Makalah ini membahas tentang tantangan media massa global bagi pendidikan karakter dan budaya bangsa Indonesia. Media massa global telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat manapun, termasuk Indonesia. Penggunaan media massa di Indonesia sangat tinggi, terutama televisi yang menjadi tontonan utama remaja. Program-program televisi berpotensi mempengaruhi pembentukan karakter remaja. Pemerintah berupaya mengimbangi pengaruh media asing dengan
1. MEDIA MASSA GLOBAL:
TANTANGAN BAGI PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA
OLEH:
DR. NURDIN ABD HALIM, MA.COMM
MAKALAH DISAMPAIKAN PADA
ORASI ILMIAH DALAM RANGKA WISUDA STAI AIR MOLEK INHU,
TANGGAL 13 NOVEMBER 2010
1
2. MEDIA MASSA GLOBAL:
TANTANGAN BAGI PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA1
Oleh
Dr. Nurdin Abd Halim, MA.2
A. Pendahuluan
Teknologi media massa sudah berkembang dengan pesatnya, sehingga tidak
terdapat kehidupan umat manusia dipermukaan bumi yang tidak mendapat terpaan
teknologi media. Hal ini tentu membawa pengaruh yang besar bagi terbentuknya
karakter dan budaya umat, berupa penambahan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
sosial yang mengarah kepada peningkatan cakarawala dan wawasan dalam
kehidupan umat manusia.
Menurut Alwi Dahlan (1998:6):
… arus komunikasi massa yang mencakup perluasan arus ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai sosial budaya yang mendorong perluasan cakrawala informasi
dan wawasan seluruh umat manusia, jauh melintasi batas negara atau wilayah.
Bahkan media massa global telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan
umat manusia dimanapun mereka berada. Demikian pula dengan bangsa Indonesia
selalu mempunyai ketergantungan dengan media massa global, jadi dapat dikatakan
bahwa umat manusia tidak dapat memencilkan diri dan menjauhkan diri dari
pengaruh media.
Bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat,
telah
menyatakan
diri
sebagai
negara
yang
demogratis,
termaktub
dalam
Pembukaan UUD 1945 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala
bangsa …”. Kemerdekaan mengandung pengartian yang sangat luas dan dijabarkan
dalam UUD 1945, pasal 28 “negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul
untuk mengeluarkan pikiran, dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, yang
ditetapkan dengan undang-undang”. Hal ini menjadi dasar bagi pengakuan PBB
bahwa negara Indonesia telah menetapkan sistem terbuka dan kebebasan media
semenjak kemerdekaan tahun 1945 (Jang dan Chon, 2003).
1
Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda STIT Air Molek INHU, Tanggal 13
November 2010
2
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau. Email – nurdin1966@gmail.com
2
3. Selanjutnya dengan perkembangan teknologi komunikasi bangsa Indonesia melalui
perwakilannya di MPR, menegaskan kembali dalam amandemen kedua UUD 1945,
pasal 28 F bahwa; “… setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kedua dasar tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut di dalam UU No. 32 tahun 2002,
tentang penyiaran. Dan diperkuat lagi dengan PP No. 13 tahun 2005 tentang
penetapan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik di Indonesia. Dalam pasal 1 UU No.
32 tahun 2002 disebutkan bahwa “penyiaran televisi adalah media komunikasi massa
dengar pandang, yang menyalurkan idea dan informasi dalam bentuk suara dan
gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur
dan berkesinambungan”. Selanjutnya pada pasal 3 disebutkan bahwa penyiaran
bertujuan untuk “memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri
bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dalam rangka menumbuhkan industri penyiaran Indonesia”
(Hinca dan Amir, 2003). Gambaran ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
berupaya untuk mengadopsi tekonologi komunikasi, dan pada masa yang sama
berupaya untuk tetap menjaga watak, nilai, jati diri dan identitas bangsanya.
Demikian pula dengan latarbelakang pendirian TVRI pada 24 Agustus 1962, oleh
Presiden Soekarno, bertepatan dengan pelaksanaan Asean Games ke IV di Jakarta,
dengan suatu harapan kawasan Negara Republik Indonesia yang sangat luas dapat
disatukan melalui televisi, dengan slogan “menjalin persatuan dan kesatuan” (Agus
Sudibyo, 2004; Send an Hill, 2001; Raillon, 2000; Njaman, 2002). Dan pada tahun 1976,
pemerintah meluncurkan Satelit Palapa B1, dan tahun 1983 Palapa B2.
