5. 5
KATA PENGANTAR
Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa Dasun ini
merupakan informasi pendamping tentang produk miniatur
kebudayaan desa Dasun yang dipamerkan pada acara Festival
Bandeng Mrico. Terdapat sembilan produk miniatur kebudayaan
yang disajikan. Setiap produk disajikan informasi mengenai
pengetahuan tentang produk, teknologi dan cara kerja produk,
hingga turunan dari produk itu sendiri.
Dalam konteks pemajuan kebudayaan, katalog produk miniatur
kebudayaan desa Dasun ini dapat dijadikan pintu awal untuk
memahami keterkaitan produk terhadap aktivitas keseharian
masyarakat desa Dasun hingga membentuk suatu rangkaian pola
keseharian masyarakat Dasun. Dari sinilah kebudayaan desa
Dasun dapat dikaji secara utuh yang fokus kajian untuk pemajuan
masyarakat desa Dasun.
Buku katalog produk kebudayaan desa Dasun ini diharapkan
sebagai instrumen dalam mengenalkan produk kebudayaan desa
kepada generasi muda Dasun dan publik. Sehingga melaui katalog
ini diharapkan terjadi interaksi literatif antara generasi muda dan
produk kebudayaannya, yang kemudian diharapkan dapat
mempercepat pemajuan kebudayaan yang berdampak baik
terhadap kehidupan masyarakat Dasun.
Dasun, 10 November 2021 Angga Hermansah
6. 6
SAMPAN
Keberadaan sampan di Dasun berhubungan erat dengan Anco,
yaitu jaring angkat berbahan nilon berbentuk limas. Sampan
Dasun terbuat dari pohon randu memanjang yang mampu
menampung satu sampai dua orang. Dengan karakter alat lintas
perairan yang tidak berombak, sampan menjadi alat transportasi
saat menyeberang sungai hingga menuju lokasi Anco. Aktivitas
menyeberang sungai ini dilakukan dua kali sehari saat majari dan
srapatan. Saat-saat itulah nelayan memanen udang, kepiting, dan
ikan di sungai Dasun.
Dahulu, Sampan Dasun dibuat sendiri. Sampan tersebut dibuat
dari balok1
kayu yang besar dan berumur tua. Berukuran tiga
meter, batang randu itu segera digali memanjang dengan kapak
hingga terbentuk lesungan layaknya bentuk badan perahu.
Beberapa kali bagian dalam dan badan perahu dihaluskan sembari
menunggu kering. Setelah dianggap cukup kering, sampan randu
itu diuji coba titik berat dan keseimbangannya. Sesekali nelayan
Dasun mengulang galian panjang dengan kapak. Tindakan
terakhir memberikan rangkaian kicak yang berfungsi sebagai
penyeimbang sampan saat digunakan untuk majari dan srapatan.
Pembuatan sampan dari kayu randu merupakan teknik
pemanfaatan bahan yang tersedia di lingkungan sekitar. Dengan
alat seadanya dan dikerjakan secara manual, telah menjawab
efisiensi proses dan prinsip manfaat. Disinilah beda sampan
Dasun dengan sampan kajang 2
, sampan banten, dan sampan
1
lihat Oktaviana (2009) yang menegaskan bahwa Sampan merupakan bentuk awal dari
perahu dengan dilengkapi cadik untuk keseimbangan saat berlayar
2
Lihat Azhari, I., Tanjung, I. L., & Sihite, O. (2020) dalam IOP Publishing Ltd, dan Hornell, J.
(1934). The origin of the junk and sampan. The Mariner's Mirror, 20(3), 331-337.
7. 7
banjar. Hingga sekarang sampan Dasun masih eksis di sungai
besar. Beberapa nelayan masih terlihat menggunakannya saat
memanen hasil tangkapan Anco di seberang.
ANCO
Batas wilayah desa Dasun merupakan sungai besar dengan
ekosistem mangrove yang tumbuh menghiasi sepanjang sungai.
Ekosistem inimenjadi rumah berbagai jenis ikan yang ada di
dalamnya. Masyarakat Dasun memanfaatkan potensi tersebut
untuk membuat alat tangkap Anco sebagai senjata untuk
menangkap berbagai spesies ikan, udang, kepiting, dan yang
lainnya.
