2. 1298 M.
J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten,
menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari
: H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W.
Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa
pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
<>1. <>Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang
India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab
muslim sekitar abad ke-7 M.
Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya
singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam. Bahkan beberapa diantaranya
ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata
sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck
Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang
dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda,
mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang
catatan perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa
Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di
India. Oleh karena itu, menurut teori ini, Nusantara menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara
berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya.
Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafii
yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan
oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di
Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua
wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel
menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orangorang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari
Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari
India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami
perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan
tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang
Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang
Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan Nusantara
menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India
berada di antara Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang Muslim Arab dan
juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan
Hurgronje, hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai waktu
kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di
India yang dipandang sebagai tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu,
yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara. Dari segi
metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi
Hurgronje terlalu lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek
3. mendasar dalam sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia menyebutkan Gujarat
sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam
disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat
dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan dengan nisan-nisan makam
di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut
pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat.
Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia
menjelaskan aspek ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data
yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan
Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat
bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa Mongol melebarkan ekspansinya
(Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya
Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada
abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih
dekat secara geografis ke wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim
mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal
dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada
makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah
itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut
meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya,
berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan
dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam
berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai
adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi
menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari arah timur pantai, bukan dari
barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya,
terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah
binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan
kuburan Muslim tertua yang masih dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari
Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India, Fatimi menentang keras pendapat
ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu
tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik alSaleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan
batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal, bukan dari
Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara
berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut
muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab Hanafi tidak menjadi
perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif, mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah
asal Islam di Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya berdasarkan
kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di
Benggal Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari daerahdaerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan riwayat Melayu dan laporan Marcopolo.
Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan
kerajaan Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699 H/1298 M.
Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian,
memperkuat pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal
kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika
mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya,
yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh
Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia Tenggara,
termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-
4. Attas.
Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus
menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau
aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di
Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab
yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari
Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran
Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih
didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu
kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera
telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan
perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7
terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah
Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli
menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin
Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di
Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20 Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16
Juli 1978 dan 25-30 September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam masuk
ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara
berasal dari Arab sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan
Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah
dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal
kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama ITsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari
Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi
sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya
pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara
geografis, letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh besar terhadap dunia
luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu
di bawah hegemoni Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan pilihan. Ini
menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan
beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya
sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan
pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan.
Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam. Watak Sriwijaya
yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton
setelah terjadi kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari suaka politik dari
penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab „Aja‟ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para
pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya
Menurut al Mas‟udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein
untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu
adalah Mesir dan Mekkah.
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer dibanding teoriteori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara
lain
<>1) <>Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah atas kematian Husain. Biasanya
diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
5. Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah
meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh
Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
<>3) <>Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam
pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam
pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan
Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum
memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya
menunjukkan bahwa para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
Pengaruh madzab Syi‟ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan
membawa Islam ke Indonesia sangat besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para
wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir
abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama
besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah
Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar lain :
Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
Beberapa makam Cina muslim.
Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan kultural,
sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh toleransi (Umar kayam:1989).
Berbicara tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari beberapa aspek yang melingkupinya ia tidak sekedar
mengungkapkan kuantitas dari data-data yang diperoleh di lapangan, namun berusaha mengungkap hal-hal
mendasar dibalik terjadinya proses sejarah tersebut, terutama segala aspek yang menyangkut sosiologi, politik dan
budaya sebagai proses menuju perbaikan. Berdasarkan berbagai paparan sejarah masuknya Islam di nusantara, kita
bisa mengambil ibroh atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam yang dilakukan oleh pata pendahulu kita.
Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang berasal dari berbagai tempat dalam menyampaikan ajaran Islam
mampu menjadikan negara Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah prestasi yang
gemilang bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini tentu menjadi teladan dan semangat bagi kita semua
untuk mempertahankan prestasi tersebut dengan mensyiarkan Islam lebih luas