Gerwani mengajak perempuan melek politik dan aktif dalam pendidikan. Ditumpas ketika huru-hara ’65‒’66 bersama dengan satu generasi perempuan intelektual.
1. Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan
Oleh:
Anna Mariana
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG – Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan / 1 Oktober 2015
H a l a m a n
2
|
5
Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan
oleh Anna Mariana
Gerwani mengajak perempuan melek politik dan aktif dalam pendidikan. Ditumpas ketika
huru-hara ’65‒’66 bersama dengan satu generasi perempuan intelektual.
SELAMA ini, 30 September selalu membawa ingatan masyarakat kepada kudeta G30S/PKI.
Mari kita membuka tafsir lain: kudeta itu justru terjadi pada 1 Oktober, ketika Mayor Jenderal
(Mayjend) Soeharto melakukan pukulan balik terhadap gerakan yang masih belum jelas
identitasnya itu.
Bung Karno memopulerkan sebutan Gestok (Gerakan Satu Oktober) untuk menandingi istilah
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), istilah resmi dari Angkatan Darat (AD). Penyebutan
Gestok merujuk kepada hari saat Mayjend Soeharto menolak panggilan Presiden Sukarno ke
Halim Perdanakusuma dan menghalangi Pranoto, orang yang dipilih Presiden sebagai
pengganti pemimpin Angkatan Darat dan mengambil alih seluruh kuasa militer.
Pembangkangan ini adalah awal dari upaya “kudeta merangkak” yang akan dilancarkan
Soeharto.
Dalam versi resmi negara, Gestapu didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal bila
dirunut kronologinya, terjadi keruwetan dalam peristiwa itu. Tidak ada istilah “dalang” dari
kejadian tersebut karena sifatnya yang tidak terpusat dan terkesan “serampangan” (Roosa,
2009). Penculikan jenderal oleh sekelompok perwira muda progresif kemudian dipolitisasi
sedemikian rupa oleh AD dan dijadikan senjata pamungkas untuk memukul PKI. Kudeta pada 1
Oktober yang dilakukan oleh militerlah yang seharusnya menjadi ingatan masyarakat.
Selain penggeseran ingatan dari Gestok ke Gestapu atau G30S/PKI, ada pergeseran ingatan
lain, yakni soal kehancuran gerakan perempuan. Gerakan perempuan, dalam hal ini Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani), dihancurkan oleh kampanye fitnah dari militer yang menuduhnya
terlibat dalam penculikan para jenderal.
Akibatnya fatal. Gerwani sebagai motor penggerak perempuan yang getol menyuarakan
pendidikan soal perjuangan gender dan kesadaran politik ditumpas habis. Inilah upaya calon
rezim Orde Baru memutus berbagai pencapaian gerakan perempuan progresif yang sudah
dihidupi sejak awal abad ke-20.
PERIODE 1950‒1960-an merupakan periode emas gerakan perempuan sesudah proklamasi.
Gerakan perempuan di periode ini berakar pada gerakan perempuan 1920‒1930-an dan awal
abad ke-20. Mereka muncul tidak untuk mengurus persoalan yang masuk dalam “wilayah
perempuan” belaka, tetapi juga masalah politik. Politik tidak dibaca sebagai alat merebut
kekuasaan, tetapi sebagai bentuk kemelekan dan sikap kritis yang tujuannya memajukan
perempuan. Sikap kritis semacam ini dibangun melalui gerakan pendidikan.
3. PINDAI.ORG – Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan / 1 Oktober 2015
H a l a m a n
3
|
5
Salah satu gerakan yang progresif dalam hal pendidikan ialah Gerwani, dulu bernama Gerakan
Wanita Sedar (Gerwis). Organisasi ini mengusung gagasan-gagasan progresif, seperti
pentingnya perempuan memiliki kesadaran hukum dan mengenai keterwakilan perempuan di
parlemen. Hal ini dapat kita telusuri dari arsip-arsip media “corong” Gerwis, salah satunya
Wanita Sedar.
Gerwis sangat “galak” dalam analisis-analisisnya di Pengantar Redaksi, yang merespons kondisi
sosial-politik pada masa itu. Misalnya analisis soal keputusan Konperensi Meja Bundar (KMB)
yang dinilai tidak mencerminkan kedaulatan atau merdeka 100%. Salah satu keputusan KMB
dinilai memberatkan Indonesia, yakni tentang kewajiban pemerintah Indonesia membayar
utang perang kepada Belanda serta adanya keharusan untuk melindungi modal asing (Wanita
Sedar, 15 Oktober 1950). Beban utang ini tidak rasional, mengingat siapa yang menjajah siapa.
Bagi Gerwis, kondisi negara yang terkait dengan berbagai macam urusan politik seperti itu
haruslah dipahami pula oleh perempuan Indonesia agar ruang hidupnya tidak tergilas oleh
kepentingan segelintir elite politik belaka.
