4. 3
5 Sekapur Sirih:
‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
11 Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Bonaventura S. Bharata
40 Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
Ery Kurnia Putri
54 Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos
Ketampanan
Desideria Cempaka Wijaya Murti dan
Meredian Alam
70 Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit
Identifikasi
Yahya Zakaria
82 Mana Acara Televisi untuk Anak?
Astrid Risky Amelia dan
Paskalia Pramita Nareswari
94 Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan
Yohanes Widodo
107 Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran
Publik
Agusly Irawan
Daftar Isi
5. Quo Vadis Televisi?
4
119 “Melihat Kembali” TVRI
Benedictus Yanuarto Purnomo dan
Yohanes Bagas Nurogo
125 Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik
Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?
Salvatore Simarmata
147 Parodi di Balik Layar Kaca
Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista
157 TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi
168 IPTV: Televisi Impian di Masa Depan
Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana
6. 5
Sejarah pertelevisian di Indonesia diawali oleh kehadiran TVRI pada
1962 di Jakarta, disusul kehadiran televisi swasta sejak 1989 hingga
sekarang. Sejak kelahirannya, terutama sejak kehadiran stasiun-stasiun
televisi swasta di Indonesia, dunia televisi berkembang pesat.
Televisi merupakan media yang paling mendapat perhatian khalayak,
pengamat, dan pemerhati. Cukup banyak artikel, penelitian maupun
buku yang mengkaji tentang televisi. Benci tapi rindu! Di satu sisi TV
begitu dibenci. Ada gerakan “Matikan TV-mu”, “Jangan Nonton Sinetron
Indonesia”, dan lain-lain. Gerakan seperti ini merupakan ‘perlawanan’
terhadap tayangan dan dampak buruk televisi yang makin sering
disuarakan.
Di sisi lain, banyak orang merindukan dan mencintai televisi. Televisi
menjadi teman setia sejak bangun tidur hingga tidur. Televisi bahkan
menjadi sosok yang bisa menggantikan tugas guru, agamawan maupun
orang tua sebagai educator. Televisi menyediakan role-model bagi anak-
anak dan remaja, dan menjadi sumber acuan untuk mendefinisikan mana
yang baik dan mana yang buruk dan menjadi semacam agama sipil
kontemporer (Robert N. Bellah, 1967, Ratna Noviani, 2008) yang
melibatkan bentuk-bentuk pemujaan baru lewat ritual-ritual menonton
dan mengkonsumsi media.
Perkembangan televisi di Indonesia telah memunculkan beragam isu
dan persoalan, seperti kualitas tayangan, wacana televisi jaringan, televisi
lokal, televisi digital, persoalan etika, sumber daya, persoalan kepemilikan,
dan lain-lain. Berbagai isu dan permasalahan tersebut menantang kami,
sebagai komunitas yang belajar dan melakukan studi tentang media dan
televisi untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, dan gerundelan tentang
televisi kita.
Lewat buku berjudul “Quo Vadis Televisi? Masa Depan Televisi dan Televisi
Masa Depan” kami ingin mempertanyakan ke mana masa depan televisi
dan bagaimana ‘wajah’ televisi di masa depan. Buku ini menyajikan
Sekapur Sirih:
‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
7. Quo Vadis Televisi?
6
tulisan-tulisan hasil kajian dan pembacaan kami, komunitas orang-orang
yang belajar Ilmu Komunikasi tentang kemana arah atau masa depan
televisi dan bagaimana televisi masa depan. Para penyumbang tulisan
sebagian besar adalah dosen, mahasiswa, dan alumni Prodi Komunikasi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini merupakan hadiah ulang
tahun ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Buku ini menyajikan sejumlah topik kajian yang beragam dan
dikelompokkan menjadi tiga bagian: (1) Program/acara televisi
(infotainment, reality show, sinetron, acara anak-anak) (2) Televisi publik,
sistem stasiun jaringan dan TVRI (3) Televisi Masa Depan (TV Streaming
dan IPTV).
Dalam tulisan berjudul “Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca”,
Bonaventura Satya Barata menemukan bahwa televisi mampu mengubah
wajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan memilukan,
menjadi peristiwa yang menghibur. Semua dilakukan melalui proses
pembingkaian yang melibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupun
non verbal, dilakukan sedemikian rupa untuk mengubah wajah kematian
tersebut. Insert Trans TV melakukannya dengan teknik produksi, baik
melalui pemberian bumper in, perpindahan gambar yang cepat dan
manipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik. Persinggungan
antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi media (melalui
proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah peristiwa kematian
menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Realitas kematian yang ditampilkan
oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih dan duka, bahkan
jauh dari menakutkan dan mengerikan.
Dalam penelitiannya tentang “Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans
TV”, Ery Kurnia Putri menemukan bahwa lima tayangan Realigi di TransTV
sarat dengan kekerasan, meliputi: kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan
kekerasan simbolik. Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut,
pengintaian, dan kekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memiliki
nilai edukasi khususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masih
ditayangkan pada prime time.
Masih tentang program tayangan televisi, Desideria Cempaka Wijaya
Murti dan MeredianAlam lewat “Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos
Ketampanan” menunjukkan bahwa kekuatan televisi yang besar untuk
menjadi subtitute teacher membuat sebagian masyarakat yang lemah dan
mudah mengikuti arus televisi akan menjadi korban proses alienasi
8. 7
Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaan televisi yang kuat, membuat
individu dan komunitas telalu berkaca pada media, sehingga individu
kehilangan keunikan dan identitas tubuhnya. Padahal keunikan individu
dapat mendefinisikan potensi yang dimiliki oleh individu manusia yang
sangat berharga.
Sementara itu, Yahya Zakaria menyoroti “Sinetron Remaja Sebagai
Ruang Sempit Identifikasi”. Ia menegaskan, sudah saatnya sinetron remaja
melakukan perubahan dan menjalankan fungsinya sebagai media
pembelajaran remaja sekaligus menjadi media identifikasi yang luas,
beragam dan demokratis, karena dengan kondisi seperti saat ini, remaja
akan terus menjadi korban, terus kerdil dan seragam. Production house,
stasiun televisi dan produser sinetron remaja seharusnya menjadikan
moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi materi, karena jika hanya
materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akan selalu seperti ini, tragis.
Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang, menjadi tanggung jawab.
Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan sinetron remaja mampu
berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi identitas, dan terdapat
keberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya.
“Mana Acara Televisi untuk Anak?” Itu pertanyaan yang dilontarkan
oleh Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari. Menurut
mereka, perlu ada usaha untuk kembali memberikan ruang kepada anak-
anak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh
mereka melalui media massa seperti televisi. Kepedulian untuk
memberikan tayangan sehat dan mendidik pada anak menjadi harapan
semua orang tua dan pemerhati anak. Banyak yang dapat dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan informasi pada anak, salah satunya membuat
program acara televisi yang berorientasi anak-anak. Pemenuhan dan
pemberian hak mendapatkan informasi untuk anak ini bisa dilakukan
dengan memberi jam tayang yang lebih banyak dan panjang untuk acara
anak. Alternatif lain adalah mengajak semua pemilik stasiun televisi dan
perusahaan yang memproduksi acara televisi untuk mulai memproduksi
acara anak. Semakin banyak acara anak, maka pilihan anak akan tontonan
yang cocok untuk mereka juga semakin banyak. Selama ini banyak anak
yang menonton acara dewasa yang tidak sesuai umur karena mereka tidak
memiliki pilihan tontonan.
Sementara Yohanes Widodo mencoba menyoroti “Pluralisme Media
dan Sistem Stasiun Jaringan”. Ia menekankan, pihak televisi Jakarta harus
bersedia bertransformasi menjadi stasiun berjaringan karena mereka
9. Quo Vadis Televisi?
8
menggunakan frekuensi yang merupakan domain publik. Jika selama
ini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta untuk
target iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publik
untuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutu dan ruang
untuk menyampaikan pemikiran dan aspirasinya.
TVRI juga mendapat sorotan para penulis. Agusly menekankan
perlunya “Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik”.
Menurutnya, perubahan zaman dan kondisi di Indonesia menghendaki
perubahan TVRI. TVRI harus menjadi lembaga yang berorientasi pada
pelayanan masyarakat dengan menjadikan TVRI sebagai lembaga
penyiaran publik. Hal ini dianggap ideal karena dari perkembangan
kondisi saat ini, TVRI cocok untuk menjalankan peran ini. Karena DNA
TVRI berbeda dengan DNA stasiun televisi swasta. TVRI terlihat lebih
mapan dari segi infrastuktur dan usia. Namun kenyataannya terbalik. Yang
terjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak siap dalam menghadapi
perubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI juga tidak terlalu
dekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi kerasnya
pertarungan dengan stasiun televisi swasta.
Penulis lainnya, Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas
Nurogo mengajak kita untuk “’Melihat Kembali’ TVRI” dalam arti menata
kembali manajeman sampai programnya dan menyaksikan kembali TVRI
karena TVRI menyajikan acara-acara yang menarik, mengemban misi
pendidikan dan patut dibanggakan. TVRI seharusnya dapat dijadikan
rujukan mengenai tayangan yang memiliki idealisme nilai dan melayani
masyarakat untuk dapat berpikir kritis, lepas dari semua orientasi mencari
rating, keuntungan, dan kepentingan politis. Ruang publik penyiaran
mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga,
tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur tetapi juga memberikan
nilai tambah dalam masyarakat. TVRI harus mewakili semua kalangan,
sebagai wadah bersama, karena sifatnya dari rakyat dan untuk rakyat.
TVRI bukan hanya menjadi alat propaganda budaya Jawa seperti era
Suharto, namun dapat diakses oleh semua golongan. TVRI harus
membantu daerah-daerah yang tertinggal menjadi berubah dan tidak
semata-mata berpatokan pada rating.
“Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia:
Mungkinkah?” Itu pertanyaan Salvatore Simarmata. Ia menyimpulkan
bahwa bahwa televisi secara struktural merupakan ruang publik yang
ideal. Analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa televisi sebagai ruang
10. 9
Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
publik di Indonesia seperti jauh panggang dari api. Realitas televisi kurang
mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam
konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi
kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan
kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Untuk mewujudkan peran
tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya
hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya
ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik
di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi
mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi
di Indonesia sekarang ini.
Paulina Damayanti dan GustiAyu Krista megajak kita melihat “Parodi
di Balik Layar Kaca”. Menurut mereka, di masa depan televisi bisa menjadi
senjata perang di antara pemilik media atau penguasa untuk saling
menjatuhkan. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat,
melainkan akan dibuat bingung oleh media-media tersebut dan tidak tahu
lagi mana media yang bisa dipercaya. Konsentrasi kepemilikan media di
tangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Hal ini berlaku
di Jerman, Inggris, maupun Indonesia, konsentrasi dan kendali yang
berada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, dapat
menggerogoti kedaulatan Negara.
Seperti apa televisi masa depan? Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi
Wongi menawarkan konsep “TV Streaming sebagai Televisi Alternatif”.
Menurut mereka, kemudahan akses teknologi komputer memungkinkan
masyarakat dapat memaksimalkan TV Streaming. Penggunaan cybermedia
yang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan,
dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengakses
TV streaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagi
hanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Akses yang murah
dan lebih efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan
informasi dan hiburan di masa depan.
Sedangkan Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana menawarkan
IPTV sebagai “Televisi Impian di Masa Depan”. Sebagai interaktif televisi
berbasis internet, IPTV memiliki keunggulan dari segi tampilan yakni
ketajaman gambar yang sangat tinggi dan memberikan peluang
komunikasi dua arah dan multiple stream. Dengan kehadiran IPTV, konsep
komunikasi telah bergeser menjadi ‘broadcast yourself’ dimana semua
pengguna bebas menentukan apa yang ingin dikonsumsi sesuai
11. Quo Vadis Televisi?
10
kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan ini membutuhkan
dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang menjamin
keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut.
Demikian sajian kami. Semoga kajian dan gerundelan kami, orang-orang
Komunikasi bisa menjadi pelepas dahaga publik yang mengharapkan
tayangan televisi yang pas dan mantap. Semoga!
Yohanes Widodo
Editor
12. 11
Taufik Savalas,Asmuni, Basuki,Alda Risma, Chrisye, Gito Rollies: siapa
yang tidak kenal mereka? Tiga nama pertama merupakan komedian papan
atas Indonesia. Tiga nama berikutnya adalah artis/penyanyi yang cukup
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Semuanya telah meninggal dunia pada
2007-2008. Masyarakat Indonesia pun berduka. Semua informasi tentang
meninggalnya tokoh terkenal seperti artis dan pejabat pemerintah rata-
rata diketahui masyarakat Indonesia dari media massa.
Media massa menginformasikan seluk-beluk meninggalnya para artis
tersebut, mulai dari penyebab meninggal, detik-detik terakhir, duka yang
ditinggalkan, hingga prosesi pemakamannya. Semuanya dideskripsikan
secara detil. Tak hanya itu, dia awal 2004, TV7 (sekarang Trans7), bahkan
pernah menyiarkan secara langsung detik-detik terakhir kehidupan artis
muda Sukma Ayu, yang koma hampir setahun penuh pasca operasi yang
dilakukan oleh tim dokter rumah sakit MMC Jakarta.
