1. Pasien mengeluhkan sesak napas, nyeri dada, dan perut selama seminggu terakhir beserta demam dan penurunan nafsu makan
2. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda infeksi paru dan gizi buruk
3. Hasil laboratorium dan rontgen paru menunjukkan adanya TB paru aktif beserta hipertiroid dan anemia
PRTOTO SITUS TERPERCAYA DENGAN TINGKAT KEMENANGAN TINGGI
Tuberkulosis pada-anak (orinarchi fix)
1. LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
Alloanamnesis
Pasien datang ke IGD rs ridwan meuraksa di antar keluarga dengan keluhan dada
berdebar debar sejak kurang lebih 1 minggu SMRS, pasien juga merasa sesak dan nyeri
pada perutnya, demam (+), batuk (-), pilek (-).
Pasien juga mengeluhkan nafsu makan berkurang , dan ketika beraktifitas sering
merasa cepat lelah. Sebelum nya pasien mengaku sangat aktif beraktifitas seperti bermain
futsal tetapi tidak mudah lelah seperti saat ini,saat ini pasien tidak bisa beraktifitas seperti
biasanya. Buang air besar (BAB) dan Buang air kecil (BAK) penderita normal dan tidak ada
masalah. Pasien sudah meminum obat yang dibeli dari apotik tetapi merasa keluhan tidak
berkurang.
Pasien menyangkal ada alergi terhadap makanan maupun obat, kejang demam dan
asma. Riwayat persalinan normal spontan, riwayat imunisasi lengkap sesuai usia, riwayat
tumbuh kembang sesuai usianya.
Anamnesis Antenatal dan Perinatal
Selama hamil ibu penderita melakukan pemeriksaan antenatal dengan teratur dan
mendapatkan imunisasi. Selama hamil ibu tidak menderita sakit. Riwayat batuk-batuk
kronis disangkal. Penderita lahir spontan letak belakang kepala di rumah, ditolong oleh
bidan, dengan berat lahir 2800 gram dan panjang badan yang tidak diketahui.
Penyakit Yang Sudah Pernah Dialami
Morbili : ()
Varicella : ()
Pertusis : ()
Diare : (+)
Cacing : ()
Batuk/pilek : (+)
Lain-lain : ()
2. Kepandaian dan Kemajuan Bayi
Membalik : 4 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : 11 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 11 bulan
Tertawa : 4 bulan
Berceloteh : 12 bulan
Memanggil mama : 12 bulan
Memanggil papa : 12 bulan
Anamnesis Makanan Terperinci Sejak Bayi Sampai Sekarang
ASI : lahir - 12 bulan
PASI : 4 bulan - 12 bulan
Bubur susu : 4 bulan - 12 bulan
Bubur saring : 8 bulan - 12 bulan
Bubur halus : 8 bulan - 12 bulan
Nasi lembek : 12 bulan - 24 bulan
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap.
Riwayat Keluarga
Ayah penderita berusia 54 tahun, pekerjaan sebagai kepala cleaning service di hotel daerah
Jakarta timur dengan pendidikan terakhir SMA. Ibu penderita berusia 42 tahun, juga bekerja
sebagai kepala staff di perusahaan dengan pendidikan terakhir S1. Penderita merupakan
anak kedua dari 3 bersaudara.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Berat badan : 36 kg
Tinggi badan : 168 cm
IMT : BB / TB2 : 36 kg / 168 cm
: 36 / 1,682
: 36 / 2,82
IMT : 12,7
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : Tekanan darah = 130/90 mmHg
Nadi = 130 x/menit
Respirasi = 28 x/menit
Suhu badan = 37,30C
Kepala : Bentuk normocephal, rambut hitam.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks kornea
kesan normal, refleks cahaya normal, lensa jernih, pupil bulat
isokor dengan diameter 3 mm/3 mm
Telinga : Dijumpai adanya sekret
Hidung : Tidak dijumpai deviasi septum, pernafasan cuping hidung tidak
ada, tidak dijumpai adanya sekret
Mulut : Sianosis tidak ada, selaput mulut kering.