Gerwis kemudian berubah menjadi Gerwani seiring meningkatnya aktivitas. Mereka tak lagi
sekadar berkutat dalam wacana. Gerwani merekrut para perempuan desa untuk menjalankan
program Pemberantasan Buta Huruf (PBH), yang sangat diperlukan saat itu, serta
mendampingi para buruh perempuan. Juga mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) gratis
agar buruh-buruh perempuan bekerja dengan tenang. Semua rintisan aktivitas dan pendidikan
kesadaran perempuan tersebut kemudian habis tumpas disapu Gestok.
BUKAN hanya tujuh orang jenderal, ribuan hingga ratusan ribu perempuan yang dituduh
simpatisan PKI turut menjadi korban Gestok. Penyebabnya adalah propaganda bahwa para
perempuan Gerwani menari telanjang, yang disebut “tarian harum bunga”, pada saat
pembunuhan para Jenderal di Lubang Buaya.
Padahal yang terjadi, para perempuan itu ditangkap dan dihajar habis-habisan oleh tentara.
Sebagian dipaksa mengaku telah menyilet-nyilet wajah dan penis para jenderal yang tengah
sekarat (Wieringa, 1999). Propaganda tersebut merupakan upaya militer yang sistemis dan
terencana agar para perempuan kritis ini kembali ke “kodratnya”. Penghancuran yang benar-
benar ampuh untuk melumpuhkan gerakan perempuan menjelang berseminya Orde Baru.
Para perempuan yang difitnah adalah intelektual dan pejuang perempuan. Gestok membuat
satu generasi intelektual perempuan “hilang” lewat penangkapan, pemerkosaan, pemenjaraan
tanpa peradilan, penghilangan paksa, hingga pembunuhan. Bahkan mereka yang bukan anggota
Gerwani turut menjadi korbannya, seperti yang dialami Soekemi (nama samaran). Darinya,
saya mendapat tuturan mengenai salah satu bentuk kekerasan dampak Gestok yang dialami
perempuan (tertuduh) Gerwani.
Soekemi lahir pada 1943 di sebuah desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Bapaknya
bernama Salam, seorang carik (sekretaris) desa. Semasa Perang Dunia II, Soekemi dibawa
keluarganya mengungsi ke desa tetangga karena rumah mereka dibakar tentara Belanda.
Beberapa kali mereka berpindah-pindah, hingga ke desa yang lebih jauh bernama Kali Gintung.
4. PINDAI.ORG – Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan / 1 Oktober 2015
H a l a m a n
4
|
5
Masa itu adalah zaman susah. Makanan sulit diperoleh. Mereka memakan apa saja yang
tersedia di hutan. Saat-saat mengungsi itu baru berakhir di tahun 1950-an.
Di usia 13 tahun, Soekemi bersekolah di sekolah menengah pertama Kanisius di kota
kecamatan. Ketika itu, ia belajar membawakan Tari Bondan, sebuah tarian yang dilakukan
dengan cara menggendong boneka sambil berdiri di atas kendi yang diguling-gulingkan, tanpa
membuatnya pecah.
Bisa menarikan Tari Bondan membuatnya sering diajak guru ke Kota Purworejo untuk
pertunjukan. Soekemi menari di acara perkawinan atau rapat terbuka partai, baik PKI, Partai
Nasional Indonesia (PNI), Partai Nahdlatul Ulama, dan sebagainya. Kadang ia menari saat
pembukaan pertunjukan wayang.
Selain menari, Soekemi juga mengajar di TK Melati yang didirikan Gerwani. Meski menjadi
guru di sana, ia bukan anggota Gerwani. Soekemi mengajar sekitar 60 anak dan digaji setiap
musim panen berupa beras dan “uang merah” Rp2. Saat itu ia duduk di sekolah menengah atas.
Soekemi merupakan salah satu yang ditangkap selepas Gestok. Militer meringkusnya pada
Februari 1966, bersama dengan ratusan perempuan lainnya. Mereka di-screening di Kantor
Corps Polisi Militer (CPM), kemudian ditahan di Kantor Dinas Sosial di Purworejo. Di sana,
ratusan perempuan itu tidur berimpitan seperti ikan pindang.
Soekemi kemudian dipenjara dengan tuduhan sebagai anggota Gerwani dan turut ke Lubang
Buaya di Jakarta.
“Lubang Buaya itu apa? Pada saat itu saya baru kelas dua SMA.
“Orang yang bernama Saronto yang menjebloskan saya [ke penjara]. Saya dituduh Gerwani,
karena ayah saya senang kesenian sehingga dianggap Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat].
Pada waktu saya di-screening, ada organisasi yang mempunyai anggota banyak, kenapa yang
dijatuhkan cuma saya? Jika organisasi itu ada ketua, sekretaris, bendahara, mengapa cuma saya
yang diambil?”
