Tiga kalimat:
Dokumen ini membahas ketidaksesuaian antara statistik penurunan jumlah penduduk miskin yang diumumkan pemerintah dengan kondisi aktual masyarakat miskin di lapangan. Dokumen ini juga menyoroti pentingnya pemerintah mengkaji akar permasalahan kemiskinan secara mendalam agar kebijakan penanggulangannya dapat tepat sasaran.
1. PDB dan Angka Kemiskinan
Oleh Fahruddin Salim | Jumat, 11 Februari 2011 | 11:43
Setiap orang bisa berbohong dengan statistik. Itulah pesan yang disampaikan Darrel Huff
dalam bukunya Berbohong dengan Statistik.
Rapat khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para menteri bidang ekonomi
pada akhir Desember 2010 menyajikan sejumlah pencapaian pembangunan yang cukup
optimistis.
Dalam rapat tersebut dilaporkan bahwa pemerintah berhasil menurunkan jumlah penduduk
miskin. Berdasarkan angka statistik, kemiskinan turun 1,5 juta, dari jumlah orang miskin
sebesar 32,5 juta menjadi 31,02 juta. Meski jumlah penduduk miskin dilaporkan menurun,
pada sisi lain, masih terdapat sekitar 70 juta penduduk yang mengantre mendapatkan jatah
beras untuk orang miskin (raskin).
Lebih ironis lagi, tak lama setelah pemerintah mengumumkan pencapaian pertumbuhan
ekonomi sebesar 6% dan jumlah penduduk miskin yang turun menjadi 31,02 juta, tersebar
berita yang menyebutkan enam orang bersaudara anak keluarga Jamhamid di daerah Jepara,
Jawa Tengah, tewas akibat keracunan tiwul. Mereka makan tiwul karena tidak mampu
membeli beras mengingat keluarga itu memiliki penghasilan hanya sekitar Rp 150 ribu per
minggu.
Pendapatan Jamhamid sebesar Rp 150 ribu per minggu jelas tak cukup untuk biaya hidup satu
keluarga dengan tujuh orang itu. Jika diandaikan pengeluaran sebesar US$ 1 — dengan kurs
sekarang Rp 9.000 sebagai ukuran miskin – itu berarti pengeluaran untuk ketujuh anggota
Jamhamid minimal Rp 63 ribu/hari atau Rp 441 ribu per minggu untuk masuk kategori
miskin.
Dengan memakai ukuran Badan Pusat Statistik (BPS) yang berpatokan pengeluaran US$
0,75/orang/hari, maka keluarga Jamhamid termasuk kategori sangat miskin. Ukuran BPS
tersebut jelas jauh lebih rendah dari patokan Bank Dunia yang menyebutkan seorang disebut
miskin jika pengeluarannya US$ 2 per hari. Kalau saja ukuran Bank Dunia ini yang dipakai,
itu berarti penduduk miskin Indonesia jumlahnya bisa mencapai sekitar 120 juta, dengan tak
sedikit di antaranya justru hidup dengan kondisi ekonomi yang jauh lebih parah dari
Jamhamid.
PDB Bukan Cerminan
Selama ini pemerintah mengklaim berhasil memacu pertumbuhan ekonomi mencapai sekitar
6% yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Padahal,
penanggulangan kemiskinan tidak hanya memerlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi
juga kualitas pertumbuhan yang menyentuh langsung perbaikan nasib rakyat miskin.
Kondisi inilah yang belum sepenuhnya bisa dilakukan pemerintah. Statistik menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi masih didorong oleh konsumsi dari kelompok masyarakat yang
masih kuat membelanjakan uangnya. Lapangan kehidupan yang menjadi tumpuan hajat hidup
rakyat banyak, seperti sector pertanian, perikanan, dan kehutanan serta industri manufaktur
justru masih terseok-seok. Padahal, di sector inilah sebagian besar rakyat menggantungkan
hidupnya.
2. Pemerintah juga mengklaim bahwa penurunan penduduk miskin bisa dilihat dari kenaikan
pendapatan per kapita. Menurut data BPS, pendapatan per kapita penduduk Indonesia kini
sekitar US$ 3.000 per tahun. Angka ini dihitung dari jumlah produk domestik bruto (PDB)
yang kini mencapai sekitar Rp 6.300 triliun dibagi dengan jumlah penduduk yang kini
tercatat sebanyak sekitar 240 juta jiwa. Dari sinilah ditemukan angka per kapita Rp 27 juta
dalam setahun.
Pertanyaannya, benarkah rakyat Indonesia sudah memiliki pendapatan sebesar itu dalam
setahun? Peningkatan PDB atau pendapatan per kapita juga tidak menjadi cerminan
membaiknya tingkat kesejahteraan rakyat, manakala peningkatan PDB kita tidak mampu
mencerminkan membaiknya keadilan dan distribusi pendapatan secara merata.
Apalagi proses pembentukan PDB kita yang dihitung dengan memasukkan kontribusi
orang/badan asing yang berada di Indonesia, sehingga bukan tidak mungkin peningkatan
PDB kita banyak berasal dari kontribusi orang/badan usaha asing di Indonesia, yang kini
memang banyak menguasai perekonomian. Penguasaan asing terhadap sumber daya ekonomi
nasional sudah sangat mengkhawatirkan. Sumber daya alam kita, seperti pertambangan dan
migas, banyak dikuasai asing. Begitu pula sumber daya finansial, seperti dunia perbankan,
kini banyak berada di tangan korporasi asing.
Temukan Akar Masalah
Kemiskinan yang terjadi di Negara kita memang sangat kompleks, dan tidak hanya dapat
diatasi hanya dengan memacu tinginya pertumbuhan ekonomi. Sudah cukup banyak bukti
bahwa trickel down effect atau menetes ke bawah dari kue pertumbuhan ekonomi tak selalu
terjadi. Di sinilah pentingnya pemerintah perlu terlebih dahulu mencari solusi untuk
mengatasi jebakan kemiskinan.
Jeffrey Sachs dalam The End of Poverty (2005), mengatakan, orang miskin tak bisa keluar
dari lingkaran kemiskinan dengan kekuatannya sendiri. Pasalnya, begitu banyak faktor yang
membuat mereka menjadi tak berdaya: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur,
isolasi fisik, dan tentu saja tiadanya cukup uang. Di luar faktor ini, banyak kasus kemiskinan
yang justru terjadi karena adanya salah urus atau salah kebijakan yang dibuat pemerintah.
Apa yang disampaikan oleh Jeffrey Sachs, juga menyentuh kondisi kemiskinan di negara
kita. Penyebab terjadinya kemiskinan di negeri kita jelas tidak tunggal. Sayangnya, mata
pemerintah sering hanya terbelalak dan terfokus pada sajian angka-angka kemiskinan tanpa
melihat akar masalah yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi.
Pemerintah sepertinya enggan mencari dan mengkaji akar-akar permasalahan atau faktorfaktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan. Makanya tidak heran apabila kesalahan
persepsi dalam mengatasi masalah kemiskinan ini berakibat pula pada kesalahan penanganan
masalah kemiskinan itu sendiri.
Penulis adalah dosen dan Tim Ahli di DPR RI, doktor manajemen bisnis Unpad Bandung