Leher : retraksi supra sternal tidak ditemukan, deviasi tracheal tidak ditemukan,
pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Toraks : Bentuk simetris, ruang interkostal tidak melebar, tidak ada
retraksi.
Jantung : bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar adanya bising
Paru-paru : Suara pernapasan bronkovesikular, tidak ditemukan adanya
ronki maupun wheezing
Abdomen : Bentuk datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak
teraba
Anggota gerak : Akral hangat, Capillary Refill Time ≤ 2”,tidak dijumpai edema
6. * Pleural reaction bilateral
* Korsolidasi , cavitas , infiltrat di parahiller bilateral, gambaran pneumoni sinistra
dengan TB aktif.
* Besar cor normal
* Sisterna tulang intact.
Diagnosa kerja :
TB paru, Susp hipertiroid, Gizi buruk
Terapi :
* infus ka en 3b 20tpm/menit
* Inj omeprazole k/p
* Sucralfat 3 x 1 cth
* INH 1 x 400mg
* Rifampisin 1 x 450 mg
* Pirazinamid 2 x 500 mg
7. * Paracetamol 3 x 500mg k/p
Anjuran :
Pemeriksaan t3-t4 di laboratorium yang mendukung.
Prognosis
* Ad vitam : dubia ad bonam
* Ad fungsionam : dubia ad bonam
* Ad sanationam : dubia ad bonam
8. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tuberkulosis pada Anak
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang
terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
B. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup
dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi
respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).
9. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,
yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan
rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
10. dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
11. dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler
pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Gambar 1. Patogenesis Infeksi Tuberkulosis
Sumber: Petunjuk teknis tatalaksana TB anak
12. *Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh
kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB
tipe dewasa (adult type TB)
C. Diagnosis TB pada Anak
1 Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan
pada :
1) Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal
serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB
menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya
BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan
kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada
bab profilaksis TB pada anak.
13. 2) Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa
gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa
gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang
konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu
kalender terjadinya TB di berbagai organ seberi pada gambar d bawah ini.
14. Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin
biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Paa
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan
eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang
terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat
terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih
lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis
sakit Tb terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90%
kematian karena TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.
Secara Singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
15. Umur saat infeksi
Primer (tahun)
Resiko Sakit
Tidak Sakit TB Paru
TB Diseminata
(milier, meningitis)
<1
1 – 2
2 – 5
5 – 10
>10
50%
75 – 80%
95%
98%
80 – 90%
30 – 40%
10 – 20%
5%
2%
10 – 20%
10 – 20%
2 – 5%
0,5%
<0,5%
<0,5%
Tabel 2. Tahapan Tuberkulosis pada anak
Tahapan
Pajanan Infeksi Penyakit
Uji tuberkulin
Pemeriksaan fisik
Foto polos dada
Profilaksis/terapi
TB
Jumlah obat
Negatif
Normal
Normal
Selalu
Satu
Positif
Normal
Biasanya normal1
Pada
imunokompremais
Satu
Positif (90%)
Biasanya tidak
normal*
Biasanya tidak
norma2
Selalu
Tiga atau empat
* pada 50% anak dengan tuberkosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang
normal
1 kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
2 pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada
foto polos dada
2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit
menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu
16. kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan
kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada
bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk
penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada
anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum,
induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat
memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan
gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan
dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line
Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert
MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena
membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak,
dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi
tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert
MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari
17. pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari
pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang
negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak
yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.
3) Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada
anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,
terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan
yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering
berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena
penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui
saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara
menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan
kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit
dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya
riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
18. informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan.
Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif
menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen
(tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak
atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif)
belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan
tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya
tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan
tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten.
Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu
mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta
menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat
menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu
dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia
di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak
khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis
yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
19. a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
3 Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang
tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai
sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga
tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO
dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan
diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem
skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat OAT.
20. Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan
secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap
pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan
respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak jelas -
Laporan
keluarga, BTA (-)
/ BTA tidak jelas/
tidak tahu
BTA (+)
Uji tuberkulin
(Mantoux)
Negatif - -
Positif ≥10 mm
atau ≥5 mm pada
imunokompromais
Berat Badan/
Keadaan Gizi
-
BB/TB<90%
atau
BB/U<80%
Klinis gizi
buruk atau
BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-
Demam yang
tidak
diketahui
penyebabnya
- ≥2 minggu - -
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
-
≥1 cm, lebih
dari 1 KGB,
tidak nyeri
- -
Pembengkaka
n tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
-
Ada
pembengkakan
- -
Foto toraks
Normal/
kelainan
tidak jelas
Gambaran
sugestif
(mendukung)
TB
- -
Skor Total
Tabel 3. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TB
21. Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
o Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1 bulan.
o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.
22. 4 Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal
dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun
23. menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang
berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.
1) TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat
paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB
pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak. TB
dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan
pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
2) Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB
dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit
kepala, diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika
terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis
dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.
3) TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala
klinis berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa
ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat
mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu
a. Kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
b. Status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi
HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
24. c. Faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius,
serta sosioekonomi).
4) Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi
lutut (gonitis).
5) Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan
skrofula, merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling
sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan
kasus timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi
beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi
pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior,
submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau
daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium
awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras,
discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada
jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi
unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik
di daerah dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin
biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat
normal.
6) Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga
pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus
efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan
dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak
25. dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer
yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
7) Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas
dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat
penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat
yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu,
skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang
disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
8) Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun
penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang
jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya
terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari
laki-laki (2:1).
D. Pengobatan TB Anak
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
o Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
o Pemberian gizi yang adekuat.
o Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
26. 1. Prinsip pengobatan TB anak:
o OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler
o Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
o Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
• Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan
minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis
dan berat ringannya penyakit.
• Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap
hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
o Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
o Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam
3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid
ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.
o Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
• Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
• Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
27. o Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
o OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.
Tabel 4. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya
Nama Obat
Dosis harian
(mg/kgBB/ hari)
Dosis
maksimal
(mg /hari)
Efek samping
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal, reaksi
kulit, hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia, gangguan
gastrointestinal
Gambar 4. Skema Panduan OAT Anak
28. Tabel 5. Panduan OAT Kategori Anak
Jenis Fase intensif Fase lanjutan Prednison Lama
TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan
Efusi pleura TB
2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan
tanda-tanda
kerusakan luas:
2HRZ+E atau
S
7-10HR 4 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
9-12
bulan
TB milier
TB + destroyed
lung
Meningitis TB
10HR 4 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
12 bulan
Peritonitis TB
2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
Perikarditis TB
2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
Skeletal TB -
5 Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/
Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
29. FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket
KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H)
50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg
dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel
6.
Dosis
kombinasi pada TB anak
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
o Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
o Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
o Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
o OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
o Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Berat badan
(kg)
2 bulan
RHZ (75/50/150)
4 bulan
(RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa
30. o Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
o Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
6 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk
melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping
obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT
selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon
pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan
meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk
berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT
dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap
dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap.
Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai
hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji
tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif.
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil
pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur
pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
31. 2) Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi,
maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10
mg/ hari direkomendasikan diberikan pada
o Bayi yang mendapat ASI eksklusif,
o Pasien gizi buruk,
o Anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada
buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.
3) Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
o Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2
bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri
pengobatan kembali mulai dari awal.
o Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan
di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa
pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan
meningkatkan risiko terjadinya TB kebal obat.
4) Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang
kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut
benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring
harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak
diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang
32. pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji
tuberkulin ulang.
