SlideShare a Scribd company logo
1 of 34
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Belajar tentang pajak dianggap rumit oleh kebanyakan orang. Hal ini disebabkan oleh jumlah peraturan
perpajakan yang cukup banyak. Belajar pajak memerlukan pemahaman secara garis besar tentang pajak
sebelum belajar mengenai detil-detil perpajakan. Pemahaman perpajakanan secara garis besar
diharapkan dapat membantu menghadapi sebuah permasalahan apabila kita dapat mengetahui pada
posisi mana sebenarnya masalah perpajakan tersebut berada.
Dasar hukum paling utama bagi berlakunya pajak di Indonesia adalah Pasal 23A UUD 1945 (Amandemen
IV) yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan
undang-undang’. Itu berarti semua peraturan perpajakan haruslah menunjuk pada suatu undang-undang
termasuk perangkat hukum di bawahnya sepanjang terdapat pelimpahan dari undang-undang yang
mengaturnya.
B. Tujuan penulisan
Makalah ini bertujuan membahas tentang beberapa hal diantaranya sebagai berikut:
1. Pengertian self assessment, tax compliance ( kepatuhan pajak ) dan perlawanan terhadap
pajak.
2. Aspek perpajakan dalam kegiatan pertambangan dan migas.
3. Aspek perpajakan dalam transaksi khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perpajakan
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Dari rakyat kepada Negara
2. Iuran Berdasarkan undang-undang
3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat
bagi masyarakat luas.
B. Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaranya.
2. Fungsi mengatur(regulered)
Pajak sebagai alat untuk mengatur untuk melaksanakan kebijaksaan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi.
C. Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:
1. Official Assessment System
Adalah suatu system pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus-pegawai pajak)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assessment System
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus;
b. Wajib Pajak bersifat pasif;
c. Utang pajak timbul setelah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat
Ketetapan Pajak oleh fiskus.
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab,
kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang terutang dan harus dibayar.
3. Withholding Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. pajak yang dipotong atau
dipungut oleh pihak lain ini, nanti bisa menjadi kredit pajak atau merupakan pelunasan atas pajak
terutang.
D. Tax compliance ( Kepatuhan pajak )
Menurut Norman D. Nowak (Moh. Zain: 2004), Kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengertian yaitu:
“Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di
mana:
1.Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
2.Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas
3.Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar
4.Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
Menurut Erard dan Feinstein yang di kutip oleh Chaizi Nasucha dan di kemukakan kembali oleh Siti Kurnia
(2006:111) pengertian kepatuhan wajib pajak adalah rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak
atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap
pelayanan pemerintah.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000. kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi
dari:
“Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir; tidak
mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak; tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir; dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan
pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada
pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%;wajib pajak
yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar
tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, pengertian kepatuhan wajib pajak adalah
wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan.
E. Hambatan pemungutan pajak
Sudah menjadi kewajiban masyarakat di bidang perpajakan, yaitu membayar pajak dengan benar dan
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun dalam kenyataannya banyak hambatan yang dihadapi,
yaitu perlawanan terhadap pajak yang dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hanbatan yang mempersulit pemungutan pajak yang erat
hubungannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan sistem pemungutan pajak itu
sendiri. Walaupun perlawanan pajak ini tidak secara nyata dari masyarakat, namun akibatnya
masyarakat tidak mau membayar pajak.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap focus
dan bertujuan untuk menghindari pajak. Usaha tersebut dapat berupa pengelakan atau
penyelundupan pajak, pembuatan faktur pajak fiktif, memanipulasi data, melalaikan pajak,dan
sebagainya.
Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu: Penghindaran Pajak (Tax Avoidance), Pengelakan Pajak (Tax
Evation), Melalaikan Pajak.
a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak
tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas
menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-
undang.
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
 Menahan Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa
dikenai pajak. Contoh:
• Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau
• Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari
pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat
pinggang dari plastik.
 Pindah Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang
tarif pajaknya rendah. Contoh:
Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di
Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak.
Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar
yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka
dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang
terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan
membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih
rendah.
 Penghindaran Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak
terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan
undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara
yuridis. Contoh:
1. Penetapan pajak khusus untuk tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri
Belanda menetapkan pajak khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak
ini, keuntungan pengusaha jadi berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka
mengubah status tempat dansa umum tersebut menjadi tempat dansa khusus anggota
yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan demikian, mereka terbebas dari
pengenaan pajak untuk tempat dansa umum.
2. Di Belanda dan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop
menyediakan sederet kursi gratis di barisan terdepan khusus untuk wartawan. Dengan
asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan menulis review tentang film
tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini dianggap iklan
gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik bioskop
menghindari pengenaan pajak ini dengan cara mengenakan tarif masuk yang sangat
murah khusus untuk wartawan.
Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-
undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya
dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini.
Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai
dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai
biaya sehingga pajaknya berkuarang.
b. Pengelakan Pajak (Tax Evasion)
Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan
pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap
negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari
perusahaan-perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional
bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri,
dll).
Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan asumsi
negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak
mudah disuap).
- Wajib Pajak Besar
Wajib pajak besar memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak (Tax
Avoidance). Karena:
• Perusahaan besar memiliki biro-biro hukum atau tim lawyer yang tangguh yang
mampu mencari celah dalam undang-undang pajak.
• Pembukuan dilakukan oleh banyak orang sehingga risiko terjadinya kebocoran
juga besar.
• Jika wajib pajak besar ingin melakukan pengelakan pajak, mereka harus
memperkecil keuntungannya di mata publik. Perusahaan yang labanya kecil,
performancenya akan turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini
mengakibatkan pamornya turun di depan relasi dagangnya. Sehingga mereka
akan kehilangan relasi yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar
dibandingkan pengurangan tarif pajak.
- Wajib Pajak Kecil
Wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation). Karena:
• Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak.
• Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian
pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri
yang mencatat penghasilannya.
• Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang
dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak
seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.
c. Melalaikan Pajak
Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar. Melalaikan pajak adalah menolak membayar
pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus
dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara menghalangi penyitaan.
1. Jika wajib pajak telah menerima SKP, maka dia harus membayar pajak sesuai dengan
SKP tersebut.
2. Jika wajib pajak tidak melakukannya, maka fiscus akan mengirim surat teguran.
3. Jika belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa yang kekuatannya sama
dengan putusan pengadilan yang berlaku.
4. Setelah 2 x 24 jam wajib pajak belum membayar juga, maka diterbitkan surat penyitaan
yaitu surat perintah untuk melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu.
Wajib pajak akan melakukan usaha untuk menghalangi penyitaan itu dengan cara kasar dan
cara halus.
Cara kasar: yaitu saat juru sita datang, dilepaskan anjing herder untuk mengusir juru sita
tersebut. Ataupun mengancam dengan golok.
Cara halus: yaitu dengan cara mengalihkan/memindahtangankan semua harta wajib pajak ke
tangan orang lain atau keluarganya secara pura-pura. Untuk memunculkan harta yang
tersembunyi ini, maka wajib pajak disandera. Karena melalaikan pajak bukanlah perbuatan
pidana, maka jika wajib pajak disandera, biaya makan dan minum ditanggung oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Sandera diberlakukan untuk orang yang berutang, baik utang publik maupun
perdata (menurut HIR). Tetapi, ada edaran dari MA bahwa untuk utang perdata, orang yang
berutang tidak disandera karena posisi orang yang berutang lebih lemah. Untuk utang pajak
termasuk utang publik. Karena itu wajib pajak yang tidak membayar pajak akan disandera.
F. Aspek perpajakan dalam kegiatan pertambangan dan migas.
Berikut disajikan prinsip-prinsip perpajakan yang berlaku dalam kegiatan hulu migas ;
1.Ring Fence policy
Ring Fence Policy adalah kebijakan yang membatasi hak dan kewajiban suatu kontraktor KKS
di satu Wilayah Kerja Pertambangan (WKP, tidak bisa dikonsolidasikan ke WKP lainnya yang
dimiliki oleh KKKS yang sama. Tujuan dari kebijakan ini adalah agar KKKS yang dimiliki oleh
satu perusahaan induk dan beroperasi di beberapa wilayah kerja tidak dapat melakukan
konsolidasi biaya dari beberapa wilayah kerja tersebut, baik untuk tujuan cost recovery
maupun untuk tujuan perhitungan PPh Badan (Tax Consolidation).
Sesuai dengan prinsip ini, maka setiap WKP harus diusahakan oleh satu entity, dan setiap
entity, baik operator maupun silent partner, yang mempunyai penyertaan di suatu WKP,
wajib memiliki NPWP sendiri. Dalm hal Wajib pajak mengelola beberapa WKP, maka WP
tersebut harus membentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap WKP, dan wajib memiliki
NPWP sendiri untuk tiap-tiap WKP.
2. Uniformity Principle
Yaitu cost of oil harus sama dengan cost of tax, artinya bahwa biaya-biaya operasi yang boleh
dibebankan (Cost Recoverable) menurut KKKS harus sama dengan biaya-biaya yang boleh
dibebankan menurut UU PPh (Tax Deductible). Dengan demikian penghasilan untuk
kepentingan penghitungan KKKS sama dengan penghasilan untuk kepentingan penghitungan
pajak. Azas ini mengharuskan penghitungan PPh yang terutang oleh KKKS mengikuti
ketentuan yang tertuang dala UU PPh, sehingga terdapat keseragaman dengan WP Non Migas
lainnya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
3. Kompensasi Kerugian
UU PPh menyatakan bahwa kerugian dalam satu tahun pajak dapat dikompensasikan selama
5 (lima) tahun berturut-turut. Pembatasan jangka waktu kerugian yang dapat
dikompensasikan tidak dikenal dalam bidang usaha hulu migas ini. Atas biaya operasi yang
belum di recovery pada tahun-tahun sebelumnya, diizinkan untuk dilakukan pada setiap
tahun berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Ketentuan Umum
Dua komponen utama penerimaan migas berasal dari penerimaan bagi hasil migas dan penerimaan
pajak penghasilan (PPh) migas atau pajak migas. Keduanya sangat tergantug kepada besaran nilai
produksi migas yang dapat dibagi (equity to be split). Dengan asumsi besarnya produksi kotor (lifting)
sudah benar, maka besar kecilnya equity to split tergantung pada besar kecilnya biaya yang dapat
dikembalikan (cost recovery). Karena itu, titik kritis penerimaan negara sektor migas sebenarnya ada
pada jenis dan jumlah biaya-biaya pembentuk cost recovery.
1.PPh Badan untuk Industri Migas
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 UU Migas bahwa penerimaan negara dari kegiatan
usaha hulu adalah pajak-pajak dan PNBP. Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa
kontraktor dapat memilih apakah kewajiban membayar pajak dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku saat kontrak ditandatangani atau sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pada prinsipnya PSC harus membayar PPh Badan dan pajak final atas laba setelah pajak
(Branch Profit Tax/BPT). Dari tabel di atas dapat diketahui besaran tarif pajak efektif (setelah
menggabungkan tarif PPh Badan dan BPT) untuk masing-masing generasi PSC. Dari tabel
tersebut di atas juga dapat diketahui bahwa sebelum pemberlakuan UU Migas, bagi hasil
setelah pajak antara pemerintah dan kontraktor yaitu 85/15 dan 65/35, namun dengan
pemberlakuan UU Migas maka bagi hasil untuk masing-masing PSC bersifat unik dan
tergantung dari hasil negosiasi antara kedua belah pihak.
Dari tahun 1960-1970, kontraktor akan mendapatkan bagiannya dalam basis netto yang berarti
bahwa pembayaran pajaknya dilakukan oleh Pertamina sebagai regulator waktu itu atas nama
kontraktor. Namun semenjak 1970 metode ini berubah menjadi basis bruto yang berarti
bahwa kontraktorlah yang melakukan pembayaran pajak kepada negara sehingga
penghitungan penghasilan kena pajak menjadi sangat diperlukan.
 Perlakuan Biaya
Berkaitan dengan perubahan metode netto menjadi metode bruto maka dalam menghitung
penghasilan kena pajak Indonesia menggunakan asas yang disebut dengan “uniformity principle”.
Prinsip ini menyatakan bahwa biaya-biaya yang boleh dipulihkan (cost recovery) menurut
kontrak PSC harus sama dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductable) menurut UU
PPh. Pengecualian dari asas ini adalah pembayaran signature bonus, education bonus, dan crude
oil production bonus oleh kontraktor kepada pemerintah. Pembayaran bonus-bonus ini bersifat
dapat dikurangkan (deductable) dalam penghitungan penghasilan kena pajak namun tidak boleh
dimasukkan dalam penghitungan cost recovery.
Pada prinsipnya dalam menghitung penghasilan kena pajak, penentuan biaya-biaya yang dapat
dikurangkan tetap menggunakan prinsip-prinsip yang dijelaskan pada pasal 6 ayat (1) UU PPh
sebagaimana disebutkan dalam KMK Nomor 458/KMK.012/1984. Dalam KMK ini juga dijelaskan
definisi penghasilan bruto adalah nilai uang yang direalisir Kontraktor dari produksi bagiannya
yang terjual. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa penghasilan bruto kontraktor berasal dari
bagiannya berupa minyak yang berasal dari FTP dan Equity to be split (lebih jelas dapat dilihat
pada ilustrasi soal di bagian terakhir).
 Perlakuan Sumbangan
Perlakuan atas sumbangan yang dilakukan kontraktor merujuk pada S-1111/MK/1985, yang
menyebutkan bahwa perlakuan sumbangan sesuai dengan prinsip umum dalam UU PPh yang
bersifat non deductable. Namun disebutkan pula, supaya dapat dikurangkan maka sumbangan
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk investasi sehingga dapat dibebankan melalui mekanisme
penyusutan dan setelah disusutkan sepenuhnya maka dapat dihibahkan.
 Perlakuan Biaya Pra Produksi
Perlakuan atas biaya pra produksi merujuk pada S-316/MK.012/1986 yang menegaskan bahwa
biaya yang menjadi beban dalam masa praproduksi (preproduction cost) sampai saat dimulainya
produksi komersial dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
G. Aspek perpajakan dalam transaksi khusus
 INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam
agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba
serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat
dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Sejarah perbankan syariah pertama kali muncul di
mesir pada tahun 1963. Sedangkan di Indonesia sendiri perbankan syariah baru lahir pada tahun
1991 dan secara resmi dioperasikan tahun 1992. Berbagai prinsip perbankan syariah telah
diterapkan dengan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai
dengan syariah. Adapun jenis produk atau jasa perbankan syariah adalah jasa untuk peminjam
dana dan jasa untuk penyimpan dana.
- Prinsip Perbankan Syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman
dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat
hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya
merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai
intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah
pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari
sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan
dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh
perbankan syariah.
- Produk Perbankan Syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
 Jasa untuk peminjam dana
• Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan
pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio
tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak
Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan,
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalahgunaan.
• Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model
partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam
rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio
ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan
mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan
manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
• Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan
membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian
menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan
sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa
dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad
diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang
disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank
100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur
selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
• Takaful (asuransi islam)
 Jasa untuk penyimpan dana
• Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat
mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak
berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada
nasabah.
• Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun
waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah
yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan
nisbah bagi hasil tertentu.
- Aspek syariah dalam UU PPN
Setelah UU Nomor 36 Tahun 2008 memberikan penegasan khusus tentang perlakuan
Pajak Penghasilan atas transaksi yang bermbasiskan syariah, kini giliran UU Nomor 42
Tahun 2009 juga memberikan ruang khusus untuk menegaskan perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai atas transaksi bermbasiskan syariah. Dalam kedua Undang-undang
ini, semangat yang diusung adalah sama, yaitu memberikan persamaan perlakuan
antara transaksi konvensional dan transaksi yang berbasiskan syariah. Equal treatment
ini memang sudah selayaknya dilakukan agar tidak terjadi pembebanan pajak yang
berbeda dalam suatu industri yang sama.
Ketentuan tentang transaksi berbasiskan syariah dalam UU PPN yang baru diatur dalam
dua tempat, yaitu :
1. Pasal 1A ayat (1) huruf h, di mana dalam bagian ini dijelaskan bahwa yang
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya
dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan
Barang Kena Pajak.
2. Penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf d. Bagian ini menjelaskan bahwa jasa keuangan
adalah salah satu jasa yang tidak dikenai (atau dikenakan) PPN. Nah, termasuk
dalam jasa keuangan ini adalah jasa pembiayaan termasuk pembiayaan syariah
berupa sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease), anjak piutang
(factoring), usaha kartu kredit dan/atau pembiayaan konsumen.
 Transaksi derivatif
Berdasarkan PP No.17 / 2009 tersebut yang dimaksud dengan transaksi derivatif dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 1 adalah :
“ transaksi yang didasari pada kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan
turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan
indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan maupun tanpa pergerakan dana atau instrumen.”
- Pelaksanaan
Dalam pasal 4 dari PP No 17 / 2009 tersebut dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
PP No 17 / 2009 sendiri mengatur adanya PPh sebesar 2,5 % (dua koma lima persen) dari margin awal dan
lembaga kliring bertindak sebagai pemungut, penyetor dan pelapor dari PPh tersebut.
Konsep Dasar dan Aspek Pajak
Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Analisa mengenai ketentuan perpajakan atas penghasilan yang didapat dari transaksi instrumen derivatif
akan diuraikan sebagai berikut :
1. Penghasilan Usaha
Defenisi penghasilan usaha tidak dijelaskan dalam undang-undang pajak penghasilan. Pembedaan
antara penghasilan usaha dan penghasilan lainnya sangat penting dan dibutuhkan untuk menentukan
jenis penghasilan sesuai dengan penerapan undang-undang domestik maupun tax-treaty yang
bersangkutan. Apabila di dalam penghasilan usaha termasuk penghasilan yang didapat dari transaksi
instrumen keuangan derivatif, maka semua biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan transaksi
instrumen keuangan derivative diperkenankan untuk mengurangi penghasilan usaha (Perkasa
2004,108).
2. Bunga
Defenisi mengenai “premium” yang dapat dikatagorikan sebagai bunga harus diberi defenisi dan
penjelasan yang lebih rinci sehingga terdapat kejelasan dalam perlakuan pajak atas premium yang
tidak dapat digolongkan sebagai bunga (Perkasa 2004,109).
3.Keuntungan Penjualan/Pengalihan Harta (Capital Gain)
Penjelasan pasal (4) ayat 1 huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat digunakan untuk penerapan
tarif pajak yang berbeda atau untuk pengecekan apabila ada dugaan tax avoidance yang dilakukan oleh
wajib pajak. Analisis Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Transaksi Bursa Komoditi Berjangka
Beberapa konsep sebagai bahan perbandingan dalam rangka menganalisa model pengenaan pajak
