semuanya harus dikerjakan sesuai target. Penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan perusahaan tersebut mampu mengendalikan emosionalnya, termasuk kemampuan memahami kondisi orang lain disekitarnya sebagai mitra kerja dan bekerjasama. Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya, mereka menyatakan bahwa kecerdasan emosional memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan, serta mampu meningkatkan profesionalisme kerja (Trihandini, 2005; Edwardin, 2006; Dharmawan, 2013). Sedangkan menyangkut kecerdasan spiritual penelitian ini mendukung apa yang dinyatakan oleh Srivastava dan Misra (2012) bahwa orang harus memiliki makna dan nilai dalam kehidupan dan pekerjaan mereka. Makna dan nilai ini sangat bergantung pada keyakinan dan nilai-nilai yang mendasari motif mereka yang pada gilirannya mendorong lahirnya perilaku. Penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan oleh Wiersma (2002 dalam Sumenge, 2013) bahwa kecerdasan spiritual mempengaruhi tujuan seseorang dalam mencapai karirnya di dunia kerja. Seseorang yang membawa makna spiritualitas dalam kerjanya akan merasakan hidup dan pekerjaannya lebih berarti. Kontribusi Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan yang Dimoderasi Kepemimpinan Transformasional. Berdasarkan hasil penelitian, kepemimpinan transformasional terbukti bukan sebagai variabel moderator. Akan tetapi, kehadiran kepemimpinan transformasional tidak menyebabkan dampak negatif terhadap kinerja karyawan, namun justru ikut memberikan kontribusi positif terhadap kinerja karyawan, artinya pada perusahaan PT. Garam (Persero) ciri kepemimpinan transformasional telah hadir. Kontribusi kepemimpinan ini sesuai dengan penelitian Kurniawan (2006) serta Muhdiyanto dan Wicaksono (2010) bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh nyata terhadap kinerja karyawan dan beberapa aspek yang ada dalam kepemimpinan tersebut mampu menghasilkan kesadaran akan pencapaian tujuan organisasi yang akhirnya akan melahirkan dorongan untuk meningkatkan kinerja, efektifitas (Nazari dan Emami, 2012). Namun kehadiran kepemimpinan tersebut belum mampu memberikan pengaruh terhadap keberadaan potensi kecerdasan emosional dan spiritual yang melekat pada karyawannya. KESIMPULAN Penelitian ini dilakukan melalui studi kasus di kantor pusat administrasi PT. Garam (Persero) Surabaya, data primer yang digunakana adalah angket kuesioner. Untuk teknik analisis data Moderated Regression Analysis (MRA). Hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional mampu memberikan kontribusi sebesar 42,5 % dan kecerdasan spiritual berkontribusi sebesar 47,6 % terhadap kinerja karyawan kantor pusat administrasi PT. Garam (Persero). Namun kepemimpinan transformasional terbukti bukan variabel moderator melainkan variabel independen. Kepemimpinan transformasional di perusahaan tersebut secara parsial menunjukkan kontribusi dan signifikan terhadap kinerja, namun kepemimpinan tersebut belum mampu memberikan pengaruh terhadap potensi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Hal ini merupakan informasi yang sangat bermanfaat dan penting bagi perusahaan bahwa untuk mencapai kinerja yang tinggi dan meningkatkan pencapaian tujuan
  • 29. 24 utama tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual semata, tapi perlu melibatkan secara aktif kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Sebaiknya penelitian mendatang dapat melakukan pengujian yang lebih komperehensif dan menggunakan alat ukur kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual serta kinerja karyawan baik secara kualitatif maupun kuantitatif untuk menghindari tingkat subyektivitas responden serta bisa dilakukan proses konfirmasi dengan kondisi yang sebenarnya. Sebaiknya juga ada model uji yang melibatkan level pimpinan dan karyawan, agar dapat terlihat konsistensi hasil penelitian dan implikasi manajerial guna peningkatan kinerja karyawan.