Perhatian media massa terhadap peristiwa kematian tidak hanya
berhenti sampai di sini. Saat meninggalnya mantan Presiden Soeharto pada
akhir Januari 2008, perhatian media pada peristiwa kematian menjadi lebih
besar lagi. Semua media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan
peristiwa langka ini. Dua hari berturut-turut headline media cetak
memberitakan kematian mantan penguasa era Orde Baru ini. Semua
saluran televisi juga memberitakan secara langsung hal yang sama. Semua
media berfokus pada pemberitaan mengenai wafat dan prosesi
pemakamannya. Hingga berita tentang naiknya harga minyak goreng dan
kacang kedelai yang meresahkan para pengrajin tahu dan tempe pun
sempat terpinggirkan. Hal ini memicu kontroversi. Beberapa elemen
masyarakat memprotes siaran langsung ini dengan dalih bahwa para
pengelola stasiun televisi swasta tersebut dituding melakukan blocking
time siaran yang kemudian meniadakan siaran yang lain sebagai alternatif
tontonan masyarakat.
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Bonaventura S. Bharata
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
13. Quo Vadis Televisi?
12
Khusus untuk kasus kematian Soeharto, sangat menarik jika
mencermati perilaku media dalam menyorot kematian tokoh yang dijuluki
Bapak Pembangunan tersebut. Wafat dan pemakaman sang jenderal
berbintang lima ini tidak hanya muncul di acara-acara berita formal,
namun muncul pula di beberapa segmen acara infotainment di televisi,
seperti di acara Insert Investigasi (Trans TV), Cek dan Ricek (RCTI), KISS
(Indosiar), dan Expresso (ANTV) yang nyata-nyata sebenarnya merupakan
acara yang mengkhususkan diri pada para artisdan selebriti. Terbitan
media cetak pun demikian. Berita tentang kematian Soeharto tak hanya
muncul di suratkabar besar macam Kompas, Republika, Suara Pembaruan,
dan Koran Tempo, namun muncul pula di beberapa terbitan tabloid hiburan
seperti Bintang Indonesia, Cek dan Ricek dan di tabloid khusus perempuan,
seperti Nova.
Di sisi lain, perilaku media dalam memberitakan kematian juga bukan
tanpa cela. Siaran langsung yang mendeskripsikan detik-detik terakhir
kehidupan artis Sukma Ayu ataupun siaran langsung yang mengiringi
prosesi pemakaman Soeharto ternyata juga terselip iklan komersial.
Khusus untuk wafatnya mantan Presiden Soeharto, situs Indonesia TV Guide
dalam laporan khususnya menunjukkan bahwa penayangan kematian
Soeharto ternyata mendongkrak rating1
. Artinya, proses pemakaman
Soeharto ternyata sangat menarik minat penonton televisi sehingga
mengundang minat pengiklan untuk mensponsori acara tersebut. Tak
hanya di siaran langsungnya, ketika pemakaman Soeharto masuk dalam
tayangan infotainment pun, iklan yang muncul pun tak kalah banyak. Saat
peristiwa kematian artis-artis terkenal seperti Taufik Savalas, Chrisye,
Basuki,Asmuni dan Gito Rollies, pun kondisinya tak jauh berbeda. Selipan
iklan komersial pun tampak dalam tontonan tersebut.
Namun bisa pula dipahami bahwa selipan iklan dalam tayangan
langsung prosesi pemakaman mantan Presiden Soeharto tersebut
ditayangkan oleh televisi swasta. Televisi swasta atau televisi komersial
untuk Indonesia merupakan bentuk siaran televisi yang
penyelenggaraannya berbasis pada industri sehingga pembiayaan
operasionalnya sangat tergantung dari pendapatan iklan yang diperoleh.
Artinya siaran televisi ini sangat mengandalkan perhitungan untung rugi.
Bila diyakini sebuah tayangan bersifat laku jual, maka tayangan tersebut
layak ditayangkan di televisi. Namun sebaliknya, jika sebuah tayangan
diyakini tidak mendatangkan laba, maka tayangan tersebut pun tidak akan
bisa disiarkan di televisi. Dengan demikian dalam industri televisi,
14. 13
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
dituntut untuk sekreatif mungkin memformat suatu acara agar laku jual
di mata pengiklan.
Di sinilah bertemunya realitas ini dengan term komodifikasi yang
diperkenalkan oleh Vincent Mosco dalam bukunya The Political Economy
of Communication, Rethinking and Renewal. Secara ringkas komodifikasi
merupakan cara kapitalisme dalam mencapai tujuannya untuk
mengakumulasikan kapital atau merealisasikan nilai melalui transformasi
dari penggunaan nilai-nilai ke dalam sistem pertukaran (Mosco, 1996).
Artinya, jika ini terjadi dalam industri televisi adalah bagaimana cara
yang dilakukan oleh para pekerja media untuk mengubah realitas sosial
menjadi realitas media yang laku jual. Proses mengubah nilai pakai
menjadi nilai tukar atau proses perubahan produk dari yang nilainya
ditentukan oleh kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan individu atau
kelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat
dibawa produk itu ke pasar. Dalam fenomena ini, peristiwa kematian
mengalami proses komodifikasi ketika bersentuhan dengan industri
media. Pengelola media melakukan upaya sedemikian rupa untuk
mengemas sebuah peristiwa kematian untuk kemudian menjadi sebuah
produk berita dan tontonan yang mampu menarik perhatian audiens.
Semakin besar perhatian audiens, semakin besar pula kemungkinan
produk ini meraih iklan. Dari sisi etis, inilah permasalahannya. Apakah
pantas peristiwa kematian yang jelas merupakan peristiwa duka cita ini
kemudian mengalami proses komodifikasi sedemikian rupa untuk meraih
audiens dan dijual kepada para pengiklan untuk kemudian mendatangkan
profit yang tinggi?2
Penelitian tentang komodifikasi sendiri pernah dilakukan oleh Diah
Kurniati, dengan judul Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Analisis Wacana
Kritis terhadap Acara Harap-Harap Cemas (H2C) di SCTV. Dalam penelitian
skripsi tersebut dinyatakan bahwa proses produksi tayangan reality show
oleh rumah produksi (REC Production) ini ternyata masih sangat
dipengaruhi oleh kepentingan untuk mendatangkan profit. Ini terwujud
dalam bentuk adanya intervensi pada praktek produksi yang dilakukan
oleh SCTV agar tayangan reality show ini lebih mampu menyesuaikan
dengan selera pasar. Padahal tayangan ini jelas-jelas melanggar privasi
para pelakunya. Artinya, ditinjau secara etis komunikasi, acara ini
melanggar norma-norma etika (Kurniati dalam Jurnal Thesis, 2006; 151).
Sedangkan penelitian tentang kematian, dalam hal ini iklan kematian
di surat kabar, pernah dilakukan oleh Iwan Awalludin Yusuf dalam
15. Quo Vadis Televisi?
14
bukunya Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, Representasi Etnik
Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka Semarang. Penelitian
ini dilakukan terhadap beragam iklan kematian yang diterbitkan atas
inisiatif masyarakat Tionghoa di SKH Suara Merdeka pada rentang waktu
1997-1999. Kesimpulan akhir dari penelitian ini, bahwa etnik Tionghoa
ternyata memaksimalkan peran iklan kematian yang diterbitkan di SKH
Suara Merdeka untuk menunjukkan eksistensi komunitas Tionghoa di
tengah tekanan sosial atas masyarakat Tionghoa akibat upaya represi
pemerintah Orde Baru. Upaya ini menemukan jalannya di tengah
kapitalisasi industri media cetak di era yang sama, dalam hal ini SKH
Suara Merdeka Semarang.
Temuan lain yang menarik adalah munculnya istilah necrocultura yang
dipopulerkan oleh Fabio Giovannini. Necrocultura berarti pandangan
positif terhadap peristiwa kematian. Berbeda dengan masa lalu yang
memandang kematian sebagai sesuatu yang mengerikan dan ditakuti,
pada masa sekarang kematian merupakan peristiwa yang logis atau bukan
sesuatu yang ditakuti karena merupakan peristiwa wajar yang akan
menimpa siapapun. Yang perlu dipersiapkan justru bagaimana
menghadapi kematian tersebut (dalam Yusuf, 2005; 70). Dalam
perkembangan berikutnya kematian pun bahkan menjadi komoditas3
.
Peluang ini bertemu dengan konsep komodifikasi di ranah media massa.
Media pun ikut merayakan necrocultura.
Penelitian lain yang menarik tentang kematian pernah ditulis oleh
Ronny E. Turner dan Charles Edgley (dalam Mulyana dan Solatun, 2007;
185-186). Mereka menjelaskan bagaimana peristiwa kematian dapat
dikonstruksi sedemikian rupa hingga mengesankan sebuah pertunjukan.
Dikatakan bahwa pada dasarnya para pengatur pemakaman merupakan
pebisnis yang unik. Dikatakan unik karena para pengatur pemakaman
ini tidak dapat meningkatkan pendapatannya dengan meningkatkan
jumlah kematian di lingkungannya. Karenanya bisnis ini harus dijalankan
secara hati-hati. Iklan perusahaan pun dikemas sedemikian rupa sehingga
tidak mengesankan adanya harapan akan jumlah kematian yang
meningkat untuk mendongkrak pendapatan. Peningkatan penghasilan
justru diperoleh seberapa ahli seorang pengatur pemakaman mengemas
peristiwa kematian menjadi sebuah ’pertunjukan’. Keberhasilan ini akan
berdampak pada reputasi mereka yang pada akhirnya mampu
memperluas pasar sehingga secara tidak langsung mendongkrak
pendapatan.
16. 15
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan pemahaman bahwa
ternyata peristiwa kematian pun dapat merupakan sebuah komoditas
ketika bersentuhan dengan aspek kapital (uang). Ini tidak berbeda dengan
peristiwa ulang tahun, pernikahan, ataupun kelahiran. Masalahnya, jika
peristiwa-peristiwa ini merupakan peristiwa suka cita, peristiwa kematian
sebenarnya lebih dekat dengan peristiwa duka cita. Namun ketika
peristiwa ini dilihat sebagai peluang bisnis, peristiwa kematian pun
berubah wujud menjadi sebuah pertunjukan yang tidak berbeda dengan
peristiwa ulang tahun, pernikahan, dan kelahiran. Lalu bagaimana bila
peristiwa kematian para tokoh terkenal bersentuhan dengan industri
media? Apakah juga merupakan jalan untuk menjadi sebuah pertunjukan
atau bahkan sebuah necrocultura? Penelitian ini dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan bagaimanakah lembaga media (dalam hal ini Trans
TV) mengkonstruksi peristiwa kematian (Sophan Sophiaan)?
Program Insert Investigasi Kematian Sophan Sophiaan
Insert Investigasi ditayangkan setiap sore pukul 17.30 WIB. Menilik dari
namanya yang menggunakan kata investigasi, Insert Investigasi idealnya
merupakan tayangan dalam format laporan (mendalam) yang mendes-
kripsikan permasalahan tertentu. Biasanya tayangan Insert Investigasi
berupaya mengupas seorang sosok artis tertentu atau mengangkat tema
tertentu. Karena masuk dalam acara infotaiment (yang dalam pemahaman
masyarakat Indonesia adalah informasi tentang dunia hiburan), format
isinya pun diupayakan dalam bentuk yang sekiranya dapat menghibur.
Walaupun dengan format menghibur, belum tentu isinya bersifat
menghibur. Salah satu topik yang sering diangkat oleh Insert Investigasi
adalah masalah perceraian artis. Perceraian tentu bukanlah realitas yang
menghibur. Namun dalam tayangan Insert Investigasi, kabar perceraian
artis ini mampu diformat dalam bentuk yang menghibur.
Demikian pula pada realitas kematian (artis). Kematian bagi siapa saja,
tentu saja bukan merupakan peristiwa menghibur. Termasuk bagi keluarga
artis sekalipun. Realitas kematian selalu dekat dengan suasana sedih, duka,
isak tangis, kelam, dan hitam. Namun ketika realitas ini dinaikkan ke
layar kaca melalui acara Insert Investigasi, kematian memiliki nuansa yang
berbeda. Kematian bukanlah persitiwa yang sedih dan duka. Justru
sebaliknya: kematian menjadi peristiwa yang memberikan hiburan
tersendiri. Seperti terjadi pada peristiwa kematian artis Sophan Sophiaan.
17. Quo Vadis Televisi?
16
Bagaimana Insert Investigasi mengkonstruksi peristiwa tersebut menjadi
kematian yang menghibur?
Dari Sisi Teknik Produksi:
a. Dramatisasi Adegan
Dramatisasi adalah bagaimana membuat sebuah peristiwa yang
sebenarnya biasa, menjadi tayangan yang memiliki kesan luar biasa atau
impresi yang mendalam. Dramatisasi dalam dunia produksi program
televisi dapat dilakukan melalui proses pengambilan gambar dan proses
editing (baik suara maupun gambar). Melalui proses pengambilan gambar,
misalnya ketika ingin menampilkan profil seseorang dengan
mengesankannya sebagai sosok yang kharismatis, kamerawan dapat saja
mengambil gambar dari arah bawah. Pengambilan gambar dengan
mengarahkan kamera dari arah bawah (low angle) akan mengesankan
seseorang menjadi sosok yang berwibawa dan kharismatik. Jika
menggunakan editing gambar, perubahan warna dari berwarna menjadi
hitam putih pada sebuah peristiwa akan memunculkan kesan masa lalu
bagi yang menyaksikannya. Dramatisasi dalam peristiwa kematian Sophan
Sophiaan dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:
b. Memformat bumper in
Bumper ini merupakan gambar atau rentetan potongan gambar atau
adegan yang disusun sedemikian rupa menjelang memasuki isi sebuah
acara (Cremer, dkk, 1996: 419). Biasanya dilakukan untuk menggugah
calon penonton agar tertarik untuk menyaksikan acara tersebut. Gambar-
gambar yang dipilih untuk mengisi bumper in ini biasanya diambil dari
bagian yang sekiranya paling menarik sehingga mampu memunculkan
ketertarikan penonton. Dalam tayangan Insert Investigasi tentang peristiwa
kematian Sophan Sophiaan, gambar yang dipilih untuk mengisi bumper
in adalah gambar yang mengisahkan firasat yang dialami oleh Widyawati
(istri Sophan Sophiaan) menjelang kematian Sophan Sophiaan.
