1. (Bagian I)
PENDIDIKAN “GLOBAL CITIZENSHIP”
DI KURIKULUM 2013
Artikel oleh : Lili Andajani
Staff Pengajar SMP Katolik Santo Stanislaus Surabaya
Dewasa ini, dunia seolah-olah menjadi semakin sempit. Dengan berkembang pesatnya
teknologi, apa yang terjadi di belahan dunia lain, dalam hitungan detik sudah dapat kita
ketahui. Seolah-olah terjadi di tetangga sebelah rumah. Dengan kondisi yang demikian,
negarapun juga “dipaksa” untuk melakukan hubungan internasional dengan pihak lain yaitu
negara lain, organisasi internasional, perusahaan multinasional, yang kemudian juga
berdampak kepada warga negara.
Suatu contoh kongkret, adalah ikut sertanya Indonesia dalam penandatanganan AFTA
(Asean Free Trade Area) 2015, di tahun 1992. Sudah menjadi resiko sebagai negara
penandatangan AFTA, Indonesia mempersiapkan warganegaranya terutama generasi
mudanya untuk menghadapi persaingan global. Mengapa ? Sudah jelas, ketika AFTA tahun
depan mulai berlaku, akan terjadi persaingan di bidang pencarian lapangan kerja. Akan
terjadi persaingan dalam perdagangan. Negara lain sudah bersiap-siap untuk itu. “Bahasa
Indonesia sudah dijadikan bahasa asing yang dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan
negara lain.” Begitu bunyi potongan berita di Borneo News 17 Oktober 2007. Sedikitnya
ada 40 negara yang memasukkan Bahasa Indonesia di dalam kurikulumnya. Jangan GR dulu.
Justru ini yang harus diwaspadai. Sebab, dengan jumlah penduduk yang besar dan potensi
kekayaan alam yang melimpah, Indonesia adalah sumber bahan baku dan pasar yang
menggiurkan.
Mau tidak mau hal – hal tersebut memberikan dampak kepada dunia pendidikan.
Dunia Pendidikan harus memberikan kurikulum yang sesuai, agar lulusannya memiliki
ketangguhan untuk tidak terseok-seok menghadapi persaingan dengan lulusan-lulusan dari
negara asing.
2. Sebenarnya, kurikulum 2013 bermaksud untuk mempersiapkan generasi muda dalam
menghadapi persaingan global ini. Hal ini sudah nampak jelas dari materi sosialisasi Menteri
Pendidikan. Dimana di sana disampaikan bahwa melalui kurikulum 2013 ini, para siswa
dipersiapkan agar memiliki kompetensi masa depan. Namun demikian bilamana paradigma
pendidik sendiri tidak berubah, kemampuan guru tidak ditingkatkan, tentu tujuan baik ini
akan sulit tercapai. Guru dan sekolah memiliki tugas berat untuk menyadarkan bahwa setiap
anak, saat ini tidak hanya menjadi warga bagi negaranya, namun juga menjadi warga negara
global.
Pendidikan kewarganegaraan global atau Global Citizenship Education adalah
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk berpikir kritis
terhadap isu-isu global yang kompleks di kelas mereka. Pendidikan kewarganegaraan global
juga memberikan pengetahuan, pemahaman, sikap dan karakter, serta ketrampilan kepada
para siswa agar mampu berpartisipasi secara penuh baik dalam konteks lokal dan terutama
global.
Capaian akhir yang diharapkan dari global citizenship education adalah tumbuhnya
global perspective dalam diri para siswa. Global citizenship education mencakup sejumlah isi
yaitu 1) multicultural education (pendidikan multikultural), 2) peace education (pendidikan
perdamaian), 3) human rights education (pendidikan HAM), dan 4) enviromental education
(pendidikan lingkungan hidup).
Pendidikan multikultural memberikan pengetahuan, pemahaman, sikap dan
ketrampilan kepada para siswa agar mampu menjadi warga yang respek terhadap
keanekaragaman, memiliki kesadaran antar budaya dan nilai pentingnya keragaman budaya.
Pendidikan HAM memberikan pengetahuan, pemahaman, nilai sikap dan ketrampilan agar
mampu menghargai hak serta memikul tanggung jawan dalam kehidupannya. Pendidikan
HAM termasuk didalamnya pendidikan demokrasi. Pendidikan lingkungan hidup
memberikan pengetahuan, pemahaman, nilai sikap dan ketrampilan agar mampu menghargai
lingkungan sebagai daya dukung kehidupan, memiliki kesadaran akan kondisi planet bumi
dan pembangunan berkelanjutan.
Dengan pendidikan Global Citizenship para siswa akan mampu berpikir secara global
dan bertindak secara lokal. Ditinjau dari isi kurikulum 2013, hal-hal yang disebutkan di atas
sudah terkandung di dalamnya. Tinggal bagaimana sekolah dan guru memfasilitasi, agar hal-
hal tersebut bukan hanya teori – teori saja. Namun juga bisa dipraktekkan dengan berbagai
3. fasilitas dan metode yang nyata-nyata bisa dilakukan secara menyenangkan dan menantang
siswa untuk mau berfikir, serta melakukan.
Banyak cara bisa dilakukan, misalnya saja dengan memfasilitasi siswa untuk penjalin
komunikasi dan persahabatan dengan para siswa dari sekolah dan negara lain. Membangun
diskusi dan interaksi aktif antar siswa antar negara. Saling mengunjungi atau pertukaran
pelajar (bila sekolah dan orang tua cukup mampu untuk melakukan itu) atau bisa pula dengan
cara-cara sederhana lainnya.
Beberapa sekolah sudah mengantisipasi hal-hal tersebut dengan menyediakan
berbagai program-program yang bombastis. Bahkan hal tersebut dijadikan ajang promosi
sekolah untuk menarik minat para orang tua menyekolahkan putra-putrinya di sana.
Bagaimana dengan sekolah-sekolah Katolik ? Sudah siapkah untuk mengajak para siswa
yang notabene generasi muda penerus Gereja untuk turut dalam ajang kompetitif global ini.
Atau justru diam, pasrah berpangku tangan, menunggu Tuhan Yesus datang lagi
menyelamatkan dunia ? ...... (Bersambung ke bagian II.... Sharing SMP Katolik St
Stanislaus Surabaya dalam menerapkan Pendidikan Global Citizenship).
Kartunis : Joeliono (Guru SMPK St Stanislaus)