  • 30. 25 PERILAKU SPIRITUAL DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN PABRIK KELAPA SAWIT (Rahman & Makmur, 2015) PENDAHULUAN Target keuntungan yang diharapkan organisasi bisnis tidak akan bisa terlepas dari peran karyawan yang ada didalamnya. Untuk bekerja dengan optimal dan memberikan hasil yang baik karyawan juga memiliki dimensi dan cara pandang yang unik yang menuntut organisasi agar memperhati- kannya dengan baik. Salah satu aspeknya adalah kepuasan. Hasil penelitian Rahman (2013) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kepuasan kerja karyawan pada tiga perusahaan pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu masih dalam kategori cukup.Empat indikator yang diukur menunjukkan tingkat capaian responden yang juga berada dalam kategori cukup. Keadaan ini tentunya harus menjadi perhatian organisasi terutama untuk operasionalisasi perusahaan dalam jangka panjang. Kinerja target produksi pabrik saat ini mungkin saja dapat tercapai dengan baik, namun tidak dapat diestimasi akan mengalami grafik yang semakin membaik dan semakin membesarnya lingkup perusahaan untuk masa yang akan datang jika kondisi organisasi dalam keadaan kepuasan kerja karyawan yang cukup. Mengkaji aspek kepuasan kerja karyawan bagi perusahaan pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu merupakan bagian penting yang harus dilakukan bagian departemen HRD. Secara historis literatur, kajian-kajian tentang permasalahan kepuasan kerja karyawan dalam organisasi sampai saat ini masih terus menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Dari abad 19 hingga abad ke 20 telah lebih dari dua belas ribu studi yang diterbitkan yang menunjukkan pentingnya masalah ini (Gazzawi, I :2008). Robbins (2004) memaknai kepuasan kerja sebagai penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Artinya, kepuasan kerja merupakan sesuatu hal yang rumit dari perasaan dan penilaian seorang karyawan atas unsur pekerjaan yang tidak dapat disamakan antara seorang karyawan dengan karyawan lainnya.Hal inilah yang menyebabkan pentingnya kajian aspek kepuasan kerja dalam suatu organisasi. Efek praktis dari organisasi yang lemah memperhatikan aspek kepuasan kerja karyawan secara empiris telah banyak dibuktikan bahwa mau tidak mau organisasi akan berhadapan dengan tingkat absensi yang tinggi, komitmen organisasi yang rendah, prestasi yang rendah, loyalitas yang rendah, produktivitas rendah, dan turn over intention yang tinggi (Clark, Georgellis, & Sanfey, 1998; Hakim, Thoresen, Bono, & Patton, 2001; Schleicher, Watt, & Greguras, 2004; Scott & Taylor, 1985, L. Borgogni, dkk. 2013). Kepuasan kerja juga sebagai penyebab atas motivasi kerja dan selanjutnya dapat berakibat pada kualitas institusi (Machado-Taylor, dkk. 2010; Maria de Lourdes Machado, dkk. 2011). Untuk perusahaan industri pabrik kepuasan kerja adalah salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Shahnaz Tabatabaei, dkk. 2013). Merespon persoalan diatas, pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana organisasi mengelola dan dapat menciptakan kepuasan kerja karyawan?.Sudarsono (2008) merekomendasikan agar organisasi memper- baiki karakteristik pekerjaan dan organisasi, Sabran, dkk (2008) mere- komendasikan untuk memperbaiki kepemimpinan, keadilan organisasi dan kepercayaan organisasi, Agusthina, dkk (2008) merekomendasikan untuk memperbaiki gaya kepemimpinan, motivasi dan burnout, Dian Natasari dan Armanu (2012) merekomendasikan untuk memperbaiki model pemberian