Dalam bumper in yang dimunculkan sebagai pembuka pada acara Insert
Investigasi ini sebenarnya bukan hanya gambar yang mendeskripsikan
firasat yang dirasakan oleh Widyawati selaku istri almarhum Sophan
Sophiaan, namun juga berisi gambar yang lain. Gambar-gambar tersebut
di antara lain pernyataan Paramitha Rusady, Winkey Wiryawan dan
Kennes, serta kakak-beradik Chintami dan Minati Atmanegara, tentang
kesan-pesan terhadap perkawinan Widyawati dan Sophan Sophiaan.
Kemudian dilanjutkan dengan gambar nostalgia, yakni kenangan antara
18. 17
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Sophan Sophiaan dan Widyawati yang membeberkan rahasia
kelanggengan rumah tangga mereka.
Time CodeNo Narasi Gambar
00:00-00.101. Bumper in
Widyawati : Buat saya dia
masih ada aja. Saya merasa kaya
mimpi gitu lho, lain kalo dalam
keadaan sakit. Tapi kalo seperti
ini, anda-anda pasti akan
seperti saya. Terakhir dia peluk
saya, Saya ga jawab. Saya sedih
bener itu.
00:10-00:132. Paramitha Rusady: Seperti di
kisah roman kalo saya bilang
sih...
00:13-00:153. Kennes : memang pasangan
yang ideal banget …
00:15-00184. Minati : gak ada ya yang punya
hubungan sehebat mereka …
19. Quo Vadis Televisi?
18
Dari beberapa gambar yang disajikan tersebut, gambar yang
mendeskripsikan tentang firasat Widyawati mendapatkan porsi dominan.
Selain mendapatkan posisi pertama (sebagai pembuka acara), durasinya
pun memakan waktu sepuluh detik. Ini berbeda dengan gambar-gambar
berikutnya yang hanya mendapatkan rata-rata durasi sekitar tiga detik
saja. Penempatan gambar pada posisi pertama dan memiliki durasi yang
relatif panjang dibandingkan dengan gambar yang lain dimaksudkan
sebagai impresi khusus untuk menggugah rasa tertarik calon khalayak
untuk bersedia menyaksikan acara tersebut.
Sebagai sebuah bumper in tayangan infotainment peristiwa kematian,
Insert Investigasi Trans TV bisa dikatakan cerdik. Mengapa cerdik? Dalam
masyarakat Indonesia, salah satu pembicaraan menarik dalam peristiwa
kematian adalah firasat apa yang sebenarnya muncul menjelang seseorang
meninggal dunia. Menjadi semakin menarik apabila yang bercerita adalah
orang-orang terdekat dari individu yang meninggal dunia, seperti istri
dan anak-anak. Kisah yang dituturkan oleh Widyawati ketika mengalami
firasat tersebut menjadi peristiwa unik yang dipilih dan diduga akan
menarik perhatian penonton.
Dalam tayangan Insert Siang Minggu (18 Mei 2008), peristiwa firasat
kematian Sophan Sophiaan juga ditampilkan. Kali ini firasat tersebut
dialami oleh putera Sophan Sophiaan (Romy Sophiaan). Romy
Time CodeNo Narasi Gambar
00:18-00:225. Minati : gak ada ya yang punya
hubungan sehebat mereka …
00:22-00:386. Sophan : kuncinya kalo orang
jawa itu …. Nrimo
20. 19
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
menceritakan bahwa Sophan Sophiaan pernah memiliki keinginan untuk
menjual motor besarnya setelah selesai melakukan Touring Merah Putih.
Ini akan dilakukan oleh Sophan Sophiaan karena ia sudah merasa yakin
bila touring yang dijalaninya ini merupakan touring terakhirnya.
Dalam Insert Investigasi Minggu sore (18 Mei 2008), sekali lagi firasat
yang dialami oleh keluarga Sophan Sophiaan diceritakan kembali oleh
puteranya Romy Sophiaan. Dikatakan bahwa dua hari sebelum kematian
Sophan, Romy merasa ada suara langkah kaki di depan kamar tidurnya.
Ia merasakan bahwa itulah langkah kaki ayahnya. Padahal Sophan pada
saat yang sama masih melakukan touring dalam rangka memperingati
100 tahun Kebangkitan Nasional. Di samping itu firasat yang dirasakan
oleh sesama rekan touring Sophan Sophiaan juga diceritakan dalam Insert
Investigasi tersebut. Dinyatakan oleh Freddy Soemitro, bahwa Sophan
Sophiaan pernah menyatakan keinginan untuk cepat-cepat kembali ke
Jakarta.
Penceritaan firasat atas kematian memang diakui sebagai bagian yang
termasuk menarik yang menyertai peristiwa kematian itu sendiri. Tidak
mengherankan setiap ada penayangan kematian artis di infotainment Insert
Investigasi, penceritaan tentang firasat ini selalu muncul. Misalnya pada
penayangan Insert Investigasi tentang kematian artis Gito Rollies beberapa
minggu sebelum Sophan Sophiaan meninggal dunia. Istri Gito Rollies
(Michelle) menceritakan bahwa suaminya sering meminta kepada sahabat-
sahabatnya untuk selalu mendoakan dirinya.
c. Perpindahan gambar yang cepat
Dalam tayangan Insert Investigasi, ada beberapa bagian cerita yang
dideskripsikan secara cepat dan dinamis. Cepat di sini berarti perpindahan
dari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan dengan tempo yang
singkat, dengan gambar yang beraneka ragam. Dinamis artinya
perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan
dengan teknik tertentu, bisa dengan teknik cut to cut ataupun dissolve.
Teknik perpindahan gambar ini memberikan impresi tertentu pula. Seperti
teknik cut to cut biasanya ingin menunjukkan perpindahan tema cerita
(Bordwell dan Thompson, 2008: 477). Sedangkan dissolve, merupakan
teknik perpindahan gambar yang ingin memunculkan kesinambungan
antar gambar (Bordwell dan Thompson, 2008: 478).
Pada tayangan Insert Investigasi Sophan Sophiaan terdapat beberapa
bagian alur cerita yang disampaikan dengan tempo cepat. Ini ditandai
21. Quo Vadis Televisi?
20
perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dalam waktu
singkat. Teknik perpindahan gambarnya pun bervariasi, ada cut to cut
dan ada pula yang dissolve. Perpindahan gambar yang cepat ini disertai
dengan teknik perpindahan gambar yang bervariasi memberikan kesan
dinamis pada peristiwa. Sesuatu yang dinamis biasanya berkait dengan
hal yang menyenangkan dan menggembirakan. Tentu ini bertolak
belakang dengan peristiwa kematian itu sendiri. Kematian tentu tidak
Time CodeNo Narasi
Gambar dan
Perpindahan Gambar
01.081.
01.102.
(ilustrasi musik)
01.11
01.13
3.
4. Jika...
22. 21
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
ditandai dengan kedinamisan peristiwa. Kematian biasanya dikesankan
sedih, duka, gelap, dan suram tentu jauh dari hal-hal yang bersifat dinamis.
Namun dengan teknik editing tertentu, peristiwa kematian justriu
mendapatkan kesan dinamis tersebut.
Dari rentetan gambar dalam tayangan Insert Investigasi Trans TV,
terkesan jelas bahwa perpindahan gambar atas peristiwa dilakukan
Time CodeNo Narasi
Gambar dan
Perpindahan Gambar
01.145.
01.156.
hidup adalah sebuah
film
Sophan Sophian adalah
01.16
01.18
7.
8.
lakon melodrama
terbaik…
Selama …. (delapan
windu perjalanannya …)
23. Quo Vadis Televisi?
22
dengan sangat cepat dan dinamis. Penampilan gambar hanya dilakukan
rata-rata per satu detik. Bahkan proses perpindahan gambar dengan
menggunakan teknik dissolve juga hanya memakan waktu satu detik saja.
Perpindahan gambar yang sangat singkat ini tentu mempengaruhi narasi
yang disampaikan. Narasi pun dibuat seringkas mungkin. Per satu detik
diucapkan rata-rata tiga kata (diksi). Tentu ini juga mempengaruhi secara
tidak langsung durasi pengucapan yang juga dituntut cepat.
Demikian pula saat berganti antar sequences dari prolog menuju isi
cerita. Tak jarang perpindahan gambar yang cepat ini turut mengiringi
alur cerita yang disampaikan. Padahal peristiwa yang disampaikan
adalah cuplikan-cuplikan gambar dari suasana pemakaman dari Sophan
Sophiaan yang sudah dilakukan sehari sebelumnya dan tentu sudah
ditayangkan pada sore dan pagi hari sebelum tayangan Insert Investigasi
ini diudarakan. Selain itu juga cuplikan-cuplikan gambar yang
menunjukkan suasana tahlilan yang digelar di rumah duka. Namun
karena disampaikan dalam tempo yang cepat, susunan gambar tersebut
malah berkesan tidak menunjukkan kedukaan.
Di bagian tayangan yang lain, perpindahan gambar semuanya juga
ada yang dilakukan per satu detik. Konsekuensinya pun berimbas pada
narasi tayangan. Narasi yang dibacakan pun hanya sekitar tiga kata per
satu detik. Sama dengan contoh sebelumnya. Perpindahan gambar pada
suasana pemakaman dilakukan dengan teknik dissolve-flash. Ini tentu
dimaksudkan untuk melakukan semacam flashback (kembali ke masa lalu)
pada peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya, yakni peristiwa
pemakaman Sophan Sophiaan di Pemakaman Tanah Kusir (Jakarta).
Ketika masuk rentetan gambar yang menunjukkan suasana tahlilan di
rumah duka Widyawati, teknik perpindahan gambar yang digunakan
adalah dissolve. Diruntutkan gambar-gambar yang mengetengahkan acara
tahlilan tersebut dilakukan.
Teknik dissolve digunakan dalam sequences ini tentu dengan maksud
menunjukkan kepada penonton tentang kesinambungan kronologis
suasana tahlilan di rumah duka. Namun ketika rentetan peristiwa tersebut
disajikan dengan tempo yang cepat dan teknik editing dengan perpindahan
gambar tertentu (dissolve flash dan dissolve), justru yang muncul adalah
kesan yang dinamis dan bergairah. Kesan dinamis dan bergairah ini jauh
dari kesan duka, sedih, gelap, dan kelam yang menjadi ciri pada realitas
kematian itu sendiri. Di sinilah keunikan terjadi.
24. 23
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
d. Penumpukan gambar
Selain mengemas bumper in dan melakukan teknik perindahan gambar
yang cepat, dramatisasi adegan juga diberikan dengan cara melakukan
penumpukan gambar. Penumpukan gambar yang dimaksud adalah
menggabungkan dua buah gambar yang berbeda menjadi satu dengan
teknik editing tertentu. Teknik editing tertentu yang dimaksud adalah
dengan cara seolah-olah akan melakukan perpindahan gambar dengan
teknik dissolve, namun hasilnya adalah dua gambar berbeda menumpuk
menjadi satu.
Time CodeNo Narasi Gambar
03.26-03.281. Narator : Ada sebuah sapaan
03.28-03.292. Narator : terakhir dari
almarhum
03.29-03.303. Narator : yang tidak ia sadari
03.30-03.314. Sama sekali
25. Quo Vadis Televisi?
24
Dari runtutan gambar di atas, terdapat dua kali gambar yang dengan
sengaja ditumpuk. Keduanya adalah gambar Sophan Sophiaan dan
Widyawati pada menit ke 03.28 dan 03.31. Entah kebetulan atau tidak,
penggabungan atau penumpukan dua gambar tersebut terasa mulus.
Dalam arti, gambar Sophan Sophiaan yang ditumpukkan ke gambar
Widyawati terlihat proporsional. Tidak terlihat salah satu obyek lebih besar
atau lebih kecil dari yang lain. Sehingga mengesankan antara Sophan
Sophiaan dan Widyawati terasa berimbang. Penumpukan gambar yang
proporsional ini tentu memunculkan impresi tertentu. Impresi ini dapat
bermakna macam-macam. Pertama, pekerja media ingin mengesankan
hubungan yang tidak saling mendominasi antara Sophan Sophiaan dan
Widyawati. Kedua, impresi tersebut seakan ingin menyatakan bahwa
antara Sophan Sophiaan dengan Widyawati itu ibarat dua sisi mata uang,
dua sisi yang sebenarnya adalah satu jiwa. Impresi ini terasa pas dengan
penguatan yang diperoleh dari penggabungan atau penumpuan dua
gambar dari masing-masing individu yang berbeda tersebut.
e. Penggunaan Diksi dan Majas
Unsur dramatisasi lain yang diberikan oleh acara Insert Investigasi
adalah dengan menggunakan diksi yang menarik untuk mengantarkan
cerita. Harus diakui sebagai salah satu acara infotainment dari sekian
Time CodeNo Narasi Gambar
03.31-03.335. Layaknya pesan perpisahan
03.33-03.356. Widyawati : Terakhir dia peluk
saya … I love you, ma …
26. 25
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
banyak acara serupa di televisi, Insert Investigasi memiliki tampilan yang
berbeda untuk bahasa narasinya. Perbedaan yang menyolok dari sisi
bahasa ini adalah dengan penggunaan diksi yang dipilih sedemikan rupa.