penghasilan terhadap transaksi bursa komoditi berjangka:
1. Konsep Perdagangan
Transaksi derivatif diperlakukan sebagai transaksi dagang biasa, laba dikenakan pajak penghasilan dan
kerugian dapat dikompensasikan baik secara vertikal maupun horizontal. Biaya-biaya yang dikeluarkan
perusahaan berkaitan dengan transaksi derivatif dapat di perhitungkan sebagai pengurang
pendapatan.
2. Konsep Zero Sum-Game
Dengan konsep ini laba dari transaksi derivatif tidak dikenakan pajak penghasilan, begitu pula dengan
kerugian dari transaksi derivatif tidak dapat dikompensasikan. Menurut konsep ini, negara secara
makro tidak mendapat apa-apa karena wajib pajak yang mendapatkan laba tidak dikenakan pajak,
sedangkan wajib pajak yangmendapatkan kerugian tidak dapat mengkompensasikan kerugiannya.
Dengan penerapan konsep ini jelas para pelaku bursa dibebaskan dari kewajiban perpajakan
khususnya pajak penghasilan, namun pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) tetap bisa
dilaksanakan.
3. Konsep Investasi
Dengan konsep ini suatu transaksi di bursa komoditi berjangka dianggap sebagai suatu investasi.
Sebagai suatu investasi jumlah kerugian yang diakui tentunya tidak boleh melebihi nilai investasinya.
Pengenaan pajak penghasilan baik dikategorikan sebagai aktiva lancar maupun sebagai investasi
jangka panjang akan diperhitungkan ketika investasi tersebut mengalamai gain atau loss saat realisasi
penjualannya. Jadi tidak ada pengakuan keuntungan atau kerugian dari penilaian investasi tidak lancar
(investasi jangka panjang) di akhir tahun jika terjadi penurunan atau kenaikan harga pasar
sebagaimana yang diperkenankan dalam akuntansi komersial.
4. Konsep Pengenaan Pajak Penghasilan Final (gross final basis/presumptive taxation).
Konsep ini paling mudah diterapkan untuk mengatasi kesulitan mengidentifikasikan suatu transaksi
bertujuan lindung nilai atau spekulatif. Setiap transaksi di bursa komoditi langsung dikenakan pajak
penghasilan final. Pengenaan pajak penghasilan dengan pola ini terkesan yang mudah diterapkan.
Tidak disulitkan dengan identifikasi hedging atau bukan dari transaksi yang ada di bursa komoditi
berjangka, dan yang jelas semua pelaku baik individual maupun berbentuk badan tidak akan bias
menyembunyikan transaksi yang dilakukan di bursa. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa
pengenaan pajak penghasilan final ini bisa membuat pasar tidak bergairah, karena semua transaksi
baik yang laba maupun rugi dikenakan pajak. Di samping itu pula, bagi para pelaku lindung nilai
(hedger) ketentuan ini tentunya dirasa lebih memberatkan karena mereka bertransaksi bener-benar
untuk mendapatkan komoditinya, namun dikenakan pajak penghasilan final yang akan menambah
beban perusahaan ketika terjadi kerugian. Dengan tidak adanya kalkulasi deductible expense bagi para
pelaku transaksi maka rasa keadilan bagi calon wajib pajak menjadi terpenuhi, juga secara akuntansi
prinsip pengakuan pendapatan seperti ini tidak sesuai dengan matching principle, dan metode akrual.
Bagi perusahaan yang menderita kerugian, pengenaan pajak penghasilan final ini akan menambah
beban mereka, namun dalam kondisi normal kerugian ini hanya bersifat jangka pendek (Wijono
2001,63).
 NIRLABA
a.Kegiatan rumah sakit
Sebuah rumah sakit pada umumnya dapat dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Bagi rumah sakit
Pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena rumah
sakit pemerintah bukan merupakan subyek pajak. Adapun kategori sebagai rumah sakit pemerintah
harus memenuhi hal-hal sebagai berikut yaitu :
1. Dibentuk berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2. Dibiayai dengan dana yang bersumber APBN dan APBD,
3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran,
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara
Dengan demikian karena RSU/RSUD mendapatkan pembiayaan dari luar APBN/APBD atau tidak
seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat dalam APBN/APBD, maka kewajiban menghitung pajak
sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan badan swasta lain.
- Aspek Perpajakan Rumah Sakit Pemerintah Dan Non Pemerintah
a. Kewajiban PPh Pasal 25/29
Seperti kita ketahui bahwa Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah (RSU ataupun RSUD)
didanai dari APBN dan APBD, maka rumah sakit tidak memiliki kewajiban PPh terhadap diri
sendiri. Dengan kata lain, rumah sakit pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa)
maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena bukan subyek pajak beda hal jika rumah sakit swasta
sebagaimana objek penulisan kali ini yang tentu saja memiliki kewajiban PPh Pasal 25 dan untuk
itulah wajib pajak mengajukan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25.
b. Kewajiban PPh Pemotongan dan Pemungutan
Sama halnya baik rumah sakit pemerintah maupun swasta memiliki kewajiban sebagai pemungut
pajak PPh pasal 21, 23, 26,dan pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan aktivitas pembayaran gaji, honor,
jasa, sewa, dll kepada karyawan dan pihak ketiga. Berkaitan dengan transaksi yang berhubungan
dengan Pph 21 di rumah sakit disamping pengenaan PPh Pasal 21 atas karyawan non dokter dan
dokter, terdapat ketentuan khusus bagi rumah sakit, yaitu : Tenaga dokter berdasar status
hubungan kerja digolongkan menjadi:
• Dokter yang menjabat sebagai pimpinan rumah sakit,
• Doker sebagai pegawai tetap atau honorer rumah sakit,
• Dokter tetap yaitu dokter yang mempunyai jadwal praktek tetap tetap bukan sebagai
pegawai tetap rumah sakit,
• Dokter tamu yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di
rumah sakit,
• Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit untuk praktek,
Sedangkan terkait atas penghasilan yang diterima dokter dan pengenaan PPh nya dapat dibaca
dalam tulisan terdahulu yang berjudul Sekilas Tentang Penghasilan Seorang Dokter, dimana
penghasilan seorangdokter bersumber dari keuangan rumah sakit atau dari imbalan lain yang
diterima oleh para dokter, dan penghasilan yang berasal dari pasien yang diterima oleh para
dokter sebagaimana diberikan contoh dalam tulisan tersebut di atas.
c. Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai
Berkaitan dengan transaksi penyerahan obat kepada pasien, rumah sakit juga berpotensi memiliki
kewajiban memungut PPN (pajak pertambahan nilai) dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No: SE-06/PJ.52/ 2000 tanggal 2 Maret 2000 tentang
PPN Atas Penggantian Obat Di Rumah Sakit, ditegaskan bahwa instalasi farmasi (kamar obat)
merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik alat
kesehatan serta bahan kimia yang bukan berdiri sendiri tetapi merupakan satuan organic yang
tidak terpisah dari keseluruhan rumah sakit. Selanjutnya ditegaskan bahwa penyerahan obat-
obatan yang dilakukan instalasi farmasi (kamar obat) tidak terutang PPN.
Dalam kenyataannya instalasi farmasi melayani rumah sakit yang terdiri dari pasien rawat inap,
pasien rawat jalan dan pasien gawat darurat. Mengingat instalasi farmasi rumah sakit melakukan
pelayanan kepada pasien rawat jalan sebagaimana lazimnya sebuah apotik, maka atas penyerahan
obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien rawat jalan tetap terutang PPN, terkait
bagaimana mekanisme pengkreditan karena terdapat yang terutang PPN dan tidak dijelaskan
dalam PMK-78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha
Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak
Terutang Pajak.
- Jenis Jenis Pendapatan Sebuah Rumah Sakit
Yang menjadi objek pajak adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh sebuah
rumah sakit terdiri dari beberapa sumber, untuk itu penulis mencoba membagi penghasilan yang
diperoleh rumah sakit menjadi 2 (dua) jenis penghasilan yang meliputi :
a. Penghasilan dari Operasional Pelayanan Pasien
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa, sehubungan
dengan kategori penghasilan operasional pelayanan pasien dari sebuah rumah sakit
diantaranya:
1. Instalasi Rawat Inap, hal ini meliputi sewa kamar/ruangan di rumah sakit, poliklinik,
pusat pelayanan kesehatan,
2. Instalasi Farmasi, hal ini meluputi diantaranya uang pendaftaran untuk pelayanan
kesehatan, dan penghasilan dari penjualan obat
3. Instalasi Rawat Jalan, hal ini meliputi Penghasilan dari perawatan kesehatan seperti
uang pemeriksaan dokter, operasi, rontgen, scanning, pemeriksaan laboratorium, dll
4. Instalasi Penunjang Medik, meliputi uang pemeriksaan kesehatan termasuk general
check up, Senam Hamil dan Pijat Bayi.
5. Instalasi Gawat Darurat.
b. Penghasilan dari Operasional Lainnya
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa, sehubungan
dengan kategori penghasilan operasional lainnya dari sebuah rumah sakit diantaranya :
1. Pembagian keuntungan dari kerjasama usaha, yang meliputi diskon dari supplier yang
dibutuhkan oleh rumah sakit, Telepon. Listrik, Parkir
2. Pemakaian ruangan, yang meliputi penghasilan dari penyewaan alat kesehatan (Sewa
dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta) dan lain-lain.
3. Bunga deposito, bunga obligasi, diskontto SBI dan bunga lainnya
4. dan lain-lain
b. Yayasan Pendidikan
1. Penghasilan yang Merupakan Obyek PPh :
-Uang pendaftaran dan uang pangkal
-Uang seleksi penerimaan siswa/mahasiswa/peserta pendidikan
-Uang pembangunan gedung/pengadaan prasarana atau pembayaran lainnya dengan nama
apapun yang berkaitan dengan keberadaan siswa/mahasiswa/peserta pendidikan.
-Uang SPP, uang SKS, uang ujian, uang kursus, uang seminar/lokakarya, dsb.
-Penghasilan dari kontrak kerja dalam bidang penelitian, dsb.
Penghasilan lainnya yang dikaitkan dengan jasa penyelenggaraan pengajaran/pendidikan/pelatihan
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2. Pengurang Penghasilan Bruto ( SE - 39/PJ.4/1995 ) :
- Gaji/tunjangan/honorarium pimpinan, dosen, pengajar, karyawan.
- Biaya umum, administrasi, alat tulsi menulis kantor
- Biaya publikasi/iklan
- Biaya kendaraan
- Biaya kemahasiswaan
- Biaya ujian semester
- Biaya sewa gedung dan utilities (listrik, telepon, air)
- Biaya laboratorium
- Biaya penyelenggaraan asrama
- Bunga bank dan biaya-biaya bank lainnya
- Biaya pemeliharaan kampus
- Biaya penyusutan
- Kerugian karena penjualan/pengalihan harta
- Biaya penelitian dan pengembangan
- Biaya beasiswa dan pelatihan dosen/pengajar/karyawan
- Biaya pembelian buku-buku perpustakaan dan alat-alat olah raga dan peraga
- Subsidi/beasiswa bagi siswa yang kurang mampu
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
- Biaya pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari selisih lebih yang diakui
sebagai penghasilan.
3. Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan ( KEP - 87/PJ./1995 )
- Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah dana yang akan digunakan untuk
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari sisa lebih (laba neto).
- Sisa lebih yaitu selisih lebih antara penghasilan yang merupakan obyek PPh (selain yang
dikenakan PPh Final) dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan.
- Dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan tentang rencana fisik sederhana dan
rencana biaya pembangunan gedung dan prasarana pendidikan kepada KPP setempat, Yayasan
Pendidikan dapat mengakui dana pembanguan gedung dan prasarana pendidikan sebagai
penghasilan pada tahun digunakannya (pengenaan PPh-nya ditunda). Dan sebesar dana yang
telah digunakan tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pada
tahun pajak yang bersangkutan.
- Tata Cara Pembentukan Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan :
- Sisa lebih yayasan setiap tahun yang akan digunakan untuk pembanguan gedung dan
prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan.
Sisa Lebih XXX
Dana Pembangunan Gedung XXX
- Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dilakukan
dengan mendebit rekening aktiva dan rekening dana pembangunan gedung serta mengkredit
rekening kas atau utang dan rekening modal yayasan (penghasilan).
Aktiva XXX
Dana Pembangunan Gedung XXX
Kas atau utang XXX
Modal yayasan (penghasilan) XXX
- Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut wajib dipergunakan dalam
jangka waktu 4 tahun setelah berakhirnya tahun pajak disisihkannya dana tersebut.
- Apabila setelah lewat 4 tahun, Yayasan Pendidikan tidak mempergunakan dana pembangunan
gedung dan prasarana pendidikan di atas, maka dana pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan tersebut harus diakui sebagai penghasilan yang terutang PPh pada tahunn pajak
berikutnya setelah masa 4 tahun tersebut terlewati. Di samping itu, terhadap yayasan ini akan
dikenai sanksi 2% per bulan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
- Dalam akuntansi fiskal (PPh), atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dana prasarana
pendidikan tersebut tidak perlu dibebankan melalui penyusutan, melainkan dibebankan langsung
pada saat terjadinya/terutangnya biaya tersebut.
- Dalam hal pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut dibiayai dengan pinjaman,
maka bunga atas pinjaman tersebut dapat diakui sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).
- Yayasan Pendidikan atau organisasi yang sejenis yang membentuk dana pembangunan gedung
dan prasarana pendidikan wajib membuat :
- Pencatatan tersendiri atas dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang
diterima dan digunakan setiap tahun.
- Pernyataan bahwa dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang tidak
digunakan pada tahun diterimanya dana tersebut akan digunakan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 4 tahun setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
- Laporan mengenai penyediaan dan penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan dan menyampaikannya kepada Kepala KPP setempat dalam lampiran SPT Tahunan
PPh.
 APARTEMEN
Pajak-pajak yang terkait dengan penjualan properti dari penjual (baik developer maupun penjual properti
bekas) kepada pembeli (pemakai langsung dan tidak untuk dijual kembali), paling tidak ada dua jenis:
Pajak Penghasilan (PPh) Final dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Apabila properti yang dijual tersebut
termasuk properti yang dikategorikan sebagai barang mewah, maka akan dikenakan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM).Pajak Penghasilan yang bersifat final atas peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan akan dikenakan kepada penjual dari hak tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
71 tahun 2008, atas penghasilan sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan PPh Final sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan. Sedangkan pengalihan hak atas Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final sebesar 1% dari nilai pengalihan.
Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP
tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan, kecuali: dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah
adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan; dalam hal pengalihan hak sesuai dengan
peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut
risalah lelang tersebut.PPh Final atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tidak dikenakan
terhadap Orang Pribadi yang penghasilannya dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nilai dibawah Rp 60 juta. PPh Final juga tidak
dikenakan kepada Orang Pribadi atau Badan yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
Pemerintah.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah semenda
dengan cara hibah yang dilakukan oleh Orang Pribadi pun tidak dikenakan PPh Final tersebut. Demikian
halnya untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah yang dilakukan baik oleh
Orang Pribadi maupun Badan. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan pun tidak
dikenakan PPh Final ini.PPN atas penjualan properti dikenakan terhadap kegiatan penjualan bangunan
baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun jenis-jenis lainnya. PPN terutang pada saat
pembayaran uang muka maupun pada saat pelunasan pembelian. PPN akan dikenakan kepada Pembeli,
dipungut oleh penjual dengan catatan penjual adalh Pengusaha Kena Pajak. Yang menjadi dasar
pengenaan PPN tersebut adalah nilai transaksi sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di
bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) maka yang menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut.
Penyerahan bangunan tersebut tidak seluruhnya terutang PPN. Rumah sederhana, rumah sangat
sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan
lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah dibebaskan dari pengenaan PPN. Sedangkan untuk pembelian rumah
dengan kategori mewah, selain dikenakan PPN, pembeli akan dikenakan juga PPnBM. Kategori produk
properti yang dikenakan PPnBM antara lain produk apartemen, town house, rumah mewah,
kondominium. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2003, atas penjualan properti-properti
tersebut dikenakan tarif sebesar 20%. Mulai 1 Juni 2009, penyerahan bangunan yang terutang PPnBM
hanya berdasarkan luas bangunan, yaitu luas bangunan dengan town house non strata title sebesar
350m2 atau lebih sedangkan apartemen, kondominium, town house dengan strata title yang memiliki luas
150m2 atau lebih.
PPnBM hanya dikenakan untuk properti yang dijual oleh developer dan properti tersebut memenuhi
kriteria tertentu di atas. PPnBM tidak dikenakan terhadap transaksi penjualan properti antar perorangan.
• PPN
Hampir dapat dipastikan semua transaksi apartemen baru dikenakan PPN, karena hanya properti
seharga Rp42 juta ke bawah yang dibebaskan dari PPN. Nilai PPN 10 persen dari harga jual. Jadi,
kalau apartemen Rp100 juta, PPN yang harus dibayar 10% x Rp100 juta = Rp10 juta. PPN biasanya
dibayarkan melalui developer, termasuk pelaporannya, dilakukan oleh developer.
• BPHTB
Bea ini dikenakan terhadap semua transaksi apartemen baik baru maupun lama yang dibeli dari
developer atau perorangan. Besarnya 5 persen dari nilai transaksi setelah dikurangi nilai jual objek
pajak tidak kena pajak (NJOPTKP). Di Jakarta NJOPTKP ditetapkan pemerintah provinsi sebesar
Rp60 juta. Jadi, untuk apartemen seharga Rp100 juta, BPHTB yang harus dibayar adalah 5% x
(Rp100 juta – Rp60 juta) = Rp2 juta.
• AJB, Pertelaan dan BBN
Menurut Erwin Kallo, Direktur Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia , AJB, pertelaan dan
BBN biasanya dibayar satu paket. Besarnya kurang lebih satu persen. Jadi, bila harga apartemen
Rp100 juta, biaya yang harus dirogoh untuk ketiga item itu adalah Rp1 juta.
• PPnBM
Seperti sudah disinggung di atas, khusus untuk apartemen dengan harga bangunan Rp4 juta ke atas
per m2 atau luasnya 150 m2 ke atas diwajibkan membayar PPnBM. Tapi pajak ini hanya dikenakan
pada apartemen yang dibeli dari developer. Besarnya 20 persen dari harga jual dibayar saat
bertransaksi. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi antarperorangan.
• Kewajiban Setelah Membeli
Bila sudah membeli apartemen, selain membayar service charge per bulan, setiap tahun pemilik
juga wajib membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Biasanya tagihan dilayangkan setiap bulan
Maret dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran harus dilakukan
paling lambat enam bulan setelah SPPT diterbitkan. Bila sampai batas waktu yang ditetapkan belum
dibayar, dikenai denda 2 persen per bulan hingga maksimal 24 bulan.
Cara menghitung PBB apartemen:
1. Hitung nilai perbandingan proposional (NPP) unit apartemen atau satuan rumah susun dengan
rumus: NPP = (LSn x 100%) / T LSn
Keterangan:
Sn: Satuan rumah susun (unit apartemen)
LSn: Luas unit apartemen
T LSn: Total luas unit apartemen
2. Hitung luas bumi (tanah) proposional: NPP x luas tanah bersama
3. Hitung luas bangunan proposional: NPP x total luas bangunan bersama
4. Luas bangunan proposional: total luas bangunan – total luas seluruh unit apartemen dan ruang
komersial
5. Hitung NJOP:
a. NJOP bumi proposional: luas bumi proposional x NJOP tanah yang ditetapkan kantor pajak
setempat
b. NJOP bangunan proposional: luas bangunan proposional x NJOP bangunan yang ditetapkan
kantor pajak setempat
c. NJOP unit apartemen: luas unit apartemen x NJOP bangunan yang ditetapkan kantor pajak
setempat.
6. Point a, b dan c kemudian dijumlahkan untuk memperoleh NJOP total
7. Hitung NJOP Kena Pajak (NJOPKP)
Rumusnya: NJOP total-NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
8. NJOPTKP telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp10 juta
9. Menghitung PBB:
a. Untuk apartemen yang nilainya di bawah Rp1 miliar rumusnya: 0,5% x 20% x NJOPKP.
b. Untuk apartemen yang nilainya Rp1 miliar ke atas rumusnya: 0,5% x 40% x NJOPKP.
 JASA KONSTRUKSI
Jasa Konstruksi merupakan layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan konstruksi. (PP 140 th 2000)
- Pekerjaan konstruksi:
Keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal,elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, uantuk mewujudkan suatu bangunan atau
benruk fisik lain. (PP 140 th 2000)
Ketentuan perpajakan mengenai jasa konstruksi mulai tahun 2001 mengikuti ketentuan yang
diatur dalam PP 140 tahun 2000 dan Kmk No.559/KMK.04/2000 serta Keputusan Dirjen Pajak No
Kep-96/PJ./2001. Dalam ketiga peraturan tersebut pengenaan pajak penghasilan atas jasa
Menurut sifatnya konstruksi dibedakan menjadi dua, yaitu final dan tidak final. Tergantung dari
kualifikasi WP sebagai pengusaha di bidang jasa konstruksi, kecil atau besar.
1. Bersifat Tidak Final
PPh atas jasa konsruksi bersifat tidak final dikenakan terhadap WP penerima jasa konstuksi
yang :
• Tidak termasuk WP dengan kualifikasi usaha kecil termasuk orang perseorangan.
• Termasuk pengusaha kecil berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga
yang berwenang tetapi nilai pengadaannya lebih besar dari Rp. 1.000.000.000.- (satu
miliar rupiah).
Atas pembayaran jasa konstruksi yang diterima WP pada saat pembayaran uang muka atau
termin dipotong PPh pasal 23 dengan tarif yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No
Kep-96/pj./2001 sbb:
Jenis Jasa Konstruksi Tarif
Jasa perencana konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Jasa pengawasan konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Jasa Pelaksanaan konstruksi 2 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
- Kewajiban PPh Pasal 25
Terhadap WP yang termasuk dalam kategori ini juga dikenakan ketentuan PPh Pasal 25
dalam hal pemberi penghasilan adalah bukan Badan pemerintah, subyek pajak badan
dalam negeri, bentuk usaha tetap atau orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang
ditunjuk oleh DJP sebagai pemotong pajak.
Untuk masa tahun pajak 2001, mulai tanggal 1 Januari 2001 WP wajib membayar PPh Pasal
25 dengan cara perhitungan 1/12 dari (seperdua belas) dari PPh yang dihitung berdasarkan
tarif umum pasal 17 Undang-undang PPh atas penghasilan neto bulan yang bersangkutan
setelah disetahunkan. Dengan memperhitungkan pajak yang dipotong dan dipungut oleh
pihak lain. Dalam hal ini, angsuran PPh pasal 25 untuk tahun 2001 belum tentu nihil.
2. Bersifat final
PPh atas jasa konstruksi bersifat final dikenakan terhadap WP dengan kualifikasi usaha kecil
termasuk orang perorangan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp.
1.000.000.000.- (satu miliar rupiah).
Atas pembayaran yang diterima pada saat pembayaran uang muka atau termin dipotong