  • 31. 26 insentif material dan non-material, Fathur Rohman, dkk (2011) mere komendasikan untuk pember dayaan psikologis dan komitmen afektif, Made Surya Putra (2012) merekomendasikan untuk memperbaiki keadaan nepotisme dalam organisasi, Agustinus Numberi (2013) merekomen dasikan untuk memperbaiki kondisi kerja, Sony Bagus Purwanto (2013) merekomendasikan untuk memperbaiki komunikasi dalam organisasi. Salah satu kajian yang mendapat perhatian umum akhir-akhir ini dalam masalah kepuasan kerja karyawan adalah bagaimana peranan aspek spiritualitas karyawan (Samiyanto;2011). Kajian ini berawal dari temuan penelitian dan tulisan Zohar dan Marshall (2000) dan di Indonesia kajian ini ramai menjadi kajian akademisi dan menjadi bahan-bahan pelatihan karyawan perusahaan sejak terbitnya buku ESQ Ari Ginanjar (2011). Spiritual merupakan jawaban atas tingkat stress kerja, ketegangan emosional, merasa tidak pernah cukup dengan finansial yang diterima, munculnya perilaku tidak etis karyawan dalam organisasi. Disebalik itu spritualitas merupakan sebagai salah satu dimensi yang mampu membentuk karakter prilaku karyawan, menghilangkan adanya perilaku korupsi dan nepotisme dalam organisasi, membentuk perilaku yang tenang, menjadikan pekerjaan sebagai sesuatu yang bernilai dan bermakna. Banyak kajian akhir-akhir ini yang telah melihat aspek spiritual dalam pekerjaan seperti peranan kecerdasan spiritual dalam perilaku karyawan (Rachmi;2010,Thontowi;2011, Amalia; 2011, Supriyanto;2012, Samianto;2011, dll). Hasilnya telah membuktikan bahwa kecerdasan spiritual memberi- kan efek kepada kepemimpinan, kepuasan kerja, pcyhcologicalcapital, servant lidership dan kinerja.Namun demikian, dari beberapa kajian itu sedikit penelitian yang mencoba melihat pada aspek dasar dari munculnya kecerdasan spiritual seseorang yaitu perilaku spiritual, sementara kajian seperti itulah yang diharapkan mampu memberikan jawaban yang mendasar atas tinggi atau rendahnya kecerdasan spiritual seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perilaku spiritual terhadap kepuasan kerja karyawan melalui variabel mediasi kecerdasan spiritual.Penelitian ini berusaha memberikan kontribusi pada pengetahuan dalam mengkaji persoalan kepuasan kerja karyawan melalui adanya aspek perilaku spiritual. Disamping itu, juga berupaya membantu perusahaan- perusahaan dalam memberikan solusi bagaimana mereka dapat menciptakan karyawan yang puas dalam bekerja dengan menggunakanaspek spiritual. Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan pabrik kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hulu-Riau. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang pekerja terhadap pekerjaannya (Devis dan Newstrom; 2005). Robbins (2004) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum individu terhadap peker- jaannya. Dengan kata lain kepuasan kerja merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Dengan demikian, kepuasan merupakan evaluasi yang menggam- barkan perasaan seseorang atas sikapnya, senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Banyak ragam penelitian dalam mengukur kepuasan kerja, khusus dalam corak karyawan pabrik, Lam and Zhang (2003) dalam Giannikis (2011) mengukur harapan pekerjaan dan job satisfaction, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan kerja seseorang merupakan harapannya atas challenging job, sense of accomplishment, job security, meaningful work and friendly, co- workers, training for personal growth and development, promotion opportunity, having personal responsibility, opportunity to exercise independent thought and opportunity to use creativity in work, competitive salary, competitive, fringe benefits, and respect and fair treatment from managers. Hasil