Hingga tahun 1970 ia berada dalam penjara Kejaksaan Purworejo. Ia sempat melewati
interogasi yang menyiksa: dipukuli dengan kayu, bibir disundut rokok, dan ditelanjangi dengan
alasan mencari cap di punggungnya. Pada waktu dipukuli dengan kayu, Soekemi pingsan.
“Saya disiksa oleh tentara dari kejaksaan, CPM, dan sipil. Tidak hanya oleh orang 1, tetapi oleh
15 orang sekaligus. Maka ketika saya pulang itu Pak Lik Carik yang sekarang mengatakan,
‘Kamu masih hidup?’ Sekarang jaksanya juga sudah mati. Jaksanya juga perempuan.”
Untuk menghilangkan semua lebam di sekujur tubuhnya ia membalurnya dengan beras kencur
yang dibuatkan oleh sesama tahanan. Bahannya didapat tahanan dari keluarga yang
menjenguk. Di penjara Purworejo, orang-orang tahanan boleh dibawakan beras dan kedelai
untuk membikin tempe, yang kemudian dijual ke luar.
Sampai ia dibebaskan di tahun 1970, Soekemi bukan hanya ditahan, melainkan juga dikenai
kerja paksa di tiga tempat. Pertama, kerja di tempat Pri, Komandan CPM setempat.
“Saya bekerja di rumah Pak Pri sebagai pembantu rumah tangga dengan pekerjaan cuci, bersih-
bersih dan masak. Saya tidak ada yang ngurus. Saya diurus oleh orang-orang yang di penjara,
5. PINDAI.ORG – Gestok dan Kehancuran Gerakan Perempuan / 1 Oktober 2015
H a l a m a n
5
|
5
mereka yang memberikan ransum.” Selepas dari rumah ini, ia bekerja di rumah seorang dokter
bernama Lau.
Saat dibebaskan, Soekemi tak seketika “bebas”. Ia harus berurusan dengan Komando Rayon
Militer (Koramil) yang memintanya menunjukkan surat-surat identitas. Saat pemeriksaan itu, ia
dinyatakan tidak bersalah dan bukan pelarian. Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jawa Tengah kemudian menerbitkan surat yang
menyatakan Soekemi sama sekali tak terlibat peristiwa ’65. Surat itu masih ia simpan sampai
sekarang.
“Tidak terlibat, kok, sudah dipenjara tiga tahun,” katanya.
Pada saat proses pemeriksaan, ia masih disuruh bekerja di Koramil. Lalu dikenai wajib lapor.
Awalnya setiap hari, lalu seminggu sekali, kemudian sebulan sekali.
Soekemi merupakan salah satu potret dari ratusan perempuan yang hidupnya berubah sama
sekali selepas ‘65. Ia trauma dan tak mau menari lagi. Bahkan, saat kehidupan “normal” dan
datang permintaan mengajar lagi di TK Melati—yang sudah berubah nama menjadi TK
Mardisiwi—permintaan itu langsung ia tolak. Tak hanya itu, tarian-tarian yang pernah ditarikan
oleh Soekemi dan mewarnai kehidupan kesenian di desa itu turut menghilang.
SELEPAS berakhirnya rezim Soeharto, para penyintas mulai muncul ke hadapan publik yang
lebih luas. Namun, setelah satu dasawarsa Reformasi, political will pemerintah meralat narasi
lama tragedi ‘65 tidak pernah berhasil. Negara tidak mampu memberi ruang untuk rekonsiliasi
melalui keputusan politik. Tindakan yang harusnya dilakukan oleh negara akhirnya diambil alih
oleh sebagian masyarakat. Mulai dari usaha pendokumentasian kesaksian para penyintas
hingga penuntutan tanggung jawab atas kejahatan hak asasi di masa lalu.
Bagi gerakan perempuan, persoalannya lebih rumit. Tantangan “melek politik” harusnya
didasarkan pada kesinambungan sejarah perjuangan gerakan perempuan alih-alih menjadi
ahistoris. Gerakan perempuan sesudah Reformasi sejatinya mendapat angin segar untuk
kembali ke jalur awal, yang telah dirintis perempuan-perempuan seabad lalu. Meski jalannya
masih terjal, termasuk karena adanya tekanan dari kelompok-kelompok tertentu atau bahkan
dari pemerintah lewat pemaksaan peraturan daerah yang justru membatasi gerak perempuan.
Gerakan perempuan sesudah Reformasi menghadapi persoalan kompleks tentang bagaimana
membangun gerakan yang dapat memberikan alam kebebasan bagi perempuan sekaligus
memulihkan beban masa lalu yang masih terbawa hingga saat ini.[]
------------
Anna Mariana
Peneliti di Sajogyo Institute dan Etnohistori, serta pegiat di Gerakan Literasi Indonesia. Penulis
buku Perbudakan Seksual: Perbandingan antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde
Baru (Marjin Kiri, 2015).