1. Perang Jawa II
Perang Diponegoro dan Belanda 1825-1830
Toni
FKIP Universitas Galuh
tonibaktimanggala@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini mengambil judul Perang Jawa II “Perang Diponegoro dan Belanda 1825-
1830” merupakan satu periode sejarah yang sangat penting di Indonesia pada paruh abad 18
dan menjadi salah satu perang besar yang pernah terjadi di Indonesia. Perang ini menyeret
banyak sekali orang dan menjadi salah satu perang moderen pertama di Indonesia yang
menggunakan banyak sekali taktik perang dan berbagai senjata perang, perang ini membawa
pengaruh yang sangat besar pada tatanan keidupan masyarakat. Perang ini menelan korban
yang tidak sedikit sekitar 200.000 pasukan Diponegoro, 15.000 pasukan Belanda dan 2 juta
rakyat menjadi korban perang dan ¼ lahan pertanian di Jawa rusak akibat perang dan
kerugian di pihak Belanda sebesar 25 Juta Gulden dan ini menjadi perang dengan kerugian
paliang berat yang di alami Belanda. Perang Jawa ini memiliki banyak faktor yang
mempengaruhinya sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.
Kata Kunci : Perang Jawa II, Perang Diponegoro, Belanda
2. Latar Belakang Masalah
Perang Diponegoro (1825-1830)
merupakan perang besar di tanah Jawa
yang di sebuat juga sebagai Perang Jawa
II. Perang ini merupakan perang moderan
peratama yang menggunakan banyak siasat
perang dan dalam perang ini menimbulkan
perubahan pada peta politik, sosial, dan
ekonomi masyarakat Jawa. Perang Besar
ini memakan Korban yang banyak 200.000
dari pasukan Diponegoro dan 2 juta rakyat
Jawa terkena imbasnya (S.Kartodirdjo,
2016 : 445).
Menurut Peter Cary (1976 : 52)
salah satu guru besar dan peneliti perang
diponegoro bahwa korban yang jatuh
sebesar 200.000 pasukan Diponegoro,
7.000 serdadu pribumi, 8.000 tentara
Belanda. Dan kerugian yang di tanggung
sebesar 25 juta Gulden atau (2,2 Milyar
dolar AS saat ini) dan seperempat lahan
pertanian di Jawa rusak akibat perang.
Perang ini bergolak di Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Dan
mendorong banyak perlawana di daerah-
daerah. Ada beberpa faktor yang
mendorong terjadina perang Jawa II, salah
satunya yaitu pajak yang di bebankan pada
rakyat yang sangat berat, campur tangan
belanda di lingkungan keraton,
pembanguan jalan yang melewati tanah
leluhur Diponegoro.
Bukan hanya itu banyak hal lain
yang membaut Pangeran Diponegoro
mengobarkan perang terhadao Belanda,
contoh di atas hanya sebagai penyulut
perang. Perang yang berlangsung selama 5
tahun ini membuat Belanda kewalahan dan
mengalami kebangkrutan serta biaya
perang yang sangat besar, hal ini mebuat
Belanda memberlakukan sistem tanam
paksa taua Culturstelsel hal ini di
berkalukan untuk mengisi dan membayar
hutang Belanda akibat banyak perang yang
di hadapi Belanda.
Pada fase awal, sebelum perang,
dan sesudah perag banyak hal menarik
yang bisa kita pelajari terutama pada sosok
pangeran Diponegoro, motif perjuangan
dan akhir perjuangan.
Rumusan Masalah
1. Bagai mana sosok panegran
Diponegoro?
2. Apa sebab-sebab perang
Diponegoro?
3. Bagai mana jalannya perang
Diponegoro
4. Bagai mana akhir perang
Diponegoro.