Anco atau tangkul merupakan sejenis jaring segi empat yang
keempat ujung sudutnya dikaitkan pada kayu bersilang dengan
alat penyangga pada gagangnya. Anco Dasun terdiri dari tiga
bagian yaitu kaki anco, badan anco, dan kepala anco. Kaki anco
adalah penyangga bagian badan dan kepala anco yang diletakkan
di dasar sungai dengan posisi berdiri. Kaki anco berjumlah empat
buah dengan penguat siku antar kakinya. Selanjutnya badan anco
merupakan bagian dasar anco yang berbentuk rangka jembatan
naik yang digunakan untuk menaikkan posisi waring. Adapun
kepala anco adalah rangkaian jaring angkat segi empat yang tiap
sudutnya dikaitkan dari tiap-tiap sudut penyangga angkatnya.
Jaring yang digunakan yaitu jaring berbahan nilon berwarna putih,
namun masyarakat Dasun akan mewarnainya sampai berwarna
coklat tua. Kulit pohon jaranan ditumbuk halus kemudian
dilaburkan keseluruh jaring anco. Teknik pewarnaan inilah yang
menghasilkan warna yang sangat kuat dan tahan lama. Adapun
fungsi pewarnaan jaring anco adalah untuk mengelabuhi ikan dan
udang.
8. 8
Selain itu, anco juga dilengkapi alat untuk mengayuh hasil
tangkapannya. Cerok anco dibuat dari bahan waring yang halus
dengan dikaitkan pada lingkar kuat dari bilah bambu, dengan
diberi gagang untuk pegangan. Setelah ikan diambil melalui
cerok, kemudian dimasukkan kepis tabung dengan dilengkapi
cangklongan tali berdiameter 50 cm.
Alat tangkap yang berada disepanjang bibir hutan mangrove ini
tampak eksotis. Rangka bambu yang terlihat kokoh menyiratkan
kesan bahwa sungai itu telah membangun kehidupan sekitar
dengan ramah. Anco yang ada di sungai besar ini telah menjadi
identitas desa Dasun. Anco juga telah menjadi objek destinasi
wisata susur sungai. Sesekali para wisatawan juga menaiki badan
anco seraya mencoba penggunaannya ketikawaktumajari dan
srapatantiba3
. Para wisatawan juga kerap berhenti sejenak saat
melintasi anco, seakan menikmati transfer pengetahuan dari
leluhur mereka tentang sebuah alat tangkap berkelas ini.
PERAHU
Seiring berjalanya waktu bentuk perahu nelayan mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Dahulu ukuran perahu Dasun
relatif kecil. Bagian kanan dan kiri kapal terdapat kicak4
yang
3
Majari dan Srapatan merupakan keterangan waktu kapan ikan tangkapan anco di ambil.
Majari yaitu istilah waktu mengangkat jaring anco sekitar pukul setengah empat fajar hingga
pukul lima pagi. Sedangkan Srapatan yaitu istilah waktu mengangkat jaring anco sekitar
pukul lima sore hingga delapan malam. Dalam satu tahun sekali, nganco dilakukan pada
siang hari ketika terjadi peristiwa uroh-uroh. Istilah Uroh-uroh digunakan untuk menjelaskan
keadaan air yang karena terjadi pertama kali hujan lebat. Pada saat itulah, ikan, udang, dan
kepiting nggleleng hingga terperangkap di anco.
4
Kicak merupakan penyebutan istilah cadik menurut Nelayan Dasun.Adapun bentuk dan
fungsinya tetap sama, yaitu bilah yang dipasang melintang pada badan kapal hingga
melampaui kedua sisi kapal untuk menjagakesimbangan kapal saat berlayar.
Perbedaandalam penyebutan atauistilah adalah hal lumrah, dapat dilihat pada Indrahti, S., &
9. 9
berfungsi sebagai penyeimbang saat berlayar. Namun sekarang
ukuran perahu Dasun relatif besar dantidak tampak lagi adanya
kicak untuk penyeimbang.
Dalam keseharian Nelayan Dasun berangkat melaut pada malam
hari. Mereka terbiasa berinteraksi dalam keadaan gelap. Mereka
berlatih mengenali orang-orang melalui suara dari permainan
Sangkeong kala masih kanak-kanak. Cukup dengan dengar suara,
mereka akan tahu siapa saja yang ada di dekatnya.