Selain itu Insert Investigasi juga sering menggunakan gaya bahasa atau
majas untuk memperindah pesan yang disampaikannya.
Gaya bahasa atau majas merupakan bahasa yang indah yang diguna-
kan untuk meningkatkan impresi tertentu, dengan jalan memperkenalkan
atau membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau
hal lain yang lebih umum (Sumadiria, 2006: 145). Penggunaan gaya bahasa
atau majas dalam tayangan ini masih ditambah lagi dengan intonasi suara
yang dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian pemirsa.
Sebenarnya penggunaan bahasa baik dari sisi pemilihan diksi dan gaya
bahasa (serta intonasi pembawaan yang khusus karena ini adalah media
televisi) merupakan hal yang wajar dalam acara sejenis Insert Investigasi.
Walaupun banyak pihak menolak bahwa infotainment bukanlah karya
jurnalistik, harus diakui bahwa prosesnya tidak jauh berbeda dengan karya
jurnalistik yang lain. Tayangan Insert sebagai sebuah infotainment
sebenarnya dapat dimasukkan sebagai berita ringan (soft news) ataupun
berita kisah (feature). Berita ringan atau berita kisah merupakan formart
berita yang mengandalkan nilai berita (news values) prominence atau
keterkenalan, kedekatan (proximity) dan human interest (Itule dan
Anderson, 2008: 12).
Sebagai berita ringan atau berita kisah, tentu memiliki keluwesan yang
lebih luas dibandingkan dengan jenis berita langsung (straight news atau
hard news). Jika dalam berita langsung lebih mengandalkan pemilihan
diksi yang bersifat lugas dan denotatif serta meminimalisir penggunaan
majas (gaya bahasa), maka berita ringan atau berita kisah justru sebaliknya.
Berita ringan dan berita kisah justru dapat mengandalkan pemilihan diksi
yang lebih luas dan memaksimalkan penggunaan majas. Tentu ini
dimaksudkan untuk mempercantik atau memperindah cerita yang
disusun.
Perhatikan penggunaan diksi dan majas dalam acara Insert Investigasi
Trans TV, Senin 19 Mei 2009: “Selamat sore pemirsa. Makam itu memang
masih basah. Untaian bunga masih segar di pusara. Dan air mata Widyawati
pun terus mengalir membasahi hatinya yang masih luka karena kepergian sang
belahan jiwa. Kini hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah
terbang jauh. Bersama saya Deasy Noviani inilah Insert Investigasi.”
(dinarasikan oleh Presenter Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).
27. Quo Vadis Televisi?
26
“Jika hidup adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama
terbaik. Selama delapan windu perjalanan nafasnya, Sophan Sophiaan
adalah aktor terbaik. Pria Makassar itu sempurna memerankan dua dunia
terpisah yang musti dimainkannya. Dia merupakan seniman produktif
dan politisi yang bersih anti korupsi dan feodalisme. Di sisi lain, Sophan
juga seorang suami terbaik, setia dengan perkawinannya. Almarhum
adalah potret sebuah totalitas. Di saat banyak artis beramai-ramai
mencalonkan diri untuk duduk di Senayan, Sophan Sophiaan malah memilih
hengkang. Dia tak tergiur jabatan gubernur, walikota, bahkan bupati.
Sophan bahkan memutuskan mundur dari DPR-MPR setelah 10 tahun
menghuni Senayan. Saat selebritis ramai-ramai bercerai, Sophan justru
makin mesra bersama Widyawati. Sayang tragika berdarah di alas
Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya, mencerabut seluruh
mimpinya yang ada. Namun semangatnya tak ikut terkubur bersama
jasadnya di tanah kusir. Seperti apa sosok Sophan di mata istri dan para
sahabatnya? Apa saja mimpi-mimpi besar sang aktor nasionalis yang
belum terwujudkan? Pemirsa inilah Insert Investigasi!” (Narator dalam
Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).
Diksi basah dalam kalimat: “Makam itu memang masih basah…” yang
diucapkan oleh presenter Deasy Novianti, tentu bermakna kiasan atau
konotatif. Basah dalam arti denotatif mensyaratkan adanya kadar air yang
tinggi pada suatu obyek. Tentu kata “basah” yang digunakan dalam
kalimat tersebut bukanlah bermakna bahwa makam Sophan Sophiaan
sedang tergenang air dalam volume yang besar. Namun lebih bermakna
bahwa makam tersebut masih baru digali dan digunakan untuk
memakamkan seseorang. Demikian pula dengan kata pusara dalam
kalimat: “Untaian bunga masih segar di pusara” merupakan kata lain yang
halus dan lembut untuk kata “makam”. Bisa jadi ini dimaksudkan untuk
mencegah perulangan kata yang sama dalam narasi yang diucapkan, agar
tidak membosankan telinga pendengar.
Penggunaan majas juga tampak dari narasi yang dituturkan oleh
presenter acara Insert Investigasi tersebut. Seperti dalam kalimat: “Kini
hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah terbang jauh.”
Perhatikan anak kalimat cinta yang telah terbang jauh. Anak kalimat ini
tentu merupakan majas simbolik. Majas simbolik merupakan majas atau
gaya bahasa yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu atau orang dengan
simbol atau lambing tertentu. Tentu yang dimaksud cinta yang telah terbang
28. 27
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
jauh di sini adalah sosok Sophan Sophiaan. Dengan meninggalnya Sophan
Sophiaan, praktis Widyawati harus menjalani hidup seorang diri. Sosok
Sophan Sophiaan yang sangat berarti bagi Widyawati ini disimbolkan
sebagai cinta. Karena kebetulan Sophan Sophiaan sudah meninggal dunia,
maka dinyatakan sebagai cinta yang telah terbang jauh.
Demikian pula narasi yang dituturkan oleh narator acara Insert
Investigasi, banyak menggunakan majas atau gaya bahasa untuk
mempercantik pesan yang disampaikan. Seperti dalam kalimat: “Bila hidup
adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama terbaik.” Kalimat
ini mengandung majas atau gaya bahasa alegori. Majas alegori merupakan
majas yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara lain, bisa
melalui kiasan atau penggambaran. Dinyatakan dalam kalimat tersebut,
bahwa sosok kehidupan Sophan Sophiaan ibarat sebuah film. Dalam
drama kehidupan ini, Sophan Sophiaan menjadi lakon atau tokoh pemain
yang terbaik yang berhasil menjalani kehidupannya di dunia nyata. Majas
ini pun bertujuan untuk mempercantik pesan yang disampaikan.
Penggunaan diksi yang unik juga muncul dalam kalimat: “Sayang
tragika berdarah di alas Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas
hidupnya, mencerabut seluruh mimpinya yang ada”. Perhatikan
pemilihan diksi tragika berdarah untuk menggantikan tragedi berdarah.
Dalam Bahasa Indonesia memang dikenal kata tragika sebagai kata lain
tragedi. Namun diksi ini relatif masih jarang digunakan. Sehingga ketika
Insert Investigasi Trans TV menggunakan diksi ini, terasa ada sesuatu yang
baru, yang ingin disampaikan pada pemirsa.
Tidak sekali ini saja Insert Investigasi menggunakan kata-kata yang
relatif masih jarang terdengar. Dalam acara Insert yang lain, seperti Insert
Siang pada Minggu, 18 Mei 2008, narator Insert juga menggunakan kata
berdedai-dedai untuk mendeskripsikan suasana beramai-ramai dari para
politisi, seniman, dan artis yang turut menjemput jenazah Sophan
Sophiaan di Bandara Soekarno Hatta setelah diterbangkan dari Solo. Tentu
saja dinyatakan unik karena diksi tersbut terhitung masih sangat jarang
digunakan dalam Bahasa Indonesia.
Sebagai perbandingan, perhatikan pemilihan diksi dan penggunaan
majas di acara Insert Investigasi Trans TV hari Minggu tanggal 18 Mei 2008:
“Derai air mata seakan menetes dari ribuan pasang mata, mengiringi
kepergian sang aktor legendaris Sophan Sophiaan. Kepergian untuk
selamanya yang begitu cepat masih terasa lirih membekas dalam hati.
29. Quo Vadis Televisi?
28
Akankah kekuatan itu masih tersisa meski ragamu sudah tak terlintas nyata
lagi ? Bersama saya Deasy Novianty, inilah Insert Investigasi …” (Presenter
dalam Insert Investigasi Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008)
“Pemakaman Sophan Sophiaan berlangsung hikmat. Siang hari tadi,
akhirnya jenazah aktor sekaligus sutradara kawakan Sophan Sophiaan
dikebumikan. Almarhum dibaringkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan
berdampingan dengan pusara ayahanda, Manai Sophiaan. Ribuan pelayat
membanjir dari berbagai kalangan. Mulai dari pejabat, politisi, sampai
semua kolega di dunia seni Memang paruh terakhir dalam kehidupan
almarhum banyak dihabiskan di kancah politik nasional. Tetapi ternyata
Khalam berkehendak lain. Seluruh reputasi kebesaran Sophan Sophiaan
rupanya dicukupkan Sang Pencipta di usia 64 tahun. Sekali lagi bangsa ini
berduka. Seperti apa suasana detik-detik terakhir pemakaman jenazah
Sophan Sophaan. Apa firasat dan pesan kematian almarhum? Pemirsa
inilah Insert Investigasi.” (Narator dalam Insert Investigasi Trans TV,
Minggu, 18 Mei 2008)
Perhatikan penggunaan kata kepergian sang aktor legendaris pada kalimat
yang diucapkan oleh presenter Insert Investigasi, Deasy Novianti untuk
edisi Minggu, 18 Mei 2008. Kata kepergian tentu untuk menggantikan kata
meninggal dunia. Kemudian sosok Sophan Sophiaan yang diwakili kata
aktor legendaris masih diimbuhi kata sang. Kata sang biasanya diberikan
untuk orang-orang yang dipandang ahli. Karena dipandang sebagai orang
yang ahli, kedudukan orang ini biasanya akan mendapatkan posisi
istimewa di tengah masyarakat. Dengan demikian kata sang menunjukan
pula pengakuan masyarakat kepada si tokoh yang diberikan mbuhan kata
tersebut. Demikian pula dengan kata membanjir yang digunakan oleh
narator untuk menarasikan peristiwa pada acara yang sama. Kata
membanjir yang merupakan majas atau gaya bahasa ini, tentu ingin
mengaskan demikian banyaknya pelayat yang menghadiri upacara
pemakaman Sophan Sophiaan.
f. Ilustrasi musik dan lagu
Ilustrasi musik dan lagu juga merupakan salah satu cara melakukan
dramatisasi dalam acara Insert Investigasi di Trans TV. Dalam sebuah
tayangan program televisi ataupun film, alunan ilustrasi musik dan selipan
lagu tentu dimaksudkan untuk memperkuat impresi pesan yang
disampaikan oleh acara tersebut (Bordwell dan Thompson, 2008: 273).
Dalam teknik produksi, bagaimana suatu suasana hendak dibangun dalam
30. 29
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
alunan cerita, salah satunya dilakukan dengan memberikan ilustrasi musik
ataupun selingan lagu. Dalam dunia penyiaran baik di radio maupun di
televisi, ini sudah menjadi semacam pakem atau aturan main. Apabila
ingin membangun suasana ceria, tentu diberikan ilustrasi musik atau
selipan lagu dengan tempo cepat. Untuk membangun suasana
bersemangat, tinggal diberikan ilustrasi musik atau selipan lagu dengan
tempo cepat dan bersifat menghentak. Bila ingin membangun suasana
untuk mengesankan peristiwa yang rutin terjadi, diberikan ilustrasi musik
ataupun selipan lagu dengan tempo sedang. Sebaliknya bila ingin
menonjolkan suasana sedih, tinggal diberikan ilustrasi musik atapun
selingan lagu dengan tempo lambat.
Dalam mengiringi peristiwa kematian, biasanya akan diberikan iringan
lagu atau selingan lagu dengan tempo yang lambat. Dalam tradisi
kematian orang Kristiani, biasanya diperdengarkan lagu-lagu gregorian
untuk kematian. Lagu ini memiliki tempo yang lambat. Tentu ini
menyesuaikan dengan suasana kematian yang tidak jauh dari dari kesan
sedih dan duka. Namun dalam acara Insert Investigasi Trans TV yang
mendeskripsikan Sophan Sophiaan, ilustrasi musik yang menyertai narasi
tidaklah selalu didominasi oleh musik yang memiliki tempo lambat. Di
beberapa bagian cerita, ilustrasi musik justru diisi dengan iringan lagu
dalam tempo sedang, bahkan cepat. Untuk tempo cepat ini bahkan tampak
nyata ketika mendeskripsikan secara ringkas pemakaman Sophan
Sophiaan sebagai pembuka cerita sebelum memasuki adegan tahlilan di
rumah duka. Tidak hanya itu ilustrasi musik yang mengiringi perpindahan
gambar bahkan dipilih dengan teknik smash.