Pendirian TVRI, kemudian dikukuhkan dengan keputusan Presiden RI No. 27 tahun 1963,
TVRI mempunyai fungsi sebagai sebuah media komunikasi untuk membangun mental,
spiritual dan fisikal sebagai sebagian proses pembangunan bangsa Indonesia,
khususnya menuju pembangunan manusia Indonesia yang sosialis. Kemudian diperkuat
dengan Kepmen Penerangan No. 20 tahun 1963, yang menyatakan bahwa tujuan
3
4. asas TVRI adalah mengembangkan sumber daya manusia yang berpengaruh kepada
pelaksanaan pembangunan nasional (Syukur Khalil, 2002).
Lebih dari itu Pemerintah sejak tahun 1980-an telah mengembangkan “open sky”
(langit terbuka), terutama setelah dikembangkan sistem satelit, sehingga interaksi
transnasional sangat jelas dan ketara, dan pemerintah Indonesia tidak dapat
mengawal dampak pengaruh penggunaan parabola bagi masyarakat Indonesia,
sehingga perkongsian budaya telah terjadi dalam masyarakat. Dan sejak tahun 1990an izin kepemlikian stasiun televisi di longgarkan sehingga sampai sekarang terdapat 11
stasiun televisi yang bersiar secara nasional meskipun jangkauan dan penerimaan
siaran berbeda antara satu televisi dengan yang lainnya. Stasiun televisi itu adalah
Televisi Republik Indonesia (TVRI), Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra
Televisi (SCTV), Indosiar Visual Mandiri (IVM), Transnasional Televisi (Trans TV), Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI), Trans TV Tujuh (TV7), Andalas Televisi (ANTV), Televisi One
(TV1), Metro Televisi (Metro TV), Global Televisi (GTV). Lebih dari itu televisi lokal di
Indonesia sudah dikembangkan hampir di setiap propinsi bahkan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia, tercatat 48 televisi tempatan yang tersebar di berbagai kawasan di
Indonesia, baik yang sudah melakukan siaran maupun yang masih dalam proses
pendirian dan ujicoba (Agus Sudibyo, 2004; Njaman, 2002).
Hadirin Yang Berbahagia
B. Data Penggunaan Media Massa
Penggunaan media massa di Indonesia adalah sangat tinggi dan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, terutama sekali penggunaan televisi. Terlihat pada
diagram 1, penonton televisi terlihat sangat tinggi, iaitu 85.86% tahun 2000, dan tahun
2003 menjadi 84.94%, demikian pula tahun 2006 meningkat menjadi 87.97%.
Diagram : Persentase penggunaan media massa di Indonesia
4
5. 100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2000
2003
2006
Pendengar
Radio
Penonton
Televisi
Pembaca
Surat Kabar
Sumber : BPS, Susenas Modul 2000, 2003, dan 2006.
Dan penggunaan televisi yang tergolong tinggi adalah pada golongan remaja umur
10 – 19 tahun iaitu 90.60%, dan remaja umur 20 – 29 tahun mencapai 88.90%. Secara
rata-rata dua peringkat umur ini tergolong tinggi pendedahan terhadap televisi.
Menjadi tanda bahwa golongan remaja mempunyai tingkat penggunaan media
massa yang sangat tinggi, khasnya televisi. Tabel 1, menunjukkan tingkatan umur
sangat menentukan dan mempengaruhi seseorang dalam menggunakan media.
Table 1: Persen Penggunaan Media Massa di Indonesia
No
1
2
3
4
5
6
Kelompok Umur
(Tahun)
10-19
20-29
30-39
40-49
50-59
60+
Rata-rata
Mendengarkan Radio
(%)
50.10
57.40
52.80
49.30
44.90
36.40
48.48
Menonton Televisi
(%)
90.60
88.90
86.60
83.90
79.10
64.40
82.25
Sumber : BPS, Susenas Modul 2003
Laporan terbaru dari Nielsen Newsletter, edisi Oktober 2010, menjelaskan remaja (umur
15-19) adalah menjadi pengguna media terbesar, media global internet mencapai
32%, dan media televisi yang banyak digunakan oleh remaja adalah SCTV (mencapai
132.000 remaja dengan rating 2,3) kemudian RCTI dan TRANS TV (masing 1,8 rating).