E. Imunisasi BCG
Pengontrolan penyakit TB bergantung pada pencegahan dengan imunisasi
Bacille-Calmete-Guerin (BCG) atau terapi kemoprofilaksis, serta pengobatan
tepat dengan sistem pendekatan directly observed therapy short course (DOTS).
Vaksin BCG berasal dari bakteri Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan .
1 Prosedur Pemberian Imunisasi
Vaksin BCG diberikan secara intrakutan. Suntikan dilakukan didaerah deltoid
kanan, sehingga apabila terjadi reaksi limfadenitis di aksila akan mudah
dideteksi. BCG tidak boleh diberikan secara subkutan karena beresiko terjadi
ulkus dan abses yang seius. Dosis untuk neonatus dan bayi < 1 tahun adalah 0,05
ml sedangkan untuk anak dan dewasa adalah 0,1 ml. Vaksin BCG harus disimpan
pada suhu 2-8 OC, tidak boleh beku dan tidak boleh terkena sinar matahari .
setelah dibuka, botol BCG tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam karena dapat
kemungkinan kontaminasi dan berkurangnya potensi.
Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia < 2 bulan. Agar cakupan imunisasi
lebih luas, pada jadwal Program Pengembangan Imunisasi (PPI) BCG dapat
diberikan pada usia 0 – 12 bulan. Pada neonatal – bayi berusia < 3 bulan, karena
belum mengalami paparan lama terhadap penyakit , pemberian BCG tidak perlu
didahului oleh uji tapis (uji tuberklin). Sebaliknya, pada usia > 3 bulan, sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
komplikasi yang terjadi akibat pemberian BCG, akibat telah adanya imunitas
terhadap antigen Mycobacterium. Pada bayi kontak erat dengan pasien TB BTA
positif, sebaiknya diberikan isoniazid (INH) profilaksis terlebih dahulu, lalu bila
kontak sudah tenang dilakukan uji tuberkulin dan apabila hasilnya negatif, dapat
diberikan BCG.
33. 2 Efektivitas
Vaksinasi BCG dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin hidup lainnya,
tetapi bila kedua vaksin tersebut tidak diberikan pada saat yang bersamaan, maka
sebaiknya diberikan jarak minimal 4 minggu antara BCG dan vaksin virus hidup
lainnya. Vaksinasi lain tidak boleh diberikan pada lengan yang sama dengan
BCG, paling sedikit selama 3 bulan, karena dapat meningkatkan resiko
limfadenitis.
Banyak penelitian yang telah menunjukan hasil yang konsisten akan peranan
BCG dalam proteksi terhadap meningitis TB dan TB milier. Proteksi BCG
ditemukan bervariasi antara 0% - 80%. Sebuah meta-analisis menunjukkan
proteksi yang sama untuk vaksinasi saat bayi. Bukti-bukti untuk kemampuan
proteksi BCG terhadap penyakit TB paru anak tidak terlalu konsisten, tetapi
ditemukan hasil yang cukp baik, yaitu berkisar 60-80%, baik dinegara
berkembang maupu negara maju, baik untuk TB paru maupun TB
ekstrapulmoner; meskipun ditemukan tingkat proteksi yang lebih rendah pada
daerah tropis.
Suatu meta-analisis lain terhadap lia studi prospektif dan 11 studi kasus kontrol
mendapatkan bahwa vaksinasi BCG pada saat bayi dapat menurunkan resiko TB
paru, Meningitis TB, TB milier, dan kematian akibat TB.
Efek proteksi BCG timbul 8 – 12 minggu setelah vaksinasi. Lamanya proteksi
BCG juga belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu studi oleh Sterne dkk,
menemukan bahwa efektivitas BCG mennurun seiring dengan berjalannya waktu
sejak vaksinasi. Selain itu juga tidak ditemukan bahwa BCG dapat memberikan
perlindungan setelah lebih dari 10 tahun sejak vaksinasi. Akan tetapi, studi
terakhir di Amerika berhasil menemukan bahwa efektivitas dosis tunggal BCG
dapat bertahan hingga 50 – 60 tahun.
