1. MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“PERUMUSAN AHLUL SUNNAH WAL JAMAAH”
Dosen Pengampu
ABDUL HAMID ALY, S,Pd. M,Pd.
NAMA ANGGOTA
Kelompok 4 (Kelas M-1) :
PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
1. Papank Abi Sadewa (21901081004)
2. Rendy Satrio W (21901081007)
3. Fitri Dhea Sari (21901081032)
4. Aprilia Diyah (21901081020)
5. Abdul Kodir (21901081014)
6. MochammadTaufik (21901081039)
2. 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Perumusan Ahlul Sunnah
Wal Jamaah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Abdul Hamid Aly S.Pd, M.Pd . Pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang ahlul sunnah wal jamaah bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Hamid Aly S.Pd, M.Pd selaku
dosen Pendidkan Agama Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini
Saya juga menyadari makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Malang, 30 Desember 2019
Penyusun
3. 3
DAFTAR ISI
JUDUL.......................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah munculnya sekte sekte dalam islam..................................................................5
B. Munculnya sekte asy’ariyah dan maturidiyah................................................................8
C. Pandangan Asy’syariyah dan maturidiyah terkait masalah aqidah..............................18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................23
B. Saran.............................................................................................................................23
DAFTAR PUSAKA...............................................................................................................24
4. 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Munculnya sekte-sekte dan aliran kepercayaan tersebut diawali dari sebuah gerakan-
gerakan yang ingin berusaha melakukan rekonstruksi, purifikasi, inovasi dan lain sebagainya
terhadap ajaran-ajaran konvensional dan normatif dalam sebuah agama atau kepercayaan
tertentu. Tapi terkadang, usaha-usaha yang dilakukan seringkali menciptakan sebuah aliran-
aliran yang menyimpang jauh dari agama asalnya, sehingga sekte-sekte yang berkembang
tersebut akhirnya menciptakan sebuah ajaran-ajaran dan bahkan menimbulkan sebuah agama
yang baru pula. Makalah ini nantinya akan memberikan sedikit penjelasan mengenai
kepercayaan dan agama secara sekilas, ditambah dengan deskripsi mengenai kemunculan dan
perkembangan sekte-sekte dan aliran kepercayaan yang hadir dalam sebuah masyarakat atau
komunitas agama, akan menjadi pembahasan utama dari tulisan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan perumusan ahlul sunnah wal jamaah dalam sejarah, pandangan
hingga munculnya masalah aqidah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memberikan pengetahuan tentang Perumusan ahlul sunnah wal jamaah dalam
Pendidikan Agama Islam
5. 5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Munculnya Sekte-Sekte DalamIslam
A. Tentang Kepercayaan Dan Agama
Tulisan ini akan diawali dengan sebuah pertanyaan sederhana, mengapa manusia itu
harus beragama? jawaban yang mungkin benar bahwa agama merupakan fitrah (kebutuhan
dasar) manusia. Ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang lemah dalam menghadapi
berbagai masalah dalam kehidupannya, untuk itu dia membutuhkan sebuah kekuatan baru.
Kekuatan baru itu tidak muncul dari dirinya, maka muncullah harapan yang bermuara
pada kepercayaan. Jadi, kepercayaan merupakan awal dari agama. Sebelum seseorang
beragama, tentunya ia harus percaya dulu dengan agama yang akan dianutnya, setelah
percaya dan yakin baru kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut. Agama
berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib (numinous) dan suci (sacred),
sehingga manusia yang lemah itu percaya bahwa sesuatu yang suci tersebut akan dapat
membantunya dalam mengatasi berbagai masalah dalam kehidupannya.
Rudolf Otto, dalam bukunya The Idea of Holy (1917) percaya bahwa rasa tentang
suatu yang gaib ini (numinous) adalah dasar-dasar dari agama: “perasaan itu mendahului
setiap hasrat untuk menjelaskan asal-usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku
beretika: Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dengan cara yang berbeda-beda.
Terkadang menginspirasikan kegirangan liar dan memabukkan, terkadang ketenteraman
mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum dan hina dihadapan kehadiran kekuatan
misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan”.
Menarik pendapat DR Ibnu Hajar bahwa kepercayaan itu yang melahirkan agama,
bukan agama yang melahirkan kepercayaan. Sebuah pernyataan yang tepat, sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa setiap orang yang menerima wahyu tuhan untuk
menyampaikan sebuah agama kepada umat manusia, terlebih dahulu dia harus percaya
dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jika tidak ada kepercayaan kepada wahyu,
agama tidak akan muncul dan berkembang seperti sekarang ini.