Tak lama kemudian mereka bergegas menuju ke tengah laut.
Perahu melaju kencang seiring terpaan angin yang mengenai katir
atau layar. Sesekali nelayan itu mengayunkan dayungnya untuk
mengatur ritme kecepatan dan arah perahu. Mengenali arah mata
angindan kapan datangnyaanginadalah kunci dalam berlayar.
Pengetahuan tentang arah mata angin mereka dapatkan sejak kecil
melalui permainan kapal-kapalan saat di tambak. Angin darat saat
malam hari akan membawa kapal ke tengah laut. Dan dipagi hari
disaat akan pulang, mereka menunggu hembusan angin laut
menuju ke daratan. Disaat-saat itulah keluarga sedang menunggu
dengan bawaan hasil tangkapan yang melimpah.
Seiring berjalanya waktu,perahu mesin mulai diperkenalkan
kepada nelayan Dasun, bentuk perahu mulai mengalami
perubahan.5
Awalnya hanya perahu kecil dengan layar dan dayung
sebagai alat berlayar, namun kini mulai menggunakan kapal yang
lebih besar dengan mesin sebagai motor penggeraknya. Jenis-jenis
Maziyah, S. (2019) tentang Dinamika Alat Tangkap Nelayan di Jepara dalam Dimensi Budaya.
Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi, 3(4), 461-469.
5
Dalam Utomo (2007) dan juga diulas dalam Oktaviana (2009) perahu yang digunakan
nelayan Indonesia mengalami dua bentuk perubahan. Pertama adalah perahu lesung, dan
kedua berubah menjadi perahu besar berbahan papan.
10. 10
perahu yang digunakan cukup bervariasi mulai dari sro’ol, cukrik,
hingga kapal.Perahu-perahu tersebut mereka dapatkan dari
pembuat kapal yang berada di kecamatan Sarang. Tempat tersebut
merupakan sentra pembuatan kapal nelayan yang lokasinya
berada di ujung timur pantura Rembang.
BRANJANG
Branjang merupakan alat tangkap ikan ramah lingkungan tempo
dulu. Alat tangkap ini didesain untuk rumah ikan yang dibuat dari
rangkaian bambu lonjoran6
sejumlah 70 batang dengan ukuran 9
depa atau sekitar 12 meter. Setiap bambu diberi lubang tengah
hingga dasar untuk masuknya air agar bambu tersebut dapat
berdiri membentuk rangkaian. Rangkaian bambu tersebut diikat
sabuk yang di dalamnya diberi perangkap ikan. Tepat di bagian
bawah terdapat waring (jaring) dengan ukuran lubang yang sangat
halus agar ikan kecil seperti teri dapat tertangkap. Lebar waring
yang dipasang adalah selebar luas branjang. Pembuatan branjang
dilakukan di tengah laut mengingat ukuran branjang yang sangat
besar tidak memungkinkan untuk diangkut menggunakan kapal
menuju ke tengah laut.
Lokasi pemasangan branjang berada di tengah laut, lebih tepatnya
di sebelah barat laut pulau gosong. Pulau ini terletak di sebelah
utara Pantai Dasun yang didominasi terumbu karang untuk rumah
latoh 7
danberbagai jenis ikan. Nelayan Dasun setiap tahun
membuat branjangkarena pada saat musim baratan (muson barat)
6
Lonjor atau lonjoran merupakan satuan matematis pada kelompok nelayan Dasun. Satuan
lonjoran, sebagaimana dibahas Prahmana (2020:286), menekankan ukuran benda yang
memiliki ruas badan.
7
Latoh merupakan kuliner khas masakan masyarakat Dasun. Latoh yang diambil langsung
dari buah tangan nelayan ini dimasak menjadi menu masakan urap latoh.
11. 11
branjang yang berada di tengah laut cenderung rusak karena
diterjang ombak.
Cara mengoperasikan branjang cukup mudah. Setelah branjang
terpasang, bagian atasnya dibuatkan rumahan kecil. Fungsi dari
atap adalah untuk meletakkan lampu pada malam hari agar ikan-
ikan masuk branjang. Ketika kira-kirabranjangsudah banyak terisi
ikan, waring diangkat ke atas dengan tongkat panjang yang
dikaitkan di badan branjang. 8
Pemilik branjang kerap kali
tinggalselama beberapa haridi atas rumah-rumahan keciltersebut.