3 Keamanan dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Vaksin BCG relatif aman, sangat jarang sekali terjadi komplikasi serius mauun
jangka panjang. Meskipun demikian, setiap orangtua harus mendapatkan
penjelasan yang lengkap mengenai manfaat, prosedur, serta kemungkinan
34. efeksamping pascavaksinasi. Vaksinasi BCG seringkali menimbulkan
efeksamping lokal. Penyuntikan yang benar akan menyebabkan timbulnya bisul
kecil dalam 2-6 minggu, yang akan membesar dan dapat terjadi ulku yang
tertutup krusta selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh tanpa harus diobati dan
menimbulkan bekas parut berdiameter 4-8 mm. Orangtua dianjurkan untuk
mengkompres ulkus dengan cairan antiseptik bila ulkus mengeluarkan cairan dan
diminta untuk datang ke dokter apabila cairan bertambah banyak, koreng
membesar, atau terjadi pembesaran kelenjar limfe regional (aksila). Apabila pada
lei terjadi infeksi sekunder dapat diberikan eritromisin.
Limfadenitis supuratif di aksila atau leher dapat terjadi, tetepi biasanya sembuh
sendiri sehinga tidak perlu diobati bila timbul fistula harus dilakukan drainase dan
pemberian OAT langsung ke lesi. BCG juga mungkin menyebabkan abses lokal
akibat kesalahan teknik penyuntikan.
Efeksamping sistemik seperti BCG-itis diseminasi, osteomielitis, dan eritema
multiformis merupakan efeksamping yang parah, tetapi sangat jarang terjadi dan
biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Efeksamping ini harus
diatasi dengan kombinasi OAT.
4 Kontraindikasi
Di Indonesia, vaksin BCG tidak boleh diberikan pada mereka yang :
1. Pernah menderita TB
2. Uji tuberkulin > 5 mm
3. Sedang hamil
4. Dalam keadaan imunokompremais (atau keungkinan imunokompremais)
seperti pasien HIV atau beresiko tinggi infeksi HIV, dalam pengobatan
imunosupresan, kortikosteroid, radiasi, penyakit keganasan pada sumsum
tulang atau sistem limfe.
5. Gizi buruk
6. Sedang demam tinggi
7. Infeksi kulit yang luas
35. BCG boleh diberikan pada bayi-bayi pramature, karena didapatkan efikasi yang
baik pada bayi-bayi pramature dan divaksinasi pada umur gestasi 34-35 minggu
(umur rata-rata pemulangan bayi pramature), serta tidak didapatkan perbedaan
bermakna tingkat reaksi BCG antara bayi-bayi dengan berbagai tingkat umur
gestasi.
36. 36
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes, 2011. Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah
mendekati target Millenium Development Goals (MDGs) . Jakarta.
(info@puskom.depkes.go.id)
2. WHO.Treatment Of Tuberculosis Guidelines For National
Programmes.Edisi III.Geneva.2003.
3. Rahayu, N. 2005. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak. Jakarta.
4. Utami, F.E. 2010. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Pada
Pasien Tuberkulosis Anak Di Instalasi Rawat Jalan Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Periode Januari-Juni 2009.
Fakultas Farmasi UMS. Surakarta.
5. Supriyanto, B. 2002. Karakteristik Tuberkulosis Anak dengan Biakan
Positif. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta.
6. InK’S, 2000. Tuberculosa Pada Anak. FK Universitas Wijaya
Kusuma. Surabaya
7. Nawas, A. 1990. Diagnosis Tuberkulosis Paru. UPF Paru Bagian
Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit
Persahabatan, Jakarta.
8. Werdhani, R. 2008. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan
Keluarga, FK UI, Jakarta.
9. Setiawati, L. 2006. Tuberkulosis. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran UNAIR, Surabaya.
10. Kenyorini, 2006. Uji Tuberculin. Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.