  • 32. 27 penelitian tersebut diuji sebagai indikator untuk mengukur kepuasan kerja karyawan dalam penelitian ini. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, salah satu nya adalah kecerdasan spiritual (Zohar;2000, Amalia, Supriyanto;2012, Samianto;2011,dll). Karyawan yang cerdas spiritual melahirkan perilaku yang tenang, memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang bernilai dan bermakna positif, sehingga dengan itu mereka akan cenderung puas dalam bekerja. Syari’ati dalam Ginanjar (2007) dikutip dari tulisan Supriyanto (2012) menyatakan bahwa spiritual quotient adalah penjabaran dari gerakan thawaf spiritual yang menjelaskan tentang bagaimana meletakkan aktifitas manusia, agar mampu mengikuti pola- pola atau etika alam semesta. Sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan penuh makna, serta memiliki perasaan nyaman dan aman, tidak terlanggar atau tidak bertentangan dengan azas-azas SBO (Spiritual Based Organization) yang sudah baku dan pasti. Definisi tersebut bermakna bahwa orang yang cerdas pritual itu adalah orang yang cenderung konsisten dalam berprilaku sesuai dengan ketentuan organisasi spritualnya (kepercayaan agama), sehingga menciptakan perasaan jiwa yang selalu bermakna, hidup dalam aman dan kedamaian.Dalam perpektif Islam manifestasi dari orang yang cerdas spiritual itu adalah terbentuknya pribadi yang bertaqwa (Qardawi).Taqwa dapat dimaknakan sebagai bentuk perilaku seseorang yang bercirikan tawadhuk, qanaah, warak, dan yakin.Tawadhu adalah sifat orang yang rendah hati.Qanaah adalah merasa cukup dengan apa yang ada. Warak adalah berhati-hati menjaga diri dari hal haram dan syubhat. Yakin adalah sifat yang optimis dengan kemampuan diri dalam menjalankan semua ibadah yang diperintahkan oleh Allah (Badlishah;2010). Untuk dapat menjadi pribadi yang bertaqwa atau cerdas spiritual, dalam perspektif Islam seseorang dituntun untuk melaksanakan perilaku-perilaku spiritual yang tertuang dalam syariat atau ajaran Islam dan senantiasa menjaga diri untuk tidak melakukan ketentuan yang telah dilarang agama (Quraishihab;2009). Atas dasar perilaku yang melaksanakan syariat inilah seseorang akan menjadi pribadi yang bertaqwa atau pribadi yang cerdas secara spritual. Perilaku spiritual yang dimaksudkan adalah paradigma dan perilaku-perilaku spiritual yang tertuang dalam syariat ajaran agama Islam yang komprehensif.Syafii Antonio (2011) menjelaskan tiga fondasi dasar dalam Islam, yaitu adanya pemahaman yang kokoh dalam aqidah, perilaku yang konsisten dalam menjalankan syariah, dan pribadi yang berakhlak.Pemahaman yang kokoh dalam akidah merupakan keyakinan yang teguh dan benar dalam enam rukun iman.Perilaku yang konsisten dalam syariah merupakan tindakan yang ikhlas dalam menjalankan syariat yang terdiri dari syariah dalam muammalah dan syariah dalam ibadah.Pribadi yang berakhlak merupakan tindakan yang senantiasa sesuai ketentuan agama dan tidak melakukan tindakan yang dilarang oleh agama. Kecerdasan spiritual adalah penjabaran dari gerakan thawaf spiritual yang menjelaskan tentang bagaimana meletakkan aktifitas manusia, agar mampu mengikuti pola- pola atau etika alam semesta. Sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan penuh makna, serta memiliki perasaan nyaman dan aman, tidak terlanggar atau tidak bertentangan dengan azas-azas SBO (Spiritual Based Organization) yang sudah baku dan pasti. Kecerdasan spiritual diukur dengan indikator taqwa yaitu tawadhuk, qanaah, warak, dan yakin. Perilaku spiritual adalah paradigma dan perilaku-perilaku spiritual yang tertuang dalam syariat ajaran agama Islam yang komprehensif.Perilaku spiritual diukur dengan indikator pemahaman yang kokoh dalam aqidah, perilaku yang konsisten dalam
  • 33. 28 menjalankan syariah, dan pribadi yang berakhlak.Kecerdasan maupun perilaku spiritual mereka para karyawan berkaitan dengan masa kerja mereka. Begitu juga halnya dengan aspek terakhir yang kita lihat yaitu aspek bidang pekerjaan karyawan.Walaupun umumnya responden penelitian ini adalah para karyawan umum diwilayah pabrik dan kesekretariatan namun data diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor yang agak tinggi antara setiap bidang pekerjaan karyawan baik itu skor kepuasan, kecerdasan maupun perilaku spiritual mereka. Hasil analisis menjelaskan bahwa kondisi ketiga variabel penelitian baik itu kepuasan