Mereka berteduh,masak dan tidur di atas branjang sembari
memanen ikan.
JOLO
Nelayan Dasun menyebutnya jolo. Alat tangkap ini terbuat dari
jaring yang terbuat dari bahan nilon, berbentuk lingkaran dengan
ukuran diameter sekitar 3-4 meter. Pada bagian sisi luar diberi
pemberat cincin timah di seluruh sisinya. Pada bagian tengah jala
dipasang tali sepanjang 4 meter yang nantinya akan dikaitkan di
pergelangan tangan penjala. Dalam penggunaanya, jala dilempar
sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran. Cara kerja jala
adalah mengurung ikan dan udang di air, kemudian ditarik
dengan tali yang telah diikatkan di pergelangan tangan. Jala
biasanya digunakan oleh masyarakat desa Dasun di area tambak,
sungai dan pinggiran laut.
8
lihat Buku Saku Data Pengolah Alat Tangkap, KKP tahun 2017, gambar alat tangkap jenis
branjang disebut Bagan Tancap. Hanya saja dari sebelas kategori alat tangkap yang
dimasukkan buku saku, hanya diulas dua kategori alat tangkap tradisional, yaitualat tangkap
angkat dan alat tangkap pancing. Selebihnya adalah kategori alat tangkap yang merepotkan.
12. 12
SODO/ SONGKRO
Sodo atau songkro merupakan alat tangkap udang di sungai.
Seperti halnya Seser, Sodo memiliki bentuk segitiga dengan
ukuran lebih besar. Sodo dapat dibuka dan ditutup sehingga
memudahkan saat membawanya. Bahan yang digunakan dalam
membuat sodo berupa batang bambu, pada bagian ujung atas
dengan panjang dua meter. Pada bagian ujung kedua bambu diberi
sandal bekas yang dilengkungkan agar pada saat digunakan di
sungai tidak menancap di dalam lumpur. Bagian yang
menghubungkan kedua sisi bambu menggunakan orean9
dengan
lubang yang kecil. Jaring sodo dibentuk berkantong serta pada
bagian bawah memanjang kebelakang sebagai tempat menyimpan
udang. Masyarakat Dasun menyebutnya dengan istilah koncong.10
Cara penggunaan sodo yaitu dengan didorong hingga pada kedua
bagian ujung bambu menyentuh dasar sungai. Aktivitas
penggunaan alat ini disebut Nyodo atau Nyongkro. Waktu Nyodo
biasanya dilakukan sore hari menjelang magrib hingga habis
isyak. Proses menangkap ini dilakukan individu di bentangan
sungai tambak. Jenis udang tangkapan Nyodo yang biasa
9
Orean yaitu jaring hitam berbahan nilon yang dipasang di bentangan dua bilah tongkat
bambu sodo
10
Koncong merupakan ruang simpan hasil sementara tangkapan yang menyatu dengan
orean.
13. 13
didapatkan diantaranya udang seser,11
udang putihan,12
dan udang
pletok.13
LESUNG
Lesung atau bisa disebut lumpang panjang merupakan alat yang
digunakan masyarakat Desa Dasun untuk menumbuk udang rebon
untuk dijadikan terasi. Lesung terbuat dari balok kayu jati dengan
panjang kurang lebih 1 meter yang digali memanjang
menggunakan kapak hingga membentuk cekungan atau lesungan.
Permukaan galian dihaluskan pada bagian permukaanya agar saat
dilakukan penumbukan, rebon cepat halus. Adapun alat yang
digunakan untuk menumbuk adalah Alu dengan penampakan
mirip seperti tongkat pendek berbahan balok kayu jati dengan
diameter 5 cm dengam panjang sekitar 80 cm. Bidang Alu bagian
tengah dibentuk cekungan bundar yang berfungsi tatakan
pegangan tangan.