Table 3: 5 Program Acara spesial yang menarik perhatian remaja di Indonesia
5
6. Program
Inbox Awards 2010
Inbox Awards 2010 (R)
Pemilihan Putri Indonesia 2010
20 10 2010
Pemilihan Putri Indonesia 2010 (R)
Sumber: Ac Nielsen Newsletter, 2010
Saluran
SCTV
SCTV
INDOSIAR
TPI
INDOSIAR
Audiens
324.000
191.000
77.000
71.000
69.000
Rating
5,5 %
3,2 %
1,3%
1,2%
1,2%
Data yang diperoleh oleh AC Nielsen menunjukkan bahwa dari lima program acara
terdiri dari dua program acara yang sangat menarik di hati remaja yaitu Inbox Awards
2010 dan Pemilihan Putri Indonesia 2010. Disamping program acara spesial yang sukses
menarik perhatian remaja terdapat juga program acara yang banyak menyedot
perhatian remaja adalah Film Televisi (drama movie)
Table 4: 10 program acara FTV yang terkemuka
Program
saluran
Diary Riri untuk Cheri
SCTV
Pertandingan Sepak bola
ANTV
Indonesia vs Uruguai
Ind Mencari Bakat BSM
TRANS
Supermi
Perjaka manis jatuh cinta
SCTV
Inbox Award 2010
SCTV
Cinta Fitri Season 6
SCTV
Putri yang ditukar
RCTI
Bidadari pencuri hati
SCTV
1000 kisah satu hati ungu
SCTV
Alvin and the Chipmunks
RCTI
Sumber: Ac Nielsen Newsletter, 2010
Tipe Program
FTV
Pertandingan
Audien
411.000
413.000
Rating
7,0%
6,9%
Intertainmen
343.000
5,8%
FTV
Program spesial
Drama berseri
Drama berseri
FTV
Intertainmen/musik
FTV
332.000
324.000
320.000
302.000
294.000
294.000
279.000
5,6%
5,5%
5,4%
5,1%
5,0%
4,9%
4,7%
Dari segi bentuk program acara yang banyak menarik perhatikan remaja adalah FTV
(Film drama) mencapai rating tertinggi 7,0%, kemudian bentuk program “Pertandingan
antara Indonesia dan Uruguai” menyedok penonton remaja 413.000 orang atau 7,0%.
Kemudian diiringi dengan program “intertainmen” mencapai rating 5,8%.
Demikian pula dengan remaja di Pekanbaru mempunyai pilihan yang sama dengan
pilihan penonton remaja di Indonesia, mereka menempatkan program acara Sinetron
dan Film sebagai tontonan yang utama mencapai 18,2%, baru kemudian memilih
berita dan infotainment sebesar 17,8%.
Table 2: 10 Program Acara Kesukaan Remaja di Pekanbaru
6
7. No
Program Acara
Frekuensi
Persen
I
Sinetron dan Film
41
18.2
II
Berita dan Infotainmen
40
17.8
III
Lawak Jenaka
27
12.0
IV
Musik dan hiburan
25
11.1
V
Film kartun
21
9.3
VI
Dokumentasi
18
8.0
VII
Film Luar Negara
15
6.7
VIII
Reality Show
14
6.2
IX
Acara oleh raga
13
5.8
X
Pendidikan dan Agama
11
5.2
Jumlah
225
100.0
Sumber: Nurdin, 2009
C. Penyebab Kehancuran Moral
Program acara yang disiarkan dalam berbagai bentuk mengandung dan memiliki
makna yang sangat berkesan kepada remaja karena televisi menawarkan berbagai
daya tarik yang dapat menarik minat remaja. Demikian besarnya peranan media
massa terhadap anak-anak dan remaja, Herbert Blumer (dalam DeFleur dan BallRokeach, 1989:216), memberikan penjelasan bahwa :
… both children and adults acquire attitudes, emotional responses, and new
styles of conduct from all the media, and especially from films and television.
Herbert Blumer menjelaskan bahwa anak dan orang dewasa memperoleh sikap,
emosional, dan model baru dari media terutama sekali film dan televisi. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa apa yang ditonton remaja dari televisi akan
memberi kesan yang besar terhadap perkembangan karakter anak dan remaja.