Selanjutnya agama berkembang dengan berbagai dimensinya. Berbicara tentang
agama, maka kita akan memasuki wilayah yang cukup luas. Mulai dari jenis agama yang
bermacam-macam, defenisi yang beragam dan pendekatannya yang berlapis-lapis, agama
6. 6
juga memasuki wilayah ilmu pengetahuan dan menjadi budaya. Persentuhan agama dan
ilmu pengetahuan, melahirkan berbagai disiplin ilmu yang beraneka ragam pula, seperti
sejarah agama, sosiologi agama, filsafat agama, antropologi agama dan seterusnya.
Dalam sejarah umat manusia, agama mempunyai peran penting bagi peradaban
manusia. Bagi sebuah masyarakat, agama dijadikan sebagai pedoman-pedoman yang dapat
membawa manusia kepada derajat yang tinggi. Maulana Muhammad menyatakan bahwa:
“agama adalah kekuatan yang telah mewujudkan perkembangan manusia seperti sekarang
ini. Seorang Ibrahim, seorang Musa, seorang Isa, seorang Krisna, seorang Budha, seorang
Muhammad, secara bergiliran dan sesuai dengan derajatnya masing-masing, telah
mengubah sejarah manusia dan mengangkat derajat mereka dari lembah kehinaan menuju
puncak ketinggian akhlak yang tak pernah diimpikan”. Oleh sebab itu, salah satu tujuan
agama adalah untuk menciptakan manusia yang memiliki nilai - nilai yang dapat
menjadikan manusia tersebut berbudi pekerti luhur dan mulia, sesuai dengan ajaran -
ajaran agama yang dianutnya masing-masing.
Namun dalam perjalananya, agama-agama yang memiliki tujuan mulia tersebut,
ternyata tidak semua dapat bertahan dengan berbagai dinamika yang semakin kompleks,
sehingga ajaran-ajarannya yang dianggap mapan, ternyata bisa diselewengkan oleh pihak-
pihak tertentu yang muncul dari agama tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah, bagaimana agama dapat melahirkan sekte-sekte atau aliran - aliran baru dari agama
tersebut, sehingga tak jarang aliran-aliran atau sekte tersebut berkembang menjadi agama
baru yang ajaran-ajarannya bisa begitu jauh berbeda dari nilai-nilai agama asalnya?
Berikut ini akan dibahas sedikit tentang sekte-sekte dan aliran (gerakan) kepercayaan
dalam agama dengan berbagai dinamikanya.
B. Sekte dan Aliran Kepercayaan
Karena muncul dari dari suatu kepercayaan atau agama, maka sekte-sekte atau
aliran-aliran keagamaan merupakan konteks yang tidak bisa dipisahkan dari kajian agama
dan kajian dalam ilmu-ilmu sosial, karena menyangkut individu dan sekelompok orang
yang aktif di dalamnya. Beberapa ahli dalam hal ini mencoba mengklasifikasi aliran-aliran
tersebut. Soemarno W.S. bersama ahli riset yang lain menggolongkannya kepada tiga
jenis,yaitu:
7. 7
Golongan kepercayaan perorangan, yaitu kelompok yang terdiri dari satu dua orang
yang melakukan kepercayaan untuk kepentingan diri pribadi tanpa usaha perluasan kepada
orang lain. Golongan perguruan kepercayaan, yang menerima murid dan
mempropagandakan ajarannya. golongan perdukunan, di mana ilmu perdukunan dan
pengobatan asli dipraktekkan bagi masyarakat yang memerlukannya.
Dari penggolongan di atas, diketahui bahwa sekte-sekte, gerakan kepercayaan, aliran
kebatinan dan lain-lain, masuk kedalam jenis yang pertama dan kedua, namun bukan
berati bahwa jenis yang ketiga terbebas pengklasifikasian tersebut. Bisa jadi jenis yang
ketiga mempunyai potensi untuk menimbulkan ajaran-ajaran yang dapat mewujudkan
aliran-aliran kepercayaan yang baru. Uraian di bawah ini, akan membahas mengenai
sekte-sekte dan aliran-aliran kepercayaan tersebut.
Kata sekte berasal dari bahasa Latin “secta” yang berarti “kelompok yang
mengikuti” (sequi) dan dalam istilah Inggris disebut sects. Pada awalnya sekte digunakan
untuk aliran filsafat, agama, atau partai dengan ajaran atau kebiasaan khusus yang
menyimpang dari kelompok mayoritas. Para anggota sekte biasanya akan memilih segi-
segi tertentu dari suatu ajaran dan menolak yang lain dari ajaran agama seluruhnya.