Untuk mengaluskan rebon di lesung membutuhkan bantuan alat
berupa alu dengan cara ditumbukan pada bagian lesungan yang
berisi rebon hingga menjadi terasi setengah jadi. Terasi setengah
jadi akan dikeringkan terlebih dahulu yang kemudian akan
dihaluskan kembali di lesung dengan campuran air hingga
menjadi terasi. Penggunaan lesung dan alu untuk alat untuk
11
udang seser merupakan sejenis udang yang mempunyai ciri warna cokelat tembus
pandang dengan bintik merah. Kaki udang ini berwarna kemerahan kecuali dua kaki
depannya yang berwarna putih. Ukuran udang ini bisa mencapai panjang 18 cm. biasanya
udang ini digunakan untuk umpan pancing
12
udang putih merupakan nama dari lain udang peci. spesifikasi udang putih ini tubuhnya
berwarna putih dengan ekor yang berwarna hitam.
13
udang pletok merupakan sejenis udang yang mempunyai ciri kalau dipegang akan
mengeluarkan bunyi pletok-pletok. Udang pletok mempunyai ciri tubuh yang sedikit
transparan, terlihat telur di perutnya.
14. 14
membuat terasi sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat
desa Dasun. Teknik tradisional yang masih dijalankan hingga
sekarang mampu membuat kualitas terasi yang dihasilkan telah
memberi citrarasa dan aroma khas terasi Dasun yang lezat untuk
bahan rempah saat memasak bandeng mrico dan sambal terasi.
OMAH LIMASAN
Rumah limasan sagat familiar oleh masyarakat Desa Dasun. Kata
limasan sendiri berasal dari kata limas yang merupakan betuk dari
bangun ruang. Pada bagian atap terdapat 4 sisi yang berbentuk
trapesium sama kaki. Bagian sisi atap depan dan belakang disebut
brunjung dan bagian sisi kanan kiri bernama kenjer. Biasanya
pada bagian depan akan diberi tambahan berupa emper, orang
Dasun menyebutnya emperan. Pada perkembangan jaman
sekarang banyak rumah limasan yang terbuat dari batu bata.
TAMBAK GARAM
Beberapa alat produksi yang masih digunakan petani garam desa
Dasun diantaranya; kincir angin, eboran, kusut, slender, garuk,
tolok, dan gudang garam.
Kincir
Pada awal musim kemarau, saat memasuki bulan Juli, kegiatan
membuat garam dimulai. Mulai saat itulah petani garam desa
Dasun menyiapkan lahan yang akan digunakan membuat garam.
Air hujan yang ada di tambak bandeng segera dibuang. Pada saat
itulah alih fungsi lahan yang ramah lingkungan dari tambak
bandeng ke tambak garam dimulai. Lahan segera dikeringkan
sekitar satu minggu. Sembari menunggu lahan kering, para petani
garam biasanya membenahi galeng dan petakan yang kurang rapi
15. 15
pasca digunakan untuk tambak ikan. Para petani juga membenahi
saluran ipeng yang masuk ke petak-petak, termasuk didalamnya
adalah tempat kincir angin atau ebor untuk mengalirkan air.
Adalah kincir, alat berbentuk baling kayu jati yang putarannya
dibantu angin. Dalam pembuatan garam, alat ini difungsikan
untuk menaikkan air dari tampungan ke area petak tambak yang
digunakan untuk menyiapkan air yang akan diproduksi menjadi
garam. Dalam dunia pertambakan garam, ada istilah caren dan
winihan. Caren yaitu bagian tambak yang lebih dalam untuk
tampungan air dari muara sungai. Winihan yaitu area petak
tambak untuk menyimpan air yang akan dibuat garam. Caren
inilah yang digunakan untuk menampung air yang dinaikkan dari
kincir. Caren biasanya berbentuk kalenan yang ada di sisi kanan
kiri tambak. Sedangkan Winihan biasanya berbentuk petak-petak
yang posisinya lebih tinggi dari petak yang digunakan untuk
memproduksi garam.
Bentuk kincir yang digunakan memiliki empat baling-baling.
Pada bagian tuas baling-baling dikaitkan dengan batang besi ke
arah bawah untuk menggerakan air. Prinsip yang digunakan
seperti menimba air, namun untuk kincir digerakan oleh angin.
Posisi kincir menghadap ke arah timur laut, karena saat musim
kemarau angin berhembus dari arah timur laut ke arah barat daya,
dan pada saat itulah angin menggerakkan kincir.
Petani tambak garam Dasun masih mengandalkan tanda tanda
alam untuk pedoman kerja. Pengetahuan dan pengalaman selama
ini telah digunakan menjadi petani garam dan tambak ikan.
