2. Dialah sang bunga di sebuah kota yang
harumnya semerbak hingga negeri-negeri
tetangga. Tak banyak yang pernah melihat
wajahnya, sedikit yang pernah mendengar
suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang
pernah berurusan dengannya. Dia seorang
pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan
bidadari di taman surga.
3. Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga
memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya,
kepada seorang pemuda yang belum pernah
dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya,
dan belum tergambar wujudnya dalam benak.
Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang
beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi
Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa
ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya
membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah
berulangkali teruji. Namanya kerap muncul
dalam pembicaraan dan doa para ibu yang
merindukan menantu
5. Bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti
adakah benar yang ia bayangkan tentang
matanya, tentang alisnya, tentang lesung
pipitnya, tentang ketegapannya, tentang
semuanya………………….
Meski tak pasti apakah cintanya bersambut
6. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda
berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah
urusanMaka ditulisnyalah surat itu, memohon
bertemu.
Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.
Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang
disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata.
Tapi bayangan masing-masing telah merasuk
jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak
karuan dalam dada. Dan sang gadis yang
mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak
seberapa dibanding aslinya; kesantunannya,
kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya.
7. ”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas
kembali memandang, ”Yang telah
menganugerahi engkau wajah yang begitu
tampan.”
Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan
wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya,
”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing
berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat
bersarang di mata. Ketika hancur wajah
menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu
sementara. Janganlah kau tertipu olehnya
8. ”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan
jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya.
Ia menjawab sambil tetap menunduk
memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku
berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan,
kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang
lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena
di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit.
dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
9. Si gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah
engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama
aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah
lama aku merindukan saat aku bisa
meletakkan kepalaku di dadamu yang
berdegub. Agar berkurang beban-beban.
Agar Allah menghapus kesempitan dan
kesusahan.”
”Jangan lakukan itu kecuali dengan
haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh
kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu
sama lain akan menjadi seteru. Kecuali
mereka yang bertaqwa.”
10. HIKMAH KISAH
”Sebuah kisah yang indah. Sarat dengan ’ibrah
dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda
demikian fasih membimbing si gadis untuk
menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada
Allah.”
11. Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar
melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan
gadis melakukan pelanggaran syari’at. Bahwa
sang pemuda mencampuradukkan kebenaran
dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas
da’wah dalam atmosfer yang ternoda. Dan
dampaknya bisa kita lihat dalam kisah; sang
gadis sama sekali tak mengindahkan
da’wahnya. Bahkan ia makin berani dalam
kata-kata; mengajukan permintaan-
permintaan yang makin meninggi tingkat
bahayanya dalam pandangan syari’at Allah.”
12. Dia sama sekali tak memperhatikan isi
kalimat da’wah sang pemuda.
Buktinya, kalimatnya makin berani dan
menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-
mula hanya mengagumi wajah. Lalu
membayangkan tangan
bergandengan, jemarinya menyatu
bertautan. Kemudian membayangkan
berbaring dalam pelukan.
Subhanallah, bagaimana jika percakapan
diteruskan tanpa batas waktu?
13. ”Kesalahan itu”, kata Syaikh ’Abdullah
Nashih ’Ulwan, ”Telah terjadi sejak awal.”
Apa itu? ”Mereka berkhalwat (berduaan
dengan yang bukan mahram)! Mereka tak
mengindahkan peringatan syari’at dan
pesan Sang Nabi tentang hal yang satu in
Ya. Mereka berkhalwat! Bersepi berduaan
Ya. Sang pemuda memang sedang
berda’wah. Tapi meminjam istilah salah
seorang Akh yang paling saya cintai dalam
’surat cinta’-nya yang masih saya simpan
hingga kini, ini adalah ”Da’wah dusta!”
Da’wah dusta. Da’wah dusta. Di jalan cint
para pejuang, mari kita hati-hati terhadap
jebakan syaithan. Karena yang tampak ind
selalu harus diperiksa dengan ukuran
kebenaran.