Dari runtutan gambar di atas, dapat diperhatikan bagaimana Insert
Investigasi Trans TV memberikan ilustrasi musik pada peristiwa
pemakaman Sophan Sophiaan. Pemberian ilustrasi musik dengan tempo
cepat tentu merupakan konsekuensi dari perpindahan gambar yang juga
cepat. Seperti yang diamati pada tabel transkrip di atas, perpindahan
antargambar hanya berlangsung per satu detik dari gambar yang satu ke
gambar berikutnya. Belum lagi dalam perpindahan gambar, diberikan
efek flash (kilat atau petir) berwarna putih terang. Ilustrasi musik pun
mengikuti dengan efek smash (dentuman). Dengan tempo cepat dan efek
flash yang menyertai runtutan gambar tersebut, justru memberikan kesan
dinamis pada peristiwa yang disampaikan. Padahal sekali lagi, peristiwa
yang ditayangkan adalah peristiwa kematian, bukan peristiwa gembira
atau ceria.
31. Quo Vadis Televisi?
30
Dari Sisi Substansi:
a. Tayangan Gambar yang Berulang-Ulang
Dalam tayangan Insert Investigasi (Senin, 19 Mei 2008) yang
mengisahkan kematian Sophan Sophiaan seringkali ditemui pengulangan
gambar. Ada beberapa gambar yang digunakan secara berulang. Namun
pengulangan tersebut pada frekuensi tidak lebih dari dua kali. Sedangkan
tiga gambar di atas muncul dalam frekuensi yang sangat sering (sekitar
tiga sampai lima kali penayangan). Bahkan di gambar terakhir (gambar
nomor 3), gambar Sophan Sophiaan bersama motor besarnya muncul dua
kali dalam waktu yang sangat berdekatan, yakni di menit 11:10 dan 11:34.
Pengulangan gambar tidak hanya terjadi di dalam satu acara ini. Ada
beberapa gambar yang digunakan secara berulang di dalam acara Insert.
Jadi sudah digunakan pada Insert Siang dan Insert Investigasi di jam atau
hari sebelumnya, kemudian digunakan di acara ini. Seperti misalnya
gambar suasana pemakaman Sophan Sophiaan di Tanah Kusir, sudah
digunakan di Insert Siang edisi Minggu 18 Mei 2008 dan Senin 19 Mei
2008, kemudian digunakan kembali untuk Insert Investigasi edisi Senin 19
Mei 2008.
Sebagai sebuah acara hiburan, Insert Investigasi terikat pada teknik-
teknik produksi tertentu. Seperti perpindahan gambar yang cepat agar
terkesan dinamis dan durasi waktu yang sudah ditentukan. Perpindahan
gambar yang cepat dan tuntutan durasi waktu tertentu, tentu menuntut
stok gambar yang cukup. Namun bisa jadi Trans TV tidak memiliki stok
gambar yang cukup untuk memenuhi tuntutan produksi, hingga yang
akhirnya yang dilakukan adalah pengulangan gambar. Pengulangan
gambar tentu menjadi solusi di tengah kurangnya stok gambar, walaupun
solusi ini sebenarnya dari sisi estetika tidak dibenarkan dalam produksi
audio visual karena dapat menyebabkan kebosanan di mata penonton.
Padahal dalam sebuah produksi audio visual sebaiknya jangan sampai
terjadi penonton bosan dalam melihat sebuah karya produksi. Sehingga
perencanaan produksi harus dilakukan secara matang agar kekurangan
stok gambar dapat dihindari.
b. Tema yang bervariasi
Sisi substansi lain yang dilakukan oleh Trans TV dalam tayangan Insert
Investigasi mengenai peristiwa kematian aktor Sophan Sophiaan adalah
dengan melakukan variasi tema pada tayangan Insert Investigasi. Tema
yang diangkat untuk beberapa tayangan Insert Investigasi :
32. 31
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Insert Investigasi Minggu 18 Mei 2008 : Pemakaman Sophan
Sophiaan
Insert Investigasi Senin 19 Mei 2008 : In Memoriam Sophan Sophiaan
(dikaitkan dengan hobi motor besar dan kelanggengan keluarga)
Insert Investigasi Selasa, 20 Mei 2008 : In Memoriam Sophan
Sophiaan (dikaitkan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional)
Insert Investigasi Rabu, 21 Mei 2008 : Pemakaman Ali Sadikin
Insert Investigasi Kamis, 22 Mei 2008 : In Memoriam Ali Sadikin
dan Sophan Sophiaan (sebagai tokoh politik yang berani
berseberangan dengan penguasa)
Bila dikaitkan dengan jurnalisme, maka variasi tema biasanya akan
dilakukan oleh jurnalis untuk mengaktualkan peristiwa sehingga tetap
layak diberitakan. Variasi tema dalam tayangan Insert Investigasi mengenai
kematian Sophan Sophiaan ini tentu dilakukan dengan maksud tersebut,
yakni untuk mengaktualkan peristiwa agar tetap layak untuk disiarkan.
Walaupun pelebaran tema ini juga memicu konsekuensi lain, yakni
ketersediaan gambar untuk membangun program acara tersebut. Tidak
jarang ditemui pengulangan gambar yang dilakukan oleh Insert Investigasi
Trans TV untuk tema-tema yang berbeda tersebut. Namun karena tema
yang saling berbeda, penonton seakan diajak pula untuk selalu
memperbaharui wawasan tentang Sophan Sophiaan meski harus melihat
gambar yang sama.
Apalagi beberapa hari setelah Sophan Sophiaan meninggal dunia,
disusul oleh meninggalnya Ali Sadikin. Ali Sadikin dan Sophan Sophiaan
kebetulan memiliki kedekatan karakter, yakni sama-sama merupakan
orang-orang yang berani berseberangan dengan penguasa (Orde Baru).
Ali Sadikin yang merupakan mantan gubernur Jakarta (1966-1977)
merupakan tokoh Petisi 50 di era Presiden Soeharto berkuasa. Petisi 50
merupakan sekelompok masyarakat yang menolak dicalonkannya
kembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga kalinya pasca Pemilu 1977.
Kebetulan pula salah satu penanda tangan Petisi tersebut selainAli Sadikin
adalah Manai Sophiaan yang merupakan ayah kandung Sophan Sophiaan.
Kebetulan yang tidak dirancang ini, akhirnya malah memperpanjang
episode penceritaan Sophan Sophiaan di layar kaca. Jika dihitung sejak
meninggalnya, artinya tayangan Sophan Sophiaan hampir memakan
waktu seminggu lamanya.
33. Quo Vadis Televisi?
32
Dan Kematian pun Menjadi Hibuaran
Dari data yang diperoleh melalui analisis isi kualitatif, diperoleh
temuan bagaimana melalui sebuah proses kerja produksi media, peristiwa
kematian tidak lagi hadir dalam suasana yang sedih dan duka. Sebaliknya,
peristiwa kematian dikonstruksi sedemikian rupa, melalui teknik produksi
tertentu, sehingga ketika dipertontonkan kembali justru memunculkan
hiburan tersendiri. Di sini sebenarnya terlihat bagaimana kelihaian media
melakukan konstruksi terhadap sebuah peristiwa, sehingga peristiwa
berubah wajah ketika sampai di mata audiens. Termasuk dalam hal ini
adalah peristiwa kematian. Peristiwa kematian yang sebenarnya
merupakan peristiwa sedih dan duka, namun di tangan media (pekerja
media) mampu membalik semua itu menjadi peristiwa yang justru
memberian hiburan.
Masalah bagaimana media mampu melakukan konstruksi sedemikian
rupa, tentu mengingatkan pada beberapa konsep dalam komunikasi
massa. Pertama, konsep framing. Konsep framing sebenarnya lebih banyak
dimunculkan dalam kasus-kasus produksi berita (jurnalisme). Dalam
jurnalisme, framing memiliki arti bagaimana media membingkai sebuah
peristiwa. Artinya framing merupakan proses bagaimana media
memberikan definisi, penjelasan, evaluasi, bahkan rekomendasi terhadap
sebuah peristiwa. Muara dari framing adalah bagaimana media
memberikan pemaknaan tehadap sebuah peristiwa. Sebuah peristiwa
dapat dimaknai dengan cara yang berbeda-beda. Bahkan dengan
pemaknaan yang berbeda ini, sebuah peristiwa dapat tampil demikian
berubah dibandingkan dengan realitas sosialnya ketika sudah menjadi
teks media. (Nugroho, dkk, 1999). Dalam penelitian ini, peristiwa kematian
Sophan Sophiaan yang merupakan peristiwa sedih dan duka, dapat sangat
berubah wajah melalui proses framing ini, untuk kemudian menjadi sebuah
tontonan ataupun bacaan yang menghibur ketika tampil di media massa.
Lalu bagaiamana proses framing berlangsung di sebuah lembaga
media? Proses framing berlangsung dengan menggunakan bahasa. Dalam
berita, seperti teks surat kabar misalnya, tentu bisa dipahami, bagaimana
pekerja media, dalam hal ini jurnalis, banyak bermain dengan bahasa
ketika menuliskan realitas atau peristiwa yang diliputnya. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal tentu
digunakan jurnalis untuk mengurai substansi peristiwa. Di sini pun,
jurnalis perlu untuk memilih diksi dan menyusun kalimat yang sekiranya
tepat untuk menggambarkan peristiwa.
34. 33
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Selain bahasa verbal, jurnalis juga menggunakan bahasa non verbal.
Bahasa non verbal digunakan untuk memberikan impresi khusus bagi
pembaca. Ini bisa dilakukan dengan penentuan placement berita di lembar
suratkabar, penulisan headline yang khusus (misalnya dengan huruf tebal
dan tinta merah), kemudian memberikan tambahan foto (dengan angle,
komposisi, warna, dan manipulasi tertentu) dan ilustrasi grafis tertentu
(ilustrasi gambar, diagram, dan grafik misalnya) untuk memberikan kesan
tersendiri bagi pembaca.
Demikian pula dengan peristiwa kematian Sophan Sophiaan, di layar
Insert Investigasi Trans TV. Terlihat jelas bagaimana pekerja media di
lembaga media tersebut memanfaatkan semua potensi bahasa, baik verbal
maupun non verbal untuk mengkonstruksi peristiwa kematian Sophan
Sophiaan. Misalnya, bagaimana mereka melakukan editing gambar untuk
membangun kesan kelanggengan hubungan antara Sophan Sophiaan dan
Widyawati, memberikan ilustrasi musik tertentu untuk membangun
suasana tahlilan yang dilakukan di rumah duka, bahkan menyusun secara
khusus narasi cerita yang dilantunkan baik oleh presenter Insert Investigasi
atau narator yang mendeskripsikan gambar-gambar tentang peristiwa
kematian Sophan Sophiaan.
Dalam konsep framing juga diutarakan, bahwa proses framing yang
dilakukan oleh jurnalis dan lembaga media bukanlah tanpa maksud dan
tujuan.Artinya konstruksi yang dilakukan oleh jurnalis dan pekerja media
terhadap sebuah peristiwa bukanlah tanpa kepentingan. Terdapat
sejumlah kepentingan mengapa jurnalis dan lembaga media secara khusus
melakuan konstruksi tertentu terhadap sebuah peristiwa. Jika
bersinggungan dengan tradisi pemikiran kritis yang dipopulerkan oleh
Marx, salah satu kepentingan tersebut adalah mendapatkan keuntungan.
Di sinilah titik temu dengan konsep yang kedua, yakni kepentingan
ekonomi atau bisnis media. Dalam pemikiran kritis Marx yang
menyangkut media massa, diyakini bahwa media bukan merupakan
saluran yang netral. Media massa pada dasarnya merupakan alat dari
kelompok penguasa dominan untuk melakukan dominasi pada kelompok
yang lain. Dengan menjadi alat dari kelompok dominan, isi media pun
mencerminkan kepentingan dari kelompok dominan tersebut. Dalam
kasus media, salah satu kepentingannya adalah kapital, dalam arti
keuntungan yang sebesar-besarnya (Rogers, 1994: 102-125).
Dari deretan iklan yang muncul di Insert Investigasi, dapat dibayangkan
berapa banyak pendapatan yang diterima oleh Trans TV. Satu kali tayang
35. Quo Vadis Televisi?
34
saja Insert Investigasi mampu menayangkan hampir 50 iklan. Padahal iklan
yang ditampilkan sering pula tidak hanya sekali. Sebuah produk iklan
dapat ditayangkan dua hingga tiga kali dalam satu kali break iklan. Bila
dihitung kasar saja, harga iklan tersebut adalah 10 juta rupiah per sekali
tayang, artinya ketika ada 50 iklan, berarti pendapatan kotor Insert
Investigasi Trans TV adalah 500 juta rupiah atau setengah milyar rupiah
per tayangan. Padahal tayangan tentang kematian Sophan Sophiaan di
Insert Investigasi tidak hanya sekali. Hampir satu pekan lamanya pasca
kematian Sophan Sophiaan, tayangan Insert Investigasi menyiarkan tema
tentang Sophan Sophiaan walau dengan angle yang berbeda-beda.
Seperti dipaparkan pada data di atas, peristiwa kematian Sophan
Sophiaan masih bisa diaktualkan ketika Ali Sadikin (mantan Gubernur
Jakarta) juga meninggal dunia. Katakanlah bila tayangan tentang kematian
Sophan Sophiaan muncul dalam lima kali acara Insert Investigasi, maka
penghasilan kotor Insert Investigasi Trans TV mencapai 2,5 milyar rupiah.