Seperti halnya munculnya angin yang bertiup kencang dari barat,
pertanda air pasang pada malam hari yang biasanya membuat
aliran air laut ke sungai kecil. Pada saat itulah petani garam harus
16. 16
cepat-cepat memfungsikan kincir anginnya seraya
mengalihfungsikan ambak bandeng menjadi tambak garamnya,
begitu halnya sebaliknya.
Masyarakat Dasun membuat kincir dari kayu jati karena kualitas
kayu jati yang kuat dan tidak terlalu berat. Dan masyarakat Dasun
juga kerap membuat eboran untuk alat produksi garam.
Kusut
Kusut merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
menyiapkan petakan tambak garam. Kusut digunakan pertama
kali untuk meratakan petakan ketika petakan selesai dikuras.
Fungsi kusut yaitu untuk menghaluskan serta menghilangkan
bekas telapak kaki pada saat proses pengurasan petakan. Bahan
yang digunakan untuk membuat kusut yaitu potongan pendek
dahan kayu jati berdiameter 15 cm dengan panjang 1 meter yang
dihubungkan dengan tongkat bambu dengan panjang 6 sampai
dengan 8 meter. Setelah petakan diratakan dengan alat kusut,
langkah selanjutnya adalah menggunakan alat slender.
Slender
Setelah petak garam dikusut, alat produksi garam yang gunakan
selanjutnya adalah slender. Alat ini digunakan untuk memadatkan
petak lahan. Bahan utama untuk membuat slender berupa batang
pohon kelapa sepanjang 1 meter yang dihaluskan bagian bulatan
tepinya. Pada bagian kanan kiri diberi besi yang disambungkan ke
penjepit agar dapat berputar. Pada bagian pegangan berupa bambu
yang telah dihaluskan dengan panjang 6 sampai dengan 8 meter.
17. 17
Eboran
Ebor merupakan alat tertua dalam proses produksi pembuatan
garam. Dahulu, ebor terbuat dari dunak yang dilapisi aspal. Beda
dengan sekarang, ebor terbuat dari jerigen yang dipotong bagian
atasnya. Melalui alat ini pula, proses pembuatan garam di desa
Dasun dapat berlangsung.
Eboran terbuat dari jerigen dengan potongan terbuka di bagian
atasnya. Untuk menggunakannya, dipasangi tongkat bambu
panjang yang ditali di bagian ujungnya. Batang kayu dipilih dari
kayu bambu yang kuat dengan ukuran diameter kecil. Pada bagian
ujung yang satunya diberi batang kayu melintang yang berfungsi
sebagai pegangan sekaligus penyeimbang beban. Ketika alat ini
dirasa telah siap, eboran siap digunakan memindahkan air dari
gentongan bawah ke tumpangan atas. Gentongan bawah
merupakan kotakan air yang terhubung dengan caren, dan caren
sendiri terhubung dengan ipeng (baca bagian sebelumnya tentang
alat tangkap nelayan). Tumpangan atas merupakan petakan yang
digunakan untuk menyiapkan air agar lebih matang (winihan)
sebelum disalurkan ke petak-petak garam. Dan pada saat itulah,
petak-petak tambak siap terisi air untuk diproduksi menjadi
garam.
Garuk
Alat garuk digunakan dua kali dalam produksi garam di tambak
desa Dasun. Pertama, garuk digunakan menguras petakan tambak
dari lumpur endapan yang terbentuk saat musim penghujan.
Kedua, garuk digunakan memanen garam. Teknik
penggunaannya pun beda. Untuk kegunaan pertama, garuk akan
didorong ke depan agar lumpur terlempar ke depan. Petani garam
18. 18
desa dasun menyebutnya nyeproti. Saat itulah petani memastikan
petakan garam harus dalam posisi bersih dan rata. Untuk
kegunaan kedua, garuk ditarik ke arah belakang agar garam
terkumpul di bagian ujung papan. Melalui garuk inilah, hamparan
garam di tambak akan dibentuk seperti gunungan-gunungan
kecil.
Garuk terbuat dari bilah kayu jati dengan panjang 1,5 meter, serta
pada bagian ujung akan terdapat papan dengan lebar 15 cm dan
panjang 50 cm yang berfungsi sebagai penggaruknya.
