1. RINGKASAN
Buku fenomenologi karya Engkus Kuswarno ini berisi tentang metodologi penelitian
sosial khususnya Ilmu Komunikasi yang disertai salah satu contoh penelitian dengan
metodologi serupa. Buku ini diawali dengan pembahasan tentang filsafat karena akar
dari fenomenologi adalah pandangan-pandangan filsafat mengenai fenomena.
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomai, yang berarti ‘menampak’ dan
phainomenon merujuk ‘pada yang menampak’. Istilah feomenologi diperkenalkan
oleh Johann Heinrickh Lambert. Terdapat sejumal tokoh yang pemikirannya turut
disumbangkan dalam pengembangan studi fenomenologi. Tokoh-tokoh tersebut
seperti Edmund Husserl yang terkenal dengan fenomenologi transendentalnya, Jean
Paul Sartre dengan Eksistensialisme, Max Weber yang berbicara tentang makna (sinn)
dalam tindakan sosial, serta Alfred Schutz yang mengedepankan kesadaran sosial pada
setiap individu.
Meskipun pelopor fenomenologi adalah Husserl, namun dalam buku ini lebih banyak
mengupas ide-ide Schutz (yang tetap berdasar pada pemikiran sang pelopor, Husserl).
Terdapat dua alasan utama mengapa Schutz dijadikan centre dalam penerapan
metodologi penelitian kualitatif menggunakan studi fenomenologi ini. Pertama,
karena melalui Schutz-lah pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak dapat
dijelaskan dengan lebih gamblang dan mudah dipahami. Kedua, Schutz merupakan
orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial. Oleh
karena itu, buku ini mengupas beberapa pandangan Schutz dan penerapannya dalam
sebuah penelitian sosial.
Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian ilmu
sosial pada dasarnya berhubungan degan interpretasi terhadap realitias. Jadi, sebagai
peneliti ilmu sosial, kita pun harus membuat interpretasi terhadap realitas yag
diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika embuat interpretasi ini.
Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini.
Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan metode interpretasi yang
sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia
interpretasi orang yang dijadikan objek penelitian. Pada praktiknya, peneliti
mengasumsikan dirinya sebagai orang yang tidak tertarik atau bukan bagian dari
dunia orang yang diamati. Peneliti hanya terlibat secara kogniti dengan orang yang
diamati. Peneliti dapat memilih satu ‘posisi’ yang dirasakan nyaman oleh subyek
penelitiannya, sehingga ketika subyek merasa nyaman maka dirinya dapat menjadi
diri sendiri. Ketika ia menjadi dirinya sendiri inilah yang menjadi bahan kajian peneliti
sosial.
2. Dari pemikiran tersebut, dapat dibuat sebuah ‘model tindakan manusia’ yang
dipostulasikan sebagai berikut:
- Konsistensi logis, digunakan sebagai jalan untuk pembuatan validitas objektif
dari konstruk yang dibuat oleh peneliti. Validitas ini perlu untuk keabsahan
data, dan pemisahan konstruk penelitian dari konstruk sehari-hari.
- Interpretasi subjektif, digunakan peneliti untuk merujuk semua bentuk
tindakan manusia, dan makna dari tindakan tersebut.
- Kecukupan, maksudnya konstruk yang telah dibuat oleh peneliti sebaiknya
dapat dimengerti oleh orang lain atau oleh penerus penelitiannya. Pemenuhan
postulat ketiga ini menjamin konstruk ilmuah yang telah dibuat konsisten
dengan konstruk yang telah diterima atau yang telah ada sebelumnya.
Setelah Schutz berhasil mengintegrasikan fenomenologi dalam ilmu sosial, para
cendekiawan sosial mulai melirik pemikiran fenomenologi yang paling awal, yakni
fenomenologi transendental Husserl. Husserl sangat tertarik dengan penemuan
makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan
antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real
dan yang tidak.
Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:
a. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek
(sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau
tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan
tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya
konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau
tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan
kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman
tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan
harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam menentukan
kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
b. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality.
Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman
individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka
kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya
sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun
sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis)
adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar,
memikirkan, dan menilai ide.
3. Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis meskipun keduanya sangat
berbeda makna. Noema akan membawa pemikiran kita kepada noesis. Tidak
akan ada noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema. Begini
mudahnya. Kita tidak akan tau tentang bagaimana rasanya menikmati buah
durian (noesis karena ada aspek merasakan, sebagai sesuatu atau objek yang
abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui seperti apa wujud durian (noema
karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu atau objek yang nyata).
c. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi
menurut Descrates yakni kemampuan membedaka “yang murni” dan yang
diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah
yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl,
intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya
fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi
dalam diri individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif
ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial
didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep
tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif.
Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu
melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh
karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki
aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).