Ini tentu jumlah yang tidak kecil. Jumlah ini juga belum termasuk ketika
peristiwa kematian Sophan Sophiaan ini ditayangkan dalam program
Insert yang lain, seperti Insert Pagi dan Insert Siang.
Dari sisi etis, yang kemudian bisa diperdebatkan adalah: apakah etis
menayangkan peristiwa kematian, yang merupakan peristiwa sedih dan
duka untuk kemudian mendapatkan keuntungan sedemikian rupa?
Padahal bila belajar dari kasus penyiaran di negara-negara maju,
penayangan kematian sangat kecil untuk melibatkan pengiklan. Yang
paling diingat adalah siaran langsung dari peristiwa kematian dan
pemakaman Putri Diana dari Inggris. Kematian dan pemakaman Putri
Diana disiarkan langsung oleh BBC Inggris dan direlai oleh hampir semua
stasiun televisi di dunia. Namun BBC pun memberikan syarat, bahwa
siaran relai boleh dilakukan, namun tidak untuk kemudian dijual kepada
pengiklan.
Dari analisis inilah, ditemukan relevansi dengan konsep yang ketiga
yakni komodifikasi. Seperti telah dinyatakan dalam kerangka teori,
komodifikasi atau commodification adalah upaya mengubah apapun
menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan
keuntungan. Artinya bagaimana mengubah komoditi dari nilai gunanya
menjadi nilai yang dapat dipertukarkan di pasar. Tiga hal yang saling
terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media
adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah
audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada
36. 35
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan
untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih
besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber
produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya
profit bagi pengusaha (dalam Mosco, 1996).
Demikian pula dalam peristiwa kematian Sophan Sophiaan.
Pemberitaan Sophan Sophiaan tentu dilakukan untuk memberitahukan
bahwa ada sosok tokoh masyarakat yang meninggal dunia akibat
kecelakaan. Ini sebenarnya peristiwa lumrah dan biasa. Sama halnya
peristiwa kelahiran dan perkawinan yang juga selalu diikuti oleh
pemberitahuan kabar akan peristiwa tersebut kepada orang-orang
terdekat, demikian pula dengan peristiwa kematian. Peristiwa kematian
pun selalu akan dikabarkan kepada orang-orang terdekat.
Bila yang meninggal dunia adalah tokoh masyarakat, maka pengabaran
atau pemberitahuan kematian pun biasanya akan bersifat massal dengan
menggunakan fasilitas media massa. Namun karena yang mengabarkan
adalah media massa yang berbasis industri (media massa komersial), maka
pesan kematian pun harus melalui proses modifikasi. Proses inilah yang
kemudian mengubah pesan kematian, tidak hanya untuk mengabarkan
kematian semata, namun berubah wajah menjadi pesan kematian yang
sifatnya komersial karena persentuhannya dengan industri (kapital). Di
sinilah proses komodifikasi berlangsung.
Dalam logika industri media massa, pertama yang harus dilakukan
adalah bagaimana mengkonstruksi teks media, yang tidak hanya memiliki
nilai informatif namun juga laku jual. Laku jual di sini dalam arti diminati
oleh audiens, baik penonton televisi maupun pembaca surat kabar (dalam
hal ini adalah tabloid). Eksistensi audiens tentu memiliki arti penting bagi
media massa yang berbasis industri. Audiens atau khalayak inilah yang
akan dijual oleh pihak pengelola lembaga media kepada para pengiklan.
Untuk media televisi, penjualan audiens ini biasa ditandai dengan
rating yang biasanya dilakukan oleh lembaga rating di luar kuasa media.
Sedangkan untuk media cetak, seperti surat kabar, majalah, ataupun
tabloid tentu terlihat dari jumlah eksemplar media yang mampu dijual.
Di sisi lain, pengiklan juga akan mempertimbangkan besar kecilnya
audiens guna memperhitungkan pemasangan iklannya. Pertemuan
kepentingan antara mendapatkan keuntungan bagi lembaga media massa
dengan kepentingan dalam mendapatkan jumlah audiens yang memadai
dari lembaga pengiklan inilah yang kemudian memaksa pihak pengelola
37. Quo Vadis Televisi?
36
media untuk dapat merancang sedemikian rupa pesan teks media agar
dapat diminati audiens.
Inilah yang terjadi pada Insert Investigasi Trans TV: bagaima para pekerja
media berusaha mengemas sedemikian rupa teks media, dalam hal ini
kematian aktor dan mantan politisi senior Sophan Sophiaan. Bahkan harus
pula melakukan strategi tersendiri untuk mengaktualkan peristiwa
tersebut, misalnya dengan memberikan angle atau sudut pandang berbeda.
Ketika tema atau sudut pandang ini terasa sudah mulai tidak aktual setelah
beberapa hari, Insert Trans TV mendapatkan ’berkah’ dengan kematian
Ali Sadikin (tiga hari sesudah kematian Sophan Sophiaan). Proses
komodifikasi pun terus berlangsung, karena memang secara tidak sengaja
kedua tokoh yang meninggal juga memiliki relasi satu dengan yang
lainnya. Keuntungan usaha yang diperoleh pun terus mengalir.
Untuk menarik minat audiens, Trans TV dipaksa berpikir keras
mengenai format tampilan pesan teks media. Peristiwa kematian harus
dikemas sedemikian rupa hingga jauh dari kesan sedih dan duka. Ini
dilakukan tentunya untuk menarik perhatian perhatian audiens. Kemasan
yang ditampilkan kemudian adalah kemasan menghibur melalui teknik-
teknik produksi tertentu. Dalam kasus Insert Investigasi Trans TV, ini
dilakukan melalui teknik pengambilan gambar, teknik editing gambar
dan suara, serta ilustrasi musik. Selain itu juga dengan memberi tema
atau sudut pandang atau angle yang bervariasi. Dari sinilah kemudian
bisa dipahami bagaimana masalah etis dikesampingkan dalam peristiwa
kematian. Dalam arti peristiwa kematian yang seharusnya bukan
merupakan komoditi yang diperjualbelikan. Namun karena formatnya
sudah berubah dalam proses produksi media, justru menjadi hiburan bagi
audiens, yang kemudian menjadi sah apabila menjadi komoditi yang
diperjualbelikan.
Dari pemaparan analisis data di atas, membawa pada konsep terakhir
dalam penelitian ini, yakni necrocultura. Seperti dipaparkan di kerangka
teori, Necrocultura merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Fabio
Giovanni, memiliki pemahaman suatu kebudayaan di mana kematian
menjadi kecintaan. Kematian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang
mengerikan atau kesedihan yang teramat sangat. Namun dikemas
sedemikian rupa sehingga lebih merupakan perayaan daripada peristiwa
duka cita (Giovanni dalam Sudiardja, 2002; 193). Bila dilihat dari
pemaparan di atas, terlihat bagaimana persinggungan antara kepentingan
kapitalistik media mengubah wajah realitas kematian Sophan Sophiaan.
38. 37
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Kematian Sophan Sophiaan jelas melahirkan perasaan duka yang
mendalam bagi pihak yang ditinggalkannya, khususnya Widyawati selaku
istri dan Romi-Roma Sophiaan selaku putera almarhum. Sebagai sosok
terkenal, kematian Sophan Sophiaan pun diberitakan di media massa,
termasuk di Insert Investigasi Trans TV. Namun karena Trans TV berada
dalam satu latar sebagai media komersial, Insert Investigasi Trans TV perlu
pula mengkonstruksi realitas tersebut secara khusus karena adanya
kepentingan media tersebut untuk mencari keuntungan.
Di sinilah sebenarnya persinggungan antara realitas kematian Sophan
Sophiaan dengan kepentingan media yang kapitalistik bertemu.
Perubahan wujud realitas kematian pun terjadi. Realitas kematian yang
semula bernuansa kesedihan dan duka, berubah wajah menjadi tontonan
yang memberikan penghiburan tersendiri bagi para audiensnya. Jadilah
akhirnya sebuah perayaan kematian yang menghibur ....
Penutup
Merayakan realitas kematian bukan hanya milik adat istiadat dan
budaya tertentu dari sebagian keyakinan umat manusia. Merayakan
kematian ternyata juga merupakan milik media massa. Trans TV mampu
mengubah wajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan
memilukan, menjadi peristiwa dengan karakter yang menghibur. Semua
dilakukan melalui proses pembingkaian. Proses pembingkaian yang
melibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupun non verbal, dilakukan
sedemikian rupa untuk mengubah wajah kematian tersebut. Insert Trans
TV melakukannya dengan teknik produksi, baik melalui pemberian
bumper in (penceritaan firasat dari si nara sumber), perpindahan gambar
yang cepat dan manipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik.
Persinggungan antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi
media (melalui proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah
peristiwa kematian menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Pekerja media
perlu mengemas sedemikian rupa realitas kematian Sophan Sophiaan
tersebut, menjadi sebuah pertunjukan yang menghibur. Semua ini
dilakukan dalam rangka mendapatkan iklan sebsar-besarnya. Insert
Investigasi Trans TV dalam tafsiran penulis, mampu meraih sekitar 2,5
milyar rupiah dari pendapatan iklannya. Realitas kematian yang
ditampilkan oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih dan
duka, bahkan jauh dari menakutkan dan mengerikan. Konstruksi
sedemikian rupa pada peristiwa kematian Sophan Sophiaan mampu
39. Quo Vadis Televisi?
38
memunculkan hiburan tersendiri bagi audiens media yang bersangkutan.
Teks media pun menjadi bagian dari perayaan necrocultura itu sendiri.
Daftar Pustaka
Bharata, Bonaventura S. dan Dina Listiorini, 2007, Ekonomi Politik Bahasa Siaran
dan Pekerja Media di Jaringan Radio Anak Muda – Studi Deskriptif Kualitatif di
Radio Prambors, Yogyakarta, Riset Dosen Muda DIKTI
Bordwell, David and Kristin Thompson, 2008, Film Art, An Introduction, Eight
Edition, McGraw-Hill International,
Cremer, Charles F, Phillip O. Kirstead, Richard D. Yoakam, 1996, ENG Television
News, Third Edition, McGraw-Hill Companies
Fiske, John, 1990, Introduction to Communication Studies, London, Routledge
Itule, Bruce D. and Douglas A. Anderson, 2008, News Writing and Reporting for
Today’s Media, McGraw Hill International, New York.
Kurniati, Diah, 2006, Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Jurnal Penelitian Ilmu
Komunikasi Thesis V/1 Januari-April, Depok, Departemen Komunikasi FISIP-
UI
Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking and
Renewal. California: Sage Publication
Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007, Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-Contoh
Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis, Bandung, Penerbit Rosda
Nugroho, Bimo, dkk, 1999, Politik Media Mengemas Berita, Jakarta, ISAI
Rogers, Everett M., 1994, AHistory of Communication Study: ABiographical Approach,
New York, The Free Press
Suara Pembaruan, 06/02/2008, “Pak Harto Dongkrak Rating” diakses dari http://
indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html
Sudiardja, A, 2002, Dan Kematian pun Semakin Akrab, Jurnal Ilmu Humaniora Baru
Retorik I/3, November, Yogyakarta, Ilmu Religi dan Budaya USD
Sumadiria, AS Haris, 2006, Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung
Yusuf, Iwan Awaluddin, 2005, Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas,
Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka –
Semarang, Yogyakarta, UII Press
Catatan:
1 Berdasarkan data harian hasil survei elektronik kepemirsaan televisi AGB
Nielsen Media Research yang diterima SP, baru-baru ini, jumlah pemirsa di
Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, yang menonton tayangan berita
wafatnya Soeharto pada hari Minggu mencapai 5.504.000 pemirsa. Jumlah
tersebut meningkat 1,4 persen dibandingkan hari sebelumnya (Sabtu, 26/1)
yang mencapai 5.005.000 orang, atau mencapai 15,3 persen dari total populasi
40. 39
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
individu yang memiliki televisi di empat kota tersebut dan berusia di atas 5
tahun yang berjumlah 36.008.962 orang. Sementara tayangan pemakaman
Soeharto pada hari Senin ditonton oleh 5.935.000 pemirsa atau meningkat
hingga 16,5 persen dari total populasi di keempat kota tersebut. (dalam http:/
/indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html)
2 Sejenak mungkin perlu pula kita bercermin pada peristiwa serupa yang dialami
oleh Putri Diana (Lady Diana) dari Inggris pada saat kematiannya di akhir Juli
1997 lalu akibat kecelakaan di sebuah terowongan terkenal (Pont d’Alma) di
kota Paris - Perancis. Televisi BBC memperkenankan stasiun televisi lain di
seantero dunia untuk ikut menyiarkan siaran langsung prosesi pemakamannya,
namun BBC melarang keras stasiun-stasiun TV tersebut menyelipkan iklan
dalam tayangan tersebut. Alasan etis merupakan landasan argumentasi BBC
untuk pelarangan penyelipan iklan pada tayangan tersebut. Padahal acara
tersebut diyakini ditonton tidak kurang dari satu milyar penduduk dunia.
Sebuah angka fantastis yang pasti menggiurkan untuk para pemasang iklan
di industri televisi.