Dalam sejarah agama-agama besar dunia, sekte-sekte atau aliran tertentu bukan
merupakan barang baru. Dalam agama Islam antara tahun 1090 sampai 1275 ada sebuah
organisasi yang bernama The Assasin (Hasyasyin/Nizariah) yang dipimpin oleh Hasan al-
Sabbagh yang bertahan kurang lebih dua abad lamanya. Sekte ini merupakan gerakan
sempalan syiah Ismailiah yang bermarkas di Iran. Ciri khas dari sekte ini yaitu mereka
mengkonsumsi sejenis tumbuhan yang dapat menghilangkan kesadaran pemakainya
sehingga berani untuk melakukan penculikan dan pembunuhan. Begitu juga dengan agama
Kristen, pada abad pertama telah dijumpai pendeta-pendeta palsu yang menerapkan
ajaran-ajaran yang menyimpang dari ajaran gereja. Begitu juga dengan agama-agama
lainnya seperti Yahudi, Hindu, Budha, dan lain sebagainya, masing-masing memiliki
kelompok keagamaan yang menyimpang dari ajaran agama asalnya.
Konsep sosiologi mengenai sekte dan aliran (gerakan) kepercayaan biasanya
mengacu pada kelompok religius, kecil maupun besar, dari bentuk organisasi yang
8. 8
sederhana maupun yang rumit, yang oleh anggota dan bukan anggotanya dianggap sebuah
penyimpangan dalam hubungannya dalam konteks doktrin dan budaya yang lebih luas.
Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi non-pengikut, namun berkonotasi
positif bagi para pengikutnya. Sehingga penyimpangan ini merupakan ciri khas yang tetap
dipertahankan oleh masing-masing pengikut suatu ajaran.
Ada dua alasan mengapa selama ini sekte lebih sering dipelajarai daripada aliran
(gerakan) kepercayaan. Pertama, untuk keperluan tertentu, ternyata tidak penting
membedakan keduanya, dan para ilmuan sosial biasa menggunakan istilah “sekte” untuk
menyebut aliran-aliran tersebut. Kedua, meskipun sekte sudah dikenal sebagai istilah yang
merendahkan, (umat Kristen sudah lama memakai istilah ini untuk menyatakan perbuatan
murtad yang menyimpang dari doktri resmi) para ahli sosiologi abad 20 sudah memakai
istilah tersebut tanpa menyiratkan penilaian apapun. Orientasi ini timbul dari pandangan
para ilmuan bahwa beberapa gerakan sekte memberi pengaruh amat penting terhadap
perkembangan konsepsi Barat tentang individualisme, organisasi relawan, dan demokrasi
khususnya sekte-sekte protestan abad 17.
2. Munculnya Sekte Asy’ariyah dan Maturidiyah
A. Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah aliran yang berasal dari nama seorang yang berperan penting,
yakni pendirinya aliran Asy’ariyah yaitu Hasan Ali bin Ismail al Asy’ari keturunan dari
Abu Musa al Asy’ary. Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai berusia 40
tahun.Setelah itu,secara tiba-tiba beliau mengumumkan dihadapan jamaah masjid Bashrah
bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-
keburukannya. Pada hari jum’at beliau naik ke mimbar masjid Bashrah dan menyatakan
secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan pidato” Wahai sekalian manusia, barang
siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku.Barang siapa mengenalku maka aku
mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-
Qur’an adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, bahwa
perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak
faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”Para ahli sepakat al-Asy’ari keluar dari
Mu’tazilah tepat pada bulan Ramadhan tahun 280H/912 atau 300H/915.
9. 9
Imam Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar merumuskan ajaran-ajarannya kembali
berdasarkan manhaj salafuh saleh, dengan mendasarkan kepada nash Al-qur’an dan
Hadist, tetapi menerangkan dengan menggunakan metode scholatis yang rasional sebatas
memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata rumusan-rumusan ajaran beliau
diterima oleh mayoritas umat islam.
Harun Nasution menyebutkan bahwa lahirnya aliran ini dianggap sebagai tonggak
kemenangan ahluhsunnah wal jamaah adalah sebagai reaksi atas munculnya aliran
Mu’tazilah yang tidak banyak berpegang pada sunnah atau tradisi nabi Muhammad
sehingga aliran ini mendapat dukungan masyarakat yang sangat minor.
Ada dua faktor yang menjadi penyebab keluarnya Asy’ari dari aliran Mu’tazilah.