Disamping itu media massa telah mengambil peran dalam mensosialisasikan nilai,
karakter dan budaya kepada audiennya, dimana pada awalnya institusi sosial adalah
yang bertanggungjawab dalam sosialisasi nilai dan karakter, yaitu orangtua, lembaga
pendidikan, pemerintah, atau lembaga-lembaga profesional lainnya (Wright, 1972).
Dengan perkembangan teknologi media massa khususnya televisi, proses sosialisasi
nilai, karakter dan budaya dilakukan melalui televisi. Dari televisi anak-anak, remaja
dan orang dewasa mendapatkan nilai budaya, karakter, identitas, dan norma sosial.
7
8. Dan kemampuan televisi memperdayakan audiennya adalah karena kemampuan
media massa global untuk menggerakkan atensi, emosi, dan motivasi, anak-anak dan
remaja untuk berkomunikasi dengan kandungan media (Larson dan Kubey, 1983).
Lebih tegas Severin dan Tankard (2001:3), mengungkapkan “we live in a rapidly
changing media environment.” Bahwa pada saat ini kita berada di dunia yang penuh
dengan perubahan lingkungan media. Keadaan ini menimbulkan perbedaan nilai,
norma dan tingkahlaku yang mungkin terjadi. Akibat dari bervariasinya program acara
yang ditawarkan oleh televisi dan media massa lainnya.
Keadaan ini seperti yang kemukakan oleh Aronson (1992:259) bahwa:
The evidence suggests that violence on television is potentially dangerous, in
that it serves as a model for behavior – espesially for children.
Menurut Aronson bahwa kejahatan yang ditampilkan televisi adalah sangat berbahya,
karena tontonan berupa program acara yang menarik minat itu akan menjadi model
yang membentuk tingkahlaku, khususnya bagi anak-anak dan remaja.
D. Pendidikan Karakter dan Budaya
Karakter adalah mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani
yang
berarti
“to
mark”
atau
menandai
dan
memfokuskan
bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga
orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang
berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral
disebut dengan berkarakter mulia.
Sedangkan pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter
dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster
optimal character development” (Ahmad Sudrajat, 2010). Jadi dapat katakan bahwa
pendidikan karakter adalah merupakan upaya menggunakan segala dimensi
pendidikan di sekolah untuk membentuk karakter.
8
9. Menurut David Elkind & Freddy Sweet (dalam Ahmad Sudrajat, 2010), pendidikan
karakter dimaknai sebagai berikut:
“Character education is the deliberate effort to help people understand, care about,
and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want
for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care
deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face
of pressure from without and temptation from within”.
Menurut Elkind dan Sweet (2004), pendidikan karakter memberikan beban kepada
seseorang untuk memahami, peduli dan menerapkan nilai-nilai yang baik. Apabila kita
berpikir tentang bentuk-bentuk karakter, pasti kita menginginkan anak-anak kita
melakukan hal tersebut dan dapat membedakan mana yang baik dan buruk dan
peduli dengan nilai kebaikan serta melakukan sesuatu yang diyakini kebenarannya
untuk mendapatkan kebenaran meskipun ia tidak mendapat tekanan dari orang lain.
Dari pengertian terdahulu dapat diketahui bahwa membangun karakter adalah
merupakan pekerjaan yang sangat rumit, karena membangun karakter berarti
membentuk tingkalaku dan faktor tingkahlaku adalah terkait dengan faktor kognitif
dan faktor lingkungan. Katerkaitan itu seperti digambarkan oleh Albert Bandura
(1986:24).
Gambaran Keterikatan Kognitif, Tingkahlaku dan Lingkungan
Faktor Kognitif
Pengetahuan
Kecenderungan
Sikap
Faktor Lingkungan
Norma sosial
Menerima komunitas
Pengaruh yang lain
Menentukan
Tingkahlaku
Manusia
Faktor Tingkahlaku
Keterampilan
Praktek
Self-efficacy
Adaptasi: Bandura (1986:24).
Faktor kognitif dapat dibentuk dari proses pendidikan di bangku sekolah dengan
mengembangkan pengetahuan, kecenderungan sikap anak didik kepada hal-hal
yang baik dan benar. Akan tetapi faktor lingkungan meliputi norma dan kelompok
sosial selalu dibentuk oleh media massa yang selalu mengisi waktu-waktu istirahat
9
10. anak-anak dan remaja. Perpaduan dari hal inilah yang kemudian membentuk karakter
remaja (Bandura, 1986).