3 Tak pernah terbayangkan sebelumnya bila tanah pemakaman kemudian
mampu berfungsi pula sebagai taman bermain dan belajar anak-anak. Menjadi
jamak pada masa sekarang, anggota masyarakat justru mengikuti program
asuransi kematian sebagai sebuah persiapan. Dan tidak menjadi aneh apabila
upacara kematian yang digelar oleh beberapa suku tertentu justru memakan
biaya yang lebih besar daripada menyelenggarakan upacara pernikahan.
Peluang-peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa orang sebagai
sebuah bisnis yang menjanjikan.
41. 40
Beberapa acara yang ditayangkan di televisi kini makin mencemaskan.
Banyak program acara televisi yang ditujukan untuk hiburan
memunculkan adegan kekerasan, pengintaian, kecemburuan, pengejaran,
kemiskinan, sensualitas, hingga mistis.Acara tersebut bahkan mengekspos
hal yang semestinya dalam ranah privasi menjadi konsumsi publik. Lihat
saja reality show yang menjamur di berbagai stasiun televisi.Acara semacam
ini menyajikan berbagai kemasan serta realitas yang ingin disuguhkan
kepada pemirsa. Dengan mengusung embel-embel ‘reality’ (kisah nyata),
seolah menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya bosan dengan
kisah-kisah sinetron yang ditayangkan di televisi yang selama ini dianggap
‘meninabobokan’ pemirsanya.
Peristiwa atau hal yang sungguh-sungguh terjadi tentunya akan lebih
bisa diterima oleh masyarakat. Respon pemirsa terhadap reality show pun
cukup tinggi, dan bila dilihat dari segi biaya produksi, acara seperti ini
lebih murah daripada membuat sinetron. Maka tak heran jika beberapa
televisi swasta dan production house berlomba-lomba membuat acara
serupa, seperti: Bedah Rumah (RCTI), Tolong (RCTI), Mata-mata (RCTI),
Bukan Sinetron (Global TV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI), Be a Man
(Global TV), Pacar Pertama (SCTV), Maafin Gue Dong (ANTV), Curhat bareng
Anjasmara (TPI), Termehek-mehek, Orang Ketiga, Realigi, Make Over (Trans
TV), dan lain-lain.
Drama Reality Realigi
“Insyaflah wahai manusia jika dirimu bernoda. Dunia hanya naungan ‘tuk
makhluk ciptaan Tuhan”.
Lirik lagu ini merupakan pembuka pada bumper opening drama reality
Realigi di Trans TV. Lagu Keagungan Tuhan yang dinyanyikan dengan
syahdu oleh Rita Effendi, seolah mewakili pesan dari acara itu, yakni
meminta manusia untuk bertobat. Realigi ditayangkan setiap Senin dan
Kekerasan dalam Tayangan Realigi
Trans TV
Ery Kurnia Putri
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
42. 41
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
Rabu, pukul 20.00-21.00. Tayangan ini dinamakan Realigi, sesuai
kepanjangannya Realiti Religi, karena mengemas dan mengangkat unsur
religi. Inilah yang membedakan acara ini dengan acara-acara reality lain.
Acara ini seolah ingin menampilkan pesan serta nilai-nilai positif dari
peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan kita. Misalnya,
kisah tentang adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang menjadi
pelacur; adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang berebut warisan;
adik yang ingin menyadarkan kakak yang ingin menjual dirinya; ibu yang
ingin menyadarkan anaknya dari jeratan narkoba; anak yang ingin
menyadarkan ayahnya dari main perempuan; anak yang ingin
menyadarkan ayahnya yang seorang banci; dan banyak kisah-kisah
lainnya.
Konflik-konflik yang terjadi pada tayangan tersebut sering
mempertontonkan adegan kekerasan, seperti berantem dan adu mulut.
Pada akhir cerita ditampilkan pertobatan seseorang yang insyaf (tobat)
dari kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Bisa juga ending dari
ceritanya adalah ganjaran atau akibat yang diterima oleh seseorang yang
melakukan kesalahan.
Pemahaman Mengenai Kekerasan
Kebanyakan orang menganggap kekerasan dalam arti sempit, yakni
sesuatu yang sifatnya brutal seperti: perang, pembunuhan, dan
penganiayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 550),
kekerasan dapat diartikan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras:
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan
fisik atau barang orang lain; paksaan. Sedangkan menurut James Potter
(1999: 217) kekerasan adalah segala tindakan yang membahayakan
seseorang atau suatu nilai seseorang, seperti fisik, harta benda, reputasi,
atau pemikiran. Tindakan bisa dalam bentuk fisik maupun verbal;
dampaknya bisa jadi fisik, emosi, atau psikologis.
Sementara itu, Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain dari
kekerasan. Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique” atau
kekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak
dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam
dari orang yang mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh
korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatu
kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harus
terjadi (Kristiawan, 2007).
43. Quo Vadis Televisi?
42
Rainy Hutabarat (2008) mengatakan bahwa kekerasan simbolik adalah
mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang
timpang dan hegemoni di mana pihak yang satu memandang diri lebih
superior entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin
dan usia. Tiap tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan
dan atau komunikasi yang sewenang-wenang di antara dua pihak.
Unit konteks dalam penelitian ini adalah acara Realigi, sedangkan unit
rekamannya adalah narasi dan visualisasi dari acara tersebut. Unit analisis
dan kategorinya, yaitu:
Adegan Kekerasan
Menendang, memukul, menampar,
membanting, menusuk, menyiram, melempar
barang, mendorong, membenturkan,
menginjak, mencekik, menarik paksa,
menceburkan, dihimpit, menabrak, mencakar,
dan menjambak rambut.
Memaki, membentak, menghina, memfitnah,
mengancam, mencemooh, menakut-nakuti,
memprovokasi, dan meremehkan.
Kekerasan agama: label “dosa”, pengejaran.
Kekerasan terhadap perempuan: kekerasan
ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan
fungsional.
Kombinasi fisik dan verbal.
Kombinasi fisik dan simbolik.
Kombinasi verbal dan simbolik.
Kombinasi fisik, verbal, dan simbolik.
Memar, luka-luka, dan rasa sakit yang dapat
dilihat dari ekspresi wajah, bahasa tubuh dan
suara (berteriak: “Aduh”, “Sakit”).
Menangis, tertekan, marah, depresi, sedih,
dan muram.
Kombinasi fisik dan psikologis.
Durasi kekerasan
(Jumlah detik)
Fisik
Verbal
Simbolik
Fisik dan verbal.
Fisik dan Simbolik.
Verbal dan
Simbolik
Fisik, Verbal, dan
Simbolik.
Fisik
Psikologis
Fisik dan
Psikologis
Kekerasan
Jenis kekerasan
Jenis Akibat
Kekerasan
1.
2.
Dimensi (Indikator)KategoriUnit AnalisisNo
44. 43
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
Kekerasan dalam Tayangan Realigi
Lima episode yang dianalisis dalam penelitian mengenai kekerasan
dalam tayangan drama reality Realigi ini, yaitu: (1) Mantan narapidana
yang meninggalkan keluarga (Senin, 31/08/2009); (2) Seorang kakak
terkena kasus menghamili seorang perempuan (Rabu, 02/09/2009); (3)
Suami yang suka selingkuh (Senin, 07/09/2009); (4) Anak yang salah
pergaulan hingga terjerumus narkotika (Senin, 14/09/2009); (5) Kakak yang
melupakan Ibunya (Rabu, 16/09/2009).
Berikut ini pembagian durasi acara pada ke lima tayangan Realigi:
Dalam tayangan Realigi tersebut terdapat porsi iklan yang cukup tinggi,
terutama pada episode 31/08/2009, dengan durasi 1.467 detik (24 menit,
27 detik). Sementara total durasi acara yang paling tinggi juga pada episode
31/08/2009, yakni 3.894 detik (1 jam, 4 menit, 54 detik). Rata-rata durasi
tayangan (tanpa iklan) pada tiap episode yaitu 2.360 detik (39 menit, 20
detik). Jumlah durasi iklan yang paling rendah pada episode 16/09/2009,
yakni hanya 849 detik (14 menit, 9 detik), dengan total durasi acara
terendah yakni 3.187 detik (53 menit, 7 detik).
Durasi kekerasan pada tayangan Realigi:
Hari dan Tanggal Episode
Total Durasi
Senin, 31/08/2009
Rabu, 02/09/ 2009
Senin, 07/09/2009
Senin, 14/09/2009
Rabu, 16/09/2009
Durasi Tayangan
03:16:39
(11.799 detik)
40:27
(2.427 detik)
40:23
(2.423 detik)
40:00
(2.400 detik)
36:51
(2.211 detik)
38:58
(2.338 detik)
Durasi Iklan
01:38:59
(5.939 detik)
24:27
(1.467 detik)
17:50
(1.070 detik)
23:47
(1.427 detik)
18:46
(1.126 detik)
14:09
(849 detik)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Total Durasi Acara
04:55:38
(17.738 detik)
01:04:54
(3.894 detik)
58: 13
(3.493 detik)
01:03:47
(3.827 detik)
55:37
(3.337 detik)
53:07
(3.187 detik)
Episode
31/08/2009
02/09/2009
07/09/2009
14/09/2009
16/09/2009
Durasi Kekerasan
432 detik (7 menit 12 detik)
447 detik (7 menit 27 detik)
446 detik (7 menit 46 detik)
766 detik (12 menit 46 detik)
479 detik (7 menit 59 detik)
%
17,80
18,44
19,42
34,64
20,49
No.
1.
2.
3.
4.
5.
45. Quo Vadis Televisi?
44
Berdasarkan total durasi tayangan Realigi (tanpa iklan) sebesar 11.722
detik (1 jam, 40 menit, 16 detik), maka dapat dilihat prosentase durasi
adegan kekerasan dari tiap episode Realigi sebagai berikut:
Gambar 1: Diagram Prosentase Durasi Kekerasan pada Kelima Episode Realigi
Total durasi kekerasan pada kelima episode sebesar 23 persen, dimana
prosentase durasi kekerasan pada episode 14/09/2009 lebih besar dari
prosentase durasi kekerasan episode lainnya, yakni sebesar tujuh persen
dari total durasi tayangan. Sebanyak 77 persen merupakan durasi lain
yang tidak menunjukkan adanya adegan kekerasan. Meski demikian,
adegan-adegan yang menampilkan akibat kekerasan seperti menangis,
tertekan, dan murung dapat dilihat dari awal hingga akhir acara. Hanya
saja penelitian ini mencoba mengukur bagaimana kekerasan yang muncul
serta apa akibatnya, bukan mengukur seberapa besar akibat tindakan
kekerasan itu sendiri. Adanya adegan-adegan yang menampilkan akibat
kekerasan, menunjukkan indikator adanya adegan kekerasan yang terjadi.
Jenis Kekerasan pada Tayangan Realigi
Rata-rata prosentase durasi berdasarkan jenis kekerasan dari kelima
tayangan Realigi tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
Dari kelima tayangan Realigi tersebut, kita bisa menemukan rata-rata
durasi tiap jenis kekerasan yang ada pada tayangan itu. Kekerasan fisik
sebesar lima persen, kekerasan verbal sebanyak 26 persen, kekerasan
simbolik sebanyak empat persen, kombinasi kekerasan fisik dan verbal
(F&V) sebanyak enam persen, kombinasi kekerasan verbal dan simbolik
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaa
aaaaaaaaa
aaaaaaaaa
aaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
31 Agustus 2009
2 September 2009
7 September 2009
14 September 2009
16 September 2009
Durasi Lainnya
aaa
aaaaaa
aaaa
aaaa
aa
aa
aa
aa
aa
aa
4%
78%
4%
4%
4%
6%
46. 45
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
(V&S) sebanyak 34 persen, kombinasi kekerasan fisik dan simbolik (F&S)
sebanyak dua persen, dan kombinasi kekerasan fisik, verbal dan simbolik
(F,V&S) sebanyak 23 persen. Dapat dilihat disini durasi adegan kombinasi
kekerasan verbal dan simbolik (V&S) jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kekerasan lainnya, yakni sebesar 34 persen.
Kekerasan Simbolik dalam Realigi
Ada beberapa kekerasan dalam tayangan Realigi yang menunjukkan
adanya bentuk-bentuk kekerasan simbolik, yakni bentuk kekerasan agama
dan kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan Agama
Tayangan drama reality Realigi yang dikemas secara religius dan Islami,
menampilkan kisah reality dimana seorang klien meminta bantuan tim
Realigi untuk menyadarkan seseorang yang dianggap telah melakukan
kesalahan (dosa) atau dianggap telah melakukan perbuatan yang
menyimpang dari ajaran agama Islam. Klien atau si pelapor ini meminta
bantuan dengan harapan masalahnya dapat terselesaikan.
Tim Realigi pun beraksi menemani klien melakukan pengintaian,
pengejaran, dan memberi pengertian pada target dari klien. Ada
semacam ajakan pada seseorang untuk bertobat. Berbagai adegan pun
terjadi mulai dari adu mulut hingga kontak fisik. Di akhir acara, seseorang
yang dianggap melakukan perbuatan yang menyimpang akhirnya
bertobat, kembali pada jalan yang benar (agama).