Pertama faktor subyektif, yaitu pengakuan Al- Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan
Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, malam ke-20, malam ke-30
bulan Ramadhan.Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar
meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Asy’ari menerima Ilmu Kalam bukan cuma dalam pembicaraan dan perdebatan,
melainkan juga dengan menulis berbagai buku, ada yang menyebutkan kira-kira 90 buah
buku karangan yang berkaitan dengan ilmu kalam, tapi yang paling penting terkenal
dikatakan oleh A. Hanafi MA ada tiga yaitu :
1. Maqalat al Islamiyyin (pendapat golongan-golongan islam), yaitu kita yang pertama
kali dikarang tentang kepercayaan golongan islam dan merupakan sumber terpenting
karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab ini dibagi tiga, pertama berisi
pendapat bermacam-macam golongan islam, kedua tentang pendiri ahli hadist dan
sunnah, dan ketiga tentang bermacam-macam persoalan ilmu kalam.
2. Al-Ibanah ‘an Ushul Addiyanah (keterangan tentang dasar-dasar agama). Kitab ini
menguraikan kepercayaan ahli sunnah dengan pujian Ahmad bin Hanbal dan
menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
3. Alluma’ (sorotan) isinya untuk membantah lawan-lawannya dalam persoalan ilmu
kalam.
Salah satu hasil rumusan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah, yang
diikuti oleh umumnya kaum muslimin yang bermazhab al-Syafi’i adalah “ sifat dua puluh”
dasar pemikiran adanya rumusan “sifat dua puluh” bagi Allah adalah pemikiran filsafat
10. 10
Yunani tentang wujud. Dalam filsafat Yunani, seperti terlihat pada pemikiran Ibn Sina,
wujud itu terbagi tiga, wajib al-wujud, mukmin al-wujud, dan mustabil al-wujud yaitu
wujud yang wajib, wujud yang mungkin dan wujud mustahil. Wujud Allah merupakan
wujud yang wajib atau wajib al-wujud .karena wujud Allah itu wajib, maka sifat Allah pun
wajib sebab, dalam pandangan ahlu sunnah, sifat dan zat merupakan dua entitas yang tidak
dapat dipisahkan. Menurut Imam abu al-Hasan al-Asy’ari sifat yang wajib pada Allah itu
ada dua puluh sifat, seperti umum yang diyakini oleh kaum muslimin di Indonesia.
Al-Asy’ari merumuskan pandangan teologinya dalam al-Luma’ fi ar-Radd ala ahl
az-Ziyag wa al-Bida’.Bekal dalam menjawab orang-orang yang menyimpang dan
melakukan bidah.1Dalam usaha positif beliau mengambil jalan tengah antara
mempertahankan kepercayaan dan penggunaan akal dalam memahami masalah ke
Tuhanan.Sikap sintesis ini sangat besar pengaruhnya dan menyebabkan kaum muslimin
tidak mengetahui benturan-benturan yang berarti dengan kemajuan-kemajuan dan
penemuan-penemuan modern.Sikap kaum Mu’tazilah yang mengkultuskan akal dapat
dinetralisir dalam Asy’ariyah.
Dalam suasana demikianlah al- Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan
menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadist.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan aliran Asy’ariyah dan cepat
mendapatkan simpati dikalangan kaum muslimin pada waktu itu antara lain :
1. Mempunyai tokoh-tokoh kenamaan yang dapat mengkonstruksikan ajaran-ajarannya
atas dasar filsafat metafisika.
2. Kaum muslimin pada waktu itu telah bosan menghadapi dan mendengar diskusi atau
perdebatan-perdebatan pada perbedaan pendapat pertentangan persoalan al-Qur’an
khususnya yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga menyebabkan tidak
simpatinya terhadap aliran tersebut.
3. Al-Asy’ari doktrin-doktrinnya yang dikeluarkan mengambil jalan tengah antara
golongan rasional dan golongan tekstualis, dan ternyata jalan tersebut dapat diterima
oleh mayoritas kaum muslimin.
4. Sejak masa khalifah Al-Mutawakkil (Bani Abassiyah) pada tahun 848 M, khalifah
membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara, sehingga kaum
11. 11
muslimin pun tidak mau menganut aliran yang telah dibatalkan (ditinggalkan) oleh
khalifah, beralih kepada aliran Asy’ariyah yang didukung oleh khalifah.2
A. Doktrin-Doktrin Asy’ariyah
1. Doktrin-Doktrin Asy’ariyah
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim).Tuhan mengetahui
dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya. Demikian pula dengan
sifat-sifat yang lain, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat Al-Asy’ari
menjelaskan bahwa sifat-sifat tuhan itu bukan sesuatu yang lain yang berada diluar dzat
Tuhan, melainkan sesuatu yang inheran ada dalam zat. Rumusan Al-Asy’ari sebagai
berikut :
حياة له حيان انه ومعنى قدرة له ان قادر انه ومعنى علما له ان لم عا اناهلل معنى
“Pengertian Allah itu zat yang mengetahui adalah bahwa ilmu itu ada bagi Allah,...,...”