Konsep perpaduan tiga faktor tersebut, yaitu faktof kognitif, tingkahlaku dan
lingkungan sama halnya dengan konsep yang dikembangkan oleh Ibn Khaldun yang
menyarankan supaya pendidikan yang dikembangkan adalah bermartabat tinggi
haruslah
memperhatikan
elemen-elemen
kemasyarakatan
dalam
proses
pembelajaran dan pengajaran, baik manusia sebagai anggota masyarakat yang suka
kepada perkembangan dan perubahan serta masyarakat yang selalu siap dengan
perbedaan sesama (Syahrul Riza, 2008).
Ibn Khaldun berpandangan bahwa manusia sebagai makhluk berfikir, dengan
kemampuannya berpikir dapat memetik dan memahami hal-hal yang berada di luar
dirinya. Pada awalnya, kemampuan itu masih berbentuk potensi. Kemudian menjadi
realitas setelah melalui
al-ta„lim (pendidikan) dan al-riyadat(latihan) yang sesuai
dengan gerak perkembangan fisik dan mentalnya (Ibn Khaldun, 1993). Atas dasar
inilah, pengaruh dunia luar terprogram dan dapat mengoptimalkan potensi manusia
ke arah yang lebih sempurna. Ibn Khaldun menambahkan bahwa kemampuan fikir
manusia
baru
muncul
secara
aktual,
setelah
memiliki
kemampuan
tamyiz
(kemampuan membedakan). Setelah masa itu, yang dicapai adalah merupakan
akibat dari persepsi sensual dan kemampuan akal fikirannya. Potensi akal fikiran dan
semua potensi lain yang dianugerahkan Allah SWT sebagai watak manusia diusahakan
untuk menjadi aktual sesuai dengan tuntutan wataknya.
Setelah itu fikiran dan pandangannya dicurahkan pada pencarian hakikat kebenaran
satu persatu, serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Dia menjadi
terlatih, sehingga upaya mencari pengetahuan tentang hakikat sesuatu menjadi suatu
malakat baginya (Ibn Khaldun, 1993). Dengan malakat tersebut, manusia lebih
mengenal gejala dan hakikat sesuatu, lalu membentuk ilmu tertentu dan jiwa generasi
yang sedang tumbuh tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Malakat itu sendiri
diperoleh dengan cara berusaha dan bukan diperolehi secara perwarisan, maka dari
itu jadilah ilmu sebagai malakat yang memerlukan kepada pembelajaran. Bahkan
mereka meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dalam
konteks inilah menurut Ibn Khaldun timbulnya pendidikan.
10
11. Ibn Khaldun mengatakan, bahwa pendidikan merupakan upaya perubahan potensi
(al-Taqat
al-Quswa)
manusia.
Jadi
pendidikan
memegang
peranan
penting
membentuk budaya dan tamadun manusia. Bagi Ibn Khaldun, kebudayaan (althaqafat) adalah suatu aspek kemanusian. Kebudayaan mengacu pada masyarakat.
Dengan kata lain, kebudayaan terbentuk sebagai hasil kecenderungan semula jadi
manusia untuk bekerja sama. Dia merupakan alat untuk keperluan manusia. Melalui
penciptaan
budaya
manusia
meningkatkan
kondisi
hidup
sesuai
dengan
lingkungannya. Dari segi ini pendidikan dituntut untuk dapat memajukan kebudayaan
dan tamadun umat. Pendidikan dapat mengarah pada pencapaian tingkat hidup
yang lebih baik dengan tingkat kebudayaan dan tamadun lebih maju.
Ibn
Khaldun
menegaskan:
Kalau
yang
satu
telah
lebih
dahulu
(datang)
mempengaruhinya, sifat yang lain akan menjauh dalam bentuk yang seimbang,
sehingga menjadi sukar baginya untuk memperoleh sifat yang telah menjauh itu.
Orang-orang yang memiliki sifat kebaikan itu telah terlebih dahulu mempengaruhi
dirinya, sehingga telah menjadi sifat yang tertanam dalam jiwanya, ia akan terjauh
dari kejahatan, dan sukar baginya untuk melakukan kejahatan. Apabila kebiasaankebiasaan yang jahat itu terlebih dahulu sampai kepadanya,maka akan menjauh dari
sifat kebaikan (Syahrul Riza, 2008).