Gambar 2: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Jenis Kekerasan
dari Kelima Tayangan Realigi (31/08/2009–16/09/2009)
Kekerasan Fisik
Kekerasan Verbal
Kekerasan Simbolik
Kekerasan Fisik & Verbal
Kekerasan Verbal & Simbolik
Kekerasan Fisik & Simbolik
Kekerasan Fisiko, Verbal
& Simbolik
aaa
aaa
aaa
aaaa
aaaa
aa
aa
aa
aa
aa
aa
aaa
aaa
aaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaa
aaaaa
aaaaaaaaaa
aaaaa
aaaaa
aaaaa
aaaaa
aaaaa
aaaaaaaaaa
aaaaa
aaaaa
aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaa
aaaaaa
aaaaaa
aaaaaa
aaaaaa
aaaaaa
aaaaaa
26%
4%
6%34%
2%
23%
5%
47. Quo Vadis Televisi?
46
Acara ditutup dengan tampilan orang bertobat yang melakukan shalat
diiringi backsound musik Islami, seolah ingin memberikan pesan moral
bahwa kebaikan selalu berhasil mengalahkan yang jahat (konsep religius).
Layaknya sebuah sinetron, kisah pun seolah berakhir happy ending. Waktu
pertobatan cukup instant. Hanya beberapa hari syuting, tim Realigi dan
klien berhasil menyadarkan seseorang (yang dianggap berdosa) untuk
bertobat atau kembali pada ajaran agama.
Kekerasan simbolik terjadi, salah satunya dalam bentuk kekerasan
agama, yakni pemaksaan terhadap seseorang untuk bertobat sesuai ajaran
agama. Justifikasi bahwa seseorang bersalah dan harus kembali pada
sesuatu yang dianggap benar (agama)—dikarenakan perbuatan
menyimpang—dianggap merugikan atau menyakiti pihak lain.
Kekerasan agama dapat ditemukan pada tiap episode yang sebagian
besar berupa adegan pengejaran pada target yang dilakukan oleh klien
dan tim Realigi. Hal tersebut merupakan simbol adanya pemaksaan
terhadap seseorang, terlepas apakah orang tersebut bersalah atau tidak.
Target lari dan selalu menghindar karena dirinya merasa tidak nyaman
dan terancam. Terlebih lagi, target justru merasa takut dengan banyaknya
orang dengan membawa kamera menghampirinya seolah hendak
menghakiminya.
Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan simbolik terhadap perempuan meliputi segala bentuk
kekerasan berbasis jender dimana pihak yang dominan (dalam hal ini
laki-laki) merasa berhak menentukan makna dari suatu hal sebagai satu-
satunya pandangan yang paling benar. Sementara pihak yang terdominasi
(dalam hal ini perempuan) menerima proses ini sebagai sesuatu yang
memang seharusnya berlaku. Di sini terjadi semacam proses ‘naturalisasi’
ketika perempuan menerima bentuk kekerasan simbolik dari laki-laki
sebagai suatu hal yang wajar.
Lima episode Realigi (31/08/2009-16/09/2009), ternyata menampilkan
bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Kekerasan simbolik
tersebut meliputi: kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan
fungsional.
Kekerasan simbolik terhadap perempuan pada tayangan Realigi dapat
dilihat dari simbol-simbol baik teks maupun visual yang ditampilkan.
Sebagian besar klien atau pelapor yang meminta bantuan tim Realigi
adalah perempuan. Mengapa? Secara tidak langsung hal tersebut
48. 47
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
menunjukkan bahwa perempuan adalah kaum lemah yang tidak mampu
menyelesaikan persoalannya.
Perempuan, dalam hal ini si pelapor harus meminta bantuan pada
Erwin (host Realigi) beserta timnya untuk membantu menyadarkan orang
lain yang dianggap telah melakukan suatu kesalahan (dosa). Kita lihat
saja, bagaimana Erwin yang adalah laki-laki seolah berperan melindungi
klien (perempuan) terutama saat klien harus bersinggungan atau
bersitegang dengan laki-laki. Sosok laki-laki dalam Realigi dianggap lebih
memiliki power atau kekuatan untuk menyelesaikan persoalan.
Kekerasan ekonomi terhadap perempuan juga ada dalam tayangan
Realigi ini. Misalnya, pada episode 31/08/2009, kita melihat bagaimana
Pak Joko justru menelantarkan anak dan istrinya setelah ia keluar dari
penjara. Sang istri menderita gangguan jiwa akibat perbuatan suami
sehingga ia harus dirawat di rumah sakit jiwa. Pada episode 02/09/2009,
kita lihat saat Bella diperas oleh Hadi kakaknya.
Gambar 3: Cuplikan Adegan Dalam Tayangan Realigi.
Klien atau pelapor yang kebanyakan perempuan sedang curhat pada Erwin
Gambar 4: Cuplikan adegan dalam tayangan Realigi (07/09/2009)
Mario memakai uang Nadia hanya untuk bersenang-senang dan main perempuan (gambar kiri). Wulan
mengaku dihamili oleh Mario (gambar tengah). Nadia sedih memergoki Mario telah menikah lagi
(gambar kanan).
49. Quo Vadis Televisi?
48
Pada episode 07/09/2009, kita melihat Mario sebagai suami yang tidak
bertanggung jawab. Sejak menikah ia tidak pernah memberi nafkah pada
Nadya. Sebaliknya justru Nadya yang membiayai kehidupan Mario yang
hanya digunakan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain.
Selain kekerasan ekonomi, ada lagi kekerasan seksual. Kekerasan
seksual tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seperti: pemerkosaan,
dicium paksa, digerayangi paksa, namun segala bentuk pelecehan yang
berkaitan dengan seksual merupakan kekerasan seksual. Pemakaian kata
‘pakai’ pada episode Suami Selingkuh (07/09/2009), teks tersebut
menyamakan perempuan dengan barang yang bisa dipakai. ‘Dipakai’,
memiliki arti tidur bersama (hubungan suami-istri). Kata-kata ‘pakai’
biasa digunakan pada barang yakni menggunakan suatu barang. Perem-
puan dengan kata ‘pakai’ seolah dianggap barang atau makhluk yang
rendah yang bisa ‘dipakai’siapa saja, kapan saja, dan bisa dibuang apabila
sudah tidak dapat dipakai lagi, layaknya barang yang sudah usang.
Pada episode ini juga ditampilkan adegan mesra dan ciuman (di-blur)
yang dilakukan Mario dengan beberapa wanita, mengesankan bahwa laki-
laki seolah dibenarkan untuk berselingkuh dengan perempuan lain.
Kekerasan seksual di sini, perempuan seolah bebas dan gampang untuk
dicium, dirangkul sekalipun oleh laki-laki yang telah bersuami.
Gambar 5: Cuplikan adegan pada tayangan Realigi
episode 02/09/2009
Seorang perempuan keluar dari kamar Hadi.
Pada episode 02/09/2009, Hadi dipergoki neneknya tengah tidur
bersama seorang perempuan di kamar. Perempuan tersebut lalu keluar
kamar (di-blur) dan dimarahi oleh Bella adik Hadi. Di sini perempuan
digambarkan bisa ‘tidur’ dengan laki-laki. Hadi yang terkena kasus
menghamili seorang perempuan, menunjukkan bahwa perempuan
memiliki resiko lebih besar ketika melakukan hubungan seks tanpa status
pernikahan. Ketika hamil, perempuan harus repot meminta pertanggung
50. 49
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
jawaban laki-laki yang menghamilinya, walaupun si laki-laki belum tentu
mau bertanggung jawab. Dilihat dari kasus ini, perempuan lebih
diberatkan sebagai pihak yang menanggung malu (aib) atas perbuatan
yang melanggar susila. Perempuan menjadi pihak yang dipersalahkan
dan dicemooh oleh orang lain.
Dalam konteks kekerasan simbolik, dapat kita lihat bahwa apa yang
dialami oleh perempuan pada lima episode di atas merupakan suatu hal
yang dianggap lumrah atau sewajarnya perempuan menerima perlakuan
yang demikian. Perempuan tidak punya pilihan lain selain menuruti apa
aturan laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan inilah yang
mungkin tidak disadari oleh si perempuan bahkan oleh pemirsa yang
menonton acara tersebut.
Perempuan dikonstruksi sebagai kaum yang lemah. Dalam kehidupan
sehari-hari, kaum pria dipandang pantas berbuat semena-mena, seperti
meninggalkan istri, selingkuh, berperilaku dan berkata kasar. Pria sebagai
kepala rumah tangga dianggap memiliki kekuasaan lebih atas istri.
Konstruksi di atas juga tak terlepas dari kesepakatan yang dibentuk oleh
kaum mayoritas (pria). Mayoritas disini bukanlah jumlah, melainkan
kekuasaan atau kemampuan dalam mengendalikan pihak lain (yang
tertindas).
Akibat Tindakan Kekerasan dalam Realigi
Akibat psikologis yang tampak bisa berupa guncangan jiwa (sakit),
emosi dan perasaan tertekan. Akibat dari tindakan kekerasan pada
tayangan Realigi ini sebagian besar berakibat pada aspek psikologis si
Psikologis
Fisik & Psikologis
aaaaaaaaa
aa
aa35%
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
65%
Gambar 6: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Akibat Kekerasan
dari KelimaTayangan Realigi (Episode: 31/08/2009 – 16/09/2009)
51. Quo Vadis Televisi?
50
penderita dibandingkan dengan akibat fisik yang diderita, karena lebih
banyak mengandung kekerasan verbal. Pada tiap episode tayangan Realigi
ini dapat kita lihat bagaimana tekanan psikologis begitu ditampilkan
sejak awal tayangannya, yaitu pada saat klien menceritakan
permasalahannya pada tim Realigi. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi
dan juga gesture (gerak tubuh) yang mencerminkan seseorang yang
tengah menghadapi masalah dan beban berat.
1 2 3 4
5 6 7 8
Gambar 7: Cuplikan adegan-adegan yang menunjukkan adanya akibat psikologis
dari tindakan kekerasan dalam tayangan Realigi
Dari kelima tayangan Realigi tersebut diatas, maka didapati rata-rata
durasi tiap akibat kekerasan yang ada pada tayangan itu. Terdapat akibat
psikologis sebesar 65 persen dan kombinasi akibat fisik dan psikologis
sebanyak 35 persen. Dapat dilihat disini rata-rata durasi akibat psikologis
jauh lebih tinggi yakni sebesar 65 persen, dibandingkan dengan akibat
fisik maupun kombinasi akibat fisik dan psikologis.
Pada cuplikan gambar diatas dapat kita lihat: (1) Bulan sedih
mengingat Ayahnya. (2) Bella sedih mendapat kabar neneknya sakit
karena tertekan. (3) Nenek Bella shock, jatuh pingsan setelah bertengkar
dengan Hadi, cucunya. (4) dan (5) Nadia sedih karena suaminya
selingkuh. (6) Ibu Ina stres akibat Naya putrinya yang salah pergaulan.
(7) Naya yang begitu tertekan karena tidak bisa menerima kedekatan
52. 51
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
Ibunya dengan sahabat almarhum ayahnya. (8) Ibu Nia sedih akibat
perlakuan menantunya yang tidak menghargainya.
Proporsi akibat tindakan kekerasan pada kelima episode tayangan
Realigi tersebut didominasi akibat psikologis. Akibat psikologis lebih
banyak terjadi dibandingkan akibat fisik yang diterima. Hal tersebut
dapat dilihat dari ekspresi wajah seseorang yang mengalami kekerasan,
yakni adanya perasaan tertekan dan sedih.
Realigi: Antara Kenyataan dan Rekayasa
Seperti hal-nya Termehek-Mehek, Realigi pun pada akhirnya menyebut
‘dirinya’ sebagai drama reality, karena adanya unsur dramatisasi dan
rekayasa. Peneliti menemukan temuan yang cukup menarik selama
mengamati beberapa program drama reality di Trans TV. Misal saja ada
salah satu peran dalam Termehek-Mehek yang pernah muncul di acara
reality show ‘Ahmad Dhani Mencari Istri’ di SCTV. Kemudian peneliti secara
tidak sengaja menemukan pemain Realigi, yakni Ibu Ina (Realigi episode
14/09/2009) juga muncul di reality show Orang Ketiga di Trans TV. Jika
dalam Realigi Ibu Ina berperan sebagai orang tua tunggal yang mengalami
kesulitan ekonomi sejak suaminya meninggal dan hanya memiliki seorang
anak yaitu Naya, dalam Orang Ketiga Ibu Ina berperan sebagai seorang
ibu yang kaya dan hendak mengikuti putrinya yang bermasalah. Putri
Ibu Ina dalam Orang Ketiga bukanlah Naya.
Dari temuan tersebut dapat kita lihat bahwa acara Realigi sebagai salah
satu program drama reality unggulan Trans TV sama hal-nya dengan
Termehek-mehek memang tidak murni kenyataan. Pihak Trans TV di harian
Surya (12/06/2009) menyatakan, drama reality Termehek-Mehek yang direka-
yasa. Acara semacam ini bisa diangkat berdasarkan pada kisah nyata
namun dihadirkan kembali dengan unsur dramatisasi agar menarik.
Hal yang perlu disikapi, ketika tayangan semacam itu hadir dan
disaksikan oleh orang awam, maka tayangan tersebut akan dianggap
sebagai suatu kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Kasus-kasus
yang dibumbui kekerasan ditampilkan cukup sering dan ditayangkan
cukup intensif (dua kali dalam seminggu) seolah menggambarkan bahwa
hal itu banyak terjadi di masyarakat kita dan dapat diterima sebagai
suatu kewajaran, padahal bisa saja kasus itu hanya terjadi di sebagian
kecil masyarakat kita.