Pembahasan
1. Sosok Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro pada masa
kanak-kanak bernama Bendoro Raden Mas
Mustrak, lahir di Keraton Yogyakarta pada
tanggal 11 November 1785, tepat
menjelang fajar, saat sahur pada bulan
3. puasa (Babad Diponegoro, II:45 dalam
Cary 2017:3) ayah Diponegoro merupakan
putra ulung Sultan Hamengku Buwono II
(bertahta 1792-1810, 1811-12, 1826-28)
dari istri resmi atau permasuri, ratu
kedaton keturunan raja Madura dan
terkenal di kalangan sitana karena
kesalehanya menjalankan ajaran islam
(Carey 1980:173).
Ayah Diponegoro baru berusia 16
tahun lebih sedikit waktu diponegoro di
lahirkan, tetapi memiliki reputasi sebagai
orang muda ganteng idaman banyak orang
karena wataknya yang lembut dan rasa
humor yang tenang. Saat lahir Diponegoro
di gendong oleh kake buyutnya yaitu
Sultan Mangkubumi pendiri Kesultanan
Yogyakarta dan meramalkan bahwa dia
akan menjadi orang yag besar dan akan
membuat Belanda kewalahan bahkan akan
lebih besar dari Perang Giyanti yang di
lakukan tetapi hanya Yang Maha Kuasa
yang tau hasilnya (babad Diponegero,
II:45).
Sejak umur tujuh tahuan
Diponegoro di boyong dari Kaputren dan
di bawa ke Tegalero oleh nenek buyutnya
yaitu Ratu Ageng, kira-kira tiga kilometer
kearaha barat laut keraton. Diponegoro
tumbuh dalam didikan sodara-sodara
perempuanya, hal ini karena dari usia tujuh
tahuan sampai 18 tahuan diponegoro di
asuh oleh Ratu Ageng, perempuan gagah
saat terjadi perang Giayanti ayai perang
Jawa I antara Belanda dan sultan
Mangkubumi. Diponegoro juga banyak
menganal kiyayi besa dari sang nenek
yang turut membimbingnya. Kehidpuan di
Tegalerjo yang serat akan susana desa dan
kampung berebda dengan kehidupan
keratoan yang saat itu di pimpin oleh
Hamengku Buono II, kehidupan
Diponegoro berbaur dengan masyarakat
kecil dan Diponegoro tumbuh menjadi
pribadi yang mudah bergaul dan mudah
akrab dengan masyarakat kecil.
Menurut ahli hukum dan penasehat
pemerintah kolonial Willem Van
Hogendrop menjabat 1826-1830
(1913:154) “sifat khas Diponegoro di mata
orang Jawa, yang selalu menjunjung tinggi
dan berjarak dalam urusan atasan dan
bawahan, adalah bahwa iya mudah bergaul
baik dengan orang biasa maupun dengan
orang besar. Oleh karena itu iya banyak di
senangi di mana-mana.”
17 Oktober 1803 Ratu Ageng
wafat, hal ini menjadi pukulan berat bagi
semua kerabat Sultan dan tidak terkecuali
Diponegoro yang memang dari kecil
diasuh oleh Ratu Ageng. Setelah kematian
Ratu Ageng Diponegoro tetapi tinggal di
Tegalrejo dan mewarisi apa yang sudag di
banguan oleh Ratu Ageng dan
membuatanya semakin besar di kemudan
hari. Sama halnya dengan para satria dan
bangsawan jawa pada masanya,
Diponegoro sebagai pribadi yang sangat
4. mencintai keindahan alam dan berbaur
dengan alam sering melakukan meditasi di
gua-gua, gunung-gunung dan sungai.
Bukan hanya itu di Tegalrejo juga
diponegoro membauat satu tempat khusu
untuknya bermeditasi. Bukan hanya itu
Diponegoro juga sangat menyikai berbagai
binatang dan banyak hewan peiharaan
Diponegoro, mulai dari Burung, ayam,
kuda, harimau dan bauaya. Dalam
pandanag jawa hal seperti itu merupakaan
kepekaan dan pantuan kepekaan dan
keutuhan rohani seorang manusia, inilah
gambaran keadaan yang tepat di sebut
kesatria pengembara (satria lelono) dalam
kesusastraan wayang jawa (Boedihardjo
1923, 57-74).