Tolok
Dalam keseharian masyarakat desa Dasun, tolok merupakan diksi
matematis dalam berinteraksi sosial. “Entuk pirang tolok?” yang
artinya dapat berapa tolok? kerap kali menjadi pertanyaan saat
memanen garam dan bandeng. Tolok telah dijadikan menjadi
bahasa matematik dalam mengukur volume. Begitu dekatnya alat
produksi garam ini hingga menjadi alat ukur aktivitas budaya.
Tolok pada awal mulanya merupakan alat yang digunakan untuk
mengangkut hasil tangkapan nelayan masyarakat Dasun. Pada
saat itu juga tolok difungsikan oleh nelayan Dasun untuk wadah
ikan hasil tangkapan ikan dari laut dengan teknik branjang dan
saat masih berlayar menggunakan perahu cukrik. Disaat yang
sama, tolok juga digunakan wadah hasil panen bandeng dan garam
dari tambak. Namun seiring berjalannya waktu, penggunaan tolok
untuk nelayan Dasun mulai tergantikan dengan keranjang basket.
Walaupun demikian, tolok masih tetap digunakan memindah
garam dari tambak menuju gudang garam, hingga sekarang.
Tolok terbuat dari anyaman bambu yang dibuat menyerupai kubus
dengan empat kaki penyangga di bagian bawahnya. Bentuk tolok
19. 19
yang berkaki, telah memudahkan garam menjadi tiris. Dibutuhkan
dua tolok yang digunakan untuk mengangkut garam dari tambak
ke gudang garam. Setelah diisi garam, dua sepasang tolok dipikul
di atas pundak dengan ambatan. Petani segera menapaki pematang
tambak dengan tetap menjaga keseimbangan.
Gudang Garam
Gudang garam atau gudang uyah merupakan bangunan yang
digunakan menyimpan garam. Garam hasil panen akan disimpan
di dalam gudang sebelum nantinya dijual. Proses penyimpanan
pada gudang uyah bertujuan untuk mengamankan garam dari
hujan jika terjadi hujan sewaktu-waktu. Garam yang terkena air
hujan terus menerus akan mengalami penyusutan volume.
Penyimpanan garam dalam gudang memiliki jangka waktu yang
berbeda-beda tergantung sang petani garam. Terkadang petani
garam akan menimbun garam dalam gudang dalam waktu yang
lama. Hal tersebut disebabkan oleh harga garam yang sangat
rendah yang membuat petani garam menimbun garamnya dalam
jangka waktu tertentu untuk menunggu tingkat harga garam naik
atau normal kembali.
Bentuk gudang uyah seperti rumah, namun pada bagian dalam
tidak terdapat sekat yang membagi ruangan gudang. Ukuran
gudang sangat bervariasi, biasanya ukuran gudang dipengaruhi
oleh luas tambak garam. Semakin besar tambak garam yang
dimiliki maka semakin besar juga gudang uyah yang dibuat.
Gudang uyah terbuat dari batang kayu jati sebagai pilar-pilar
utama kemudian dibagian kanan kari akan diberi penutup berupa
bilah bambu yang dianyam. Penutup bagian atas berupa genteng
dari tanah liat.
20. 20
PENUTUP
Kreativitas dalam memajukan desa dengan pendekatan
kebudayaan, cukup banyak pilihannya. Satu diantaranya dari
barisan kreatif yang berlapis-lapis itu adalah dengan festival yang
didalamnya memamerkan produk miniatur kebudayaan desa
Dasun. Harapan kami, produk miniatur kebudayaan desa ini dapat
menjadi aktivitas budaya yang berdampak pada pemajuan desa
kami, dan menjadi inspirasi untuk kegiatan kreatif para peserta
festival bandeng mrico yang tercinta.
Terimakasih atas kunjungan panjenengan semuanya dalam
kegiatan budaya yaitu Festival Bandeng Mrico. Bagi kami,
kehadiran panjenengan adalah suatu yang sangat berharga. Bagi
kami, kehadiran panjengan di desa Dasun adalah daya pancar
untuk selalu menjaga jatidiri kami, yaitu untuk selalu memiliki
jiwa terbuka, berdaya saing, maju, dan sejahtera. Salam dari
Dasun. Bandeng Mrico. Sampai bertemu kembali pada event
budaya tahun depan, yaitu Festival Sampan Dasun.