هلل با ئمة قا وإنها غيره هي ال ته لذا ته صفا و هللا أسمأ إن
“Sesungguhnya asma dan sifat-sifat Allah itu ada pada zat-Nya, sifat dan asma itu juga
tidak lepas dari Allah. Bukan sesuatu yang lain yang berada diluar Allah”
Hal ini tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya.
Oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ari mempunyai mata, wajah, tangan serta
bersemayam disinggasana. Namun semua itu la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui
bagaimana cara dan batasnya).
2. Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
Aliran Asy’ariyah memandang manusia itu lemah.Dalam hal ini kaum Asy’ariyah
lebih dekat kepada paham jabariah daripada paham Mu’tazilah.Manusia dalam
kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk
menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak
Tuhan, imam Asy’ari memakai kata al-kasb (perolehan).
Imam Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.Menurutnya Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan
(muktasib).Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan
12. 12
manusia.Arti iktisab menurut imam Asy’ari adalah sesuatu terjadi dengan perantara daya
yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang
dengan dayanya perbuatan itu timbul. Ini berarti bahwa manusia itu tidak menciptkan
perbuatannya.Dari sini al-Asy’ari mengemukakan teori kasb.Yaitu :
الحقيقة على اللهتعلى من المحدث المقدور لفعل با وإرادته العبد القدرة تعلق هو الكسب
“ Kasb adalah tergantungnya kudrah dan iradah (kehendak) manusia kepada perbuatan
yang terjadinya itu ditakdirkan oleh Tuhan pada hakekatnya.”
3. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan
wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi peersoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah mengutamakan akal.Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan
pendapat diantara mereka.Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus
berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
4. Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan qadimnya Al-
Qur’an diciptakan (makhluk), dan tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan
Zahiriah yang menyatakan bahwa Al- Qur’an adalah kalam Allah (yang qadimnya tidak
diciptakan).Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi al-
Qur’an adalah qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidak
diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengat ayat :
ُن ْوُكَيَف ْنُك ُهَل َل ْوُقَن ْنَا ُهَانْدَرَااَذِا ٍءْىَشِل َانُل ْوَق اَمَّنٍإ
“Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami hanya
mengatakan kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah sesuatu itu” (Q.S. An-Nahl:40)
5. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah,
yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dengan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di ‘Arsy.Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
13. 13
mengikari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Dengan berdalilkan firman Allah
Ta’ala:3
6.ُْريِبَخْلا ُْفيِطَّلال َوُه َوَارَصْبَ ْاال ُك ِْردُي َوُه َوُارَصْبَ ْاال ُهُك ِْردُت َال
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu“ (QS. Al-An’am : 103)
Dan dalam firman Allah yakni surah Qiyamah ayat 22-23 dan surah Al-Araf ayat 143
yang berbunyi :
ىَلِإٌة َر ِض َان ٍذِئَم ْوَي ٌه ْوُج ُوٌة َرِظ َان اَهِبَر
”Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)
ىِنَرَتنَل َلاَق َْكيَل ِإْرُظنَأ ىِن ِر َأ ِبَر َلاَق ُهُّبَر ُهَمَّلَك َو َانِتَقيِمِل ىَس ْوُم َء اَج اَّمَل َوَجْلا ىَلِإ ْرُظْنُا ِنِكَل َوِنَِِف ِلَب
َفَأ اَّمَلَف اًقِعَص ىَسوُم ََرخ َو اًّكَد ُهَلَعَج ِلَبَجْلِل ُهُّبَىرَّلَجَت اَّمَلَف ىِنَرَت َف ْوَسَف ُهَن اَكَم َّرَقَتْساَلاَق ََاُُ ْبُت ََكنَحْبُس
َْنيِنِمْؤُمْلا ُل َّوَأ ْاَن َأ َو َْكيَلِإ
“Dan takkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah
kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa” Ya
Tuhanku nampakkanlah (diri engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada
engkau.” Tuhan berfirman : ”Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah
ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat
melihat-Ku.” Takkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali, Dia berkata : ” Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku
orang yang pertama-tama beriman.”(QS. Al-Araf :143)
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat. Tetapi tidak dapat
digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat dijadikan terjadi ketika Allah yang menyebabkan
dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
7. Keadilan
Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya dalama kerajaan-Nya. Ketidakadilan berarti
sebaliknya, yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak
14. 14
terhadap hak milik orang lain. Beliau berpendapat bahwa Tuhan tidak berbuat salah dan
tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dank arena di atas Tuhan tidak ada
hukum dan undang-undang yang berlaku maka perbuatan Tuhan tidak pernah
bertentangan dengan hukum.Dengan demikian Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil.