2. Sebab-sebab Perang Diponegoro
Sebelum meletus perang
Diponegoro daerah Yogyakarta mendapat
pukulan paling berat dari perubahan zaman
kolonial dari VOC ke Belanda, dari
Belanda ke Inggris, dan dari Inggris
kembali lagi ke Belanda. Di samping dari
berbagai keadaan sosial politik yang
sangat kacau pada waktu itu ada penyulut
perang yang membuat Diponegoro harus
mengangkat senjata.
Dalam perjanan spiritual
Diponegoro sebagai seorang Jawa tulen
yang taat agama dan tradisi membawanya
kedalam satu siklus sebagai bangsawan
Jawa yaitu lelono untuk mencari jati diri
dan meningkatakan laku spiritual.
Saat Diponegoo berusia 20 tahun
jawa, yakni paska April 1805 dalam
perispan berziarah ke pantai selatan,
Diponegoro melakukan serangkain
kunjungan ke masjid-masjid dan
pesantren-pesantren di daerah Yogya
(Babad Diponegoro, II:47) arti penting dari
kunjungan ini merupakan bentuk dari
penyempurnaan ilmu agama sang
Pangeran. Kemudian setelah selesai
mengunjungi pesanten-pesantren di mulai
lah tahap yang sangat menetukan dalam
pengembaraan Diponegoro, yakni takala
iya berziarah ke beberapa tempat suci yang
di anggap keramat, yang sering di kaitkan
dengan Dinsti Mataram (Ricklefs
1974:232 dalam Carey 2017:58).
Sampai pada perjalan terkahinya di
Parngkusumo dan Diponegoro mengalami
satu pengalam gaib yang sangat penting
dan ini merupakan satu pertanda awal
kehancuran tatanan kerajaan jawa dan
awal dari perang Diponegoro dalam Babad
nya di sampaikan “Tidak ada yang lain:
engkau sendiri hanyalah sarana, namun itu
tidak akan lama, hanya agar terbilang
diantara para leluhur. Ngabdulkamit,
selamat tinggal, engkau harus pulang ke
rumah” ini di tafsirkan sebagai bisikan dari
sunan kalijaga.
Memasuki tahun 1822-1825
banyak terjadi kejadian yang membuat
semakin kacawanya Yogyakarta, mulai
dari kematian Sultan Hamngkeu Buono ke
5. III dan di angkatnya Sultan yang masih
berusia lima tahuan, sampai pada
kebijakan tanam paksa dan sewa tanah
yang memberatan rakyat. Kewibawaan
kesultanan dan berbagai aturan baru yang
di terapkan yang tidak sesuai dengan adat
keraton membuat banyak pihak kecewa.
Dengan berbagai dinamika dan
segala hal yang menyudutkan kesultanan
Yogyakarta menjadi dasar dari perang
yang di kobarkan Diponegoro, 18-20 Juli,
Patih Danurejo dan Residen melakukan
negosisasi dengan pihak Diponegoro tapi
mengalami kekagalan, tepat tanggal 20 Juli
misi terakhir yang di pipimp oleh bupati
senior keraton berangkat ke tegalrejo
dengan pasukan gabungan Jawa-Belanda
di berangkatkan, dengan tujuan menciduk
Diponegoro dan Mangkubumi sebelum
perang pecah (Carey 2017:294).
Pangern Diponegoro dan Pangeran
Mangkubumi berhasil melolosakn diri
melalui tembok belakang rumah dan
berjalan menyusuri jalan setapak sambil
menaiki kuda hitam. Dan ini merupakan
awal dari di mualinya perang Jawa, semua
pasukan Diponegoro berkumpul di
Selarong sebagai markas utama pasukan
Diponegoro.
3. Jalannya Perang Diponegoro
Perang Jawa berkobar selama lima
tahun terhitung dari 1825-1830 dan perang
ini menjadi perang atau perlawanan
terakhir masyarakat Jawa terhadap
Belanda. Pada awal-awal perang
pendanaan perang mengandalkan sumber-
sumber tradisional yaitu para pangeran dan
priayiYogya menyumbangn emas permata,
uang dan barang berharga lainya. Semua
sumbangan itu di bawa ke medan perang
oleh istri-istri dan anak-anak meraka, satu
sistem pembiayaan perang yang
menenyentuh yang terulang kembali saat
Revolusi Indonesia 1945 (Simatupang
1972:152 ; Carey 2008:607).