21. 21
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, I., Tanjung, I. L., & Sihite, O. (2020, April). Sampan
Kajang: the orang laut’s maritime cultural heritage in the
East Coast of Sumatra. In IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science (Vol. 452, No. 1, p. 012069).
IOP Publishing.
Ernaldi, T. A., Wibowo, B. A., & Hapsari, T. D. (2017). Analisis
Alat Tangkap Ramah Lingkungan di Tempat Pelelangan
Ikan (Tpi) Panggung Jepara. Journal of Fisheries
Resources Utilization Management and Technology, 6(4),
291-300.
Food and Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct For
Responsible Fisheries. Rome
Hadi, W. P., & Ahied, M. (2017). Kajian Etnosains Madura dalam
Proses Produksi Garam sebagai Media Pembelajaran IPA
Terpadu. Rekayasa, 10(2), 79-86.
Haryatno, D. P. (2012). Kajian Strategi Adaptasi Budaya Petani
Garam. KOMUNITAS: International Journal of
Indonesian Society and Culture, 4(2).
Hornell, J. (1934). The Origin of the Junk and Sampan. The
Mariner's Mirror, 20(3), 331-337.
Imron, M., Putra, R. R., Baskoro, M. S., & Soeboer, D. A. (2018).
Usaha Penangkapan Benih Sidat Menggunakan Alat
Tangkap Seser di Muara Cibuni-Tegal Buleud-Sukabumi
Jawa Barat. ALBACORE Jurnal Penelitian Perikanan Laut,
2(3), 295-305.
Indrahti, S., & Maziyah, S. (2019) tentang Dinamika Alat
Tangkap Nelayan di Jepara dalam Dimensi Budaya.
Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi,
3(4), 461-469.
22. 22
KKP. 2017. Buku Saku Pengolah Data Alat Tangkap.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Mahendra, F., & Fitri, A. D. P. (2015). Analisis Hasil Tangkapan
Arad Modifikasi (Modified Small Bottom Trawl) Di
Perairan Ppp Tawang Kendal Jawa Tengah. Journal of
Fisheries Resources Utilization Management and
Technology, 4(1), 60-69.
Monintja. D. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam
Bidang Perikanan tangkap. Prosiding Pelatihan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan laut. IPB. Bogor.
Oktaviana, A. A. (2009). Penggambaran Motif Perahu pada Seni
Cadas di Indonesia. Unpublished MA thesis, Program Studi
Arkeologi, University of Indonesia, Jakarta.
Prahmana, R. C. I. (2020). Bahasa Matematis Masyarakat
Yogyakarta: Suatu Kajian Etnografi. Jurnal Elemen, 6(2),
277-301.
Rohana, S., & Juhadi, J. (2019). Sistem Pewarisan dan
Keberlanjutan Pengelolaan Usaha Tambak Garam Desa
Genengmulyo, Kecamatan Juwana. Edu Geography, 7(3),
263-271.
Sukari. 2019. Kearifan Lokal Petani Garam dan Tambak Ikan di
Kalianget Madura. Dalam Jurnal Jantra Vol. III, No. 5, Juni
2008. Hal: 328-336
Suryanda, D. 2016. Komposisi Hasil Tangkapan Utama dan
Sampingan Benih Sidat dengan Alat Tangkap Seser di
Muara Sungai Cimandiri. IPB (Bogor Agricultural
University).
Suseno, F. M. (2001). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
23. 23
Utomo, Bambang Budi (ed). (2007). Pandanglah Laut sebagai
Pemersatu Bangsa. Jakarta: ASEAN-Committee on
Culture and Information Indonesia, SubCommittee on
Culture. In Press
Wijaya, R. A., Rahadian, R., & Apriliani, T. (2014). Analisis
Peran Kelembagaan Penyedia Input Produksi dan Tenaga
Kerja Dalam Usaha Tambak Garam. Jurnal Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 9(1), 29-40.
24. 24
Dalam konteks pemajuan kebudayaan, katalog produk
miniatur kebudayaan desa Dasun ini dapat dijadikan pintu
awal untuk memahami keterkaitan produk terhadap
aktivitas keseharian masyarakat desa Dasun hingga
membentuk suatu rangkaian pola keseharian masyarakat
Dasun. Dari sinilah kebudayaan desa Dasun dapat dikaji
secara utuh yang fokus kajiannya untuk pemajuan
masyarakat desa Dasun.
Angga Hermansah