Sehingga pada dasarnya Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang
mengharuskan Tuhan berbuat adil sehingga ia hanrus menyiksa orang yang salah dan
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurut Asy’ari bahwa Allah tidak
memiliki keharusan apa pun karena ia adalah penguasa mutlak.
8. Kedudukan orang yang berdosa besar
dapat dirangkum pokok-pokok ajaran Asy’ariyah ialah :
a) Tentang pelaku dosa besar, tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin. Sebagai orang
berdosa masih terbuka pintu taubat untuk memperoleh ampunan-Nya.
b) Mengakui sifat Tuhan bukan Dzat-Nya, maka tuhan mengatuhui bukan dengan
dzat-Nya, melainkan denagan pengetahuan-Nya.
c) Soal imamah tidak jauh dengan Khawarij dan Mu’tazilah karena islam sesudah
Rasulullah, maka menunjuk seseorang imam harus didasarkan azas musyawarah
dan pilihan syah.
d) Qur’an bukan diciptakan, Qur’an sebagi kalamullah adalah qadim bukan hadits
ataupun diciptakan, sedangkan al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf dan suara
adalah baru.
e) Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat.
f) Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan.
g) Semua yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya segala sesuatu yang dilarang
tuhan adalah buruk. Namun tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena
semuanya itu menurut perintah Allah.
h) Keadilan Tuhan adalah kekuasaan mutlak yang tanpa batas itu, adalah adil kalau
tuhan mensurgakan dan menerakakan semua orang.
i) Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan.
j) Tuhan tidak berkewajiban membuat yang baik dan terbaik dan memberi pahala
kepada orang yang taat dan memberi siksaan atas orang yang durhaka.
k) Kebaikan dan keburukan bukan ditentukan oleh akal melainkan wahyu.
l) Demikianlah aliran Asy’ariyah tibul dengan semangat perlawanan yang gigih
terhadap kaum Mu’tazilah. Dan untuk perkembangan aliran ini, selanjutnya akan
tampak jelas dalam kaum muslimin yang dikenal dengan ahlus sunnah wal jamaah
15. 15
B. Dampak Negatif Asy’ariyah
Anggapan yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan
tidak sempat bertobat, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak
Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat
syafaat Nabi Muhammad SAW. sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya,
yaitu Tuhan memberi siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang diperbuatnya.
C. Aliran Maturidiyah
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah
penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama
dan akidah Islamiyyah.
Maturidiyyah adalah merujuk kepada sekumpulan pengikut yang menuruti
pemikiran al-Maturidi. Kebanyakan ulama al-Maturidiyyah pula terdiri daripada para
pengikut aliran fiqh al-Hanafiyyah. Ini kerana pada umumnya, aliran pemikiran al-
Maturidiyyah berkembang di kawasan aliran al-Hanafiyyah. Bagaimanapun, mereka
tidaklah sekuat para pengikut aliran Asy’ariyah.
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah
penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama
dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran
teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam
kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak
rasional.
D. Doktrin-doktrin Aliran Maturidiyyah
1) Akal dan Wahyu
Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-
asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai
16. 16
kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang
diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban lainnya.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
a) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.
c) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk
ajaran wahyu.
2) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai
perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan
dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri
dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia
3) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud
ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut Al-Maturidi qudrat
Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4) Sifat Tuhan
Menurut Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya
terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan
mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak
dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la
hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak
akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama). Dengan demikian
makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada
pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
17. 17
5) Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan
oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. Namun
melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di
akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
6) Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara
dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat
qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu
(hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat
dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
7) Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak
Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya
sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik
dan terbaik bagi manusia). setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-
kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di
kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
a) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga
di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya
b) Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang
sudah di tetapkan-Nya.
8) Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal
di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal
di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian,
berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.
Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir
atau murtad.
18. 18
9) Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang
berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan
agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya
wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di
luar kemampuannya kepada akalnya.
E. Dampak Positif dan Negatif Faham Maturidiyah
1. Dampak Positif Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat bahwa pelaku dosa
masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan
yang diperolehnya kelak di akhirat adalah tergantung apa yang dilakukannya di dunia.
Jika pelaku dosa besar meninggal sebelum bertaubat, maka semuanya diserahkan kepada
Allah SWT, jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, maka akan dimasukkan ke
dalam neraka, tapi tak kekal di dalamnya.
2. Dampak Negatif Maturidiyah
Dimana iman sebagai suatu kepercayaan dalam hati, sedangkan pernyataan lisan dan
amal perbuatan hanya sebagai pelengkap saja.