Gaya perang panegran Diponegoro
adalah menggunakan semaksimal mungkin
kekuatan lokal pedesaan tugas utama
meraka adalah mencegat pasukan bantuan
Belanda yang datang dari Semarang.
Mereka juga menebang pohon untuk
penghalang jalan, membakar jembatan,
memblokade jalab dengan membuat
lubang-lubang. Senjata yang di gunakan
adalah bambu runcing yang di ujungnya di
paang keris supaya lebih tajam saat di
tikamkan ke musuh.
Dengan demikian, perag ini
menjadi sebentuk pemberontakan klasik
kaum tani, sebagain bersifat jacquerie
(perlawanan kaum tani), sebagain perang
Gerilia, dan sebagian lagi oprasi militer
biasa (De Stuers 1833:4-10 ; Tilly 1964:1-
9) situasi ini sangat menguras pikiran
Belanda.
Sebelum awal perang Diponegoro
membagian surat pada Pangeran dan Priayi
di jawa untuk memimpin perang di
6. daeranya masing-masing atas nama
dirinya, surat ini sangat terkenal sehingga
banyak penguasa lokal yang menginginkan
surat ini salah satu yang membantunya
adalah Pangeran Serang II ayng di angkat
Diponegoro untuk mempertahakan pantai
utara jawa.
Perang ini menyebar ke berbagai
daerah, meskipun basis perang ini adalah
jawa bagian selatan tapi wilayah Jawa
Timur dan Demak (Agustus-September
1825), Madiun (November1825-Maret
1826), Rembang, Jipang-Rajengwesi
(1827-1828). (Carey 2017:315)
Bukan hanya laskar dari
masyarakal lokal dan bangsawa saja,
pasukan Diponegoeo juga di perkuat
dengan kaum santri yang bergebung
dengan pasukanya sekitar 200 orang laki-
laki dan perempuan. Perang yang di
kobarkan oleh Diponegoro adalah perang
suci dalam menegakan panji-panji islam
yang kuat di jawa seteleh banyak
penympangan yang di lakukan oleh
masyarakat kususnya kaum bangsawa
keraton.
Dalam pasukan Diponegoro
terkenal beberapa panglima perang yang
sangat terkenal yaitu Kyai Mojo, Sentot
Prawirodirjo atau sering di sebut Sentot
Ali Basa dan Mangkubumi. Dengan
pengaruh dan kepemimpinanya banyak
daerah yang berhasil di kuasai oleh
Pangeran Diponegoro dan hal ini membuat
Belanda kwalahan dan mendapat kerugian
yang sangat besar. Bahkan Belanda
mengadakan saembara siapa pun yang bisa
menangkap Pangeran Diponegoro atau
memberikan informasi markasnya maka
akan di beri hadian 25 ribu Gulden.
Dalam perang yang terus berkobar
pasukan Diponegoro berhasil merebut
banyak daerah yang di kuasai Oleh
Belanda dan menjadi kendai di bawah nya
daerah yang menjai taklukan Pangeran
Diponegoro ini menjadi salah satu
penyuplai kebutuhan selama perang
berkobar.
Belanda terus menekan pasukan
Diponegoro dengan strategi Benteng Setsel
dan ini membuat Panegran terjepit di
antara daerah Bagelan. Sampai pada
akhirnya setelah bulan puasa Pangeran
Diponegoro menerima saran untuk
dilakukanya negosiasi dengan Belanda
pada 28 Maret 1830.