PPh yang bersifat final dengan tarif yang diatur dalam PP No 140 Tahun 2000 sbb:
Jenis Jasa Konstruksi Tarif
Jasa perencana konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Jasa pengawasan konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Jasa Pelaksanaan konstruksi 2 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
- WP menyetor sendiri pph Finalnya
Dalam hal pemberi penghasilan adalah bukan Badan pemerintah, subyek pajak badan
dalam negeri, bentuk usaha tetap atau orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang
ditunjuk oleh DJP sebagai pemotong pajak. Maka WP menyetor sendiri PPh yang terhutang
pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn.
- Rugi Fiskal
Kerugian fiskal yang terjadi dari tahun-tahun sebelumnya tidak boleh dikompensasikan
dengan penghasilan kena pajak mulai masa pajak Januari 2001 dan seterusnya.
 PEMBIAYAAN ATAU LEASING
Dalam bahasa Indonesia, leasing diartikan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU). Leasing merupakan salah
satu jenis jasa pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan barang modal bagi perusahaan yang
membutuhkan barang modal tersebut.
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Berdasarkan Undang-undang no 17 tahun 2000 dan surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.
1169/KMK.01/1991 Pasal 16 ayat 2 menyatakan: “Lessee tidak memotong pajak penghasilan
pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian
sewa guna usaha dengan hak opsi”. Dalam pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa
angsuran-angsuran atau pembayaran yang diterima lessor dari lessee untuk jenis transaksi
finance lease tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
Pasal 17 ayat 2 menyatakan:
* Pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
* Lessee wajib memotong pajak penghasilan pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha tanpa
hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.
Pasal 17 ayat 2a mengatur tentang perlakuan pembayaran leasing oleh lessee. Di sini dijelaskan
bahwa pembayaran leasing dari lessee kepada lessor untuk transaksi operational lease
diperlukan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 karena menurut pajak diperlakukan sebagi
sewa-menyewa biasa.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
A. Perlakuan PPN atas transaksi capital lease:
1. Berdasarkan ketentuan pasal 13 Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 1994 huruf d dan
e, Pengumuman Direktur Jenderal Pajak No. Peng- 139/PJ.63/1989 dan Pasal 1 angka 4
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep05/PJ/1994, penyerahan jasa dalam
transaksi capital lease dari lessor kepada lessee adalah penyerahan jasa yang terutang
PPN, karena lessor sebagai perusahaan jasa persewaan barang dengan demikian adalah
pengusaha kena pajak.
2. Pengalihan barang dalam transaksi operating lease bukan merupakan penyerahan barang
kena pajak karena pengalihan barang tersebut adalah dalam rangka persewaan biasa.
3. Besarnya PPN yang terutang adalah 10% dari Nilai Penggantian.
4. PPN sebagaimana dimaksud dalam angka 3) merupakan PPN Keluaran bagi lessor dan
merupakan PPN Masukan bagi lessee dalam hal lessee adalah Pengusaha Kena Pajak. PPN
yang dibayar atas perolehan barang kena pajak (BKP) yang dilease merupakan PPN Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dengan PPN Pajak Keluaran lessor.
B. Dalam hal transaksi sale and lease back tanpa hak opsi, PPN masukan atas perolehan barang
tidak boleh dikreditkan oleh lessee. Dalam hal lessee kemudian melease kembali barang
tersebut, maka lessor harus mengenakan PPN yang terutang atas jasa persewaan barang yang
dilakukan.
Lease : Suatu kontrak sewa atas penggunaan harta untuk suatu periode tertentu dengan sewa
tertentu.
Lessee : Pemakai aktiva yang akan di lease. Perusahaan atau perorangan yang menggunakan
barang modal dengan pembiayaan dari pihak perusahaan leasing.
Lessor: Pemilik dari aktiva yang akan di lease.
Lease term: Jangka waktu lease yang tetap dan tidak dapat dibatalkan, termasuk:
a. Periode yang mencakup hak opsi untuk memperbarui kontrak leasing.
b. Periode yang mencakup digunakannya hak opsi untuk membeli aktiva yang dilease.
c. Periode dimana lessor mempunyai hak untuk memperbarui atau memperpanjang masa
lease.
d. Periode dimana denda dikenakan bagi lessee atas kegagalannya untuk memperbarui lease
dan jumlah denda tersebut dijamin pada permulaan lease.
e. Periode yang mencakup hak opsi pembaruan yang biasa yaitu diberikan jaminan oleh
lessee atas utang lessor yang mungkin terjadi.
 REVALUASI AKTIFA TETAP
PPh Final atas Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap
1. Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 384/KMK.04/1998 Jo SE - 29/PJ.42/1998
2. Wajib pajak yang diperkenankan untuk melakukan revaluasi aktiva tetap adalah wajib pajak dalam
negeri yang mempunyai aktiva tetap yang terletak/berada di Indonesia, dengan syarat telah
memenuhi semua kewajiban pajaknya (PPh, PPN, PPnBM, dan PBB) sampai dengan masa pajak
terakhir sebelum revaluasi.
3. Aktiva tetap yang dapat direvaluasi meliputi ; tanah, bangunan, dan bukan bangunan, dengan syarat
tidak dimaksudkan untuk dialihkan.
4. Revaluasi dapat dilakukan baik terhadap keseluruhan aktiva tetap maupun sebagian aktiva tetap yang
dimiliki. Penilaian didasarkan pada nilai pasar wajar pada saat penilaian yang dilakukan oleh lembaga
penilai yang diakui Pemerintah.
5. Apabila nilai pasar/nilai wajar yang ditetapkan oleh Lembaga Penilai ternyata tidak mencerminkan
keadaaan yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak dapat menetapkan kembali nilai pasar/nilai wajar
aktiva yang bersangkutan.
6. Selisih lebih antara nilai pasar/nilai wajar dengan nilai sisa buku fiskal aktiva tetap yang dinilai
kembali, harus dikompensasikan terlebih dahulu dengan rugi fiskal tahun berjalan dan sisa rugi fiskal
tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.
7. PPh Final yang terutang = 10% x (Selisih antara nilai pasar dengan nilai sisa buku fiskal aktiva tetap -
Kompensasi kerugian yang masih diperkenankan).
8. Dalam rangka restrukturisasi usaha PPh Final tersebut dapat dibayar secara cicilan dalam jangka
waktu 5 tahun (tiap tahun minimal 20% dari PPh yang terutang, kecuali pelunasan terakhir).
9. Aktiva yang direvaluasi tersebut tidak diperkenankan dialihkan dalam jangka waktu 5 tahun, kecuali :
- Dialihkan kepada Pemerintah.
- Dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha bagi wajib pajak yang
diperkenankan melakukan penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha berdasarkan nilai
buku
- Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998 Jo 469/KMK.04/1998
8. Apabila aktiva tetap yang telah direvaluasi tersebut dialihkan sebelum lewat 5 tahun, wajib pajak
yang bersangkutan wajib menyetor tambahan PPh Final sebesar = 15% x (Selisih Penilaian Kembali
Aktiva Tetap - Kompensasi Kerugian yang masih diperkenankan).
Bagaimana ketentuan revaluasi berdasakan 486/KMK.03/2002 Jo KEP - 519/PJ./2002 ?
Ketentuan revaluasi berdasarkan 486/KMK.03/2002 Jo KEP - 519/PJ./2002
1. Wajib pajak yang kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi secara sekaligus PPh final
yang terutang, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 (dua
belas) bulan.
2. Apabila PPh yang terutang lebih dari Rp 2.000.000.000.000,- (dua triliun rupiah), wajib pajak yang tidak
dapat melunasi hutang pajaknya dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran lebih
dari 1 (satu) tahun hingga paling lama 5 (lima) tahun.
3. Besarnya angsuran ditetapkan sbb :
- > Rp 2.000.000.000.000,- s.d. Rp 4.000.000.000.000,- = masa angsuran 2 (dua) tahun
- > Rp 4.000.000.000.000,- s.d. Rp 6.000.000.000.000,- = masa angsuran 3 (tiga) tahun
- > Rp 6.000.000.000.000,- s.d. Rp 8.000.000.000.000,- = masa angsuran 4 (empat) tahun
- > Rp 8.000.000.000.000,- = masa angsuran 5 (lima) tahun
Bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan revaluasi Aktiva Tetap untuk Perpajakan (KEP -
519/PJ./2002)
Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Revaluasi Aktiva Tetap Untuk Perpajakan (KEP - 519/PJ./2002)
1. Wajib pajak mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil yang membawahi KPP tempat wajib pajak
terdaftar (KPP domisili), selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pelaksanaan revaluasi, dengan
melampirkan :
a. Fotokopi surat ijin usaha jasa penilai yang dilegalisir oleh Instansi Pemerintah yang berwenang;
b.Laporan penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli penilai profesional yang diakui pemerintah;
c. Daftar revaluasi aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan;
d.laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum revaluasi aktiva tetap yang telah diaudit akuntan publik;
e. Surat keterangan tidak memiliki tunggakan pajak dari kepala KPP tempat wajib pajak terdaftar
2. Apabila permohonan wajib pajak telah memenuhi persyaratan, maka Kepala kanwil wajib menerbitkan
Keputusan Persetujuan Dirjen Pajak paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan wajib
pajak.
3. Keputusan Penolakan akan diterbitkan Kepala Kanwil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
permohonan wajib pajak, apabila wajib pajak tidak memenuhi persyaratan formal maupun material.
4. Permohonan wajib pajak dianggap diterima apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kepala Kanwil tidak
memberikan keputusan.
 E-COMMERCE
E-commerce adalah perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen
melalui sistem elektronik.
Ada dua jenis e-commerce. Yang pertama adalah front-end e-commerce, yaitu transaksi melalui e-
commerce antara pengusaha (baik pribadi maupun badan hukum) dengan konsumen. Jenis lainnya adalah
back-end e-commerce, yaitu transaksi antara para pengusaha menyangkut transaksi informasi internal
dengan masing-masing pengusaha atau antara para pelaku usaha menyangkut pertukaran data komersial.
Kegiatan usaha e-commerce dapat dilakukan melalui apa yang disebut "Application Service Provider (ASP)
yang biasanya menjadi sarana utama bagi pelaku usaha di bidang ini. ASP menyediakan disk space untuk
disewa pengusaha untuk menawarkan produksinya.
Disk space tersebut tidak dapat dipergunakan tanpa dilengkapi dengan program tertentu (dalam bentuk
software) sehingga space tersebut menjadi website. Pemilik ASP biasanya menyewakan space yang
dimilikinya kepada perusahaan-perusahaan yang selanjutnya akan menggunakannya sebagai website-nya.
Perusahaan yang menyewa space dimaksud kemudian mengisinya dengan perangkat lunak yang dapat
diakses oleh para calon pembeli. Dari website tersebut maka perusahaan dimaksud menawarkan barang
produksinya. Perlakuan pajak penghasilan terhadap transaksi bisnis tersebut akan dibahas dibawah ini
dengan mengambil asumsi pertama bahwa ASP dimaksud berada di Indonesia.
- Perlakuan PPh
Agar lebih menyederhanakan analisis untuk tahap ini diberikan asumsi bahwa server yang
disebutkan diatas tidak mempunyai back-up servers sehingga server tersebut merupakan satu-
satunya server yang menjadi objek analisis.
Server dimiliki oleh wajb pajak Indonesia. Bagi wajib pajak dalam negeri yang mempunyai server
yang berlokasi di dalam negeri dan menyewakannya kepada wajib pajak lainnya, penghasilan
yang diperolehnya dari kegiatan tersebut adalah penghasilan atas sewa dari space yang
bersangkutan.
Dari sudut pandang penyewa, apakah penyewa tersebut wajib memotong sewa yang
dibayarkannya. Pemotongan PPh dalam Undang-undang Pajak Penghasilan yang menyangkut
pembayaran kepada wajib pajak dalam negeri, diatur di beberapa pasal yaitu pasal 4 ayat (2),
pasal 22, dan pasal 23.
Ketentuan yang paling dekat dengan kasus di atas adalah pasal 23, karena cakupan dari pasal
tersebut meliputi dividen; bunga; royalty; hadiah atau penghargaan; sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan.
Apabila disimak cakupan PPh Pasal 23 tersebut maka yang paling mendekati adalah sewa
sehubungan dengan penggunan harta. Ketentuan Pasal 23 yang menyangkut penghasilan dari
penggunaan harta tidak terlalu jelas ruang lingkupnya. Apabila pengertian "harta" diberi
interpretasi yang luas maka mencakup harta berwujud dan harta tak berwujud.
Yang pasti adalah bahwa suatu website bukan merupakan harta berwujud, sehingga apabila
pengertian "harta" diberi arti yang luas maka penyewaan "website" akan dicakup dalam
ketentuan Pasal 23 dimaksud. Pasal 23 mensyaratkan bahwa dalam hal yang membayar adalah
orang pribadi maka orang tersebut harus ditunjuk sebagai pemotong.
Dengan demikian apabila penyewa website adalah orang pribadi pembayaran yang dilakukan
kepada pemilik ISP tidak perlu memotong sepanjang yang bersangkutan tidak ditunjuk sebagai
pemotong.
Sebagaimana telah disinggung di muka, agar supaya website menjadi aktif dan dapat
dipergunakan diperlukan perangkat lunak yang sepsifikasinya tergantung kepada pemiliknya
sesuai dengan kebutuhannya.
Perangkat lunak ini diperlukan baik oleh pemilik ISP maupun penyewanya. Untuk keperluan
tersebut baik pemilik ISP maupun penyewa website akan meminta seorang programmer untuk
membuat program (perangkat lunak) sesuai dengan kebutuhannya.
Transaksi tersebut akan menimbulkan implikasi pajak terutama masalah pemotongan PPh.
Dengan perkataan lain, apakah pembayaran atas perangkat lunak tersebut merupakan objek
pemotongan. Hal ini ditentukan masuk jenis penghasilan apa pembayaran dimaksud. Hanya ada
dua jenis penghasilan yang paling mendekati yaitu royalti atau jasa.
Definisi "royalti" berdasarkan Undang-undang PPh [penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h] adalah
imbalan sehubungan sengan penggunaan: hak atas harta tak berwujud, hak atas harta berwujud,
dan Informasi.
Pada dasarnya "royalti" adalah imbalan sebagai pengganti penggunaan atas hak, sehingga
kepemilikan hak tersebut tetap pada penemunya/pemilik. Bila dibandingkan dengan kasus
perangkat lunak dalam kaitannya dengan website, perangkat lunaknya sudah berpindah tangan
kepada yang membelinya.
Atas dasar pertimbangan ini maka pembayaran atas perangkat lunak tersebut masuk dalam
kategori "jasa", yang berdasarkan ketentuan Pasal 23 masuk dalam kelompok jasa teknik, yang
dasar pemotongannya adalah penghasilan neto.
a. Implikasi pajak bagi perusahaan yang berdomisili di dalam negeri.
Implikasi pajak yang agak rumit dari kegiatan usaha dengan e-commerce juga timbul dalam hal
penyewa atas space di ISP (penyedia jasa Internet) adalah perusahaan yang berdomisili di luar
negeri. Pertama-tama adalah apakah dengan hadirnya perusahaan luar negeri melalui suatu
situs web, perusahaan tersebut dapat dianggap mempunyai "bentuk usaha tetap" di Indonesia.
Definisi "bentuk usaha tetap" diatur di Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh, yang berdasarkan
rinciannya memberikan indikasi bahwa keberadaan di Indonesia melalui harta berwujud,
disamping kegiatan pemberian jasa di Indonesia.
Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar negeri melakukan kegiatan usaha melalui
website, sesuai dengan definisi, kegiatan ini tidak menimbulkan "bentuk usaha tetap". Hal yang
sama juga dapat dikatakan bila perusahaan luar negeri tersebut adalah perusahaan yang
berdomisili di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia.
Namun, bila kegiatan dari perusahaan tersebut memberikan jasa melalui website-nya maka
pembayaran yang diterima dari Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26, dengan
asumsi bahwa perusahaan tersebut berdomisili di negara-negara yang tidak mempunyai P3B
dengan Indonesia.
Server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri. Dalam hal ISP dimiliki oleh perusahaan di luar
negeri, masalah utama yang perlu diangkat adalah apakah kehadiran perusahaan tersebut
melalui server dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut mempunyai "bentuk usaha tetap"
di Indonesia.
Sekali lagi dapat dikatakan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan belum mencakup
masalah ini, sehingga apabila definisi "bentuk usaha tetap" mencakup ISP maka Pasal 2 ayat (5)
perlu diubah dan ditambah.
Jika situasi tersebut dikaitkan dengan P3B maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu
pertama, dalam UU domestik dari negara-negara yang terlibat mempunyai aturan tersebut,
dan kedua, sesuai dengan commentary dari OECD, keberadaan ISP memenuhi ketentuan Pasal
5 dari OECD Model. Pasal 5 dari OECD Model mensyaratkan bahwa peralatan apapun yang
digunakan sebagai server, sifatnya harus tetap. Artinya server tersebut harus mempunyai
lokasi yang tetap dan pasti.
Secara garis besar, semua transaksi dalam kaitannya dengan persiapan untuk mengoperasikan
website, dalam hal server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri sama dengan apa yang
dikemukakan sebelumnya.
Misalkan salah satu dari penyewa website, yaitu wajib pajak luar negeri, menggunakan
website-nya untuk menyimpan informasi yang menyangkut industri tertentu, yang kemudian
ditawarkan kepada pihak ketiga untuk menjadi pelanggannya (subscriber).
Pelanggan tersebut membayar iuran untuk dapat mengakses informasi dimaksud. Impikasi
pajak penghasilan dari transaksi tersebut adalah perlakuan pajaknya terhadap pembayaran
yang di lakukan oleh pelanggan. Yang prtama-tama dilakukan adalah menentukan masuk
dalam kategori penghasilan apa pembayaran tersebut.
Dari sudut pandang UU Pajak Penghasilan, pembayaran untuk informasi yang belum
diungkapkan ke public atau yang tidak dapat diperoleh melalui sarana yang tersedia di public,
masuk dalam kategori "royalti", sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
huruf h.
Jadi kalau pelanggannya adalah wajib pajak Indonesia maka yang bersangkutan harus
memotong PPh Pasal 26, dengan catatan bahwa tarifnya tergantung domisili dari wajib pajak
yang menerimanya. Pemotongan PPh pasal 26 ini bisa tidak final jika server tersebut dianggap
sebagai "bentuk usaha tetap".
Seandainya demikian maka pembayaran untuk informasi tersebut diperlakukan sebagai
penghasilan usaha (business income) dari wajib pajak yang menerimanya. Sebaliknya apabila
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan "server" tersebut tidak/belum masuk dalam
definisi "bentuk usaha tetap" maka pemotongan PPh Pasal 26 menjadi final.
Server berada di luar negeri. Implikasi pajak penghasilan terhadap penghasilan yang
bersumber dari Indonesia sebagai akibat dari kegiatan usaha melalui e-commerce yang server-
nya berada di luar negeri, mirip dengan apabila server yang berada di Indonesia dimiliki oleh
wajib pajak luar negeri.
Dalam hal demikian maka ketentuan dari Undang-undang Pajak Penghasilan yang dapat
diterapkan adalah Pasal 26, dengan catatan bahwa pembayaran tersebut diterima oleh wajib
pajak dari Negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia.
Dalam hal demikian, setiap pembayaran yang bersumber dari Indonesia yang membayar,
termasuk orang pribadi, harus memotong PPh Pasal 26 sebesar 20%.
- Bentuk usaha tetap
Apa yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa dalam hal e-commerce melibatkan
wajib pajak luar negeri, faktor utama yang memungkinkan Indonesia dapat mengenakan
pajak adalah apakah suatu web page dapat menimbulkan "bentuk usaha tetap".
Sebagaimana disinggung di atas, web page ini dimasukkan dalam host komputer.
Teorinya web page tersebut akan menjadi "bentuk usaha tetap" di negara dimana host
komputer-nya berada, dengan catatan (sesuai dengan OECD Model) bahwa computer
tersebut tetap berada di satu tempat.
Ini sejalan dengan definisi "bentuk usaha tetap" yaitu ..a fixed place of business....
Dari sudut pandang Undang-undang Pajak Penghasilan, ketentuan tersebut tidak atau
belum dicakup di ketentuan Pasal 2 ayat (5).
Jadi hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam rangka upaya ekstensifikasi. Namun
demikian, perlu disadari bahwa bagi pemilik server atau web page sangat mudah
memindahkannya ke tempat lain atau Negara lain sehingga tidak terperangkap ke dalam
definisi "bentuk usaha tetap".
Pemenuhan kewajiban perpajakan. Di samping pendekatan yuridis fiskal, pendekatan
dari segi administratif juga perlu dipikirkan. Transaksi melalui e-commerce sulit dilacak
tanpa tersedianya data atau informasi yang diperlukan, terutama apabila transaksi
tersebut dilakukan melalui server yang berada di luar negeri.
Pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama yang menyangkut kewajiban memotong
PPh Pasal 26. Hal ini akan sangat tergantung kepada terbentuknya badan pengawas
yang bertugas untuk mengawasi lalu lintas komunikasi melalui internet tersebut.
Jika badan tersebut telah ada di Indonesia maka informasi yang dapat diberikan oleh
badan tersebut akan sangat bermanfaat bagi administrasi perpajakan.
 PERLAKUAN PERPAJAKAN
PPh PASAL 4 AYAT 2
Adalah pajak atas penghasilan sebagai berikut:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,
dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
- Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2)
1. Koperasi;
2. Penyelenggara kegiatan;
3. Otoritas bursa; dan
4. Bendaharawan;
- Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2)
1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2. Penerima hadiah undian;
3. Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan
4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan;
Lain-Lain
1. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final;
2. Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat dikreditkan;
3. Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam omset usaha,
namun dimasukkan dalam omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final;
KREDIT PAJAK LUAR NEGERI (PPh 24)
Pajak penghasilan pasal 24 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, menyatakan:
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
Undangundang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai
berikut:
a. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas
lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan;
b. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah
negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat
kedudukan atau berada;
c. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat
harta tersebut terletak;
d. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat
pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan;
f. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam
pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi
penambangan berada;
g. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada; dan
h. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah
negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan
prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau
dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa :
• Adanya keterkaitan antara self assessment, Tax compliance dan perlawanan terhadap pajak
• Undang-undang dan perlakuan pajak yang mengatur dari kegiatan pertambangan dan migas
• Penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi khusus
B. Saran
Makalah yang berjudul seminar perpajakan ini merupakan karya tulis berdasarkan himpunan material
yang di ambil dari berbagai sumber. Oleh karena itu, jika ada kesalahan dalam penulisan dan dalam
penyajian bahan penulis sangat mengharpakan kritik dan saran dari para pembaca demi terwujudnya
kebenaran yang kita kehendaki semua dan demi kesempurnaan penyelesaian makalah seminar
perpajakan ini.