3. Pandangan Asy’syariyah dan maturidiyah terkait masalah aqidah
A. Aliran Asy’ariyah
Nama pendiri aliran ini adalah Abdul-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ary, keturunan
dari Abu Musa Al-Asy'ary, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan
Mu'awiyah. Al-Asy'ary lahit tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. pada
waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubba'I, mempelajari
ajaran-ajaran Mu'tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40
tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku
kemu'tazilahan (Ahmad Hanafi, 1982).
Ketika berusia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudia pergi
ke masjid Basrah di depan semua orang ia mengatakan Quran adalah makhluk. Kemudian
19. 19
ia mengatakan "Saya tiidak lagi memegangi pendapat-pendapat dan harus menolak faham-
faham orang Mu'tazilah. Sebab utama adanya perpecahan diantaranya kaum Muslimin
yang bias memnghancurkan meraka bila tidak segera diakhiri. Sebagai orang muslim yang
gairah terhadap kebutuhan kaum Muslimin, ia menghawatirkan bahwa Quran dan Hadits
akan menjadi korban paham-paham kaum Mu'tazilah yang menurutnya tidak bisa
dibenarkan karena didsarkan oleh akal pikiran. Al-Asy'ary mengambil jalan tengah antara
golongan rasional dan textualist dan jalan yang di ambil dapat di terima oleh mayoritas
kaum Muslimin.
Aliran Asy'ariyah memiliki dua corak pemikiran yang keliatan berlawanan tetapi
sebenernya saling melengkapi, diantaranya: pertama, ia berusaha mendekati orang-orang
aliran fiqih Sunni, sehingga ada yang mengakatan bahwa ia bermazhab Syafi'y. Yang
lainnya mengatakan ia bermazhab Maliki. Yang lainnya lagi mengatakan bahwa ia
bermazhab Hambali. Kedua, adanya keinginan menjauhi aliran-aliran fiqih.
Al-Asy'ary menentang kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal
pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah di singgung-
singgung Rasul adalah salah. Sahabat-sahabat Nabi sendiri sesudahnya wafat banyak
membicarakan soal-soal baru dan mereka tidak disebut orang-orang sesat atau bid'ah.
Maksudnya ia mengingkari orang-orang yang berlebih-lebihan dalam akal pikiran, yaitu
golongan Mu'tazilah.
Ia sebagai orang muslim yang benar-benar ikhlas membela kepercayaannya,
mempercayai sepenuhnya isi nas-nas Quran dan Hadits dengan menjadikan sebagai dasar
di samping menggunakan akal pikiran yang tugasnya tidak lebih daripada memperkuat
nas-nas Quran dan Hadits. Al-Asy'ary berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat itu
tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan dengan cara simbolis, karena sifat-sifat
Allah itu unik tidak bisa dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Kemudian Asy'aray
berpendapat bahwa baik dan buruknya sesuatu harus berdasarkan wahyu.
Perkembangan aliran Asy'ariyah setelah wafatnya Asy'ary mengalami perubahan
cepat. Kalau saat mulai didirikannya kedudukannya sebagai penghubung antara aliran
lama (textualist) dengan aliran baru (rasionalist). Pada akhirnya aliran ini lebih condong
20. 20
kepada segi akal pikiran dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nas-nas Quran
dan Hadits.
Mereka sudah berani mengeluarka keputusan bahwa "akal menjadi naqal (nas)".
Karena sikap itu, maka Ahlus-Sunah tidak dapat menerima golongan Asy'ariyah, bahkan
mememusihnya dan dianggap bid'ah. Setalah permusuhan menjadi berkurang, makanya
dating Nizamul-Mulk (wafat 485 H/1092 M) yang mendirikan dua sekolah yang terkenal.
Dengan namanya yaitu Nizamiyyah di Nizabur dan Bagdad, dimana di sekolah tersebut
hanya aliran Asy'ary saja yang boleh di ajarkan. Semenjak itu, aliran Asy'ariyah menjadi
resmi agama dan menajadi golongan ahli Sunnah.
B. Aliran Al-Maturidiyah
Aliran Maturidiyyah, seperti aliran Asy'ariyah, masih golongan Ahli Sunnah.
Pendirinya ialah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur. Ia di lahirkan di Maturid
sebuah kota kecil di daerah Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan Suviet sekang)
kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan meninggal di Samarqand tahun 332
H. Asy'ary adalah pengikut Mazhab Syafi'I dan Marturidy pengikut Mazhab Hanafy.
Karena itu kebanyakan pengikut Asy'ary adalah orang-orang Syafi'iyyah, sedang pengikut
Maturidy adalag orang-orang Hanafiyah (Ahmad Hanafi, 1982).