7. 4. Akhir Perang Diponegoro
Perang terakhir yang di lakukan
Diponegoro yaitu 21 September 1829 yang
membuat Pangeran Ngabehi dan Putranya
terbunuh di medan perang dan 11
November 1829 Pangeran Diponegoro
hampir tertangkap pasukan gerak cepat
Belanda dan memaksanya untuk keluar
masuk hutan untuk bersembunyi. (Carey,
2017:335)
Selama tiga bulan Pangeran
Diponegoro bersembunyi di hutan Bagelan
Barat, bukan hanya dapat tekanan dari
pasukan Belanda Pageran Diponegoro juga
terserang penyakit malaria tropika yang
menyerangnya.
Kekalahan demi kekalahan yang di
dapat pangeran Diponegoro membuat
perlawanan dalam Perang Jawa semakin
sulit. Hal ini dikarenakan berbagai faktor
yang melatarbelakangai kekalahan-
kekalahan di pihak Diponegoro. Pada
pertengan November 1828 salah satu dari
pendukung setianya dan juga orang yang
dekat dengan Pangeran Diponegoro yaitu
Kiyi Mojo sebagai bagian terpenting
dalam barisan para santri menyerah kepada
Belanda.
Menyerahnya Kiai Mojo yang
berselisih pendapat dengan Diponegoro
terkait jabatan sebagai seorang pemimpin
agama membawanya pada perpecahan
internal. Dengan membawa 500 pasukan
elit Diponegoro yaitu pasukan Bulkio Kiai
Mojo menemui Belanda dan membaut
perjanjian terpisah, dengan begitu di
harapkan di bisa kembali ke Pajang dengan
hak-hak khusus, pengakuan dirinya
sebagai penata agama di keraton dan
mendapat dan mendapatkan penganwalan
sebauh barian (pasukan berkuda). (Law
dan De Klerck 1894-1909, IV:500-1)
Apa yang di harapkan oleh Mojo
ternyata tidak seperti yang di harapkanya,
pihak Belanda memang bersikap lunak
pada para ningrat Jawa yang membelot
kepedanya tapi tidak untuk Mojo yang
memang hanya seorang peuka agama.
Setelah membelotnya Kiai Mojo pasukan
Pangeran Diponegoro semakin sedikit dan
Pangeran Diponegoro semakin terdesak
oleh pasukan gerak cepat Belanda.
Masalah juga muncul dari berbagai
darah yang di duduki oleh pasukan
Pangeran Diponegoro, hal ini karena
kebijakan dalam pemungutan pajak
sebagai bagian dari suplai kebutuhan
perang tidak berjalan dengan baik. Banyak
para pemungut pajak memungut pajak
dengan paksa dan sampai ada salah satu
pejabat pajaknya yang di hukum cambuk
di depan umum karena memungut pajak
lebih banyak dari ketentuan (Carey 1981).
Banyak kasus-kasus di mana warga
di daerah kekuasaan Pangeran berbalik
melawan pejabat-pejabat culas pendukung
Pangeran dan menghabisi mereka karena
begitu besar hasrat penduduk akan
8. perdamayan. (Law dan De Klerck dalam
Carey, 2017:334-335). Kebijakan para
komandana benteng Belanda sangat
berpengaruh di sini, mereka berhasil
merebut hati penduduk setempat dengan
menjanjikan bajak gratis, hewan penghela,
dan benih gratis jika mereka mau pindah
ke wilayah Belanda. Dan mereka juga
meurunkan pajak, mengurangi kewajiban
kerja banti dan menaikan upah buruh
harian di sekitar benteng untuk mendorong
para petani dan keluarga mereka teteap
betah tinggal di sekiatar benteng. (Carey,
2017:335)
Memasuki bulan Oktober salah
satu Pemimpin pasilan Pangeran
Diponegoro yang lain Yaitu Sentot Ali
Basa menyerah dan membelot pada
Belanda, tindakan sentot ini mambuat
Pangeran Diponegoro semakin terpojok
apa di Bulan September tepatnya tanggal
21 1829 Pangeran Ngabehi dan Putranya
salah satu Panglima paling senior tewas
dalam pertempuran di Pegunungan Kelir,
dan tak lama kemudian tanggal 11
Novembeer 1829 hampir tertangkap di
Pegunungan Gowong oleh pasukan gerak
cepat ke-11 yang di komandani oleh A.V.