Pendekatan Ibnu Khaldun ini adalah sangat menarik untuk diperhatikan dan disikapi,
sehingga kita harus berpacu atau lebih dahulu menanamkan karakter yang baik
kepada anak, sebelum mereka mendapatkan karakter yang jelek dari televisi.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka grand design yang dikembangkan
Kemendiknas (Akhmad Sudrajat, 2010) harus kita dukung karena secara psikologis dan
sosial budaya pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik), dalam konteks
interaksi sosial budaya (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung
sepanjang hayat.
Artinya untuk mewujudkan pendidikan karakter dan budaya maka seluruh faktor
dalam kehidupan haruslah bersinerji. Sekolah, rumah tangga, lingkungan dan media
massa harus mengambil peran dan menyamakan langkah untuk membangun karakter
11
12. dan budaya bangsa sehingga terbentuk masyarakat yang bermartabat dan
berdamadun.
F. Penutup dan Kesimpulan
Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun adalah sangat menarik untuk
dikembangkan dalam membangun pendidikan karakter dan budaya bangsa. Karena
Allah SWT memberikan potensi bagi setiap anak Adam untuk maju dan berkembang
dalam segala aspek kehidupan. Namun demikian hal ini sangat ditentukan oleh
kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi yang diberikan Allah SWT.
Disinilah peran pendidikan sangat diperlukan.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1.
Media massa mempunyai peran yang besar dalam membentuk karakter dan
budaya bangsa.
2.
Pendidikan karakter dan budaya adalah suatu hal yang harus dijalankan untuk
membangun masyarakat yang bermartabat dan bertamadun.
3.
Pendidikan karakter dan budaya harus dijalankan secara bersama oleh semua
pihak yang terlibat, keluarga, masyarakat, pemerintah dan pemilik media massa.
Dengan memiliki tekad yang sama menyelamatkan generasi muda dari
kehancuran ditengah kemajuan teknologi media massa global.
Daftar Rujukan
Agus Sudibyo. (2004). Ekonomi politik media penyiaran. Cetakan pertama. LKiS,
Yogyakarta.
Alwi Dahlan. (1998). Alwi Dahlan. (1998). Memahami globalisasi: tantangan perguruan
tinggi abad 21. Seminar BP-7 Pusat 19 Februari, Jakarta.
Aronson, E. (1992). The Social Animal. 7th ed. W.H. Freeman and Co, USA.
Bandura, A. (1986). Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: a
social cognitive theory. Prentice-Hall, Englewood Clifs, NJ.
DeFleur, M. & Ball-Rokeach, S.J. (1989). Theories of mass communication. 5th ed.
Longman, New York.
Hinca I. Pandjaitan. dan Amir Effendi Siregar. (2003). Membangun sistem penyiaran
yang demokratis di Indonesia. PT. Warta Global Indonesia, Jakarta.
12
13. Jang, W.Y. & Chon, B.S. (2003). Reflections on the effects of globalisation on local
tradition, a comparative analysis of „freedom of speech‟ in world constitutional law. The
Journal of International Communication, 9(1): 81 – 97.
Ibn Khaldun (1993). Mukaddiman, edisi revisi.
Larson, R. & Kubey, R. (1983). Television and music, contrasting media in adolescent life.
Youth & Society, Vol. 15(1): 13 – 31.
Njaman, D. (2002). The status of broadcasting industry, market and law in Indonesia.
Asia TV Program Promotion Conference, Tokyo, March 14 – 15.
Raillon, F. (2000). Indonesia tahun 2000, tantangan teknologi dan industri. Terjemahan
Nasir Tamara. Mas Agung, Jakarta.
Sen, K. & Hill, D.T. (2001). Media, budaya dan politik di Indonesia. ISAI, Jakarta.
Severin, W.J. & Tankard, J.W. (2001). Communication theories: origins, methods, uses in
the mass media. 5th ed. Longman, New York.
Syahrul Riza. (2008). Konsep pendidikan Islam menurut pemikiran Ibn Khaldun: suatu
kajian terhadap elemen-elemen masyarakat Islam. Tesis. Universiti Sains Malaysia.
Syukur Khalil. (2002). Penyiaran agama, penggunaan media dan kepuasan khalayak
rancangan agama di televisyen: kajian di Medan, Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti
Kebangsaan Malaysia.
Wright, C.R. (1975). Mass communication: a sociological perspective. 2nd ed. Rondom
House, New York.
13