More Related Content

What's hot

Fungsi dan kedudukan hukum pajak
Fungsi dan kedudukan hukum pajakFungsi dan kedudukan hukum pajak
Fungsi dan kedudukan hukum pajakYuliawanti Ginaris
 
Irlan fery buku perpajakan
Irlan fery buku perpajakanIrlan fery buku perpajakan
Irlan fery buku perpajakanirlan_fery81
 
Bab 1 pengantar perpajakan
Bab 1 pengantar perpajakanBab 1 pengantar perpajakan
Bab 1 pengantar perpajakandessayti
 
Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...
Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...
Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...Afifah Asra
 
Contoh makalah hukum pajak
Contoh makalah hukum pajakContoh makalah hukum pajak
Contoh makalah hukum pajakaidilsukri
 
Peradilan dalam hukum pajak ppt new
Peradilan dalam hukum pajak ppt newPeradilan dalam hukum pajak ppt new
Peradilan dalam hukum pajak ppt newArif Wiyono
 
Uuno.28 tahun 2007 tentang kup
Uuno.28 tahun 2007 tentang  kupUuno.28 tahun 2007 tentang  kup
Uuno.28 tahun 2007 tentang kupRoko Subagya
 
Pajak dan retribusi daerah
Pajak dan retribusi daerahPajak dan retribusi daerah
Pajak dan retribusi daerahryandyra
 
Retribusi daerah power point.
Retribusi daerah power point.Retribusi daerah power point.
Retribusi daerah power point.ahmad rasyidin
 
Uu no.36 tahun 2008 tentang pph
Uu no.36 tahun 2008 tentang  pphUu no.36 tahun 2008 tentang  pph
Uu no.36 tahun 2008 tentang pphRoko Subagya
 
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab Sumbawa
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab SumbawaTata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab Sumbawa
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab SumbawaWEST NUSA TENGGARA
 
Landasan Hukum Penagihan Pajak
Landasan Hukum Penagihan PajakLandasan Hukum Penagihan Pajak
Landasan Hukum Penagihan PajakLamsiskaRosalina
 
No. 8 ttg pajak daerah
No. 8 ttg pajak daerahNo. 8 ttg pajak daerah
No. 8 ttg pajak daerahppbkab
 
2011 Pbb menkeu+prov
2011 Pbb menkeu+prov2011 Pbb menkeu+prov
2011 Pbb menkeu+provPA_Klaten
 

What's hot (20)

Fungsi dan kedudukan hukum pajak
Fungsi dan kedudukan hukum pajakFungsi dan kedudukan hukum pajak
Fungsi dan kedudukan hukum pajak
 
Makalah Hukum Pajak
Makalah Hukum PajakMakalah Hukum Pajak
Makalah Hukum Pajak
 
Irlan fery buku perpajakan
Irlan fery buku perpajakanIrlan fery buku perpajakan
Irlan fery buku perpajakan
 
Bab 1 pengantar perpajakan
Bab 1 pengantar perpajakanBab 1 pengantar perpajakan
Bab 1 pengantar perpajakan
 
Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...
Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...
Pajak daerah & retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Ret...
 