Michiels. (Carey, 2017:335).
Keadaan yang sudah di ujung nadir
ini membuat Pangeran Diponegoro sudah
dekat dengan kekalahannya, harapan
Diponegoro sekarang adalah perundingan
yang nantinya membawa pangeran pada
pengasigan samapi akhirnya meninggal di
pengasingan. Perjuangan panjang pangeran
harus berakhir dengan berbagai
penghianatan dari berbagai pihak yang
pada awalnya mendukung sang Pangeran,
dengan niat luhur menegakan Panji Islam
di Tanah Jawa belum bisa tercapai dan
cita-cita pangeran harus pupus di
pengasingan.
Kesimpulan
Sosok Pangeran Diponegoro yang
sangat karismatik dan tegas tercermin dari
sejak beliau masih muda, degan didikan
dari Ratu Ageng dan didikan dari berbagai
pemukan agama yang mengajarnya
membangun satu kepribadia Pangeran
yang berbeda dari kebanyakan Bangsawan
Jawa lainnya. Dari sejak muda sudah
mendampingi sang ayah yang kelak
menjadi Sri Sultan Hamengkubuono III
dan berbagai keadaan keraton yang sangat
pelik membuat Pangeran menyimpan
ambisi yang sangat besar dalam penataan
kembali kehidupan masyarakat Jawa.
Dengan berbagai kejadian dan
masalah yang di hadapi baik di pihak
Keraon atau pun di pihak rakyat yang
membuat hati Diponegoro sakit adalah di
injak-injaknya harga diri Para Bngsawan
Jawa khusunya beliau dan juga semakin
sengsaranya rakyat di tanggan pemerintah
Belanda. Dengan berbagai masalah yang
timbul ini dan dari berbagai perjalana
spiritual Diponegoro yang memantapkan
9. diirnya sebagai Ratu Adil, dan Panoto
Gomo atau penata agama di tanah Jawa,
membautnya terseret dalam arus
peperangan yang kelak di sebut sebagai
Perang besar Jawa dan menjadi perang
perlawanan terakhir oleh masyarakat Jawa.
Perang yang berlasung selama lima
tahun antara Pangeran Diponegoro dengan
pemerintaH Belanda membawa dampak
yang sangat besar di masyarakat luas,
sekitar 200.000 pasukan Diponegoro tewas
dan lebih dari 15.000 pasukan Belanda jadi
korban dan juga ¼ pertanian di Jawa
Tengan bagian selatan dan Jawa Timur
rusak akibat perang. kerugian materil yang
di tanggung oleh kedua belah pihak pun
sangat besar. Di akhir perjuangan
Pangeran Diponegoro harus berakhir
dengan tragis yaitu di khianati oleh orang-
orang kepercayaanya dan juga di khianati
dalam meja perundingan yang
membawanya pada pengasngan di benteng
Roterdam Makasar hingga beliau
meninggal dunia 8 Januari 1855 dan di
makamkan di Pemakan keluarga
Diponegoro di Makasar.
Daftar Pustaka
Carey Peter. 2017. Takdir, Riwayat
Pangeran Diponegori. Jakarta.
Penerbit Buku Kompas.
Kartodirjo Sartono. 2014. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru :1500-
1900 Dari Emporium ke
Imperium jilid 1. Yogyakarta.
Penerbit Ombak.
Sutrisno, Edy (2009), Mengenal
Perencanaan, Implementsi &
Evaluasi Kebijakan/Program,
Penerbit, Untag Press, Surabaya.
Poesponegoro, Marwati Djoenod. Nugroho
notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid IV
Kemunculan Penjajah di
Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Kurniawan, Hendra. 2014. Dampak Sistem
Tanam Paksa terhadap Dinamika
Perekonomian petani Jawa 1830-
1870. Jurnal Socia. Vol. 11, No. 2,
Tahun 2014
Palmaya, kiki Rizki. 2017. KEBIJAKAN
LANDRENT PADA MASA
PENJAJAHAN INGGRIS DI JAWA
TAHUN 1811-1816. Skripsi.