Kampung halaman Al-Maturidi yakni Maturid terdapat unsur positif bagi kehidupan
lebih lanjut dalam bidang keilmuan. Karena ia beranjak dewasa di kampunganya menjadi
sebuah ajang perdebatan keilmuan baik bidang fiqh maupun ilmu kalam.
Pada bidang fiqh terjadi perdebatan antara pengikut Hanafiyah dengan pengikut
Syafi'I, sedangkan di bidang ilmu kalam terjadi perdebatan antara Fuqaha dengan
Muhadisin. Dengan maraknya perdebatan yang terjadi di kampungnya ini menjadi unsur
positif bagi Al-Maturidi untuk terpacu terus menerus giat belajar mendalami berbagai
bidang keilmuan.
Untuk menjadi orang yang lebih memahami dalam bidang keilmuan pasti di
belakangnya terpadat guru-guru yang mendidik Al-Maturidi di waktu usia mencapai
dewasa. Di antaranya guru-guru yang mendidik Al-Maturidi ialah Nasr bin Yahya Al-
21. 21
Balakhi, ia banyak belajar tentang Fiqh Hanafi dan Ilmu Kalam. Dalam bidang keilmuan
agama ia berguru kepada Abu Bakar Muhammad Al-Jawzajani.
Di lihat dari guru-gurunya, Al-Maturidi berpacu pada imam Mazhab Hanafi dan ia
lebih semangat mendalami Fiqh Mazhab Hanafi. Maka ia menjadi penganut Mazhab Hanfi
di bidang Fiqh, karena ia tekun mempelajari risalah-risalah karya Abu Hanifa terutama
yang isinya tentang ilmu kalam.
Al-Maturid di sebagai penganut setia Mazhab Hanafi di bidang fiqh menjadikaknnya
lebih berani menggunakan akal dalam bidang kalam. Pengembangan pendidikan Al-
Maturudi lebih di kosentrasikan pada menekuni bidang ilmu kalam dari pada bidang fiqh.
Hal ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham ilmu
kalam yang berkembang di masyarakat Islam, yang di pandangnya tidak sesuai dengan
kaidah yang benar menurut akal dan syara.
Dalam pemikiran Teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal.
Dalam hal ini, ia sama dengan Asy'ary. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih
besar daripada yang diberikan Asy'ary (Abdul Rozak dan Rosihin Anwar, 2001).
Menurut pendapat Al-Maturidi dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban bisa
diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam memahami kedua hal tersebut sesuai
dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikirannya yang mendalam tentang mahluk ciptaan-Nya. Dalam hal baik dan buruk Al-
Maturidi berpendapat bahwa pennetu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada seuatu
itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syara hanyalah mengikuti ketentuan akal
mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu
membedakan antara yang baik dan buruk, tetapi terkadang pula mampu untuk
membedakannya. Dalam kondisi ini maka di perlukan wahyu atau petunjuk sebagai
pembimbing agar bisa membedakan sesuatu yang baik maupun yang buruk.
Apabila kita teliti lebih lanjut akan menemukan perbedaan antara aliran Asy'ary
dengan aliran Maturidi dalam cara maupun hasil pemikirannya, dikarenakan aliran
22. 22
Maturidi menggunakan akal yang lebih luas dari pada aliran Asy'ary. Perbedaanya antara
kedua aliran diantaranya:
Menurut aliran Asy'ary mengetahui Tuhan diwajibkan dengan Syara', sedangkan
aliran Maturidi mengetahui diwajibakan dengan akal.
Menurut aliran Asy'ary sesuatu perbuatan tidak mempuyai sifat baik dan buruk,
tetapi baik dan buruk karena diperintahkan oleh Syara'. Sedangkan menurut aliran
Maturidi setiap perbuatan itu sendiri ada sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk.
23. 23
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada hakikatnya agama memberikan pelayanan kepada manusia untuk menjalani
kehidupan yang baik dan keselamatan di dunia dan akhirat. Namun dalam prakteknya,
manusia seringkali menafsirkan ajaran-ajaran agama tersebut kedalam banyak versi, sehingga
muncul dari suatu agama sekelompok orang yang menyimpang dari ajaran-ajaran resmi dari
agama tersebut. Maka muncullah yang disebut sekte, gerakan kepercayaan, aliran kebatinan,
dan lain sebagainya. Namun, dibalik munculnya sekte-sekte tersebut, dapat menjadi pelajaran
berharga dan aspek kajian yang cukup menarik, khususnya dalam kajian ilmu sosial tentang
agama.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada
saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila ada
terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba
Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.