kerja, kecerdasan spiritual dan juga perilaku spiritual para karyawan ditempat penelitian berada dalam kategori baik.Namun demikian dalam hal kepuasan kerja terdapat tiga indikator masih dalam kategori cukup, yaitu perasaan tentang keamanan pekerjaan, perasaan tentang adanya peluang untuk mendapatkan promosi jabatan, dan perasaan tentang sikap hormat dan perlakuan adil dari pimpinan.Dalam hal kecerdasan spiritual juga terdapat dua indikator dalam kategori cukup, yaitu keikhlasan karyawan dalam menger- jakan berat ataupun ringan pekerjaan yang diberikan, dan keiklasan dalam sikap merasa cukup atas pemberian organisasi. Dalam hal perilaku spiritual juga terdapat tiga indikator dalam kategori cukup yaitu perilaku karyawan dalam menunaikan ibadah shalat lima waktu, perilaku dalam berderma, berinfaq atau bersadaqah, dan juga perilaku melakukan tilawah atau membaca Al-quran, namun terdapat satu indikator dalam kategori sangat baik yaitu perilaku karyawan dalam senantiasa berdoa kepada Allah SWT. Perilaku spiritual berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan, tetapi secara langsung berpengaruh terhadap kecerdasaran spiritual karyawan, sedangkan kecerdasaran spiritual karyawan secara langsung berpengaruh terhadap kepuasan kerja perilaku-perilaku spiritual. Dengan kata lain bahwa perilaku spiritual itu memang tidak langsung membawa seseorang menjadi pribadi yang cenderung puas dalam bekerja tapi iamembawanya kearah pribadi seseorang yang cerdas dan pemahaman spiritual. d. Pembahasan Temuan analisis jalur menunjukkan bahwa perilaku spiritual secara langsung tidak berpengaruh spiritual merupakan ketegangan emosional, merasa tidak pernah cukup dan membentuk perilaku yang tenang, menjadikan pekerjaan sebagai sesuatu yang bernilai dan bermakna. Temuan ini tentunya dapat membantu para manajemen organisasi dalam mengelola kepuasan kerja karyawan yang cenderung rumit dan akan berbeda antara setiap individu dalam organisasi. Melihat hasil dari karakteristik responden penelitian, lima karakteristik biografis yang dikaji menunjukkan dua diantaranya memiliki bentuk hasil yang agak berbeda, yaitu usia dan pendidikan. Kepuasan kerja, perilaku spiritual dan kecerdasan spiritual karyawan menunjukkan angka skor yang agak semakin tinggi seiring dengan bertambahnya usia dan meningkatnya tingkat pendidikan, tetapi tidak ada hal yang berbeda dari jenis kelamin, masa kerja dan bidang pekerjaan mereka. Tentang hal ini benar apa yang diungkapkan Robbin (2004) bahwa karakteristik biografis tertentu memang kadangkala menjadi sebab atas kepuasan kerja seseorang dan banyak pula para pakar spiritual menjelaskan bahwa kadangkala kedewasaan dan kesadaran berperilaku spiritual seseorang baru akan semakin tinggi muncul seiring dengan dekatnya usia mereka kepada ketuaan. Dari hal ini tentunya perlu perhatian bagi manajemen organisasi agar memperbaiki mekanisme pembelajaran organisasi karyawan, tidak mungkin semuanya menjalankan pendidikan formal tetapi bukti empiris menunjukkan cara pandang mereka agak berbeda seiring perbedaan pendidikan mereka. Jadi mekanisme agar mereka tetap mendapatkan pembelajaran dari organisasi merupakan bagian penting yang harus
  • 34. 29 dilakukan, sehingga cara pandang dan perilaku mereka tentang organisasi akan lebih sinkron dengan apa yang diharapkan oleh organisasi. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terkait kepuasan kerja terdapat tiga indikator masih dalam kategori cukup, yaitu perasaan tentang keamanan pekerjaan, perasaan tentang adanya peluang untuk mendapatkan promosi jabatan, dan perasaan tentang sikap hormat dan perlakuan adil dari pimpinan.Hal inilah yang diungkapkan banyak pakar kenapa kepuasan kerja merupakan sesuatu yang rumit, karena penilaiann yang baik atas sesuatu hal belum membuat seseorang senang dan puas atas unsur yang lainnya.Terkait hal ini manajemen organisasi perlu memperkuat perasaan kemanan kerja karyawan, menjelaskan dengan baik tentang promosi jabatan dan ada atau tidaknya peluang untuk para karyawan bisa naik jabatan dan kejelasan karir, serta juga diperlukan gaya kepemimpinan yang situasional terutama dalam menjelaskan perlakuan adil yang dirasakan para karyawan. Hasil analisis deskriptifjuga menjelaskan bahwa terkait kecerdasan spiritual terdapat dua indikator dalam kategori cukup, yaitu keikhlasan karyawan dalam mengerjakan berat ataupun ringan pekerjaan yang diberikan, dan keikhlasan dalam sikap merasa cukup atas pemberian organisasi. Pemahaman yang baik tentang makna keikhlasan ini hanya bisa diperoleh bagi pribadi karyawan yang kokoh dalam memahami nilai- nilai spiritual, dan hal ini akan bisa diperkuat jika organisasi mampu meransang budaya organisasi yang berazazkan spiritualitas yang didukung oleh terfasilitasinya pembelajaran spiritual formal dan informal karyawan dalam organisasi. Perilaku spiritual karyawan juga terdapat tiga indikator dalam kategori cukup yaitu perilaku dalam menunaikan ibadah shalat lima waktu, perilaku dalam berderma, berinfaq atau bersadaqah, dan juga perilaku melakukan tilawah atau membaca Al- quran. Qardawi (1997) menjelaskan bahwa beberapa hal itu adalah nilai- nilai dasar agama atau spiritual yang merupakan pokok untuk terbentuknya karakter pribadi religius atau kecerdasan spiritual. terfasilitasinya pembelajaran spiritual formal dan informal karyawan dalam organisasi dan penyediaan waktu yang efektif akan dapat membantu para karyawan dalam menjalankan perilaku spiritual yang baik dan membawa mereka kearah pribadi yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi pula. KESIMPULAN Hasil analisis dan pembahasan diatas, menyimpulkan bahwa perilaku spiritual (X1) secara langsung tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan, tetapi secara langsung berpengaruh terhadap kecerdasaran spiritual karyawan (X2) dan kecerdasaran spiritual karyawan (X2) secara langsung berpengaruh pula terhadap kepuasan kerja karyawan pabrik kelapa sawit. Hasil data juga menyatakan bahwa kondisi ketiga variabel penelitian secara umum adalah baik.Namun terkait kepuasan kerja terdapat tiga indikator masih dalam kategori cukup, yaitu perasaan tentang keamanan pekerjaan, perasaan tentang adanya peluang untuk mendapatkan promosi jabatan, dan perasaan tentang sikap hormat dan perlakuan adil dari pimpinan.Terkait kecerdasan spiritual juga terdapat dua indikator dalam kategori cukup, yaitu keikhlasan karyawan dalam mengerjakan berat ataupun ringan pekerjaan yang diberikan, dan keiklasan dalam sikap merasa cukup atas pemberian organisasi.Terkait perilaku spiritualterdapat tiga indikator dalam kategori cukup yaitu perilaku karyawan dalam menunaikan ibadah shalat lima waktu, perilaku dalam berderma, berinfaq atau bersadaqah, dan juga perilaku melakukan tilawah atau membaca Al-quran. Kesimpulan diatas menyarankan beberapa hal bahwa organisasi perusahaan pabrik kelapa sawit perlu memperhatikan aspek perilaku dan kecerdasan spiritual dalam pekerjaan untuk mengelola kepuasan kerja karyawan yang cenderung rumit dan kompleks. Organisasi tempat penelitian juga disarankan untuk memfasilitasi pembelajaran
  • 35. 30 formal dan informal organisasi juga pembelajaran terkait pemahaman spiritualitas, disarankan juga untuk memperkuat perasaan kemanan kerja karyawan, menjelaskan dengan baik tentang promosi jabatan dan ada atau tidaknya peluang untuk para karyawan bisa naik jabatan dan kejelasan karir, serta juga perlunya gaya kepemimpinan yang situasional terutama dalam menjelaskan perlakuan adil yang dirasakan para karyawan. Penelitian ini juga tidak lepas dari kekurangannya sebagai peluang penelitian lanjutan yaitu diperlukan pengembangan indikator setiap variabel agar dapat memuat segala hal yang lebih konkrit dalam mengukur variabel penelitian.