Contoh makalah hukum pajak
Contoh makalah hukum pajakContoh makalah hukum pajak
Contoh makalah hukum pajak
 
Hukum pajak
Hukum pajakHukum pajak
Hukum pajak
 
Peradilan dalam hukum pajak ppt new
Peradilan dalam hukum pajak ppt newPeradilan dalam hukum pajak ppt new
Peradilan dalam hukum pajak ppt new
 
Perpajakan
PerpajakanPerpajakan
Perpajakan
 
Uuno.28 tahun 2007 tentang kup
Uuno.28 tahun 2007 tentang  kupUuno.28 tahun 2007 tentang  kup
Uuno.28 tahun 2007 tentang kup
 
Pajak dan retribusi daerah
Pajak dan retribusi daerahPajak dan retribusi daerah
Pajak dan retribusi daerah
 
Retribusi daerah power point.
Retribusi daerah power point.Retribusi daerah power point.
Retribusi daerah power point.
 
Uu no.36 tahun 2008 tentang pph
Uu no.36 tahun 2008 tentang  pphUu no.36 tahun 2008 tentang  pph
Uu no.36 tahun 2008 tentang pph
 
Pengantar PERPAJAKAN
Pengantar PERPAJAKANPengantar PERPAJAKAN
Pengantar PERPAJAKAN
 
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab Sumbawa
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab SumbawaTata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab Sumbawa
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah Kab Sumbawa
 
Landasan Hukum Penagihan Pajak
Landasan Hukum Penagihan PajakLandasan Hukum Penagihan Pajak
Landasan Hukum Penagihan Pajak
 
No. 8 ttg pajak daerah
No. 8 ttg pajak daerahNo. 8 ttg pajak daerah
No. 8 ttg pajak daerah
 
Sejarah pajak
Sejarah pajakSejarah pajak
Sejarah pajak
 
2011 Pbb menkeu+prov
2011 Pbb menkeu+prov2011 Pbb menkeu+prov
2011 Pbb menkeu+prov
 
Tentang KUP
Tentang KUPTentang KUP
Tentang KUP
 

Similar to Pajak Pertambangan dan Migas

Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013Meyta Aini
 
Modul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdf
Modul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdfModul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdf
Modul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdfLili Fajri Dailimi
 
PENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANG
PENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANGPENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANG
PENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANGjohnfreddy75
 
PPT Perpajakan [TM1].pdf
PPT Perpajakan [TM1].pdfPPT Perpajakan [TM1].pdf
PPT Perpajakan [TM1].pdfBosku2
 
Pajak & pengaruhnya terhadap perekonomian
Pajak & pengaruhnya terhadap perekonomianPajak & pengaruhnya terhadap perekonomian
Pajak & pengaruhnya terhadap perekonomianMulyana Natsir
 
Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...
Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...
Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...Jiantari Marthen
 
Kesadaran dan Kepatuhan Kewajiban Perpajakan
Kesadaran dan Kepatuhan Kewajiban PerpajakanKesadaran dan Kepatuhan Kewajiban Perpajakan
Kesadaran dan Kepatuhan Kewajiban PerpajakanNadia Eva
 
Adm perpajakan
Adm perpajakanAdm perpajakan
Adm perpajakanAntoni93
 
Pertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.ppt
Pertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.pptPertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.ppt
Pertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.pptRistaSeptia1
 
Tinjauan Pustaka Penelitian
Tinjauan Pustaka PenelitianTinjauan Pustaka Penelitian
Tinjauan Pustaka PenelitianOpissen Yudisyus
 
serba serbi pajak di Indonesia
serba serbi pajak di Indonesiaserba serbi pajak di Indonesia
serba serbi pajak di IndonesiaJulham Efendi
 
Politik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikPolitik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikBiati Ardiansyah
 
Tugas Ekonomi annez fathia Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi annez fathia  Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...Tugas Ekonomi annez fathia  Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi annez fathia Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...Annez Fathia
 
Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...dhanny deswita
 

Similar to Pajak Pertambangan dan Migas (20)

Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
 
Modul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdf
Modul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdfModul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdf
Modul Pengantar Perpajakan - Rudi Ginting.pdf
 
Hukum Pajak 10.pptx
Hukum Pajak 10.pptxHukum Pajak 10.pptx
Hukum Pajak 10.pptx
 
perpajakan_1.pptx
perpajakan_1.pptxperpajakan_1.pptx
perpajakan_1.pptx
 
INISIASI Pajak.pptx
INISIASI Pajak.pptxINISIASI Pajak.pptx
INISIASI Pajak.pptx
 
PENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANG
PENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANGPENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANG
PENAGIHAN PAJAK BY JON P SIHOTANG
 
PPT Perpajakan [TM1].pdf
PPT Perpajakan [TM1].pdfPPT Perpajakan [TM1].pdf
PPT Perpajakan [TM1].pdf
 
Pajak & pengaruhnya terhadap perekonomian
Pajak & pengaruhnya terhadap perekonomianPajak & pengaruhnya terhadap perekonomian
Pajak & pengaruhnya terhadap perekonomian
 
Suherman saleh
Suherman salehSuherman saleh
Suherman saleh
 
Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...
Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...
Makalah seminar akuntansi dan perpajakan tax planning alternatif manajemen da...
 
Kesadaran dan Kepatuhan Kewajiban Perpajakan
Kesadaran dan Kepatuhan Kewajiban PerpajakanKesadaran dan Kepatuhan Kewajiban Perpajakan
Kesadaran dan Kepatuhan Kewajiban Perpajakan
 
Adm perpajakan
Adm perpajakanAdm perpajakan
Adm perpajakan
 
perpajakan
perpajakanperpajakan
perpajakan
 
Adm perpajakan
Adm perpajakanAdm perpajakan
Adm perpajakan
 
Pertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.ppt
Pertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.pptPertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.ppt
Pertemuan_7_Stelsel_Pemungutan_Pajak.ppt
 
Tinjauan Pustaka Penelitian
Tinjauan Pustaka PenelitianTinjauan Pustaka Penelitian
Tinjauan Pustaka Penelitian
 
serba serbi pajak di Indonesia
serba serbi pajak di Indonesiaserba serbi pajak di Indonesia
serba serbi pajak di Indonesia
 
Politik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikPolitik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publik
 
Tugas Ekonomi annez fathia Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi annez fathia  Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...Tugas Ekonomi annez fathia  Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi annez fathia Ranti pusriana S.Pd perpajakan indonesia SMAN 12 ...
 
Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...
Tugas Ekonomi, Dhanny Deswita Maheswari, Ranti Pusriana, Perpajakan, SMAN 12 ...
 

Recently uploaded

LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfLAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfChrodtianTian
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxalalfardilah
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxErikaPuspita10
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaNadia Putri Ayu
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfmaulanayazid
 
Model Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsModel Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsAdePutraTunggali
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023DodiSetiawan46
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).pptModul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).pptYanseBetnaArte
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptpolinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptGirl38
 

Recently uploaded (20)

LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfLAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
 
Model Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsModel Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public Relations
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).pptModul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptpolinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
 

