2. Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang
mempertajam konflik yang sudah ada dan atau dapat melahirkan konflik
baru di lingkungan kerajaan. Campur tangan kolonial itu juga membawa
pergeseran adat dan budaya keraton yang sudah lama ada di keraton.
Dominasi pemerintahan kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai
objek pemerasan, sehingga semakin menderita. Sementara itu dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang pemisah antara rakyat
dengan punggawa kerajaan dan perbedaan status sosial antara rakyat
pribumi dengan kaum kolonial.
3. Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang
bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas
Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Oleh
karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi Belanda
yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Tanggal 20 Juli 1825
meletuslah Perang Diponegoro.
4. Bermula dari insiden anjir
Sejak tahun 1823, Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta bekerja
sama dengan Patih Danurejo berusaha menyingkirkan Pangeran
dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih
Danurejo dalam rangka membuat jalan baru memerintahkan anak buahnya
untuk memasang anjir (pancang/patok). Secara sengaja pemasangan anjir
melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.
5. Mengatur strategi dari Selarong
Dipersiapkan beberapa tempat untuk markas komando cadangan.
Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah.
(1). Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta
(2). Mengirim kurir kepada para bupati atau ulama
(3). Menyusun daftar nama bangsawan
(4). Membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala
perang, dan mengangkat para pemimpinnya.
6. Perluasan perang di berbagai daerah
Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos
pertahanan Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran
Diponegoro meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang
Rembang. Kemudian ke arah timur meluas ke Madiun, Magetan, terus
dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro telah
mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.
7. Benteng Stelsel pembawa petaka
Perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos
pertahanan yang satu ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro
ini semakin meluas. Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat
Belanda kebingungan. Untuk menghadapi pasukan Diponegoro yang
bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain, Jenderal de Kock kemudian
menerapkan strategi dengan sistem “Benteng Stelsel”. Dengan strategi
“Benteng Stelsel” sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat diatasi.
Pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara
Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda.
8. Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran
Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran
Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus
berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak
dari pos yang satu ke pos yang lain. Belanda kemudian mengumumkan
kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja
yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup
maupun mati. Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan
pengumuman itu.