Pajak Pertambangan dan Migas

  • 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Belajar tentang pajak dianggap rumit oleh kebanyakan orang. Hal ini disebabkan oleh jumlah peraturan perpajakan yang cukup banyak. Belajar pajak memerlukan pemahaman secara garis besar tentang pajak sebelum belajar mengenai detil-detil perpajakan. Pemahaman perpajakanan secara garis besar diharapkan dapat membantu menghadapi sebuah permasalahan apabila kita dapat mengetahui pada posisi mana sebenarnya masalah perpajakan tersebut berada. Dasar hukum paling utama bagi berlakunya pajak di Indonesia adalah Pasal 23A UUD 1945 (Amandemen IV) yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang’. Itu berarti semua peraturan perpajakan haruslah menunjuk pada suatu undang-undang termasuk perangkat hukum di bawahnya sepanjang terdapat pelimpahan dari undang-undang yang mengaturnya. B. Tujuan penulisan Makalah ini bertujuan membahas tentang beberapa hal diantaranya sebagai berikut: 1. Pengertian self assessment, tax compliance ( kepatuhan pajak ) dan perlawanan terhadap pajak. 2. Aspek perpajakan dalam kegiatan pertambangan dan migas. 3. Aspek perpajakan dalam transaksi khusus.
  • 2. BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Perpajakan Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1. Dari rakyat kepada Negara 2. Iuran Berdasarkan undang-undang 3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. B. Fungsi Pajak Ada dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaranya. 2. Fungsi mengatur(regulered) Pajak sebagai alat untuk mengatur untuk melaksanakan kebijaksaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. C. Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi: 1. Official Assessment System Adalah suatu system pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus-pegawai pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus;
  • 3. b. Wajib Pajak bersifat pasif; c. Utang pajak timbul setelah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab, kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang dan harus dibayar. 3. Withholding Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain ini, nanti bisa menjadi kredit pajak atau merupakan pelunasan atas pajak terutang. D. Tax compliance ( Kepatuhan pajak ) Menurut Norman D. Nowak (Moh. Zain: 2004), Kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengertian yaitu: “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana: 1.Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. 2.Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas 3.Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar 4.Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.” Menurut Erard dan Feinstein yang di kutip oleh Chaizi Nasucha dan di kemukakan kembali oleh Siti Kurnia (2006:111) pengertian kepatuhan wajib pajak adalah rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
  • 4. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000. kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari: “Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir; tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir; dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%;wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal”. Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, pengertian kepatuhan wajib pajak adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. E. Hambatan pemungutan pajak Sudah menjadi kewajiban masyarakat di bidang perpajakan, yaitu membayar pajak dengan benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun dalam kenyataannya banyak hambatan yang dihadapi, yaitu perlawanan terhadap pajak yang dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Perlawanan Pasif Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hanbatan yang mempersulit pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan sistem pemungutan pajak itu sendiri. Walaupun perlawanan pajak ini tidak secara nyata dari masyarakat, namun akibatnya masyarakat tidak mau membayar pajak. 2. Perlawanan aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap focus dan bertujuan untuk menghindari pajak. Usaha tersebut dapat berupa pengelakan atau penyelundupan pajak, pembuatan faktur pajak fiktif, memanipulasi data, melalaikan pajak,dan sebagainya. Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu: Penghindaran Pajak (Tax Avoidance), Pengelakan Pajak (Tax Evation), Melalaikan Pajak.
  • 5. a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang- undang. Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:  Menahan Diri Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh: • Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau • Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.  Pindah Lokasi Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.  Penghindaran Pajak Secara Yuridis Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: 1. Penetapan pajak khusus untuk tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan pengusaha jadi berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka mengubah status tempat dansa umum tersebut menjadi tempat dansa khusus anggota
  • 6. yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan demikian, mereka terbebas dari pengenaan pajak untuk tempat dansa umum. 2. Di Belanda dan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan terdepan khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan menulis review tentang film tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini dianggap iklan gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik bioskop menghindari pengenaan pajak ini dengan cara mengenakan tarif masuk yang sangat murah khusus untuk wartawan. Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang- undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkuarang. b. Pengelakan Pajak (Tax Evasion) Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll). Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan asumsi negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak mudah disuap). - Wajib Pajak Besar Wajib pajak besar memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak (Tax Avoidance). Karena: • Perusahaan besar memiliki biro-biro hukum atau tim lawyer yang tangguh yang mampu mencari celah dalam undang-undang pajak.
  • 7. • Pembukuan dilakukan oleh banyak orang sehingga risiko terjadinya kebocoran juga besar. • Jika wajib pajak besar ingin melakukan pengelakan pajak, mereka harus memperkecil keuntungannya di mata publik. Perusahaan yang labanya kecil, performancenya akan turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini mengakibatkan pamornya turun di depan relasi dagangnya. Sehingga mereka akan kehilangan relasi yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan pengurangan tarif pajak. - Wajib Pajak Kecil Wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation). Karena: • Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak. • Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya. • Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi. c. Melalaikan Pajak Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar. Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara menghalangi penyitaan. 1. Jika wajib pajak telah menerima SKP, maka dia harus membayar pajak sesuai dengan SKP tersebut. 2. Jika wajib pajak tidak melakukannya, maka fiscus akan mengirim surat teguran. 3. Jika belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang berlaku. 4. Setelah 2 x 24 jam wajib pajak belum membayar juga, maka diterbitkan surat penyitaan yaitu surat perintah untuk melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu. Wajib pajak akan melakukan usaha untuk menghalangi penyitaan itu dengan cara kasar dan cara halus. Cara kasar: yaitu saat juru sita datang, dilepaskan anjing herder untuk mengusir juru sita tersebut. Ataupun mengancam dengan golok.
  • 8. Cara halus: yaitu dengan cara mengalihkan/memindahtangankan semua harta wajib pajak ke tangan orang lain atau keluarganya secara pura-pura. Untuk memunculkan harta yang tersembunyi ini, maka wajib pajak disandera. Karena melalaikan pajak bukanlah perbuatan pidana, maka jika wajib pajak disandera, biaya makan dan minum ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sandera diberlakukan untuk orang yang berutang, baik utang publik maupun perdata (menurut HIR). Tetapi, ada edaran dari MA bahwa untuk utang perdata, orang yang berutang tidak disandera karena posisi orang yang berutang lebih lemah. Untuk utang pajak termasuk utang publik. Karena itu wajib pajak yang tidak membayar pajak akan disandera. F. Aspek perpajakan dalam kegiatan pertambangan dan migas. Berikut disajikan prinsip-prinsip perpajakan yang berlaku dalam kegiatan hulu migas ; 1.Ring Fence policy Ring Fence Policy adalah kebijakan yang membatasi hak dan kewajiban suatu kontraktor KKS di satu Wilayah Kerja Pertambangan (WKP, tidak bisa dikonsolidasikan ke WKP lainnya yang dimiliki oleh KKKS yang sama. Tujuan dari kebijakan ini adalah agar KKKS yang dimiliki oleh satu perusahaan induk dan beroperasi di beberapa wilayah kerja tidak dapat melakukan konsolidasi biaya dari beberapa wilayah kerja tersebut, baik untuk tujuan cost recovery maupun untuk tujuan perhitungan PPh Badan (Tax Consolidation). Sesuai dengan prinsip ini, maka setiap WKP harus diusahakan oleh satu entity, dan setiap entity, baik operator maupun silent partner, yang mempunyai penyertaan di suatu WKP, wajib memiliki NPWP sendiri. Dalm hal Wajib pajak mengelola beberapa WKP, maka WP tersebut harus membentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap WKP, dan wajib memiliki NPWP sendiri untuk tiap-tiap WKP. 2. Uniformity Principle Yaitu cost of oil harus sama dengan cost of tax, artinya bahwa biaya-biaya operasi yang boleh dibebankan (Cost Recoverable) menurut KKKS harus sama dengan biaya-biaya yang boleh dibebankan menurut UU PPh (Tax Deductible). Dengan demikian penghasilan untuk kepentingan penghitungan KKKS sama dengan penghasilan untuk kepentingan penghitungan pajak. Azas ini mengharuskan penghitungan PPh yang terutang oleh KKKS mengikuti ketentuan yang tertuang dala UU PPh, sehingga terdapat keseragaman dengan WP Non Migas lainnya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. 3. Kompensasi Kerugian UU PPh menyatakan bahwa kerugian dalam satu tahun pajak dapat dikompensasikan selama
  • 9. 5 (lima) tahun berturut-turut. Pembatasan jangka waktu kerugian yang dapat dikompensasikan tidak dikenal dalam bidang usaha hulu migas ini. Atas biaya operasi yang belum di recovery pada tahun-tahun sebelumnya, diizinkan untuk dilakukan pada setiap tahun berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.  Ketentuan Umum Dua komponen utama penerimaan migas berasal dari penerimaan bagi hasil migas dan penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas atau pajak migas. Keduanya sangat tergantug kepada besaran nilai produksi migas yang dapat dibagi (equity to be split). Dengan asumsi besarnya produksi kotor (lifting) sudah benar, maka besar kecilnya equity to split tergantung pada besar kecilnya biaya yang dapat dikembalikan (cost recovery). Karena itu, titik kritis penerimaan negara sektor migas sebenarnya ada pada jenis dan jumlah biaya-biaya pembentuk cost recovery. 1.PPh Badan untuk Industri Migas Sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 UU Migas bahwa penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu adalah pajak-pajak dan PNBP. Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kontraktor dapat memilih apakah kewajiban membayar pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku saat kontrak ditandatangani atau sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Pada prinsipnya PSC harus membayar PPh Badan dan pajak final atas laba setelah pajak (Branch Profit Tax/BPT). Dari tabel di atas dapat diketahui besaran tarif pajak efektif (setelah menggabungkan tarif PPh Badan dan BPT) untuk masing-masing generasi PSC. Dari tabel tersebut di atas juga dapat diketahui bahwa sebelum pemberlakuan UU Migas, bagi hasil setelah pajak antara pemerintah dan kontraktor yaitu 85/15 dan 65/35, namun dengan pemberlakuan UU Migas maka bagi hasil untuk masing-masing PSC bersifat unik dan tergantung dari hasil negosiasi antara kedua belah pihak. Dari tahun 1960-1970, kontraktor akan mendapatkan bagiannya dalam basis netto yang berarti bahwa pembayaran pajaknya dilakukan oleh Pertamina sebagai regulator waktu itu atas nama kontraktor. Namun semenjak 1970 metode ini berubah menjadi basis bruto yang berarti bahwa kontraktorlah yang melakukan pembayaran pajak kepada negara sehingga penghitungan penghasilan kena pajak menjadi sangat diperlukan.  Perlakuan Biaya Berkaitan dengan perubahan metode netto menjadi metode bruto maka dalam menghitung penghasilan kena pajak Indonesia menggunakan asas yang disebut dengan “uniformity principle”. Prinsip ini menyatakan bahwa biaya-biaya yang boleh dipulihkan (cost recovery) menurut
  • 10. kontrak PSC harus sama dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductable) menurut UU PPh. Pengecualian dari asas ini adalah pembayaran signature bonus, education bonus, dan crude oil production bonus oleh kontraktor kepada pemerintah. Pembayaran bonus-bonus ini bersifat dapat dikurangkan (deductable) dalam penghitungan penghasilan kena pajak namun tidak boleh dimasukkan dalam penghitungan cost recovery. Pada prinsipnya dalam menghitung penghasilan kena pajak, penentuan biaya-biaya yang dapat dikurangkan tetap menggunakan prinsip-prinsip yang dijelaskan pada pasal 6 ayat (1) UU PPh sebagaimana disebutkan dalam KMK Nomor 458/KMK.012/1984. Dalam KMK ini juga dijelaskan definisi penghasilan bruto adalah nilai uang yang direalisir Kontraktor dari produksi bagiannya yang terjual. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa penghasilan bruto kontraktor berasal dari bagiannya berupa minyak yang berasal dari FTP dan Equity to be split (lebih jelas dapat dilihat pada ilustrasi soal di bagian terakhir).  Perlakuan Sumbangan Perlakuan atas sumbangan yang dilakukan kontraktor merujuk pada S-1111/MK/1985, yang menyebutkan bahwa perlakuan sumbangan sesuai dengan prinsip umum dalam UU PPh yang bersifat non deductable. Namun disebutkan pula, supaya dapat dikurangkan maka sumbangan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk investasi sehingga dapat dibebankan melalui mekanisme penyusutan dan setelah disusutkan sepenuhnya maka dapat dihibahkan.  Perlakuan Biaya Pra Produksi Perlakuan atas biaya pra produksi merujuk pada S-316/MK.012/1986 yang menegaskan bahwa biaya yang menjadi beban dalam masa praproduksi (preproduction cost) sampai saat dimulainya produksi komersial dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. G. Aspek perpajakan dalam transaksi khusus  INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Sejarah perbankan syariah pertama kali muncul di mesir pada tahun 1963. Sedangkan di Indonesia sendiri perbankan syariah baru lahir pada tahun 1991 dan secara resmi dioperasikan tahun 1992. Berbagai prinsip perbankan syariah telah diterapkan dengan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai
  • 11. dengan syariah. Adapun jenis produk atau jasa perbankan syariah adalah jasa untuk peminjam dana dan jasa untuk penyimpan dana. - Prinsip Perbankan Syariah Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain : • Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan. • Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana. • Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik. • Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi. • Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah. - Produk Perbankan Syariah Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:  Jasa untuk peminjam dana • Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan. • Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio
  • 12. ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan • Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. • Takaful (asuransi islam)  Jasa untuk penyimpan dana • Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. • Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu. - Aspek syariah dalam UU PPN Setelah UU Nomor 36 Tahun 2008 memberikan penegasan khusus tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi yang bermbasiskan syariah, kini giliran UU Nomor 42 Tahun 2009 juga memberikan ruang khusus untuk menegaskan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi bermbasiskan syariah. Dalam kedua Undang-undang ini, semangat yang diusung adalah sama, yaitu memberikan persamaan perlakuan antara transaksi konvensional dan transaksi yang berbasiskan syariah. Equal treatment ini memang sudah selayaknya dilakukan agar tidak terjadi pembebanan pajak yang berbeda dalam suatu industri yang sama. Ketentuan tentang transaksi berbasiskan syariah dalam UU PPN yang baru diatur dalam dua tempat, yaitu :
  • 13. 1. Pasal 1A ayat (1) huruf h, di mana dalam bagian ini dijelaskan bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak. 2. Penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf d. Bagian ini menjelaskan bahwa jasa keuangan adalah salah satu jasa yang tidak dikenai (atau dikenakan) PPN. Nah, termasuk dalam jasa keuangan ini adalah jasa pembiayaan termasuk pembiayaan syariah berupa sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease), anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit dan/atau pembiayaan konsumen.  Transaksi derivatif Berdasarkan PP No.17 / 2009 tersebut yang dimaksud dengan transaksi derivatif dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 adalah : “ transaksi yang didasari pada kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan maupun tanpa pergerakan dana atau instrumen.” - Pelaksanaan Dalam pasal 4 dari PP No 17 / 2009 tersebut dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). PP No 17 / 2009 sendiri mengatur adanya PPh sebesar 2,5 % (dua koma lima persen) dari margin awal dan lembaga kliring bertindak sebagai pemungut, penyetor dan pelapor dari PPh tersebut. Konsep Dasar dan Aspek Pajak Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Analisa mengenai ketentuan perpajakan atas penghasilan yang didapat dari transaksi instrumen derivatif akan diuraikan sebagai berikut : 1. Penghasilan Usaha Defenisi penghasilan usaha tidak dijelaskan dalam undang-undang pajak penghasilan. Pembedaan antara penghasilan usaha dan penghasilan lainnya sangat penting dan dibutuhkan untuk menentukan jenis penghasilan sesuai dengan penerapan undang-undang domestik maupun tax-treaty yang bersangkutan. Apabila di dalam penghasilan usaha termasuk penghasilan yang didapat dari transaksi instrumen keuangan derivatif, maka semua biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan transaksi
  • 14. instrumen keuangan derivative diperkenankan untuk mengurangi penghasilan usaha (Perkasa 2004,108). 2. Bunga Defenisi mengenai “premium” yang dapat dikatagorikan sebagai bunga harus diberi defenisi dan penjelasan yang lebih rinci sehingga terdapat kejelasan dalam perlakuan pajak atas premium yang tidak dapat digolongkan sebagai bunga (Perkasa 2004,109). 3.Keuntungan Penjualan/Pengalihan Harta (Capital Gain) Penjelasan pasal (4) ayat 1 huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat digunakan untuk penerapan tarif pajak yang berbeda atau untuk pengecekan apabila ada dugaan tax avoidance yang dilakukan oleh wajib pajak. Analisis Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Transaksi Bursa Komoditi Berjangka Beberapa konsep sebagai bahan perbandingan dalam rangka menganalisa model pengenaan pajak penghasilan terhadap transaksi bursa komoditi berjangka: 1. Konsep Perdagangan Transaksi derivatif diperlakukan sebagai transaksi dagang biasa, laba dikenakan pajak penghasilan dan kerugian dapat dikompensasikan baik secara vertikal maupun horizontal. Biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan berkaitan dengan transaksi derivatif dapat di perhitungkan sebagai pengurang pendapatan. 2. Konsep Zero Sum-Game Dengan konsep ini laba dari transaksi derivatif tidak dikenakan pajak penghasilan, begitu pula dengan kerugian dari transaksi derivatif tidak dapat dikompensasikan. Menurut konsep ini, negara secara makro tidak mendapat apa-apa karena wajib pajak yang mendapatkan laba tidak dikenakan pajak, sedangkan wajib pajak yangmendapatkan kerugian tidak dapat mengkompensasikan kerugiannya. Dengan penerapan konsep ini jelas para pelaku bursa dibebaskan dari kewajiban perpajakan khususnya pajak penghasilan, namun pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) tetap bisa dilaksanakan. 3. Konsep Investasi Dengan konsep ini suatu transaksi di bursa komoditi berjangka dianggap sebagai suatu investasi. Sebagai suatu investasi jumlah kerugian yang diakui tentunya tidak boleh melebihi nilai investasinya. Pengenaan pajak penghasilan baik dikategorikan sebagai aktiva lancar maupun sebagai investasi jangka panjang akan diperhitungkan ketika investasi tersebut mengalamai gain atau loss saat realisasi penjualannya. Jadi tidak ada pengakuan keuntungan atau kerugian dari penilaian investasi tidak lancar
  • 15. (investasi jangka panjang) di akhir tahun jika terjadi penurunan atau kenaikan harga pasar sebagaimana yang diperkenankan dalam akuntansi komersial. 4. Konsep Pengenaan Pajak Penghasilan Final (gross final basis/presumptive taxation). Konsep ini paling mudah diterapkan untuk mengatasi kesulitan mengidentifikasikan suatu transaksi bertujuan lindung nilai atau spekulatif. Setiap transaksi di bursa komoditi langsung dikenakan pajak penghasilan final. Pengenaan pajak penghasilan dengan pola ini terkesan yang mudah diterapkan. Tidak disulitkan dengan identifikasi hedging atau bukan dari transaksi yang ada di bursa komoditi berjangka, dan yang jelas semua pelaku baik individual maupun berbentuk badan tidak akan bias menyembunyikan transaksi yang dilakukan di bursa. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa pengenaan pajak penghasilan final ini bisa membuat pasar tidak bergairah, karena semua transaksi baik yang laba maupun rugi dikenakan pajak. Di samping itu pula, bagi para pelaku lindung nilai (hedger) ketentuan ini tentunya dirasa lebih memberatkan karena mereka bertransaksi bener-benar untuk mendapatkan komoditinya, namun dikenakan pajak penghasilan final yang akan menambah beban perusahaan ketika terjadi kerugian. Dengan tidak adanya kalkulasi deductible expense bagi para pelaku transaksi maka rasa keadilan bagi calon wajib pajak menjadi terpenuhi, juga secara akuntansi prinsip pengakuan pendapatan seperti ini tidak sesuai dengan matching principle, dan metode akrual. Bagi perusahaan yang menderita kerugian, pengenaan pajak penghasilan final ini akan menambah beban mereka, namun dalam kondisi normal kerugian ini hanya bersifat jangka pendek (Wijono 2001,63).  NIRLABA a.Kegiatan rumah sakit Sebuah rumah sakit pada umumnya dapat dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Bagi rumah sakit Pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena rumah sakit pemerintah bukan merupakan subyek pajak. Adapun kategori sebagai rumah sakit pemerintah harus memenuhi hal-hal sebagai berikut yaitu : 1. Dibentuk berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, 2. Dibiayai dengan dana yang bersumber APBN dan APBD, 3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran, 4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara Dengan demikian karena RSU/RSUD mendapatkan pembiayaan dari luar APBN/APBD atau tidak seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat dalam APBN/APBD, maka kewajiban menghitung pajak sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan badan swasta lain. - Aspek Perpajakan Rumah Sakit Pemerintah Dan Non Pemerintah
  • 16. a. Kewajiban PPh Pasal 25/29 Seperti kita ketahui bahwa Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah (RSU ataupun RSUD) didanai dari APBN dan APBD, maka rumah sakit tidak memiliki kewajiban PPh terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, rumah sakit pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena bukan subyek pajak beda hal jika rumah sakit swasta sebagaimana objek penulisan kali ini yang tentu saja memiliki kewajiban PPh Pasal 25 dan untuk itulah wajib pajak mengajukan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25. b. Kewajiban PPh Pemotongan dan Pemungutan Sama halnya baik rumah sakit pemerintah maupun swasta memiliki kewajiban sebagai pemungut pajak PPh pasal 21, 23, 26,dan pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan aktivitas pembayaran gaji, honor, jasa, sewa, dll kepada karyawan dan pihak ketiga. Berkaitan dengan transaksi yang berhubungan dengan Pph 21 di rumah sakit disamping pengenaan PPh Pasal 21 atas karyawan non dokter dan dokter, terdapat ketentuan khusus bagi rumah sakit, yaitu : Tenaga dokter berdasar status hubungan kerja digolongkan menjadi: • Dokter yang menjabat sebagai pimpinan rumah sakit, • Doker sebagai pegawai tetap atau honorer rumah sakit, • Dokter tetap yaitu dokter yang mempunyai jadwal praktek tetap tetap bukan sebagai pegawai tetap rumah sakit, • Dokter tamu yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di rumah sakit, • Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit untuk praktek, Sedangkan terkait atas penghasilan yang diterima dokter dan pengenaan PPh nya dapat dibaca dalam tulisan terdahulu yang berjudul Sekilas Tentang Penghasilan Seorang Dokter, dimana penghasilan seorangdokter bersumber dari keuangan rumah sakit atau dari imbalan lain yang diterima oleh para dokter, dan penghasilan yang berasal dari pasien yang diterima oleh para dokter sebagaimana diberikan contoh dalam tulisan tersebut di atas. c. Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai Berkaitan dengan transaksi penyerahan obat kepada pasien, rumah sakit juga berpotensi memiliki kewajiban memungut PPN (pajak pertambahan nilai) dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No: SE-06/PJ.52/ 2000 tanggal 2 Maret 2000 tentang PPN Atas Penggantian Obat Di Rumah Sakit, ditegaskan bahwa instalasi farmasi (kamar obat) merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik alat
  • 17. kesehatan serta bahan kimia yang bukan berdiri sendiri tetapi merupakan satuan organic yang tidak terpisah dari keseluruhan rumah sakit. Selanjutnya ditegaskan bahwa penyerahan obat- obatan yang dilakukan instalasi farmasi (kamar obat) tidak terutang PPN. Dalam kenyataannya instalasi farmasi melayani rumah sakit yang terdiri dari pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan pasien gawat darurat. Mengingat instalasi farmasi rumah sakit melakukan pelayanan kepada pasien rawat jalan sebagaimana lazimnya sebuah apotik, maka atas penyerahan obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien rawat jalan tetap terutang PPN, terkait bagaimana mekanisme pengkreditan karena terdapat yang terutang PPN dan tidak dijelaskan dalam PMK-78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak. - Jenis Jenis Pendapatan Sebuah Rumah Sakit Yang menjadi objek pajak adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh sebuah rumah sakit terdiri dari beberapa sumber, untuk itu penulis mencoba membagi penghasilan yang diperoleh rumah sakit menjadi 2 (dua) jenis penghasilan yang meliputi : a. Penghasilan dari Operasional Pelayanan Pasien Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa, sehubungan dengan kategori penghasilan operasional pelayanan pasien dari sebuah rumah sakit diantaranya: 1. Instalasi Rawat Inap, hal ini meliputi sewa kamar/ruangan di rumah sakit, poliklinik, pusat pelayanan kesehatan, 2. Instalasi Farmasi, hal ini meluputi diantaranya uang pendaftaran untuk pelayanan kesehatan, dan penghasilan dari penjualan obat 3. Instalasi Rawat Jalan, hal ini meliputi Penghasilan dari perawatan kesehatan seperti uang pemeriksaan dokter, operasi, rontgen, scanning, pemeriksaan laboratorium, dll 4. Instalasi Penunjang Medik, meliputi uang pemeriksaan kesehatan termasuk general check up, Senam Hamil dan Pijat Bayi. 5. Instalasi Gawat Darurat. b. Penghasilan dari Operasional Lainnya Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa, sehubungan dengan kategori penghasilan operasional lainnya dari sebuah rumah sakit diantaranya : 1. Pembagian keuntungan dari kerjasama usaha, yang meliputi diskon dari supplier yang dibutuhkan oleh rumah sakit, Telepon. Listrik, Parkir
  • 18. 2. Pemakaian ruangan, yang meliputi penghasilan dari penyewaan alat kesehatan (Sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta) dan lain-lain. 3. Bunga deposito, bunga obligasi, diskontto SBI dan bunga lainnya 4. dan lain-lain b. Yayasan Pendidikan 1. Penghasilan yang Merupakan Obyek PPh : -Uang pendaftaran dan uang pangkal -Uang seleksi penerimaan siswa/mahasiswa/peserta pendidikan -Uang pembangunan gedung/pengadaan prasarana atau pembayaran lainnya dengan nama apapun yang berkaitan dengan keberadaan siswa/mahasiswa/peserta pendidikan. -Uang SPP, uang SKS, uang ujian, uang kursus, uang seminar/lokakarya, dsb. -Penghasilan dari kontrak kerja dalam bidang penelitian, dsb. Penghasilan lainnya yang dikaitkan dengan jasa penyelenggaraan pengajaran/pendidikan/pelatihan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2. Pengurang Penghasilan Bruto ( SE - 39/PJ.4/1995 ) : - Gaji/tunjangan/honorarium pimpinan, dosen, pengajar, karyawan. - Biaya umum, administrasi, alat tulsi menulis kantor - Biaya publikasi/iklan - Biaya kendaraan - Biaya kemahasiswaan - Biaya ujian semester - Biaya sewa gedung dan utilities (listrik, telepon, air) - Biaya laboratorium - Biaya penyelenggaraan asrama - Bunga bank dan biaya-biaya bank lainnya - Biaya pemeliharaan kampus - Biaya penyusutan - Kerugian karena penjualan/pengalihan harta - Biaya penelitian dan pengembangan - Biaya beasiswa dan pelatihan dosen/pengajar/karyawan - Biaya pembelian buku-buku perpustakaan dan alat-alat olah raga dan peraga - Subsidi/beasiswa bagi siswa yang kurang mampu - Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). - Biaya pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari selisih lebih yang diakui sebagai penghasilan. 3. Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan ( KEP - 87/PJ./1995 ) - Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah dana yang akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari sisa lebih (laba neto).
  • 19. - Sisa lebih yaitu selisih lebih antara penghasilan yang merupakan obyek PPh (selain yang dikenakan PPh Final) dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan. - Dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan tentang rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan gedung dan prasarana pendidikan kepada KPP setempat, Yayasan Pendidikan dapat mengakui dana pembanguan gedung dan prasarana pendidikan sebagai penghasilan pada tahun digunakannya (pengenaan PPh-nya ditunda). Dan sebesar dana yang telah digunakan tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun pajak yang bersangkutan. - Tata Cara Pembentukan Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan : - Sisa lebih yayasan setiap tahun yang akan digunakan untuk pembanguan gedung dan prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan. Sisa Lebih XXX Dana Pembangunan Gedung XXX - Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dilakukan dengan mendebit rekening aktiva dan rekening dana pembangunan gedung serta mengkredit rekening kas atau utang dan rekening modal yayasan (penghasilan). Aktiva XXX Dana Pembangunan Gedung XXX Kas atau utang XXX Modal yayasan (penghasilan) XXX - Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut wajib dipergunakan dalam jangka waktu 4 tahun setelah berakhirnya tahun pajak disisihkannya dana tersebut. - Apabila setelah lewat 4 tahun, Yayasan Pendidikan tidak mempergunakan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan di atas, maka dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut harus diakui sebagai penghasilan yang terutang PPh pada tahunn pajak berikutnya setelah masa 4 tahun tersebut terlewati. Di samping itu, terhadap yayasan ini akan dikenai sanksi 2% per bulan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. - Dalam akuntansi fiskal (PPh), atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dana prasarana pendidikan tersebut tidak perlu dibebankan melalui penyusutan, melainkan dibebankan langsung pada saat terjadinya/terutangnya biaya tersebut. - Dalam hal pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut dibiayai dengan pinjaman, maka bunga atas pinjaman tersebut dapat diakui sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto). - Yayasan Pendidikan atau organisasi yang sejenis yang membentuk dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan wajib membuat : - Pencatatan tersendiri atas dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang diterima dan digunakan setiap tahun. - Pernyataan bahwa dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang tidak digunakan pada tahun diterimanya dana tersebut akan digunakan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 4 tahun setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
  • 20. - Laporan mengenai penyediaan dan penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan menyampaikannya kepada Kepala KPP setempat dalam lampiran SPT Tahunan PPh.  APARTEMEN Pajak-pajak yang terkait dengan penjualan properti dari penjual (baik developer maupun penjual properti bekas) kepada pembeli (pemakai langsung dan tidak untuk dijual kembali), paling tidak ada dua jenis: Pajak Penghasilan (PPh) Final dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Apabila properti yang dijual tersebut termasuk properti yang dikategorikan sebagai barang mewah, maka akan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).Pajak Penghasilan yang bersifat final atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan akan dikenakan kepada penjual dari hak tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008, atas penghasilan sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan. Sedangkan pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final sebesar 1% dari nilai pengalihan. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan, kecuali: dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan; dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.PPh Final atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tidak dikenakan terhadap Orang Pribadi yang penghasilannya dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nilai dibawah Rp 60 juta. PPh Final juga tidak dikenakan kepada Orang Pribadi atau Badan yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah semenda dengan cara hibah yang dilakukan oleh Orang Pribadi pun tidak dikenakan PPh Final tersebut. Demikian halnya untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah yang dilakukan baik oleh Orang Pribadi maupun Badan. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan pun tidak dikenakan PPh Final ini.PPN atas penjualan properti dikenakan terhadap kegiatan penjualan bangunan baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun jenis-jenis lainnya. PPN terutang pada saat pembayaran uang muka maupun pada saat pelunasan pembelian. PPN akan dikenakan kepada Pembeli, dipungut oleh penjual dengan catatan penjual adalh Pengusaha Kena Pajak. Yang menjadi dasar pengenaan PPN tersebut adalah nilai transaksi sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) maka yang menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut. Penyerahan bangunan tersebut tidak seluruhnya terutang PPN. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan
  • 21. lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah dibebaskan dari pengenaan PPN. Sedangkan untuk pembelian rumah dengan kategori mewah, selain dikenakan PPN, pembeli akan dikenakan juga PPnBM. Kategori produk properti yang dikenakan PPnBM antara lain produk apartemen, town house, rumah mewah, kondominium. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2003, atas penjualan properti-properti tersebut dikenakan tarif sebesar 20%. Mulai 1 Juni 2009, penyerahan bangunan yang terutang PPnBM hanya berdasarkan luas bangunan, yaitu luas bangunan dengan town house non strata title sebesar 350m2 atau lebih sedangkan apartemen, kondominium, town house dengan strata title yang memiliki luas 150m2 atau lebih. PPnBM hanya dikenakan untuk properti yang dijual oleh developer dan properti tersebut memenuhi kriteria tertentu di atas. PPnBM tidak dikenakan terhadap transaksi penjualan properti antar perorangan. • PPN Hampir dapat dipastikan semua transaksi apartemen baru dikenakan PPN, karena hanya properti seharga Rp42 juta ke bawah yang dibebaskan dari PPN. Nilai PPN 10 persen dari harga jual. Jadi, kalau apartemen Rp100 juta, PPN yang harus dibayar 10% x Rp100 juta = Rp10 juta. PPN biasanya dibayarkan melalui developer, termasuk pelaporannya, dilakukan oleh developer. • BPHTB Bea ini dikenakan terhadap semua transaksi apartemen baik baru maupun lama yang dibeli dari developer atau perorangan. Besarnya 5 persen dari nilai transaksi setelah dikurangi nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP). Di Jakarta NJOPTKP ditetapkan pemerintah provinsi sebesar Rp60 juta. Jadi, untuk apartemen seharga Rp100 juta, BPHTB yang harus dibayar adalah 5% x (Rp100 juta – Rp60 juta) = Rp2 juta. • AJB, Pertelaan dan BBN Menurut Erwin Kallo, Direktur Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia , AJB, pertelaan dan BBN biasanya dibayar satu paket. Besarnya kurang lebih satu persen. Jadi, bila harga apartemen Rp100 juta, biaya yang harus dirogoh untuk ketiga item itu adalah Rp1 juta. • PPnBM Seperti sudah disinggung di atas, khusus untuk apartemen dengan harga bangunan Rp4 juta ke atas per m2 atau luasnya 150 m2 ke atas diwajibkan membayar PPnBM. Tapi pajak ini hanya dikenakan pada apartemen yang dibeli dari developer. Besarnya 20 persen dari harga jual dibayar saat bertransaksi. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi antarperorangan. • Kewajiban Setelah Membeli Bila sudah membeli apartemen, selain membayar service charge per bulan, setiap tahun pemilik juga wajib membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Biasanya tagihan dilayangkan setiap bulan
  • 22. Maret dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran harus dilakukan paling lambat enam bulan setelah SPPT diterbitkan. Bila sampai batas waktu yang ditetapkan belum dibayar, dikenai denda 2 persen per bulan hingga maksimal 24 bulan. Cara menghitung PBB apartemen: 1. Hitung nilai perbandingan proposional (NPP) unit apartemen atau satuan rumah susun dengan rumus: NPP = (LSn x 100%) / T LSn Keterangan: Sn: Satuan rumah susun (unit apartemen) LSn: Luas unit apartemen T LSn: Total luas unit apartemen 2. Hitung luas bumi (tanah) proposional: NPP x luas tanah bersama 3. Hitung luas bangunan proposional: NPP x total luas bangunan bersama 4. Luas bangunan proposional: total luas bangunan – total luas seluruh unit apartemen dan ruang komersial 5. Hitung NJOP: a. NJOP bumi proposional: luas bumi proposional x NJOP tanah yang ditetapkan kantor pajak setempat b. NJOP bangunan proposional: luas bangunan proposional x NJOP bangunan yang ditetapkan kantor pajak setempat c. NJOP unit apartemen: luas unit apartemen x NJOP bangunan yang ditetapkan kantor pajak setempat. 6. Point a, b dan c kemudian dijumlahkan untuk memperoleh NJOP total 7. Hitung NJOP Kena Pajak (NJOPKP) Rumusnya: NJOP total-NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) 8. NJOPTKP telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp10 juta 9. Menghitung PBB: a. Untuk apartemen yang nilainya di bawah Rp1 miliar rumusnya: 0,5% x 20% x NJOPKP. b. Untuk apartemen yang nilainya Rp1 miliar ke atas rumusnya: 0,5% x 40% x NJOPKP.  JASA KONSTRUKSI Jasa Konstruksi merupakan layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan konstruksi. (PP 140 th 2000) - Pekerjaan konstruksi:
  • 23. Keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal,elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, uantuk mewujudkan suatu bangunan atau benruk fisik lain. (PP 140 th 2000) Ketentuan perpajakan mengenai jasa konstruksi mulai tahun 2001 mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP 140 tahun 2000 dan Kmk No.559/KMK.04/2000 serta Keputusan Dirjen Pajak No Kep-96/PJ./2001. Dalam ketiga peraturan tersebut pengenaan pajak penghasilan atas jasa Menurut sifatnya konstruksi dibedakan menjadi dua, yaitu final dan tidak final. Tergantung dari kualifikasi WP sebagai pengusaha di bidang jasa konstruksi, kecil atau besar. 1. Bersifat Tidak Final PPh atas jasa konsruksi bersifat tidak final dikenakan terhadap WP penerima jasa konstuksi yang : • Tidak termasuk WP dengan kualifikasi usaha kecil termasuk orang perseorangan. • Termasuk pengusaha kecil berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang tetapi nilai pengadaannya lebih besar dari Rp. 1.000.000.000.- (satu miliar rupiah). Atas pembayaran jasa konstruksi yang diterima WP pada saat pembayaran uang muka atau termin dipotong PPh pasal 23 dengan tarif yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No Kep-96/pj./2001 sbb: Jenis Jasa Konstruksi Tarif Jasa perencana konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN Jasa pengawasan konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN Jasa Pelaksanaan konstruksi 2 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN - Kewajiban PPh Pasal 25 Terhadap WP yang termasuk dalam kategori ini juga dikenakan ketentuan PPh Pasal 25 dalam hal pemberi penghasilan adalah bukan Badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang ditunjuk oleh DJP sebagai pemotong pajak. Untuk masa tahun pajak 2001, mulai tanggal 1 Januari 2001 WP wajib membayar PPh Pasal 25 dengan cara perhitungan 1/12 dari (seperdua belas) dari PPh yang dihitung berdasarkan tarif umum pasal 17 Undang-undang PPh atas penghasilan neto bulan yang bersangkutan
  • 24. setelah disetahunkan. Dengan memperhitungkan pajak yang dipotong dan dipungut oleh pihak lain. Dalam hal ini, angsuran PPh pasal 25 untuk tahun 2001 belum tentu nihil. 2. Bersifat final PPh atas jasa konstruksi bersifat final dikenakan terhadap WP dengan kualifikasi usaha kecil termasuk orang perorangan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp. 1.000.000.000.- (satu miliar rupiah). Atas pembayaran yang diterima pada saat pembayaran uang muka atau termin dipotong PPh yang bersifat final dengan tarif yang diatur dalam PP No 140 Tahun 2000 sbb: Jenis Jasa Konstruksi Tarif Jasa perencana konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN Jasa pengawasan konstruksi 4 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN Jasa Pelaksanaan konstruksi 2 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN - WP menyetor sendiri pph Finalnya Dalam hal pemberi penghasilan adalah bukan Badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang ditunjuk oleh DJP sebagai pemotong pajak. Maka WP menyetor sendiri PPh yang terhutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn. - Rugi Fiskal Kerugian fiskal yang terjadi dari tahun-tahun sebelumnya tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan kena pajak mulai masa pajak Januari 2001 dan seterusnya.  PEMBIAYAAN ATAU LEASING Dalam bahasa Indonesia, leasing diartikan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU). Leasing merupakan salah satu jenis jasa pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan barang modal bagi perusahaan yang membutuhkan barang modal tersebut. 1. Pajak Penghasilan (PPh) Berdasarkan Undang-undang no 17 tahun 2000 dan surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 Pasal 16 ayat 2 menyatakan: “Lessee tidak memotong pajak penghasilan pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi”. Dalam pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa angsuran-angsuran atau pembayaran yang diterima lessor dari lessee untuk jenis transaksi finance lease tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
  • 25. Pasal 17 ayat 2 menyatakan: * Pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. * Lessee wajib memotong pajak penghasilan pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor. Pasal 17 ayat 2a mengatur tentang perlakuan pembayaran leasing oleh lessee. Di sini dijelaskan bahwa pembayaran leasing dari lessee kepada lessor untuk transaksi operational lease diperlukan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 karena menurut pajak diperlakukan sebagi sewa-menyewa biasa. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) A. Perlakuan PPN atas transaksi capital lease: 1. Berdasarkan ketentuan pasal 13 Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 1994 huruf d dan e, Pengumuman Direktur Jenderal Pajak No. Peng- 139/PJ.63/1989 dan Pasal 1 angka 4 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep05/PJ/1994, penyerahan jasa dalam transaksi capital lease dari lessor kepada lessee adalah penyerahan jasa yang terutang PPN, karena lessor sebagai perusahaan jasa persewaan barang dengan demikian adalah pengusaha kena pajak. 2. Pengalihan barang dalam transaksi operating lease bukan merupakan penyerahan barang kena pajak karena pengalihan barang tersebut adalah dalam rangka persewaan biasa. 3. Besarnya PPN yang terutang adalah 10% dari Nilai Penggantian. 4. PPN sebagaimana dimaksud dalam angka 3) merupakan PPN Keluaran bagi lessor dan merupakan PPN Masukan bagi lessee dalam hal lessee adalah Pengusaha Kena Pajak. PPN yang dibayar atas perolehan barang kena pajak (BKP) yang dilease merupakan PPN Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan PPN Pajak Keluaran lessor. B. Dalam hal transaksi sale and lease back tanpa hak opsi, PPN masukan atas perolehan barang tidak boleh dikreditkan oleh lessee. Dalam hal lessee kemudian melease kembali barang tersebut, maka lessor harus mengenakan PPN yang terutang atas jasa persewaan barang yang dilakukan. Lease : Suatu kontrak sewa atas penggunaan harta untuk suatu periode tertentu dengan sewa tertentu. Lessee : Pemakai aktiva yang akan di lease. Perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak perusahaan leasing. Lessor: Pemilik dari aktiva yang akan di lease. Lease term: Jangka waktu lease yang tetap dan tidak dapat dibatalkan, termasuk: a. Periode yang mencakup hak opsi untuk memperbarui kontrak leasing.
  • 26. b. Periode yang mencakup digunakannya hak opsi untuk membeli aktiva yang dilease. c. Periode dimana lessor mempunyai hak untuk memperbarui atau memperpanjang masa lease. d. Periode dimana denda dikenakan bagi lessee atas kegagalannya untuk memperbarui lease dan jumlah denda tersebut dijamin pada permulaan lease. e. Periode yang mencakup hak opsi pembaruan yang biasa yaitu diberikan jaminan oleh lessee atas utang lessor yang mungkin terjadi.  REVALUASI AKTIFA TETAP PPh Final atas Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap 1. Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 384/KMK.04/1998 Jo SE - 29/PJ.42/1998 2. Wajib pajak yang diperkenankan untuk melakukan revaluasi aktiva tetap adalah wajib pajak dalam negeri yang mempunyai aktiva tetap yang terletak/berada di Indonesia, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya (PPh, PPN, PPnBM, dan PBB) sampai dengan masa pajak terakhir sebelum revaluasi. 3. Aktiva tetap yang dapat direvaluasi meliputi ; tanah, bangunan, dan bukan bangunan, dengan syarat tidak dimaksudkan untuk dialihkan. 4. Revaluasi dapat dilakukan baik terhadap keseluruhan aktiva tetap maupun sebagian aktiva tetap yang dimiliki. Penilaian didasarkan pada nilai pasar wajar pada saat penilaian yang dilakukan oleh lembaga penilai yang diakui Pemerintah. 5. Apabila nilai pasar/nilai wajar yang ditetapkan oleh Lembaga Penilai ternyata tidak mencerminkan keadaaan yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak dapat menetapkan kembali nilai pasar/nilai wajar aktiva yang bersangkutan. 6. Selisih lebih antara nilai pasar/nilai wajar dengan nilai sisa buku fiskal aktiva tetap yang dinilai kembali, harus dikompensasikan terlebih dahulu dengan rugi fiskal tahun berjalan dan sisa rugi fiskal tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan. 7. PPh Final yang terutang = 10% x (Selisih antara nilai pasar dengan nilai sisa buku fiskal aktiva tetap - Kompensasi kerugian yang masih diperkenankan). 8. Dalam rangka restrukturisasi usaha PPh Final tersebut dapat dibayar secara cicilan dalam jangka waktu 5 tahun (tiap tahun minimal 20% dari PPh yang terutang, kecuali pelunasan terakhir). 9. Aktiva yang direvaluasi tersebut tidak diperkenankan dialihkan dalam jangka waktu 5 tahun, kecuali : - Dialihkan kepada Pemerintah. - Dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha bagi wajib pajak yang diperkenankan melakukan penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha berdasarkan nilai buku - Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998 Jo 469/KMK.04/1998 8. Apabila aktiva tetap yang telah direvaluasi tersebut dialihkan sebelum lewat 5 tahun, wajib pajak yang bersangkutan wajib menyetor tambahan PPh Final sebesar = 15% x (Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap - Kompensasi Kerugian yang masih diperkenankan). Bagaimana ketentuan revaluasi berdasakan 486/KMK.03/2002 Jo KEP - 519/PJ./2002 ?
  • 27. Ketentuan revaluasi berdasarkan 486/KMK.03/2002 Jo KEP - 519/PJ./2002 1. Wajib pajak yang kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi secara sekaligus PPh final yang terutang, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan. 2. Apabila PPh yang terutang lebih dari Rp 2.000.000.000.000,- (dua triliun rupiah), wajib pajak yang tidak dapat melunasi hutang pajaknya dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran lebih dari 1 (satu) tahun hingga paling lama 5 (lima) tahun. 3. Besarnya angsuran ditetapkan sbb : - > Rp 2.000.000.000.000,- s.d. Rp 4.000.000.000.000,- = masa angsuran 2 (dua) tahun - > Rp 4.000.000.000.000,- s.d. Rp 6.000.000.000.000,- = masa angsuran 3 (tiga) tahun - > Rp 6.000.000.000.000,- s.d. Rp 8.000.000.000.000,- = masa angsuran 4 (empat) tahun - > Rp 8.000.000.000.000,- = masa angsuran 5 (lima) tahun Bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan revaluasi Aktiva Tetap untuk Perpajakan (KEP - 519/PJ./2002) Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Revaluasi Aktiva Tetap Untuk Perpajakan (KEP - 519/PJ./2002) 1. Wajib pajak mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil yang membawahi KPP tempat wajib pajak terdaftar (KPP domisili), selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pelaksanaan revaluasi, dengan melampirkan : a. Fotokopi surat ijin usaha jasa penilai yang dilegalisir oleh Instansi Pemerintah yang berwenang; b.Laporan penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli penilai profesional yang diakui pemerintah; c. Daftar revaluasi aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan; d.laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum revaluasi aktiva tetap yang telah diaudit akuntan publik; e. Surat keterangan tidak memiliki tunggakan pajak dari kepala KPP tempat wajib pajak terdaftar 2. Apabila permohonan wajib pajak telah memenuhi persyaratan, maka Kepala kanwil wajib menerbitkan Keputusan Persetujuan Dirjen Pajak paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan wajib pajak. 3. Keputusan Penolakan akan diterbitkan Kepala Kanwil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan wajib pajak, apabila wajib pajak tidak memenuhi persyaratan formal maupun material. 4. Permohonan wajib pajak dianggap diterima apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kepala Kanwil tidak memberikan keputusan.  E-COMMERCE E-commerce adalah perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen melalui sistem elektronik. Ada dua jenis e-commerce. Yang pertama adalah front-end e-commerce, yaitu transaksi melalui e- commerce antara pengusaha (baik pribadi maupun badan hukum) dengan konsumen. Jenis lainnya adalah back-end e-commerce, yaitu transaksi antara para pengusaha menyangkut transaksi informasi internal dengan masing-masing pengusaha atau antara para pelaku usaha menyangkut pertukaran data komersial.
  • 28. Kegiatan usaha e-commerce dapat dilakukan melalui apa yang disebut "Application Service Provider (ASP) yang biasanya menjadi sarana utama bagi pelaku usaha di bidang ini. ASP menyediakan disk space untuk disewa pengusaha untuk menawarkan produksinya. Disk space tersebut tidak dapat dipergunakan tanpa dilengkapi dengan program tertentu (dalam bentuk software) sehingga space tersebut menjadi website. Pemilik ASP biasanya menyewakan space yang dimilikinya kepada perusahaan-perusahaan yang selanjutnya akan menggunakannya sebagai website-nya. Perusahaan yang menyewa space dimaksud kemudian mengisinya dengan perangkat lunak yang dapat diakses oleh para calon pembeli. Dari website tersebut maka perusahaan dimaksud menawarkan barang produksinya. Perlakuan pajak penghasilan terhadap transaksi bisnis tersebut akan dibahas dibawah ini dengan mengambil asumsi pertama bahwa ASP dimaksud berada di Indonesia. - Perlakuan PPh Agar lebih menyederhanakan analisis untuk tahap ini diberikan asumsi bahwa server yang disebutkan diatas tidak mempunyai back-up servers sehingga server tersebut merupakan satu- satunya server yang menjadi objek analisis. Server dimiliki oleh wajb pajak Indonesia. Bagi wajib pajak dalam negeri yang mempunyai server yang berlokasi di dalam negeri dan menyewakannya kepada wajib pajak lainnya, penghasilan yang diperolehnya dari kegiatan tersebut adalah penghasilan atas sewa dari space yang bersangkutan. Dari sudut pandang penyewa, apakah penyewa tersebut wajib memotong sewa yang dibayarkannya. Pemotongan PPh dalam Undang-undang Pajak Penghasilan yang menyangkut pembayaran kepada wajib pajak dalam negeri, diatur di beberapa pasal yaitu pasal 4 ayat (2), pasal 22, dan pasal 23. Ketentuan yang paling dekat dengan kasus di atas adalah pasal 23, karena cakupan dari pasal tersebut meliputi dividen; bunga; royalty; hadiah atau penghargaan; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan. Apabila disimak cakupan PPh Pasal 23 tersebut maka yang paling mendekati adalah sewa sehubungan dengan penggunan harta. Ketentuan Pasal 23 yang menyangkut penghasilan dari penggunaan harta tidak terlalu jelas ruang lingkupnya. Apabila pengertian "harta" diberi interpretasi yang luas maka mencakup harta berwujud dan harta tak berwujud. Yang pasti adalah bahwa suatu website bukan merupakan harta berwujud, sehingga apabila pengertian "harta" diberi arti yang luas maka penyewaan "website" akan dicakup dalam ketentuan Pasal 23 dimaksud. Pasal 23 mensyaratkan bahwa dalam hal yang membayar adalah orang pribadi maka orang tersebut harus ditunjuk sebagai pemotong.
  • 29. Dengan demikian apabila penyewa website adalah orang pribadi pembayaran yang dilakukan kepada pemilik ISP tidak perlu memotong sepanjang yang bersangkutan tidak ditunjuk sebagai pemotong. Sebagaimana telah disinggung di muka, agar supaya website menjadi aktif dan dapat dipergunakan diperlukan perangkat lunak yang sepsifikasinya tergantung kepada pemiliknya sesuai dengan kebutuhannya. Perangkat lunak ini diperlukan baik oleh pemilik ISP maupun penyewanya. Untuk keperluan tersebut baik pemilik ISP maupun penyewa website akan meminta seorang programmer untuk membuat program (perangkat lunak) sesuai dengan kebutuhannya. Transaksi tersebut akan menimbulkan implikasi pajak terutama masalah pemotongan PPh. Dengan perkataan lain, apakah pembayaran atas perangkat lunak tersebut merupakan objek pemotongan. Hal ini ditentukan masuk jenis penghasilan apa pembayaran dimaksud. Hanya ada dua jenis penghasilan yang paling mendekati yaitu royalti atau jasa. Definisi "royalti" berdasarkan Undang-undang PPh [penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h] adalah imbalan sehubungan sengan penggunaan: hak atas harta tak berwujud, hak atas harta berwujud, dan Informasi. Pada dasarnya "royalti" adalah imbalan sebagai pengganti penggunaan atas hak, sehingga kepemilikan hak tersebut tetap pada penemunya/pemilik. Bila dibandingkan dengan kasus perangkat lunak dalam kaitannya dengan website, perangkat lunaknya sudah berpindah tangan kepada yang membelinya. Atas dasar pertimbangan ini maka pembayaran atas perangkat lunak tersebut masuk dalam kategori "jasa", yang berdasarkan ketentuan Pasal 23 masuk dalam kelompok jasa teknik, yang dasar pemotongannya adalah penghasilan neto. a. Implikasi pajak bagi perusahaan yang berdomisili di dalam negeri. Implikasi pajak yang agak rumit dari kegiatan usaha dengan e-commerce juga timbul dalam hal penyewa atas space di ISP (penyedia jasa Internet) adalah perusahaan yang berdomisili di luar negeri. Pertama-tama adalah apakah dengan hadirnya perusahaan luar negeri melalui suatu situs web, perusahaan tersebut dapat dianggap mempunyai "bentuk usaha tetap" di Indonesia. Definisi "bentuk usaha tetap" diatur di Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh, yang berdasarkan rinciannya memberikan indikasi bahwa keberadaan di Indonesia melalui harta berwujud, disamping kegiatan pemberian jasa di Indonesia. Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar negeri melakukan kegiatan usaha melalui website, sesuai dengan definisi, kegiatan ini tidak menimbulkan "bentuk usaha tetap". Hal yang sama juga dapat dikatakan bila perusahaan luar negeri tersebut adalah perusahaan yang berdomisili di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia.
  • 30. Namun, bila kegiatan dari perusahaan tersebut memberikan jasa melalui website-nya maka pembayaran yang diterima dari Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26, dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut berdomisili di negara-negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia. Server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri. Dalam hal ISP dimiliki oleh perusahaan di luar negeri, masalah utama yang perlu diangkat adalah apakah kehadiran perusahaan tersebut melalui server dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut mempunyai "bentuk usaha tetap" di Indonesia. Sekali lagi dapat dikatakan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan belum mencakup masalah ini, sehingga apabila definisi "bentuk usaha tetap" mencakup ISP maka Pasal 2 ayat (5) perlu diubah dan ditambah. Jika situasi tersebut dikaitkan dengan P3B maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu pertama, dalam UU domestik dari negara-negara yang terlibat mempunyai aturan tersebut, dan kedua, sesuai dengan commentary dari OECD, keberadaan ISP memenuhi ketentuan Pasal 5 dari OECD Model. Pasal 5 dari OECD Model mensyaratkan bahwa peralatan apapun yang digunakan sebagai server, sifatnya harus tetap. Artinya server tersebut harus mempunyai lokasi yang tetap dan pasti. Secara garis besar, semua transaksi dalam kaitannya dengan persiapan untuk mengoperasikan website, dalam hal server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri sama dengan apa yang dikemukakan sebelumnya. Misalkan salah satu dari penyewa website, yaitu wajib pajak luar negeri, menggunakan website-nya untuk menyimpan informasi yang menyangkut industri tertentu, yang kemudian ditawarkan kepada pihak ketiga untuk menjadi pelanggannya (subscriber). Pelanggan tersebut membayar iuran untuk dapat mengakses informasi dimaksud. Impikasi pajak penghasilan dari transaksi tersebut adalah perlakuan pajaknya terhadap pembayaran yang di lakukan oleh pelanggan. Yang prtama-tama dilakukan adalah menentukan masuk dalam kategori penghasilan apa pembayaran tersebut. Dari sudut pandang UU Pajak Penghasilan, pembayaran untuk informasi yang belum diungkapkan ke public atau yang tidak dapat diperoleh melalui sarana yang tersedia di public, masuk dalam kategori "royalti", sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h. Jadi kalau pelanggannya adalah wajib pajak Indonesia maka yang bersangkutan harus memotong PPh Pasal 26, dengan catatan bahwa tarifnya tergantung domisili dari wajib pajak yang menerimanya. Pemotongan PPh pasal 26 ini bisa tidak final jika server tersebut dianggap sebagai "bentuk usaha tetap".
  • 31. Seandainya demikian maka pembayaran untuk informasi tersebut diperlakukan sebagai penghasilan usaha (business income) dari wajib pajak yang menerimanya. Sebaliknya apabila berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan "server" tersebut tidak/belum masuk dalam definisi "bentuk usaha tetap" maka pemotongan PPh Pasal 26 menjadi final. Server berada di luar negeri. Implikasi pajak penghasilan terhadap penghasilan yang bersumber dari Indonesia sebagai akibat dari kegiatan usaha melalui e-commerce yang server- nya berada di luar negeri, mirip dengan apabila server yang berada di Indonesia dimiliki oleh wajib pajak luar negeri. Dalam hal demikian maka ketentuan dari Undang-undang Pajak Penghasilan yang dapat diterapkan adalah Pasal 26, dengan catatan bahwa pembayaran tersebut diterima oleh wajib pajak dari Negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia. Dalam hal demikian, setiap pembayaran yang bersumber dari Indonesia yang membayar, termasuk orang pribadi, harus memotong PPh Pasal 26 sebesar 20%. - Bentuk usaha tetap Apa yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa dalam hal e-commerce melibatkan wajib pajak luar negeri, faktor utama yang memungkinkan Indonesia dapat mengenakan pajak adalah apakah suatu web page dapat menimbulkan "bentuk usaha tetap". Sebagaimana disinggung di atas, web page ini dimasukkan dalam host komputer. Teorinya web page tersebut akan menjadi "bentuk usaha tetap" di negara dimana host komputer-nya berada, dengan catatan (sesuai dengan OECD Model) bahwa computer tersebut tetap berada di satu tempat. Ini sejalan dengan definisi "bentuk usaha tetap" yaitu ..a fixed place of business.... Dari sudut pandang Undang-undang Pajak Penghasilan, ketentuan tersebut tidak atau belum dicakup di ketentuan Pasal 2 ayat (5). Jadi hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam rangka upaya ekstensifikasi. Namun demikian, perlu disadari bahwa bagi pemilik server atau web page sangat mudah memindahkannya ke tempat lain atau Negara lain sehingga tidak terperangkap ke dalam definisi "bentuk usaha tetap". Pemenuhan kewajiban perpajakan. Di samping pendekatan yuridis fiskal, pendekatan dari segi administratif juga perlu dipikirkan. Transaksi melalui e-commerce sulit dilacak tanpa tersedianya data atau informasi yang diperlukan, terutama apabila transaksi tersebut dilakukan melalui server yang berada di luar negeri. Pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama yang menyangkut kewajiban memotong PPh Pasal 26. Hal ini akan sangat tergantung kepada terbentuknya badan pengawas yang bertugas untuk mengawasi lalu lintas komunikasi melalui internet tersebut.
  • 32. Jika badan tersebut telah ada di Indonesia maka informasi yang dapat diberikan oleh badan tersebut akan sangat bermanfaat bagi administrasi perpajakan.  PERLAKUAN PERPAJAKAN PPh PASAL 4 AYAT 2 Adalah pajak atas penghasilan sebagai berikut: 1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 2. Penghasilan berupa hadiah undian; 3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan 5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. - Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) 1. Koperasi; 2. Penyelenggara kegiatan; 3. Otoritas bursa; dan 4. Bendaharawan; - Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) 1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 2. Penerima hadiah undian; 3. Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan 4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan; Lain-Lain 1. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final; 2. Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat dikreditkan; 3. Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final; KREDIT PAJAK LUAR NEGERI (PPh 24) Pajak penghasilan pasal 24 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, menyatakan:
  • 33. (1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undangundang ini dalam tahun pajak yang sama. (2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini. (3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut: a. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan; b. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada; c. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak; d. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada; e. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan; f. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada; g. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada; dan h. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada. (4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut. (5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan. (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. BAB III
  • 34. PENUTUP A. Kesimpulan Dari semua uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa : • Adanya keterkaitan antara self assessment, Tax compliance dan perlawanan terhadap pajak • Undang-undang dan perlakuan pajak yang mengatur dari kegiatan pertambangan dan migas • Penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi khusus B. Saran Makalah yang berjudul seminar perpajakan ini merupakan karya tulis berdasarkan himpunan material yang di ambil dari berbagai sumber. Oleh karena itu, jika ada kesalahan dalam penulisan dan dalam penyajian bahan penulis sangat mengharpakan kritik dan saran dari para pembaca demi terwujudnya kebenaran yang kita kehendaki semua dan demi kesempurnaan penyelesaian makalah seminar perpajakan ini.